Esports Cabang Bermedali Asian Games 2022, Super Weekend Terakhir PMGC 2020

Tinggal satu pekan menuju musim liburan akhir tahun. Pekan lalu akhirnya ditutup dengan pertandingan Super Weekend ke-4 dari PUBG Mobile Global Championship Season Zero dan pengumuman resminya kehadiran esports sebagai cabang bermedali di Asian Games Huangzhou 2022. Selain dua hal tersebut, berikut ragam berita perkembangan esports di pekan ke-4 Desember 2020 (15-21 Desember 2020).

 

PMGC Season Zero – Super Weekend 4

Tanggal 18 – 20 Desember 2020 lalu merupakan penghujung babak liga dari PUBG Mobile Global Championship 2020. Jagoan Indonesia yaitu Bigetron RA justru bermain dengan keadaan underperform pada saat itu. Dari total 15 ronde selama 3 hari pertandingan, tercatat Bigetron RA tidak pernah sekalipun mendapat Chicken Dinner dan beberapa kali terkena Too Soon. Pada sisi lain, Aerowolf Limax justru sedang on fire pada pekan ini dengan satu kali Chicken Dinner dan 4 ronde finish pada peringkat top 5.

Bigetron RA pun akhirnya harus puas mendapat peringkat runner-up dari akumulasi poin yang mereka dapatkan lewat 4 pekan pertandingan Super Weekend. Pada sisi lain, Aerowolf Limax yang awalnya terseok berhasil menyodok ke peringkat 14. Dengan perolehan yang didapatkan oleh SuperUna dan kawan-kawan, Aerowolf Limax pun berhasil lolos ke babak Grand Final yang direncakan hadir tanggal 21 Januari – 24 Januari 2020 mendatang.

 

Esports Dipastikan Jadi Ajang Bermedali Pada Asian Games 2022

Sumber: Esports Observer
Sumber: Esports Observer

Setelah Asian Games 2018 dan SEA Games 2019, kini esports akhirnya dipastikan akan hadir pada Asian Games Hangzhou 2022 mendatang. Tidak seperti Asian Games 2018, esports kali ini akan menjadi ajang resmi yang bermedali. Dalam pertemuan Dewan Olimpiade Asia, esports akhirnya diresmikan masuk Asian Games yang digolongkan dalam kategori “intellectual titles” layaknya cabang catur.

Pada Asian Games 2018, League of Legends, Arena of Valor, PES 2018, StarCraft II, Hearthstone, dan Clash Royale adalah game yang dipertandingkan di dalam cabang eksebisi esports. Indonesia berhasil meraih satu emas dari Clash Royale dan satu perak dari Hearthstone. Sayangnya belum ada informasi lebih lanjut seputar game apa yang dipertandingkan pada cabang esports Asian Games 2022. Namun mengingat banyaknya kritik pedas soal game berbau kekerasan dari komite olimpiade internasional, kemungkinan besar Asian Games 2022 tidak akan mempertandingkan game seperti PUBG Mobile ataupun CS:GO untuk cabang esports.

 

 

Capcom Cup 2020

Kawan-kawan Fighting Game Community (FGC) patut bergembira hati mendengar kabar yang satu ini. Pasca absennya banyak pertandingan fighting game offline di tahun 2020, Capcom akhirnya mengungkap bahwa mereka akan mengadakan Capcom Cup 2020 secara offline pada Februari 2021 mendatang. Pertandingan akan diadakan pada tanggal 19-21 Februari 2020 mendatang di Republik Dominika. Dua bagian acara dibagi ke dalam tiga hari penyelenggaraan acara. Tanggal 19 adalah pertandingan Street Fighter League World Championship yang mempertemukan dua tim terbaik dari SF League US dan SF League Japan. Tanggal 20 adalah pertandingan Capcom Cup top 20 dilanjut dengan Grand Final pada tanggal 21 Februari 2021.

 

Facehugger dan Randy “CL” Join AURA Esports divisi MLBB

Sumber: Instagram @auraesports
Sumber: Instagram @auraesports

AURA Esports mengumumkan dua sosok baru yang akan bergabung ke dalam pasukan MLBB mereka. Dua sosok tersebut adalah Facehugger yang merupakan mantan pemain Dota 2 dan CL yang merupakan mantan pemain profesional AOV. Facehugger tergabung ke dalam divisi MLBB sebagai analis sementara CL tergabung sebagai coach. Kehadiran dua sosok tersebut ke dalam ekosistem MLBB sedikit banyak menunjukkan bagaimana MPL masih menjadi salah satu liga esports paling stabil dan menjanjikan di Indonesia untuk saat ini. Kira-kira, apakah dua sosok tersebut bisa mendongkrak prestasi AURA Esports di MPL ID Musim ke-7 nanti?

 

IESPA Gandeng Platform Stream Lokal GOX.ID

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com

Pada tanggal 16 Desember 2020 kemarin, IESPA selaku salah satu asosiasi esports di Indonesia mengumumkan GOX.ID yang merupakan platform stream lokal sebagai mitra resmi mereka. Mengutip rilis, kolaborasi tersebut dilakukan sebagai langkah strategis bagi IESPA dalam menjaga eksistensi, mengembangkan komunitas binaan, serta mencapai tujuan dari federasi. Selain itu kolaborasi ini dilakukan juga sebagai dalam usaha untuk mendorong peluang baru bagi gamer lokal di berbagai daerah di Indonesia untuk menyalurkan bakat mereka sebagai streamer.

 

PUBG Mobile Japan League Resmi Jadi Liga Franchise

Sumber: PUBG Mobile Official
Sumber: PUBG Mobile Official

PUBG Mobile Japan League dikabarkan resmi akan menjadi liga franchise pada tahun 2021 mendatang, dilangsir dari Dot Esports. Nantinya akan ada 16 tim yang akan ikut serta untuk memperebutkan total hadiah sebesar 300 juta yen (sekitar Rp41 juta). Liga franchise PMJL dikabarkan akan memiliki aturan gaji minimum yaitu sebesar 3,5 juta yen (sekitar Rp479 juta) untuk semua pemain. Pertandingan dikabarkan akan dilakukan secara offline dan akan diikuti oleh tim-tim sekaliber seperti Blue Bees, A1 Esports, DeToNator, SunSister, dan lain sebagainya.

 

Activision Ungkap Rencana Call of Duty League Musim Tahun 2021

Lewat sebuah video yang diunggah di YouTube, Activision umumkan perubahan format Call of Duty League 2021. Salah satu perbubahannya adalah kehadiran 5 turnamen major di dalam satu musim. Nantinya babak regular season akan dipertandingkan dengan format grup yang bermuara pada babak playoff di turnamen major. Pertandingan dikabarkan masih akan dipertandingkan secara online mengingat situasi pandemi yang masih terjadi. Tim peserta juga tidak terlalu beda jauh dengan musim sebelumnya yang didominasi oleh tim-tim asal Amerika Serikat dan beberapa dari Eropa.

 

Negara Afghanistan Blokir PUBG Mobile Untuk Sementara Waktu

Sumber: PUBG Mobile Official
Sumber: PUBG Mobile Official

Setelah selesai dengan permasalahan pemblokiran di India, PUBG Mobile kini kembali menerima penolakan. Dikutip dari Dot Esports, kali ini giliran negara Afghanistan yang memutuskan memblokir PUBG Mobile karena dianggap memiliki dampak negatif. Afghanistan Telecom Regulatory Authority (ATRA) selaku pemangku kepentingan dalam ranah telekomunikasi mengatakan bahwa mereka telah melakukan rapat dengan berbagai kementrian dan memutuskan untuk memblokir PUBG Mobile untuk sementara waktu untuk diinvestigasi secara lebih lanjut.

 

Merger DouYu-Huya Diinvestigasi Pemerintah Tiongkok

Sumber: Esports Observer
Sumber: Esports Observer

DouYu dan Huya selaku dua platform streaming terbesar di Tiongkok mengumumkan merger alias bergabung menjadi satu perusahaan pada tanggal 12 Oktober 2020 lalu. Hybrid.co.id sempat membahas sendiri soal penggabungan tersebut dan potensi masalah yang akan dihadapi. Pada akhirnya tanggal 14 Desember kemarin, rencana penggabungan tersebut pun diinvestigasi oleh pemerintah Tiongkok. Esports Observer mengatakan bahwa investigasi tersebut dilakukan karena usaha merger tersebut dianggap berpotensi melanggar undang-undang anti monopoli yang diterapkan pemerintah Tiongkok. Informasi terakhir mengatakan bahwa Huya akan bertindak kooperatif dan mengikuti apa yang diminta serta diperintahkan oleh regulator Tiongkok untuk menyelesaikan investigasi tersebut.

 

Fall Guys Ungkap Kostum Baru Berbentuk Sosok Ninja Sang Selebriti Gamers

https://twitter.com/FallGuysGame/status/1340626462987210753

Setelah proses lelang yang dilakukan, akhirnya terungkap sudah bahwa Ninja akan menjadi sosok pertama yang mendapatkan skin di dalam Fall Guys. Awal mula dari hal ini adalah kampanye yang dilakukan oleh pengembang Fall Guys yang bertajuk Battle of the Brand. Kampanye dilakukan dalam bentuk lelang, dengan uang hasil lelang akan didonasikan dan pemenang lelang dibuatkan skin oleh sang pengembang. Ninja, MrBeast, Aim Lab, dan G2 Esports adalah penawar terakhir dengan tawaran sebesar US$1.000.000. Ninja menjadi yang pertama mendapatkan skin atas dirinya di dalam Fall Guys dan kini sudah tersedia di dalam game.

Justin Wong Utarakan Keresahannya Terhadap Masalah Netcode di Game Fighting

Jika Anda pemain game fighting, Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Justin Wong. Pemain yang satu ini bisa dibilang sebagai salah satu pemain paling gemilang di antara komunitas FGC internasional, salah satunya berkat torehan prestasi juara EVO sebanyak 9 kali. Pemain ini juga terkenal begitu mengayomi komunitas FGC. Contoh paling jelas terlihat pada Juni 2019 lalu, ketika ia mensponsori 5 pemain game fighting untuk mengikuti turnamen CEO 2019.

Tahun 2020, skena game fighting mulai berevolusi sedikit demi sedikit, situasi pandemi bisa dibilang jadi salah satu penyebabnya. Situasi ini pada satu sisi mungkin menjadi sedikit ‘berkah’ bagi FGC Indonesia, yang membuahkan pencapaian dari Aron Manurung di cabang Street Fighter V, dan Andrew Widjaja (Wahontoys) di cabang Soulcalibur VI.

Namun pada sisi lain, situasi pandemi juga memunculkan masalah bagi komunitas FGC. Pertandingan yang dibatalkan sudah menjadi satu masalah, tapi masalah baru muncul ketika pertandingan diubah menjadi online. Mengapa demikian? Persoalan netcode bisa dibilang jadi salah satu alasan terbesar kenapa bertanding game fighting secara online adalah suatu masalah tersendiri.

Sumber: WelshGaming
Training Stage atau “The Grid”. Stage ini bisa dibilang sebagai stage paling stabil untuk bermain Street Fighter V secara online. Sayang, penggunaan stage tersebut malah dilarang dalam babak 16 besar pada turnamen resmi Capcom manapun. Sumber: WelshGaming

Justin Wong sempat menyatakan pendapatnya soal masalah netcode ketika ia diwawancara oleh Dot Esports, membicarakan alasan kenapa ia tidak mengikuti turnamen game fighting online. “Street Fighter adalah permainan yang sangat menyenangkan untuk dimainkan secara offline, tapi jadi beda cerita kalau harus bermain online.” Jawab Justin membuka pembahasan.

Justin lalu menjelaskan. “Jika kalah dalam pertandingan offline, kami sadar masalahnya cuma satu, yaitu lawan kami yang bermain secara lebih baik. Tapi dalam pertandingan online, kami seringkali tidak tahu apakah kami kalah karena perbedaan kemampuan, atau faktor eksternal seperti netcode, atau masalah gara-gara Stage yang tidak stabil.”

https://twitter.com/iDomNYC/status/1274839976618983431

“Salah satu contoh nyata hal ini adalah pada Capcom Pro Tour NA East, di top 8 iDom kalah satu game melawan MetroM, menyerah, lalu mengatakan ‘Saya tidak bisa melawan orang ini, gara-gara netcode yang sangat…’ Menurut saya ini sudah parah, tidak bisa dimainkan, dan membuat pertandingan jadi tidak adil. Gara-gara ini akhirnya saya memilih untuk menghindari turnamen online. Saya tahu bahwa game fighting cenderung memiliki pengalaman bermain online yang buruk, sehingga turut serta dalam turnamen online, mungkin akan membuat saya menjadi marah.” Justin menjelaskan lebih lanjut bagaimana masalah netcode menciptakan kebuntuan bagi dirinya, serta beberapa sosok pemain kompetitif game fighting lainnya.

Dalam situasi pandemi, bermain secara online menjadi sangat dianjurkan. Namun amat disayangkan melihat FGC jadi kesulitan beradaptasi dengan keadaan ini, karena kebanyakan game fighting cenderung tidak begitu menyenangkan untuk dimainkan secara online. Semoga saja di masa depan, game fighting generasi terbaru bisa dikembangkan secara lebih sempurna, sehingga menyenangkan ketika dimainkan secara offline maupun online.

SoulCalibur Without Borders Berhasil Kumpulkan 2800 Dollar AS Untuk Amal

Setelah berjalan selama kurang lebih satu bulan, turnamen SoulCalibur Without Border (SCWB) dikabarkan telah berhasil mengumpulkan donasi mencapai angka 2800 dollar AS (sekitar 36 juta rupiah). Turnamen ini sendiri diselenggarakan di beberapa kawasan, mulai dari Eropa, Amerika Selatan, Jepang, Asia Tenggara, Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Korea Selatan. Turnamen ini sempat menjadi buah bibir bagi kawan-kawan FGC Indonesia, berkat kemenangan Andrew Widjaja (Wahontoys) dalam pertandingan SCWB kawasan Asia Tenggara yang diadakan 15 Agustus 2020 lalu.

Total hadiah SCWB tadinya cuma 900 dollar AS, yang berasal dari sumbangan sebesar 100 dollar AS dari masing-masing kawasan. Total hadiah lalu dibagi dua, separuh bagian untuk menjadi hadiah turnamen, separuh lainnya didonasikan kepada sebuah organisasi non-profit bernama Doctors Without Borders.

Sumber: Soulcalibur Without Border
Sumber: Soulcalibur Without Border

Kini, setelah pertandingan di semua kawasan telah rampung, SCWB telah berhasil mengumpulkan 6632 dollar AS. Dari total tersebut, artinya ada 5732 dollar AS datang dari donasi komunitas, dengan 2866 dollar AS yang akan didonasikan ke organisasi Doctors Without Borders.

Turnamen ini sendiri diselenggarakan oleh seorang pro player Soulcalibur, Kieran Bucknell (Neon) dan Sabin Deus. Mengutip dari GINX Esports TV, Neon mengatakan. “SCWB berjalan lebih baik dari apa yang saya bayangkan. Kami berhasil menyelenggarakan 9 turnamen di 9 kawasan, dan memastikan komunitas lokal di setiap kawasan bisa terlibat.”

“Pada akhirnya, kami berhasil mengumpulkan total 1000 viewer pada beberapa gelaran turnamen yang diselenggarakan. Saya senang kami berhasil menjalankan ini, bahkan ada banyak banyak sekali fan art dari komunitas. Turnamen ini berhasil menjadi event yang meliputi seluruh dunia dan dengan tanpa batasan.”

Turnamen SCWB ini bisa dibilang sebagai turnamen yang diadakan komunitas sebagai usaha untuk menggantikan EVO, yang tidak bisa terselenggara karena pandemi. “Awalnya niat saya mengadakan ini hanya untuk memberikan turnamen pengganti EVO bersifat kecil-kecilan, tapi saya tidak menyangka turnamen ini telah berhasil melampaui EVO Online dengan cukup jauh berkat dari komunitas.”

Jika Anda kelewatan atau tidak mengikuti rangkaian turnamen tersebut, berikut daftar pemenang SCWB dari setiap kawasan:

Sumber: Twitter @SoulCaliburWB
Sumber: Twitter @SoulCaliburWB
  • North America East division winner: Party Wolf
  • North America West division winner: Xephukai
  • Central America division winner: DarthFencerJP
  • Korean division winner: Sunfish
  • Europe West division winner: Dexus
  • Europe East division winner: Head Cheese
  • Southeast Asia division winner: Wahontoys
  • Japan division winner: Jashi
  • South America division winner: Miura

Sungguh luar biasa melihat bagaimana komunitas Soulcalibur bisa bersatu di tengah situasi pandemi ini. Tak hanya menyajikan hiburan kepada komunitas, turnamen ini bahkan menjadi ajang amal, dan bentuk kepedulian komunitas terhadap situasi pandemi saat ini.

Sepak Terjang Aron Manurung Dalam CPT Online 2020: SEA Qualifier 1

Akhir pekan kemarin menjadi puncak dari gelaran Capcom Pro Tour Online 2020: SEA Qualifier 1 (CPT Online SEA). Musim ini sendiri terdapat sedikit perubahan pada format. Salah satunya, karena dampak pandemi COVID-19, pertandingan diubah menjadi format online yang dibagi ke dalam beberapa regional.

Dari regional SEA pertandingan berjalan dari 27 hingga 28 Juni 2020 kemarin, dan dimenangkan oleh pemain asal Singapura, Niel Chong (SKZ) . Dalam kompetisi sebenarnya ada beberapa pemain Indonesia yang turut bertanding, bahkan termasuk sosok sepuh FGC lokal, Bram Arman. Namun satu yang mencolok adalah sosok Aron Manurung. Menggunakan Nash, Zeku, dan Vega, Aron mendapat pencapaian yang cukup baik, terhenti di babak Losers Quarter-Final setelah kalah 3-0 melawan pemain asal Singapura, Gavrel Saw (Bravery).

Sumber: Capcom Pro Tour
Sumber: Capcom Pro Tour

Maka dari itu, saya mewawancara Aron secara singkat, membahas soal sepak terjangnya selama mengikuti CPT Online SEA 1. Pertama-tama soal perubahan format. Perubahan menjadi online, tentu secara tidak langsung memberikan tantangan dari segi teknis kepada pemain. Apalagi netcode SF V bukan dibilang yang terbaik, yang kadang bisa memberi keuntungan kepada mereka yang mengalami lag.

“Dalam turnamen ini, untungnya ada beberapa peraturan yang diterapkan. Seperti minimum internet speed, list of banned stage serta costume, dan kewajiban menggunakan LAN untuk koneksi internet. Tapi pada saat top 8, sempat ada waktu terbuang karena ada pemain yang masih menggunakan Training Stage, yang mana stage tersebut memang dilarang dalam top 8.” tukas Aron.

“Tantangan teknis, pasti adalah untuk memastikan Internet dalam kondisi prima. Namun, saya mengakui memang netcode SFV masih belum sempurna. Beberapa koneksi ke negara tertentu tidak sebagus negara lain sesama SEA. Bagusnya lagi adalah, Sebelum real match, kami diberi kesempatan untuk tes koneksi, yang nantinya akan diberi pertimbangan dari organizer, apakah match bisa dilaksanakan atau tidak.”

Sumber: Foto Pribad
Aron Manurung, salah satu pemain SFV terkuat asal Indonesia hingga sejauh ini. Sumber: Foto Pribadi

Selain soal itu, Aron juga memberikan alasannya seputar karakter yang ia gunakan, juga alasan kenapa Seth masih kuat hingga saat ini. “Kalau pemilihan karakter, saya kebanyakan pakai Nash sampai top 16.” Aron membuka pembahasan. “Saat masuk level top 8, baru saya pakai Zeku saat lawan pemain asal Thailand, MindRPG. Alasan saya ganti karakter saat itu adalah karena adaptasi dia sangat baik terhadap Nash dan Vega yang saya gunakan. Jadi saya coba peruntungan matchup knowledge dan menghadapi Bison miliknya dengan Zeku.” Aron menjelaskan bagaimana ia bisa menang lawan MindRPG di Losers Round 1.

“Saat lawan Bravery, saya sengaja pakai Zeku dan Vega karena secara mekanik, Nash memang cukup kesulitan melawan Cammy. Apalagi, Bravery juga bermain dengan sangat solid, dan saya belum bisa menang lawan Cammy miliknya.” tukas Aron soal pertandingannya lawan Bravery.

Jika Anda penasaran dengan permainan Aron pada kompetisi CPT Online 2020 SEA 1, Anda bisa tonton pada video di bawah ini. Tenang… Video sudah saya atur supaya langsung menuju pertandingan Aron, supaya Anda tidak kerepotan.

Membahas Seth, Aron juga memberikan sedikit pendapatnya. “Kalau bicara soal Seth, saya mengakui memang tergolong sebagai karakter top tier karena gerakan-gerakan miliknya yang serba bisa, mulai dari Anti-Air, Invicible Reversal, Easy Hit Confirm dan lain sebagainya. Walau demikian, saya lihat balancing karakter ini sudah cukup jika berkaca kepada CPT SEA saja. Karakter yang digunakan kontestan variatif, walau memang, karakter mid/high-tier seperti Cammy, Ibuki, termasuk Seth tetap mendominasi. Soal saya menggunakan Seth, sebenarnya kepingin, tapi saya masih latihan menyempurnakan cara main karakter ini dulu, karena masih belum lancar dan jujur belum percaya diri pakai Seth kalau untuk kompetisi.” Aron memberi pandangannya soal Seth dan balancing karakter SFV dilihat dari CPT SEA kemarin.

Terakhir, Aron menceritakan soal tantangannya selama turnamen ini, dan apa yang ingin ia capai di CPT SEA berikutnya. Jika bicara soal musuh terberatnya, Aron menjawab Chuan, yang adalah runner-up dari turnamen ini. “Dia yang melempar saya ke loser-bracket, dan membuat saya jadi berjuang ekstra. Ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Nash dan dua karakter lain yang saya kuasai memang bad matchup melawan Guile (karakter Chuan). Kedua, Chuan bermain dengan sangat solid menggunakan Guile, yang membuat makin sulit lagi dikalahkan.”

Membahas soal keberhasilannya mendapat peringkat 5 di CPT Online SEA 1 ini, Aron mengaku ia sudah cukup puas. “Karena target awal saya sebenarnya top 8 saja.” Aron menjelaskan. “Untuk CPT SEA bulan September nanti, saya menaikkan target jadi harus bisa top 3. Semoga bracket mengizinkan, juga semoga saya sudah jadi lebih baik, dan bisa mengalahkan Chuan nantinya.”

Selamat untuk Aron! Sungguh perjalanan yang membanggakan bagi FGC lokal, terutama komunitas SFV Indonesia. Semoga di CPT Online SEA 2, Aron bisa mencapai apa yang ia targetkan, dan kembali memberikan yang terbaik bagi FGC Indonesia.

Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Sumber: Reddit
Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai ‘ding-dong’. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Sumber: VentureBeat
Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Sumber: Kotaku.com
Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports
Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esports game ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esports mobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.

Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esports mobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

EVO 2020 Umumkan Lineup Game yang Dipertandingkan

Lama ditunggu-tunggu, penyelenggara Evolution Championship Series (biasa disebut EVO) akhirnya umumkan jajaran game yang akan dipertandingkan di dalamnya. Sebagai salah satu festival fighting game terbesar, tak heran jika EVO mempertandingkan banyak game di dalamnya. Tahun ini pada EVO 2020, ada 9 game yang akan dipertandingkan.

Ada beberapa kejutan yang dari pengumuman lineup EVO 2020 ini. Salah satunya adalah kehadiran kembali Marvel vs Capcom ke dalam jajaran. Menariknya alih-alih mempertandingkan Marvel vs Capcom: Infinite (2017), EVO 2020 malah menggunakan Marvel vs Capcom 2 (2000).

Memang, game tersebut punya sejarahnya sendiri di dalam festival fighting game yang sudah terselenggara selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini. Salah satunya seperti sejarah pemain legendaris, Justin Wong, yang sudah memenangkan 7 gelar EVO pada cabang Marvel vs Capcom 2. Terlebih, komunitas juga menganggap Marvel vs Capcom: Infinite terlalu banyak kekurangan, seperti kurangnya lineup karakter yang disajkan, ketidakhadiran karakter X-Men, sampai art style yang terlihat biasa saja. Dengan ini, maka berikut lineup EVO 2020:

  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Tekken 7
  • Street Fighter V
  • Dragon Ball FighterZ
  • Granblue Fantasy: Versus
  • Samurai Shodown
  • SoulCalibur VI
  • Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r]
  • Marvel vs. Capcom 2 (invitational)

Marvel vs Capcom 2 akan hadir dengan format invitational, sebagai cara memperingati 20 tahun kehadiran game tersebut menemani FGC internasional. Dalam turnamen bertajuk 20urnament of Champions, delapan pemain, termasuk empat juara EVO MvC 2 terdahulu akan bertanding memperebutkan gelar best-of-the-best.

Selain dari itu, fakta menarik lainnya soal lineup EVO 2020 ini adalah ketidakhadiran Mortal Kombat, BlazBlue, dan kemunculan Granblue Fantasy. Terkait Mortal Kombat ini adalah untuk pertama kalinya Mortal Kombat atau Injustice tidak hadir sebagai lineup utama di EVO sejak 2011 lalu.

Soal BlazBlue dan Granblue Fantasy juga jadi hal menarik. Ini mengingat tahun lalu dan pada EVO Japan 2020, BlazBlue: Cross Tag Battle muncul di panggung utama EVO. Alasan ketidakhadiran BlazBlue di sini mungkin karena sang pengembang, Arc System Works, sedang ingin memperkenalkan Granblue Fantasy: Versus yang akan rilis 6 Februari 2020 mendatang.

EVO 2020 akan digelar di Mandalay Bay, Las Vegas, Amerika Serikat, mulai dari 31 Juli sampai 2 Agustus 2020 mendatang. Akankah kita melihat kejutan menarik lainnya dalam salah satu turnamen tertinggi di skena kompetitif fighting game ini?

Sumber header: EVO Official

Bersiap Untuk Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament!

Mengawali tahun 2020, Hybrid mencoba hadir dengan berbagai variasi baru lewat gelaran yang diadakan. Contohnya kemarin, Hybrid sempat bekerja sama dengan komunitas Smash lewat Batavia Gamers untuk mengadakan Batavia Brawl: Pre-Season. Selain itu, ada juga Road to Hybrid Cup, yang menjadi gelaran turnamen sebagai bentuk persembahan Hybrid bagi komunitas Rainbow Six Siege Indonesia, R6 IDN.

Rentetan gelaran ini tentu tidak berhenti sampai di situ saja, karena untuk selanjutnya akan ada Hybrid Cup Series – Play on PC bertemakan Fighting Game Tournament. Untuk kali ini, Hybrid bekerja sama dengan salah satu dedengkot di dunia esports fighting game Indonesia, Advanced Guard.

Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament menghadirkan 3 cabang game, yaitu Tekken 7, Street Fighter: V, dan Soul Calibur VI sebagai pendatang baru. Selain itu, dalam hal Tekken 7, Hybrid Cup Series kali ini hadir sedikit beda karena mempertandingkan para petarung tingkat rookie.

Untuk itu, Hybrid Cup kali ini akan menggunakan daftar Advanced Player Tekken 7 milik Advanced Guard untuk menentukan kelas pemain. Pemain yang masuk dalam daftar tersebut adalah pemain-pemain yang aktif mengikuti berbagai turnamen yang diselenggarakan oleh Advance Guard selama tahun 2019 di regional Jabodetabek, dan tidak boleh mengikuti Hybrid Cup Series – Play on PC Fighting Game Tournament. Pemain yang masuk daftar tersebut adalah pemain yang berhasil mendapatkan peringkat 16 besar pada turnamen dengan partisipasi 64 orang, atau pernah masuk 32 besar di turnamen dengan partisipasi 128 orang.

Sumber: Advanced Guard
Sumber: Advanced Guard

Wiku Baskoro selaku Co-Founder Hybrid.co.id memberikan pandangannya terkait hal ini. “Tekken untuk rookie diadakan pada Hybrid Cup kali ini karena kerja sama dengan Advanced Guard yang punya rank list untuk Tekken. Rencananya Tekken rookie ini akan jadi babak awal untuk turnamen Tekken yang berkelanjutan. Ke depan, semoga akan ada turnamen Tekken lainnya dengan kategori yang berbeda-beda.”.

Bram Arman selaku Co-Founder Advanced Guard juga menambahkan. “Berhubung Hybrid Cup kali ini adalah hasil kerja sama antara Advanced Guard dengan Hybrid, jadi saya usulkan untuk bikin multiple turnamen. Bicara soal pilihan game, kalau Tekken sudah jelas, pemain-pemaninya banyak yang haus kompetisi. Tapi, berhubung Tekken sudah banyak kompetisi, makanya saya dan mas Wiku setuju untuk membuat Tekken rookie di kompetisi ini dan berharap nantinya bisa berjalan secara berkelanjutan dengan kategori yang lain.”.

“Kalau Street Fighter dan Soul Calibur dipilih karena saya sendiri kepingin perkembangan FGC bisa lebih merata di Indonesia. Soul Calibur mungkin terbilang baru muncul di Hybrid Cup. Namun demikian, saya dan mas Wiku sepakat memilih game ini karena sejak awal rilis, saya lihat pergerakan komunitas cukup solid. Maka dari itu saya juga dengan senang hati membantu komunitas Soul Calibur.” Bram melanjutkan.

Sumber: Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Hybrid – Ajie Zata

“Untuk Hybrid, saya sendiri berharap semoga Hybrid Dojo semakin dikenal banyak pihak. Supaya nantinya kompetisi seperti Hybrid Cup Series ini bisa jadi lebhi heboh lagi, lebih besar lagi.” Bram menutup komentarnya sambil mengatakan harapannya terhadap Hybrid Dojo.

Pendaftaran Hybrid Cup Play on PC dibuka sejak tanggal 15 Januari 2020 kemarin sampai 31 Januari 2020 mendatang. Untuk mendaftar, Anda dapat langsung pergi ke tautan bit.ly/hybridfight. Informasi lebih lanjut seputar Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament, Anda dapat mengunjungi tautan yang satu ini.

Pertandingan Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament akan diadakan pada 8 Februari 2020 mendatang di Hybrid Dojo, Kemang, Jakarta Selatan. Persiapkan diri, dan tunjukkan kemampuan Anda di Hybrid Dojo!

Team Ninja Umumkan DEAD OR ALIVE 6 World Championship

Team Ninja, pengembang game Dead or Alive 6 (DoA 6), mengumumkan kehadiran DoA 6 World Championship tahun ini. Menghadirkan total hadiah US$90 ribu (sekitar Rp12 milyar), kompetisi ini menjanjikan akan memiliki regional qualifier dan gelaran Grand Final di Jepang.

Bagi Anda yang mungkin masih cukup awam dengan ragam game fighting, mari saya jelaskan terlebih dahulu apa itu Dead or Alive secara singkat. Game ini merupakan game fighting besutan Tecmo dan Team Ninja. Seri ini pertama kali rilis tahun 1996, dan muncul dengan ciri khas sebagai game fighting 3D bertempo cepat. Seiring perkembangan, entah kenapa Dead or Alive mengalami pergeseran, dan kini lebih terkenal sebagai game fighting dengan jejeran petarung perempuan yang super seksi.

Sumber: Team Ninja Official Sites
Sumber: Team Ninja Official Sites

Kualifikasi internasional DoA 6 World Championship pertama kali dimulai pada 20 April 2019 dalam event THE MIXUP di Lyon, Perancis. Tentunya kualifikasi tidak hanya diadakan di Perancis saja. Akan ada serangkaian turnamen lain sepanjang 2019, untuk melengkapi 16 petarung terbaik yang akan bertarung dalam pertandingan Grand Final di Jepang nanti.

Mengutip laman resmi Team Ninja baru ada 3 kompetisi untuk regional Asia. Kompetisi tersebut adalah Asia Qualifier di Taiwan yang dijadwalkan musim panas 2019 ini (Antara Juni – September), Fatal Match di Jepang yang dijadwalkan musim gugur 2019 (Antara September – Desember), dan Asia Online Qualifier yang masih bertandakan TBD.

Lebih lanjut soal kualifikasi, kabarnya juga DoA World Championship akan menggunakan sistem poin, sistem kualifikasi yang kerap digunakan dalam ragam esports game fighting. Regional Amerika Serikat, Asia, dan Eropa akan memiliki leaderboard poin masing-masing. Nantinya top 5 dari Amerika Serikat, top 3 dari Asia dan Eropa akan lolos untuk bertanding di babak Grand Final. Lima spot lain akan diberikan kepada pemenang gelaran kompetisi offline Fatal Match, dan DEAD OR ALIVE Festival.

Walaupun insiatif esports dari Team Ninja sebenarnya cukup baik, namun kenyataannya adalah, keseriusan game DOA selama ini kerap dipertanyakan oleh komunitas FGC. Membicarakan hal ini, Bram Arman, Founder dari Advance Guard, yang juga bisa dibilang sesepuh komunitas FGC, turut angkat bicara. “Bicara soal kompetisinya sendiri, sebenarnya nggak jauh beda dari game fighting world tour lainnya, yang bersifat open tournament. Lalu kalau bicara soal kesempatan Indonesia dalam kompetisi ini, sejauh yang saya tahu anak anak FGC Indonesia jarang ada yang betul-betul serius main game ini.” ujar Bram.

Sumber: Team Ninja Official Sites
Sumber: Team Ninja Official Sites

Lalu, apakah dengan insiatif esports dari Team Ninja akan meningkatkan perhatian komunitas FGC Indonesia terhadap game yang satu ini? Bram menambahkan, menurutnya hal ini tidak berpengaruh besar. “Nggak ngaruh kalau komunitas lokalnya nggak ada. Ini terbukti dengan Injustice dan Killer Instinct yang punya world tour, tapi tetap tidak ada orang Indonesia yang main dengan serius.” jawab Bram.

Apakah dengan inisiasi esports dari Team Ninja ini, kesuksesan DOA sebagai game fighting bisa meningkat? Siapa yang tahu, kalau ternyata konten game yang “menghibur”, dipadukan dengan esports, menjadi sebuah kunci kesuksesan sebuah game.