Laris Manis Bisnis “Food Delivery” Selama Pandemi

Industri jasa antar makanan (food delivery) mencatat kinerja yang memesona sepanjang pandemi karena anjuran pengurangan mobilitas keluar dari rumah. Meskipun, di sisi lain, secara langsung memengaruhi turunnya kinerja industri transportasi.

Laporan tahunan e-Conomy SEA 2020 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company mengungkapkan pertumbuhan GMV food delivery tidak cukup untuk mengimbangi kontraksi di sektor transportasi di enam negara Asia Tenggara. GMV yang tercatat dari jasa antar makanan pada tahun ini mencapai $6 miliar, sedangkan transportasi lebih rendah $1 miliar yakni $5 miliar.

Di tahun lalu, tercatat GMV jasa antar makanan mencapai $5 miliar dan transportasi $8 miliar. Dari berbagai faktor pemicu selama pandemi, kondisi tersebut mengubah industri pengantaran makanan menuju jalan yang lebih mulus. e-Conomy SEA memprediksi pada 2025, industri pengantaran makanan akan mendominasi dengan GMV $23 miliar, sementara transportasi $19 miliar.

Food delivery awalnya dianggap sebagai suatu kemewahan, tapi kini penyelamat buat banyak keluarga. Sementara transportasi masih menjadi perhatian buat banyak orang untuk mengurangi aktivitas. Sebagai hasilnya [GMV tahun ini] jasa antar makanan dan transportasi terjadi koreksi,” papar Partner and Leader Bain & Company Alessandro Cannarsi saat konferensi pers secara virtual, Selasa (24/11).

e-Conomy SEA juga menyoroti lonjakan volume pencarian untuk order makanan yang terjadi per negara selama lockdown diberlakukan. Keenam negara yang diriset memperlihatkan empat negara alami kenaikan yang signifikan lebih dari 10 kali dibandingkan pada empat tahun silam, kecuali Singapura dan Vietnam. Di Indonesia tercatat volume pencarian naik 13 kali dan Thailand hingga 20 kali.

Lonjakan ini bisa diartikan mulai timbulnya ketergantungan masyarakat terhadap layanan tersebut. Terlebih ada garis tipis yang memisahkan antara layanan online grocery dengan makanan.

e-Conomy SEA melaporkan, WFH membentuk kebiasaan baru untuk memasak dari dapur sendiri (selaras dengan kenaikan online grocery). Tren tersebut dijawab dengan perluasan vertikal bisnis para pemain jasa antar makanan. Tidak hanya siap santap (ready-to-eat), tapi juga kebutuhan sehari-hari.

Di Indonesia sendiri, pemain terdepan yang saling berkompetisi di segmen ini adalah GoFood dan GrabFood karena ekosistem food tech yang lengkap dan meng-cover area nasional.

Dapur Bersama GoFood / Gojek
Dapur Bersama GoFood / Gojek

Pemain lainnya, dengan cakupan lebih terbatas, punya armada sendiri, dan layanan yang lebih niche dihuni oleh Yummy Corp, Kulina, Gorry Holdings, Wakuliner dengan cakupan lebih dari satu kota, disusul pemain lokal DapurGo (Yogyakarta) dan Homade (Jakarta).

Cerahnya prospek ini juga diartikan secara luas sebagai kesempatan untuk bertahan. Menyambung tulisan sebelumnya, sejumlah pemain direktori dan review tempat makan (food directory) yang beroperasi di Indonesia melebarkan bisnisnya ke segmen ini agar tetap relevan dengan kebutuhan. Dari catatan DailySocial, mereka adalah Chope, Qraved, dan Traveloka Eats.

Mereka tidak menyediakan armada sendiri karena memerlukan kapital yang besar untuk bersaing. Pasar jasa antar makanan ini, khususnya buat Gojek dan Grab, dibentuk dengan subsidi gila-gilaan untuk menciptakan permintaan.

Strategi yang sama juga diambil Tabula. Pemain ini masih baru di Indonesia dan cakupan pengantarannya baru ada di sebagian Jakarta, Bekasi, Karawang, Tangerang, Depok, Bogor, dan Bandung. Tabula bermain sebagai direktori restoran berbagai brand dan membangun sistem back-end untuk kemudahan pesan antar dan terintegrasi dengan sistem pembayaran uang elektronik.

Model bisnis Tabula sedikit beririsan dengan Hangry yang mengoperasikan banyak brand makanan di bawah benderanya. Keduanya juga tidak memiliki armada sendiri untuk antar makanan, tetapi memanfaatkan kehadiran armada dari Gojek atau Grab.

Pertimbangan yang sama juga diambil Chope. Dalam wawancara bersama DailySocial, General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty menjelaskan bermain di jasa antar makanan benar-benar menantang, juga mahal. Unit ekonominya sangat sulit untuk dibenarkan, kecuali perusahaan tersebut memiliki volume yang besar, terutama jika perusahaan menangani antar logistik juga.

“Beruntung bagi kami, di Indonesia kami tidak terlibat dalam bagian logistik pengiriman,” terangnya.

Dia melanjutkan, “Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Pemain food tech Direktori Jasa antar Cloud kitchen Voucher Dine-in / Takeaway / Pickup Cakupan layanan B2B
GrabFood X X X X Nasional
GoFood X X X  X Nasional
Kulina X X (armada sendiri) X Jadetabek X
Gorry Holdings X X (armada sendiri) Jakarta, Tangerang X
Yummy Corp X X (armada sendiri) X Jakarta, Tangsel X
Traveloka Eats X Pihak ketiga X X Nasional (terbatas)
Wakuliner X X (armada sendiri) Jadetabek, Surabaya X
DapurGo X X (armada sendiri) Yogyakarta X
Homade X X (armada sendiri) Jakarta X
Tabula X X (Pihak ketiga) X Jabodetabek, Bandung
Hangry X X (Pihak ketiga) X X Jabodetabek
Qraved X X (Pihak ketiga) Kota besar di Jawa, Bali, dan Medan
Chope X X (Pihak ketiga) X X Jabotabek
Eatigo X X X Jadetabek

Pemain dari luar Indonesia

Gambaran dari e-Conomy SEA memperlihatkan betapa besarnya ceruk foodtech di masa mendatang. Amerika Serikat punya DoorDash, UberEats, Postmates, dan lainnya, Inggris ada Deliveroo, Tiongkok ada Meituan, dan India punya Swiggy dan Zomato.

Dari diskusi singkat yang diadakan Tech In Asia beberapa waktu lalu, COO Swiggy Vivek Sunder bercerita, industri ini bisa tumbuh dengan cepat karena tiga faktor, yakni keberadaan teknologi, consumer centricity, dan timing yang pas.

Swiggy mengambil pendekatan yang revolusioner untuk eskalasi bisnisnya. Di 3,5 tahun pertama, perusahaan menerapkan cara umum setiap ekspansi ke kota baru dengan merekrut dan melatih kurirdan mendatangi tiap restoran untuk onboard ke dalam aplikasi.

Proses ini membuat ekspansi perusahaan lamban karena dalam 3,5 tahun baru masuk ke 10 kota. Bila dihitung secara manual, untuk masuk ke seluruh India butuh waktu bertahun-tahun. Bertahan dengan cara ini tentu tidak membuat perusahaan jadi kompetitif. Cara kerja akhirnya diubah menjadi disruptif.

“Cara ini tentu pada awalnya tidak membuat banyak orang di internal senang. Tapi kita ini adalah perusahaan database. Kita percaya teknologi dan sangat mengandalkan itu,” terang Vivek.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Cara disruptif akhirnya dipilih dengan masuk ke lima kota dengan merepresentasikan populasi tinggi di sana. Lalu crowdsource semua informasi yang konsumen mengenai apa yang mereka minta untuk dikerjakan Swiggy, mengingat perusahaan tidak mengenal baik bagaimana kondisi di sana.

“Kami tidak menaruh satupun orang di kota tersebut, semua dilakukan secara remote. Kami bertanya ke konsumen, restoran mana yang ingin kami hadirkan untuk kamu. Jawaban ini kami kumpulkan secara crowdsource untuk mencari tahu lebih dalam. Ketika berhasil bisa langsung dieskalasi skalanya jadi lebih besar.”

Cara kerja disruptif ini sukses memboyong Swiggy, dalam kurun waktu 12-15 bulan, menambah 500 kota di India.

Baginya, kunci terpenting yang harus ada di perusahaan food delivery adalah memahami betul apa maunya konsumen. Oleh karenanya, perusahaan sangat mengandalkan penggunaan data analitik, data science, untuk mendapat lebih jauh insight mendalam secara real time mengenai konsumen, baik secara aspek perilaku dan kualitatifnya.

Untuk itu, perusahaan membuat tim baru “CTO”. Bukan kepanjangan dari Chief Technology Officer, melainkan Consumer Technology Operations. “Percuma kalau punya aplikasi bagus, tapi kalau makanan tidak sampai dalam 30 menit konsumen tidak akan pakai lagi. Jadi mau food delivery, grocery, atau layanan lainnya, operasional itu harus yang terbaik.”

Layanan Swiggy kini sudah berkembang luas. Selain pengantaran makanan, ada grocery, jasa pengantaran yang hiperlokal, dan produk dairy. “Banyak vertikal yang sudah kita masuki, ada yang sudah pilot. Jadi setelah Covid-19 kita bisa menjadi pemain food plus plus,” ujarnya.

Apakah pasar jasa antar makanan lebih cepat mature?

Meski pemain jasa antar makanan makan ramai, bukan berarti membuat pasar langsung jenuh. Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi menjelaskan, bisnis F&B, termasuk di dalam jasa antar makanan, amat besar ceruknya dan masih akan terus berkembang dengan cepat.

Potensi tersebut lebih dari cukup untuk menampung beberapa pemain besar di dalamnya. Terlebih dari sisi masyarakat sudah semakin nyaman untuk menggunakan layanan ini. Bisa dipastikan pasarnya terus bertambah setiap harinya.

“Di Amerika dan Eropa, misalnya, ada beberapa pemain besar di sektor ini [Deliveroo, UberEats] dan startup-startup baru sejenis terus bermunculan, sehingga industrinya tetap dinamis dan pemainnya harus terus berinovasi,” ujarnya.

Oleh karenanya, belum pas bila melihat industri ini sudah mature lebih cepat karena justru masih sangat muda. “Untuk menjadi saturated sepertinya masih butuh waktu yang cukup lama.”

Hal yang sama diamini Managing Partner AC Ventures Adrian Li. Menurutnya menyimpulkan pasar jasa antar makanan sudah mature itu terlalu dini, melihat adopsi teknologi oleh restoran masih dalam tahap awal.

Meskipun demikian, pemenang industri ini pada jangka panjang kemungkinan besar tidak akan muncul dari sisi B2C, tetapi B2B dengan produk yang terintegrasi — bekerja sama dengan para pemilik restoran.

Adrian melihat jasa antar makanan semakin mengakar sebagai bagian penting dari pendapatan restoran santapan kasual. Sementara startup direktori restoran, yang hanya mendukung bagian front end dari restoran untuk meningkatkan traffic, memerlukan integrasi sebagai nilai tambah. Terlebih bisnis direktori ini harus bersaing dengan pencarian di Google.

“Menyediakan pengalaman pelanggan yang terbaik berarti membuat arus transaksi yang lebih efisien. Namun, untuk melakukan hal ini tidak hanya memerlukan integrasi pembayaran tetapi juga sistem ERP untuk restoran karena mengelola pesanan akan menjadi bagian penting dalam menyiapkan pesanan takeaway atau jasa antar makanan.”

Dia mencontohkan, salah satu bisnis yang sudah mengembangkan sistem ERP tersebut adalah perusahaan SaaS lokal bernama ESB dengan layanan EZ Order, portofolio AC Ventures. Perusahaan ini menawarkan platform manajemen restoran full-stack, memungkinkan integrasi yang mudah dari semua plaform pemesanan online, entah itu situs atau dari media sosial.

Startup “Food Discovery” Tertatih-tatih Sepanjang Pandemi

Startup direktori dan review tempat makan (food discovery) ikut menjadi korban efek pandemi karena berkurangnya mobilitas masyarakat di kala waktu senggang untuk makan di luar rumah. Menurut catatan DailySocial, setidaknya tahun ini saja ada empat startup segmen ini yang gulung tikar di Indonesia.

Mereka adalah Eatsy, MariMakan, Club Alacarte, dan terakhir Zomato. Zomato baru saja membubarkan tim operasionalnya di Indonesia, meski aplikasi dan situsnya masih bisa diakses. Pemain yang tersisa, seperti Chope, Qraved, Eatigo, dan Traveloka Eats, mendiversifikasi bisnisnya ke pengiriman makanan demi menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Hanya PergiKuliner yang masih bertahan sebagai startup direktori.

Menurut Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li, sebenarnya industri F&B di Indonesia bernilai miliaran dolar karena kelas menengah yang tumbuh pesat. Ini merupakan salah satu faktor mengapa industri ini terus menarik startup teknologi yang didukung oleh modal ventura.

Namun, bisnis direktori menjadi salah satu vertikal bisnis yang harus “gigit jari” karena mereka gagal memonetisasi dan mewujudkan visinya sebagai perusahaan berkelanjutan.

“Banyak dari model awal ini fokus sebagai direktori atau listing yang berhasil memperoleh dan mempertahankan traffic yang signifikan, tapi tidak mampu menghasilkan pendapatan iklan yang signifikan. Pada akhirnya bisnis tutup atau perlu pivot,” terang Adrian kepada DailySocial.

Lebih dalam dijelaskan, startup direktori kebanyakan mengandalkan iklan sebagai model bisnis inti. Sayangnya mereka tidak dapat mencapai skala monetisasi. Permasalahan terjadi karena pendapatan iklan yang rendah dari restoran, dominasi bisnis jaringan restoran vs standalone, dan tingginya konsentrasi bisnis restoran berbasis mal.

“Covid-19 hanya mempercepat penutupan perusahaan-perusahaan tersebut pada bisnis yang non sustainable di Indonesia.”

Oleh karena itu, sambungnya, perlu ada perubahan strategi bisnis dengan menjadikan food directory sebagai fitur tambahan, bukan sebagai bisnis yang berdiri sendiri. Bisnis seperti ini dapat menjadi mesin pencetak traffic yang efektif dan berguna untuk konsumen.

“Tapi dengan catatan harus tetap menghasilkan pendapatan langsung untuk restoran. Model ini potensial untuk ini menjual kupon, pengiriman, memesan terlebih dahulu, atau pick up. Kami telah melihat ini sebagai pendorong yang kuat untuk Gojek melalui Go-Food yang pada dasarnya listing + pengiriman.”

Chope masuk ke layanan pengiriman makanan

Formula yang disampaikan Adrian cukup mencerminkan kondisi yang terjadi sekarang ini. Banyak startup foodtech yang berbondong-bondong menyediakan jasa pengiriman makanan.

Chope jadi salah satu yang terjun ke sana, meski tidak langsung. Menurut penjelasan General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty, pandemi ini membawa seluruh industri F&B dan perusahaan ke dalam posisi yang sulit. Chope sendiri fokus sebagai platform reservasi dine-in untuk konsumen yang ingin menikmati suguhan di restoran favorit.

Lockdown merupakan hambatan terbesar bagi Chope karena hal itu membuat bisnis kami benar-benar terhenti,” katanya.

 General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope
General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope

Kondisi tersebut tidak serta merta membuat Chope harus memberhentikan karyawan. Karthik memastikan tidak ada pemberhentian siapapun di tim Chope, baik di Indonesia atau di negara lain. “Kami semua mengambil pemotongan gaji dan untungnya model bisnis kami memungkinkan kami memiliki sejumlah cadangan yang tidak mengharuskan kami untuk layoff.”

Ia menceritakan, CEO perusahaan mengatakan “Don’t let a crisis go to waste!”. Jangan biarkan krisis jadi sia-sia (karena tidak melakukan apa-apa) kepada seluruh tim Chope. Oleh karena itu tim bekerja keras mengembangkan layanan baru Chope on Delivery.

Di Singapura, markas Chope, mereka bekerja sama dengan operator taksi lokal sebagai mitra pengirim makanan untuk mitra restoran Chope. Layanan ini hadir karena restoran kelas atas mengeluh karena biaya yang harus dibayarkan kepada kurir operator lokal terlalu mahal.

“Tim produk dan engineer kami bekerja non stop selama 72 jam untuk memodifikasi produk existing agar konsumen dapat memilih menu spesifik, terintegrasi dengan aplikasi taksi, dan kami mulai onboard restoran di Singapura untuk memasukkan menu mereka. Setiap pesanan akan dikirim ke taksi terdekat untuk melakukan pengiriman.”

Orang Singapura memang secara rutin memesan makanan di restoran kelas atas, sehingga cara ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia.

Untuk itu, Chope on Delivery di Indonesia dimodifikasi. Disebutkan Chope sulit menemukan mitra dalam waktu cepat dan proses integrasi yang memakan waktu. Karthik juga tidak ingin berkompetisi langsung dengan GoFood atau GrabFood.

Chope memiliki layanan e-commerce di dalam platform-nya. Akhirnya mereka menjual voucher dari berbagai paket menu, katering, maupun reguler, yang dijual mitra restoran. Pembeli dapat mengklaim voucher tersebut dengan mengontak restoran melalui WhatsApp. Pengiriman akan dilakukan melalui GoSend atau GrabExpress.

“Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Respons konsumen terhadap layanan ini, klaim Karthik, tidak buruk dari kacamata bisnis — meski belum signifikan jika dibandingkan sebelum pandemi.

“Namun yang terpenting adalah mitra restoran kami melihat bahwa kami masih berusaha melakukan berbagai hal untuk mendukung mereka dan mereka sangat menghargai hal ini. Melalui fitur ini, kami berusaha terus relevan dengan pengguna kami, sehingga mereka tidak perlu melupakan Chope sepenuhnya selama berbulan-bulan lockdown di Indonesia.”

Di luar layanan Chope on Delivery, perusahaan juga membuat diversifikasi bisnis lainnya dengan menjual tiket hotel karena banyak mitra restoran yang berlokasi di dalam hotel. Layanan “Save now, stay & dine later” memungkinkan konsumen untuk staycation di hotel dengan harga murah kapan saja dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan hotel.

Perusahaan membuat program dining voucher yang lebih fleksibel untuk membantu mitra restoran terhindar dari pembatalan dan konsumen yang tidak jadi datang (no-show). “Cara ini efektif menurunkan angka pembatalan karena konsumen dapat mengganti tanggal kedatangan. Tidak perlu membatalkan jika ada hal darurat.”

Ke depannya, Chope ingin memperkuat teknologinya untuk membantu lebih banyak restoran yang terdampak pandemi. Mitra dapat memaksimalkan pendapatannya dengan memanfaatkan sistem manajemen reservasi meja, membangun database yang dipersonalisasi dengan sistem CRM, dan mengantarkan lebih banyak pelanggan ke restoran. Tidak hanya berbentuk visibilitas pemasaran, tetapi juga melacak dan mengirim pelanggan ke restoran.

“Dalam jangka panjang, kami akan perluas layanan ke semua kota tier 1 dan 2 di Indonesia serta dengan perkembangan pesat di industri F&B di negara lainnya.”

PergiKuliner tetap bertahan sebagai direktori

Tim PergiKuliner / PergiKuliner
Tim PergiKuliner / PergiKuliner

DailySocial juga berkesempatan untuk mewawancarai CEO PergiKuliner Oswin Liandow. Ia menceritakan saat PSBB ketat diberlakukan pada Maret kemarin, traffic PergiKuliner terus berkurang. Sebulan setelah pandemi, traffic turun hingga minus 65% atau tersisa hanya sepertiga.

Buruknya kinerja ini harus diantisipasi secara cepat dengan berinovasi. “Kami memperkirakan kapan pandemi berakhir, bagaimana perubahan behavior user saat dan setelah pandemi, apa yang bisa kami lakukan, dan akhirnya ada banyak keputusan yang kami ambil,” tuturnya.

Keputusan terberat akhirnya harus diambil pada awal April dengan efisiensi karyawan. Oswin tidak menyebut berapa banyak karyawan yang terkena dampak. “Ini adalah keputusan terberat yang pernah saya ambil selama membangun PergiKuliner. Namun dengan semua pertimbangan yang ada, kami harus mengambil langkah ini.”

Berikutnya adalah memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk mitra restoran. Akhirnya PergiKuliner memutuskan membantu mereka yang membuka jasa pengiriman gratis dengan membuat laman direktori khusus dengan tagar BebasOngkir. Program ini diklaim sukses. Ada ribuan restoran ikut berpartisipasi.

Setelah PSBB mulai dilonggarkan, perusahaan membuat QR Code untuk melihat menu restoran secara online melalui situs atau aplikasi PergiKuiliner. Diklaim ada ribuan restoran yang sudah menggunakan QR Code dan jumlahnya terus bertambah setiap harinya.

Logo PergiKuliner

Saat PSBB transisi dan mulai dibukanya makan di restoran secara terbatas, traffic PergiKuliner diklaim hampir kembali normal atau 90% dari sebelum pandemi. Oswin meyakini strateginya untuk tetap berada di direktori dan review tempat makan adalah benar karena selalu dibutuhkan.

“Ke depannya kami menyiapkan beberapa proyek baru untuk meningkatkan excitement user. Salah satunya PergiKuliner Berburu Kopi yang akan launch awal Desember. Pengguna bisa mendapatkan gratis satu kopi setelah pergi ke lima coffee shop berbeda. Mereka bisa memilih dari ratusan tenant yang berpartisipasi,” tutupnya.