Kiat Menyiapkan Diri Menjadi Pemimpin Startup ala Hadi Wenas

#SelasaStartup edisi pertama tahun 2020 cukup spesial. Hadi Wenas hadir sebagai pemateri, menceritakan pengalamannya saat memimpin bisnis digital di Indonesia. Sejak Mei 2019 ia menjabat sebagai COO Amartha, dengan track record kepemimpinan di Zalora, aCommerce, hingga Mataharimall.

Dalam pemaparannya ada banyak aspek penting yang disorot Wenas, sebagai landasan dalam memimpin sebuah bisnis digital. Berikut ulasannya:

Menentukan prioritas

Menurut Wenas, salah satu pekerjaan krusial di kepemimpinan startup adalah menentukan prioritas pekerjaan. Di dalamnya termasuk proses memahami isu, mencarikan solusi dan melakukan kalkulasi untuk setiap pengarahan yang akan diberikan kepada timnya.

Bagi Wenas, cara cepat untuk menentukan prioritas adalah sesegera mungkin mengeksekusi pekerjaan yang telah dibebankan. Setelah dijalankan nantinya akan terlihat proses dan perkembangan.

“Intinya langsung saja mulai bekerja dan pada akhirnya prioritas atau urutan yang sesuai akan segera terlihat. Jangan terlalu lama memikirkan planning, langsung saja mulai bekerja,” kata Wenas.

Jangan takut gagal

Kegagalan tentunya kerap menghantui semua pendiri startup. Apakah itu saat mulai membangun startup hingga startup sudah berjalan selama 2-3 tahun. Ketika startup pada akhirnya mengalami kegagalan, ada baiknya untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Menurut Wenas, faktor keberuntungan terkadang menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan sebuah bisnis. Jika bisnis berjalan dengan baik, menurutnya faktor mujur tadi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu ketika gagal lakukan introspeksi dan mulai mencari inspirasi hingga cara untuk mulai lagi dengan bisnis atau usaha yang baru.

Ketika Wenas dipercaya untuk menjabat sebagai CEO MatahariMall, terdapat tugas cukup berat yang wajib diselesaikan oleh timnya. Untuk itu penting bagi pimpinan untuk bisa mengenali terlebih dulu kepribadian diri dan timnya, sehingga ketika beban kerja mulai dirasakan, semua tantangan dan permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan secara tuntas.

Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce
Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce

Temukan jati diri

Poin penting lainnya yang kemudian disampaikan oleh Wenas adalah menemukan jati diri. Sebagai seorang introvert, ia terkadang merasa kesulitan untuk melakukan sosialisasi, namun di sisi lain sifat tersebut menjadikan dirinya menjadi lebih teratur dan haus akan detail. Sifat kurang sabar yang sebelumnya menjadi kendala ternyata saat ini justru dianggap sifat yang mendukung kinerja Wenas, karena semua pekerjaan bisa selesai dengan cepat dan membantu dirinya hingga tim untuk bekerja lebih baik lagi.

“Bagi saya yang seorang introvert justru menyukai segala hal serba teratur. Dengan demikian semua permasalahan dan bagaimana cara tepat untuk bisa mengatasinya bisa dengan mudah diselesaikan secara bertahap. Secara otomatis jika ritme kerja sudah ditemukan, pekerjaan tersebut akan selesai lebih cepat,” kata Wenas.

Meditasi mendukung produktivitas

Salah satu kebiasaan yang sudah dilakukan oleh Wenas sejak tahun 2008 lalu adalah secara rutin melakukan meditasi. Meskipun pada awalnya lebih kepada proses penyembuhan tubuh, namun meditasi yang dilakukan olehnya secara rutin justru kini mampu melatih kesabaran hingga meningkatkan produktivitas kerja. Intinya adalah temukan work-life balance, yang akan memberikan pengaruh positif untuk kesehatan tubuh dan karir.

“Meditasi mampu membantu saya melatih kesabaran dan menemukan keseimbangan tersebut. Apakah Anda seorang introvert, extrovert, gemar melakukan secara teratur atau peduli dengan detail. Jika sudah ditemukan jati diri tersebut, pada akhirnya semua pekerjaan akan bisa diselesaikan lebih santai dan tentunya lebih mudah,” tutup Wenas.

Izak Jenie Belajar Mengambil Bagian Tanpa Melampaui Batas Kemampuan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebelum mengenal industri teknologi, Izak Jenie menjalani hari-hari layaknya masyarakat biasa. Ketertarikannya akan teknologi serta apa yang dapat ia lakukan dengan semua itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia lalu memulai bisnis di usia yang terbilang cukup dini serta menghadapi beberapa kegagalan dalam prosesnya.

Setelah berpuluh tahun menjalani bisnis, Ia tidak lelah menciptakan ide serta inovasi. Begitu banyak rintangan yang membuatnya jatuh bangun, namun teknologi dan internet bagaikan pecut yang memacu semangatnya. Saat ini ia menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta kontributor di berbagai aktivitas terkait teknologi.

Berikut adalah hasil rangkuman dari pergerakan karier yang dinamis seorang Izak Jenie di industri teknologi.

Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute
Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute

Anda telah mengenal industri teknologi sedari dini. Bisakah ceritakan sedikit tentang masa kecil anda?

Masa kecil saya biasa saja, seringkali menghabiskan waktu untuk bermain di sekitar rumah. Dulu, Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta dengan banyak peraturan yang tidak saya sukai. Riwayat kesehatan saya pun tidaklah sempurna, saya kerap mengalami kejang juga menderita asma, sebuah keajaiban saya masih bertahan sampai sekarang.

Pelajaran tidak pernah menjadi isu saat itu, namun saya tidak suka tindakan yang sewenang-wenang. Suatu kali saya membuat petisi saat pihak sekolah mengganti mata pelajaran Olahraga menjadi Bahasa Indonesia tanpa pemberitahuan, dengan alasan guru yang tidak bisa hadir.

Siapa yang mengenalkan anda pada teknologi?

Ialah almarhum ayah saya, Aldi Jenie. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN, Pertamina, dan juga seorang penggiat teknologi. Beliau sering mengajak Saya ke kantornya untuk mencoba teknologi terbaru dan mengenalkan saya pada programming di masa itu. Saya berumur 12 tahun ketika ia mengajarkan garis besar pemrograman.

Saya pertama kali mencoba membuat bahasa pemrograman bernama APL (A Programming Language). Saya takjub! Begitu banyaj hal yang saya pelajari dari membaca buku-buku komputer yang ia bawa sebagai buah tangan saat berlibur / dinas luat kota, bahkan ia membeli sebuah PC IBM pertama yang harganya sangat mahal untuk mendukung ketertarikan anak-anaknya dengan teknologi.

Begitu banyak yang beliau ajarkan tentang teknologi serta hidup. Menjabat sebagai seorang Group Head bukan berarti hidup kami bergelimang harta. Ia masih mencari penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan penerjemahan. Satu hal yang ia tanamkan adalah untuk selalu bersyukur dan tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Menghabiskan waktu sehari-hari dengan teknologi, apakah anda pernah mengalami isu sosial?

Sedari kecil, ayah saya selalu mengajarkan untuk berani berbicara. Saya sering melakukan presentasi di depan publik, juga belajar banyak tentang cara berinteraksi. Pengalaman menjadi mentor ilmu komputer telah saya geluti semasa SMA. Ketika masuk universitas, Saya memilih jurusan Teknik karena mengikuti saran beberapa teman. Tentu, saya memiliki teman.

Kegiatan saya tidak jauh dari bermain musik dan komputer setiap waktu, sampai saya menginjak perguruan tinggi. Saya memulai grup komputer di kampus dan terbuka untuk umum, ikut meramaikan paduan suara di kampus, sebelum akhirnya lulus walaupun seringkali mangkir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, pada masa ini saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, ia salah satu yang memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah.

Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus
Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus

Apakah anda pernah bekerja di perusahaan sebelumnya?

Ya, setelah lulus dalam kurun waktu lima tahun, saya mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Ketika teman-teman sudah memulai karier di perusahaan besar, saya masih menganggur selama 6 bulan. Banyak perusahaan besar yang menolak, sampai ketika sebuah kesempatan muncul di BBS (Bulletin Board System), salah satu perusahaan swasta populer di Indonesia sedang mencari lulusan komputer grafis handal.

Proses wawancara berjalan mulus dan saya berbicara banyak tentang bidang yang diminati. Tidak lama setelah itu, saya diterima dengan gaji yang melampaui perkiraan. Belum genap satu minggu diterima, saya akhirnya menolak sebuah penawaran oleh perusahaan lain yang tidak kalah terkenal, dan saya belajar mengenai komitmen.

Pada tahun 1994, anda muncul di media sebagai salah satu penemu VoIP. Bagaimana awal mula terciptanya VoIP sampai akhirnya mendunia?

Hal ini terjadi setelah lulus kuliah, saya merasa memiliki spesialisasi untuk memecahkan teka-teki. Dulu, saat internet masih langka, sebuah modem bisa mengonversi suara menjadi data. Lalu saya memiliki ide untuk menyambungkan modem dan mengembangkan perangkat untuk mengirim sinyal. Sekarang mungkin sudah menjadi hal biasa, namun di tahun 90-an, ini adalah sebuah revolusi luar biasa. Dalam istilah awam – ini disebut Jaringan Telepon Komunitas P2P di tahun 1994.

Saya berpartner dengan dua orang penggiat internet lainnya, Jeff Pulver dari New York dan Brandon Lucas dari Tokyo, kami mulai mengembangkan ide kemudian diberitakan oleh London Financial Times, Wall Street Journal dan beberapa media besar lain.

Setelah kisah penemuan tersebut, apa yang anda lakukan? Kapan anda mulai membangun bisnis?

Hal yang pertama saya lakukan adalah berhenti dari pekerjaan saya saat itu. VoIP sangat menyita waktu. Sementara itu, ada sangat banyak kesempatan di luar daripada hanya duduk di belakang meja. Ini menjadi pekerjaan pertama dan terakhir saya.

Berbicara mengenai membangun sebuah perusahaan, sebenarnya saya sudah memulai sejak di semester kedua perguruan tinggi, dengan membuat logo bergerak, saya menghasilkan uang untu membayar biaya kuliah dan lain-lain. Hal ini terjadi jauh sebelum saya bertemu mitra yang luar biasa kemudian berbagi pengalaman mengenai seluk beluk industri.

Di masa penjajakan, saya bertemu dengan seorang pemain industri yang tertarik dengan ide-ide saya dan mau berinvestasi. Euforia tak terhindari lalu saya dimanjakan dengan uang. Percobaan pertama adalah sebuah toko buku online bernama Sanur.com yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Saya beradu pendapat dengan investor dan memutuskan untuk keluar. Melalui proses yang panjanh serta dibantu oleh proyek seharga 200 juta Rupiah, akhirnya saya bisa berdamai dengan perusahaan lama. Dibantu oleh Jusuf Sjariffudin, bersama dengan Ishak Surjana, kami membangun perusahaan bernama Jatis.

Anda memulai Jatis dari awal hingga melahirkan kontribusi dalam industri. Mengapa anda memutuskan untuk keluar?

Kami memulai Jatis sebagai konsultan enterprise, saat perusaan asing sedang mendominasi. Strategi yang digunakan pada saat itu adalah menandatangani sebanyak mungkin kontrak serta melakukan pitching dengan berbagai macam klien. Bagaimanapun usaha yang dilakukan untuk membuat manajemen proyek yang solid dan sempurna, ternyata tidak didukung oleh kesepakatan harga yang sesuai. Konsultan menjadi bisnis yang sulit bagi pemain lokal ketika anda tidak bisa menetapkan harga kemudian menjadi isu ketika akan scale-up.

Mengembangkan bisnis dari skala kecil menuju skala menengah tidaklah sulit, namun setelah itu muncul perkara krusial dimana harus memilih untuk tinggal atau terus beranjak. Saya meninggalkan Jatis karna ketertarikan saya mulai bergeser ke ranah B2C dan lagi saya sudah lelah menjadi konsultan untuk B2B selama itu. Perputaran bisnis ini seperti gasing – hanya mengitari tempat yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi lebih lanjut. Bukan perkara mudah meninggalkan perusahaan yang sudah dibesarkan selama 12 tahun.

Izak Jenie bersama tim Jatis
Izak Jenie bersama tim Jatis

Selama membangun bisnis, bagaimana anda menghadapi jatuh bangun dalam industri teknologi?

Saat itu mungkin adalah titik terendah saya, tidak ada lagi tempat di industri ini, bahkan dimusuhi banyak pihak. Akhirnya, Saya menemui seorang mentor, yang juga teman lama – Simon Halim – mantan CEO E&Y. Ia yang mengarahkan saya untuk menyusun rencana serta membuat laporan setiap minggu. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan, selangkah demi selangkah saya kembali bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari lubang hitam. Menghadapi masalah dan hutang sama seperti mengikuti lomba renang, anda mulai meluncur lalu berhenti setiap 10 menit untuk mengambil nafas. Selama garis akhirnya tidak berubah – anda akan sampai pada waktunya.

Pada masa ini juga Nexian bermula. Ketika itu saya sedang dalam antrian untuk membeli sebuah perangkat lalu memutuskan untuk langsung menemui pendiri perusahaan dan mengemukakan ide untuk mengembangkan platform yang lebih baik. Proyek ini akhirnya berhasil dan Nexian berjaya pada saat itu. Saya memulai bisnis ini bersamaan dengan Nexian, fokus pada konten perangkat. Berbagai macam konsep disajikan dengan bantuan beberapa selebritis seperti Slank, Anang, Ashanti, Syahrini dan lainnya. Nexian JV adalah perusahaan pertama saya yang menuai profit.

Saat ini, anda menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta berkontribusi dalam banyak kegiatan dalam industri terkait. Bisa ceritakan bagaimana perjalanan anda sampai ke titik ini?

Semua menjadi lebih menarik ketika saya menemukan mitra saya sekarang – Jahja Suryandy, Martin Suharlie, dan Michael Stevens. Bersama-sama kami memulai MCAS Group pada tahun 2017 dengan visi untuk mendisrupsi ekosistem digital di Indonesia. Kami menjadikan perusahaan IPO dan sekarang berkembang pesat. Saat ini kami sedang melakukan penelitian mendalam tentang teknologi AI dan Fintech, yang berfokus pada pembentukan ulang berbagai industri dalam 20 tahun ke depan.

Tak ada satu industri pun yang dapat lolos dari penetrasi teknologi, dan dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar pekerjaan akan bertransfomasi menjadi mesin. Bukan berarti semua orang menjadi pengangguran, hanya saja pada akhirnya akan berpindah haluan pada pekerjaan dengan lebih banyak waktu luang untuk hal yang paling signifikan dalam hidup: keluarga.

Saya mungkin telah membuat beberapa keputusan buruk di masa lalu, tetapi kerja keras, ide, kegigihan adalah yang membuat kita berkembang setiap hari. Saya menjunjung tinggi , “Nilai anda bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang, tetapi seberapa banyak ide,” dan saya tidak pernah berhenti menghasilkan ide sampai sekarang.

MCAS IPO di 2017
MCAS IPO di 2017

Anda juga dikenal sebagai pembicara di banyak acara terkait teknologi, juga sebagai mentor bagi banyak inkubator startup. Menurut anda, apa hal yang paling fundamental dalam membangun bisnis?

Bagian tersulit dari membangun bisnis adalah bertransformasi dari bisnis pribadi menjadi sebuah institusi. Untuk bertahan, seseorang harus menciptakan sistem khusus serta mengatasi isu fundamental. Setelah itu, fokus pada apa yang anda lakukan sekarang, jangan terbawa euforia. Anda memulai begitu banyak bisnis sehingga tidak punya waktu untuk menggarap semua. Cobalah untuk tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Bagi mereka yang ingin memulai, mari kembali ke bagian paling mendasar dari bisnis ini – menghasilkan keuntungan yang sehat. Pada dasarnya, pembiayaan harus lebih kecil dari pendapatan, lalu perbedaannya disebut laba – dan jangan coba membuat definisi lain seperti kebanyakan startup.

Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial

Saat ini, startup sedang dalam masa sulit dan tidak terlalu bagus untuk industri. Pola pikir tidak sehat menjamur di mana para pendiri startup rela kehilangan uang demi mengejar nirwana. Nah, masalahnya tidak semua startup menjadi Unicorn, hanya yang gigih, memiliki jaringan dan bisa mengeksekusi dengan baik. Sisanya harus mempertahankan perusahaan dan akan sangat sulit jika anda tidak menghasilkan profit. Ada banyak kasus di mana para pendiri kelelahan dan bukan hanya bisnisnya yang gagal tetapi kehidupan pribadi mereka juga.

Jadi, sebisa mungkin – buatlah startup yang mendulang profit. Suntikan dari VC adalah permulaan yang baik, namun, jangan memanjakan diri dengan banyak seri dan cobalah menjalankan perusahaan secara mandiri. Setelah anda bisa menguasai hal itu, kebanyakan orang akan bisa mengikuti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Izak Jenie Learned Not to Bite Off More Than What He Can Chew

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Izak Jenie was having an ordinary life before he got introduced to the tech industry. He was amazed by the technology and what he can do with it. He started many companies at such a young age and experienced some failures during his business era.

In his 40s, he never stopped to create value and making innovation. Sticks and stones may break his bones but technology and internet always excite him. He is now the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributors to many other tech-related activities.

Below is the excerpt to sum up the dynamic chart of his career in the tech industry.

Izak Jenie serves as a director of Jakarta Founder Institute
Izak Jenie serves as a director of Jakarta Founder Institute

You’ve been having encounters with the tech industry at a very young age. What was your childhood like?

It was ordinary, spending most of my time playing around the neighbourhood. Back then, I was studying in one of the private schools in Jakarta with many regulations I’m not fond of. My health record was bad, I used to get convulsions and have asthma, thank God I’m still alive.

There is no academic issue back in the old days, but authority triggers me. I even made a petition when the school rescheduled PE to Bahasa Indonesia unnoticed, due to the absence of the teacher.

Who introduced you to technology?

My late father, Aldi Jenie. He was working at one of the state-owned enterprises, Pertamina, and also tech enthusiast. He often brought me to his office to see the latest technology and introduced me to the programming industry at the early days. When I was only 12 years old he introduced me to programming in the mainframe. I created my first programming language named APL (A Programming Language). I’m hooked! I learned so much from many computer books he brought while travelling/on duty, he even bought the first and very expensive IBM PC to support our interests in technology.

He taught me so much of technology and life itself. Having a position as a Group Head, we didn’t really dig a fancy life, he still made money out of freelance translation. The one thing he always says is to be grateful and don’t bite off more than you can chew.

Having a daily encounter with technology, are you having any issue with a social life?

Since I was a child, my father always told me to speak up. I do lots of public presentations, also learned so much about people interaction. I was a mentor in computer science since high school. I entered Trisakti university and took a major in Electrical Engineering because my friends doing so. Yes, I have friends.

My activity used to be doing music and computer all the time, I take it until my college life. I started computer clubs on campus also for the public and joined campus choir before I finally graduate after missing some classes because I’m too preoccupied with work. In fact, this is where I met my current wife, she motivated me to finish university.

Izak Jenie with the campus choir
Izak Jenie with the campus choir members

Have you ever worked in a company?

Yes, graduated in five years, I have difficulty in finding jobs. While my friends were working at high-profile companies, I was unemployed for 6 months. Most of the top-five companies reject my application, it was until an opportunity appears from BBS (Bulletin Board System) that one of the popular private company in Indonesia is looking for a high-skilled computer graphic graduate.

The interview went well and I got to talk so much on my favourite subject. After the not-so-long process, I got accepted with a salary above my expectation. It’s not even a week after my successful interview, I just declined an opportunity by another well-known firm. This is where I learned about commitment.

In 1994, you came up with VoIP. How did you come up with such an idea and make it into global recognition?

It was after I graduate college, my specialty is actually to solve a puzzle. Back then, when the internet was still a rare thing, there’s a specific modem that can convert voice into data. I initiated the idea to connect modems and create software to send signals. It might sound simple nowadays, but in the 90’s it was such a revolution. In current layman terms – it was P2P Community Phone Network in 1994.

I made a pact with two other internet enthusiasts, Jeff Pulver in New York and Brandon Lucas in Tokyo, we started to develop the idea and make it into the news in London Financial Times, Wall Street Journal and other big media. It really helps with my career until now.

After the discovery, what did you do? When were you started to build your own company?

First thing first, I resigned from the job I had. VoIP has taken most of my time at the company. Meanwhile, this world is too full of opportunity to just stay back by the desk. This has become my first and last job.

When we’re talking about building a company, actually, I started my own company of computer graphics at the 2nd semester in my college year, earned money by making flying logos to pay my own bills and tuition. It was long before I met some great colleagues and shared insights from many parts of the industry.

In my exploration time, I met someone in a similar industry which was fond of my idea and willing to invest some cash. Euphoria struck hard and I was spoiled by easy cash. My first trial is an online bookshop named Sanur.com and it didn’t work as planned. I’m having an argument with the investor and decided to step out. After a long process and a project worth Rp200 million, I can finally make peace with my last company. Jusuf Sjariffudin also took part in the success, with Ishak Surjana, we created a company named Jatis.

You started Jatis, build the whole company from scratch until making impact. Why you decided to leave?

We started Jatis as an Enterprise Consultant when foreign business arrived and dominate the market. My strategy was to sign contracts as much as possible by pitching with many potential clients. However, our attempt to create a perfect and solid project management model does not supported by good pricing model. Consultancy is a tough business when you are a local player since mostly you don’t command the pricing structure and it becomes an issue when we’re trying to scale-up.

Accelerating from small to middle-size might be easy, from that point further is the crucial part, whether to stay or to climb higher. I left Jatis because of my interest shifted in B2C technology market and I’m pretty tired back then as a consultant to do the same B2B over and over again every year. My business life was like spinning toy – I circling around in the same place for years and cannot innovate further. It’s not easy to leave a company where you’ve been working for 12 years.

Izak Jenie with Jatis team
Izak Jenie with Jatis team

During your business experience, how did you manage to rise from the failure?

I think it was the lowest point, there is no place for me in the industry, I was so close to being a public enemy. Finally, I had a meeting with my mentor, also my old friend – Simon Halim – he was ex-CEO of E&Y. He taught me to make plans and report the progress every week to him. He helps me carefully list all my problems, categorized it one-by-one and create a solution for each. Step by step, I get back on track and managed to get out of all my problems in three years. Fighting your problems and debt is like taking the swimming practice, you just start your long swim and take a breath every 10m or so. As long as the finish line does not move – you will get there eventually.

During this moment is also the starting point of Nexian era. I was in the long queue to buy the handset when I decided to approach the founder and declared my mission to create a better app for the product. It turned out well and Nexian becomes the hype that day. I created a company together with Nexian, focus on mobile content for handsets. We created dozens of handset concept with the help from notable celebrities like Slank, Anang, Ashanti, Syahrini and other innovative concepts. Nexian JV is my first highly-profitable company.

Currently, you are the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributor to many other activities in the industry. Tell me more about the journey.

My life becomes more interesting when I met my current partners — Jahja Suryandy, Martin Suharlie, and Michael Stevens. Together we started MCAS Group in 2017 with the vision to disrupt the digital ecosystem in Indonesia. We took the company public and now the business grows very fast. We are now conducting in-depth research on AI technology and Fintech, focusing on reshaping various industries for the next 20 years.

There is no single industry able to escape technology penetration, and in the next 20 years, we are to shift most of the work into machines. It doesn’t mean to be unemployed, but most people will move to much better jobs with more free time in their hand for the most important thing in life: family.

I might have made some bad decisions in the past, but hard-working, ideas, persistence will always help us progressing every day. I always look up the quotes “Lack of money doesn’t make you lose your value, but lack of idea is,” and I never stopped producing ideas up until now.

MCASH IPO in 2017
MCASH IPO in 2017

You’ve known as a speaker at tech-business events and also a mentor to many startup incubators. What do you think is very fundamental in building a business?

The hardest part of developing a company is to transform a personal-based business into an institution. In order to survive, one must build a system and fix the fundamental issue first. Also, focus on what you’re doing now, do not get too excited you started so many businesses you have no time to handle. Try not to bite off more than you can chew.

For those who want to start, let’s go back to the most fundamental part of the business – create a healthy profit. Basically, your cost should be less than your revenue, and the difference of it is simply called profit – please don’t try to come up with other definition as most startups do.

Izak Jenie as a speaker at SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie as a speaker at #SelasaStartup / DailySocial

Nowadays, startups are bleeding and it’s not really good for the industry. Toxic mindset is mushrooming where startup founders think that it is ok to lose money and chase the future nirvana. Well, not everyone will become Unicorn, only those who are persistence, have a good network and execute well are capable. The rest has to struggle for the company to stay afloat and it’ll be very difficult when you have no profit. I’ve seen too many cases where founders got exhausted and not only the business failed but their personal life as well.

Thus, as much as possible – make your startup profitable. VC money is a good way to jumpstart your business, however, don’t be spoiled with multiple series of VC money and try to run the company independently. Once you master it, most people can easily replicate.

Edy Sulistyo: “Menyelesaikan Isu Fundamental dalam Industri Hiburan bukanlah Perkara Instan”

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Belum lama ini ditunjuk sebagai CEO Gojek Entertainment, perjalanan Edy Sulistyo sebagai pebisnis tidaklah selalu mulus. Ia membangun beberapa bisnis lalu menuai exit sebelum membuka babak baru bersama startup decacorn Indonesia.

Edy memulai karir bisnisnya sejak masih duduk di bangku SMA. Ia mulai dikenal saat mendirikan layanan manajemen event bernama eEvent.

Setelah eEvent diakuisisi oleh perusahaan lokal Amerika, Ia pulang ke Indonesia untuk membangun Loket.com. Ia memutuskan untuk fokus dalam industri hiburan tanah air. Bisnisnya berjalan lancar sampai pada akhirnya Gojek datang dengan mengusung visi yang sama.

DailySocial membahas lebih lanjut mengenai lika-liku kehidupan berbisnis Edy Sulistyo dalam sesi Q&A. Berikut penggalan kisahnya:

Bagaimana pengalaman pertama Anda sebagai seorang pebisnis?

Saya mulai mengembangkan situs (dulu belum ada terminologi startup) bernama Kamus Online. Hal ini didorong kebutuhan akan kamus yang lengkap. Saya harus belajar untuk tes dan tidak ada pilihan lain kecuali membuat versi online kamus cetak. Ternyata, teknologi ini berguna bagi banyak orang. Yang saya lakukan adalah crowdsourcing kosakata dari kamus, ketika ada kata yang belum terdaftar, siapa saja bisa menambahkan dalam database. Situs ini akan terus berkembang dan semakin pintar. Pada saat itu, saya baru menyadari bahwa sedang membuat teknologi yang saat ini disebut machine learning. Seiring berjalannya waktu, Kamus Online menjadi semakin berkembang dan menjadi pilihan utama. Situs ini berjalan selama 8 tahun dari 1999 hingga 2007.

Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah langsung terpikir untuk memulai eEvent?

Belum, saya mengembangkan beberapa situs lain seperti Files upload yang berfungsi hampir seperti dropbox saat ini. Saya membuat itu karna seringkali mengalami kesulitan dalam mengirimkan data yang berukuran besar. Dalam menjalankan situs ini, hampir setiap hari saya berkutat dengan email dari institusi keamanan karena banyaknya yang meng-upload konten ilegal, belum lagi cease and desist letter yang menumpuk. Hal ini sangat megganggu, email datang bertubi-tubi, dimana ketika tidak dibalas akan semakin sering masuk dan beresiko menyudahi bisnis. Ini bertahan selama 6 sampai 8 bulan dengan 300 ribu pengguna sebelum saya memulai proyek baru bernama circlemail.com. Secara fundamental, situs ini diciptakan untuk mengatasi masalah keterbatasan ruang penyimpanan. Circlemail.com memiliki konsep unlimited storage menggunakan referensi dilengkapi dengan drive dan galeri foto.

Bertahun-tahun membangun dan menjalankan bisnis, apa saja yang Anda pelajari?

Kebanyakan hal-hal teknis, tapi yang tak kalah penting adalah kerasnya hidup sebagai seorang founder. Saya harus menjalankan layanan end-to-end sembari menyelesaikan studi. Itu adalah saat-saat tersulit untuk bisa fokus. Dari sisi Files upload, saya belajar bagamana mengatasi grey area. Sebuah hal yang kompleks mencakup pelanggaran hak cipta. Bahkan layanan komputasi awan sekelas Dropbox mengalami isu yang sama, namun teknologi masa kini semakin berkembang. Saat itu, kami hanya menggunakan teknologi yang ada.

Langsung saja memasuki pembahasan tentang eEvent, bagaimana awal mula Anda mengembangkan layanan ini?

Sederhana saja, co-founder saya sedang mengelola salah satu festival terbesar di Asia. Ia meminta bantuan, lalu kami dengan senang hati ikut berkontribusi. Ternyata, mereka masih menggunakan cara-cara konvensional untuk mengelola event dengan penonton tidak kurang dari 350.000 orang di akhir minggu. Lalu, kami pun berinisiatif untuk mengembangkan teknologi demi mempermudah prosesnya, saat itulah lahir eEvent. Kami turut mengelola beberapa acara di sekitar Columbus sebagai validasi bisnis sebelum memulai penggalangan dana.

eEvent adalah proyek pertama Anda yang melibatkan pendanaan VC. Mengapa butuh banyak dana? Coba ceritakan pengalaman pertama Anda dalam menggalang dana.

Bisa dikatakan, eEvent adalah startup pertama saya yang bukan single man show. Saya harus mempekerjakan orang, yang berarti memiliki tanggung jawab lebih besar. Pertimbangannya adalah model bisnis B2B2C membutuhkan banyak SDM untuk berkembang. Saat itulah saya rasa waktu yang tepat untuk penggalangan dana. Pendanaan pertama kami adalah sebuah keberuntungan. Seorang angel investor, ahli bedah plastik ternama di dunia dari Indonesia. Namun, memiliki investor yang tidak relevan ternyata bisa menjadi boomerang. Kami belajar banyak, bahwa untuk bisa berkembang juga harus strategis dalam memilih investor. Tidak lama setelah itu, kami mengadakan putaran awal dari institusi. Putaran ini lebih strategis karena pihak investor juga mengadakan semacam program inkubator. Kebetulan, kami juga memiliki kemitraan strategis dengan investor lokal bernama Ideasource.

Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Komputer tanpa latar belakang finansial bisnis, bagaimana Anda bisa bertahan?

Ini adalah sebuah proses sebagai individu. Sebagai mahasiswa Ilmu komputer, saya cenderung introvert. Saya tidak suka berbincang dan lebih memilih duduk di depan layar komputer. Hal-hal ini menurut saya tidak signifikan, namun ketika membangun bisnis, semua menjadi berbeda. Yang menurut saya menarik, belum tentu menyenangkan di mata orang lain. Saya berfikir untuk menyederhanakan prosesnya tapi tidak semua orang peduli. Pelajaran terbesar adalah, kami membuat banyak kesalahan dalam desain program karena merasa tau apa yang diinginkan konsumen.

Apa yang membuat Anda berfikir untuk memperkenalkan eEvent di Indonesia?

Sekitar tahun 2009 adalah masa kejayaan startup lokal. Sesungguhnya, kami tidak pernah berniat untuk ekspand ke Indonesia. Namun, karna besarnya exposure dari startup lokal, Indonesia menjadi negara dengan pengguna kedua terbesar setelah US. Lalu, kami mulai bolak balik untuk merencanakan ekspansi. Sayang sekali, pasar yang berbeda memiliki budaya yang berbeda juga. Sistem kerja, pola pikir, segala proses yang kami atur menurut pasar US tidak bisa diimplementasikan di pasar Indonesia. Kami mencoba segala macam modifikasi, tapi pasarnya memang belum siap. Maka dari itu kami memutuskan untuk kembali dan fokus di pasar US.

Apa yang terjadi sebelum proses akuisisi? Mengapa Anda memutuskan untuk menjual bisnis ini?

Pada saat itu, kami sedang berkembang dan menjadi salah satu pemain terdepan di area midwest, terutama Ohio. Namun, segment B2B2C ini sangat tricky dari segi monetisasi dan tingginya burn rate. Meski mendapat keuntungan, dibandingkan dengan banyaknya uang yang dibakar, masih jauh dari positif. Kami harus mengadakan penggalangan dana di Silicon Valley, Los Angeles, bertemu dengan beberapa mentor ternama. Pada saat itu, pasar Amerika sedang dikuasai Evenbrite, dan ada satu waktu kami sangat dekat dengan kemungkinan akuisisi oleh Evenbrite. Tanpa diduga, salah satu perusahaan lokal bernama Envision Point datang dengan penawaran yang jauh lebih menarik. Saat itu kami exit sepenuhnya.

Sebagai seorang Founder, pastilah banyak pertimbangan dalam menjual bisnis. Apa yang menjadi visi Anda pada saat itu?

Kami selalu memiliki misi untuk melakukan sesuatu bagi Indonesia. Semua founder di US adalah orang Indonesia dengan pegawai lokal. Walaupun kita sudah bisa memasukkan Indonesia ke dalam peta dunia, masih terasa ada yang kurang. Jatuh bangun berkompetisi di pasar US demi apa? Uang mungkin salah satunya, tapi mimpi kami adalah membuat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi Indonesia. Banyak hal yang jauh lebih besar di Indonesia bisa diatasi dengan teknologi. Sayang sekali kalau kita hanya melihat tanpa bertindak. Jika kita bisa membuat bisnis yang sukses di Amerika, alangkah lebih baik kita melakukannya di Indonesia. Visinya adalah untuk mempercepat penjualan. Mengadakan event yang sukses menjadi sulit karena kurangnya publikasi dan proses pemasaran yang masih jadul. Melihat ke depan, ada isu yang lebih besar daripada itu. Dalam hal keamanan, korupsi tiket, dan isu fundamental lainnya. Daripada hanya fokus menjual tiket, kami merasa tertantang untuk membuat disrupsi di industri hiburan keseluruhan.

Mengapa memilih industri hiburan / event?

Saya tidak pernah bermimpi menjadi raja event. Satu-satunya hal yang kami pedulikan adalah bagaimana menyelesaikan isu fundamental dalam event itu sendiri. Lalu, kami memutuskan untuk mengembangkan layanan end-to-end dalam industri ini, melibatkan TMS (Layanan Manajemen Tiket), sistem keamanan, untuk memastikan tidak ada celah untuk kecurangan. Kami menyadari bahwa solusinya bukanlah dengan mempercepat penjualan tiket tapi meningkatkan kualitas acara itu sendiri. Hal itu yang membuat sebuah bisnis bertahan dan mengembangkan industri keseluruhan.

Pastinya ada banyak pengalaman dalam menjalani bisnis, apakah Anda pernah melakukan kesalahan?

Jangan berasumsi dan utamakan validasi. Sebagai seorang dengan latar belakang teknisi, saya merasa harus berkomunikasi lebih banyak. Menyadari bahwa apa yang kita pikirkan ternyata salah adalah eureka moment bagi saya. Ketika saya membuat Loket, bisa saja mencontek dari eEvent. Namun, saya sadari hal itu tidak akan berhasil melihat budaya yang berbeda di sini. Masyarakat Indonesia lebih suka dilayani daripada melakukan self-service. Daripada memaksakan pemikiran kami, lebih baik menjalankan semua proses agar mereka bisa terima beres.

Bagaimana hari pertama Anda di Loket?

Kami memulai dengan tiga orang founder dan beberapa karyawan. Sesungguhnya kami melakukan proses pemasaran sebelum produknya jadi. Setelah melakukan berbagai analisis, kami menemukan bahwa orang rela mengeluarkan kocek lebih untuk hal ini. Bukan sesuatu yang menguatkan, tapi sebagai peredam.

Adalah suatu keharusan bagi seorang founder untuk terus menggalang dana, adakah yang bisa dibagikan dari pengalaman kedua Anda?

Sesungguhnya, kali kedua adalah penggalangan dana internal. Kami memiliki model bisnis B2B, pada dasarnya tergantung pada proyek dan sangat sederhana. Strategi bakar uang tidak lebih baik daripada fokus membangun bisnis yang bertumbuh. Pada akhirnya, yang kita inginkan adalah membangun bisnis yang nyata. Mimpi kami adalah untuk menyelesaikan masalah dan membuat disrupsi dalam industry dengan cara yang paling fundamental. Hal ini mengharuskan kami untuk memiliki sustainable business demi bisa menyelesaikan isu fundamental di Indonesia.

Apa yang menjadi mimpi paling buruk selama menjalankan Loket?

Pada awalnya, kami sangat frustrasi setiap kali menjalankan event. Situs tidak bisa diakses, miskomunikasi di mana-mana, pemesanan ganda, dan banyak lagi masalah yang menuai keluhan tak henti-henti. Seringkali terjadi pada acara besar, membuat sakit telinga dan pusing kepala. Selain itu, dari segi keamanan tidak luput dari cela, barang hilang, keterbatasan sinyal mengacaukan segalanya, adalah hari yang paling menyedihkan. Semua pengalaman menjadikan kami lebih baik, kami belajar banyak dari sisi bisnis dan teknologi. Dari segi sosial, kami belajar mengatasi masalah dengan cara yang paling manusiawi.

Bagaimana pendapat Anda tentang competitor?

Bagi saya, kompetitor tidak pernah menjadi masalah. Selama fokus kami adalah untuk memberikan pengalaman terbaik bagi konsumer, semua akan baik-baik saja.

Membahas hal yang lebih personal, bagaimana Anda bisa mengatur waktu bekerja dan berkeluarga?

Sangat sulit. Beruntung, saya bekerja di industri teknologi yang memungkinkan semua orang bekerja dimana saja. Hal baik dari melakukan pekerjaan yang Anda suka dan kagum adalah pekerjaan dan kehidupan menjadi dua hal yang sama. Terlebih, sangat penting memiliki pendamping yang sangat mendukung. Segala sesuatu yang terjadi baik dalam finansial atau manajemen waktu, selama melakukannya bersama-sama, bisa dihadapi.

Apakah Anda punya support system selain keluarga?

Teman-teman gereja. Menjadi founder startup sangatlah melelahkan. Seringkali timbul momen di mana saya ingin berteriak dan menyerah saja. Terkadang, beban terberat yang dihadapi bukanlah masalah personal tapi mencoba mengerti permasalahan orang lain. Beruntung, saya punya banyak orang yang berdoa untuk saya.

Bagaimana dengan cerita dibalik akuisisi Gojek?

Saat itu, Loket sudah siap untuk menyasar segmen B2C, kami mencoba melakukannya sendiri dan sangat sulit karena belum punya pengalaman. Sementara itu, Gojek memiliki platform B2C bernama Gotix yang juga adalah reseller kami. Kedua perusahaan saat itu sedang dalam zona aman, setelah menyelesaikan putaran pendanaan dari East Ventures. Setelah mengalami perbincangan serius dengan Founder dan CEO Gojek Indonesia Nadiem Makarim, kami menemukan satu visi yang sama. Untuk bisa mempercepat prosesnya, saya setuju untuk menjual dan bergabung dengan Entertainment unit Gojek Indonesia.

Bagaimana kelanjutan dari proses akuisisi sampai tercipta Gojek Entertainment? Apakah Anda puas dengan hasilnya?

Semua masih dalam progress, tapi secara personal, saya bahagia. Dalam percobaan disrupsi industri hiburan, kami menemukan banyak hal yang hilang, bukan hanya dari segi acara tapi juga dari industri perfilman. Mereka sudah mendapat dukungan dari pemerintah. Tetap hal ini mendorong kami untuk melakukan sesuatu. Sampai ada akhirnya memutuskan untuk memasukan industri perfilman dalam payung entertainment unit. Semua itu adalah proses belajar, tidak ada yang paling mengerti, industri ini sangat rumit. Pekerjaan kami tidak selesai sampai di sini, tapi kami bisa melihat kemana arahnya. Saya juga mendapat banyak antusiasme masyarakat dan pelaku industri.

Bagaimana tentang Go-Play dan kaitannya dengan visi Anda?

Dalam hal industri film, kami menempatkan Go-Play sebagai platform dimana kami menyediakan kanal untuk content creator. Sebagai sebuah platform, kami berharap bisa meningkatkan kualitas industri. Kebanyakan orang menganggap film Indonesia tidak layak. Sementara, beberapa terbilang cukup bagus dan bisa bersaing di kancah internasional. Sangat disayangkan jika tidak terekspos, kami mencoba memfasilitasi dan mendukung industri perfilman Indonesia.

Pada level Anda sekarang, apakah ada hal terkait rencana Gojek yang bisa dibagikan disini?

Gojek selalu fokus untuk memberi dampak dari sisi teknologi. Memasuki industri entertainment, misi tersebut menurun. Saat ini Go-Play masih dalam versi beta, kami ingin memastikan pengalaman yang tepat untuk konsumen. Ini adalah sebuah proses validasi.

Apa yang menjadi goal anda dalam beberapa tahun ke depan?

Saya sangat ingin menjadi bagian dari sesuatu yang berdampak besar daripada uang semata. Kita sekarang berada di masa dimana ada sesuatu yang lebih besar untuk dicapai. Saya personal merasakan hal ini sebagai salah satu cara memuaskan diri. Meninggalkan sebuah warisan, sesuatu yang membuat orang-orang di sekitar saya bangga dan bahagia.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Edy Sulistyo: “Fixing Fundamental Issues in The Entertainment Industry is not an Overnight Process”

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Recently appointed as the CEO of Gojek Entertainment Unit, Edy Sulistyo’s journey wasn’t just a walk in the park. He started multiple businesses and had some valuable exit before taking a big step with Indonesia’s decacorn.

Sulistyo started his entrepreneurial journey since he was still in high school. He began to get recognized by his online event management service called eEvent.

After exiting his previous business to the local company in the US, he traveled back to Indonesia to start Loket.com. He decided to go all-in for the entertainment industry. The business grew up well up to the point Gojek came offering a new future.

DailySocial decided to have a Q&A session to dig further on his journey up to this point. Hereby the transcript:

What is your first entrepreneurial experience?

It was far back then in Surabaya. I started a website (back then we didn’t call it startup) called Kamus Online. It was out of necessity, due to lack of a complete dictionary. I need to learn for the test and had no choice but to create the online version of the printed dictionary. Apparently, it turns out useful for most people, a lot of people are using it. What I did was actually crowdsource-ing the vocabulary, and if there’s something that is not in our database, people can start added new terms. The website becomes smarter every day and then. At that time, I didn’t realize I just built what we called machine learning today. Time flies, Kamus Online grows even bigger. It has become ‘the dictionary’ and lasted for 8 years from 1999 to 2007.

What happened afterward? Did you create eEvent right away?

Not really, I started many other websites, such as Files upload, it’s similar to dropbox today. I make it simply because it was difficult to transfer files in large size at that time. During the operation, I have to deal almost every day with security services due to many uploads of illegal contents, not mentioning the cease and desist letters. It’s super annoying, dealing with dozens of letters, which when you didn’t reply, it’ll become stronger and continue to shut down your company. It lasted for 6 to 8 months, with more than 300 thousand users before I started another project named circlemail.com. It was created fundamentally to answer the lack of storage in mail services. I build this with the concept of unlimited storage by referral and it comes with drive and photo gallery.

During the years of running a business and creating another, what have you learned?

A lot of technical skills, but mainly the tough life of being a founder myself. I have to handle end-to-end services while earning my degree at the university. It’s really a hard time to focus. In terms of Files upload, I learned how to dealing with the grey area. Something very complicated involving violation of rights. Even the biggest online cloud is facing the same issue, but today’s technology is getting better. Back then, we worked with what we have.

Fast forward to eEvent, how did you come up with the idea?

It’s quite simple. My co-founder was organizing one of the biggest Asian festivals in town. He asked for help, so we give a hand. Apparently, they’re using the conventional way in order to manage at least 350,000 people over the weekend. Then, we come up with the idea to build a technology to simplify the process, and there it goes, eEvent. We handled some more event around Columbus to validate our business before starting to fundraise.

eEvent is your first project with venture capital funding. Why did you think you need that? Tell me more about your first fundraising.

I would say, eEvent is my first startup that is not a single man show. I need to hire people which means I have more responsibility. Considering our business model as B2B2C, we need many resources in order to scale up. That’s when I think it’s time for fundraising. My first funding was lucky. It was an angel, a highly recommended plastic surgeon in the world from Indonesia. Having an irrelevant investor did not turn out well. We’ve learned that in order to scale up, we should be strategic in choosing our investors. Not long after that, we raise a seed round from the institutional investors. This one is better because they held some kind of incubator program which is more related. We also happened to have a strategic partnership with a local investor named Ideasource.

As a Computer Science student with no financial business background, how could you manage to survive?

It’s a process as an individual. As a computer science (CS) student, my nature is always introvert. I don’t like to talk to people, I like to stay behind the computer screen. It was something I thought not sufficient, but when we run a business, it’s different. The thing that interests me might not very relevant to the customers. My brain tried to optimize things but turns out no one really cares. The biggest lesson is, we made a lot of mistake in program design because we think we know what the customers want.

What makes you think you can bring eEvent to Indonesia?

It was around 2009 that the rise of the local startups. We never aim to expand to Indonesia. Somehow, due to the startup local exposure, Indonesia has become our second biggest user base after the US. Then, we started to go back and forth to expand this business. However, the different market runs a different culture. The workflow, mindset, all the process we designed for the US market aren’t working as well as we thought it would be in Indonesia. We tried a lot of modification, but the market wasn’t ready. We decided to go back and focus in the US.

What happened before the acquisition and why did you decide to sell it?

Basically, at that time, we were growing and becoming number 1 in the midwest area, especially in Ohio. However, B2B2C is very tough because the burn rate is high and monetization is hard. We gain revenue, but given the money we burnt, it’s far from positive. We need to fundraise more from many investors in Silicon Valley, Los Angeles, met with a couple of high-profile mentors. At that time, the market was dominated by Eventbrite, and at some point, the discussion was getting very close to the possible acquisition by Eventbrite. Somehow, we get a surprise offer from a local company named Envision Point. It’s more attractive given the strategic value the company brings. It’s a pure exit.

Being a founder myself, there must be much consideration for you to sell this business.  What was your vision?

We always had the vision to do something for Indonesia. Our company in the US has all Indonesian founders with local employees. Although we’re already making something to put Indonesia on the map, there’s something missing. We took this competition all the way in the US for what? Money is one thing, but we aim to make something more impactful to Indonesia. There are much bigger problems in Indonesia to solve with technology. It’s unfortunate to just let it slide. If we can make a successful business in the US, might as well do it in Indonesia.
The vision was to make event sell out faster. It’s hard to make a successful one due to lack of exposure and the conventional way of marketing. However, when we see further, the issue is much bigger than that. In terms of security, ticket corruption, and many more fundamental issues. Instead of only focused to sell faster, we feel encouraged to make disruption in the entertainment industry overall.

Why did you choose the event industry?

I never dreamed to be the king of events. The only thing we care is to fix the fundamental issue within the event itself. Then, we decided to go end-to-end in this industry, involving the TMS (Ticket Management Service), security system, making sure there’s no loophole in the event. We realize that the solution is not only to sell tickets but to improve the quality of the event. Because that is what makes a sustainable business and increase the overall industry.

There must be lots of experience you’ve got from the previous business, have you made any mistakes?

Don’t assume and validate. As someone with a very technical background, I should’ve talked more to customers. Realizing that mostly what we think is wrong is the eureka moment for me. When I created Loket, I can just copy from eEvent. However, I realize that it’s not going to work due to the different culture. Indonesian people prefer to be served than to do self-service. Instead of forcing our idea, we decided to take the wheel and make it happened for them.

What was it like your first day in Loket?

We started with 3 founders and some early employees. Actually, we’ve been selling out the product before it’s even developed. After quite a hard work, we realized that this is a problem people willing to pay for. It’s a painkiller, not a vitamin.

Part of being a founder, you have to constantly fundraise. Care to share some insights on the second time?

It’s internal fundraising. We have a B2B business model, it’s basically project-based and very lean. In terms of burning money, we better ensure the sustainability of the company. At the end of the day, we want to build a real business. Our dream is to solve and disrupt the industry in fundamental ways. That would require us to have a sustainable business, so we can go to fix the issue in Indonesia.

What is the darkest nightmare you’ve experienced in Loket?

It was very frustrating at the beginning, every time we run an event. Website down, miscommunication everywhere, double booking, and many more reasons for customers to make complaints. Especially when doing big stage events, it’s really earful and crushing our mind. Moreover, the security wasn’t without flaws, there are missing items, signal lost ruined everything, it was really a heartbreaking experience. All of them really makes us better, we learn so much in terms of business and technology. In terms of social factor, we learned how to handle people in the most human way.

What do you feel about a competitor?

For us, competitors are irrelevant. As long as we can focus to deliver the best experience to our customers, we’re fine.

Talking about personal life, how did you manage to work and take care of your family?

It’s super tough. Luckily, I’m working on the technology industry that allows you to work from anywhere. The good thing about doing something you really like and you fascinate about, there’s no difference between work and life. Also, it’s really important to have a spouse that supports you. With everything going on in financial or time management, as long as you’re doing it together, it’s bearable.

Do you have support system aside from your family?

My church friends. Being a startup founder is very stressful. There are many times I strive to scream and give up. Somehow, the biggest burden is not about me personally, but trying to understand other people’s problems. Thank God I have so many people praying for me.

What was the story behind Gojek’s acquisition?

At that time, Loket was ready to get into B2C, we’ve tried to build it ourselves and it’s hard because we have no expertise at all. Meanwhile, Gojek has a B2C platform called Gotix, it was also our reseller. At that time, we’re both in a really comfortable seat, just after East Ventures.  After having a thorough conversation with the Founder and CEO of Gojek Indonesia, Nadiem Makarim, we happened to share the same vision. In order to make things faster, I decided to sell and join the Entertainment unit of Gojek Indonesia.

You might want to share the journey, what happened after the acquisition to the Gojek entertainment unit? Are you happy with the result?

It’s still a working progress, but personally, I’m happy. In terms of disrupting the entertainment industry, we started to realize missing pieces, not only from the event but also the filming industry. They already got a lot of support from the government. Still, it encourages us to do something about this. We decided to add the filming industry under the entertainment unit. It’s all learning process, nobody understands the industry and it’s very fragmented. Our work is not done, but we can see the growth. I also receive a lot of enthusiasm from the public and industry players.

What about Go-Play and how is it related to to your vision?

In terms of the film industry, we positioning Go-Play as a platform, where we provide content creator to have its own channel. The thing is we want to give them space to be creative. As a platform, we aim to improve Indonesia’s film industry. Lots of people might still consider Indonesian films not worthy. While in fact, some of them actually quite good to meet the international movie standard. It’s unfortunate to keep it hidden, we tried to be a platform that can also support the Indonesian film industry.

On a Gojek level you are now, is there any agenda you can share in the near future?

Gojek always focused on technology to make an impact. While we entering the entertainment industry, the mission derived. Go-Play is currently in beta version because we want to make sure the experiences are fit to customers. We really want to deliver the best value for customers, it’s a validation step for us.

What is your goal in the next few years?

I really want to be part of something that will make a really powerful impact instead of just money.  We’re all at the point where we thought there’s something greater to achieve. Personally, for me, it’s self-gratifying. It’s like leaving a legacy, something that makes people around me proud and happy.