Perjalanan Berliku J.P. Ellis Membangun Bisnis Sebagai Penduduk Asing di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

John Patrick Ellis, yang akrab disapa J.P., adalah pengusaha teknologi dan keuangan yang telah berbasis di Indonesia selama 15 tahun terakhir. Lahir di Amerika Serikat lalu tumbuh besar di Asia dan Eropa, ia pertama kali datang ke Indonesia untuk bekerja di bidang pembangunan (NGO) pada tahun 2005 dan tetap di sini hingga saat ini sebagai pendiri startup fintech.

Perjalanan karir J. P. penuh dengan pilihan dan kebetulan yang tidak terduga. Berawal dari industri hukum New York hingga pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat di Flores, berperan dalam asosiasi di firma ekuitas swasta regional, meluncurkan aplikasi pesan berbasis lokasi yang dimulai pada tahun 2012, hingga terlibat dalam pendirian Asosiasi Fintech Indonesia dan mendirikan sebuah perusahaan fintech regional yang terbilang sukses.

Dengan latar belakang ilmu politik, hubungan internasional, dan bahasa, J. P. memiliki pengalaman luas dalam kewirausahaan, teknologi, dan perencanaan. Dalam perannya saat ini sebagai CEO grup C88 Financial Technologies, ia mengawasi bisnis fintech yang beragam dalam pengambilan keputusan kredit, analisis keuangan, penilaian kredit, dan ruang peminjaman pasar dengan lebih dari 400 karyawan di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Australia dan Cina. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi J. P. terkait perjalanannya, mengapa Indonesia, mengapa fintech dan bagaimana rasanya mencoba dan berhasil sebagai imigran non-pribumi. Setengah dari diskusi kami terjadi dalam bahasa Inggris, dan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, di mana J.P. berekspresi cukup fasih tetapi dengan sedikit aksen.

Ketika masih muda, pernahkah terpikir oleh Anda untuk memulai bisnis atau menjadi seorang CEO?

Saya lahir di Amerika Serikat tetapi saya menghabiskan masa kecil saya dengan berpindah-pindah setiap beberapa tahun di Asia dan Eropa. Pengalaman berpindah-pindah ini mendefinisikan masa muda saya, dan menjadikan saya orang yang mudah beradaptasi, tangguh, dan berpikiran terbuka.

Sewaktu kecil, impian saya adalah menjadi perenang profesional. Saya berlatih keras dan hasilnya cukup baik dalam kompetisi. Tetapi sekitar usia 16 tahun, saya menyadari kemampuan saya belum bisa mencapai level Olimpiade. Kemudian, saya mengurangi fokus pada olahraga lalu beralih lebih kepada sekolah dan belajar. Tetapi etos kerja yang kuat dari pelatihan renang tetap melekat pada saya, dan telah sangat membantu saya selama bertahun-tahun.

Sejak usia muda, saya selalu suka memikirkan cara memecahkan masalah, tetapi baru di umur ke sekian saya menyadari bahwa hal itu dapat diwujudkan sebagai pendiri. Banyak hal yang saya lakukan sebelum mencapai titik itu, tetapi benang merah karir saya fokus pada pemecahan masalah.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu politik dan hubungan internasional, apa yang sesungguhnya menjadi passion Anda dan bagaimana keduanya bisa berjalan seiring?

Saya gemar memecahkan masalah dan mempertanyakan bagaimana dunia bekerja. Mungkin hal inilah yang benar-benar mendorong dan mendefinisikan saya. Di Indonesia, dan di seluruh dunia, banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, hal itu menciptakan peluang bisnis. Memang tidak semuanya, namun kebanyakan. Banyak perusahaan raksasa dunia berawal dari sini.

Saya lulus dari Universitas Columbia. Lulusan seperti saya biasanya akan melanjutkan gelar Juris Doctor dari sekolah hukum. Kebanyaan teman sudah melakukan ini dan saya berniat melakukannya juga. Setelah lulus, saya bekerja di industri hukum New York di bidang penyelesaian sengketa. Hal itu sangat menarik dan pekerjaan berjalan sangat lancar, tetapi saya hanya duduk di meja sepanjang hari. Ada sedikit rasa hampa. Kemudian, saya melamar beberapa program untuk pekerjaan pembangunan (NGO) dunia. Saya menerima banyak tawaran termasuk satu dari Princeton-in-Asia, tetapi tawaran yang paling menarik adalah dari program afiliasi Universitas Stanford bernama ViA untuk bergabung dengan sebuah proyek di Flores, pedesaan timur Indonesia.

Saat itu, segala sesuatu di Flores sangat terbatas. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan tidak ada air ledeng. Kami harus berjalan melewati hutan untuk sampai ke desa-desa. Mungkin karena ini, tempat itu menjadi penuh dengan kehangatan dan komunitas yang luar biasa. Saya berinteraksi dengan orang Tado, belajar bahasa Manggarai, dan membantu mewujudkan beberapa inisiatif baik di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat untuk masyarakat desa, bekerja dengan guru dan Puskesmas mereka. Itu adalah pengalaman yang sangat memuaskan tetapi juga membuka mata saya.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis bersama Bupati dan Tokoh Etnis di Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT pada tahun 2005

Setelah itu, saya bekerja dengan pengusaha sukses, John dan Cynthia Hardy, yang menjual perusahaan perhiasan internasional mereka kepada perusahaan ekuitas swasta. Setelah penjualan, John dan Cynthia kemudian meminta saya untuk membantu mereka mengubah sebidang tanah kosong di Sibang Kaja, selatan Ubud, menjadi Sekolah Hijau; sebagai karyawan pertama di sana. John dan Cynthia sangat karismatik dan sangat inovatif. Sungguh menyenangkan dikelilingi antusiasme dan energi positif setiap hari. Melalui mereka, saya bertemu dengan istri saya Agatha yang juga bekerja di sana. Saat ini kami telah menikah selama hampir 13 tahun dan memiliki dua anak.

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk bergabung dengan firma ekuitas swasta regional di Singapura dan Jakarta yang didirikan oleh Tom Lembong. Itu disebut Quvat Capital dan Principia Management. Saya belajar banyak dari Tom dan sangat menikmati bekerja untuknya, Brata, dan tim. Saya menghabiskan lebih dari empat tahun di sana dan melakukan banyak proyek yang bervariasi termasuk due-diligence perusahaan, pengadaan dan eksekusi kesepakatan, penggalangan dana, relasi investor, penelitian, restrukturisasi situasi khusus, dan bahkan perdagangan.

Sepanjang waktu ini, saya sangat menikmati berada di sekitar orang-orang pintar dan bekerja langsung dengan perusahaan dalam lingkungan yang dinamis dan bergerak cepat. Meskipun Jakarta adalah kota besar dalam banyak hal, Jakarta mempertahankan nilai-nilai komunitas yang lebih kecil; sopan santun. Saya merasa waktu yang saya habiskan di pedesaan Indonesia bisa membantu saya memahami keaadaan di ibukota pada tingkat yang lebih dalam daripada jika saya datang ke Jakarta langsung dari New York, Paris, atau San Francisco. Adalah sangat penting untuk memahami berbagai hal baik di tingkat mikro maupun makro. Anda tidak dapat benar-benar memahami satu tanpa yang lain.

Sebelum memulai C88Group dan CekAja, Anda sempat mendirikan Harpoen Mobile. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan tersebut?

Sejak tahun 2011, saya yakin bahwa internet akan menjadi kekuatan ekonomi yang sangat kuat di Asia Tenggara. Melihat ke belakang, saya mendapati bahwa tindakan ini terlalu awal. Namun saat itu saya belum menyadarinya. Ditambah lagi, setelah beberapa tahun di bidang private equity, saya merasa ingin memulai dan mengembangkan bisnis sendiri. Saya ingin menciptakan sesuatu dan memecahkan masalah, mudah beradaptasi, dan suka tantangan dan petualangan. Dalam banyak hal, startup teknologi menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan dan mendalami semua ini.

Kami meluncurkan Harpoen Mobile di atas meja makan saya dan rilis produk pertama kami adalah aplikasi iOS dan Android berbasis lokasi yang disebut Harpoen. Kami kemudian menambahkan tumpukan produk gratis yang disebut Mapiary, yang pada dasarnya adalah server iklan berbasis lokasi, dalam upaya untuk menghasilkan pendapatan lebih.

Saya dan rekan pendiri saya senang kami mencoba sesuatu yang orisinal. Saat itu, banyak startup di kawasan ini cenderung meniru model yang sudah ada. Kami merasa bangga karena kami mencoba ide baru. Syukurlah, kami memiliki banyak teman di komunitas teknologi serta media yang mendukung dan menyemangati kami. Kami sempat mewakili Indonesia di World Summit Awards untuk inovasi seluler di Abu Dhabi pada awal 2013, dan menang! Itu merupakan sebuah pencapaian yang cukup bisa diakui dalam hal inovasi.

Tetapi inovasi saja tidak cukup. Pada startup pertama, kemungkinan besar, Anda akan melakukan banyak kesalahan. Kami merasakannya sendiri. Dalam memilih lokasi sebagai inti layanan kami, kami tertahan pada matematika GPS yang tidak fleksibel dan kompleksitas saturasi informasi. Untuk meringkasnya secara singkat, di jaringan informasi biasa konten ada pada dua sumbu, biasanya pencipta dan kebaruan atau relevansi. Lokasi memperkenalkan sumbu ketiga dan dengan demikian mencapai kepadatan informasi matematika secara eksponensial lebih sulit: dunia adalah tempat yang besar dan tidak peduli seberapa besar Anda membuat vektor GPS, akan selalu ada tempat di luar jangkauan dengan konten lama atau tidak ada konten sama sekali. Inilah alasan mengapa banyak layanan berbasis lokasi seperti FourSquare dan Highlight tidak sesukses yang diperkirakan semua orang pada tahun 2012. Dalam bahasa ilmu komputer, konten berbasis lokasi akan digambarkan sebagai algoritma dengan “kompleksitas eksponensial”.

Secara retrospektif, bahkan jika kami telah sukses besar-besaran dan mencapai DAU, model komersial tidak akan berhasil karena monetisasi iklan dan CPM secara komersial sangat sulit untuk diukur di Indonesia bahkan sekarang, apalagi di tahun 2012.

Jadi, setelah setahun mencoba – dan banyak pengalaman luar biasa termasuk menjadi pendiri pertama yang melakukan pitch di TechInAsia Summit pertama di Jakarta pada tahun 2012 – saya bertemu dengan perusahaan periklanan berbasis di Toronto, Kanada yang berencana untuk mengkomersialkan lokasi ke klien perusahaan. Server iklan lokasi Mapiary kami dapat membantu klien mereka seperti Nike mengajak orang-orang melakukan joging interaktif, atau Heineken mengajak orang-orang menjelajahi pub interaktif. Ada banyak kasus penggunaan yang menarik dan mereka sangat antusias, dan saya merasa teknologinya juga lebih cocok untuk Amerika Utara, jadi mereka akhirnya mengakuisisi apa yang telah kami bangun dan saya dapat mengembalikan modal kepada investor. Secara keseluruhan, memang bukan kesuksesan komersial, tetapi memberi saya banyak keberanian dan pengalaman.

Apa yang mendorong Anda untuk membuat CekAja?

Setelah Harpoen Mobile, saya tetap bersemangat mengenai startup. Saat itu, komunitas startup di Indonesia masih cukup kecil dan semua orang saling mengenal. Saya banyak berpikir tentang perubahan dan peluang apa yang akan diciptakan dengan meningkatkan digitalisasi ekonomi, dan teman dekat saya Sebastian Togelang dan Andy Zain juga melakukan hal yang sama. Di penghujung 2013, kami semua berkumpul untuk mendirikan Kejora Ventures. Saya bertindak sebagai entrepreneur-in-residence. Saya mulai membangun perusahaan fintech saya di gedung Barito Pacific di Jakarta, berdampingan dengan Kejora.

Kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa dan diluncurkan di Jakarta dan Manila pada waktu yang bersamaan. Sangat tidak biasa untuk meluncurkan produk di dua negara secara bersamaan, tetapi kami memiliki sumber daya teknis yang dalam dan pendiri yang kuat seperti Stephanie Chung di Manila. Ditambah lagi, fintech di kedua pasar cukup mirp di awal tahun 2013; tidak terjadi satu pasar lebih maju dari yang lain. Jadi kami merasa mengambil pendekatan “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui” akan membantu kami berkembang lebih cepat.

Kami menjadi salah salah satu perusahaan pertama di Jakarta dan Manila yang berhubungan dengan bank terkait model kerjasama fintech/bank. Dengan cepat kami berlari melihat dan mengunjungi setiap ruang rapat di bank. Tetapi yang tidak kami manfaatkan dengan baik saat itu adalah lamanya bank harus beradaptasi dan berubah. Bahkan sekarang, saya masih heran ada banyak bank di wilayah ini yang masih belum mengarah ke digital. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh sisa trauma sektor perbankan dari krisis ’98, dan bahwa institusi besar memiliki insentif yang menghukum kegagalan lebih dari mereka menghargai kesuksesan, sedangkan startup adalah kebalikannya. Jadi insentif asimetris adalah penjelasan terbaik saya ketika orang bertanya kepada saya mengapa laju perubahan tidak secepat ini. Perubahan sedang terjadi, dan COVID-19 telah mempercepatnya.

Di masa-masa awal, kami juga menyadari bahwa undang-undang dan peraturan perlu dikembangkan untuk mendukung inovasi fintech. Mulai tahun 2014, saya bergabung dengan beberapa pengusaha fintech lainnya seperti Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, dan banyak lagi lainnya untuk memulai apa yang kini telah menjadi Asosiasi FinTech Indonesia. Kami juga melakukan pekerjaan advokasi kebijakan serupa di Filipina. Ini menciptakan apa yang menurut saya merupakan momentum untuk banyak regulasi dan aktivitas fintech yang kita lihat saat ini di kedua pasar ini.

Selama bertahun-tahun, baik bisnis maupun asosiasi telah tumbuh dan berkembang. Dalam bisnis sekarang, kami memiliki agregasi pasar, pinjaman pasar, penilaian kredit, agregasi skor, insurtech, solusi manajemen data, analitik, dan manajemen risiko kredit, dan perangkat lunak pengambilan keputusan yang tersedia di cloud dan sebagai lisensi. Kami bermitra dengan Anton Hariyanto, Sulaeman Liong dan Rainier Widjaja untuk kapabilitas perusahaan dan klien kami hampir di setiap bank di negara ini.

Kami memiliki tim yang luar biasa, dan tentu saja ada banyak kemunduran dan tantangan di sepanjang jalan, namun kami bertumbuh dan memberikan nilai kepada klien dan industri. Sementara di Asosiasi, pertumbuhan luar biasa sedang terjadi dan sekarang terdapat ratusan perusahaan fintech di negara ini, dan undang-undang fintech yang jelas, serta keterlibatan yang luar biasa dengan OJK dan BI. Karena itu, menurut saya Indonesia memiliki beberapa hukum dan kebijakan fintech paling inovatif dan jelas di seluruh dunia. Ini adalah pekerjaan seluruh industri dan saya sangat bangga telah memainkan peran kecil di dalamnya.

Pada tahun 2018, C88 Financial Technologies (perusahaan induk CekAja), menerima investasi minoritas strategis dari perusahaan penilaian kredit global Experian.

Anda telah melihat pasar di beberapa belahan dunia, apa yang membuat Asia Tenggara berbeda, khususnya Indonesia?

Wilayah ini unik karena demografi, tingkat pertumbuhan, dan tingkat suku bunganya. Secara regional, Indonesia unik karena ukurannya. Pasar lain di Asia Tenggara masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, dan untuk menjadi sukses secara regional, ada prinsip yang harus Anda perhatikan dengan benar untuk menyeimbangkan kekuatan setiap pasar secara harmonis disamping kelemahan pasar lainnya. Misalnya, walaupun Indonesia besar dan penuh potensi, monetisasi sangat sulit dan konsumen serta perusahaan sangat sensitif terhadap harga. Pasar lain mungkin memiliki jalur monetisasi yang lebih mudah, tetapi ukuran pasar yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lebih sedikit. Oleh karena itu, pendekatan terbaik untuk wilayah tersebut menciptakan keseimbangan di antara elemen-elemen ini.

Bagi mereka yang ingin memulai bisnis teknologi di wilayah ini, mereka harus tahu bahwa pasar sedang bergerak cepat, dan akan tetap seperti ini selama bertahun-tahun yang akan datang. Jangan terintimidasi oleh seberapa cepatnya bergerak atau berpikir itu “terlambat” sama sekali. Sekarang ada penggunaan internet dan penetrasi perangkat seluler yang signifikan, ekosistem usaha yang dinamis dengan banyak modal dan investor profesional, pemimpin dan kisah sukses yang menginspirasi, ada super-app dan juga kisah exit yang sukses melalui penjualan dan IPO. Teknologi cloud mulai muncul dan semakin berkembang dan ini akan membuka jalan bagi model SaaS, undang-undang lebih jelas, dan sekarang COVID-19 telah menciptakan dorongan digitalisasi besar-besaran ini. Setelah semua orang divaksinasi dan ekonomi terbuka kembali, jelas akan ada percepatan model bisnis yang didukung teknologi.

Namun, penting juga untuk tidak membangun startup. Namun, mulailah dengan bisnis. Ketahui ekonomi Anda, ketahui jalan menuju monetisasi dan laba, fokuslah untuk melakukannya dengan baik daripada metrik canggih atau sekedar viral. Terkadang sulit untuk membedakannya, terutama bagi pendiri muda, dan ketika media terengah-engah dan investor menuntut pertumbuhan untuk memenuhi ekspektasi pengembalian dari portofolio mereka. Tetapi sebagai seseorang yang telah melakukan banyak hal dalam bidang ini selama bertahun-tahun, mengalami kesuksesan dan kegagalan, saya dapat mengatakan bahwa ketika Anda benar-benar ingin memulai, mulailah dari bisnisnya dan bukan hanya startupnya.

Menjadi entrepreneur itu tidak mudah, terlebih sebagai sorang pendatang. Apa saja tantangan yang Anda hadapi ketika sampai dan membangun bisnis di Indonesia?

Saya merasa sangat disambut di sini. Negara ini telah memberi saya begitu banyak dan saya bersyukur untuk itu. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan setiap hari, orang-orang yang bekerja dengan saya, dan peluang yang kami miliki untuk memecahkan masalah dan membangun industri yang lebih baik, masyarakat yang lebih baik, dan negara yang lebih makmur.

Saya pikir setiap kesulitan yang saya alami adalah kesulitan yang dialami setiap pendiri: menyesuaikan diri dengan pasar produk, bergulat untuk berada di sisi kanan unit ekonomi, membangun tim yang hebat dan budaya yang sehat, menavigasi krisis COVID-19, dan sebagainya. Saya bahkan tidak akan menyebut kesulitan ini – inilah inti dari menjadi seorang pendiri.

Dalam hal sebagai orang asing, sejujurnya saya bahkan tidak merasakannya lagi. Bagi orang yang mengenal saya dengan baik, hanya ada sedikit gesekan antara diri bule saya dan diri Indonesia saya. Saya merasa nyaman di kedua sisi dan saya menyukainya.

Dengan segudang pengalaman dalam berbisnis, apakah masih ada harapan Anda yang belum tercapai? Pernahkah terpikir untuk pada akhirnya kembali ke Amerika Serikat?

Saya tertarik pada banyak hal dan saya merasa dapat terus menciptakan produk dan layanan yang baru dan inovatif selama beberapa dekade mendatang. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan, banyak masalah yang harus diselesaikan, dan inovasi baru yang harus dibuat.

Khususnya di fintech, industri ini masih di tahap awal. Saya sangat yakin dalam dekade mendatang, perusahaan teknologi akan menjadi yang memanfaatkan data, membuat produk, menulis perangkat lunak, membangun analitik, dan membuat pengalaman pelanggan untuk membuat konsumen dan bisnis Indonesia menjadi bank universal, serta kompetitif secara regional dan global.

Mengenai Amerika Serikat, saya mengakui bahwa negara tersebut perlu membangun kembali masyarakat dan mempercayai serta memulihkan lembaganya dalam konteks pasca-Trump. Amerika Serikat akan membutuhkan orang-orang yang energik dan berkomitmen yang bersedia menyingsingkan lengan baju dan membantu melakukan itu. Saya tidak mengesampingkan bahwa suatu hari nanti, saya mungkin ingin kembali untuk berperan di dalamnya. Tapi sekarang, perusahaan, klien, teman, dan keluarga saya membutuhkan saya di sini, di Indonesia dan di Asia Tenggara. Perlu diingat, kami juga memiliki kehadiran yang signifikan di Filipina, dan ratusan karyawan serta bisnis besar di sana, dan ada banyak peluang di sana yang menyemangati saya.

Terkait pandemi yang sedang terjadi, apakah ada perubahan signifikan yang terjadi pada bisnis Anda?

Klien kami adalah bank dan lembaga jasa keuangan. Banyak yang terpaksa menunda atau menghentikan proyek dan kegiatan karena pandemi. Meskipun mereka tidak berniat untuk menunda, beradaptasi dengan sistem  kerja dari rumah untuk organisasi besar seperti itu merupakan sebuah tantangan, banyak penundaan yang tidak disengaja. Sebagai sebuah bisnis, kami harus sangat fleksibel dan adaptif dengan kenyataan ini untuk memastikan kami dapat terus melebihi ekspektasi klien kami. Kabar baiknya adalah klien kami membutuhkan solusi digital. Kami mengantisipasi iklim pasca-vaksin yang sangat menggembirakan bagi klien dan bisnis kami.

Memasuki tahun 2020, kami merasa siap seperti perusahaan mana pun untuk apapun yang terjadi. Kami memiliki beberapa eksekutif di Beijing, dan karena itu, tim eksekutif dan saya telah menyadari sedini mungkin sejak pertengahan Januari tahun lalu bahwa pandemi global mungkin terjadi. Kami memiliki skenario yang mengarah ke tingkat yang menakutkan yang untungnya penyakit itu tidak pernah mendekati.

Ketika lockdown mulai terjadi di Filipina dan Indonesia pada bulan Maret tahun lalu, saya mengumpulkan seluruh perusahaan dan kami menyusun strategi yang jelas tentang apa yang akan kami lakukan untuk bertahan dari krisis dan memastikan kelangsungan bisnis.

Kami memiliki tingkat kesinambungan bisnis yang sangat spesifik, dan kami menyuruh semua orang pulang untuk bekerja sesuai arahan, kebijakan, dan instruksi yang jelas. Saya juga membuka memo strategi dwi-bahasa kami dan mengirimkannya ke banyak perusahaan dan startup lain. Saya ingin apa yang kami lakukan untuk menanggapi COVID-19 dapat diakses oleh orang lain yang mungkin memiliki keragu-raguan apakah itu akan memengaruhi mereka. Kami mengira COVID-19 akan menciptakan krisis yang akan berlangsung lama dan berat, dan sayangnya, kami benar.

Jelas, tim saya dan saya mampu membuat perubahan yang sesuai pada bisnis untuk menempatkan kami di jalur yang baik. Kami terus melayani klien kami dengan baik, tumbuh secara menguntungkan, dan berinovasi di segmen pasar kami. Dengan vaksin yang mulai diluncurkan sekarang, kami mulai beralih ke pola pikir optimis untuk tahun 2022 dan seterusnya. Kami merasa tahun 2021 akan terus sulit untuk sebagian besar tahun ini, dengan beberapa peningkatan menjelang semester kedua.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para entrepreneur di luar sana yang ingin memulai bisnisnya namun terhalang oleh pandemi?

Menurut saya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk memulai bisnis teknologi. Ya, virus menciptakan tantangan, tetapi vaksinnya juga hampir tiba. Fokus pada tahun 2022 dan seterusnya. Dan jangan berpikir akan terlambat. Dalam teknologi, tidak ada yang benar-benar berakhir karena inovasi akan selalu lahir. Kode terus dikompilasi ulang. Memang benar bahwa hampir 90% dari startup gagal, tetapi jika Anda fokus membangun bisnis daripada memulai, Anda sudah meningkatkan peluang sukses Anda. Hampir setiap pengetahuan yang Anda butuhkan dapat diakses dan mudah dipelajari. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen dan kerja keras untuk melakukannya. Saya melakukan ini, dan banyak kolega serta teman saya yang berkinerja tinggi juga melakukannya. Kami tidak hanya secara ajaib mempelajari subyek baru. Sebaliknya, ini adalah upaya terus-menerus untuk tetap mengetahui apa yang baru dan terkini dengan teknologi dan dunia.

Untuk memulai sebuah perusahaan, Anda harus mengidentifikasi di mana letak masalah besar, bagaimana Anda menyelesaikannya dan bagaimana Anda mengubahnya menjadi sebuah bisnis. Pola pikir ini adalah sesuatu yang saya pelajari dan kembangkan selama bertahun-tahun. Fokus pada masalah dan pelanggan, jadilah mesin pembelajaran, jadilah optimis dan realistis pada saat yang sama, perlakukan orang lain dengan baik, fokus pada komunitas, dan hasilnya akan baik. Indonesia membutuhkan lebih banyak pemecah masalah, hal itu bisa menjadi alasan untuk Anda bisa maju dan menyelesaikan masalah. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

J.P. Ellis’ Unexpected Journey as a Non-Native Tech Entrepreneur in Indonesia

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

John Patrick Ellis, well known in the industry as J. P, is a technology and finance entrepreneur based in Indonesia for the past 15 years. Born in the United States and raised in Asia and Europe, he first came to Indonesia to work in development in 2005 and remains here until today as a fintech founder.

J. P.’s career journey is full of unexpected choices and serendipity. From New York’s legal industry to education and public health work in Flores, associate roles in a regional private equity firm, launching an early location-based messaging application from his Jakarta dining room table in 2012, to helping establish the Indonesian Fintech Association and founding a successful regional fintech company.

With a background in political science, international relations, and languages, J. P. has extensive experience in entrepreneurship, technology and deal-making. In his current role as the CEO of the C88 Financial Technologies group, he oversees a diverse fintech business in the credit decisioning, financial analytics, credit scoring and marketplace lending spaces with over 400 employees in Indonesia, the Philippines, Singapore, Thailand, Australia and China. We caught up with J. P. to discuss his journey, why Indonesia, why fintech and what it’s like to try and succeed as a non-native immigrant here. Half of our discussion was in English, and the other half in his excellent Bahasa Indonesia, where he expresses himself fluently but with a small accent.

When you were young, did you ever dream to start your own business or become a CEO?

I was born in the United States but I spent my childhood moving every few years around Asia and Europe. This experience of movement and change defined my youth, and has made me a very adaptable, resilient and open-minded person.

As a kid, my dream was to be a competitive swimmer. I trained hard and did reasonably well in competition. But around the age of 16, I realized that I wouldn’t quite make it to an Olympic level. So around that time, I decreased my focus on sport and increased my focus on school and study. But a strong work ethic from swim training has remained with me, and has been a big help to me over the years.

From a young age, I always liked thinking about how to solve problems, but it wasn’t until later in life that I realized I could do that as a founder. So I did a lot of things before I became a founder, but the common thread of my career is a focus on problem solving.

You have background study in political sciences and international relations, what is your actual passion and how does it align with your career?

I like to solve problems, and I like to understand how the world works. I think this is what really drives and defines me. In Indonesia, and all over the world, there are so many problems to solve, and solving problems also creates business opportunities. Not all problems are business opportunities, but many of them are. Many of the world’s great companies were founded this way.

I graduated from Columbia University and the typical next step after studying what I did is to earn a Juris Doctor degree from a law school. Many of my friends did this, and I was intending to as well. After graduation, I worked in New York’s law industry in dispute resolution. It was very interesting and I was very good at my job, but I was sitting at a desk all day. I felt like something was missing. So I applied to several programs for development work around the world. I received many offers including one from Princeton-in-Asia, but the most interesting offer was from a Stanford University-affiliated program called ViA to join a project in Flores, in rural eastern Indonesia.

At that time, everything in Flores was very limited. There was no electricity, no mobile phone signal, and no running water. We had to walk through the forest to get to the villages. Perhaps because of this, it was a place of incredible warmth and community. I connected with the Tado people, learned the Manggarai language, and helped bring about some good initiatives in education and public health for the village communities, working with their teachers and their Puskesmas. It was a very fulfilling but also an eye-opening experience.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2005

After that, I worked for very successful entrepreneurs John and Cynthia Hardy, who sold their international jewelry company to a private equity firm. After the sale, John and Cynthia then asked me to help them transform a bare plot of land in Sibang Kaja, south of Ubud, into what is now the Green School; so I was the first employee there. John and Cynthia are so charismatic and so innovative. It was a real pleasure to be around that enthusiasm and energy every day. Through them, I also met my wife Agatha. She also worked there and we met at the team lunch table. We have now been married for close to 13 years and have two young children.

I then had the opportunity to join a regional private equity firm in Singapore and Jakarta founded by Tom Lembong. It was called Quvat Capital and Principia Management. I learned so much from Tom and really enjoyed working for him, Brata, and the team. I spent a little more than four years there and did a lot of varied projects including company due diligence, deal sourcing and execution, fundraising, investor relations, research, special situation restructuring, and even some trading.

Throughout this time, I was really enjoying being around such smart people and working directly with companies in such a dynamic, fast-moving environment. Even though Jakarta is a megacity in many ways it retains the values of a smaller community; its manners and politenesses. I think my time in rural Indonesian villages definitely helped me understand its capital on a deeper level than if I had come to Jakarta directly from New York, Paris, or San Francisco. I think the lesson is that it’s really important to understand things on both a micro-level as well as macro level. You can’t really know one without the other.

Before your current company and CekAja, you founded Harpoon Mobile, are you willing to share some stories about the company?

From 2011 on, I was convinced that the mobile internet will be a very powerful economic force in Southeast Asia. With hindsight, I can see that I was very early in my actions. But I did not realize that at the time. Plus, after several years in private equity, I felt that I wanted to start and grow a business myself. I like creating things and solving problems, I’m very adaptable, and I like challenge and adventure. In many ways, technology startups are the perfect vehicle to express and experience all of this.

We launched Harpoon Mobile from my dining room table, and our first product release was a location-based iOS and Android application called Harpoen. We later added a complimentary product stack called Mapiary, which was basically a location-based ad-server, in an attempt to monetize better.

My co-founders and I liked that we were trying something original. Back then, many startups in the region were likely to be copycat models. We felt proud that we were trying a new idea. Thankfully, many of our friends in the tech community and its media supported and encouraged us. My co-founders and I actually also represented Indonesia at the World Summit Awards for mobile innovation in Abu Dhabi in early 2013, and we won! It was a cool experience to be recognized for innovation.

But innovation alone isn’t enough. Your first startup, the odds are, you will get a lot of things wrong. And that was true for us. In selecting a location as our service core we were locked into the inflexible mathematics of GPS and the complexity of information saturation. To summarize it briefly, in usual information networks content exists on two axes, typically creator and recency or relevancy. Location introduces the third axis and thus achieving a mathematical density of information is exponentially harder: the world is a big place and no matter how large you make the GPS vectors, there will always be places out of coverage and with old content or no content at all. This is the reason a lot of location services like FourSquare and Highlight were not as successful as everyone predicted back in 2012. In the language of computer science, location-based user content would be described as an algorithm with “exponential complexity.”

In retrospect, even if we had been massively successful and achieved hockey-stick DAUs, the commercial model wouldn’t have worked anyway because ad monetization and CPM are commercially very hard to scale in Indonesia even now, let alone back in 2012.

So, after a year of trying — and a lot of awesome experiences including being the first founder to pitch at the first TechInAsia Summit in Jakarta in 2012 — I met a Toronto, Canada-based advertising company who was planning to commercialize location to enterprise clients. Our Mapiary location ad-server could help their clients like Nike take people on interactive jogs, or Heineken takes people on interactive pub crawls. There were a lot of interesting use cases and they were excited about it, and I felt the technology was more suitable for North America as well, so they ended up acquiring what we had built and I was able to return capital to my seed and angel investors. Overall, it was not a resounding commercial success, but it gave me a lot of grit and experience.

How did you come up with the idea of CekAja?

After Harpoon Mobile, I remained very passionate about startups. At that time, the startup community in Indonesia was still quite small and everyone knew each other. I was thinking a lot about what changes and opportunities would be created by increasing economic digitization, and my close friends Sebastian Togelang and Andy Zain were doing the same. In late 2013, we all came together to found Kejora Ventures. I was the founding entrepreneur-in-residence. I started building my fintech company at the Barito Pacific building in Jakarta, side-by-side with Kejora.

We decided to do something unusual and launched in Jakarta and Manila at the same time. It’s quite unusual to launch a product in two countries simultaneously, but we had deep technical resources and strong co-founders like Stephanie Chung in Manila, so it made sense. Plus, fintech in both markets was equally early in 2013; it wasn’t the case that one market was more advanced than the other. So we felt taking a “two birds with one stone” approach would help us scale faster.

We were definitely one of the first companies in Jakarta and Manila to engage with banks about fintech/bank cooperation models. We hit the ground running and visited every bank boardroom pretty quickly. But what we didn’t appreciate back then was how long it would take banks to adapt and change. Even now, I am still amazed that more banks in this region aren’t doing more digitally. This can partially be explained by residual banking-sector trauma from the ‘98 crisis, and that large institutions have incentives that punish failure more than they reward success, whereas startups are the exact opposite. So asymmetrical incentives are my best explanation when people ask me why the pace of change hasn’t been faster. Change is happening though, and COVID-19 has accelerated it.

In the early days, we also realized quite early on that laws and regulations would need to evolve to support fintech innovation. Starting from 2014, I joined with several other fintech entrepreneurs including Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, and many others to start what has now become the Indonesian FinTech Association. We did similar policy advocacy work in the Philippines, too. This created what I think is the momentum for a lot of fintech regulations and activities that we see today in both of these markets.

Over the years, both the business as well as the Association have grown and matured. In the business now, we have marketplace aggregation, marketplace lending, credit scoring, score aggregation, insurtech, data management solutions, analytics, and credit risk management, and decisioning software available in the cloud and as a license. We partnered with Anton Hariyanto, Sulaeman Liong and Rainier Widjaja for enterprise capabilities and our clients are pretty much every banks in the country.

We have an awesome team, and while of course there have been many setbacks and challenges along the way, we are growing and delivering value to our clients and the industry. And in the Association, we have experienced tremendous growth and now there are hundreds of fintech companies in the country, and clear fintech laws, and incredible engagement with OJK and BI. Because of this, I would say that Indonesia has some of the most innovative and clear fintech laws and policies in the whole world. This is the work of a whole industry and I am so proud to have played a small part in it.

In 2018, C88 Financial Technologies (parent company of CekAja), received a strategic minority investment from global credit scoring company Experian.

You’ve seen the market in some other places, what makes Southeast Asia market different, especially Indonesia?

The region is unique because of its demographics, growth rates, and interest rates. In the region, Indonesia is unique because of its size. The other markets of Southeast Asia each have their own importance, and to be successful regionally there are principles that you must get right to balance the strengths of each market harmoniously versus the weaknesses of others. For example, while Indonesia is large and full of potential, monetization is very difficult and consumers and enterprises are very price sensitive. Other markets may have easier monetization paths, but smaller market sizes and less growth. The best approach for the region therefore creates balance among these elements.

For those who want to start a technology business in the region, I would advise them that the market is fast-moving, and it will remain like this for many years to come. Don’t be intimidated by how fast it moves or think it is “too late” at all. There is now significant internet usage and mobile device penetration, a vibrant venture ecosystem with plenty of capital and professional investors, inspiring leaders and success stories that are locally visible and accessible, there are super apps and also successful exits via both trade sale and IPO, cloud technology is starting to emerge and become viable and this will start to enable SaaS models, laws are clearer, and now COVID-19 has created this massive digitization push. After everyone is vaccinated and the economy opens again, there is clearly going to be an acceleration of tech-enabled business models.

But it’s also important not to start a startup. Instead, start a business. Know your economics, know the path to monetization and profit, focus on doing that well instead of vanity metrics or headline-chasing. It’s sometimes hard to distinguish between these, especially for young founders, and when the media is breathless and boardroom investors demand growth to meet their own portfolio return expectations. But as someone who has done a lot in this space for many years, experiencing both success and failure, I can tell you that you really want to be starting a business and not just a startup.

Entrepreneurship is never easy, especially when you’re not a native. What kind of hardships have you encountered when you first arrived and while building businesses in Indonesia?

Indonesia has been very welcoming to me. It has given me so much and I am thankful for that. I love the work I do every day, the people I work with, and the opportunities we have to solve problems and construct a better industry, a better society, and a more prosperous country.

I think any hardships I have experienced are hardships that any founder experiences: getting to product-market fit, wrestling to be on the right side of unit economics, building a great team and healthy culture, navigating the COVID-19 crisis, and so on. I wouldn’t even call these hardships – this is what being a founder is all about.

In terms of being a foreigner, I honestly don’t even register that anymore. For people who know me well, there is very little friction between my bule self and my Indonesian self. I feel comfortable in both worlds and I like that.

With so much experience in the business, do you still aim for something more in this industry? Have you ever thought of going back to the US for some kind of bottom line?

I’m interested in many things and I feel like I can keep creating new and innovative products and services for many decades to come. There are a lot of things I want to do, and a lot of problems to solve, and new innovations to create.

In fintech specifically, we are still very much at the beginning of the industry. I really believe over the next decade, technology companies will be the ones that harness data, create products, write software, construct analytics, and craft customer experiences to make Indonesian consumers and businesses become universally banked, as well as regionally and globally competitive.

Regarding the United States, I do admit that the country needs to rebuild society and trust and restore its institutions in a post-Trump context. The United States will need energetic and committed people willing to roll up their sleeves and help to do that. I don’t rule out that one day, I might want to go back to play a part in that. But right now, my company, clients, friends, and family need me here in Indonesia and in Southeast Asia. Keep in mind, we also have a significant presence in the Philippines too, and hundreds of employees and a big business there, and there is a lot of opportunity there that I am incredibly excited about too.

About the current pandemic, is there any significant change in your business?

Our clients are banks and financial services institutions. Many were forced to suspend or delay projects and activities due to the pandemic. Even if they didn’t intend to delay things, adapting to work-from-home for such big organizations is a challenge, so many delays are inadvertent. As a business, we have had to be very flexible and adaptive to this reality to ensure we can continue to exceed our client expectations. The good news is that our clients need digital solutions. We anticipate a very encouraging post-vaccine climate for our clients and our business.

Going into 2020, we felt we were as prepared as any company could be for what happened. We have a small executive presence in Beijing, and because of this the executive team and I were aware as early as mid-January of last year that a global pandemic was a possibility. We had scenarios that went all the way up to frightening levels of mortality that thankfully the disease never came close to.
As lockdowns started to happen in the Philippines and Indonesia in March of last year, I gathered the whole company and we laid out a clear strategy of what we were going to do to survive the crisis and ensure business continuity.

We had very specific levels of business continuity, and we sent everyone home to work with clear guidance, policies, and instructions. I also open-sourced our bi-lingual strategy memo and sent it around to many other companies and startups. I wanted what we were doing to respond to COVID-19 to be accessible to others who maybe had uncertainty on whether it would affect them. We thought COVID-19 would create a crisis that would be long and hard and unfortunately, we were right.

Obviously, my team and I were able to make the appropriate changes to the business to put us on a good path. We continue to serve our clients well, are growing profitably, and innovating in our market segments. With vaccines starting to roll-out now, we are beginning to shift to an optimistic mindset for 2022 and beyond. We do feel 2021 will continue to be hard for most of the year, with some improvement towards the second semester.

Something you want to say to those entrepreneurs who wanted to start a business but constrained by pandemic?

I would say It’s never been a better time to start in tech entrepreneurship. Yes, the virus creates challenges but the vaccine is almost here too. Focus on 2022 and beyond. And do not think it’s too late. In technology, it’s never really over because innovation is always innovating versus itself. The code is constantly re-compiling. Yes, it is true that close to 90% of startups fail, but if you focus on building a business instead of a startup, you will already improve your odds of success. Nearly every knowledge you need is accessible and easy to learn. All it takes is the commitment and hard work to do it. I do this, and a lot of my high-performing colleagues and friends do it too. We don’t just magically learn new subjects. Instead, it is a constant effort to stay on top of what is new and be current with technology and the world.

To start a company, you must identify where the big problems are, how do you solve them and how do you turn them into a business. This mindset is something that I spent years learning about and developing. Focus on the problem and the customer, be a learning machine, be both optimistic and realistic at the same time, treat others well, focus on community and you’ll be fine. Indonesia needs more problem-solvers, so you could also argue it is a duty to go out there and solve problems. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.