Laporan MPA: Pelanggan Baru Platform OTT di Regional Ambles, Beralih ke TikTok

Asia Tenggara hanya menambahkan 7.000 pelanggan baru SVOD (subscription video-on-demand) pada paruh pertama 2023. Angka tersebut turun dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 3,7 juta pelanggan, adapun dibandingkan pada paruh kedua 2022, penurunannya jauh lebih tajam sebesar 7 juta pelanggan baru.

Mengutip dari laporan Media Partners Asia (MPA), pada semester I 2022, penurunan tersebut berasal dari tiga aplikasi populer: Netflix, Prime Video, dan Viu, yang hanya mampu menambahkan 1,2 juta pelanggan agregat, berkontribusi terhadap 63% dari total pelanggan baru di antara semua platform SVOD.

Menariknya, MPA menangkap fenomena TikTok yang menjadi pendorong utama pertumbuhan pengguna untuk platform mobile dan web. MPA mencatat terdapat lebih dari 70% pertumbuhan menit streaming selama dua tahun terakhir.

Pada paruh pertama 2023, TikTok mencatat peningkatan streaming hingga 42% menit, naik 20 poin persentase dibandingkan paruh pertama 2021, dan naik 7 poin persentase selama paruh pertama 2022. “Kenaikan aplikasi video pendek tersebut mengurangi pangsa untuk YouTube, yang turun 4% year-on-year, dan premium VOD, turun 2% year-on-year,” tulis laporan tersebut.

Secara total, Asia Tenggara memiliki 47,6 juta langganan SVOD pada akhir paruh pertama 2023. Pertumbuhan pelanggan di Thailand, Malaysia, dan Filipina diimbangi dengan kontraksi di Indonesia, di mana total pelanggan turun sebesar 1,2 juta.

MPA menyimpulkan perlambatan ini terjadi karena tiga faktor, yakni:

  • Turunnya tingkat churn di Indonesia terjadi karena berakhirnya turnamen sepak bola Piala Dunia FIFA pada Desember 2022 dan akhir musim Liga Inggris 2022-23 pada Mei 2023;
  • Dampak dari pemasaran lokal dan investasi konten yang berkurang secara signifikan di luar Netflix, Prime Video, dan Viu, yang semuanya berkontribusi pada pertumbuhan regional pada paruh pertama 2023;
  • Hasil dari kenaikan harga yang diterapkan oleh platform utama.

Investasi konten Asia

Tiga platform yang sedang berkembang – Netflix, Prime Video, dan Viu – semuanya memanfaatkan popularitas drama Korea, satu-satunya kategori konten VOD premium terbesar di Asia Tenggara, meraih 40% penayangan VOD premium di seluruh wilayah pada paruh pertama tahun ini. Pertunjukan teratas selama periode tersebut termasuk The Glory (Netflix) dan Taxi Driver Season 2 (Viu).

Tak hanya konten Korea, semua layanan streaming OTT terkemuka juga berinvestasi dalam konten Asia Tenggara, yang meraih 13% dari pemirsa VOD premium, sementara konten AS menyumbang 21%, anime Jepang 10%, dan konten Tiongkok 9%. Konten Thailand memiliki dampak regional terkuat, dengan film thriller Netflix Hunger menjadi acara yang paling banyak dikunjungi.

“Platform VOD premium terkemuka di kawasan ini berada di tengah-tengah pergeseran menuju pertumbuhan, retensi, dan monetisasi pelanggan yang berkualitas,” kata Direktur Eksekutif MPA Vivek Couto.

Ia melanjutkan, “Netflix telah menurunkan harga dan memperkenalkan langkah-langkah berbagi anggota, sementara Disney menaikkan harga di Indonesia dan Thailand dalam upaya menurunkan tingkat churn dan meningkatkan basis pelanggan ARPU.”

Sementara itu, Vidio menjadi satu-satunya OTT lokal yang punya dampak signifikan di Indonesia, diharapkan dapat kembali memperoleh pelanggan baru seiring kembalinya Liga 1 dan Liga Premier. “Bersamaan dengan daftar lokal yang berdampak dari Netflix dan Amazon, khususnya di Thailand dan Indonesia, menarik pelanggan baru, sementara Viu akan terus mendapatkan keuntungan dari keluaran Korea-nya.”

Sebagai catatan, data mengenai premium VOD tidak termasuk angka untuk YouTube, TikTok, dan streaming game. Laporan ‘Analisis & Wawasan Konsumen Video Online Asia Tenggara’ MPA melacak metrik utama di seluruh kategori video online dengan panel pasif dan pendirian di lima pasar Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Pangsa pasar OTT di Indonesia

Secara terpisah, mengutip dari data terpisah yang dirangkum oleh JustWatch, menobatkan Netflix (23%) sebagai aplikasi pangsa pasar terbesar di Indonesia. Netflix bersaing ketat dengan Disney+ Hotstar (21%) dengan selisih hanya 2%. Sementara itu Iflix (+WeTV) (16%) berada di urutan ketiga, tertinggal 5%.

Q2 Streaming services marketshare infographic 2023 / Justwatch

Pada kuartal sebelumnya, baik Netflix maupun Disney+ Hotstar sama-sama menduduki posisi tertinggi sebagai aplikasi dengan pangsa pasar terbesar, masing-masing sebesar 22%.

Di Indonesia sendiri terdapat tujuh layanan OTT yang paling banyak diakses oleh pengguna, di posisi keempat diisi oleh Viu (13%), diikuti Vidio (10%), Prime Video (9%), HBO Go (5%), dan lainnya (3%).

JustWatch juga mencatat perkembangan pangsa pasar para pemain SVOD di paruh pertama 2023 di Indonesia. Hasilnya persis tercermin dengan pencapaian di kuartal II 2023, bahwa Netflix dan Viu memimpin dari segi pertumbuhan. Kedua platform ini menambahkan 1% dalam tiga bulan terakhir. Di sisi berlawanan dari spektrum, Disney+ Hotstar dan HBO Go menderita kerugian 1% di kuartal kedua.

Q2 Streaming services marketshare infographic 2023

Rangkuman OTT 2022: Disney+ dan Netflix Kuasai Pangsa Pasar Indonesia

Perkembangan video streaming terus menjadi isu yang menarik bagi Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia. DailySocial.id mengompilasi berbagai sumber mengenai persaingan platform OTT populer yang banyak digunakan oleh orang Indonesia dan konten apa yang paling banyak dinikmati sepanjang 2022.

Dalam data termutakhir yang dirilis JustWatch, Disney+ Hotstar mendominasi pasar OTT dengan persentase pangsa pasarnya mencapai 23%. Kemudian, secara berurutan disusul Netflix (21%), iflix (15%), Viu (12%), Vidio (10%), Prime Video (9%), HBO GO (7%), dan lainnya (3%).

Vidio kembali menjadi satu-satunya platform OTT lokal, dengan angka dua digit melesat dari tahun sebelumnya.

JustWatch

Angka pangsa pasar ini semakin berbicara jika membandingkan pertumbuhannya dari data di 2021. Saat itu, Netflix jadi pemimpin dengan pangsa pasar 21% dan Disney+ sebesar (22%). Sementara itu, Vidio angkanya masih single digit (5%) berada di urutan ke-7, setelah Prime Video.

Informasi menariknya, meski baru seumur jagung Prime Video mampu mencetak pertumbuhan yang signifikan. OTT ini baru resmi di Indonesia pada 1 Agustus 2022, bersamaan dengan negara ASEAN lainnya, yakni Thailand dan Filipina. Dalam data JustWatch, pada 2021, pangsa pasar Prime Video saat itu berada diangka 7%.

Data regional

Dalam laporan bertajuk “SEA Online Video Consumer Insights & Analytics”, di lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), Netflix dan Viu mengambil posisi tiga teratas dengan jumlah pelanggan berbayar tertinggi dan pangsa pasar gabungan sebesar 52%.

Dipaparkan juga sepanjang tahun lalu terdapat 48,4 juta pelanggan yang membayar layanan SVOD (subscription video on demand), dengan pertumbuhan hampir 4,6 juta pelanggan baru pada kuartal IV 2022. Ini adalah pertumbuhan tertinggi sejak kuartal II 2021 dengan angka 5,1 juta pengguna baru.

Bila dikompilasi pengguna berbayar yang baru bergabung sepanjang 2022 saja sebanyak 11,8 juta orang. Indonesia disebutkan berkontribusi 50% terhadap pertumbuhan di kuartal IV dan 51% untuk keseluruhan tahun 2022.

Sementara itu, Vidio dan Viu menjadi kontributor terbesar dengan menyumbang 51% dari pelanggan baru. “Kedua platform telah membangun corong akuisisi pelanggan yang kuat melalui model freemium, dengan fokus yang berkembang pada konten berbayar dan pelanggan,” kata laporan itu.

Indonesia dan Thailand tetap menjadi pasar SVOD terbesar di Asia Tenggara pada 2022, mempertahankan 75% agregat langganan SVOD. Netflix, Viu, dan Disney memiliki 52% dari total langganan SVOD di Asia Tenggara.

Analis MPA menyampaikan, upaya pelokalan Prime Video di Indonesia, Filipina, dan Thailand sukses membuat daya tarik yang kuat dengan penambahan bersih 400 ribu pengguna baru. Indonesia menjadi pasar terkuat bagi OTT milik Jeff Bezos tersebut, momentumnya didorong oleh konten dari Korea dan lokal.

Tak hanya itu, Prime Video juga meniru strategi awal yang digunakan Disney+, yakni menggandeng eksklusif operator telekomunikasi dengan basis pengguna terbesar di Indonesia, Telkomsel. Dalam kerja sama tersebut, setiap pembelian paket data pengguna dapat menikmati konten di Prime Video tanpa batas. Terdapat pula tim lokal terdedikasi yang bertugas untuk memasarkan konten dengan skala penuh, sehingga pengalamannya benar-benar dilokalkan.

Kendati Amazon agak terlambat memperkenalkan layanannya di ASEAN. Namun, potensi dari industri video streaming yang ditawarkan di kawasan ini sebesar 180 juta konsumen dengan 8 miliar jam konten OTT per bulan di seluruh wilayah, menurut sebuah studi dari The Trade Desk, membuat pencapaiannya cukup mengesankan.

Lokalisasi konten

Menurut laporan Nielsen Streaming Content Ratings, dipaparkan Vidio unggul sebagai OTT lokal yang memproduksi 40 konten seri original dalam setahun. Jumlahnya melebihi gabungan seri yang didanai oleh Netflix hingga Disney+ di Indonesia.

Strategi tersebut sukses mengantarkan OTT milik Emtek ini menjadi OTT dengan pertumbuhan konsumsi tertinggi di luar YouTube. Setelah Vidio, posisi selanjutnya diisi oleh Disney+, Netflix, Viu, RCTI+, iQiyi, dan Vision+. Laporan ini berdasarkan survei terhadap 3.700 individu di lebih dari 11 kota besar di Indonesia. Penelitian dilakukan selama Juni-Agustus 2022.

Nielsen juga memaparkan tiap platform memiliki karakternya masing-masing dalam menarik penonton (data per Juli 2022):

  • Vidio: konten lokal dan olahraga
  • Netflix: film dan serial internasional
  • Disney+ Hotstar: film anak dan keluarga
  • Viu: konten Asia/Korea
  • RCTI+: konten olahraga dan sinetron
  • iQiyi: konten Asia dan barat

Poin menarik lainnya yang diungkap adalah profil pengguna OTT (khususnya SVOD) didominasi oleh kelas atas (60%). Nielsen mengkategorikan SVOD ini adalah Netflix dan Disney+. Kedua, kategori AVOD (advertising video on demand) didominasi oleh kelompok menengah (51%), yang terdiri dari platform Vidio, RCTI+, Vision+, iQiyi, dan Viu. Komposisi kelompok menengah terbesar terpusat di linear TV dengan porsi 58%.

Nielsen
Nielsen

MPA lebih merinci mengenai Vidio. Menurut laporan MPA, di Indonesia, Vidio memimpin interaksi video online premium dengan pangsa 25% pada tahun 2022. Piala Dunia FIFA Vidio adalah kontributor utama pertumbuhan. Setelah Piala Dunia, tingkat churn akan ditentukan oleh permintaan pelanggan akan sepak bola lokal dan internasional baru serta serial drama lokal baru.

Lebih lanjut, laporan tersebut paparkan dari seluruh platform SVOD, konten AS mendominasi dengan pangsa pasar 32%, disusul Korea (25%). Sementara di Indonesia, konten lokal menguasai 23% pangsa pasar pemirsa untuk tahun tersebut di pasar Asia Tenggara.

Direktur eksekutif MPA Vivek Couto memperkirakan tahun 2023 para pemain OTT akan sangat terfokus pada retensi pelanggan, manajemen churn, dan penerapan kenaikan harga, terutama di pasar seperti Indonesia yang padat prabayar.

“Pemain kunci akan terus berinvestasi dalam pelokalan dan pemasaran strategis konten premium Korea, AS, dan olahraga, tetapi dengan latar belakang dan mantra investor efisiensi modal,” tambahnya.

MPA

Netflix

Melanjutkan dari laporan MPA, diprediksi investasi konten lokal Netflix mencapai $1,9 miliar pada tahun ini (mewakili 47% pendapatan) akan didorong oleh Korea dan Jepang, diikuti oleh India, Australia, dan sebagian Asia Tenggara. Menurut analis MPA Dhivya T, investasi konten Netflix di APAC ini memiliki dampak global.

“Serial dan anime Jepang, bersama dengan drama dan film Korea, serta film dari Indonesia dan India, telah menempati peringkat tinggi di antara judul streaming teratas secara global selama 12 bulan terakhir hingga Januari 2023,” kata dia.

Sepanjang 2022, Netflix merilis 29 drama Korea eksklusif, enam di antaranya berada di antara 10 judul dengan pencapaian teratas di APAC pada tahun 2022, menurut anak perusahaan MPA, AMPD Research.

MPA

Menariknya, laporan ini berpendapat bahwa drama Korea adalah kategori video premium streaming teratas, merebut hampir 32% dari total penayangan. Akan tetapi Dhivya menambahkan, masih perlu dilihat apakah Netflix akan terus berinvestasi sebanyak tiga hingga tujuh drama Korea baru per kuartal karena laba atas investasi yang masih minim, namun biayanya yang mahal.

Sementara, dalam skala regional APAC, disoroti ada empat konten unggul Netflix dari masing-masing negara, seperti Mismatched (India), The Whole Truth (Thailand), Mom, Don’t Do That! (Taiwan), dan The Big 4 (Indonesia). MPA memprediksi di antara delapan pasar terbesar Netflix di APAC, India dan Indonesia akan tetap menjadi pertumbuhan tertinggi.

Pasalnya, pada kuartal IV 2022, terdapat sembilan film original dari India yang berhasil mendorong jumlah tayangan dan pertumbuhan ARPU (average revenue per user) yang kuat.

Disinyalir jadi salah satu cara untuk mendongkrak jumlah pengguna, pada Februari 2023, Netflix menurunkan biaya langganan. Paket Dasar (Basic) dari sebelumnya Rp120 ribu menjadi Rp65 ribu/bulan dan Paket Standar dari Rp153 ribu jadi Rp120 ribu.

Viu

Diversifikasi konten tak hanya dari Korea, juga telah jadi agenda Viu di tengah persaingan yang ketat. MPA mencatat, tiga hingga lima drama Korea eksklusif Viu per kuartal II-IV mendorong pertumbuhan pelanggan. Dikombinasikan dengan konten variety show maupun drama memberikan diferensiasi kompetitif.

“Upaya menghadirkan konten original dan akuisisi konten free-to-air (FTA) juga berdampak dalam mempertahankan pelangggan.”

CEO Viu dan Managing Director PCCW Media Group Janice Lee mengatakan, konten Viu Original diperluas dan kemitraan distribusi yang ditingkatkan pada tingkat lokal dan regional mendorong pertumbuhan pengguna baru Viu, meningkatkan engagement, dan menghasilkan pertumbuhan yang kuat pada SVOD dan pendapatan AVOD pada 2022.

“Melihat ke depan pada tahun 2023, kami terus fokus untuk menghadirkan rangkaian penawaran konten yang hebat kepada audiens kami, dengan sebagian besar pasar kembali ke masa pra-pandemi [..],” papar Lee.

Induk Viu, PCCW Limited, mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 45% menjadi $206 juta sepanjang 2022 dan mencapai EBITDA positif untuk tahun pertama. Pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) tumbuh 13% year-on-year menjadi 66,4 juta dan pelanggan berbayar tumbuh lebih dari 45% menjadi 12,2 juta. Tidak dijabarkan kontribusi pengguna dari 16 negara di mana Viu beroperasi.

Viu

Akan tetapi, diklaim pencapaian tersebut membuat Viu berada di posisi teratas dalam kategori MAU selama 12 kuartal berturut-turut dan peringkat kedua dalam pelanggan berbayar, serta menit streaming di seluruh wilayah Asia Tenggara.

Pada tahun lalu, Viu menyajikan sejumlah Viu Original, seperti Again My Life, The Law Cafe, dan Reborn Rich. Drama terakhir ini juga didistribusikan secara global ke lebih dari 170 negara. Perusahaan menjamu para aktor untuk mengunjungi para penggemar dan berinteraksi langsung. Menurut Lee, aktivitas di luar layar ini akan terus dilakukan dalam rangka meningkatkan engagement secara langsung.

“Memasuki tahun 2023, dengan pertumbuhan yang baik pada MAU maupun pelanggan berbayar, strategi Viu adalah menghadirkan konten yang hebat dan lebih banyak pengalaman tatap muka kepada para penggemar sambil memanfaatkan pertumbuhan yang kuat dalam langganan premium dan pasar iklan digital di seluruh wilayah,” pungkasnya.

MNC Group Kembali Berinvestasi ke Migo Senilai 302 Miliar Rupiah dalam Putaran Seri C1

Migo mengumumkan telah menyelesaikan penutupan putaran pertama investasi seri C1 senilai $20 juta (lebih dari 302,5 miliar Rupiah) dari investor sebelumnya, MNC Vision Network, bagian dari MNC Group. Putaran berikutnya disebutkan bakal rampung dalam beberapa bulan mendatang.

Dalam keterangan pers yang disampaikan Migo hari ini (10/2), dana segar akan didedikasikan untuk memperluas jaringan Migo, mengincar pengguna dengan jumlah setengah dari populasi Indonesia. Kemudian, memperdalam teknologi, dan ekspansi ke negara lain di luar Indonesia.

CEO Migo Indoneesia Dan Connor menyampaikan, konten MNC memiliki daya tarik yang sangat kuat di mata para pengguna Migo dan menjadi kontributor penonton terbesar di antara mitra-mitra lainnya. Konsumen yang sebelumnya hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk mengakses konten digital on-demand, sekarang mereka dapat menikmati konten MNC dengan rating tertinggi tanpa bergantung pada koneksi data tradisional yang mahal, lambat, dan tidak dapat diandalkan.

“Kami sudah mempunyai kolaborasi yang bermanfaat dengan MNC sejauh ini dan kami sangat bersemangat untuk memperluas kemitraan itu dengan investasi ini,” papar Connor.

Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo menambahkan, “Sejak tahu tentang Migo, saya selalu berpikir mereka memiliki konsep yang sangat menarik. Saya memahami keuntungan unik dari platform distribusi mereka, yaitu mengirimkan data, lebih murah, lebih cepat, dan tanpa masalah internet yang biasa terjadi. 18 bulan sejak memulai kolaborasi strategis kami, pandangan kami tidak berubah, bahwa Migo diposisikan secara unik untuk mendigitalkan pemirsa TV tradisional.”

Kerja sama Migo dan MNC

Hubungan Migo dengan MNC Vision Networks dimulai pada saat investasi yang dikucurkan pada September 2021 sebesar $40 juta. Dalam kesepakatan tersebut, sekaligus mengumumkan Presiden Direktur MNC Vision Networks Ade Tjendra dan Marketing Head Presiden Direktur MNC Vision Networks Clarissa Tanoesoedibjo sebagai Dewan Komisaris Migo Indonesia.

Sejak saat itu, kini jangkauan jaringan Migo tembus mencapai 30 juta orang, dengan lebih dari 2 juta pelanggan mendapatkan akses ke konten digital on-demand yang sebelumnya sulit diakses melalui jaringan telekomunikasi tradisional, dan lebih dari 1 juta pelanggan berbayar.

Teknologi distribusi data Migo yang unik mampu mengirimkan data kepada konsumen dengan biaya kurang dari 1% dari biaya jaringan seluler biasa. Hal ini memungkinkan pelanggan Migo untuk mengunduh data gratis tanpa batas dengan super cepat. Ambil contoh, satu film berdurasi panjang dapat diunduh ke perangkat konsumen dalam waktu kurang dari satu menit.

Kerja sama strategis dengan MNC Group, memungkinkan Migo untuk menawarkan konten baru dan terbaik kepada konsumen di mana pun yang memiliki smartphone, sementara kolaborasi marketing yang mendalam diklaim berhasil membawa jutaan pengguna ke ekosistem digital on-demand yang sebelumnya terbatas pada segmen ekonomi kelas atas saja.

Disampaikan lebih lanjut, saat ini perusahaan sedang mengembangkan teknologi baru untuk transfer konten langsung dengan aman, yang akan mengubah setiap perangkat pelanggan menjadi bagian dari jaringan kecepatan tinggi, yang secara efektif memperluas jangkauan Migo ke mana pun pengguna Migo pergi.

“Fitur baru ini memungkinkan pelanggan untuk mentransfer konten secara langsung antar perangkat hanya dalam 30 detik, sama sekali tanpa koneksi ke jaringan eksternal apapun,” tutup Connor.

Migo pertama kali hadir pada 2020, diklaim saat ini memiliki lebih dari 1.700 jaringan yang tersebar di Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Produknya adalah paket-paket langganan mikro (saset) yang menyediakan akses bagi pelanggan ke konten hiburan, pendidikan, produk keuangan, dan layanan gaya hidup digital terkait lainnya di cloud lokal (Migo Download Station/MDS) yang tersedia di lokasi ritel.

Di titik jaringan tersebut, menyediakan jaringan Wi-Fi yang dapat dihubungkan dengan perangkat untuk mengunduh konten film sepuasnya. Setiap film yang tersedia di Migo hanya kurang dari 60 detik untuk diunduh. Konten tersebut dapat dinikmati tanpa buffering, makan kuota internet, dan iklan. Pengguna dapat memilih paket seharga Rp3 ribu untuk sehari dan termahal Rp120 ribu untuk satu tahun. Pilihan lainnya mulai dari tujuh hari, 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan.

Application Information Will Show Up Here

Lionsgate Play Gandeng Migo untuk Menjamah Segmen Pengguna Kelas Menengah-Bawah

Platform OTT Lionsgate Play bergabung menjadi mitra baru yang memanfaatkan jaringan distribusi konten digital milik Migo. Lionsgate ingin jangkau pengguna baru di luar target pasar utama yang selama ini terbatas dalam mengakses konten hiburan. Selain Lionsgate, sebelumnya Migo sudah bermitra dengan penyedia OTT lainnya seperti Sushiroll, Genflix, GoPlay, dan Vision+.

“Saya pernah di industri telko, pay TV, ada kesamaan bahwa telko dan dunia entertainment itu adalah kebutuhan semua orang. Saya sudah melihat inovasi ini dari dulu. Inovasi yang diberikan Migo ini sudah memenuhi kebutuhan mass market, yang ingin mencari entertainment tapi tidak boros data,” terang Country Head Lionsgate Play Indonesia Guntur Siboro, Kamis (28/7).

Dia melanjutkan, sejak Lionsgate Play hadir di Indonesia pada tahun lalu, pihaknya sudah bermitra dengan berbagai provider telko dan TV kabel, seperti Telkomsel, First Media, dan Indihome. Namun dari kemitraan tersebut, belum ada yang menjangkau mass market alias di bawah piramida ekonomi terbawah. Solusi tersebut dihadirkan oleh Migo, melalui cloud lokal (Migo Download Station/MDS) yang tersedia di lokasi ritel.

Bersama dengan Migo, kedua perusahaan akan mengurasi konten film yang bakal didistribusikan sesuai dengan target pengguna. Namun Guntur memastikan, konten-konten Hollywood bergenre horor dan komedi menempati posisi tertinggi sebagai konten yang paling banyak ditonton pengguna Migo dalam setahun terakhir.

“Sebenarnya tidak ada batasan [konten mana yang disediakan dari Lionsgate Play], tapi karena di Migo perlu dikurasi mana yang cocok [untuk pengguna Migo] karena beda kalau tayang di platform kita sendiri. Jadi kurasi ini melihat selera penontonnya juga.”

Selama ini masyarakat Indonesia cenderung mengakses konten digital melalui smartphone, namun masih banyak yang memiliki keterbatasan jaringan dan kuota internet. Solusi inilah yang ditawarkan Migo dan dilihat oleh Lionsgate Play sebagai salah satu peluang untuk mencapai lebih banyak lagi lapisan masyarakat di Indonesia untuk menikmati konten hiburan digital tanpa harus berlangganan.

Kondisi tersebut seolah menjustifikasi bahwa para penyedia konten membutuhkan jaringan distribusi Migo yang murah untuk mencakup pasar yang lebih luas. Kenaikan jumlah pengguna Migo diklaim mencapai lebih dari 80% dalam satu tahun terakhir, turut meyakinkan pihaknya untuk bersinergi dengan Migo Indonesia.

Ekspansi jaringan

Secara terpisah, kepada DailySocial.id, Direktur Utama Migo Indonesia Dan Connor menyampaikan pihaknya menargetkan dapat memiliki 10 ribu jaringan yang tersebar di Jawa. Setelahnya, perusahaan akan melebarkan sayap ke luar Jawa dengan mengincar kota-kota di Sumatera dan Sulawesi.

“Sekarang ada 1.400 jaringan yang tersebar di Jawa bagian Barat, seperti Cirebon, Indramayu, Serang. Tapi tahun depan mau ke Sumatera dan Sulawesi.”

Dalam ekspansi jaringan, sambung Connor, pihaknya tidak melihat harus ke kota lapis dua atau tiga, sebab itu hanyalah soal lokasi saja. Yang menjadi perhatian utama perusahaan adalah titik tersebut tidak dilewati oleh orang-orang berekonomi kelas atas, sehingga tidak melihat kota tersebut adalah kota metropolitan atau bukan. Di Jakarta sekalipun tetap memiliki kelompok orang menengah ke bawah.

“Jadi tempat yang kita pilih sebagai warung dengan populasi yang diisi oleh orang-orang ekonomi kelas menengah ke bawah”

Sebutan Warung Migo ini sebetulnya adalah tempat usaha kecil, entah itu berupa warung kelontong, foto kopi, warung kopi, perkantoran, bahkan stasiun kereta, yang dapat ditempatkan cloud lokal MDS dan menjual paket-paket menonton. Connor menyebut, dari 1.400 jaringan yang tersedia, sekitar 80% berbentuk usaha kecil.

Di titik jaringan tersebut, menyediakan jaringan Wi-Fi yang dapat dihubungkan dengan perangkat untuk mengunduh konten film sepuasnya. Setiap film yang tersedia di Migo hanya kurang dari 60 detik untuk diunduh. Konten tersebut dapat dinikmati tanpa buffering, makan kuota internet, dan iklan. Pengguna dapat memilih paket seharga Rp3 ribu untuk sehari dan termahal Rp120 ribu untuk satu tahun. Pilihan lainnya mulai dari tujuh hari, 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan.

Selain menambah kemitraan dengan pemilik usaha kecil, Migo juga merilis inovasi baru transfer film secara peer-to-peer (P2P). Fitur ini seperti aplikasi Share It yang memungkinkan pengguna dapat membagikan file tanpa memakan jaringan internet.

Connor menjelaskan, file film yang dibagikan ke perangkat lain itu sudah dilisensi dengan jaminan tidak ada virus, rusak (corrupt), dan sebagainya. Selayaknya men-transfer file melalui ShareIt, pengguna dapat berbagi file film yang sudah mereka unduh ke rekan-rekannya yang belum menjadi pengguna Migo.

Inovasi ini selain mendorong strategi akuisisi pengguna baru, juga memungkinkan perangkat smartphone yang dipakai oleh pengguna Migo menjadi titik jaringan MDS baru, sebab membagikan file-nya ke pengguna lain. Tanggapan yang diterima dari pengguna, sambungnya, luar biasa positif.

“Ada pengguna kami yang berkunjung ke Jakarta tapi tempat tinggalnya di Tegal. Ia menjadi pengguna Migo dan mengunduh banyak film dari HP-nya. Begitu pulang, ia membagikan film-film tersebut ke keluarganya. Akhirnya dia menghubungi CS kami untuk di-install-kan MDS agar bisa berbagi dengan yang lain,” pungkasnya.

Sebagai catatan, MNC Vision Networks, pemilik OTT Vision+, merupakan jajaran investor Migo yang mengucurkan investasi senilai $40 juta pada September 2021. Dalam kesepakatan tersebut, sekaligus mengumumkan Presiden Direktur MNC Vision Networks Ade Tjendra dan Marketing Head Presiden Direktur MNC Vision Networks Clarissa Tanoesoedibjo sebagai Dewan Komisaris Migo Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

SPAC Terlalu Riuh, MNC Urungkan Niat Bawa Vision+ ke Bursa NASDAQ

Sejak paruh kedua 2020, Asia Vision Network (AVN) atau dikenal dengan produk aplikasinya Vision+ mulai mempertimbangkan untuk melantai ke bursa saham Amerika Serikat melalui kendaraan SPAC. Malaca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC) kemudian digandeng untuk menjadi mitra strategis. Hingga kuartal pertama tahun ini rencana tersebut masih optimis dijalankan, hingga mereka memiliki target untuk menuntaskan kesepakatan di kuartal kedua 2021.

Namun dari keterbukaan teranyar yang disampaikan MNC Vision, sebagai induk AVN, perusahaan memutuskan untuk tidak melanjutkan transaksi. Ada dua hal yang disorot. Pertama, tahun 2021 ini terjadi banyak transaksi SPAC di NASDAQ, sehingga berpengaruh pada valuasi MLAC di bawah nilai nominal $10 per saham. Menurut data EY, per H1 2021 terdapat 634 transaksi SPAC yang berhasil dijalankan, menjadi rekor baru di bursa saham setempat.

Alasan kedua yang disampaikan, pihak MNC melihat adanya gairah investor di BEI terhadap perusahaan yang bergerak di bidang digital. Walaupun tidak disebutkan detail, kami rasa keberhasilan Bukalapak IPO di Indonesia menjadi salah satu tolok ukur yang digunakan. Bisnis utama AVN sendiri adalah platform video streaming, operator TV berbayar, dan layanan broadband.

Sebelumnya proses penandatanganan Business Combination Agreement sudah dilakukan per 22 Maret 2021 oleh AVN dan MLAC. Proyeksi valuasi perusahaan adalah senilai $573 juta atau setara 8 triliun Rupiah — mencerminkan rasio EV/EBITDA di 5,8 kali dari nilai tersebut. Kombinasi bisnis juga diperkirakan akan menambah modal segar sekitar $135 juta — jika tidak ada penebusan pemegang saham publik MLAC.

Penguatan proposisi nilai

Menurut data yang dihimpun Statista, revenue untuk bisnis video streaming di Indonesia akan mencapai $237 juta pada tahun 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga $467 juta di tahun 2025 dengan CAGR 18,55%. Peningkatan tersebut disokong peningkatan penetrasi mencapai 6,4% tahun ini. Pandemi yang membatasi kegiatan di luar rumah membuat layanan video streaming menjadi salah satu alternatif hiburan.

Sebagai perusahaan media, MNC Vision (IDX: IPTV) melihat ini sebagai potensi untuk meningkatkan platform mereka di bawah AVN. Vision+ hadir mengakomodasi kebutuhan konten on-demand untuk penikmatnya, termasuk untuk menyuguhkan opsi streaming untuk penonton TV yang membutuhkan alternatif medium menonton tayangan jaringan MNC. Konten lokal tentu menjadi satu kekayaan dimiliki perusahaan, banyak IP yang sudah dihasilkan, baik dalam film, sinetron, maupun video berkonsep lainnya.

Inovasi pun terus digencarkan, termasuk melalui kemitraan strategis dengan pemain serupa. Terbaru, MNC Vision memberikan investasi $40 juta atau setara 570 miliar Rupiah untuk aplikasi video streaming Migo. Tujuannya untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkan startup tersebut, yakni memungkinkan penonton aplikasi video streaming untuk menikmati konten secara online.

Teknologi Migo berupa online to offline (O2O) videos-to-go yang memungkinkan pengguna menonton film secara offline tanpa buffering. Distribusi konten dilakukan melalui Wargo (Warung Migo) atau Migo Download Stations (MDS). Pengguna hanya perlu menuju lokasi warung kelontong mitra untuk mengunduh konten lalu bisa dinikmati secara offline di aplikasi.

Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia sendiri cukup ketat, diramaikan oleh pemain lokal dan luar.

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia
Persaingan aplikasi video streaming Indonesia

SPAC lainnya berpotensi tertunda

Tidak hanya AVN, beberapa perusahaan digital lokal lainnya dikabarkan mempertimbangkan SPAC sebagai jalur untuk memasuki bursa saham. Nama-nama yang santer dibicarakan antara lain Tiket.com, Traveloka, GoTo, hingga yang terbaru Kredivo — bahkan yang terakhir ini sudah mengumumkan secara resmi tentang aksi korporasinya tersebut.

Kredivo akan merger dengan VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo. Dengan penggabungan ini, FinAccel (induk Kredivo) akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Sebelumnya berhembus kabar unicorn Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Alasannya kurang lebih sama dengan MNC, karena antusiasme SPAC telah berkurang seiring tingginya frekuensi di pasar. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Perusahaan lain, Grab juga telah mengumumkan secara resmi rencana go-public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan SPAC dengan perusahaan cek kosong (blank check company) Altimeter Growth Corp (NASDQ: AGC). Grab membidik valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE (Private Investment in Public Equity) senilai $4 miliar. $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

Awal mulanya, kesepakatan tersebut akan dituntaskan pada pertengahan tahun 2021 ini. Namun dalam kabar terbaru, Grab menunda merger tersebut dengan alasan adanya permintaan audit keuangan dari otoritas bursa setempat. Kemungkinan rencana ini akan mundur hingga akhir tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Menilik Tren Platform Video Streaming di Indonesia

Kehadiran platform videao streaming di Indonesia selama dua tahun terakhir menunjukkan dinamika yang menarik untuk diikuti lantaran banyak masyarakat yang mulai bisa menerimanya.

Di video ini DailySocial bersama Guntur S. Siboro selaku Konsultan Lionsgate Play berbagi cerita tentang bagaimana pertumbuhan platform OTT/video streaming sepanjang 2021 dan tantangan seperti apa yang dihadapinya, khususnya di Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

[Video] Mengulas Bisnis Layanan “Video Streaming” di Masa Pandemi

Kondisi pandemi Covid-19 membatasi aktivitas sosial masyarakat dan menciptakan kebiasaan baru, termasuk dalam mencari hiburan.

DailySocial bersama Rezki Yanuar dari Vidio membahas dampak pandemi dan perubahan cara konsumen dalam menikmati layanan video streaming.

Untuk video selanjutnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Vidio to Strengthen Strategy Amidst the Momentum of OTT Business Growth

The over the top (OTT) platforms are reaching its highest growth momentum. Social restrictions due to the pandemic, encourage people to look for alternative entertainment when they are at home. Video apps have become one of the most popular choices — at least as mentioned by several surveys, including the recent one by The Trade Desk and Kantar.

Obviously, the industry players won’t waste this opportunity, especially local players. Vidio, an OTT platform under Emtek, has recently become a hot topic. Apart from its impressive performance, with the constant position at the top of the rankings for apps in the entertainment/video category, they are also rumored to have planned some strategic actions.

It was rumored that the on-demand video giant Netflix was interested in investing in Vidio. But when we confirmed, the company replied that so far the information is market speculation. Meanwhile, company executives, in several interviews with the media, said that at this time Vidio was indeed open to obtaining external funding [beyond the injection of the parent conglomerate group].

Business growth

Vidio’s Vice President Marketing, Rezki Yanuar, said that growth in terms of revenue in Q1 2020 increased by 3-4 times compared to the previous year. This is also driven by the number of users who heavily increased. The exponential traffic occurred around April 2020, at that time one of Vidio’s strategies was to offer free access, also to facilitate changes in consumer behavior in the first phase of PSBB.

Vidio’s Vice President Marketing, Rezki Yanuar / Vidio

The growth is also supported by the applied business model. There are two approaches, the first is free access to certain content [movies, series, TV streaming] with advertisements. Next, the premium access to exclusive content such as football match. The first model is considered to be a good bridge to convert new audiences, especially those who are unfamiliar with OTT services or [free] TV viewers.

“OTT is similar to e-commerce services in the past. At first, people were not familiar with the fact that shopping had to be charged for shipping, but now they are getting used to it. It’s the same with OTT, when people get value or benefit from the shows that are presented, they can understand when they have to pay. to watch certain shows,” Rezki said.

To date, Vidio already has more than 1.5 million paid subscribers. In addition to sports broadcasts, his team said that original content was the most popular. For this reason, they are quite aggressive in production this year,  there are currently 7 series ready to be aired. The aggressive move of local content is also seen as a way for Vidio to reach more Indonesian filmmakers.

Indonesia’s OTT market

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial
Indonesia’s streaming app competition / DailySocial

The OTT industry is in fact, very competitive. The premature market results in massive penetration of foreign players. For local players like Vidio, unique selling points are crucial in order to bring more value to its users.

Responding to market competition, the Vidio team is quite confident that with their knowledge of the local content industry they believe they can better understand the entertainment needs of the Indonesian people. Moreover, Vidio has the support of one of the oldest media companies in Indonesia.

“The most significant OTT competition is content. Marketing and good products are useless without content that can fulfill user needs. For that, we have three pillars related to content, live streaming, sports, and original series/films,” Rezki added.

Understanding of Indonesian culture is very useful as a strong capital for companies to compete. This includes the old habit of consuming pirated content. Vidio has an anticipatory step by having a special team that works with other digital platform providers such as Google or Facebook.

Collaboration with telco

Another strategy taken to expand its content coverage is to collaborate with other content producers. There are several collaboration agendas, but the Vidio team cannot reveal anything yet to the public. Fox Sports is an example of  Vidio’s company partner to enter its content ecosystem. Sports shows such as F1 racing or MotoGP are considered to have a fairly good level of demand in Indonesia.

Collaboration is also intended to launch a monetization strategy. Vidio collaborates with some telecommunications and broadband companies as service distribution channels. In fact, the conversion of premium users from this partnership is quite large. In its form, Vidio access is used as an add-on to telecommunications/data services sold to customers. Also, payment options include paying for a Vidio subscription with a balance cut mechanism. Regarding this payment, the portion is quite large compared to others.

Business plan

Despite the rumors circulating about the fundraising plan, Vidio is indeed trying to become a stronger and independent business entity. He admitted that he aggressively escalating business since last year. The OTT market is very sexy, the company group also provides support, therefore, Vidio is getting serious working on its potential.

“Emtek as a group is well aware that even the future of the entertainment business is digitization. This is a strong reason to push Vidio to go further,” Rezki said.

In general, there are several aspects to be accelerated as a strategy to grow the business. First, the content expansion. Second, product innovation — including supporting live streaming activities, interactive quizzes for complementary events, and other gamification features. And third, Vidio seeks to increase marketing and distribution channels, not only to the smartphone platform but also to smart tv.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Vidio Perkuat Strategi di Tengah Momentum Pertumbuhan Bisnis OTT

Platform over the top (OTT) tengah mendapatkan momentum pertumbuhan terbaik. Pembatasan sosial akibat pandemi, mendorong masyarakat untuk mencari hiburan alternatif ketika di rumah saja. Aplikasi video menjadi salah satu yang menjadi banyak pilihan — setidaknya dibuktikan oleh beberapa survei, termasuk yang baru-baru ini dilakukan The Trade Desk dan Kantar.

Jelas, pelaku industri tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, tak terkecuali para pemain lokal. Vidio, platform OTT di bawah naungan Emtek, menjadi buah bibir beberapa waktu terakhir. Selain performanya yang cukup mengesankan, dengan selalu bertanggar di peringkat teratas untuk aplikasi di kategori hiburan/video, mereka juga dikabarkan telah merencanakan beberapa aksi strategis.

Sempat beredar kabar bahwa raksasa video on-demand Netflix tertarik untuk berinvestasi ke Vidio. Namun ketika kami konfirmasi, perusahaan menjawab bahwa sejauh ini informasi tersebut adalah spekulasi pasar. Sementara eksekutif perusahaan, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media, mengatakan bahwa saat ini Vidio memang tengah terbuka untuk mendapatkan pendanaan eksternal [di luar suntikan grup konglomerasi induk].

Pertumbuhan bisnis

Vice President Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, pertumbuhan dari sisi revenue pada Q1 2020 meningkat 3-4x lipat dibanding periode tahun sebelumnya. Ini salah satunya didorong dengan jumlah pengguna yang menarik derastis. Lonjakan trafik eksponensial terjadi sekitar bulan April 2020, kala itu salah satu strategi yang dilakukan Vidio menggratiskan tontonan untuk pengguna salah satunya untuk memfasilitasi perubahan perilaku konsumen di fase PSBB pertama.

Vice President Marketing Vidio Rezki Yanuar / Vidio

Pertumbuhan juga didukung oleh model bisnis yang diaplikasikan. Ada dua pendekatan, pertama adalah akses gratis di konten-konten tertentu [film, serial, streaming TV] disertai iklan. Kemudian yang kedua premium, untuk akses ke konten eksklusif seperti tayangan pertandingan bola. Model pertama dinilai menjadi jembatan yang apik untuk mengonversi penonton baru, khususnya dari kalangan yang sebelumnya tidak terbiasa dengan layanan OTT atau penikmat TV [gratisan].

“OTT mirip layanan e-commerce dulu. Awalnya orang tidak familiar kalau belanja harus dikenakan ongkos kirim, namun makin ke sini makin terbiasa. Sama halnya dengan OTT, ketika orang sudah mendapat value atau benefit dari tontonan yang dihadirkan, mereka bisa memahami ketika harus membayar untuk menonton tayangan tertentu,” ujar Rezki.

Hingga saat ini, Vidio sudah memiliki lebih dari 1,5 juta pelanggan berbayar. Selain tayangan olahraga, pihaknya mengatakan bahwa konten orisinal menjadi yang paling banyak diminati. Untuk itu, di tahun ini mereka cukup agresif melakukan produksi, sejauh ini ada sekitar 7 serial yang siap ditayangkan. Agresivitas konten lokal ini sekaligus dipandang sebagai salah satu cara bagi Vidio untuk merangkul lebih banyak sineas dari Indonesia.

Pasar OTT Indonesia

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial
Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial

Tidak dimungkiri bahwa industri OTT juga sangat kompetitif. Masih hijaunya pasar Indonesia membuat para pemain luar berbondong-bondong masuk. Bagi pemain lokal seperti Vidio, unique selling point menjadi hal krusial untuk dibentuk guna menghadirkan nilai lebih bagi penggunanya.

Menanggapi soal kompetisi pasar, tim Vidio cukup percaya diri, bahwa dengan pengetahuannya tentang industri konten lokal mereka yakin bisa lebih mengerti kebutuhan hiburan masyarakat Indonesia. Terlebih Vidio memiliki dukungan salah satu perusahaan media tertua di Indonesia.

“Persaingan OTT yang paling signifikan adalah konten. Pemasaran dan produk bagus pun percuma kalau tanpa konten yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk itu kami punya tiga pilar terkait konten, yakni live streaming, sports, dan serial/film orisinal,” imbuh Rezki.

Pemahaman tentang kultur di Indonesia juga dijadikan modal yang kuat bagi perusahaan untuk bersaing. Ini termasuk dengan kebiasaan lama mengonsumsi konten bajakan. Vidio memiliki langkah antisipatif dengan memiliki tim khusus yang bekerja sama dengan penyedia platform digital lain seperti Google atau Facebook.

Kerja sama dengan telko

Strategi lain yang dilakukan untuk memperluas cakupan konten adalah berkolaborasi dengan produsen konten lain. Ada beberapa agenda kerja sama, namun tim Vidio belum bisa membeberkannya ke publik. Fox Sports adalah salah satu contoh perusahaan yang digandeng Vidio untuk masuk ke ekosistem kontennya. Tayangan olahraga seperti balap F1 atau MotoGP dinilai memiliki tingkat permintaan yang cukup bagus di Indonesia.

Kerja sama juga termasuk dilakukan untuk melancarkan strategi monetisasi. Vidio menggandeng sejumlah perusahaan telekomunikasi dan broadband sebagai kanal distribusi layanan. Diakui, konversi pengguna premium dari kerja sama ini cukup besar persentasenya. Bentuknya, akses Vidio dijadikan add-on ke layanan telekomunikasi/data yang dijajakan ke pelanggan. Juga, opsi pembayaran langganan Vidio dengan mekanisme potong pulsa. Soal pembayaran ini, disampaikan juga porsinya sangat besar dibanding yang lain.

Rencana bisnis

Terlepas dari rumor yang beredar seputar rencana penggalangan dana, Vidio memang tengah berupaya menjadi entitas bisnis yang lebih kuat dan mandiri. Pihaknya mengaku sudah mulai agresif melakukan eskalasi bisnis sejak tahun lalu. Pasar OTT sangat sexy, grup perusahaan pun memberikan dukungan agar Vidio makin serius menggarap potensinya.

“Emtek secara grup sadar betul, bahkan masa depan bisnis hiburan adalah digitalisasi. Ini jadi alasan yang kuat untuk mendorong Vidio melangkah lebih jauh lagi,” ungkat Rezki.

Secara umum ada beberapa aspek yang akan digenjot sebagai strategi menumbuhkan bisnis. Pertama ialah perluasan konten. Kedua, inovasi produk — termasuk mendukung kegiatan live streaming, kuis interaktif untuk komplementer acara, dan fitur gamifikasi lainnya. Dan yang ketiga, Vidio berupaya untuk meningkatkan kanal pemasaran dan distribusi, tidak hanya ke platform smartphone tapi juga mulai ke smart tv.

Application Information Will Show Up Here

Preferensi Penikmat Layanan OTT: Gratis dengan Iklan vs Berlangganan

Layanan over the top (OTT) digadang-gadang menjadi salah satu varian bisnis paling signifikan dalam industri teknologi. Pada dasarnya layanan OTT didefinisikan sebagai aplikasi online yang menyuguhkan tayangan video, memberikan kebebasan kepada pengguna untuk menonton konten sesuai seleranya — disebut juga sebagai platform video on-demand.

Menurut hasil riset yang dilakukan The Trade Desk dan Kantar, penetrasi layanan OTT di Asia Tenggara saat ini sudah melampaui 31%, merangkul sekitar 180 juta pengguna. Indonesia sendiri diproyeksikan telah memiliki 66 juta penikmat layanan OTT, dengan tingkat penetrasi mencapai 24%.

Sepanjang pandemi, pasar OTT di Indonesia juga mengalami kenaikan hingga 43%. Bahkan dari hasil survei yang dilakukan, pengguna di Indonesia sebagian besar (54%) menghabiskan waktu 1-4 jam per hari di layanan OTT.

Konten gratis dengan iklan

Secara mendasar, model bisnis utama layanan OTT umumnya dengan berlangganan fitur premium. Namun demikian, para pemain juga menyadari, bahwa saat ini konsumen mayoritas hadir dari penonton TV. Mereka terbiasa mengakses konten-konten secara gratis, kendati harus turut mendapatkan konten iklan.

Lantas model tersebut juga diaplikasikan di OTT. Banyak aplikasi yang menyuguhkan layanan secara gratis dengan mengikutsertakan iklan. Dari survei sendiri, 89% cenderung tidak mempermasalahkan iklan tersebut selama bisa menikmati konten secara gratis. Dan rata-rata masyarakat Indonesia yang disurvei (52%) masih mentoleransi adanya 2-3 iklan dalam sebuah tayangan video.

Namun demikian jika ditelusuri lebih mendalam sebenarnya persentase penggunaannya masih tetap banyak yang berbasis berlangganan. Di Indonesia, 40% responden mengatakan menggunakan tayangan berlangganan, dan hanya 12% yang hanya mengandalkan tayangan gratisan dengan iklan. Artinya, ada penerimaan yang baik dengan monetisasi berlangganan tersebut.

Preferensi konsumen terhadap layanan OTT berbayar atau beriklan / The Trade Desk dan Kantar

Ditinjau dari sisi pemilik platform, mereka juga memiliki proposisi yang cukup mengesankan untuk pelanggan berbayar. Misanya WeTV, pada dasarnya pengguna bisa mengakses semua konten yang ada di dalamnya secara gratis dan berimplikasi adanya iklan. Namun demikian 42% basis penggunaannya masih tetap membayar untuk paket premium.

Layanan OTT yang sajikan konten gratis dengan iklan / The Trade Desk dan Kantar

Dalam sebuah wawancara dengan perwakilan Tencent, kami mendapatkan strategi mereka untuk mengonversi pengguna gratis ke berbayar. Salah satunya konten eksklusif, misalnya di sebuah seri pengguna premium bisa menonton tayangan episode selanjutnya beberapa hari/minggu lebih cepat ketimbang yang gratis.

Selain pemain yang disebutkan di atas, beberapa platform termasuk yang dari lokal akhirnya juga mengadopsi model yang sama – menggratiskan akses dengan iklan. Sebut saja yang dilakukan oleh Vidio atau Goplay. Pendekatan ini dirasa bagus untuk mendapatkan minat kalangan pengguna baru yang sebelumnya tidak terbiasa dengan platform video on-demand.

Bagi bisnis, konsep ini juga mendukung strategi B2B mereka untuk mendapatkan keuntungan dari para pemilik brand yang membutuhkan awareness, disisipkan ke konten yang lebih relevan atau target pengguna yang lebih sesuai terkait demografinya.

Konten lokal jadi pendorong

Dari hasil survei mengenai varian konten, 54% responden mengatakan suka konten film/serial dari Barat. Kemudian 43% lebih menyukai konten lokal. Dilanjutkan konten Korea (39%), Tiongkok (23%), dan Jepang (15%). Menjadi menarik karena tayangan lokal memiliki proposisi yang cukup tinggi. Maka ini menjadi kesempatan bagi pemilik platform untuk merangkul lebih banyak karya dari sineas lokal.

Di sisi lain, harusnya ini juga menjadi kesempatan apik kepada rumah produksi lokal untuk memanfaatkan kehadiran OTT untuk menayangkan karya mereka. Terlebih karena pembatasan fisik akibat pandemi juga mengakibatkan bioskop harus kembali ditutup.

Gambar Header: Depositphotos.com