Lionsgate Play Gandeng Migo untuk Menjamah Segmen Pengguna Kelas Menengah-Bawah

Platform OTT Lionsgate Play bergabung menjadi mitra baru yang memanfaatkan jaringan distribusi konten digital milik Migo. Lionsgate ingin jangkau pengguna baru di luar target pasar utama yang selama ini terbatas dalam mengakses konten hiburan. Selain Lionsgate, sebelumnya Migo sudah bermitra dengan penyedia OTT lainnya seperti Sushiroll, Genflix, GoPlay, dan Vision+.

“Saya pernah di industri telko, pay TV, ada kesamaan bahwa telko dan dunia entertainment itu adalah kebutuhan semua orang. Saya sudah melihat inovasi ini dari dulu. Inovasi yang diberikan Migo ini sudah memenuhi kebutuhan mass market, yang ingin mencari entertainment tapi tidak boros data,” terang Country Head Lionsgate Play Indonesia Guntur Siboro, Kamis (28/7).

Dia melanjutkan, sejak Lionsgate Play hadir di Indonesia pada tahun lalu, pihaknya sudah bermitra dengan berbagai provider telko dan TV kabel, seperti Telkomsel, First Media, dan Indihome. Namun dari kemitraan tersebut, belum ada yang menjangkau mass market alias di bawah piramida ekonomi terbawah. Solusi tersebut dihadirkan oleh Migo, melalui cloud lokal (Migo Download Station/MDS) yang tersedia di lokasi ritel.

Bersama dengan Migo, kedua perusahaan akan mengurasi konten film yang bakal didistribusikan sesuai dengan target pengguna. Namun Guntur memastikan, konten-konten Hollywood bergenre horor dan komedi menempati posisi tertinggi sebagai konten yang paling banyak ditonton pengguna Migo dalam setahun terakhir.

“Sebenarnya tidak ada batasan [konten mana yang disediakan dari Lionsgate Play], tapi karena di Migo perlu dikurasi mana yang cocok [untuk pengguna Migo] karena beda kalau tayang di platform kita sendiri. Jadi kurasi ini melihat selera penontonnya juga.”

Selama ini masyarakat Indonesia cenderung mengakses konten digital melalui smartphone, namun masih banyak yang memiliki keterbatasan jaringan dan kuota internet. Solusi inilah yang ditawarkan Migo dan dilihat oleh Lionsgate Play sebagai salah satu peluang untuk mencapai lebih banyak lagi lapisan masyarakat di Indonesia untuk menikmati konten hiburan digital tanpa harus berlangganan.

Kondisi tersebut seolah menjustifikasi bahwa para penyedia konten membutuhkan jaringan distribusi Migo yang murah untuk mencakup pasar yang lebih luas. Kenaikan jumlah pengguna Migo diklaim mencapai lebih dari 80% dalam satu tahun terakhir, turut meyakinkan pihaknya untuk bersinergi dengan Migo Indonesia.

Ekspansi jaringan

Secara terpisah, kepada DailySocial.id, Direktur Utama Migo Indonesia Dan Connor menyampaikan pihaknya menargetkan dapat memiliki 10 ribu jaringan yang tersebar di Jawa. Setelahnya, perusahaan akan melebarkan sayap ke luar Jawa dengan mengincar kota-kota di Sumatera dan Sulawesi.

“Sekarang ada 1.400 jaringan yang tersebar di Jawa bagian Barat, seperti Cirebon, Indramayu, Serang. Tapi tahun depan mau ke Sumatera dan Sulawesi.”

Dalam ekspansi jaringan, sambung Connor, pihaknya tidak melihat harus ke kota lapis dua atau tiga, sebab itu hanyalah soal lokasi saja. Yang menjadi perhatian utama perusahaan adalah titik tersebut tidak dilewati oleh orang-orang berekonomi kelas atas, sehingga tidak melihat kota tersebut adalah kota metropolitan atau bukan. Di Jakarta sekalipun tetap memiliki kelompok orang menengah ke bawah.

“Jadi tempat yang kita pilih sebagai warung dengan populasi yang diisi oleh orang-orang ekonomi kelas menengah ke bawah”

Sebutan Warung Migo ini sebetulnya adalah tempat usaha kecil, entah itu berupa warung kelontong, foto kopi, warung kopi, perkantoran, bahkan stasiun kereta, yang dapat ditempatkan cloud lokal MDS dan menjual paket-paket menonton. Connor menyebut, dari 1.400 jaringan yang tersedia, sekitar 80% berbentuk usaha kecil.

Di titik jaringan tersebut, menyediakan jaringan Wi-Fi yang dapat dihubungkan dengan perangkat untuk mengunduh konten film sepuasnya. Setiap film yang tersedia di Migo hanya kurang dari 60 detik untuk diunduh. Konten tersebut dapat dinikmati tanpa buffering, makan kuota internet, dan iklan. Pengguna dapat memilih paket seharga Rp3 ribu untuk sehari dan termahal Rp120 ribu untuk satu tahun. Pilihan lainnya mulai dari tujuh hari, 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan.

Selain menambah kemitraan dengan pemilik usaha kecil, Migo juga merilis inovasi baru transfer film secara peer-to-peer (P2P). Fitur ini seperti aplikasi Share It yang memungkinkan pengguna dapat membagikan file tanpa memakan jaringan internet.

Connor menjelaskan, file film yang dibagikan ke perangkat lain itu sudah dilisensi dengan jaminan tidak ada virus, rusak (corrupt), dan sebagainya. Selayaknya men-transfer file melalui ShareIt, pengguna dapat berbagi file film yang sudah mereka unduh ke rekan-rekannya yang belum menjadi pengguna Migo.

Inovasi ini selain mendorong strategi akuisisi pengguna baru, juga memungkinkan perangkat smartphone yang dipakai oleh pengguna Migo menjadi titik jaringan MDS baru, sebab membagikan file-nya ke pengguna lain. Tanggapan yang diterima dari pengguna, sambungnya, luar biasa positif.

“Ada pengguna kami yang berkunjung ke Jakarta tapi tempat tinggalnya di Tegal. Ia menjadi pengguna Migo dan mengunduh banyak film dari HP-nya. Begitu pulang, ia membagikan film-film tersebut ke keluarganya. Akhirnya dia menghubungi CS kami untuk di-install-kan MDS agar bisa berbagi dengan yang lain,” pungkasnya.

Sebagai catatan, MNC Vision Networks, pemilik OTT Vision+, merupakan jajaran investor Migo yang mengucurkan investasi senilai $40 juta pada September 2021. Dalam kesepakatan tersebut, sekaligus mengumumkan Presiden Direktur MNC Vision Networks Ade Tjendra dan Marketing Head Presiden Direktur MNC Vision Networks Clarissa Tanoesoedibjo sebagai Dewan Komisaris Migo Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

[Video] Menilik Tren Platform Video Streaming di Indonesia

Kehadiran platform videao streaming di Indonesia selama dua tahun terakhir menunjukkan dinamika yang menarik untuk diikuti lantaran banyak masyarakat yang mulai bisa menerimanya.

Di video ini DailySocial bersama Guntur S. Siboro selaku Konsultan Lionsgate Play berbagi cerita tentang bagaimana pertumbuhan platform OTT/video streaming sepanjang 2021 dan tantangan seperti apa yang dihadapinya, khususnya di Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

[Where Are They Now] Apa Kabar Lima Penggiat Startup Ini (Bagian 2)

Dinamika dunia startup diwarnai kisah-kisah yang kerap membawa pendiri startup menjadi rising star dan entrepeneur sukses. Ada juga kisah yang kurang menyenangkan ketika startup harus tutup karena berbagai alasan. Beberapa pemain industri kini sudah memiliki karier baru, meski kebanyakan masih berkutat di ekosistem ini.

Di edisi kedua Where Are They Now, DailySocial mencoba mencari tahu kesibukan lima penggiat startup berikut ini.

Guntur Siboro

Sosok yang satu ini sudah cukup lama berkiprah di dunia telekomunikasi dan bisnis over-the-top (OTT) di Indonesia, Sejak meninggalkan posisinya di HOOQ sebagai Country Head, kini Guntur Siboro mengisi kesibukan sebagai pengajar di Universitas Pelita Harapan.

Kepada DailySocial, Guntur mengungkapkan, meskipun masih harus menyelesaikan penutupan kantor perwakilan HOOQ di Indonesia, saat ini Guntur juga tengah membantu mempersiapkan kehadiran platform OTT baru asal Amerika Serikat yang rencananya meluncur awal tahun 2021 mendatang.

Guntur enggan menyebutkan nama platform tersebut untuk saat ini, namun ia menyatakan, berdasarkan pengalaman profesionalnya selama ini, enggan beralih ke sektor lain dan masih setia di bisnis OTT Indonesia.

Calvin Kizana

Dikenal sebagai pendiri dan CEO PicMix dan PlayDay, kini Calvin Kizana menyandang posisi baru. Sejak bulan April 2020 lalu, Calvin resmi menjabat sebagai COO & Head of Platform GoPlay. Masuknya Calvin ke ekosistem Gojek memanfaatkan pengalamannya berkecimpung di industri kreatif.

GoPlay adalah anak perusahaan Gojek yang fokus ke layanan video on-demand dan mulai merambah ke konten live interaktif. GoPlay tahun ini memperoleh pendanaan dari investor eksternal untuk meningkatkan kualitas teknologi dan konten yang dimilikinya.

Benny Tjia

Nama Benny Tjia masuk ke industri startup Indonesia sejak tahun 2014 lalu. Pendiri startup Bornevia ini sejak kuliah telah bercita-cita untuk terjun dalam dunia startup.

Tahun 2013 Bornevia didirikan oleh Benny Tjia dan Tjiu Suryanto. Melalui produk berbasis SaaS, Bornevia digadang-gadang sebagai startup lokal yang akan mungkin memberikan pengaruh besar di lanskap produk teknologi korporasi. Namun pada tahun 2017, Bornevia mengumumkan penutupan operasional bisnisnya,

Kini Benny disibukkan pekerjaan barunya sebagai Principal di perusahaan modal ventura Indogen Capital. Berangkat dari pengalamannya sebagai mantan pendiri startup, insight dan pengalaman Benny memberikan warna bagi proses kurasi startup yang dilakukan perusahaan.

“Indogen Capital saat ini telah memiliki 19 investasi, termasuk di dalamnya Wahyoo, Evos, dan Travelio. Tanggung jawab saya termasuk memimpin investment team untuk mencari peluang investasi, penggalangan dana, dan juga melakukan monitoring dan mendukung portofolio kami,” kata Benny kepada DailySocial.

Ongki Kurniawan

Nama Ongki Kurniawan sangat dikenal ketika dirinya menjabat sebagai Direktur dan Chief Digital Services Officer XL Axiata. Setelah 7 tahun bekerja di XL Axiata, pertengahan tahun 2016 Ongki menjabat sebagai Managing Director Line Indonesia. Lepas dari Line, Ongki bergabung dengan Grab dan menjabat sebagai Executive Director Grab Indonesia.

Pasca mundur dari Grab Indonesia, Ongki hijrah ke posisi barunya mengurusi Revenue & Growth APAC, Stripe. Layanan pembayaran global Stripe menawarkan sistem pembayaran yang dapat diintegrasikan ke berbagai platform digital melalui konektivitas API.

Sukan Makmuri

Nama Sukan Makmuri dikenal sejak tahun 2013 lalu saat dirinya bergabung dengan tim Kaskus Networks. Lepas dari Kaskus, Sukan kemudian bergabung dengan GDP Venture. Tahun 2016 Sukan bergabung dengan Kudo dan menjabat sebagai CTO selama 1 tahun. Lepas dari Kudo, Sukan mendirikan startup dan ikut terlibat dalam private equity (PE) MaksPro Enterprises selama 4 tahun.

Terakhir Sukan menjabat sebagai CTO di Uang Teman, namun  tahun ini ia mempersiapkan peluncuran startup baru yang masih dirahasiakan nama dan bisnisnya.

GoPlay and Hooq Optimism with Video on Demand Service in Indonesia

With the rise of Video on Demand (VOD) apps in Indonesia, none of them positioned as the key player. The changing characteristic has forced the VOD service to run without any stable formula.

On this matter, DailySocial through #Selasastartup session trying to dig through the challenges the local and global VOD service players currently facing. The speakers are from GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo and Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur S. Siboro.

Indonesian unique habit

Goplay and Hooq

During its operation in Indonesia for the past 4 years, Hooq noted the unique habits of the Indonesian people. Starting from the use of internet data quota on smartphones that are very concerned to use the wifi to access various needs on the internet. This, according to Hooq, makes it difficult for them to be able to present services that rely solely on applications.

For this reason, Hooq then formed a strategic partnership with telecommunications operators, broadband services, to the super apps platform. The goal is simple, it’s for Hooq that can be accessed anywhere and anytime.

“The difference that we felt in the past (2016) since Hooq launched until now is, the payment options are still very limited. It’s only available through credit cards like those launched by Netflix. However, with the presence of GoPay, Ovo and other digital wallets make it easier for users to make a purchase,” Guntur said.

From the side of GoPlay, which all businesses are supported by the Gojek ecosystem, this is precisely their strength. With the bundling concept packaged in the form of vouchers, GoPlay tries to take advantage of broad access to Gojek’s complete channel distribution.

These strengths later became attractive offers for content creators to Indonesian filmmakers, to focus on content and entrust other aspects to GoPlay.

“In terms of GoPlay, it is included in the Gojek ecosystem and supports the existing business. One of them is offering related service vouchers, bundling with GoFood to GoSend aiming to invite more people to access local content while promoting content to more users,” Edy added .

Though many Indonesian users prefer content for free but there are some that willing to subscribe and pay, in order to get quality content.

Original content and big data management

data analytics to improve services
data analytics to improve services

One thing that later became a same objective of the two VOD services was to encourage the best works of Indonesian creators and filmmakers. In this case, each of them established a strategic partnership with studios to Indonesian production houses, in order to create interesting original content for users.

GoPlay claims such market condition is what behind their goals as a bridge for viewers for easier access to the local films.

“At least the existence of GoPlay can give filmmakers in Indonesia the option to channel their work using digital services owned by GoPlay. In accordance with Gojek’s commitment to eliminate friction in daily life,” Edy said.

Hooq has introduced the production of 19 new original content consisting of series and films in the four countries in which they operate at the end of 2019. Of the 19 new titles, the largest Hooq original content comes from Indonesia with 14 titles consisting of series, films and stand-up comedy events.

It is not surprising to have a large number of new content slots in Indonesia because the majority of the Hooq market in Southeast Asia comes from Indonesia. That was justified by Thunder.

As a platform that fully utilizes smartphones for accessing content, GoPlay claims to have succeeded in gathering big data which is then processed and can be utilized by partners to filmmakers. By utilizing this data, filmmakers can see what kind of content is a favorite, the ideal duration and what genre or category of film is in demand by various groups. Technology and data analytics processing are the strengths of GoPlay.

Meanwhile, Hooq, which available not only on smartphones but also on broadband and home cable services spreading throughout Indonesia, claims that engagement actually occurs more through the channel. However, in terms of downloads and users, Hooq noted recorded more interaction in the application.

Regarding big data and data analytics, Hooq will also apply it to improve services, Guntur said the plan was included in the company’s roadmap. After proposing the liquidation at the end of last month, currently,  Hooq Indonesia is still waiting for the company’s decision to continue or stop its services in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

 

GoPlay dan Hooq Optimis dengan Perkembangan “Video on Demand” di Indonesia

Meskipun sudah banyak aplikasi Video on Demand (VOD) di Indonesia, namun belum ada yang mampu menjadi pemain utama atau key player. Sifatnya yang kerap berubah, menjadikan layanan VOD tidak bisa dijalankan mengacu kepada formula yang stabil.

Melihat persoalan tersebut, DailySocial melalui sesi #Selasastartup mencoba untuk mengupas tuntas persoalan hingga tantangan yang hingga saat ini masih banyak ditemui pemain layanan VOD lokal hingga asing. Narasumber yang dihadirkan adalah CEO GoPlay Edy Sulistyo dan Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro.

Kebiasaan unik masyarakat Indonesia

Selama menjalankan bisnis di Indonesia sejak 4 tahun terakhir, Hooq mencatat kebiasaan unik masyarakat Indonesia. Mulai dari penggunaan kuota data internet di smartphone yang sangat diperhatikan hingga penggunaan wifi untuk mengakses berbagai kebutuhan di internet. Hal tersebut menurut Hooq menyulitkan mereka untuk bisa menghadirkan layanan yang hanya mengandalkan aplikasi.

Dengan alasan itulah Hooq kemudian menjalin kerja sama strategis dengan operator telekomunikasi, layanan broadband, hingga platform super apps. Tujuannya sederhana, agar Hooq bisa diakses di mana saja dan kapan saja.

“Perbedaan yang kami rasakan dulu (2016) sejak Hooq meluncur hingga saat ini adalah, pilihan pembayaran yang masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya memanfaatkan kartu kredit saja seperti yang dilancarkan oleh Netflix. Namun kini dengan hadirnya GoPay, Ovo hingga dompet digital lainnya memudahkan pengguna untuk melakukan pembelian,” kata Guntur.

Dari sisi GoPlay yang semua bisnisnya didukung oleh ekosistem Gojek, hal tersebut justru yang menjadi kekuatan mereka. Dengan konsep bundling yang dikemas dalam bentuk voucher, GoPlay mencoba memanfaatkan akses luas hingga distribusi kanal yang lengkap milik Gojek.

Kekuatan tersebut yang kemudian menjadi penawaran menarik kepada konten kreator hingga sineas Indonesia, untuk fokus kepada konten dan mempercayakan aspek lainnya kepada GoPlay.

“Untuk GoPlay sendiri masuk dalam ekosistem di Gojek dan mendukung ekosistem yang ada. Salah satunya adalah penawaran voucher layanan terkait, bundling dengan GoFood hingga GoSend dengan tujuan untuk mengajak lebih banyak orang mengakses konten lokal sekaligus mempromosikan konten ke pengguna yang lebih banyak,” kata Edy.

Meskipun hingga saat ini masih banyak pengguna di Indonesia yang lebih menyukai konten secara gratis, namun mulai banyak pengguna yang memilih untuk berlangganan dan rela membayar, demi mendapatkan konten yang berkualitas.

Konten original dan pengolahan big data

Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan
Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan

Satu hal yang kemudian menjadi tujuan yang serupa dari kedua layanan VOD tersebut adalah, untuk mendorong karya-karya terbaik para konten kreator dan sineas Indonesia. Dalam hal ini masing-masing sengaja menjalin kemitraan strategis dengan studio hingga rumah produksi Indonesia, demi menciptakan konten original menarik untuk pengguna.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

“Paling tidak dengan hadirnya GoPlay bisa memberikan opsi kepada sineas di Indonesia untuk menampilkan karya mereka memanfaatkan layanan digital yang dimiliki oleh GoPlay. Sesuai dengan komitmen dari Gojek untuk menghilangkan friction in daily life,” kata Edy.

Hooq sendiri akhir tahun 2019 lalu telah memperkenalkan produksi 19 konten orisinal baru yang terdiri dari serial dan film di empat negara tempat mereka beroperasi. Dari 19 judul baru, produksi konten orisinal Hooq terbanyak ada di Indonesia dengan 14 judul yang terdiri dari serial, film, dan acara stand up comedy.

Banyaknya slot konten baru di Indonesia tak mengherankan lantaran pasar Hooq di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Indonesia. Hal itu dibenarkan Guntur.

Sebagai platform yang sepenuhnya memanfaatkan smartphone untuk pengguna mengakses konten, GoPlay mengklaim berhasil mengumpulkan big data yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan oleh mitra hingga sineas. Dengan memanfaatkan data tersebut, para sineas bisa melihat konten seperti apa yang menjadi favorit, durasi yang ideal hingga genre atau kategori film seperti apa yang diminati oleh berbagai kalangan. Teknologi dan pengolahan data analytics menjadi kekuatan GoPlay.

Sementara itu, Hooq yang saat ini bukan hanya bisa dinikmati di smartphone namun juga di layanan broadband dan home cable yang tersebar di Indonesia, mengklaim justru engagement lebih banyak terjadi melalui kanal tersebut. Namun untuk jumlah unduhan dan pengguna, Hooq mencatat lebih banyak terjadi di aplikasi.

Disinggung apakah nantinya Hooq juga bakal menerapkan big data hingga data analytics untuk meningkatkan layanan, Guntur menyebutkan rencana tersebut sudah masuk dalam roadmap perusahaan. Setelah mengajukan opsi likuidasi akhir bulan lalu, saat ini Hooq Indonesia masih menunggu keputusan perusahaan untuk meneruskan atau menghentikan layanan mereka di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here