Fujifilm GFX100 IR Dirancang untuk Keperluan Forensik Maupun Pelestarian Budaya

Dengan sensor medium format 100 megapixel dan banderol harga nyaris 160 juta rupiah, Fujifilm GFX100 jelas bukan untuk semua orang. Kendati demikian, Fujifilm rupanya masih punya cara untuk menyulap kamera mirrorless tersebut menjadi lebih spesial lagi.

Mereka baru saja memperkenalkan Fujifilm GFX100 IR, versi khusus GFX100 yang didedikasikan untuk keperluan fotografi inframerah. Bukan cuma 100 megapixel, kamera ini juga dapat menghasilkan gambar inframerah dalam resolusi 400 megapixel dengan memanfaatkan fitur pixel shifting – yang juga tersedia pada GFX100 standar lewat sebuah firmware update.

Menurut Fujifilm, gambar inframerah yang dihasilkan oleh GFX100 IR memungkinkan kita untuk melihat detail yang tidak tampak dengan mata telanjang. Kemampuan semacam ini tentunya dapat membantu para profesional yang bekerja di bidang forensik, semisal untuk mengidentifikasi dokumen yang dipalsukan.

Contoh lainnya adalah di bidang pelestarian budaya, di mana gambar inframerah yang dijepret oleh kamera ini dapat dipakai untuk menganalisis pigmen warna pada sejumlah karya seni maupun artefak bersejarah. Singkat cerita, kamera ini punya skenario penggunaan yang lebih spesifik lagi dibanding GFX100 standar. Berikut adalah dua contoh gambar normal beserta versi inframerahnya.

Fujifilm tidak lupa menambahkan bahwa beragam filter inframerah yang terletak di sisi depan lensa dapat dipakai untuk mengambil gambar di panjang gelombang yang berbeda guna menyingkap detail yang berbeda pula pada sebuah subjek foto. Tentu saja kamera ini juga dapat berfungsi secara normal layaknya GFX100 standar ketika dibutuhkan.

Tidak mengejutkan dari sebuah kamera profesional, GFX100 IR dapat ditempatkan di posisi yang semi-permanen, lalu disambungkan ke laptop atau komputer sehingga pengguna dapat mengambil beberapa gambar yang berbeda dari angle yang sama persis secara efisien.

Melihat sifat dasar GFX100 IR yang bisa dibilang sangat terspesialisasi, tidak heran apabila pada akhirnya kamera ini tidak akan dijual secara umum begitu saja, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang memesannya buat keperluan forensik, pelestarian budaya maupun penelitian-penelitian ilmiah.

Fujifilm juga tidak merincikan berapa harganya, tapi bisa kita tebak pasti di atas 160 juta rupiah. Penjualannya sendiri diprediksi bakal berlangsung mulai kuartal pertama 2021.

Sumber: PetaPixel.

Tokina Umumkan Tiga Lensa Baru untuk Fujifilm, Canon EF, dan Nikon F

Bagi pengguna kamera mirrorless Fujifilm, mereka tidak kekurangan pilihan lensa fix native. Namun opsi mereka bertambah banyak, Tokina telah mengumumkan dua lensa fix terbaru untuk sistem Fujifilm X-mount yaitu atx-m 23mm F1.4 dan atx-m 33mm F1.4.

Tokina atx-m 23mm F1.4 ini berarti menawarkan focal lenght ekuivalen 35mm di full frame, yang ideal untuk foto street dan lanscape. Sementara Tokina atx-m 33mm F1.4 ekuivalen 50mm di full frame, lensa sudut standar ini serbaguna dan cocok digunakan oleh amatir yang baru belajar memotret ataupun para profesional.

Kedua lensa ini memiliki fitur color balance tuning untuk menyesuaikan dengan berbagai mode film simulation khas Fuji. Serta, menawarkan autofocus yang cepat dan tetap senyap berkat penggunaan motor ST-M.

Tokina_II

Lebih lanjut, Tokina atx-m 23mm F1.4 dan atx-m 33mm F1.4 memiliki cincin aperture tanpa klik, nine-blade diaphragms, rentang aperture F1.4 hingga F16, ukuran filter 52mm, panjang 72mm, dan diameter 65mm. Sementara, bobotnya masing-masing 276 gram dan 285 gram.

Tokina juga mengumumkan lensa zoom terbaru untuk kamera DSLR Canon EF dan Nikon F yaitu atx-i 17–35mm F4. Lensa ini terdiri dari 13 elemen dalam 12 grup, dengan rentang aperture F4 hingga F22, jarak fokus minimum 28mm, memiliki rasio makro 1:4.82, dan filter depan berukuran 82mm.

tn1735cam2

Lensa ini memiliki fitur mekanisme One-Touch Focus Clutch dari Tokina, yang memungkinkan beralih antara autofocus dan manual dengan mendorong dan menarik laras lensa. Autofocus-nya sendiri menggunakan sensor Tokina GMR dan motor Silent Drive-Module (SD-M).

Mengenai harga, Tokina atx-m 23mm F1.4 dan atx-m 33mm F1.4 dibanderol masing-masing US$479 (Rp6,7 jutaan) dan US$429 (Rp6 jutaan). Sedangkan, Tokina atx-i 17–35mm F4 dijual US$600 atau sekitar Rp8,5 jutaan.

Sumber: DPreview 1, DPreview 2

Fujifilm X-S10 Adalah Penerus X-T30 dalam Bahasa Desain yang Berbeda

Dari sekian banyak kamera mirrorless bikinan Fujifilm, hampir semuanya memang mengadopsi desain yang terinspirasi oleh kamera analog. Namun ketika menggarap kamera terbarunya yang bernama X-S10 berikut ini, filosofi tersebut seakan tidak lagi berlaku.

Hasilnya adalah sebuah kamera yang fisiknya menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan. Memang X-S10 bukan yang pertama menerapkan arahan desain seperti ini, sebab sebelumnya sudah ada X-T200 yang mengambil jalur yang sama.

Bentuk grip X-S10 juga sangat berbeda dari biasanya, dan lebih menyerupai grip gemuk milik X-H1. Singkat cerita, kalau Anda mengincar desain retro khas Fujifilm biasanya, kamera ini bukan untuk Anda. Namun tentu saja desain baru sebagian dari cerita utuhnya.

Soal spesifikasi, X-S10 menambah jumlah kamera Fujifilm yang mengemas sensor X-Trans generasi ke-4 beserta chip X-Processor 4. Sensor tersebut masuk kategori APS-C, dengan resolusi 26,1 megapixel dan phase detection pixel sebanyak 2,16 juta. Fuji bilang kinerja autofocus X-S10 sangatlah mengesankan, mampu mengunci fokus dalam waktu 0,02 detik saja, serta sudah dibekali dengan kemampuan tracking mata yang amat presisi.

Berbeda dari X-T30 yang tidak dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS), X-S10 justru mengemas IBIS 5-axis terlepas dari wujudnya yang ringkas, yang bobotnya tak lebih dari 465 gram. Fuji bilang mereka harus merombak ulang IBIS milik X-T4, menyusutkan volumenya hingga sekitar 30% agar cukup dijejalkan ke bodi X-S10.

Sistem IBIS ini juga bisa bekerja selagi X-S10 merekam video. Kebetulan kapabilitas video X-S10 cukup mengesankan; video 4K 30 fps yang dihasilkannya merupakan hasil penerapan teknik oversampling. Ini berarti secara internal X-S10 sebenarnya merekam dalam resolusi 6K, sebelum akhirnya mengonversikan output-nya ke 4K tapi dengan tingkat detail yang lebih baik dan noise yang lebih rendah.

Di panel belakang, pengguna lagi-lagi akan menjumpai layar sentuh 3 inci yang fully-articulating, menjadikannya sebagai alternatif yang cukup menarik buat para vlogger. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan resolusi 2,36 juta dot; standar dan belum setajam milik X-T4.

Kalau saya ditanya di mana posisi X-S10 di lini kamera Fujifilm X-Series, maka saya akan menjawab persis di tengah-tengah X-T30 dan X-T4. Rekan saya, Lukman, yang sempat mengulas X-T30 secara mendalam, bahkan heran kenapa Fujifilm tidak menamai kamera ini X-T40 saja, tapi bisa jadi memang karena bahasa desainnya yang berbeda sendiri.

Kabar baiknya, Fujifilm X-S10 bakal mulai dipasarkan di tanah air pada akhir November 2020, berdasarkan keterangan resmi dari Fujifilm Indonesia. Harga jual resminya di sini belum ditetapkan, tapi di Amerika Serikat kamera ini dibanderol $1.000 (body only). Di AS, X-S10 juga dibundel bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4 seharga $1.400, atau bersama lensa XF 16-80mm f/4 R OIS WR seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel.

[Tips] Eksplorasi Kamera Fujifilm dengan Custom Setting

Daya tarik utama kamera Fujifilm adalah sensor X-Trans dan film simulation-nya. Kombinasinya sanggup menghasilkan foto yang sangat unik dengan nada warna yang ‘kuat’.

Bicara soal warna, itu relatif karena selera orang berbeda-beda alias cocok-cocokkan dan saya termasuk yang sangat menikmati suguhan warna Fujifilm. Namun kesukaan saya terhadap film simulation tidak terjadi secara instan, sebelumnya saya mengulas Fujifilm X-T30, X-A7, dan X-Pro3.

Saya belajar banyak hal saat review X-Pro3 dan akhirnya memutuskan meminang X100F di awal tahun 2020. Kenapa memilih X100F? Saya pikir kamera ini paling mendekati pengalaman seri X-Pro, saya butuh yang ringkas, dan tidak memikirkan gonta-ganti lensa. Saya dapat X100F second yang masih bergaransi, harganya sangat anjlok dari harga barunya.

Membuat Custom Setting

2e2e705b4dd306cdcca90f3b945fe279_PSX_20200129_182755

Awal tahun 2020 saya makin rajin street hunting bersama Fujifilm X100F dan mencoba berbagai mode film simulation-nya. Hasil foto format JPEG-nya luar biasa, tapi saya selalu menyimpan dalam JPEG dan Raw untuk jaga-jaga bila perlu diedit lebih serius.

Film simulation ini baru awal kesenangan, karena pada kamera Fujifilm kita bisa berbuat lebih jauh dengan membuat pengaturan khusus atau custom setting. Caranya klik tombol menu, pada image quality setting pilih opsi edit/save custom setting.

Pada Fujifilm X100F tersedia 7 slot custom setting yang bisa disesuaikan sesuai preferensi. Pengaturan ini akan berpengaruh pada foto JPEG saja, mulai dari dynamic range, film simulation, grain effect, white balance, highlight tone, shadow tone, color, sharpness, dan noise reduction. Resepnya sudah banyak bertebaran di internet dan favorit saya untuk street photography pengaturannya sebagai berikut:

  • Classic Chrome
  • Dynamic range DR200
  • Grain effect strong
  • White Balance R:2 B:-5
  • Highlight tone -2
  • Shadow tone +2
  • Color -2
  • Sharpness +1
  • Noise reduction -4

Classic Chrome merupakan salah satu film simulation paling populer dan banyak digunakan untuk street photography atau dokumentary guna memperoleh shadow yang lebih kontras dan warna vintage yang nostalgia. Untuk mempertahankan detail pada area shadow dan highlight saya menggunakan dynamic range DR200 yang mana ISO dasar yang dibutuhkan ialah 400. Hasil fotonya sebagai berikut.

Resep lain yang sedang saya coba ialah Acros + R dari Fujixweekly, selama pandemi dan memotret di sekitar lingkungan rumah. Dalam percobaan pengaturannya sudah saya sesuaikan lagi, khusus yang satu ini saya selalu menggunakan jendela bidik dan manual fokus.

Mengambil komposisi lewat layar dan autofocus membuat pemotretan terasa sangat cepat. Penggunaan jendela bidik dan manual fokus adalah cara saya agar bisa menikmati proses pengambilan karya foto, saya pikir kenapa harus selalu tergesa-gesa. Contohnya sebagai berikut:

  • Acros + R
  • Dynamic Range: DR200
  • Highlight: +4
  • Shadow: +3
  • B&W Toning: 0
  • Noise Reduction: -4
  • Sharpening: -4
  • Clarity: +5
  • Grain Effect: Strong, Large
  • Color Chrome Effect: Off
  • Color Chrome Effect Blue: Off
  • White Balance: 2750K, -5 Red & +9 Blue
  • ISO: Auto, hingga ISO 6400

Project berikutnya, saya sedang mencoba resep berikut. Dari Fujixweekly juga untuk mendatangkan film Kodak Ektar 100. Untuk mendapatkan foto dengan warna yang cerah, kontras tinggi, dan grain yang halus.

  • Astia
  • Dynamic Range: DR-Auto
  • Highlight: +1
  • Shadow: +3
  • Color: +4
  • Noise Reduction: -3
  • Sharpening: +1
  • Grain Effect: Off
  • White Balance: Auto, +3 Red & -2 Blue
  • ISO: Auto up to ISO 6400
  • Exposure Compensation: 0 to +1/3

Masih banyak lagi resep custom setting yang ingin saya coba, biasanya saya akan fokus mencoba satu per satu sampai mendapatkan cukup banyak stok sambil otak-atik lagi pengaturannya. Tujuan resep ini ialah untuk mendapatkan foto JPEG yang mengesankan, hanya butuh sedikit sentuhan editing kecil tapi sebaiknya tetap menyimpan format Raw juga.

Fujifilm Umumkan Speedlight EF-60 dan Wireless Commander EF-W1 untuk Sistem X Series dan GFX

Fujifilm telah mengumumkan Shoe Mount Flash EF-60 dan Wireless Commander EF-W1 untuk sistem kamera mirrorless APS-C Fujifilm X series dan GFX. Speedlight EF-60 merupakan flash wireless clip-on pertama Fujifilm yang dapat dikendalikan dengan radio.

Flash eksternal EF-60 ini dapat dipasang di bodi kamera lewat hot shoe. Kita juga bisa bereksperimen dengan teknik strobist (flash tidak menempel pada kamera) yang memberi fleksibilitas penempatan cahaya untuk mendapatkan foto yang lebih berdimensi.

Shoe-Mount-Flash-EF-60-3

Meski hadir dengan dimensi compact dan portabel, EF-60 menawarkan output yang kuat dengan sederet fitur kelas profesional. Jangkauan flash ini mencakup rentang zoom dari 24mm hingga 200mm dengan Guide Number (GN) maksimum 60 pada 200mm.

Shoe-Mount-Flash-EF-60-2

Sebagai informasi, GN akan berpengaruh pada tingkat cahaya yang dikeluarkan oleh flash. Di mana, semakin tinggi angka GN maka semakin kuat output cahayanya. Saat digunakan bersama Wireless Commander EF-W1, kita dapat mengontrol output daya EF-60 dengan penambahan 1/3 stop dan semua pengaturan bisa langsung disesuaikan dari EF-W1.

Fujifilm Wireless Commander EF-W1 sendiri pada dasarnya ialah Nissin Air10s Remote dengan branding Fujifilm. Flash trigger 2,4GHz ini mendukung mode TTL, Manual, dan FP High-Speed Sync. EF-W1 memungkinkan kita mengambil kendali penuh atas EF-60 saat tidak terpasang di bodi kamera dan kompatibel dengan flash NAS (Nissin Air System) lainnya. Serta, mendukung hingga tiga grup dan 8 saluran.

Shoe-Mount-Flash-EF-60-4

Shoe Mount Flash EF-60 dibanderol US$400 atau sekitar Rp5,8 jutaan dan Wireless Commander EF-W1 US$200 atau Rp2,9 jutaan. Keduanya kompatibel dengan kamera large format seperti GFX100, GFX 50S, dan GFX 50R. Juga kamera APS-C Fujifilm X-series seperti X-H1, X-Pro2, X-Pro3, X-T1, X-T2, X-T3, X-T4, X -T20, X-T30, X- E3, X100F, dan X100V.

Sumber: DPreview

Fujifilm Mengembangkan Tape Magnetic Berkapasitas 400TB

Tape magnetic, media penyimpanan yang satu ini mungkin kurang familier bagi banyak orang. Tapi sebetulnya tape magnetic sangat penting untuk pengarsipkan data, karena memungkinkan menyimpan data jangka-panjang dalam jumlah besar.

Permintaan media penyimpanan data besar yang terus meningkat, kabarnya Fujifilm sedang mengerjakan teknologi baru yang akan menjadi terobosan besar. Sebab, menawarkan hingga kapasitas 400TB dalam satu drive.

Sebagai informasi, teknologi penyimpanan berbasis tape Linear Tape-Open (LTO), saat ini LTO berada di generasi ke-8 dan memiliki kapasitas maksimum 12TB. Teknologi LTO terbaru generasi ke-9, dijadwalkan tiba akhir tahun ini dengan kapasitas maksimal hanya 24TB.

Inovasi di balik potensi lompatan kapasitas penyimpanan tape magnetik hingga 400TB ini ialah karena lapisan baru pada pita tersebut. Bila LTO 8 dan LTO 9 menggunakan partikel magnetik yang disebut Barium Ferrite (BaFe), Fujifilm bermaksud menggunakan Strontium Ferrite (SrFe).

fujifilm-bafe-srfe-particle-size-comparison-2018

Menurut dokumen 2018 tentang LTO. Kualitas magnetik SrFe lebih superior dibanding BaFe sehingga memungkinkan mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi sambil semakin mengurangi ukuran partikel.

Fujifilm telah memulai penelitian tentang partikel SrFe pada tahun 2012. Pada tahun 2015 mereka berhasil mengembangkan 220TB dalam satu tape dan pada 2018 mereka percaya dapat mengurangi volume partikel hingga 40 persen. Ketersediaan tape magnetic dengan teknologi ini di ritel masih cukup lama, rencananya Fujifilm akan mengumumkan LTO berbasis SrFe pada tahun 2027.

Sumber: DPreview

Fujifilm Umumkan Lensa Fujinon GF 30mm F3.5 R WR dan Update Firmware Besar Untuk Seri GFX

Fujifilm telah mengumumkan lensa Fujinon GF 30mm F3.5 R WR, lensa GF premium dan merupakan lensa fix wide angle dengan panjang fokus setara dengan 24mm (dalam format film 35mm). Lensa ini dirancang untuk sistem kamera GFX Large Format, sensor ini 70% lebih besar dari sensor full-frame 35mm.

Lensa GF 30mm F3.5 R WR memiliki desain tahan cuaca, tahan terhadap debu dan kelembaban, serta dapat digunakan pada suhu serendah -10 ° C. Sehingga mampu melayani berbagai gaya pemotretan dan menghasilkan detail yang kompatibel dengan sensor 100MP.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-2

Beratnya hanya 510 gram dan berukuran 99,4mm dengan diameter maksimum 84mm. Penggunaan sistem fokus internal memungkinkan autofocus (AF) yang cepat dan senyap, serta meminimalkan fokus hingga hanya 0,05%, menjadikannya lensa yang ideal untuk videografi.

Selain lensa baru, Fujifilm juga meluncurkan pembaruan firmware besar untuk seri GFX. Berlaku bagi seluruh seri kamera GFX yaitu Fujifilm GFX50S, dan GFX 100. Sehubungan dengan kehadiran dua inovasi terbaru ini, Anggiawan Pratama – Marketing Manager Electronic Imaging PT FUJIFILM Indonesia mengatakan.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-3

“Fujifilm berkomitmen untuk tidak pernah berhenti menghadirkan berbagai inovasi dalam berbagai situasi dan kondisi seperti beberapa waktu lalu kami menjawab kebutuhan publik mengenai webcam, kini kami juga menjawab kebutuhan para pengguna kamera mirrorless premium medium-format milik Fujifilm. Adanya lensa Fujinon terbaru ini serta pembaruan firmware ini tentu dimaksudkan menambah kenyamanan dan keandalan para pengguna kamera GFX dalam bermanuver dengan kameranya di segala kondisi pemotretan.” Ujar Anggi.

Jumlah mode film simulation untuk ketiga kamera GFX telah meningkat dengan adanya mode CLASSIC Neg. Mode ETERNA Bleach Bypass akan hadir dalam GFX100, sedangkan GFX 50S dan GFX 50R akan memiliki mode ETERNA yang mereplikasi warna dan tonality dari film FUJIFILM.

Smooth Skin Effect yang ada pada GFX 100 juga akan ditambahkan ke GFX 50S dan GFX 50R dan dapat digunakan untuk menghaluskan penampilan kulit manusia sehingga ideal untuk potret. Warna Chrome Blue yang menambahkan kedalaman pada reproduksi warna dan tonality di gambar langit biru dan subjek berwarna biru utama lainnya akan ditambahkan ke GFX 100.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-4

GFX 100 sekarang dapat menggunakan AF deteksi fase dengan cepat dan akurat dalam kondisi cahaya redup hingga -5EV. Firmware baru ini juga akan menambahkan mode AF-S Low Light Priority pada GFX 50S dan GFX 50R, yang meningkatkan waktu AF bekerja serta meningkatkan akurasi AF dalam cahaya rendah. Firmware akan meningkatkan kinerja AF Face / Eye untuk ketiga model. Keakuratan dan stabilitas deteksi wajah / mata ditingkatkan ketika memotret sekelompok orang.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-5

Selain itu, di ketiga kamera GFX, firmware baru akan memungkinkan pengguna untuk menyesuaikan pengaturan eksposur (shutter speed, aperture, ISO, exposure compensation ) dari komputer saat memotret diam (still) dan menggunakan perangkat lunak yang mendukung beberapa fungsi tether-shooting. Kini juga hadir lebih banyak aplikasi pengeditan foto akan mendukung indikasi informasi peringkat, yang ditetapkan dalam kamera.

Saat menggunakan GFX 100 dengan Gimbal / Drone yang kompatibel yang mendukung fungsi-fungsi ini, pengguna dapat memulai / menghentikan perekaman video, menentukan pengaturan eksposur untuk video (shutter speed, aperture, ISO, dan exposure compensation ), dan fokus manual.

GFX100 juga akan dapat menampilkan data video RAW maksimum 4K / 29.97P  12bit menggunakan HDMI ke ATOMOS NINJA V, di Apple ProRes RAW. Firmware baru untuk NINJA V akan dirilis oleh ATOMOS. Data video RAW memberikan fleksibilitas maksimum untuk penyesuaian eksposur atau penilaian warna dalam pasca-produksi untuk videografer profesional.

Selain itu, output simultan RAW dengan Simulasi Film / F-Log / Hybrid Log Gamma (HLG) juga tersedia. GFX100 dapat merekam ProRes RAW hanya dengan ATOMOS NINJA V (per 30 Juni 2020). Kompatibel dengan 4K (3840×2160) 29.97P / 25P / 24P / 23.98P.

Cara Menggunakan Kamera Fujifilm Sebagai Webcam

Pada bulan Mei lalu, Fujifilm merilis software bernama Fujifilm X Webcam untuk platform Windows 10. Di mana memungkinkan para pengguna mirrorless Fujifilm model tertentu bisa menjadikan kamera mereka sebagai webcam.

Sayangnya, daftar kamera yang didukung jumlahnya masih sangat sedikit. Tercatat hanya kamera mirrorless flagship Fujifilm seperti X-H1, X-Pro3, X-Pro2, X-T4, X-T3, dan X-T2. Serta, kamera Fujifilm dengan sensor medium format seperti GFX100, GFX 50S, dan GFX 50R.

Kabar baiknya, lewat update firmware terbaru versi 1.30 untuk pengguna Fujifilm X-A7 dan vesi 1.10 untuk pemilik Fujifilm X-T200. Kedua kamera tersebut sekarang bisa digunakan sebagai webcam ketika terhubung ke komputer melalui kabel USB.

Selain itu, Fujifilm juga mengumumkan bahwa software Fujifilm X Webcam akan tersedia di platform MacOS bulan depan. Kebetulan saya masih memegang Fujifilm X-A7, mari coba langsung cara menggunakan kamera Fujifilm sebagai webcam.

Install Fujifilm X Webcam

Buat yang belum install, langkah pertama download dulu software Fujifilm X Webcam ke komputer atau laptop berbasis Windows 10 Anda. Lalu, install dan kemudian restart.

Bagi pengguna Fujifilm X-A7 dan X-T200, update dulu firmware ke versi terbaru. Bisa lewat smartphone menggunakan aplikasi Fujifilm Camera Remote, setelah kamera terhubung, buka menu ‘firmware update‘, dan ikuti intruksinya.

step-1

step-2

step-3

Setelah update sukses, buka pengaturan kamera pergi ke Connection Setting > USB Mode, dan pilih USB Webcam. Selanjutnya, hubungkan kamera ke komputer menggunakan kabel data USB Type-C.

Ya, sangat mudah dan sekarang buka aplikasi yang akan kita gunakan. Seperti Zoom, Goolge Meet, Skype, Microsoft Team, dan YouTube. Contohnya saya menggunakan aplikasi Zoom, buka Settings > Video > Camera > lalu pilih kamera Fujifilm Anda.

Kamera Mirrorless Fujifilm Sekarang Bisa Dipakai Sebagai Webcam

Bulan lalu, Canon merilis software yang dapat menyulap kamera buatannya menjadi webcam. Jika Anda bukan pengguna kamera Canon seperti saya, reaksi paling wajar saat mendengar kabar tersebut adalah berharap supaya pabrikan-pabrikan kamera lain segera mengikuti jejak Canon.

Harapan itu akhirnya terkabul, terutama apabila Anda punya kamera bikinan Fujifilm. Ya, pengguna kamera Fuji kini bisa mengunduh software bernama Fujifilm X Webcam Support pada perangkat Windows 10-nya, lalu menyambungkan kamera mirrorless kesayangannya via USB untuk dijadikan webcam di kala mengikuti webinar atau video conference via Zoom, Google Meet, maupun berbagai layanan lainnya.

Sangat disayangkan kamera yang didukung tergolong amat sedikit: X-T2, X-T3, X-T4, X-Pro2, X-Pro3, X-H1, GFX 50S, GFX 50R, dan GFX100. Seri X100 tidak ada sama sekali, demikian pula seri X-E. Sebagai pengguna X-E2, saya turut bersedih, dan bagi para pengguna X-E3, saya maklum kalau Anda heran mengapa kamera tersebut tidak didukung meski usianya lebih muda daripada X-T2.

Terlepas dari itu, instalasi dan cara penggunaan software ini cukup mudah, meski menurut saya agak sedikit lebih ribet daripada penawaran Canon. Silakan ikuti panduan langsung dari Fujifilm, atau tonton video tutorial dari Fuji Guys berikut ini.

Satu hal yang menarik adalah, fitur khas Film Simulation rupanya tetap bisa dipakai selama kamera berfungsi sebagai webcam. Ingin mengikuti video conference dengan tampilan hitam-putih? Silakan saja.

Semoga ke depannya jumlah kamera yang kompatibel bisa bertambah. Juga belum tersedia sejauh ini adalah software webcam versi macOS.

Via: PetaPixel.

[Battle] Aplikasi Kamera dari Sony, Canon, dan Fujifilm

Kamera mirrorless masa kini telah dilengkapi dengan konektivitas nirkabel seperti WiFi dan Bluetooth. Yang berguna untuk menghubungkan kamera dengan smartphone, baik mengirim hasil foto dan video secara instan, atau menggunakan fasilitas remote shooting.

Fitur tersebut bisa diakses melalui aplikasi yang disediakan oleh brand kamera masing-masing. Sony menyediakan aplikasi bernama Imaging Edge Mobile, Canon dengan Camera Connect, dan Fujifilm lewat Camera Remote.

Kebetulan saya sedang memegang Sony A6400, Canon EOS M200, dan Fujifilm X-A7. Jadi, saya bakal compare dan adu ketiga aplikasi kamera tersebut. Tiga aspek yang saya tekankan adalah kemudahan pairing, dukungan jenis file yang bisa dikirim, dan fasilitas remote shooting-nya.

Sony Imaging Edge Mobile

Sony-Imaging-Edge-Mobile

Untuk menghubungkan kamera untuk pertama kali dengan smartphone sangat mudah di aplikasi Imaging Edge Mobile, bisa lewat QR code, NFC, atau camera SSD/password.  Proses selanjutnya, tinggal pilih menu start di Imaging Edge Mobile.

Secara default foto yang ditransfer kamera beresolusi 2MP, tapi kita bisa mengubahnya menjadi original atau ukuran aslinya di pengaturan aplikasi. Sementara untuk file video, kita bisa memindahkan rekaman video 4K 24fps dengan bitrate 100Mbps dengan mudah ke smartphone. Tentu saja, sebaiknya hanya clip berdurasi singkat misalnya 10-30 detik.

Sekarang kita akan bahas antarmuka dan fitur remote shooting-nya. Buat saya tampilannya simpel dan mudah dimengerti. Pada mode foto manual, kita bisa menyesuaikan pengaturan seperti shutter speed, aperture, ISO, white balance, mode single/cont shooting, timer, dan opsi untuk zoom in dan zoom out meskipun sangat lambat.

Bila kita menggunakan ISO auto, maka akan muncul fitur exposure compensation. Lalu, di pengaturan remote shooting terdapat fitur mirror mode dan grip line yang terdiri dari rule of 3rds grid, square grid, dan diag.+ square grid. Sedangkan, pada mode video kita bisa mengatur file format dan record setting.

Kekurangan aplikasi Sony Imaging Edge Mobile adalah kita tidak bisa mengirim foto dalam format Raw. Saat memotret di mode Raw only, hanya preview dalam format jpeg 2MP yang dikirim.

Sementara, untuk remote shooting ini akan keluar bila kita membuka aplikasi lain atau multitasking. Lalu, tidak ada opsi untuk mengatur fokus secara manual atau touch focus.

Canon Camera Connect

Canon-Camera-Connect

Proses untuk menghubungkan kamera ke smartphone saat pertama kali di aplikasi Camera Connect sangat membingungkan. Yang saya tahu, saya harus pergi ke pengaturan network di kamera Canon EOS M200, lalu pilih menu WiFi/Bluetooth connection, terus pilih connect to smartphone, lalu add a device to, dan pilih Android atau iOS.

Kita bisa menghubungkan kamera dengan koneksi Bluetooth sekaligus WiFi atau salah satunya. Bila memilih WiFi, kita perlu pergi ke pengaturan WiFi di smartphone dan hubungkan secara manual ke kamera. Setelah itu buka aplikasi dan pilih kamera Canon EOS M200.

Setelah terhubung, fitur-fiturnya antara lain images on camera – kita bisa mengintip isi yang ada SD card. Lalu ada remote live shooting, dan auto transfer foto dengan opsi ukuran penuh.

Sayangnya, saat mengirim foto Raw yang akan diterima format jpg di smartphone. Lalu, untuk file video hanya mendukung sampai resolusi 1080p. Jadi, misalnya mengirim video 4K yang diterima di smartphone hanya 1080p.

Sekarang kita bahas fitur remote live shooting, Canon menyediakan mode foto dan video secara terpisah. Pada mode foto, kita dapat menyesuaikan shutter speed, aperture, exposure compensation bila menggunakan ISO auto, ISO, white balance, metode AF, dan drive mode.

Hal yang paling mengesankan pada aplikasi Camera Connect Canon ialah dukungan touch focus di mode foto maupun video, di mana kita bisa memilih fokus lewat smartphone.

Sementara, pada mode video kita bisa mengatur shutter speed, aperture, exposure compensation, ISO, white balance, metode AF, timer, video resolution, dan sound recording. Fitur lainnya yang tersedia pada kedua mode adalah lock screen orientation, live view ratation, mirror live view display, live view magnification, dan touch AF.

Menurut saya yang kurang dari aplikasi Canon Camera Connect adalah proses pairing ke smartphone agak membingungkan. Karena Canon EOS M200 tidak ada shortcut khusus, maka kita harus pergi ke pengaturan kamera tiap kali ingin menghubungkan kamera ke smartphone.

Fujifilm Camera Remote

Fujifilm-Camera-Remote

Setiap kali ingin menghubungkan Fujifilm X-A7 ke aplikasi Camera Remote, kita harus pergi ke menu shooting setting dan pilih Camera Remote. Fitur utama yang tersedia ialah single image transfer untuk mengirim satu foto yang dipilih lewat kamera, live view shooting, import image, dan remote release dengan koneksi Bluetooth.

Lewat fitur import image kita bisa mengirim beberapa foto sekaligus dan video 4K langsung ke smartphone. Namun, hanya foto dalam format jpg yang bisa dikirim.

Untuk fitur live view shooting, di sini kita bisa menyesuaikan shutter speed, aperture, exposure compensation, ISO, mode film simulation, white balance, flash, timer, dan mendukung touch AF di mode foto.

Menariknya ialah kita juga bisa dengan mudah beralih ke mode video. Sayang, saat live view shooting aktif kontrol kamera akan sepenuhnya beralih ke smartphone dan layar kamera akan gelap.

Hal yang menyebalkan di Camera Remote adalah setiap kali kita memilih salah satu fitur dan setelah selesai kamera akan disconnect dari smartphone. Artinya kita perlu lagi ke pengaturan kamera dan menghubungkan ulang. Solusi terbaiknya, kita harus menjadikan fungsi wireless communication menjadi shortcut di kamera kita.

Verdict

Sekarang mari kita tarik kesimpulan, aplikasi kamera yang menawarkan kemudahan pairing ialah Sony Imaging Edge. Sementara, kemampuan mengirim hasil foto dan video, Sony Imaging Edge dan Fujifilm Camera Remote bisa dibilang setara, keduanya sanggup mengirim rekaman video 4K langsung ke smartphone.

Sementara, untuk fitur remote shooting jawaranya adalah Canon Camera Connect karena mendukung touch focus di mode foto dan video yang tentu sangat berguna bagi para solo photografer/videografer. Satu hal yang sangat disayangkan dari ketiga aplikasi kamera ini adalah tidak ada dukungan untuk mentransfer foto Raw, padahal rekaman video 4K yang ukuran filenya lebih besar didukung.