Bertemu Developer Game Indonesia Lulusan Google IGA 2019 di Singapura (+ Video)

Google kembali menggelar acara kelulusan program Indie Games Accelerator 2019 pada awal Desember kemarin bagi pengembang game terpilih yang telah masuk program akselerator tersebut. Setelah mendapatkan bimbingan dengan total durasi 6 bulan, kini para game developer tersebut bisa membagikan ilmu mereka secara internal atau pun bersama komunitas di negara masing-masing. 

Program IGA merupakan inisiatif Google untuk memberikan ruang bagi para pengembang indie di wilayah Asia, Middle East & Africa serta Amerika Latin untuk mendapatkan mentorship dalam mengembangkan perusahaan dan game mereka. IGA merupakan bagian dari program Launchpad Accelerator yang bekerja sama secara intens dengan Google Play. 

Tahun 2019 ini ada 1700 developer game yang mendaftar dan hanya 30 yang terpilih dari 27 negara untuk ikut program IGA 2019. IGA ditujukan untuk memberikan pengetahuan bagi para pengembang game, baik itu dari mentorship dari mentor-mentor terpilih maupun dari pengetahuan akan tools atau perangkat yang disediakan Google agar bisa dimaksimalkan oleh pengembang game. Google ingin pengembang game bisa mencapai sukses jangka pendek maupun panjang dengan program ini. DIharapkan para pengembang developer yang ikut juga bisa ikut andil dalam ekosistem game developer di negara mereka berada. 

 

IGA 2019

Indonesia termasuk yang ‘mengirimkan’ wakil terpilih mereka untuk program IGA tahun 2019. Ada dua pengembang game asal Indonesia yang ikut yaitu Nightspade dan Maentrus Digital Lab. IGA 2019 juga menjadi tahun spesial bagi pengembang wilayah LATAM karena tahun ini adalah tahun pertama pintu bagi pengembang asal negara ini bisa ikut mendaftarkan diri dan terpilih untuk ikut program. 

Fasilitas yang didapatkan peserta antara lain adalah undangan untuk ikut bootcamp selama 2 hari penuh di kantor Google Singapura, mentorship yang terpersonalisasi, peluang untuk di-showcase di Google Play, dukungan credit $20.000 di Google Cloud Platform dan Firebase + dukungan training dan support, 1 smartphone Google Pixel, undangan ke acara Google Play Time 2019 di Singapura, delegate pass untuk Google I/O 2019 dan undangan
training Unity.

Acara kelulusan sendiri tahun ini diadakan kembali di kantor Google Singapura yang juga merupakan kantor pusat untuk wilayah Asia Pasifik. DailySocial juga turut diundang untuk menghadiri acara IGA 2019. Kami tidak hanya ikut menyaksikan acara kelulusan tetapi juga berbincang dengan perwakilan dari pengembang game asal Indonesia plus mentor yang juga berasal dari Indonesia. Tidak hanya itu, saya dan perwakilan media yang ikut juga diberikan beberapa penjelasan tentang program IGA dan mengapa Google ‘ngotot’ untuk turun langsung membantu para pengembang game dalam mengembangkan karya mereka. 

Tentang IGA 2019, apa yang menarik?

Ini kali pertama saya mengikuti acara IGA yang diselenggarakan oleh Google. Waktu angkatan pertama, tim saya yang mengikuti acaranya. Tapi ini bukan kali pertama saya mengikuti atau menghadiri acara Google yang terkait developer aplikasi. Google memang memiliki beberapa program untuk para pengembang aplikasi, dan IGA sendiri masuk dalam program Launchpad Accelerator yang biasanya ditujukan untuk para pengembang aplikasi non games. Keputusan Google untuk mengadakan mentorship untuk para pengembang aplikasi memang cukup menarik. 

Yang pertama adalah niatan Google untuk turun langsung mengembangkan toko aplikasi mereka terutama yang berhubungan dengan aplikasi. Dukungan tim dari Google Play tentunya memberikan harapan bagi para pengembang aplikasi game, terutama yang masih indie dan masih butuh bantuan untuk mendapatkan mentorship yang bisa jadi tidak bisa mereka dapatkan dengan usaha sendiri. 

IGA 2019

Vineet Tanwar, Manager, Business Development Google Play menyebutkan dalam salah satu presentasi di IGA 2019, di toko aplikasi mereka alias Google Play bahkan kini ada sudut atau corner khusus untuk para pengembang indie, namanya Indie COrner (g.co/playindie). Area ini berisi judul-judul game dari pengembang indie, di-update oleh Google secara berkala. 

Yang kedua adalah ditambahnya wilayah LATAM ke dalam program IGA untuk tahun kedua ini. Wilayah LATAM sendiri memang dikenal sebagai market game yang cukup menarik untuk pasar mobile gaming. Bahkan untuk pengembang game dari Indonesia. Saya ingat beberapa tahun lalu ada pengembang aplikasi lokal yang pengguna game mereka lebih banyak dari pasar LATAM alih-laih dari ranah lokal. Jumlah pengembang game yang ikut dalam program IGA 2019 kali ini juga cukup banyak, jauh lebih banyak dari negara lain. 

Pihak Google mengatakan saat sesi tanya jawab, hal ini dikarenakan program baru pertama kali terbuka untuk pengembang wilayah ini jadi pengembang aplikasi yang ikut serta cukup membludak. 

IGA 2019

Data statistik dari Newzoo dan McKinsey yang dikutip dalam presentasi di acara menampilkan perbandingan populasi dan pangsa pasar game, LATAM memiliki populasi 656 juta dengan gamers sebanyak 252 juta orang sedangkan SEA 626 juta orang dengan gamers sebanyak 181 juta. Ini adalah gambaran kasar pangsa pasar game, tentu saja pengembang kemudian harus menelaah pasar gaming mobile jika ingin berkembang di Play Store. 

Di waktu presentasi berbeda, Kunal Soni, Director, Business Development Google Play Apps & Games – SEA, India & AU menampilkan beberapa data tentang pasar gaming, terutama untuk mobile gaming

IGA 2019

Penetrasi smartphone di SEA diprediksikan terus meningkat dari 353 juta pengguna di tahun 2019 menjadi 372 juta dan untuk LATAM dari 273 juta di tahun 2019 menjadi 287 juta di tahun 2020 (data dari Canalyst dan eMarketer). 

Kunil juga mengutip data dari Newzoo yang menyebutkan bahwa pasar  gaming mobile saat ini sebesar 54,9 miliar dollar dan akan bertumbuh menjadi 79.7 miliar dollar pada tahun 2020. 

IGA 2019

Sedangkan untuk mobile gaming revenue, Kunil mengutip laporan Newzoo menyebutkan bahwa pendapatan dari game di SEA meningkat dari $3.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $6.1 miliar di tahun 2020. Sedangkan untuk pasar LATAM, $2.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $3.5 miliar di tahun 2020. 

IGA 2019

IGA2019

Google sendiri menyebutkan saat ini ada 2.5 miliar perangkat aktif Android dan 2 miliar lebih pengguna aktif Google Play. Untuk unduhan, Google Play melihat ada 115 miliar lebih unduhan dalam 12 bulan terakhir. 

Beberapa tools yang dipersiapkan Google untuk mendukung perkembangan game di platform mereka antara lain custom listing pages, pre-reg rewards dan Google Play Instant, juga dukungan pengembangan seperti Android Bundles. 

Kunil juga tidak lupa menyingung tentang perihal cara pembayaran, baik itu dengan operator, gift cards ataupun mobile wallet. Termasuk tentang bagaimana fasilitas pembayaran ini tersedia untuk wilayah SEA ataupun LATAM. Lengkapnya bisa dilihat di foto berikut:

IGA 2019

Pendapat developer lokal

Dari kehadiran saya di acara, bisa terdengar jelas bahwa salah satu hal yang paling membantu para developer game yang ikut program adalah mentor. Anda bisa melihat daftar mentor lengkap di sini.

IGA 2019

Saya mendengar ‘curhatan’ para perwakilan developer dari berbagai negara, termasuk juga mengobrol santai dengan dua perwakilan developer lokal yang ikut acara ini, Garibaldi Mukti CEO dari Nightspade dan Reza Febri Nanda, CTO Maentrus Digital Lab. Dan dari sini saya bisa melihat bagaimana para pengembang ini sangat antusias dengan para fasilitas mentorship yang diberikan. Tidak hanya orangnya (beberapa diantaranya adalah orang dengan nama besar studio game terkenal) tetapi juga dari materinya. 

Sami Kizilbash – Developer Relations Google menjelaskan dalam presentasi di acara tentang desain kurukuilum dari IGA 2019. Mulai dari mengembangkan game dan mendesainnya, mengembangkan bisnis, monetisasi dan user economics, melakukan test game yang telah dikembangkan sampai dengan membangun perusahaan sebagai studio game yang bisa berkembang terus. Dari kurikulum ini pengembang bisa mendapatkan cakupan yang cukup luas untuk mulai mengenbangkan game atau memperbaiki game yang telah/tengah dilkembangkan. 

IGA 2019

Google juga mendesain bahwa para mentor yang ada sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh para peserta, bahkan para game studio juga bisa request untuk mentornya sehingga bisa mendapatkan masukan atau ilmu yang benar-benar dibutuhkan. 

Selain kurikulum yang didesain untuk fokus pada keberhasilan peserta, ada satu hal yang cukup disebut oleh banyak peserta sebagai salah satu manfaat yang berkesan bagi peserta, yaitu OKR atau Objectives and Key Results. Semacam sebuah panduan untuk para peserta agar bisa menentukan objective dan key results dari produk/usaha yang dikembangkan, berfokus pada pengembangan tim serta mampu memprioritaskan hasil dengan timeline tertentu. 

IGA 2019

OKR ini juga disebut saat saya berbincang dengan peserta asal Indonesia. Dengan diarahkan dalam workshop mereka jadi bisa menjalankan proses mengembangkan game dengan lebih baik karena jelas proses dan timeline-nya termasuk objective dan hasil yang ingin dicapai. 

IGA 2019

Contoh yang paling menarik adalah dari Garibaldi – Nightspade yang menceritakan bahwa saat mengikuti program ini mereka tengah mengerjakan sebuah game. Namun ketika workshop berlangsung ternyata proses yang mereka jalankan tidak sepenuhnya benar. Maka Nightspade mencoba untuk tetap mengembangkan game yang telah dijalankan tetapi di sisi lain mengembangkan game lain dengan hasil pelajaran yang mereka dapatkan di IGA. Hasilnya, ternyata game baru yang dikembangkan dengan materi dari workshop lebih berhasil. 

Materi tentang leadership juga mendapatkan feedback dari peserta dengan cukup signifikan. Mereka diajarkan untuk membangun sebuah perusahaan yang bisa berkelanjutan. Apalagi game developer terdiri dari berbagai tim dengan keahlian yang berbeda-beda, butuh kepemimpinan yang baik untuk menyatukannya menjadi satu game yang baik. 

Google juga mengatakan bahwa leadership ini penting karena para peserta diajakuntuk membangun perusahaan bukan hanya sebuah produk (game). product.

IGA 2019

Key takeaways

Indie Games Accelerator bisa jadi salah satu pilihan bagi pengembang game indie yang ingin mencari program akselerator. Diselenggarakan oleh ‘empunya’ toko aplikasi alias Play Store yang ada di Android. Memang jumlah peserta dan yang lolos seleksi cukup jauh perbandingannya. Dengan kata lain persaingannya akan cukup ketat. Namun Google membagi pengembang ini adalah berbagai wilayah, jadi kalau memang kualitasnya baik dan memang pengembang game-nya memiliki peluang untuk berkembang dan tentu saja masuk persyaratan yang telah ditentukan Google, para pengembang developer punya peluang untuk ikut program ini. 

Saya melihat bahwa tidak hanya nama besar Google yang menarik dari program ini tetapi para mentor yang bisa membagi pengalaman pengembangan game mereka baik bisnis atau produk, dan satu lagi yang juga penting adalah tools dari Google. Bukan hanya tools yang bersifat teknis seperti cloud platform atau firebase tetapi juga tentunya tools yang berhubungan dengan Play Store. Proses A/B test, bagaimana caranya mengumpulkan data, optimasi ukuran file (APK), penggunaan baterai secara optimal adalah beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi game developer mobile

Tools lain seperti OKR dan leadership membantu para game developer indie untuk tidak hanya fokus membuat game yang baik tetapi juga belajar proses yang benar serta mengembangkan perusahaannya untuk menjadi studio yang berkembang. 

IGA 2019

Sayang memang saya tidak menanyakan secara spesifik bagaimana kualifikasi indie yang dijalankan Google. Karena dari peserta IGA 2019 ini memang cukup beragam dan tidak hanya berisi game developer kecil beranggotakan di bawah 5 orang atau mereka yang belum pernah atau sedang mengembangkan game. Ada juga studio yang gamenya telah diunduh oleh jutaan pengguna, ada pula game developer yang telah mengembangkan game untuk waktu yang cukup lama. 

Dalam laman resmi mereka juga tidak disebutkan batasan ukuran besarnya studio game atau game developer yang bisa ikut. Namun lebih pada game studio atau developer yang memang membutuhkan bantuan untuk mengembangkan game dengan lebih baik. Toh kalau memang sudah bukan ‘indie’ lagi, game developer biasanya sudah bisa jalan mandiri dalam mengembangkan perusahaan mereka. 

Sebagai pelengkap, berikut video suasana acara kelulusan IGA 2019 dan wanacara singkat saya dengan perwakilan Nightspade dan Maentrus Digital Lab, serta salah satu mentor dari Indonesia.

Wawancara Niji Games – Pelajaran yang Dipetik dari Indie Games Accelerator 2018

Indie Games Accelerator (IGA) adalah program baru Google yang baru dilaksanakan pertama kalinya mulai tahun 2018 ini. Setelah melalui seleksi yang ketat, 30 studio game dari India, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, serta Vietnam berkumpul untuk mendapat bimbingan dari para developer veteran mancanegara. Mereka juga mendapat berbagai fasilitas dari Google, seperti pelatihan leadership dan akses ke berbagai tools.

Salah satu developer peserta dalam program Indie Games Accelerator 2018 adalah Niji Games yang berasal dari Indonesia. Hybrid mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Nikko Soetjoadi, co-founder sekaligus CEO Niji Games yang hadir di markas Google Asia Pacific di Singapura. Apa saja pelajaran yang didapat Niji Games dari Indie Games Accelerator 2018, dan bagaimana program tersebut mempengaruhi kesuksesan game buatan mereka?

Kata kuncinya adalah “akses”

Berbicara tentang bootcamp atau pelatihan, kita akan berpikir bahwa hasil terbesar yang bisa dibawa pulang adalah aneka ragam materi pembelajaran dari para pembicara. Hal itu tentu juga ada dalam IGA 2018, karena para peserta mendapat presentasi serta seminar yang bermanfaat. Tapi lebih dari itu, manfaat terbesar program ini adalah akses.

Akses yang dimaksud mencakup banyak hal. Setidaknya ada tiga jenis sumber daya yang didapat oleh para peserta dalam IGA 2018, yaitu:

  • Kesempatan bertemu para mentor yang berpengalaman dan dapat memberi feedback tepat sasaran
  • Akses berbagai tools dan data milik Google seputar pengembangan mobile game
  • Koneksi ke berbagai pelaku industri game—baik sesama developer, penerbit, hingga investor—yang berpotensi menjadi kerja sama jangka panjang

“Kita bisa cerita studio kita lagi gimana, game kita lagi gimana, challenge yang kita hadapi kayak gimana,” ujar Nikko. Berbeda dengan kelas workshop biasa di mana satu mentor menangani banyak peserta sekaligus, mentorship di IGA 2018 berjalan lebih intim. Peserta bisa bertatap muka dan berdiskusi empat mata dengan masing-masing mentor, sehingga masalah yang didiskusikan pun bisa sangat detail.

Nikko Soetjoadi
Nikko Soetjoadi, co-founder Niji Games | Sumber: Dokumentasi Hybrid

“Yang pasti nanti semua developer akan punya akses ke resource punya Google ini. Kita akan dikasih informasi-informasi yang lumayan sensitif, yang cuman mereka kasih buat partner-partner. Kedua, kita belajar dari pengalaman-pengalaman Google dan mentor. Gimana sih startup itu? Gimana cara bikin game yang bagus, begitu,” lanjut Nikko. Informasi yang didapat selama IGA 2018 adalah informasi yang sifatnya paten. Artinya manfaat informasi tersebut tidak hanya terasa beberapa waktu setelah bootcamp, tapi merupakan bekal yang bisa dimanfaatkan jauh di masa depan.

Menariknya, ketika dikonfirmasi kepada Marcus Foon (Program Manager Google), ia berkata bahwa sebenarnya data yang diberikan pada para peserta itu bukan termasuk data sensitif. Google memiliki data lengkap tentang performa seluruh game yang ada di Google Play, mulai dari error report, data monetisasi, dan sebagainya. Pada dasarnya yang diberikan pada para peserta adalah insight berkaitan dengan data tersebut. Dengan insight itu, harapannya para developer bisa merilis game dengan kondisi paling optimal.

Walau bukan data sensitif, tentu sulit bagi para developer untuk mendapatkan akses ke insight yang dimaksud dalam kondisi normal. Akses itulah yang difasilitasi Google melalui Indie Games Accelerator. Selain itu, networking yang terjadi di kalangan peserta dan mentor juga merupakan manfaat yang besar. Para peserta telah membentuk komunitas developer indie sendiri, dan beberapa di antaranya bahkan telah menjalin kerja sama. Salah satu peserta berhasil mendapat kontrak penerbitan game di tengah IGA 2018, sementara beberapa peserta lain berinisiatif untuk mendirikan asosiasi developer game indie di negara asalnya.

IGA 2018 - Indonesian Developers
Tiga perwakilan Indonesia: Gaco Games, Everidea, dan Niji Games | Sumber: Dokumentasi Google

Menunda perilisan demi feedback

Selama IGA 2018 berjalan, Niji Games sebenarnya tengah mengembangkan sebuah mobile game berjudul Jones: Jomblo is Happiness. Pada awalnya mereka berencana untuk merilis game tersebut di awal bulan November 2018, namun Niji Games memutuskan untuk menunda perilisannya. Alasannya, supaya mereka bisa membawa game tersebut ke IGA 2018 dan mendapatkan feedback dari para mentor.

“Sebenarnya kita mau launching, tapi ditahan. Tunjukin ke mentornya dulu, minta feedback, tunggu dapat ilmu dulu,” tutur Nikko. Benar saja, ternyata banyak hal yang berubah setelah game tersebut dibawa ke IGA 2018. “Beberapa bagian, terutama bagian depannya banyak yang kita ubah.”

Bagian depan yang dimaksud adalah pembukaan game dan bagian tutorial. Jones: Jomblo is Happiness sebenarnya bukan game dengan sistem permainan rumit, hanya berupa sejenis visual novel. Namun pemain akan dihadapkan pada banyak pilihan yang mempengaruhi ending. Tutorial yang baik dapat membantu pemain lebih mengerti aturan dalam game, sehingga mereka tidak melakukan kesalahan dan mendapat ending yang buruk.

Niko melanjutkan, “Mengubah itu juga makan waktu, hampir telat kita. Sampai hari ini kita kebut ya, dan baru selesai kemarin sebetulnya. Kita launching supaya available buat acara ini.” Jones: Jomblo is Happiness akhirnya dirilis pada tanggal 27 November 2018, hanya sehari sebelum acara puncak IGA 2018 yaitu upacara kelulusan di tanggal 28.

Perubahan tersebut membawa hasil sangat positif. Setelah perilisannya, Jones: Jomblo is Happiness berhasil menjadi salah satu game premium terlaris di Google Play, bahkan menduduki peringkat 6 daftar Top Paid Games. Menurut Nikko, 99% pembeli berasal dari Indonesia, tapi mereka tidak terpaku pada pasar lokal saja. “Kalau di Niji kita menjamah dua-duanya sih, lokal dan global,” katanya. “Kita sudah siapin localization ke bahasa Inggris, jadi orang luar juga bisa main.”

Lebih percaya diri menjalankan perusahaan

Indie Games Accelerator 2018 bukan hanya soal bagaimana cara membuat game yang bagus. Lebih dari itu, Google ingin program ini dapat menelurkan perusahaan-perusahaan game yang kokoh dan sustainable untuk jangka panjang. Karena itulah mereka juga memberikan pelatihan bisnis, motivasi, leadership, recruitment, dan sebagainya. Google juga memberikan materi manajemen berbasis OKR (Objective and Key Results) sebagai salah satu cara menjalankan perusahaan.

Namun itu bukan berarti Google mewajibkan semua peserta untuk menjalankannya. Niji Games termasuk perusahaan yang tidak melakukan perubahan sistem manajemen, namun ada juga developer negara lain yang melakukan perubahan drastis dan mengaku hasilnya sangat baik.

Nikko Soetjoadi - Developers Panel
Nikko bersama peserta-peserta IGA 2018 lainnya | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Lalu apa perubahan yang dirasakan oleh Niji Games sendiri setelah IGA 2018? “Mungkin lebih pede ya,” jawab Nikko. “Punya confidence gitu. Kita ada ilmu baru, kita ada network, jadi kalau kita ngerjain produk, atau approaching investor, atau apa, gitu lebih bisa ngomong.” Niji Games memang tergolong perusahaan game yang sudah cukup lama berdiri di Indonesia. Mereka sudah beroperasi sejak tahun 2015 dan sejauh ini cukup stabil, jadi belum membutuhkan perubahan sistem manajemen yang drastis.

Nikko juga mengaku tidak begitu khawatir dengan persaingan di dunia mobile game yang kini semakin ketat. Memang banyak game besar meledak di pasaran, seperti Mobile Legends atau PUBG Mobile, tapi itu tidak begitu mempengaruhi Niji Games. “Indie punya market sendiri. Game yang kita bikin kan bukan Mobile Legends. Kita nggak nyaingin mereka, tapi lain.”

Ke depannya, Niji Games berencana untuk merekrut kru tambahan sebagai tenaga programmer. Mereka kini tengah mengembangkan lima game, dan salah satunya direncanakan untuk terbit di tahun 2019. Niji Games juga terbuka dengan kemungkinan pengembangan game di platform selain mobile, tapi itu semua tergantung kondisi. “Kalau ada ide produk yang tepat kita open sih untuk membuat game di console atau PC. Tergantung jenis game-nya, sama tergantung nanti timnya. Soalnya dunia itu kan dunia asing ya, kita belum punya pengalaman dan semua belajar dari nol,” demikian jelas Nikko.

4 Tantangan Developer Mobile di Tahun 2018 dan Cara Google Mengatasinya

Pasar mobile di tahun 2018 adalah pasar yang masih terus bertumbuh. Demikian pernyataan yang dilontarkan oleh Google pada awal acara konferensi Google Playtime 2018 Singapore, 29 November lalu. Di Asia Tenggara saja, ekonomi digital/internet telah mencapai angka perputaran uang US$72 miliar di akhir tahun 2018. Sementara di tahun 2025, angka ini diperkirakan akan tumbuh hingga lebih dari tiga kali lipatnya, yaitu sekitar US$240 miliar.

Nilai ekonomi sebesar itu tercapai, salah satunya berkat banyaknya jumlah perangkat mobile yang beredar dan aktif digunakan di seluruh dunia. Google memperkirakan bahwa saat ini ada lebih dari dua miliar mobile device aktif di 215 negara. Dari sedemikian banyak perangkat, lebih dari 250 juta aplikasi diunduh setiap harinya. Ini berarti banyak pengguna perangkat mobile yang selalu aktif mencari dan mengunduh aplikasi baru.

Mobile game tentu merupakan bagian besar dari ekonomi tersebut. Dan Google sebagai penyedia platform punya kewajiban untuk mengidentifikasi serta menciptakan solusi atas tantangan-tantangan yang muncul di dalamnya. Setidaknya ada empat tantangan besar yang dihadapi oleh dunia mobile game di tahun 2018. Berikut masalah-masalah tersebut dan cara Google menghadapinya.

Google Playtime 2018 - Hosts
Tian Lim, Purnima Kochikar, dan Kunal Soni di Google Playtime 2018 Singapore | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Ukuran instalasi

Sejak tahun 2012, ukuran sebuah mobile game telah semakin membengkak. Rata-rata ukuran APK game Android di tahun 2018 mencapai lima kali lipat dari sejak enam tahun yang lalu. Ini memunculkan masalah tersendiri, terutama di pasar negara berkembang. Semakin besar ukuran instalasi sebuah game, semakin tinggi kemungkinan terjadi gagal unduh atau gagal install.

“Di Indonesia misalnya, lebih dari 40% perangkat mobile yang beredar hanya memiliki kurang dari 1 GB storage,” kata Tian Lim, VP of UX and Product di Google Play. Padahal pasar potensial wilayah ini sangat besar. Sayang sekali bila ada developer yang tak bisa memanfaatkannya karena kendala storage.

Menghadapi hal ini, Google Play telah mengubah cara instalasi di platform tersebut. Para developer kini bisa mengakses fitur bernama Android App Bundle yang memungkinkan penciptaan APK dalam ukuran jauh lebih kecil dari biasanya. Fitur ini tersedia dalam Android Studio versi 3.2 yang baru saja dirilis bulan September lalu.

Kualitas aplikasi

Seperti yang dikatakan oleh Kunal Soni, Director of Business Development Google Play SEA & India saat konferensi Indie Games Accelerator 2018, di tengah banyaknya mobile game yang beredar, tidak ada ruang bagi game berkualitas rendah. Google memahami hal ini, karena itulah mereka terus berinovasi demi memastikan semua game di Google Play memenuhi standar tertentu.

Google meluncurkan program baru yang bernama Android Vitals. Program ini memungkinkan developer untuk mengakses sebuah dashboard yang menunjukkan berbagai macam statistik tentang stabilitas aplikasi. Mulai dari waktu startup/loading, penggunaan baterai, masalah permission, crash rate, dan sebagainya. Seluruh statistik tersebut membentuk suatu daftar yang disebut “core vitals”. Dengan memastikan seluruh core vitals tercapai, developer dapat merilis aplikasi tanpa perlu khawatir akan crash atau bug yang merepotkan.

Selain itu, Google Play kini juga memiliki fitur Early Access dan Pre-Registration. Dengan menawarkan berbagai imbalan serta kesempatan mencicipi game lebih awal, mereka berharap akan meningkatkan jumlah aplikasi yang terinstalasi di hari peluncurannya.

Metode pembayaran lokal

Kunal Soni mengatakan dalam acara Google Playtime 2018, “Salah satu tantangan terbesar yang unik di Asia Tenggara adalah masalah pembayaran. Developer butuh jalur pembayaran yang mudah dan tepat agar mereka bisa mendapat pemasukan.” Asia Tenggara memang termasuk negara berkembang di mana penggunaan kartu kredit masih relatif rendah. Pengguna ingin jalur-jalur pembayaran alternatif yang lebih mudah dan familier.

Google berinvestasi di dua jalur pembayaran lokal. Pertama yaitu dalam wujud gift card (alias voucer Google Play) dan kode digital. Metode ini diterapkan di negara-negara seperti Thailand, Indonesia, Singapura, dan India. Saat ini ada lebih dari 42.000 gerai ritel Asia Tenggara dan India yang menjual voucer Google Play.

Metode kedua adalah pembayaran via pulsa. Google Play telah menjalin lebih dari 25 ikatan kerja sama DCB (Direct Carrier Billing) dengan perusahaan telekomunikasi berbagai negara. Termasuk di antaranya Vietnam, Singapura, Malaysia, Filipina, India, serta tentu saja Indonesia. Pembayaran via pulsa bisa dilakukan secara prabayar atau pascabayar, dan terbukti sangat populer di negara-negara berkembang.

Google juga mengizinkan para developer game untuk mematok banderol harga berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia misalnya, game dapat dijual bahkan dengan harga kurang dari Rp10.000, sementara di India developer dapat memasang harga semurah 10 Rupee. Praktik “sub-dollar price” ini sangat efektif meningkatkan minat pasar terhadap berbagai game yang ada di Google Play. Salah satu contoh suksesnya adalah Niji Games dengan game berjudul Jones: Jomblo is Happiness. Dijual dengan harga Rp9.000 saja, game ini laku keras, bahkan sempat nangkring di peringkat 6 Top Paid Games Google Play.

Jones: Jomblo is Happiness - Price
Salah satu contoh praktik sub-dollar price yang sukses | Sumber: Google Play

Keamanan

Kemanan dan kepercayaan adalah masalah penting. Bila sebuah platform banyak mengandung aplikasi jahat, malware, atau sejenisnya, pengguna lambat laun akan kehilangan kepercayaan dan pergi meninggalkan platform tersebut.

Google Play sangat serius menggarap masalah ini. Di tahun 2017 saja, mereka telah menghapus kurang lebih 700.000 aplikasi bermasalah dari Google Play. Mereka juga menerapkan proses approval yang lebih ketat, serta menciptakan tools untuk memindai aplikasi-aplikasi Google Play secara otomatis untuk menemukan potensi malware. Menurut Tian Lim, setiap harinya Google Play melakukan pemindaian 50 miliar aplikasi untuk menjaga keamanan.

Itulah empat tantangan utama developer mobile di tahun 2018. Google melalui platform Google Play tak henti-henti melakukan perbaikan demi menciptakan ekosistem mobile yang baik, terutama di wilayah Asia Pasifik. Mereka juga mendorong pertumbuhan developer lokal, misalnya melalui program Indie Games Accelerator dan Start on Android. Harapannya Google Play dapat menjadi platform yang sehat, aman, dan terus tumbuh di masa depan.

Google Indie Games Accelerator 2018, Ajang Pertapaan Developer Game Delapan Negara

Google baru saja menyelesaikan program bootcamp yang digelar untuk developer mobile game dari delapan negara—India, Indonesia, Malaysia, Paksitan, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Berjudul Indie Games Accelerator 2018 (IGA 2018), program ini bertujuan untuk melejitkan pertumbuhan mobile game di negara-negara tersebut, dan melibatkan sejumlah mentor dari perusahaan-perusahaan game top dunia dalam sebuah kurikulum yang komprehensif.

Google menyebut Indie Games Accelerator sebagai “edisi spesial dari program Launchpad Accelerator”. Artinya, IGA 2018 bukan hanya membantu para developer menciptakan game yang menarik, tapi juga mengajarkan mereka cara mendirikan perusahaan yang sustainable untuk jangka panjang. Membuat sebuah game dan membuat sebuah perusahaan game adalah dua hal yang berbeda, dan Google ingin agar para studio game dapat melakukan keduanya secara maksimal.

Indie Games Accelerator 2018 - Cohorts
Beberapa peserta IGA 2018 | Sumber: Dokumentasi Google

Seleksi ketat 30 peserta

IGA 2018 adalah program IGA pertama yang diadakan Google. Untuk saat ini, Google hanya menargetkan delapan negara di atas, namun mereka juga ingin melebarkan jangkauan ke wilayah lainnya di masa depan. “Kami ingin memastikan bahwa Google Play mendukung dan memberdayakan developer game dari skala apa pun dan dari negara apa pun,” demikian kata Kunal Soni, Director of Business Development Google Play SEA & India.

Selama masa registrasi tanggal 27 Juni – 31 Juli 2018 lalu, Google telah menerima pendaftaran dari beribu-ribu developer, dan menyaring semuanya jelas bukan hal mudah. Pada akhirnya, terpilih 30 developer yang menjalani bootcamp Indie Games Accelerator perdana ini. Berikut ini daftar developer tersebut.

India:

  • 2Pi Interactive
  • Bombay Play
  • GoLIVE Games Studio
  • Jambav
  • Lucid Labs
  • Octathorpe Web Consultant
  • Threye Interactive
  • Underdogs Gaming Studio

Indonesia:

Indie Games Accelerator 2018 - Kunal Soni
Kunal Soni menjelaskan isi program mentorship IGA 2018 | Sumber: Dokumentasi Google

Malaysia:

  • Gameka

Pakistan:

  • Dreamnode Studios
  • we.R.play

Filipina:

  • MochiBits
  • Monstronauts

Singapura:

  • Battle Brew Productions
  • Boomzap
  • The Gentlebros
  • Springloaded
  • Touch Dimensions

Thailand:

  • Bit Egg
  • Extend Interactive
  • Urnique Studio

Vietnam:

  • Beemob Hanoi Studio
  • CSCMobi
  • Gemmob Studio
  • Suga Studio
  • Tope Box
  • WolfFun Game

Tiga puluh developer ini kemudian mengikuti bootcamp dan bimbingan secara intensif bersama pembicara dan mentor yang merupakan pakar industri game dari seluruh dunia. Termasuk di antaranya Rami Ismail dari Vlambeer, Mark Skaggs dari Electronic Arts, Alvin Chung dari Rayark, Jay Santos dari Unity, Angelo Lobo dari Zynga, dan banyak lagi! Anda yang familier dengan dunia game indie pasti sudah akrab dengan nama-nama mentor atau perusahaan tersebut.

“Bagian terbaik dari program ini adalah para mentornya,” kata Howard Go dari MochiBits. “Mereka dapat memberi tahu kita kenyataan-kenyataan pahit di lapangan dan bagaimana cara mengatasinya.” Interaksi antara para mentor dan developer peserta IGA memang terjadi dengan sangat dekat dan intens. Para mentor dikenal sebagai pakar di bidangnya masing-masing, jadi mereka selalu dapat memberikan feedback tajam dan tepat sasaran. Terkadang, wawasan dari para mentor itu bahkan sama sekali tak terpikirkan oleh developer sebelumnya.

Indie Games Accelerator 2018 - David McLaughlin
David McLaughlin dalam konferensi pers IGA 2018 | Sumber: Dokumentasi Google

Pilar-pilar utama Indie Games Accelerator 2018

“Kami tidak ingin game untuk menjadi one hit wonder saja. Kami ingin menciptakan perusahaan-perusahaan yang sustainable di seluruh Asia, yang dapat membuat game hit lagi dan lagi,” demikian kata David McLaughlin, Director of Global Developer Ecosystem di Google. Untuk mencapai hal itu, program IGA tidak memiliki tiga pilar utama yang disebut Discovery, Mentorship, dan Recognition.

Discovery atau Penemuan adalah tahap pencarian developer-developer bertalenta melalui seleksi. Kemudian Mentorship atau Bimbingan adalah inti dari program IGA itu sendiri, di mana para developer diajarkan berbagai best practice dalam pengembangan game maupun manajemen perusahaan. Terakhir, Recognition atau Pengakuan adalah tahap di mana Google memberi reward, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, untuk membantu kesuksesan developer-developer itu.

Hal yang membuat IGA unik dibanding bootcamp lainnya adalah kurikulum mentorship yang didesain khusus untuk acara ini. Kurikulum tersebut meliputi lima proses tahapan, yaitu:

  • BUILD – Game Development & Design
  • GROW – Business Development
  • EARN – Monetization and User Connections
  • TEST – Game Testing
  • LEAD – Building A Company
Indie Games Accelerator 2018 - Mentors
Mentor IGA 2018, Mark Skaggs (EA) dan Kamina Vincent (Mountains Games) | Sumber: Dokumentasi Google

Tiga tahap yang paling menjadi perhatian intensif dalam kurikulum ini adalah BUILD, TEST, dan LEAD. Google paham bahwa di tengah banyaknya mobile game yang beredar dewasa sekarang, tak ada lagi ruang untuk game berkualitas jelek. Oleh karena itu Google benar-benar menghabiskan banyak waktu di tahap BUILD untuk memastikan game buatan peserta IGA berjalan dengan baik di semua platform.

Google memiliki tools tersendiri untuk deteksi bug, pelaporan eror, dan sebagainya. Dengan memberikan akses tools tersebut pada para peserta, mereka bisa langsung tahu device apa saja yang memiliki risiko terjadinya bug atau crash. Ini membantu para developer untuk meluncurkan game dalam keadaan sudah terpoles sangat baik.

Selain itu, TEST adalah tahap yang unik di IGA. Perusahaan-perusahaan developer besar umumnya memiliki divisi tersendiri untuk melakukan testing secara menyeluruh. Bahkan di luar sana ada perusahaan-perusahaan yang bergerak khusus di bidang game testing. Tapi developer indie tidak memiliki sumber daya semacam ini. Google menyediakan sumber daya testing bagi para developer, baik itu berupa automated test maupun tes manual dari para mentor.

“Kami mengajarkan startup untuk melakukan iterasi dan beradaptasi. Di sini kami pun melakukan hal yang sama,” ujar McLaughlin. IGA mengajarkan studio-studio game teknik manajemen perusahaan dengan metode OKR (Objectives and Key Results). Menurut beberapa peserta, metode ini benar-benar mengubah cara mereka mengatur perusahaan, dan membuat mereka dapat melihat masa depan secara lebih pasti. Google sendiri sudah mengadopsi sistem OKR sejak lama, dan mereka merupakan bukti nyata keberhasilan metode tersebut.

Di tahap LEAD, IGA memiliki sesi khusus yang disebut LeadersLab. Google menginvestasikan banyak waktu dan tenaga untuk menciptakan para pemimpin yang hebat, berani berbicara tentang kegagalan, dan mampu bekerja sama dengan sesama co-founder. LeadersLab sebelumnya juga sudah ada di program LaunchPad Accelerator. Ini adalah salah satu cara Google melatih perusahaan-perusahaan baru agar dapat tumbuh menjadi perusahaan dengan bisnis yang sehat.

Indie Games Accelerator 2018 - Gaco Games
Gaco Games di upacara kelulusan IGA 2018 | Sumber: Dokumentasi Hybrid

IGA 2018 hanyalah langkah awal

Indie Games Accelerator kini telah berakhir, dan seluruh peserta telah melalui upacara “wisuda” di kantor Google Asia Pacific di Singapura. Akan tetapi ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka. Justru semua baru dimulai.

Satu hal yang mungkin terkesan sepele namun sebetulnya berpengaruh besar dari IGA 2018, adalah kesempatan para developer untuk menciptakan sebuah komunitas developer yang kuat. Pertemuan dengan sesama developer game indie dari berbagai negara, serta perkenalan dengan pakar industri game dari seluruh dunia, semuanya merupakan hal berharga yang akan membuka banyak opotunitas menarik di masa depan.

“Ada beberapa developer dari Vietnam yang sejak awal bootcamp selalu berkumpul untuk minum-minum setiap malam. Kini setelah program berakhir ternyata mereka membentuk asosiasi developer game di Vietnam,”kata Marcus Foon, Program Manager Google dalam bincang-bincang singkat dengan Hybrid. Kejadian tadi hanya salah satu contoh bagaimana IGA dapat memunculkan manfaat di luar bootcamp itu sendiri. Satu studio peserta lain bahkan berhasil menjalin kerja sama dengan publisher besar lewat acara ini. Para peserta IGA juga telah menjalin ikatan sendiri secara organik, misalnya lewat grup WhatsApp atau interaksi-interaksi lainnya.

Indie Games Accelerator 2018 - Booth
Pengunjung dapat mencoba game buatan peserta bootcamp | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Bagi para developer senior, Google Indie Games Accelerator adalah kesempatan mereka untuk berkontribusi kembali ke dunia industri ini. Itulah salah satu sisi menariknya industri game, terutama game indie. Dengan pasar yang begitu besar, banyak developer bisa sama-sama sukses tanpa harus menganggap satu sama lain saingan. Mereka juga selalu terbuka untuk berbagi ilmu dengan developer lain, dan mereka ingin semua developer sukses bersama-sama.

“Ketika saya baru memulai dulu, saya sangat terbantu oleh para developer lain yang berkenan membagikan pengetahuan kepada saya. Sekarang saatnya saya melakukan hal yang sama untuk developer baru lainnya,” demikan ujar Kamina Vincent, salah satu mentor dari Mountain Games Studio.