Pentax K-70 Tawarkan Fitur Kelas Atas dalam Harga Entry Level

Usai memperkenalkan DSLR full-frame perdananya pada bulan Februari kemarin, Pentax kini kembali ke kategori entry level dengan memperkenalkan Pentax K-70. Kamera ini boleh dibilang kelas entry, akan tetapi fitur-fitur yang diusungnya banyak dipinjam dari lini teratas Pentax selama ini.

Jantung K-70 terisi oleh sensor APS-C beresolusi 24 megapixel, dengan kemampuan merekam video 1080p 30 fps. Didampingi oleh prosesor pengolah gambar PRIME MII, sensor ini sangat sensitif terhadap cahaya, dengan tingkat ISO maksimum 102.400. Pentax pun tidak ragu menyatakan bahwa hasil fotonya di kondisi low-light tetap minim noise dan cukup detail.

Performa turut mendapat perhatian khusus di sini. Selain sistem autofocus phase-detection 11 titik – 9 di antaranya merupakan cross-type – K-70 turut dilengkapi sistem AF contrast-detection. Sistem hybrid ini juga bisa diaktifkan dalam mode live view, menjadikannya sebagai DSLR pertama Pentax yang bisa melakukan hal ini.

Bodi Pentax K-70 tahan terhadap cuaca ekstrem / Ricoh
Bodi Pentax K-70 tahan terhadap cuaca ekstrem / Ricoh

Bagi yang gemar membekukan aksi-aksi cepat, shutter speed maksimum K-70 berada di angka 1/6.000 detik. Hal ini turut didukung oleh kemampuan burst shooting-nya yang mencapai angka 6 fps. Pentax tak lupa memastikan kalau algoritma tracking autofocus-nya cukup bisa diandalkan.

Fitur high-end lain yang diusung K-70 adalah image stabilization dalam bodi serta simulasi low-pass filter. Fitur ini pada dasarnya memungkinkan kamera untuk menangkap gambar yang lebih mendetail karena tidak ada low-pass filter, namun di saat yang sama tetap bebas moiré saat simulasi low-pass filter diaktifkan.

Lebih lanjut, K-70 turut dilengkapi oleh fitur Pixel Shift Resolution, dimana kamera akan menangkap empat gambar yang sama selagi menggeser posisi sensor satu pixel pada setiap gambar, lalu menggabungkan semuanya menjadi satu file beresolusi tinggi dan sangat mendetail.

LCD milik Pentax K-70 bisa ditarik ke samping lalu diputar-putar posisinya / Ricoh
LCD milik Pentax K-70 bisa ditarik ke samping lalu diputar-putar posisinya / Ricoh

Soal fisik, bodi K-70 telah dirancang agar tahan terhadap cuaca ekstrem, entah itu guyuran hujan maupun suhu dingin yang mencapai minus 10 derajat Celsius. Panel belakangnya didominasi oleh sebuah layar 3 inci beresolusi 921 ribu dot yang dapat ditarik ke samping untuk diputar-putar posisinya sesuai kebutuhan.

Pentax K-70 rencananya akan dipasarkan mulai awal bulan Juli seharga $650. Oh ya, kamera ini juga mengemas konektivitas Wi-Fi guna memenuhi standar terkini.

Sumber: DPReview.

Apa Itu Kamera Mirrorless dan Apa Saja Kelebihannya

Dalam beberapa tahun terakhir, industri kamera ‘dihantui’ oleh istilah mirrorless. Tidak sedikit fotografer profesional yang memutuskan untuk memensiunkan kamera DSLR-nya dan beralih ke mirrorless. Sejumlah pabrikan, termasuk Fujifilm yang populer di era kamera analog, kini juga ikut menekuni bidang mirrorless dan meraih sukses.

Namun sebelum kita membahas mengenai kelebihan-kelebihannya, ada baiknya kita memahami lebih dulu apa itu kamera mirrorless. Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab rasa ingin tahu Anda terhadap kamera mirrorless.

Apa itu kamera mirrorless

Salah satu kamera mirrorless besutan Olympus dalam posisi lensa dilepas / Wikipedia
Salah satu kamera mirrorless besutan Olympus dalam posisi lensa dilepas / Wikipedia

Secara harfiah, kamera mirrorless berarti kamera tanpa cermin. Namun kalau mengacu pada makna ini, berarti semua kamera non-SLR atau non-DSLR adalah kamera mirrorless, termasuk kamera saku maupun kamera prosumer.

Istilah mirrorless lebih tepatnya mengacu pada mirrorless interchangeable lens camera (MILC), yaitu kamera yang lensanya bisa dilepas-pasang atau diganti, tetapi tidak dilengkapi cermin seperti DSLR. Absennya cermin ini secara langsung berdampak pada ukuran kamera mirrorless yang umumnya jauh lebih ringkas ketimbang DSLR.

Pemahaman ini pun berujung pada istilah lain dari kamera mirrorless, yaitu compact system camera (CSC), yang menggambarkan kelebihan kamera mirrorless: bodi ringkas, tapi merupakan sebuah sistem karena lensanya bisa digonta-ganti.

Karena tidak memiliki cermin, kamera mirrorless pun otomatis tidak mempunyai optical viewfinder seperti DSLR – terkecuali sejumlah model seperti Fujifilm X-Pro2. Komponen ini digantikan oleh electronic viewfinder (EVF) yang semakin tahun semakin matang teknologinya; sanggup menampilkan gambar tanpa lag dan dalam resolusi tinggi.

Kemunculan kategori mirrorless sendiri diawali oleh Epson R-D1 di tahun 2004. Namun sebelum Panasonic Lumix DMC-G1 diperkenalkan di tahun 2008, kategori mirrorless masih belum terlalu populer. Sesudahnya, kita pun sampai ke titik dimana kamera mirrorless bisa dibilang lebih populer ketimbang DSLR seperti sekarang ini.

Kelebihan-kelebihan kamera mirrorless

Sony A6300 merupakan salah satu kamera mirrorless dengan performa autofocus tercepat saat ini / Sony
Sony A6300 merupakan salah satu kamera mirrorless dengan performa autofocus tercepat saat ini / Sony

Seperti yang telah disebutkan, kelebihan utama kamera mirrorless adalah ukurannya ringkas dan bobotnya jauh lebih ringan, akan tetapi lensanya bisa diganti sesuai kebutuhan layaknya DSLR. Lebih lanjut, kualitas gambarnya pun tidak kalah karena umumnya mengemas sensor berukuran cukup besar; sejumlah model, seperti Sony A7R II, bahkan mengusung sensor full-frame yang biasanya hanya bisa kita jumpai pada DSLR seharga puluhan juta.

Performa kamera mirrorless terkini pun sudah sangat mendekati kamera DSLR. Demikian pula dengan kontrol manual yang lengkap. Satu-satunya aspek yang masih bisa dibilang lebih lemah daripada DSLR adalah continuous autofocus. Itulah mengapa fotografer olahraga biasanya masih lebih memilih DSLR dibanding mirrorless.

Secara keseluruhan, kamera mirrorless tidak bisa lagi dipandang enteng dalam industri fotografi dan videografi. Kematangan teknologi beserta kelengkapan ekosistem lensa yang ditawarkan oleh sejumlah merek pada akhirnya mampu merebut hati pengguna, baik kalangan profesional maupun konsumen secara umum.

Gambar header: Fujifilm X-M1 via Pexels.

Picturesqe Bantu Fotografer Menyortir Foto Terbaik Secara Instan dan Otomatis

Kalau di zaman kamera analog dulu, hampir semua fotografer pasti berhati-hati sebelum menjepret supaya suplai rol film tidak sia-sia begitu saja. Tidak demikian di era digital ini, dimana kita sering mempunyai pikiran “jepret yang banyak saja, nanti tinggal dipilih yang bagus”. Sayang prakteknya tidak segampang itu.

Mengambil foto terlalu banyak kerap membuat proses editing lebih lama. Pasalnya, kita harus lebih dulu menyortir mana foto yang pantas disimpan dan mana yang tidak. Semakin banyak foto yang diambil, jelas semakin lama proses memilihnya.

Namun masalah semacam itu bisa diselesaikan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), dimana teknologi machine learning dapat menerapkan algoritma canggih untuk menyortir foto secara instan sekaligus otomatis, sehingga pengguna hanya perlu mengedit sejumlah foto terbaik dari sebuah sesi pemotretan.

Seperti itulah konsep yang diusung Picturesqe, sebuah software edit foto untuk Windows – versi Mac-nya akan segera menyusul – yang ditujukan untuk berbagai kalangan fotografer yang kerap mengambil foto dalam jumlah banyak.

Picturesqe juga tersedia dalam wujud plugin untuk Adobe Lightroom / Picturesqe
Picturesqe juga tersedia dalam wujud plugin untuk Adobe Lightroom / Picturesqe

Picturesqe bekerja dalam tiga langkah. Langkah yang pertama, software akan mengelompokkan foto-foto yang mirip satu sama lain. Usai dikelompokkan, foto-foto tersebut akan diurutkan berdasarkan kualitas gambar yang terbaik, mempertimbangkan banyak variabel seperti ketajaman fokus, ketepatan exposure dan lain sebagainya.

Terakhir, ada fitur Intelligent Zoom dimana foto-foto akan diperbesar pada bagian yang sama dan ditempatkan bersebelahan sehingga pengguna bisa membandingkan foto mana yang lebih tajam dengan cepat dan mudah. Selanjutnya, pengguna tinggal mengedit foto seperti biasa.

Yang membuat Picturesqe lebih menarik lagi adalah, ia bisa digunakan secara cuma-cuma selama tiga bulan pertama, termasuk halnya plugin untuk Adobe Lightroom. Lewat masa uji gratis tersebut, pengguna akan ditarik biaya berlangganan $10 per bulan, $15 per 3 bulan, atau $40 per tahun.

Sumber: TechCrunch.

Tanpa LCD, Leica M-D Adalah Kamera Digital Berjiwa Analog

Pabrikan kamera ternama Leica baru-baru ini meluncurkan sebuah produk yang akan membuat konsumen agak terheran-heran, yakni sebuah kamera digital tanpa LCD. Ya, Anda tidak salah baca, kamera mirrorless bernama lengkap Leica M-D (Typ 262) sama sekali tidak mengemas layar pada panel belakangnya.

Sebagai gantinya, bagian belakangnya hanya dihuni oleh sebuah kenop pengatur ISO, sebuah viewfinder di kiri atas dan sebuah kenop putar di kanan atas. Tanpa LCD, otomatis kamera ini pun juga tidak memiliki sistem menu sama sekali.

Lalu apa tujuan Leica sebenarnya? Well, mereka pada dasarnya ingin menghidupkan kembali seni fotografi analog, dimana kreativitas pengguna sama sekali tidak akan terganggu oleh hasil jepretannya. Di sini pengguna hanya akan berfokus pada komposisi selagi menyesuaikan parameter kunci macam shutter speed, aperture, ISO dan tentu saja titik fokus.

Leica M-D mengusung kontrol manual yang lengkap / Leica
Leica M-D mengusung kontrol manual yang lengkap / Leica

Namun sebagai pengusung label Leica, tentu saja kamera ini masih mengedepankan kualitas gambar di atas segalanya. Ia dibekali sensor CMOS full-frame beresolusi 24 megapixel, akan tetapi pengguna hanya bisa mengambil gambar dalam format RAW DNG, tanpa opsi JPEG sama sekali. Lebih lanjut, kamera ini bahkan tidak bisa merekam video, jadi benar-benar didedikasikan untuk fotografi.

Menimbang segalanya, tentu saja Leica M-D bukan untuk semua orang, apalagi mengingat banderol harganya berkisar $6.000. Contoh hasil jepretannya bisa Anda simak di bawah ini; selengkapnya silakan langsung mengunjungi blog Leica.

Contoh hasil foto Leica M-D / Leica
Contoh hasil foto Leica M-D / Leica
Contoh hasil foto Leica M-D / Leica
Contoh hasil foto Leica M-D / Leica

Sumber: Leica dan The Verge.

Dengan Pictar, iPhone Jadi Serasa Kamera DSLR

Memang benar kalau hasil foto kamera iPhone 6S yang terbaru sekalipun masih belum bisa disandingkan dengan kamera DSLR. Namun kalau sekadar untuk dipajang di media sosial, iPhone saja sudah lebih dari cukup. Yang kurang hanyalah keterbatasan kontrolnya saja, plus desain bodi yang kurang ideal untuk dipakai memotret dengan satu tangan.

Maka dari itu, tidak sedikit pabrikan aksesori yang muncul dengan ide-ide kreatif guna mengubah iPhone jadi senyaman menggunakan kamera DSLR. Salah satunya adalah Miggo, yang belum lama ini memperkenalkan sebuah grip kamera iPhone inovatif melalui Kickstarter.

Bernama Pictar, premisnya amat sederhana. Pengguna tinggal menyelipkan iPhone, lalu genggam grip-nya layaknya sebuah kamera DSLR. Di bagian atasnya, tertanam tombol shutter beserta sederet kenop putar yang bisa dikustomisasi, mulai dari menyesuaikan exposure compensation, mengatur zoom, hingga mengaktifkan kamera depan.

Sisi bawah Pictar dilengkapi mount untuk tripod / Miggo
Sisi bawah Pictar dilengkapi mount untuk tripod / Miggo

Namun yang lebih menarik lagi dari Pictar adalah bagaimana perangkat ini bisa berkomunikasi dengan iPhone tanpa Bluetooth maupun colokan Lightning. Pictar memanfaatkan teknologi ultrasonik, dimana setiap kenop atau tombol yang ditekan akan memancarkan suara berfrekuensi tinggi yang tak bisa didengar telinga manusia, tapi bisa didengar oleh mikrofon milik iPhone.

Selanjutnya, aplikasi pendamping Pictar akan mengaktifkan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan kenop atau tombol yang ditekan. Keuntungan dari teknologi semacam ini adalah, baterai iPhone tak akan cepat terkuras akibat terus terhubung ke Pictar.

Hasil fotonya tentu saja sama persis dengan tidak menggunakan Pictar, mengingat aksesori ini sama sekali tak mengemas komponen optik yang mengintervensi kamera iPhone. Fokusnya hanya pada memberikan kenyamanan dalam mengoperasikan iPhone sebagai kamera andalan, dengan satu tangan ataupun dua tangan, tanpa menguras baterai perangkat.

Dimensi Pictar bisa disesuaikan dengan beragam model iPhone / Miggo
Dimensi Pictar bisa disesuaikan dengan beragam model iPhone / Miggo

Lebih istimewa lagi, dimensi Pictar bisa disesuaikan dengan berbagai model iPhone, mulai dari 4S sampai 6S, dengan pengecualian untuk varian 6 Plus dan 6S Plus. Sisi bawahnya dilengkapi mount untuk tripod, dan pengguna juga bisa menyambungkan aksesori tambahan seperti LED flash atau mikrofon.

Di Kickstarter, Pictar dijajakan seharga $75 untuk para backer. Bundelnya mencakup unit Pictar itu sendiri, sebuah pouch dan sebuah strap yang bisa diikatkan ke pergelangan tangan.

Sumber: DPReview.

Bersensor Masif, Hasselblad H6D Siap Jepret Foto 100 Megapixel

Selama 75 tahun berkiprah, nama Hasselblad selalu dikaitkan dengan fotografi medium format berkat kamera-kameranya yang besar, mahal, tapi sanggup menghasilkan gambar dengan tingkat detail luar biasa. Dunia pun mengakui reputasi perusahaan asal Swedia ini, salah satunya adalah ketika Buzz Aldrin memotret Neil Armstrong sedang menjejakkan kakinya pertama kali di Bulan.

Kini Hasselblad kembali membuktikan jati dirinya sebagai maestro fotografi. Mereka belum lama ini memperkenalkan kamera medium format baru, Hasselblad H6D, yang bisa dibilang sebagai produk tercanggihnya sejauh ini.

H6D datang dalam dua varian. Satu dibekali sensor CMOS 50 megapixel, sedangkan satunya mengemas sensor 100 megapixel. Resolusi tentu saja bukanlah penentu segalanya; ukuran fisik sensornya yang bahkan lebih besar ketimbang sensor full-frame menjadi jaminan atas tingkat detail yang bisa dihasilkan, apalagi didukung oleh deretan lensa super-tajam besutan Hasselblad.

Contoh hasil foto Hasselblad H6D / Hasselblad
Contoh hasil foto Hasselblad H6D / Hasselblad
Foto di atas setelah di-crop 100 persen
Foto di atas setelah di-crop 100 persen

Namun dilihat dari segi angka saja, 100 megapixel itu benar-benar masif, tepatnya 11.600 x 8.700 pixel. Seandainya hasil foto ingin Anda crop 100 persen, tetap saja masih sangat ideal untuk dicetak menjadi baliho seukuran rumah, dan ketajaman detailnya dijamin tidak berkurang sedikitpun.

Dari segi performa, mungkin DSLR kelas menengah saja bisa memotret lebih cepat ketimbang H6D. Tapi itu memang bukan fokus Hasselblad. Mereka benar-benar memprioritaskan kualitas gambar di atas segalanya, terutama mengingat dynamic range-nya bisa mencapai 15 stop guna mempertahankan sebanyak mungkin detail pada area shadow dan highlight.

Sisi belakang Hasselblad H6D dihuni oleh layar sentuh 3 inci beresolusi tinggi / Hasselblad
Sisi belakang Hasselblad H6D dihuni oleh layar sentuh 3 inci beresolusi tinggi / Hasselblad

Kendati demikian, Hasselblad tak lupa menyematkan sejumlah fitur yang paling tidak bisa memudahkan proses pengambilan gambar, seperti salah satunya sistem autofocus yang bisa mengunci fokus pada suatu titik dan terus mempertahankannya selagi fotografer mengatur ulang komposisinya.

Sejumlah fitur yang mendefinisikan kamera modern turut hadir pada H6D. Di antaranya adalah perekaman video 4K, layar sentuh berukuran 3 inci, konektivitas Wi-Fi, USB 3.0 dan slot kartu memori ganda (CF maupun SD card).

Lalu untuk siapa sebenarnya kamera ini? Hmm, pastinya bukan semua orang, bahkan fotografer profesional pun mungkin belum tentu membutuhkannya. Namun seandainya Anda mau menggunakan kamera yang bisa memberikan kualitas gambar terbaik dari yang terbaik, well, Hasselblad H6D bisa didapat seharga $27.000 untuk versi 50 megapixel, atau $33.000 untuk versi 100 megapixel, dan ini sama sekali belum termasuk lensa.

Sumber: The Verge dan Hasselblad.

Lensbaby Twist 60 Coba Populerkan Kembali Efek Khas dari Lensa Petzval

Produsen lensa inovatif asal AS, Lensbaby, kembali memperkenalkan sebuah produk unik untuk para penggemar fotografi. Dijuluki Twist 60, misinya adalah memopulerkan kembali efek khas milik lensa Petzval dari abad 19.

Lensa Petzval begitu dikenal karena efek bokeh-nya yang amat khas. Lewat Twist 60, Lensbaby pun berupaya menyuguhkan efek yang sama, dimana bokeh (biasan cahaya) pada foto akan tampak seperti berada di tengah-tengah suatu pusaran, namun di saat yang sama masih mempertahankan ketajaman pada titik fokusnya.

Contoh hasil foto menggunakan Lensbaby Twist 60
Contoh hasil foto menggunakan Lensbaby Twist 60 / Lensbaby

Sesuai namanya, lensa ini punya panjang fokal 60 mm, ideal untuk fotografi portrait, dengan aperture maksimum f/2.5. Biasan cahaya yang dihasilkan akan terlihat sangat indah berkat pemakaian 12 bilah aperture di dalamnya.

Ini sebenarnya bukan pertama kali suatu pabrikan modern berusaha memopulerkan kembali lensa Petzval. Sebelum ini, Lomography sudah lebih dulu menawarkan versinya lewat metode crowdfunding. Namun dalam kasus Lomography, mereka ingin menciptakan replika penerus lensa Petzval yang hampir identik, lengkap dengan bodi lensa yang terbuat dari kuningan, sehingga harganya pun melambung menjadi $600.

Contoh hasil foto menggunakan Lensbaby Twist 60
Contoh hasil foto menggunakan Lensbaby Twist 60 / Lensbaby

Tidak demikian untuk Lensbaby, mereka hanya ingin menyuguhkan efek yang sama dengan lensa Petzval, dalam bodi yang senada dengan gaya desain kamera DSLR atau mirrorless terkini. Alhasil, harganya pun jauh lebih terjangkau dibanding penawaran Lomography.

Lensbaby Twist 60 rencananya akan dipasarkan mulai 5 Mei mendatang seharga $280, atau $180 untuk komponen optiknya saja – dengan catatan Anda sudah punya Lensbaby Optic Swap System. Ia hadir dalam varian untuk jenis mount Canon EF, Nikon F dan Sony E.

Sumber: PetaPixel.

Cuma $800, Panasonic Lumix GX80 Sajikan Image Stabilization 5-Axis dan Perekaman Video 4K

Setelah merilis Lumix GF8 yang berfokus pada fitur selfie, Panasonic kembali ke ranah yang lebih ‘serius’ dengan meluncurkan Lumix GX80. Kamera mirrorless anyar ini diposisikan sebagai adik dari Lumix GX8 dengan harga yang lebih terjangkau. Pun begitu, bukan berarti fitur-fiturnya murahan dan membosankan.

Lumix GX80 masih memakai sensor Micro Four Thirds 16 megapixel yang sudah dijadikan andalan Panasonic selama beberapa tahun. Namun kali ini tidak ada komponen low-pass filter yang terpasang, sehingga hasil jepretannya diklaim bisa sedikit lebih detail ketimbang kamera Panasonic lain yang memakai sensor yang sama.

Sensor ini punya sensitivitas ISO 100 – 25600. Buat penggemar video, Lumix GX80 sanggup merekam dalam resolusi 3840 x 2160, alias 4K 30 fps. Keunikan lain dari GX80 adalah komponen shutter-nya yang mengadopsi sistem elektromagnet untuk mengurangi blur yang diakibatkan oleh pergerakan shutter saat menjepret gambar.

Panasonic Lumix GX80

Lumix GX80 sekaligus menjadi kamera mirrorless pertama Panasonic yang mengusung sistem image stabilization 5-axis. Sama seperti milik kakaknya, sistem ini juga bisa diaktifkan secara bersamaan dengan stabilizer bawaan lensa untuk lebih memastikan bahwa gambar tidak akan blur meski pengguna tidak memakai tripod.

Sistem autofocus 49 titiknya menganut teknologi Depth from Defocus (DFD) yang sama seperti kakak-kakaknya (Lumix GH4, Lumix GX8), memastikan penguncian fokus yang begitu cepat, akurat, dan bisa diandalkan setiap saat. Lebih lanjut, GX80 turut dibekali fitur Post Focus agar pengguna bisa mengganti titik fokus pasca pemotretan.

Panasonic Lumix GX80

Desainnya banyak terinspirasi oleh Lumix GX8, namun dengan hand grip yang lebih kecil sekaligus dimensi keseluruhan yang lebih ringkas. Meski demikian, ia masih dibekali sepasang kenop putar yang bisa dikustomisasi. Contoh: kenop depan untuk mengatur ISO, kenop belakang untuk mengatur shutter speed.

Di belakang, pengguna akan menjumpai electronic viewfinder beresolusi 2,7 juta dot serta layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot. Layar ini bisa dimiringkan ke atas hingga 80 derajat, atau ke bawah hingga 45 derajat. Bukan, kamera ini bukan ditujukan untuk ber-selfie ria.

Panasonic Lumix GX80 rencananya bakal dipasarkan mulai bulan Mei mendatang seharga $800, sudah termasuk lensa kit 12 – 32 mm, f/3.5 – 5.6.

Sumber: DPReview.

Sony RX10 III Punya Lensa dengan Jangkauan Zoom 3x Lebih Jauh dari Pendahulunya

Belum sampai setahun merilis RX10 II, Sony sudah siap dengan penerusnya yang lebih jagoan. Kamera bernama Sony RX10 III ini membawa sejumlah peningkatan yang signifikan dibanding pendahulunya, utamanya pada bagian lensanya, yang memang sudah menjadi nilai jual utama lini RX10 sejak model pertamanya diperkenalkan di tahun 2013.

RX10 III mengusung lensa Zeiss Vario-Sonnar T* 24 – 600 mm f/2.4 – 4.0. Kalau dibandingkan, lensa ini punya aperture yang lebih besar ketimbang milik pendahulunya sekaligus jangkauan zoom yang lebih jauh. Prestasi semacam ini biasanya hanya bisa dijumpai pada lensa-lensa DSLR dengan harga selangit.

Lebih lanjut, lensa ini juga mengemas sembilan bilah aperture yang akan memastikan biasan cahaya tampak bulat sempurna pada rentang f/2.4 – 11. Aspek ini krusial bagi yang gemar menciptakan potret dengan efek blur pada latar serta fokus yang tajam pada subjek.

Sony RX10 III

Jeroan RX10 III tidak banyak berubah dari pendahulunya. Ia masih mengandalkan sensor Exmor RS 1 inci dengan resolusi 20,1 megapixel dan chip DRAM terintegrasi. Dipadukan dengan prosesor BIONZ X, kinerja sensor ini sangatlah cepat, sanggup merekam video dalam kecepatan 960 fps (40x slow motion), serta mengunci fokus dalam hitungan 0,09 detik.

Jangkauan zoom yang jauh beserta kemampuan merekam video 4K menjadikannya senjata yang ideal bagi para videografer. Di samping itu, shutter speed-nya bisa mencapai angka 1/32.000 detik untuk membekukan aksi super-cepat tanpa distorsi, apalagi mengingat ia bisa menjepret foto secara konstan dengan kecepatan 14 fps.

Sony RX10 III

Selain perubahan signifikan pada komponen lensa, Sony turut merevisi sedikit dari desain RX10 III. Grip-nya kini lebih dioptimalkan untuk lensa barunya, memastikan genggaman pengguna tetap stabil dalam berbagai kondisi. Kontrol yang presisi dapat dilakukan lewat tiga lens ring yang berfungsi untuk mengatur fokus, zoom dan aperture, plus sebuah tombol untuk menahan fokus selagi pengguna melakukan framing ulang.

Jendela bidiknya masih mengandalkan panel OLED beresolusi 2,35 juta dot, dan ia turut mengemas konektivitas Wi-Fi, NFC, beserta kompatibilitas dengan deretan aplikasi PlayMemories.

Sony mematok harga $1.500 untuk RX10 III, lebih mahal $200 dibanding pendahulunya. Kamera superzoom ini rencananya bakal dipasarkan mulai bulan Mei mendatang.

Sumber: PR Newswire.

Canon Luncurkan EOS 1300D dengan Fokus Pada Era Media Sosial

Canon baru saja mengumumkan DSLR kelas entry terbarunya, EOS 1300D. Secara garis besar, kamera ini masih sama seperti pendahulunya, yaitu EOS 1200D. Kendati demikian, Canon telah menyematkan sejumlah fitur anyar yang bakal membuatnya menjadi relevan di era media sosial.

Utamanya adalah konektivitas Wi-Fi dan NFC supaya pengguna bisa meneruskan hasil jepretannya ke smartphone, lalu membagikannya ke media sosial dengan cepat. Akan tetapi itu saja belum cukup, EOS 1300D turut mengusung mode pemotretan baru yakni “Food Mode” yang bisa diakses lewat mode dial-nya. Seperti yang sudah bisa ditebak, mode ini akan membantu pengguna mengabadikan santapan lezatnya dengan pengaturan cahaya yang lebih optimal.

Jantung EOS 1300D masih sama persis seperti pendahulunya, yakni sensor CMOS APS-C 18 megapixel, dengan sistem autofocus 9 titik dan kemampuan merekam video 1080p. Pun begitu, Canon telah mengganti prosesornya menjadi DIGIC 4+ yang lebih baru guna meningkatkan kinerjanya secara menyeluruh. Soal sensitivitas, kamera ini punya rentang ISO 100 – 6400, dan bisa diekspansi menjadi 12800.

Canon EOS 1300D

Pembaruan lain yang dibawa EOS 1300D ada pada LCD 3 inci di belakang yang kini mengemas resolusi lebih tajam, tepatnya 920 ribu dot. Selebihnya, EOS 1300D masih mempertahankan formula andal pendahulunya dalam harga yang terjangkau.

Canon EOS 1300D rencananya akan mulai dipasarkan pada bulan April mendatang. Ia dibundel bersama lensa kit EF-S 18-55mm f/3.5-5.6 IS II seharga $550, atau sekitar 7,2 juta rupiah.

Sumber: DPReview.