Survei APJII: Pengguna Internet di Indonesia Capai 171,17 Juta Sepanjang 2018

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis survei penetrasi dan perilaku pengguna internet tahun 2018. Disebutkan jumlah pengguna internet mencapai 171,17 juta jiwa sepanjang tahun lalu.

Angka ini naik 10,12% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 143,26 juta jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk versi BPS sebesar 264,16 juta jiwa maka bisa dikatakan sudah ada 64,8% penduduk Indonesia sudah mengakses internet.

“Kalau dibandingkan dengan data BPS, penduduk Indonesia itu ada 264,14 juta jiwa, berarti [dari situ] pengguna internet kita sekitar 171 juta,” terang Sekjen APJII Henri Kasyfi Soemartono, kemarin (15/5).

Menurutnya, pertumbuhan ini tidak terlepas dari masifnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan 540 anggota APJII. Anggota ini datang dari berbagai pemain ISP di semua wilayah, baik dari skala nasional maupun lokal.

Lebih dalam dipaparkan, kontribusi pengguna per wilayah masih didominasi dari Jawa 55%. Lalu disusul Sumatera 21%, Sulawesi-Maluku-Papua 10%, Kalimantan 9%, dan Bali-Nusa Tenggara 5%.

Menariknya, kali ini APJII membagi kontribusi pengguna per provinsi dari sebelumnya per pulau. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat seberapa dalam penetrasi internet di tiap provinsi. Malahan, Henri menyebutkan rencananya tahun depan APJII ingin lihat penetrasi per kabupaten.

Kontribusi ini dilihat dari jumlah pengguna. Namun bila melihat dari penetrasi, berbicara tentang jumlah pengguna dibandingkan populasi di area tersebut.

“Survei berikutnya, pada tahun depan kami ingin per kabupaten. Agar bisa audiensi ke tiap gubernur sehingga mereka ada potret di wilayah mereka seperti apa dan langkah yang harus dilakukan berikutnya.”

Survei menyebutkan untuk Jawa, Jawa Barat menjadi provinsi dengan kontribusi pengguna internet tertinggi dengan 16,6%. Yogyakarta menjadi yang terendah 1,5%. Bila melihat secara penetrasi, sumbangsih dari Jakarta jadi tertinggi dengan persentase 80,4%. Jawa Barat jadi yang terendah 58,3%.

Untuk Sumatera, kontribusi tertinggi dipegang oleh Sumatera Utara 6,3%, Jambi menjadi terkecil 0,6%. Dari penetrasinya, Bengkulu terbesar 85% dan Lampung terendah 39,5%. Sementara untuk Kalimantan, kontribusi dari Kalimantan Barat mendominasi dengan persentase 2,1%. Kalimantan Barat mendominasi 80% untuk penetrasinya.

Kontribusi dari Sulawesi Selatan jadi tertinggi dengan persentase 3,7% untuk Sulawesi-Maluku-Papua. Penetrasi tertinggi datang dari Sulawesi Tenggara dengan 80%. Adapun untuk penetrasi di Bali-Nusa Tenggara tertinggi datang dari NTB dengan 68,2%.

Berbicara soal umur pengguna internet, APJII mencatat penetrasi tertinggi datang dari umur 15-19 tahun sebesar 91%. Disusul kelompok usia 20-24 tahun (88,5%) dan 25-29 tahun (82,7%). Penetrasi terendah datang dari kelompok 65 tahun ke atas sebesar 8,5%.

Lalu, melihat dari penetrasi berdasarkan pekerjaan, kelompok yang datang dari wirausaha besar menempati posisi tertinggi (100%), guru (100%), dan pedagang online (100%). Penetrasi terendah ditempati oleh petani lahan sendiri (33,5%), buruh tani (25,7%), dan petani penggarap (20,3%).

Profil perilaku pengguna internet 2018

APJII mengungkap pengguna paling banyak terhubung setiap harinya dengan internet lewat smartphone (93,9%). Merek smartphone yang paling banyak dipakai adalah Samsung (37,7%), Oppo (18%), dan Xiaomi (17,7%).

Pengguna menyebutkan rata-rata waktu yang dibutuhkan dalam sehari untuk menggunakan internet dikuasai oleh mereka yang menjawab sekitar 3-4 jam sehari (14,1%). Mereka menggunakan internet untuk komunikasi lewat pesan, sosial media, dan menari informasi terkait pekerjaan. Ketiganya menempati posisi 24,7%.

Dari segi konten bersifat hiburan, yang paling banyak diakses oleh pengguna adalah menonton video 45,3%, bermain game 17,1%, dan mendengarkan musik 13,3%. Sementara yang bersifat komersial untuk membeli barang secara online, tertinggi pengguna menjawab tidak pernah berkunjung (53,4%).

Sedangkan mereka yang pernah, mayoritas menjawab Shopee (11,2%), Bukapalak (8,4%), Lazada (6,7%), Tokopedia (4,3%), dan Traveloka (2,3%). Pengguna membeli sandang (14,6%), buku (4%), aksesoris (3%), tas (2,9%), dan barang elektronik 3%).

“Ini artinya ada potensi yang besar untuk pemain e-commerce bahwa masih ada banyak pengguna internet yang belum pernah memanfaatkannya untuk belanja online.”

Pengguna yang menjawab tidak pernah berbelanja online menyebutkan alasannya karena lebih suka beli langsung karena langsung dapat (18,8%), belum bisa gunakan aplikasi (12,2%), khawatir barang tidak sampai (9,5%), dan rumit karena harus transfer (9%).

Survei yang dilakukan APJII ini, menggunakan 5.900 sampel dengan margin of error 1,28%. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dibantu kuesioner. Teknik sampling yang digunakan adalah probability sampling multistage random sampling.

Survei dilakukan mulai 9 Maret 2018-14 April 2019. APJII menjelaskan, data sampel yang diwawancarai merupakan pengguna yang sudah menggunakan internet lebih dari 4 bulan sebelum dilakukan pendataan di lapangan. APJII bekerja sama dengan lembaga riset Polling Indonesia untuk survei ini.

APJII: Pengguna E-Money Baru Mencapai 0,7% dari Total Responden

Kemarin (7/11), Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) kembali mengumumkan beberapa pembaruan hasil survei penetrasi dan pengguna internet di Indonesia, yang sudah dipublikasikan beberapa minggu lalu. Dari survei terbarunya ini, APJII mengaku pihaknya melakukan penyederhanaan klasifikasi bertujuan untuk meminimalisir multiinterpretasi yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya.

Intinya, APJII melakukan survei dengan dua kategori. Pertama, mengenai penetrasi dengan menyebar 1250 sampel dan kedua, mengenai perilaku sebanyak 2000 sampel. Menariknya, dari hasil survei ini untuk kategori teknis pembayaran transaksi online sebanyak 36,7% responden memilih untuk melakukannya via ATM, 14,2% memilih untuk bayar di tempat atau COD.

Kemudian, sebanyak 7,5% memilih kartu kredit, 1,6% memilih sms banking, dan posisi terakhir ditempati oleh uang elektronik atau e-money sebanyak 0,7%.

Terkait hal ini, Henri Kasyfi Soemartono, Sekjen APJII, menjelaskan sebenarnya saat melakukan survei pihaknya tidak mendetil lebih rinci mengapa pengguna lebih nyaman dengan transaksi online lewat ATM, ketimbang jalur lainnya yang lebih terkesan online. Menurutnya, responden hanya mengungkapkan pada dasarnya mereka sudah merasa aman dengan transaksi online, namun penerapan pembayaran belum sepenuhnya online.

“Dari survei kami belum melakukan mendetil alasannya, tapi pada dasarnya sebanyak 69,4% responden bilang mereka merasa aman dengan transaksi online. Mungkin, ini jadi indikasi, sudah saatnya Indonesia memerlukan national payment gateway (NPG). Sebab ini mengenai kenyamanan bukan keamanan. Bisa jadi masyarakat Indonesia belum nyaman dengan pembayaran yang benar-benar online,” ujarnya kepada DailySocial.

Dari survei ini, dapat menjadi bahan pekerjaan untuk pemerintah dan swasta mengingat implementasi pembayaran online belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Berbagai perusahaan financial technology dan inovasi yang dilakukan perbankan untuk keuangan digital yang berjamuran di Tanah Air, belum sepenuhnya mampu menggeser pembayaran online via ATM.

Seluruh pihak harus bahu membahu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada konsumen, kendati mereka menyatakan sudah menyatakan transaksi online sudah aman.

Sebelumnya, DailySocial juga menerbitkan tulisan tentang peluang e-money di Indonesia. Di luar digital banking seperti internet banking dan SMS banking, uang elektronik atau e-money memiliki potensi yang luas untuk bisa dimanfaatkan dalam transaksi online. Namun, pemanfaatannya saat ini masih terbatas untuk pembayaran transportasi publik dari e-money berbasis card based, sementara server based kebanyakan dipergunakan untuk pembelian pulsa.

Hasil survei dipertanyakan

APJII ungkapkan teknik survei dan membandingkannya dengan survei di dua tahun lalu / APJII
APJII ungkapkan teknik survei dan membandingkannya dengan survei di dua tahun lalu / APJII

Banyak kalangan yang mempertanyakan keabsahan survei APJII pada tahun ini. Untuk itu, APJII menggelar pemaparan survei untuk kedua kalinya. Pihak APJII memastikan tidak ada data yang salah, kali ini APJII mengungkapkan data lebih detil dengan penjelasan lebih sederhana, beserta metode survei yang dilakukan.

“Tidak ada perbedaan dengan survei yang dirilis 24 Oktober lalu, sekarang kami pertajam agar tidak menimbulkan multiinterpretasi pembaca,” ujar Henri.

[Baca juga: APJII: Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia Telah Terhubung Internet]

Untuk survei pertama mengenai penetrasi internet, APJII dan Polling Indonesia menggunakan teknik pengambilan sampel yang terdiri dari probability sampling, area random sampling, dan unit analisis provinsi. Lalu, teknik pengumpulan data melalui wawancara tatap muka dengan bantuan kuesioner.

Yonda Nurtaqwa, perwakilan dari Polling Indonesia, menjelaskan pihaknya mengambil responden sebagai sampel sebanyak 1.250 orang, dengan keyakinan semakin banyak sampel yang diambil makan semakin kecil margin of error. Pihaknya juga memastikan untuk memeriksa kembali data yang dirasa janggal.

“Angka 1.250 adalah angka yang pas bagi kami dan masih dalam batas wajar dengan tingkat kepercayaan 95%.”

Untuk survei kedua mengenai perilaku internet, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara multistage random sampling, variant area random, sampling mix dengan convenience sampling. Pengambilan datanya masih sama dengan survei pertama, melakukan dengan wawancara tatap mukda dengan bantuan kuesioner.

Sampel yang diambil lebih banyak dari sebelumnya yakni 2.000 responden sama seperti survei di 2014. Adapun margin of error-nya mencapai 2,2% dengan confident interval 95% dan kontrol kualitas 10% dari total sampel.

Kriteria pengambilan sampel dilakukan sesuai kesimpulan tentang karakteristik pengguna internet. Seperti, pengguna internet adalah individu yang mengakses internet dari rumah dan luar rumah, memakai komputer atau perangkat mobile. Tidak ada batasan tahun dan frekuensi penggunaan, umur, dan kepemilikan.

Indonesian Content Providers Pledge “Clicks for Indonesia”

A number of Indonesia’s biggest online content companies today gather round in the famous Cyber Building landmark in downtown Jakarta to announce their latest movement to enrich Indonesia’s internet industry. The pledge, dubbed “Klik Indonesia” created to create awareness towards Indonesian consumer to help grow the local internet economy. Continue reading Indonesian Content Providers Pledge “Clicks for Indonesia”