Pemerintah Jepang Ingin Kembangkan Industri Esports Lokal

Esports diperkirakan akan tumbuh menjadi industri bernilai US$1 miliar pada 2020. Pemerintah Jepang melihat hal ini sebagai kesempatan. Mereka berencana untuk bekerja sama dengan perusahaan game dan ahli hukum untuk mengembangkan industri esports di sana. Memang, Jepang merupakan rumah dari sejumlah perusahaan game ternama, seperti Konami yang membuat seri Pro Evolution Soccer dan perusahaan konsol seperti Nintendo serta Sony.

Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang ingin mengembangkan industri esports dengan meningkatkan kemampuan para pelaku industri sehingga mereka bisa menyelenggarakan turnamen besar. Selain itu, pihak pemerintah juga ingin mengukuhkan hukum terkait properti intelektual milik developer game. Dengan mengembangkan sektor esports, pemerintah Jepang tidak hanya berharap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal tapi juga membuat orang-orang yang memiliki disabilitas bisa ikut aktif dalam turnamen esports.

Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang ingin bisa meningkatkan pemasukan sektor esports dengan menggenjot penjualan tiket turnamen, iklan, dan pendapatan dari streaming konten. Pada 2025, mereka menargetkan agar industri esports telah mendapatkan pemasukan sebesar setidaknya 285 miliar yen (sekitar Rp43,9 triliun).

industri esports Jepang
EVO Japan. | Sumber: Smash.gg

Pada 2019, industri esports Jepang bernilai 6,1 miliar yen (sekitar Rp940 miliar). Angka tersebut diperkirakan akan tumbuh menjadi 15,3 miliar yen (sekitar Rp2,4 triliun) pada 2023. Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan pasar esports Jepang adalah teknologi 5G. Selain itu, menurut riset dari BCN Inc, ke depan, akan semakin banyak developer game yang muncul di Jepang, menurut laporan Sports Pro Media.

Menariknya, hukum di Jepang sendiri membatasi pertumbuhan esports. Pada 2018, Jepang memiliki peraturan yang melarang penyelenggara turnamen untuk mengadakan turnamen esports dengan total hadiah yang besar. Untungnya, peraturan itu kemudian direvisi. Penyelenggara boleh mengadakan turnamen esports berhadiah besar jika para peserta merupakan pemain profesional.

Sementara itu, Asian Electronic Sports Federation (AESF) telah mengonfirmasi bahwa esports akan menjadi cabang olahraga bermedal di Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) pada 2021. Ini akan menjadi pertama kali esports dimasukkan sebagai cabang bermedali dalam kegiatan olahraga tersebut. Biasanya, AIMAG hanya menyertakan olahraga tradisional seperti hoki dan judo.

Memang, pada 2017, esports juga pernah dipertandingkan dalam AIMAG. Hanya saja, ketika itu, esports tak lebih dari demonstrasi. Saat itu, ada empat game yang diadu yaitu Dota 2, Hearthstone, StarCraft II: Legacy of the Void, dan The King of Fighters XIV. Kabar baiknya, dua tahun belakangan, semakin banyak kegiatan olahraga yang menyertakan esports. Pada 2018, esports telah masuk dalam Asian Games meski masih menjadi pertandingan eksibisi. Pada SEA Games 2019, esports menjadi cabang olahraga bermedali.

Keputusan AESF untuk menyertakan esports dalam AIMAG diakui oleh Olympic Council of Asia (OCA) dan International Olympic Committee (IOC). Dengan begitu, esports semakin diakui sebagai olahraga di mata masyarakat.

Sumber header: ONE Esports

Apakah Keunikan Pasar Esports Indonesia?

Pertanyaan tentang keunikan pasar esports Indonesia sebenarnya sering saya tanyakan ke banyak pelaku bisnis esports di Indonesia, namun sayangnya saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan dan definitif.

Jujur saja, saya juga belum punya jawaban definitifnya juga. Tulisan ini juga akhirnya nanti akan berakhir dengan pertanyaan yang sama. Tujuan saya menuliskan artikel ini memang hanya sekadar membawanya ke tingkat kesadaran atau malah memancing diskusi buat para pelaku industri yang ingin terjun ataupun bertahan di ekosistem esports Indonesia.

Kenapa penting merumuskan keunikan pasar esports Indonesia? Buat yang sudah malang melintang di sebuah industri, tentunya Anda tahu bahwa pemetaan pasar itu memang pengetahuan dasar yang wajib dipahami.

Buat yang belum tahu, pemetaan pasar berguna untuk merumuskan strategi, perencanaan, dan bentuk implementasi bisnis. Contoh sederhananya, tak hanya di Indonesia saja sebenarnya, industri esports menerima banyak pendapatan dari sponsor atau brand yang beriklan ke pasar esports. Tujuan beriklan tadi tentu ada beberapa jenis, seperti brand awareness ataupun user acquisition. Lalu bagaimana caranya beriklan yang efektif jika kita tidak memahami betul pasar yang ingin kita tuju?

Itu tadi hanya satu contoh saja. Ada terlalu banyak fungsi dari pemetaan pasar yang akan berguna buat para pelaku industri terkait jika dijabarkan semuanya di sini.

Seperti yang tadi saya tuliskan di awal, saya sering menanyakan tentang keunikan pasar esports Indonesia kepada kawan-kawan saya para pelaku di industri esports, termasuk para petinggi di perusahaannya masing-masing. Berikut ini adalah beberapa jawaban dari mereka yang menurut saya belum terlihat secara gamblang atau bahkan bisa saya sanggah mentah-mentah.

Pasar esports Indonesia jumlahnya besar?

Credits: PIXARua via DeviantArt
Credits: PIXARua via DeviantArt

Mungkin inilah jawaban yang paling sering dilontarkan oleh orang-orang dari pertanyaan tadi. Menurut saya, berhubung kebetulan saya sudah di industri terkait sejak 2008, yang jumlahnya sangat besar adalah pasar industri game.

Satu hal mendasar yang penting untuk dipahami adalah ada perbedaan antara pasar esports dan pasar industri game. Salah satu tokoh politik bahkan menyebutkan angka pasar gaming saat ditanya jumlah pemain esports ketika diwawancarai salah satu televisi swasta.

Pasar esports itu jauh lebih kecil ketimbang pasar gaming. Jika tidak percaya, mari kita hitung-hitungan produknya. Jumlah game di Google Play itu ada 349 juta — menurut Statista. Sedangkan game yang ada ekosistem esports-nya di Indonesia hanya segelintir, seperti PUBG Mobile, Mobile Legends, Free Fire ataupun yang lain yang jumlahnya bahkan tidak sampai 10 — sepengetahuan saya.

Di pasar global dan platform gaming lainnya sebenarnya juga berlaku hal yang sama. Di Steam, misalnya, ada 30 ribu game. Berapa banyak game di sana yang ada esports-nya? Dota 2, CS:GO, R6:S, rFactor 2, dan game-game lainnya yang punya ekosistem esports bahkan tidak mencapai 20 judul.

Itu tadi jika kita membedakannya antara game esports dan non-esports. Untuk setiap game esports sendiri juga harus dipahami bahwa pasar gamer dan fans esports-nya tidak harus sama, meski bisa beririsan.

Misalnya, ada gamer aktif League of Legends yang juga menonton setiap pertandingan liganya (bisa jadi LCK, LPL, LCS, dkk.). Namun ada juga “mantan” pemain (yang pernah tapi sudah tidak bermain lagi) game-nya yang masih menonton pertandingan esport-nya. Sebaliknya, ada juga yang pemain aktif tapi tidak suka menonton pertandingannya.

Hal ini juga terbukti dari statistik yang berbeda antara angka active users dan viewer pertandingan esports-nya. Misalnya, MAU (Monthly Active Users) Mobile Legends di Indonesia saja mencapai 31 juta orang di Oktober 2019. Namun demikian, concurrent viewers untuk kejuaraan dunia MLBB (M1 World Championship) di November 2019 hanya mencapai angka 600ribu orang — menurut Esports Charts.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

Hal yang sama juga terlihat dari statistik League of Legends (LoL). Laporan terakhir di bulan September 2019, LoL punya 8 juta concurrent playersSedangkan penonton World Championship 2019 (bulan November 2019) mencapai angka 44 juta concurrent viewers. Meski angkanya terbalik jika dibanding dengan MLBB dan menunjukkan pasar esports LoL itu lebih besar ketimbang gamer-nya, hal ini tetap membuktikan bahwa ada perbedaan besar antara pasar gamer dan pasar esports.

Plus, data ini juga tak bisa digunakan untuk jadi justifikasi pasar esports di Indonesia yang besar — karena ekosistem  LoL di Indonesia mungkin sudah bisa dibilang mati suri (atau malah mati beneran… wkakwakawk). Pasar esports di Indonesia sendiri juga berbeda dengan tren yang terjadi di pasar internasional, yang akan saya bahas di bagian selanjutnya nanti.

Lucas Mao, Directors of Operations dari Moonton dan MPL Indonesia League Commissioner, juga sempat mengatakan bahwa pasar esports di Indonesia itu memang belum sebesar pasar gaming.

Jangan lupa, game-game casual itu juga tidak sedikit jumlahnya apalagi pemainnya. Istri dan anak saya juga bermain game casual setiap harinya, Candy Crush, Minecraft, dkk. dan masuk dalam kategori pasar gaming. Namun mereka tidak peduli dengan esports.

Menurut saya pribadi, pasar gamer itulah yang jumlahnya sangat besar — baik di dunia ataupun spesifik di Indonesia. Bahkan, kemungkinan besar setidaknya 20 tahun lagi, semua orang bisa masuk dalam kategori pasar gaming. Pasalnya, saat ini, sebagian besar orang yang lahir di 1980an ke atas sudah pernah bermain game — apapun platform-nya, PC, console, mobile, ataupun handheld. Hal ini sudah terjadi di industri musik dan film. Karena tidak mungkin rasanya ada orang yang masih hidup hari ini yang belum pernah menonton film ataupun mendengarkan musik sekalipun. Game akan jadi bentuk hiburan untuk semua orang dalam waktu dekat, sama seperti musik dan film tadi.

Minecraft via Nintendo
Minecraft via Nintendo

Apakah semua gamer tadi akan jadi fans esports di masa depan? Saya rasa tidak. Selain pasar game casual yang kecil persentasenya berpaling ke esports, pasar enthusiast gamer pun ada juga yang tidak suka menonton esports — seperti para pemain game-game singleplayer.

Jadi, kembali ke pertanyaan pertama, apakah jumlah pasar esports di Indonesia itu besar? Buat saya, pasar esports bahkan belum sebesar pasar gaming. Apalagi jika dibandingkan dengan industri hiburan yang lebih tua, seperti musik dan film, pasar esports masih jauh lebih kecil.

Pasar esports Indonesia adalah kalangan menengah ke atas?

Mungkin hal ini jadi argumen orang-orang yang cukup banyak membaca soal industri esports di pasar global. Jika kita berbicara soal pasar global, saya setuju dengan pernyataan tadi bahwa pasar esports adalah pasar kalangan menengah ke atas yang punya disposable income.

Sumber: PC Gamer
Sumber: PC Gamer

Kenapa? Karena di pasar global, platform esports yang dominan adalah PC, setelah itu console, baru mobile. Meski memang tidak semua gamer itu jadi fans esports, sebagian besar fans esports adalah pemain game tersebut. Pasalnya, kita mungkin tidak akan bisa memahami apalagi menikmati sebuah pertandingan esports jika kita tidak pernah sekalipun memainkan game-nya — terutama MOBA.

Karena itu, fans-fans esports di pasar global yang lebih condong ke PC dan console berarti pernah memainkan game-game tersebut atau bahkan punya mesin gaming-nya. Mesin gaming tadi, kemungkinan besar, tidak akan dimiliki oleh kalangan ekonomi bawah karena memang bukan kebutuhan primer. Nah, esports di platform PC dan console tadi bisa dikatakan sebagai minoritas di ekosistem esports Indonesia sekarang. Organisasi esports dari Indonesia yang masih fokus dengan game-game PC yang populer di skena internasional bahkan hanya satu, yaitu BOOM Esports.

Mobile esports lah yang saat ini populer di industri esports Indonesia, yang juga terbukti dari Market Research tentang esports yang dilakukan oleh DailySocial di tahun 2019. Kebalikan dari PC dan console, di zaman sekarang ini, ponsel pintar yang jadi platform mobile esports sudah bisa dibilang kebutuhan primer. Ditambah lagi, game esports yang laris di Indonesia tidak membutuhkan ponsel high-end.

Inilah yang perlu dipahami juga bahwa ada perbedaan besar antara pasar esports global dan Indonesia. Karena alasan itu tadi, saya tidak setuju bahwa pasar esport Indonesia (mayoritas) adalah kelas menengah atas.

Pasar esports adalah generasi muda yang melek teknologi?

Memang, faktanya, tidak semua pasar cocok dengan generasi muda yang melek teknologi (alias tech savvy), seperti pasar Harley Davidson di Amerika Serikat sana. Memang, nyatanya juga, fans esports mayoritas datang dari generasi milenial atau yang lebih muda.

Namun begitu, saya pribadi merasa jawaban ini tidak definitif ataupun unik hanya untuk pasar esports.

Pertama, pemahaman melek teknologi itu sangat subyektif — yang sangat bergantung pada pengetahuan masing-masing orang. Apakah orang yang bisa menginstal aplikasi dan game dari Google Play itu bisa disebut tech savvy? Buat kakek atau nenek kelahiran 1950an atau yang lebih tua, mungkin iya.

Buat saya pribadi, orang yang tech savy di ranah Android adalah mereka-mereka yang setidaknya tahu dan pernah flashing ROM. Sedangkan di ranah PC, menurut saya, orang-orang tech savy minimal tahu dan mampu soal overclocking ataupun membaca kode-kode sederhana seperti di HTML, XML, JSON, dkk. Buat yang pengetahuannya lebih dalam lagi, mungkin definisi saya tadi juga tidak berlaku karena mereka punya standar yang lebih tinggi lagi.

Pemahaman tentang kemampuan dan wawasan seseorang, menurut saya, tidak bisa dijadikan patokan dalam mendefinisikan pasar bisnis yang digunakan secara luas karena jadinya akan kabur (skewed). Tak hanya soal teknologi mobile ataupun PC saja sebenarnya yang mungkin memang ranah baru, di ranah bermusik yang instrumennya bahkan sudah ditemukan sejak 43000 tahun yang lalu saja juga masih sangat relatif. Apakah mereka yang tidak bisa membaca not balok dianggap bisa bermusik? Jawabannya akan sangat tergantung pada siapa Anda menanyakan pertanyaan tersebut.

Kedua, masih banyak industri lain yang pasarnya memang generasi milenial atau yang lebih muda. Faktanya, industri hiburan yang dekat dengan kaum muda itu tidak hanya esports. Ada banyak industri lain, dari yang legal sampai ilegal, yang mampu menarik perhatian generasi muda. Saya akan membahas soal persaingan antar industri di bagian terakhir artikel ini nanti.

Di bagian ini, saya lebih ingin menambahkan soal ruang lain selain esports yang bisa digunakan untuk beriklan menyasar generasi muda yang katanya melek teknologi tadi. Ada dua nama yang jadi momok bagi banyak perusahaan media di zaman digital sekarang ini, Facebook dan Google. Saya juga pernah menuliskan panjang lebar soal perjuangan media game dan esports sekarang ini beberapa waktu yang lalu.

Tentunya membandingkan industri esports dan platform digital advertising jadi relevan karena sebagian besar pendapatan esports juga datang dari ruang beriklan untuk sponsor. Mereka-mereka yang memahami dan menyadari hal ini jadi bisa menyesuaikan diri dan menyuguhkan nilai yang berbeda dibanding Facebook dan Google, seperti media-media di zaman digital sekarang ini.

Memahami hal ini juga sebenarnya berguna untuk mulai mencoba mencari sumber pendapatan alternatif selain sponsor, seperti mendapatkan pemasukan dari fans (lewat penjualan merchandise atau yang lainnya) ataupun menghasilkan revenue dari cara lainnya (media rights dkk.), jika tidak ingin selalu berhadapan dengan dua raksasa digital advertising tadi.

Pasar esports Indonesia adalah para loyalis layaknya fans olahraga?

Inilah jawaban terakhir yang juga beberapa kali saya dengar. Beberapa orang yang saya tanyakan menyebutkan bahwa pasar esports adalah para loyalis yang fanatik sehingga cocok untuk jadi ruang beriklan.

Sumber: Jordan.com
Sumber: Jordan.com

Misalnya, sepatu Air Jordan jadi laku gara-gara banyak fans berat dari Michael Jordan. Di sepak bola juga bisa terlihat fanatisme antar pendukung klub bolanya. Masih banyak fans fanatik Arsenal meski klub ini terakhir kali juara liga Inggris di musim 2003-2004, jika saya tidak salah ingat. Tidak sedikit juga fans-fans bola fanatik yang masih memuja-muja tim jagoannya meski hanya pernah nyaris juara — saya sampai tidak berani sebut nama timnya karena takut dihujat wkwkwkwkw

Apakah hal ini juga terjadi di pasar esports Indonesia? Hmmm… Di satu sisi, saya memang sudah menemukan banyak adu mulut antara fans EVOS dan RRQ di media sosial yang membela timnya masing-masing. EVOS Esports juga sudah berhasil mendapatkan pemasukan yang lumayan dari fans-fans-nya yang membeli merchandise mereka. Mereka bisa mendapatkan Rp150 juta dari penjualan merchandise selama gelaran Grand Final MPL ID S4 dan M1 World Championship.

Namun, di satu sisi lain, saya belum menemukan fenomena seperti Air Jordan tadi. Mungkin memang fenomena Air Jordan terlalu hiperbolis untuk dijadikan patokan karena memang Michael Jordan yang terlalu istimewa untuk dibanding-bandingkan. Namun maksud saya, apakah fans esports berpaling ke produk yang jadi sponsor tim dukungan mereka sebagai bentuk nyata dari loyalitas tadi? Apakah fans RRQ jadi menggunakan Biznet? Atau fans EVOS Esports jadi menggunakan CBN Fiber? Saya jujur tidak yakin… Walaupun memang, menurut saya, alasannya lebih karena Biznet dan CBN Fiber adalah internet kabel rumahan kelas broadband — padahal EVOS dan RRQ sekarang lebih dikenal di kalangan gamer mobile.

Mungkin pengujian loyalitas fans esports ini akan lebih masuk akal dan relevan dengan pasarnya jika provider seluler yang jadi sponsor tim-tim yang besar di skena esports mobile ataupun provider internet broadband ke tim esports yang lebih fokus ke game PC.

Meski memang saya juga tidak bisa menolak argumen ini mentah-mentah, saya juga masih belum menemukan bukti konkret yang meyakinkan. Padahal faktanya, yang sering dilupakan banyak orang di industri esports Indonesia yang sudah semakin besar dan menjangkau industri non-endemic, persaingan berebut sponsor tidak hanya terjadi antara para pelaku di industri yang sama tapi juga industri yang berbeda.

Credits: JIExpo Kemayoran via Twitter
Credits: JIExpo Kemayoran via Twitter

Misalnya saja jika kita berbicara soal brand-brand non-endemic yang pernah jadi sponsor esports, baik itu event ataupun tim, seperti Indofood, Tokopedia, Gojek, Blibli, AXE, BCA, dkk. Brand-brand tersebut juga bisa saja dan mampu menjadi sponsor event yang lebih luas cakupan pasarnya. Apa yang bisa meyakinkan mereka untuk terus mendukung esports?

Indofood misalnya. Mereka juga mampu mengeluarkan biaya untuk jadi peserta pameran di Pekan Raya Jakarta yang di 2019 kemarin ditargetkan untuk mendatangkan 6,7 juta pengunjung dan nilai transaksi sebesar Rp7,5 triliun. BCA juga demikian. BCA juga bisa jadi sponsor Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019. Gelaran tersebut mampu mendatangkan 528 ribu orang dan memberikan nilai transaksi lebih dari Rp5 triliun.

Sebelum keliru dengan maksud saya, di sini saya bukannya tidak menyarankan industri non-endemic untuk menjadi sponsor lagi di esports. Saya lebih berharap dengan adanya pembuktian yang lebih konkret tentang seberapa besar pengaruh industri dan pasar esports ke industri yang lebih luas.

Penutup

Akhirnya, seperti yang saya katakan di awal artikel ini, saya juga tidak bisa memberikan jawaban definitif tentang keunikan dari pasar esports Indonesia. Namun setidaknya, mungkin artikel ini jadi berguna untuk membuka wawasan bahwa industri esports itu tidak hidup dalam dunianya sendiri.

Sebagai ruang beriklan untuk sponsor, industri esports dan industri-industri lainnya harus berhadapan dengan duopoli Google dan Facebook. Sebagai ruang untuk aktivitas bisnis (engagementsales, dkk.), industri ini juga harus berhadapan dengan industri lainnya. Pemahaman ini saya kira penting saja buat para pelaku industri esports ataupun mereka-mereka yang ingin jadi sponsor di esports.

Sumber: MPL Indonesia
Sumber: MPL Indonesia

Sekali lagi, jangan salah kaprah, saya bukannya jadi melarang para sponsor untuk mengucurkan uangnya lagi ke esports karena saya sendiri juga hidup dari industri esports. Namun, ada beberapa hal yang saya kira harus disadari dan dianalisa lebih jauh.

Pertama, misalnya, menyesuaikan iklan dengan target pasar. Jika target pasarnya adalah kelas menengah atas, ya jangan pakai konten/gaya picisan. Kedua, saya hanya berharap industri esports Indonesia sudah mulai bisa mencari ruang-ruang alternatif dalam mencari revenue selain menjadi ruang iklan. Meski memang cara-cara alternatif ini belum bisa digunakan sepenuhnya untuk menggantikan revenue yang datang dari sponsor.

Ketiga, yang tak kalah penting disadari, inilah alasan kenapa saya juga membandingkan industri esports dengan platform digital advertising ataupun industri lainnya. Faktanya, uang yang digunakan untuk kebutuhan iklan itu terbatas. Misalnya, kenapa sebuah perusahaan harus menjadi sponsor event esports jika perusahaan tersebut bisa mengucurkan dana yang sama jumlahnya (atau bahkan lebih besar) untuk event lainnya yang lebih efektif dari sisi aktivitas bisnis?

Terakhir, menyediakan bukti konkret bahwa esports memang mampu menggerakkan massanya (soal bisnis) tentu akan membuat industri ini lebih meyakinkan untuk para sponsor ataupun investor di masa depan.

Sumber header: Smash.gg

Strategi Tencent Menjadi Perusahaan Terbesar di Industri Game Dunia

Tencent kini menjadi publisher game terbesar di dunia. Padahal, game sebenarnya bukan bisnis utama Tencent. Konglomerasi asal Tiongkok itu memiliki bisnis di berbagai bidang, mulai dari hiburan — yang mencakup game, televisi, komik — media sosial, sampai e-commerce. Pada 2019, total pendapatan Tencent mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan mereka pada 2018. Pertanyaannya, bagaimana Tencent bisa menjadi publisher game paling besar di dunia?

Sejarah Tencent

Tencent didirikan oleh Ma Huateng — yang akrab dengan panggilan Pony Ma — bersama empat temannya pada 1998. Mereka meluncurkan produk pertama mereka pada 1999, berupa layanan instant messaging bernama OICQ, yang kemudian namanya diganti menjadi QQ. Satu tahun sejak diluncurkan, instant messaging buatan Tencent itu berhasil mendapatkan satu juta pengguna. Namun, ketika itu, Tencent masih belum mendapatkan untung. Mereka mendapatkan untung untuk pertama kalinya pada 2001, setelah peluncuran platform pengirim pesan Mobile QQ. Saat itu, mereka mendapatkan pemasukan sebesar US$5,9 juta dengna laba sebesar US$1,2 juta. Tiga tahun kemudian, pada 2004, Tencent menjadi perusahaan terbuka yang terdaftar di Hong Kong Stock Exchange.

Pada 2005, Tencent memperkenalkan Qzone, layanan jaringan sosial multimedia. Pony Ma memutuskan untuk mengizinkan developer lain untuk membuat aplikasi di Qzone. Lima tahun kemudian, pada 2010, Qzone menjadi platform jejaring sosial terbesar di Tiongkok dengan 492 juta pengguna aktif. Pada 2011, industri mobile mulai berkembang. Melihat ini sebagai kesempatan, Tencent meluncurkan WeChat. Pada awalnya, WeChat hanyalah aplikasi pengirim pesan, sama seperti WhatsApp atau LINE. Namun, Tencent terus menambahkan berbagai fitur baru ke aplikasi tersebut, mulai dari game sampai layanan pembayaran. Sekarang, WeChat menjadi aplikasi super yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari warga Tiongkok.

WeChat bahkan dilengkapi dengan game.
WeChat bahkan dilengkapi dengan game.

Valuasi Tencent sebagai perusahaan terus naik. Selama lima tahun, mulai 2011 sampai 2016, valuasi Tencent tumbuh 40 persen per tahun. Pada April 2017, mereka masuk ke dalam daftar 10 perusahaan yang paling bernilai di dunia, menurut laporan The Conversation.

Strategi Tencent di Industri Game

Tencent membuat divisi khusus gaming, Tencent Games, pada 2003. Satu tahun kemudian, mereka meluncurkan game untuk platform instant messaging mereka sendiri, QQ. Sejak saat itu, mereka meluncurkan sejumlah game lain untuk QQ, seperti Dungeon Fighter Online, sebuah game side-scrolling beat ’em up dan QQ Sanguo, game RPG yang mengambil setting waktu di Tiga Kerajaan di Tiongkok.

Selain membuat game sendiri, Tencent juga menjadi perusahaan yang menjembatani developer asing yang ingin masuk ke Tiongkok, negara dengan populasi terbesar. Misalnya, ketika Activision Blizzard (perusahaan asal Amerika Serikat) ingin meluncurkan game Call of Duty di Tiongkok, mereka harus menggandeng perusahaan lokal sebagai rekan. Inilah peran Tencent. Begitu juga ketika perusahaan kreator game lain — seperti Riot Games, EA, Sony, dan Ubisoft — ingin masuk ke pasar Tiongkok, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal Tiongkok. Biasanya, perusahaan tersebut adalah Tencent.

Usaha Tencent untuk mengembangkan bisnis game-nya tak berhenti sampai di situ. Mereka juga mulai melakukan akuisisi atau membeli saham dari sejumlah developer game ternama. Pada 2011, Tencent menghabiskan US$400 juta untuk membeli 93 persen saham dari Riot Games, developer League of Legends. Empat tahun kemudian, Tencent membeli 7 persen saham Riot yang tersisa. Dengan begitu, Riot Games sepenuhnya menjadi milik Tencent. Tidak heran jika Tencent membeli Riot, mengingat League of Legends adalah salah satu game PC terpopuler di dunia. Pada tahun 2019, 10 tahun setelah diluncurkan, League of Legends, masih bisa mendapatkan pemasukan sebesar US$1,5 miliar. Game MOBA tersebut juga merupakan salah satu game paling berpengaruh di ekosistem esports.

League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games via Rift Herald
League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games

Menurut laporan PC Gamer, meskipun saham Riot dikuasai penuh oleh Tencent, Riot mendapatkan kebebasan penuh atas pengembangan League of Legends. Meskipun begitu, hubungan antara Riot dan Tencent juga tak selamanya berjalan mulus. Pada 2015, Tencent meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Alasannya, karena ketika itu, mobile game tengah booming dan Tencent ingin memanfaatkan momentum tersebut. Riot menolak. Namun, Tencent tetap berkeras dan membuat mobile game MOBA bernama Honor of Kings. Inilah yang membuat hubungan mereka dengan Riot memburuk.

Ketika diluncurkan, game Honor of Kings hanya tersedia di Tiongkok. Pada 2017, Tencent meluncurkan Honor of Kings ke pasar internasional dengan nama Arena of Valor. Meskipun begitu, sekarang, Tencent tak lagi berusaha untuk memasarkan Arena of Valor di negara-negara Barat dan Riot telah setuju untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Dan sekarang, hubungan Tencent dan Riot sudah kembali membaik.

Developer-Developer Game yang Dibeli Tencent

Dalam dunia investasi, ada pepatah untuk tidak menaruh semua telur Anda di satu keranjang. Tencent memahami ini. Karena itu, mereka tidak hanya berinvestasi di Riot. Mereka juga membeli saham dari sejumlah developer dari game populer lainnya.

Pada Juni 2012, Tencent membeli 40 persen saham Epic Games, developer Fortnite, senilai US$300 juta. Tak hanya modal, Tencent juga berbagi insight mereka tentang mengoperasikan game online. Dari Tencent, CEO dan pendiri Epic Games, Tim Sweeney belajar tentang model bisnis game as a service. Epic lalu mulai membuat Paragon dan Fortnite: Save the World. Kedua game itu dianggap gagal. Meskipun begitu, ini justru membuka kesempatan bagi Epic untuk meluncurkan Fortnite, game battle royale yang kini menjadi salah satu game paling populer di dunia. Pada 2018, Fortnite menghasilkan US$2,4 miliar. Pendapatan Fortnite mengalami penurunan pada 2019 menjadi US$1,8miliar. Meskipun begitu, game tersebut masih menjadi game gratis dengan penghasilan terbesar.

Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.
Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.

Setelah mendapatkan investasi dari Tencent, Epic juga mengubah bisnis model mereka untuk Unreal Engine 4, game engine buatan mereka. Mereka tak lagi memungut biaya berlangganan bulanan untuk pemakaian game engine tersebut. Sebagai gantinya, Epic menggunakan sistem royalti. Jadi, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh developer yang menggunakan Unreal Engine tergantung dari kesuksesan game mereka. Memang, jika developer membuat game yang sukses, maka mereka harus membayar royalti yang lebih besar pada Epic. Namun, ini memudahkan developer indie untuk menggunakan Unreal Engine dalam mengembangkan game mereka. Selain itu, ini juga membuat persaingan antara Unreal dengan Unity — yang saat itu dianggap sebagai game engine terbaik untuk developer indie — menjadi semakin panas.

Fortnite bukan satu-satunya game battle royale yang sukses. Di Indonesia, para gamer lebih menyukai Player Unknown’s Battleground buatan Bluehole. Menariknya, meskipun Tencent sudah menjadi investor dari Epic, mereka juga menanamkan modal di Bluehole. Lucunya, di Tiongkok, Tencent menjadi publisher untuk Fortnite dan PUBG. Tencent membeli 1,5 persen saham Bluehole pada 2017. Kemudian, mereka membeli lebih banyak saham dari Bluehole. Diperkirakan, total saham Bluehole yang dimiliki oleh Tencent kini mencapai 11,5 persen.

Tencent juga menanamkan investasi sebesar US$8,6 miliar di Supercell, developer asal Finlandia yang terkenal berkat beberapa mobile game-nya, seperti Clash of Clans, Clash Royale, dan Brawl Stars. Menurut PC Gamer, investasi Tencent di Supercell merupakan salah satu investasi terbesar di sejarah industri game. Namun, mengingat 60 persen dari total pendapatan Tencent pada 2018 berasal dari mobile game, tidak heran jika Tencent rela mengeluarkan uang besar demi membeli saham Supercell. Pada Oktober 2019, Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari konsorsium yang memiliki Supercell. Dengan begitu, Tencent memiliki kendali atas Supercell. Meskipun begitu, sama seperti Riot, Supercell juga tetap mendapatkan kebebasan dalam mengelola game buatan mereka.

Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin's Creed.
Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin’s Creed.

Selain itu, Tencent juga memiliki saham sebanyak lima persen di Ubisoft dan Activision Blizzard. Pada 2018, Vivendi ingin mengambil alih Ubisoft secara paksa (hostile takeover), yang berarti ribuan karyawan Ubisoft terancam dipecat. Ubisoft lalu membuat perjanjian dengan Vivendi untuk menjual saham mereka ke berbagai investor, termasuk Tencent. Namun, Tencent tidak bisa membeli saham kepemilikan atas Ubisoft. Selain mendapatkan saham minoritas di Ubisoft, Tencent juga mendapatkan hak untuk merilis game Ubisoft di Tiongkok.

Masih pada tahun 2018, Tencent membeli 80 persen saham dari Grinding Gear Games, developer yang membuat game Path of Exile. Ini sempat memunculkan kekhawatiran bahwa Tencent akan mengimplementasikan sistem microtransaction yang lebih agresif. Untungnya, ketakutan itu tidak menjadi nyata. Sama seperti developer lain yang sahamnya dibeli oleh Tencent, Grinding Gear Games bebas untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan pada game buatannya.

Tencent juga memiliki saham di Platinum Games dan Yager, meski tidak diketahui berapa banyak saham yang dipegang oleh konglomerasi Tiongkok tersebut. Selain itu, Tencent memiliki 9 persen saham di Frontier Developments, developer dari Elite Dangerous dan Planet Zoo. Setelah kesuksesan Warhammer 2: Vermintide, Tencent juga tertarik untuk membeli 36 persen saham dari sang developer, Fatshark. Salah satu investasi terbaru Tencent adalah pada Funcom. Mereka membeli 29 persen saham dari developer Conan Exiles tersebut. Belum lama ini, mereka juga mengumumkan rencana mereka untuk mengakuisisi Funcom sepenuhnya.

Tak hanya di  developer game, Tencent juga menanamkan saham di Kakao, perusahaan internet asal Korea Selatan. Tencent menguasai 13,5 persen saham dari Kakao, yang juga merupakan publisher PUBG di negara asalnya. Pada 2018, Discord mendapatkan kucuran dana sebesar US$158 juta. Tencent merupakan salah satu investor yang turut serta dalam pengumpulan dana itu. Sayangnya, tidak diketahui berapa banyak dana yang Tencent kucurkan.

Laporan Keuangan Terbaru Tencent

Dalam daftar 2000 perusahaan terbesar dunia dari Forbes, Tencent duduk di peringkat 74 dengan kapitalisasi pasar (total nilai saham yang beredar) sebesar US$472,06 miliar. Sementara menurut Bloomberg, perusahaan Tiongkok itu memiliki lebih dari 62,8 ribu pekerja. Belum lama ini, Tencent juga mengeluarkan laporan keuangan mereka untuk Q4 2019. Pada Q4, Tencent mendapatkan pemasukan sebesar 105,8 miliar yuan (sekitar Rp240 triliun), naik 25 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara total pendapatan untuk tahun 2019 mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan pada 2018.

Peacekeeper Elite adalah
Peacekeeper Elite adalah PUBG Mobile yang telah di-rebrand untuk Tiongkok.

Divisi gaming Tencent menyumbangkan 30,3 miliar yuan (sekitar Rp68,7 triliun). Angka ini naik 25 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan tersebut didorong oleh kesuksesan mobile game, baik di pasar Tiongkok maupun di pasar internasional. Beberapa mobile game yang memberikan pemasukan paling besar antara lain Peacekeeper Elite, PUBG Mobile, dan juga game-game buatan Supercell. Sayangnya, pendapatan dari segmen game PC justru mengalami sedikit penurunan. Dalam laporan pada investornya, Tencent menjelaskan, tiga game yang membuat mereka sukses mengembangkan bisnis mereka di luar Tiongkok adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile dan Teamfight Tactics.

“Pendapatan kami dari pasar game internasional naik lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, memberikan kontribusi sebesar 23 persen pada total pendapatan untuk divisi game online untuk Q4 2019,” tulis Tencent, seperti dikutip dari The Esports Observer. Selain itu, Tencent juga membanggakan fakta bahwa 5 dari 10 game dengan jumlah pengguna aktif harian paling banyak merupakan game buatan mereka.

Bisnis Tencent yang Lain

Selain gaming, Tencent juga memiliki beberapa divisi lain, termasuk hiburan yang mencakup seri TV dan film bioskop, komik, serta musik. Pada Januari 2020, Tencent membeli 10 persen saham dari Universal Music. Namun, dalam laporan keuangannya, Tencent mengatakan bahwa bisnis hiburan mereka mengalami perlambatan karena perubahan regulasi oleh pemerintah.

Ini menyebabkan mereka harus menunda beberapa seri TV. Meskipun begitu, mereka mengaku bahwa mereka masih menjadi pemimpin di industri hiburan. Sementara itu, jumlah pengguna WeChat juga masih terus bertambah. Total pengguna WeChat naik 6 persen menjadi 1,16 miliar orang. Sebagai perbandingan, Facebook memiliki total pengguna mencapai 2,5 miliar orang per Desember 2019.

“Kami mengalami perlambatan pertumbuhan jumlah pelanggan dan pemasukan untuk layanan video langganan kami pada 2019 jika dibandingkan dengan pada 2018. Penyebabnya adalah keterlambatan peluncuran sejumlah konten penting,” tulis Tencent dalam pernyataan resmi, seperti dikutip dari Variety. “Namun, jumlah pelanggan berbayar Tencent Video kami mencapai 106 juta orang dan kami masih menjadi pemimpin industri berdasarkan kualitas konten, jumlah pengguna, dan dari segi finansial. Ini menekan kerugian operasional pada 2019 menjadi 3 mliiar yuan.”

Tencent juga tak diam saja melihat pertumbuhan Bytedance, yang dikenal berkat aplikasi video pendeknya, TikTok. Untuk menyaingi Bytedance, Tencent fokus untuk mengembangkan aplikasi video pendeknya, Weishi. Jumlah pengguna aktif harian dari aplikasi tersebut naik 80 persen sementara jumlah video yang diunggah naik 70 persen pada Q4 2019.

Kesimpulan

Tencent sukses menjadi publisher terbesar di dunia meskipun mereka bukanlah perusahaan yang fokus pada bisnis gaming. Sampai sekarang, Tencent dikenal sebagai perusahaan teknologi dengan WeChat sebagai salah satu produk utamanya. Namun, sejak didirikan pada 2003, Tencent Games berhasil untuk memberikan kontribusi yang signifikan pada total pendapatan konglomerasi ini. Berbeda dengan perusahaan seperti Nintendo yang berusaha untuk membangun franchise dari nol, Tencent lebih memilih untuk membeli saham atau mengakuisisi developer dari game yang sudah terbukti populer. Menariknya, Tencent biasanya tidak banyak ikut campur dalam operasional perusahaan game yang mereka akuisisi.

Sumber header: The Register

Masa Depan Esports Mobile

Gegap gempita industri video game internasional bisa dibilang berfokus pada dua pasar, yakni PC dan konsol. Di satu sisi, masa depan game konsol dipastikan oleh perusahaan besar dengan masing-masing mesin jagoannya. Sementara itu, para penggemar game PC bisa duduk santai mengikuti perkembangan teknologi dan hardware.

Para pelaku industri di jagat video game ada kalanya butuh perhatian terhadap pasar game di mobile. Pasalnya, pasar smartphone serta angka pengguna di platform ini sangat besar. Bahkan, jika diperhitungkan dengan pasar konsol dan PC game, sudah banyak judul game mobile yang menembus pengguna hingga jutaan orang.

Lantas, bagaimana dengan jagat esports di platform ini? Kompetisi berskala internasional seperti The International Dota 2 memang ditasbihkan sebagai salah satu event terbesar. Belum lagi angka viewership turnamen game-game PC yang masih belum bisa dikalahkan oleh turnamen game mobile.

Tapi, berbeda kasus dengan apa yang bisa kita lihat di Indonesia. Turnamen besar macam Mobile Legends Professional League (MPL) nyatanya bisa tumbuh, meski memboyong sistem franchise league yang tertutup. Perlahan, ekosistem esports yang menaungi pelopor turnamen, manajemen tim, atlet, hingga para penikmatnya bisa bersinergi.

Nah, kira-kira bagiamana proyeksi industri esports mobile dalam negeri maupun internasional ke depannya? Apa saja kegiatan dan aspek-aspek yang tengah berkembang dan perlu diperhatikan untuk melihat masa depan esports game mobile? Berikut ini adalah beberapa poin yang sekiranya perlu diperhatikan oleh para pelaku industri game mobile dan ekosistem esports di dalamnya.

Perbedaan Perangkat Esports

Sumber: Google Play
Credits: Mobile Legends via Google Play

Para atlet esports mobile gaming yang berlaga di kursi gaming memang kelihatan kaku ketimbang para atlet esports PC yang duduk tegap di balik layar monitor atau atlet game fighting yang memegang joystick besar mirip mesin arcade. Kesan ini ditinggalkan lantaran perangkat mobile cenderung berfungsi sebagai telefon genggam.

Sekilas, kontrol di platform mobile bisa dibilang lebih mudah ketimbang game PC dan konsol. Para pengguna komputer harus menguasai kemampuan menekan tombol sambil mengontrol mouse sementara pengguna game konsol harus akrab dengan berbagai tombol di dalam genggaman. Game mobile khususnya yang tumbuh di platform Android dan iOS menginisiasi fitur sentuhan dan kontrol yang sangat sederhana di layar. Para pemainnya pun diharuskan memerhatikan layar video game sambil menyentuhnya untuk memberi perintah.

Berbeda dengan pengguna PC atau konsol, para pelaku game di smartphone sangat terfokus dengan layar yang berfungsi juga sebagai input ini. Alhasil, ada banyak alat ekstensi yang dikembangkan. Meski berfungsi sebagai ekstensi untuk memberikan input dan memudahkan pemainnya, para penyelenggara turnamen esports game mobile melarang penggunaan alat-alat ini. Para pemain pun dituntut menguasai permainan dengan tangan dan layarnya sendiri.

Padahal, di PC dan konsol, perangkat kendali permainan menjadi preferensi masing-masing pemain layaknya para pemain sepak bola dengan sepatu mereka masing-masing.

Judul Game Populer yang Menjanjikan

pubg mobile
Credits: PUBG Mobile

Meski Mobile Legends belum bisa menggeser ekosistem esports Dota 2 dan LoL di skena internasional, portasi mobile dari game-game populer seperti PlayerUnknown’s Battle Grounds (PUBG) atau Call of Duty masih digemari. Di Indonesia, para atlet game-game tersebut pun sudah dikagumi sekian banyak penggemarnya.

Sebut saja prestasi divisi PUBG M Bigetron RA serta kuatnya dominasi RRQ Athena di skena internasional. Dua tim yang para atlet serta manajemennya diatur di Tanah Air ini bisa menorehkan prestasi yang cukup gemilang di tingkat dunia.

Judul game mobile pun bisa bermimpi bisa menyelenggarakan liga semegah MPL jika game mereka berhasil berkembang. Pasalnya, sistem kompetisi musiman juga mendorong para pemainnya untuk settle dan tetap loyal kepada game yang mereka mainkan. Apalagi, untuk skena esports musim tanding menjadi salah satu pendorong yang cukup optimal ketimbang menggelar turnamen pendek.

Selain PUBG Mobile, Free Fire juga sudah menjadi salah satu game esports mobile yang paling populer di Indonesia ataupun di sejumlah negara di Amerika Selatan.

Peran Pengembang dan Pelaku Industri Game Mobile

Sumber: Google Play
Credits: Mobile Legends via Google Play

Salah satu tanggung jawab pengembang game yang paling besar adalah menyediakan gameplay yang kompetitif dan menjunjung tinggi semangat fair play. Sayangnya, hal ini sering dibutakan oleh hasrat memeras para pemain dengan in-app purchase hingga membuka sistem yang lebih menguntungkan kala bermain. Padahal, para penikmat game kompetitif sangat kuat berpuasa untuk tidak membeli kosmetik dan lebih berfokus menaikkan kemampuannya dalam bermain.

Kebanyakan RPG (role-playing game) di mobile punya penyakit kambuhan yang menyasar mikrotransaksi. Perkembangan pemain pun bisa berbeda tergantung dari seberapa banyak mereka menggelontorkan uang. Untuk esports yang menjunjung tinggi kompetisi, tentunya mikrotransaksi sangat bermasalah. Apalagi untuk judul game yang pemainnya butuh mengembangkan karakter lebih dulu.

Salah satu contoh yang amat gamblang adalah Mobile Legends dengan sistem Emblem maupun efek skin di dalamnya. Pemain yang belum punya Emblem maupun skin bisa kekurangan potensi di dalam game sehingga hal ini membuat pertandingan bisa dibilang berat sebelah. Untuk kompetisi resmi yang digawangi oleh Moonton, Custom Lobby menjadi solusi di mana persiapan pemain bisa disetarakan. Tapi, derita ini masih dirasakan oleh pemain kasual yang ingin menjajaki tangga Leaderboard.

Jika ingin menciptakan ekosistem yang sportif, para pengembang dan penerbit game kompetitif di mobile harusnya berani mengedepankan semangat fair play dan lebih kreatif dalam mencari pendapatan. Nantinya, pemain hanya butuh melatih ketajaman insting dan mengolah strategi terbaik untuk bisa menguasai permainan.

Perbedaan Teknologi yang Minim di Mobile Game

Sumber: Samsung
Sumber: Samsung

Selain mudah, mengakses game di smartphone sangat murah. Jika dibandingkan dengan harga konsol atau merakit PC, batas minimal harga ponsel memang jauh lebih rendah. Ini jadi salah satu aspek yang membuat industri game mobile akan mudah berkembang dan percepatannya enggak bisa dibendung.

Jika dibandingkan, perbedaan tipe smartphone hanya memiliki sedikit efek terhadap game. Bisa dibilang ada dua kualifikasi, yakni flagship yang mampu menjalankan game-game kekinian dengan mudah, dengan “HP kentang” yang dipaksa oleh pemainnya untuk menjalankan game. Alhasil, syarat untuk bisa nyaman memainkan game kompetitif bagi pemain hanyalah meng-upgrade gawai miliknya agar lebih efisien.

Para pengembang smartphone unggulan seperti Samsung tentunya cukup perhatian dengan hal seperti ini. Gawai dari perusahaan besar asal Korea tersebut sering dipakai sebagai gadget resmi di beberapa turnamen mobile berskala internasional. Salah satu alasannya adalah gawai yang dipakai haruslah generik dan tidak memiliki ekstensi lain untuk mempermudah kontrol pemain. Meski disasarkan untuk konsumen luas, flagship Galaxy miliknya bisa menjalankan game kompetitif dan memberi pengalaman yang maksimal buat pemainnya.

Battle Royale, “Pemain Baru” yang Patut Diperhitungkan

Sumber: Garena
Sumber: Garena

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, game battle royale menjadi pasar yang menjanjikan di ranah mobile esports. Judul-judul game seperti PUBG Mobile dan Free Fire pun jadi bukti nyata begitu besarnya pasar ini.

Hadirnya tim-tim esports besar yang terjun ke persaingan esports battle royale mobile memang jadi salah satu acuan. Namun, satu aspek yang begitu mencolok dari pesatnya perkembangan esports battle royale mobile adalah hadirnya publisher-publisher regional (Asia Tenggara) yang menguasai pasar.

Kita ambil contoh Garena Indonesia selaku pemegang lisensi game battle royale Free Fire. Publisher asal Singapura ini mampu mempertahankan Free Fire sebagai salah satu game terlaris di Google Play Store.

Dengan pendekatan kemampuan karakter, Free Fire lebih bertumpu kepada komposisi dan gaya bermain yang cukup signifikan. Hasilnya, game ini pun begitu digemari hingga pemerintah menaruh perhatian. Hadirnya Piala Presiden Esports 2019 yang beberapa waktu lalu mempertandingkan game ini juga menjadi bukti bahwa pemerintah akan mendukung cabang game yang populer dan kompetitif.

Selain dukungan pemerintah, besarnya nama Free Fire pun turut mengundang partnership dengan produsen gawai kelas kakap. Di ajang Piala Presiden Esports 2020, Garena bekerja sama dengan Samsung sebagai smartphone resmi.

Publisher yang juga merilis game MOBA Arena of Valor ini juga merekomendasikan Samsung sebagai gawai terbaik untuk bermain Free Fire. Samsung Galaxy A80 dan Galaxy A71 menjadi yang paling direkomendasikan karena dianggap memiliki spesifikasi yang mumpuni seperti chipset Qualcomm Snapdragon 730G yang dirancang khusus untuk kebutuhan gaming.

Hal ini pun menunjukkan betapa besarnya potensi mobile gaming dan skena esports-nya sehingga merek-merek ternama pun tidak ragu untuk berinvestasi. Tidak menutup kemungkinan jika nantinya raksasa elektronik atau merek ternama lain juga mengikuti jejak Samsung untuk mensponsori turnamen esports sekelas Piala Presiden Esports.

***

Berbeda dengan pasar PC yang sangat mahal maupun konsol game yang lebih eksklusif, pasar industri esports game sangat terbuka di platform mobile. Jagat esports di platform mobile bisa dibilang sangat cerah jika melihat potensi target pasar yang lebih luas. Tugas besar justru berada di pengembang serta pelaku turnamen esports untuk memberikan ekosistem yang senantiasa kompetitif bagi para pemainnya.

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Samsung.

Sumber Feat Image: Garena

[Opini] 7 Hal yang Perlu Disadari Untuk Membangun Karier di Esports


Salah satu pertanyaan yang seringkali saya dengar adalah “bagaimana caranya agar saya bisa berkarier di esports?” Beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan ini baik ketika saat saya jadi pembicara ataupun melalui chat.

Di sisi lain, jika pertanyaan tadi mungkin lebih sering dilontarkan bagi mereka-mereka yang baru lulus ataupun belum pernah bekerja sama sekali, saya juga beberapa kali menemukan beberapa profesional dari industri lain yang bergeser ke industri esports namun beranjak keluar lagi dari industri ini meski baru sebentar.

Karena itulah artikel ini saya buat untuk membantu mereka-mereka, baik yang belum pernah bekerja ataupun para pekerja dari industri lain, lebih jauh mengenal industri esports — sebelum terlanjur basah.

Oh iya, artikel ini ditujukan buat Anda yang ingin membangun karier di esports namun bukan sebagai pro player. Anda bisa membaca artikel kami lainnya jika cita-cita Anda adalah menjadi pemain profesional dan direkrut tim esports.

Terakhir, sebelum kita masuk ke pembahasan, sebagian besar dari artikel ini adalah opini saya pribadi namun saya juga meminta pendapat dari beberapa kawan saya tentang perjalanan karier mereka di esports. Namun saya tidak akan menyebutkan nama mereka di sini karena mungkin sensitif dengan perkembangan kariernya masing-masing.

1. It’s not always rainbows and butterflies

IEM Katowice 2020 diselenggarakan tanpa penonton.
Dokumentasi: ESL

Saya kira inilah hal pertama yang harus disadari buat semua orang, termasuk buat mereka yang di luar industri esports dan game. Faktanya, bagi saya pribadi, tidak ada pekerjaan yang mudah dan menyenangkan layaknya surga yang penuh dengan bidadari.

Kenapa? Karena yang namanya pekerjaan pasti ada target yang harus dicapai dan tantangan yang harus diselesaikan. Jika Anda merasa pekerjaan Anda saat ini mudah, menyenangkan, dan tanpa tantangan, kemungkinan besar Anda bekerja seenak perut… Pasalnya, saya percaya bahwa pekerja yang baik adalah mereka-mereka yang mencoba melampaui capaian-capaian terbaik mereka sebelumnya.

Sedangkan spesifik untuk industri esports dan game, berhubung saya memang dari zaman fresh graduate di tahun 2008 sudah bekerja di media & game, lontaran yang paling sering saya dengar adalah “enak ya kerja di industri game. Kerjanya main game.” Silakan percaya saya atau tidak namun kenyataan itu tak pernah seindah yang dibayangkan. Jangankan industri game, industri pornografi juga tidak seindah yang kelihatannya… Kayaknya sih…  Wkwkkwakawk…

Sumber: Georgia State University
Sumber: Georgia State University

Hal ini saya taruh pertama karena saya tahu kebanyakan orang berkecimpung di sini karena memang suka dengan game dan esports. Saya sendiri juga gamer dan masih bermain game 2-4 jam setiap harinya. Namun bermain game dengan tujuan sekadar bermain dan dengan tujuan review ataupun riset itu nyatanya memang berbeda rasanya.

Memang, saya tidak menihilkan juga kesenangan dan nikmat yang bisa didapat saat bisa bekerja di industri yang sesuai hobi. Namun seperti kata Maroon 5, “it’s not always rainbows and butterflies.” Inilah yang penting untuk disadari pertama kali buat semua yang ingin membangun karier di esports. Jika Anda hanya ingin bersenang-senang tanpa berupaya sekuat tenaga di sini, industri esports dan game tidak butuh Anda. Plus, kemungkinan besar, Anda juga tidak akan sukses di sini.

2. Pick your poison, with passion

Sumber: Inc.com
Sumber: Inc.com

Saya sebenarnya pernah menuliskan ini panjang lebar sebelumnya. Namun saya kira hal ini juga masih penting untuk disadari buat yang ingin membangun karier di sini. Tidak sedikit orang-orang yang terjun ke esports dengan hanya bermodal passion, tanpa tujuan expertise yang jelas.

Sebelum salah kaprah, saya juga tidak menihilkan pentingnya peranan passion dalam membangun karier. Nyatanya, ketika kita suka dengan seseorang, tanpa dibayar ataupun bahkan dilarang, kita biasanya nekat untuk mendekati atau setidaknya memelajari orang tersebut lebih jauh. Demikian juga dengan bidang yang kita geluti secara profesional. Meski begitu, passion hanyalah fondasi dasar semata dalam membangun karier. Tak sedikit juga orang-orang yang bahkan tidak menyarankan untuk menggeluti karier yang berbasis pada passion.

Saya kira hal ini juga berlaku (dan mungkin berguna) di semua aspek hidup, sering-seringlah menyadari hidup agar tak terdampak dengan keterasingan diri. Bagi saya, menyadari kelebihan dan kekurangan diri adalah hal penting yang harus dilakukan di setiap aspek hidup.

Sayangnya, di esport, tidak sedikit pekerja, pencari kerja, ataupun malah pemberi pekerjaan yang hanya menitikberatkan pada ketertarikan di game dan esports tanpa tuntutan keahlian yang jelas atau spesifik.

Di sisi lain, saya juga sebenarnya percaya setiap manusia sebenarnya bisa belajar keahlian apapun yang kita inginkan. Namun, setiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk memelajari keahlian yang berbeda-beda. Padahal, waktu beradaptasi dan belajar adalah tuntutan profesional yang, bagi saya, jadi salah satu prioritas tertinggi. Dengan kata lain, jika Anda lamban belajar di satu bidang, mungkin baiknya Anda mencari profesi lain yang sesuai dengan keahlian.

3. Behind the bling-bling of esports

Sumber: Venture Beat
Sumber: Venture Beat

Dengan megahnya panggung, gemerlap lampu, dan dentuman suara kencang di setiap event esports, mungkin memang membuat industri esports terlihat lebih megah dari aslinya. Padahal, di balik megahnya setiap event esports, ada orang-orang yang dibayar dengan tarif recehan — seperti observer dan referee yang pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu.

Tidak sedikit juga kawan-kawan saya di sini yang memang gajinya sangat terbatas, di bawah atau di kisaran UMR Jakarta meski sudah beberapa tahun di sini. Di satu sisi, survivorship bias itu memang selalu ada di industri mana pun. Kita memang lebih cenderung melihat dan mengambil contoh dari orang-orang yang sukses di industri tersebut dan tak melihat berapa banyak yang gagal.

Namun di sisi lain, kenyataannya, industri esport saat ini memang belum memiliki sumber pendapatan yang sustainable. Sebagian besar atau bahkan sepenuhnya (jika di Indonesia), pendapatan di industri ini datang dari sponsor. Makanya, perputaran uang di industri ini memang masih belum luas dan cepat. Douglas Rushkoff percaya bahwa kunci sukses sebuah industri adalah velocity of the money (bagaimana caranya agar uang terus berputar antar pelaku satu dengan yang lain) dan saya mengamini hal tersebut. Nilai industri ini di Indonesia juga sebenarnya masih kalah jauh dengan industri lain yang sudah lebih dulu matang.

Memang, satu hal yang tak kalah penting untuk disadari, sama seperti layaknya industri lainnya — setidaknya dari industri yang legal di Indonesia — jangan berharap Anda bisa tiba-tiba kaya raya dari industri esports. Jangan berharap juga Anda bisa mendapatkan gaji besar jika pengalaman Anda masih minimalis atau posisi Anda buat perusahaan masih gampang tergantikan.

4. There is no such thing as easy kills

Selain soal ‘enak’ tadi, tidak sedikit juga orang-orang awam yang menganggap industri game dan esports itu mudah. Menurut saya pribadi, faktanya, tidak ada yang mudah jika pembelajarannya ingin ke tingkat profesional — baik itu dari sisi industri yang digeluti ataupun profesinya.

Misalnya soal cakupan wilayah esports. Banyak orang mungkin belum sadar bahwa esports tidak bisa disamakan dengan satu cabang olahraga. Esports itu sendiri adalah olahraga yang punya banyak cabang/game.

Dari platform-nya saja sudah ada 3, yaitu PC, console, dan mobile. Belum lagi jika kita berbicara soal game esports-nya yang sampai puluhan jumlahnya dari LoL, Dota 2, R6S, Assetto Corsa, rFactor 2, Tekken, Street Fighter, FIFA, PES, MLBB, FreeFire, PUBGM, dan kawan-kawannya.

Mungkin memang platform mobile yang saat ini sedang naik daun namun bukan berarti yang lain tidak penting untuk dipelajari. Selain itu, banyak juga yang mungkin tidak menyadari bedanya industri game dan esports — meski memang keduanya terkait erat. Saya bahkan mendengar salah satu tokoh politik yang mengatakan bahwa pemain esports mencapai 60 juta orang (saat diwawancarai salah satu televisi swasta).

Buat yang belum tahu, faktanya, pasar esports itu berbeda dengan pasar gamer. Sedangkan angka 60 juta tadi adalah jumlah pasar gamer (menurut data dari Statista). Padahal jumlah pasar esports itu lebih kecil dari pasar gamer — setidaknya Lucas Mao, Director of Operations dari Moonton yang juga Commissioner of MPL Indonesia juga setuju dengan hal ini.

Dari sisi game sendiri juga ada banyak kategori seperti game singleplayer dan multiplayer yang membuat tujuan bermain game-nya juga jadi berbeda. Saya menyebutnya dengan istilah competitive vs. leisureItu tadi masih secuil dari segudang pengetahuan yang, idealnya, harus dipahami buat mereka-mereka yang ingin terjun di sini.

Belum lagi soal skill dan expertise bidang yang Anda geluti. Berhubung saya memang sudah jadi penulis/jurnalis sejak 2008, tidak sedikit yang berkata ke saya, “menulis itu kan mudah…” Nyatanya, sekali lagi jika boleh saya tekankan, tidak ada yang skill yang mudah jika ingin dikuasai.

Jika yang dimaksud menulis adalah kemampuan dasar seperti yang Anda pelajari di SD, mungkin memang hanya sekitar 4% penduduk Indonesia yang buta huruf — setidaknya dari data tahun 2017. Namun menulis secara profesional bukanlah hanya sekadar memahami arti kata ataupun kalimat… Keahlian lain, memasak, misalnya, juga tidak semudah yang dibayangkan. Masak air atau mie instan itu mungkin memang sederhana namun tentu akan berbeda tuntutannya untuk jadi koki hotel atau bahkan sekelas Gordon Ramsay ataupun Joël Robuchon.

Pasar gaming Indonesia pada 2017 | Sumber: Newzoo
Pasar gaming Indonesia pada 2017 | Sumber: Newzoo

5. Stairway to heaven or highway to hell?

Setelah 4 hal yang perlu disadari tadi, saya juga akan memberikan ‘bocoran’ ke kantor mana Anda bisa memulai membangun karier di esports. Satu hal yang pasti, bagian kali ini memang sepenuhnya pendapat pribadi saya, berdasarkan pengalaman saya juga mengenal sekian banyak orang-orang yang bekerja di industri ini.

Jika Anda adalah seorang fresh graduate atau bahkan masih kuliah, Anda bisa mencoba ke RevivalTV. Pasalnya, kawan-kawan saya di sana memang ada yang masih kuliah ataupun belum pernah kerja kantoran di industri lain sebelumnya. RevivalTV juga punya banyak divisi mulai dari event organizer, media, ataupun talent management.

Sebaliknya, jika Anda sudah mengantongi pengalaman bekerja di luar industri esports, mungkin Anda lebih cocok bergabung bersama MET Indonesia. Karena, tidak banyak kawan-kawan saya di MET yang masih kuliah ataupun fresh graduate seperti di RevivalTV tadi. Selain sebagai event organizer, MET Indonesia juga punya talent management.  

Pertimbangan tadi memang hanya sebatas kawan-kawan saya yang saya tahu bekerja di sana. Karena, asumsi saya saja, Anda yang sudah punya pengalaman profesional mungkin akan lebih cocok bekerja dengan rekan yang juga punya pengalaman. Namun, bisa jadi asumsi saya salah dan Anda punya preferensi yang berbeda.

Lalu bagaimana jika Anda ingin bekerja di tim esports? Nah, kalau ini saya tidak terlalu tahu perbedaan yang mencolok antar tim-tim esports di Indonesia seperti halnya antara RevivalTV dan MET. Soal fresh graduate atau tidak untuk di tim esports, sepertinya tergantung dengan posisi yang ingin Anda tuju. Namun demikian, ada beberapa informasi yang saya tahu dari beberapa tim esports yang mungkin bisa Anda jadikan pertimbangan.

EVOS Esports adalah organisasi esports dengan karyawan terbanyak di Indonesia. Sedangkan RRQ merupakan organisasi esports yang berada di bawah naungan MidPlaza Holding. Di sisi lain, Aura Esports mendapatkan modal awalnya dari Wicaksana Group. BOOM Esports adalah yang paling ‘idealis’ dengan PC gaming dan fokus pada game-game esports yang mainstream di barat (Dota 2, CS:GO, R6S). Sedangkan pemilik tim Alter Ego juga pemilik event organizer bernama Supreme League.

Lalu bagaimana caranya mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di esports? Sayangnya, informasi lowongan kerja di esports memang masih sedikit di situs-situs lowongan kerja. Saya hanya menemukan 15 lowongan di JobStreet, 7 lowongan di Kalibrr, 6 lowongan di Glints, dan 4 lowongan di LinkedIn (setidaknya saat saya menulis artikel ini). Sosial media masing-masing pelaku industri esports juga beberapa kali membuka lowongan lewat sana. Jadi, Anda yang tertarik bekerja juga bisa mulai follow akun-akun tersebut.

Mungkin memang esports sendiri belum terlalu banyak menyerap tenaga kerja seperti industri lainnya namun tidak sedikit juga lowongan kerja di esports yang hanya lewat belakang, alias dari mulut ke mulut.

Lalu bagaimana dengan mereka-mereka yang ingin memulai bisnis sendiri di esports? Apakah kelihatannya menjanjikan? Apalagi mengingat belakangan ada banyak tim-tim esports baru bermunculan seperti The Pillars besutan Ariel Noah ataupun Team Elvo dari Andrew Tobias. Mungkin lain kali kita akan bahas hal itu dan saya akan mengajak beberapa owner tim esports untuk berbagi pendapatnya.

6. Roles in the META

Setelah tempat bekerja, posisi apa saja yang tersedia di industri esports Indonesia jika Anda ingin berkarier di sini?

Well, buat yang belum menyadarinya, esports juga bisa dibilang sebagai industri hiburan. Jadi, pekerjaan-pekerjaan untuk produksi konten selalu dibutuhkan di setiap pelaku industri esports — dari tim, event organizerpublisher, apalagi media. Konten video mungkin jadi format paling favorit saat ini, mengingat semua orang nampaknya ingin kaya raya dari YouTube. Konten gambar (image) juga selalu diproduksi oleh semua pelaku industri esports — mengingat setiap mereka pasti punya media sosial yang kebanyakan isinya gambar-gambar.

Bagaimana jika Anda suka atau bisa menulis? Selamat, Anda adalah anak tiri di industri konten jaman milenial dengan pasar Gen Z… Wawkwakwakaw… Selain direndahkan oleh orang-orang yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata depan dan kata keterangan ataupun antara frasa dan kalimat, kemungkinan besar, Anda akan dibayar murah — sebelum mungkin akhirnya menemukan orang-orang yang menghargai keahlian menulis Anda tadi. Jadi, selamat berjuang kawan! Nyahaha…

Selain para pekerja kreatif pembuat konten, event mungkin bisa dibilang sebagai hasil produksi esports yang paling besar biayanya dan juga usaha yang dibutuhkan. Jadi, event juga, setahu saya, membutuhkan banyak para pekerja; mulai dari mereka-mereka yang menjalankan dari sisi turnamennya, memastikan semuanya berjalan tanpa kendala saat di acara, ataupun bertugas menayangkan turnamen tersebut.

Selain itu, profesi-profesi lain yang memang butuh keahlian spesifik juga sebenarnya masih banyak dibutuhkan — seperti orang-orang (digital) marketing yang tahu lebih dari sekadar eksploitasi gadis-gadis cantik sebagai penarik massa, orang-orang sales, bisnis, humas, SDM (HRD), ataupun posisi-posisi lainnya yang bertugas layaknya kantor di luar esports. Namun demikian, menurut saya, posisi-posisi tadi tidak menarik SDM sebanyak untuk event ataupun konten.

7. Esports is young and dangerous?

Terakhir, industri esports di Indonesia adalah industri yang sebagian besar diisi oleh anak-anak muda generasi milenial. Hal ini jadi memberikan keuntungan dan kekurangan tersendiri.

Salah satu kekurangan terbesarnya adalah, karena usia para pekerjanya yang masih muda dan hanya mengenal industri esports, masih banyak wawasan dan keahlian yang bisa digali dari luar ataupun dalam industri esports. Harus disadari juga bahwa keahlian dan wawasan tadi tidak sedangkal yang dibayangkan. Baik dari pencari kerja ataupun pemberi kerjanya, saya kira kita harus sudah mulai menyadari betapa krusialnya keahlian dan wawasan terhadap keberlangsungan sebuah indsutri — selain soal passion.

Namun demikian, jika melihat kondisi saat ini dengan keterbatasan wawasan dan keahlian tadi, potensi esports Indonesia berarti juga bisa dibilang besar — selama memang kekurangan tadi disadari dan dibenahi.

Sumber: Business Insider
Sumber: Business Insider

Di sisi lain, ada yang bilang juga esports is meritocratic. Industri yang diisi dengan banyak generasi muda seperti esports memang cenderung menggunakan sistem meritokrasi. Sistem seperti ini memang jadinya mendegradasi nilai-nilai lama seperti senioritas, latar belakang pendidikan, dan kawan-kawannya. Belum lagi, di jaman post-postmodernism ini, meragukan expertise (atau bahkan merasa jadi expert dengan mengomentari segala fenomena yang terjadi lewat sosial media) seakan jadi tren filosofi baru buat generasi muda.

Saya pribadi juga setuju dengan sistem meritokrasi, selama masing-masing dari kita bisa meminimalisir bias-bias kognitif yang mungkin terjadi saat kita menilai sesuatu dan mengambil keputusan. Apalagi, faktanya, tidak semua nilai-nilai lama itu harus ditinggalkan dan tidak semua yang tua itu sudah tidak punya nilai pragmatis.

Sebagai penutup, mungkin memang saya old-school soal ini namun, saya mengamini betul jika salah satu tolak ukur untuk menakar kesuksesan karier ataupun industri adalah dengan usia seberapa lama ia bisa bertahan.

Sumber: NYTimes
Sumber: Telegraph

Bagi saya, orang yang sukses bukanlah orang yang bisa jadi hype sesaat, punya jutaan followers, subscribers, atau apapun namanya; namun kemudian tak relevan lagi 10 tahun ke depan. Demikian juga dengan industri esports ini. Segala macam gegap gempita dan hedonisme yang bisa disuguhkan, tak akan ada artinya jika ia tak bisa terus bertahan untuk waktu yang lama.

Sumber header: GGEngine

FIFA eWorld Cup Dorong Pertumbuhan Industri Esports Inggris

Industri esports di Inggris Raya akan berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan menurut Phelan Hill, analis industri olahraga Nielsen yang juga pernah menjadi atlet Olimpiade. Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan esports adalah FIFA eWorld Cup, yang diadakan di London pada 2019. Bukti lain bahwa industri esports di Inggris masih akan terus tumbuh adalah fakta bahwa tim esports Inggris, seperti Excel Esports yang berlaga di League of Legends European Championship, mendapatkan investasi untuk mengembangkan organisasi mereka.

“Pasar esports di Inggris Raya masih belum matang, tapi industri esports di sana tumbuh dengan cepat. Jumlah fans esports di Inggris juga bertambah dengan cepat. Sekitar 21 persen fans di Inggris Raya baru mulai tertarik dengan esports dalam satu tahun belakangan,” kata Hill, menurut laporan Forbes. “Indikasi lain dari besarnya potensi industri esports adalah semakin banyaknya warung internet game dan tim profesional yang muncul.” Sama sepreti fans esports di belahan dunia lain, fans esports di Inggris relatif muda. Rata-rata umur fans esports adalah 26 tahun. Jika dibandingkan dengan fans olahraga lain, jumlah fans esports di bawah umur 35 tahun juga paling banyak, mencapai 85 persen.

“Industri esports masih muda dan itu berarti, ia memiliki potensi besar untuk tumbuh dan menjangkau audiens baru. Bagi sponnsor dan fans, inilah yang membuat mereka tertarik dengan esports, karena esports dapat menjangkau semakin banyak orang seiring dengan naiknya popularitas esports di berbagai negara,” ujar Hill.

London Spitfire yang berlaga di Overwatch League. | Sumber: Twitter
London Spitfire yang berlaga di Overwatch League. | Sumber: Twitter

Hill juga membahas tentang kehadiran turnamen yang menggunakan sistem franchise di industri esports, seperti Overwatch League. Dia memperkirakan, ke depan, akan ada semakin banyak turnamen yang menggunakan model franchise. “Turnamen tertutup menawarkan kestabilan untuk investor dan tim yang beratnding,” ungkap Hill. “ESL Gaming mendisrupsi tren ini, walau mereka juga membuat industri esports menjadi semakin stabil dengan mengadakan berbagai event di berbagai negara.”

Seiring dengan semakin banyak investor yang menanamkan modal di esports, Hill menjelaskan, maka tuntutan pada pelaku industri esports juga akan semakin tinggi. Para investor ini akan meminta kejelasan tentang keuntungan apa yang akan mereka dapat setelah menanamkan modal di industri esports.

“Data akan memiliki peran penting, tapi bukan data sembarangan — karena terkadang, data yang diungkapkan adalah data yang dilebih-lebihkan. Kita perlu memastikan bahwa data yang digunakan memang akurat dan bisa dipercaya, serta konsisten,” ujarnya. Memang, sejak tahun lalu, sejumlah pelaku industri esports mulai menjalin kerja sama dengan perusahaan analisa data seperti Nielsen dan Newzoo, mulai dari publisher sepreti Activision Blizzard dan Riot Games sampai organisasi esports seperti Astralis.

Menurut Hill, hal lain yang akan mendorong pertumbuhan esports di Inggris adalah kesertaan bintang olahraga untuk masuk ke esports, baik dengan menjadi investor atau membuat organisasi sendiri. Salah satunya adalah Gareth Bale, pesepak bola yang membentuk organisasi esports Ellevens pada bulan lalu.

“Fakta bahwa atlet bintang seperti Gareth Bale ikut masuk ke esports akan mendongkrak popularitas esports. Saya senang melihat kerja sama antara esports dan olahraga tradisional, seperti sepak bola,” kata Hill.

Sumber header: Twitter

Newzoo: Nilai Industri Esports Capai Rp15,4 Triliun Pada 2020

Tahun lalu, Newzoo melaporkan bahwa pendapatan dari industri esports akan mencapai US$1,1 miliar. Namun, mereka mendapatkan kritik karena dianggap terlalu membesar-besarkan hype tentang esports. Sekarang, Newzoo mengatakan bahwa mereka telah kembali meninjau pasar esports menggunakan metodologi yang lebih baik. Mereka menyebutkan, nilai industri esports pada 2020 akan mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,4 triliun). Total pendapatan ini tidak termasuk keuntungan yang didapatkan oleh platform streaming, seperti Twitch atau YouTube Gaming.

Dari total US$1,1 miliar, 74,8 persen atau sekitar US$822,4 juta (sekitar Rp11,5 triliun), berasal dari sponsorship dan hak siar media. Total pendapatan dari sponsorship dan hak siar media naik 17,2 persen pada tahun ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara pendapatan dari penjualan tiket dan merchandise akan mencapai US$121,7 juta (sekitar Rp1,7 triliun) dan investasi dari publisher game akan menyumbang US$116,3 juta (sekitar Rp1,6 triliun).

Memang, penjualan merchandise bisa jadi salah satu sumber pemasukan untuk organisasi esports. Pada November 2019, EVOS Esports mengungkap bahwa mereka mendapatkan Rp150 juta dari penjualan merchandise di M1 dan MPL ID S4. Sumber pemasukan lain untuk industri esports adalah penjualan produk digital, yang diperkirakan akan berkontribusi US$7,1 juta (sekitar Rp99,2 miliar). Walau kecil, penjualan produk digital diperkirakan akan mengalami pertumbuhan pesat, menjadi US$17,2 juta (sekitar Rp240 miliar) pada 2023.

Sumber: Newzoo
Jumlah pendapatan pasar esports. | Sumber: Newzoo

“Data kami menunjukkan bahwa tahun 2019 membawa banyak perubahan pada banyak tim. Pada tahun itu, sumber pemasukan awal seperti sponsorship, juga mengalami pertumbuhan besar. Sementara itu, berbagai liga esports mulai menggunakan sistem kandang-tandang, mengharuskan tim untuk menggelar pertandingan di markas mereka sendiri. Ini akan membuka kesempatan bagi tim untuk mendapatkan pemasukan yang lebih besar pada pertandingan di markas mereka, melalui penjualan tiket dan merchandise,” ujar Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo, dikutip dari Venture Beat.

Lebih lanjut, dia berkata, “Industri esports juga menjadi semakin dewasa, terlihat dari semakin banyak sumber pemasukan baru yang muncul, seperti streaming dan penjualan produk digital. Ini adalah cara monetisasi baru yang tidak tersedia dalam industri olahraga tradisional. Hal ini juga menunjukkan bahwa industri esports memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan industri olahraga tradisional. Sumber pemasukan baru ini membuka jalan bagi para tim, penyelenggara turnamen, dan publisher game untuk mengembangkan bisnis mereka.”

Jumlah penonton esports pada 2020. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports pada 2020. | Sumber: Newzoo

Pada 2020, Tiongkok menjadi pasar esports terbesar dengan nilai US$385,1 juta (sekitar Rp5,4 triliun), diikuti oleh Amerika Utara dengan nilai US$252,8 juta (sekitar Rp3,5 triliun). Sementara itu, di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Vietnam, mobile esports mulai berkembang, sehingga mereka bisa mulai mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang pasar esports-nya sudah lebih berkembang.

Indikasi perkembangan mobile esports di negara-negara berkembang adalah betapa populernya game-game seperti PUBG Mobile dan Free Fire. Berkat mobile esports, pasar esports di negara-negara berkembang juga menjadi pasar yang mengalami pertumbuhan per tahun (CAGR) paling tinggi. Asia Tenggara misalnya, memiliki CAGR sebesar 24 persen, dengan Jepang sebesar 20,4 persen, dan Amerika Latin sebesar 17,9 persen.

Untuk masalah penonton, Newzoo memperkirakan bahwa total penonton esports tahun ini akan mencapai 495 juta orang. Newzoo membagi audiens esports menjadi dua kategori, yaitu Esports Enthusiasts dan Occasional Viewers. Dari total penonton tahun ini, sebanyak 222,9 juta merupakan Esports Enthusiasts dan 272,2 juta orang merupakan Occasional Viewers.

Sumber: Venture Beat

Sumber header: ESL/Adela Sznajder via The Esports Observer

Kenapa Investor Percaya Esports Bakal Jadi Industri Bernilai US$1 Miliar?

Industri esports digadang-gadang akan menjadi industri bernilai miliaran dollar dalam waktu beberapa tahun ke depan. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan investasi di ranah competitive gaming.

Sepanjang tahun 2019, total investasi di bidang esports mencapai US$2 miliar, menurut laporan The Esport Observer. Memang, angka itu turun jika dibandingkan dengan total investasi pada 2018, yang mencapai US$4,5 miliar. Meskipun begitu, jumlah transaksi yang terjadi justru naik 24 persen menjadi 141 pada 2019 ketika dibandingkan dengan tahun 2018. Selain itu, pada 2018, ada dua investasi besar yang membuat total investasi meroket.

Pertama adalah investasi dari Tencent pada layanan streaming Tiongkok, Huya dan Douyu pada Q1 2018. Ketika itu, Tencent juga menanamkan modal ke publisher dan operator game online Shanda Games. Total nilai investasi dari Tencent menembus US$1,5 miliar. Kedua, investasi pada Epic Games, developer dan publisher Fortnite. Investasi yang diberikan pada Oktober 2018 itu bernilai sampai US$1,25 miliar. Dua investasi besar inilah yang membuat total investasi di esports pada 2018 membengkak.

Investasi di bidang esports. | Sumber: The Esports Observer
Investasi di bidang esports pada 2018 dan 2019. | Sumber: The Esports Observer

Semakin banyaknya investor yang menanamkan modal di esports, termasuk venture capital, merupakan bukti bahwa perlahan tapi pasti, industri esports menjadi semakin matang. Tahun lalu, ada beberapa organisasi esports yang mendapatkan kucuran dana segar yang cukup besar, seperti Gen.G yang mendapatkan US$46 juta atau 100 Thieves yang mendapatkan US$35 juta. Walau banyak orang yang mengelu-elukan potensi esports, ada juga orang yang percaya bahwa bisnis tim esports di Amerika Serikat tidak sehat, seperti Mark Cuban. Dia berkata, banyak orang yang menanamkan investasi ke tim esports tak sadar bahwa bisnis itu tak menguntungkan.

Memang, industri esports masih memiliki berbagai masalah. Salah satunya transparansi. Hal ini terlihat ketika Forbes mendapatkan protes setelah membuat daftar perkiraan valuasi dari masing-masing tim esports pada November 2019. Salah satu keluhan yang disampaikan ketika itu adalah valuasi tim dianggap terlalu tinggi jika dibandingkan dengan nilai tangible yang ditawarkan oleh tim tersebut.

Meskipun begitu, para investor tetap percaya, industri esports akan tumbuh dan akan menghasilkan buah manis bagi para investornya. Pertanyaannya, apakah kepercayaan ini memang berdasar?

Life will find a way

Di industri esports, penyumbang pendapatan terbesar secara global masih sponsorship. Tren yang sama juga berlaku di Indonesia. Sayangnya, organisasi esports tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada uang dari sponsor.

“Banyak tim akan [mencoba] untuk menjadikan sponsorship sebagai sumber pemasukan utama. Sponsor dan konten adalah sumber pemasukan yang paling sering dibahas kalau berbicara dengan tim esports yang baru dibuat. Tapi, menurut saya, konsep ini tidak sustainable,” ujar Yohannes P. Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD dan yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. “Lama kelamaan, kita melihat jumlah tim yang terus bertambah. Dan kalau seperti itu terus, rasio tim-sponsor akan menjadi tidak viable. Belum lagi masalah tentang ada brand yang merasa bahwa esports tidak membawa keuntungan sesuai harapan mereka di awal. Tim-tim yang akan sukses adalah mereka yang bisa menciptakan sustainable revenue tanpa bergantung pada sponsor.”

Merek-merek non-endemik yang jadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer
Merek-merek non-endemik yang jadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer

Memang, saat ini, belum ada organisasi esports yang telah mendapatkan untung. Belum diketahui juga cara yang tepat untuk memonetisasi popularitas tim. Meskipun begitu, itu bukan berarti mereka tidak mencari cara untuk mendapatkan untung. Misalnya, 100 Thieves yang menawarkan merchandise di markas barunya. Di Indonesia, EVOS Esports menjadi contoh tim esports yang mendapatkan untung dari penjualan merchandise. Di M1 dan MPL ID S4, organisasi esports dengan logo harimau putih itu berhasil meraup Rp150 juta. Mereka juga sudah membuka flagship store di Jakarta. Sementara RRQ juga membuka kelas untuk orang-orang yang ingin belajar tentang cara menjadi pemain profesional.

Memang, pendapatan dari penjualan merchandise atau pembukaan kelas dianggap belum cukup untuk mengembalikan biaya untuk membesarkan tim esports. Setidaknya menurut Yohannes. “Biaya untuk tim seperti EVOS dan RRQ itu luar biasa besar. Untuk bisa mendapatkan pendapatan signifikan, mereka harus menjual merchandise dalam jumlah sangat banyak atau memiliki murid akademi yang sangat banyak,” ujarnya. “Ini bisa membantu untuk membuat model sustainable revenue, tapi pendapatan dari merchandise dan pembukaan kelas hanya akan menjadi bagian kecil dari keseluruhan rencana pemasukan.”

Sumber pendapatan organisasi esports juga tak terbatas pada penjualan merchandise. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra dengan membuat konten atau bisnis properti intelektual. Dalam wawancara dengan Forbes ketika G2 Esports mendapatkan kucuran dana segar, CEO Carlos Rodriguez mengatakan, organisasi esports justru memiliki kesamaan lebih banyak dengan Disney daripada dengan tim NBA LA Lakers. Ini menunjukkan kepercayaannya bahwa di masa depan, organisasi esports akan fokus pada dunia hiburan, konten dan properti intelektual.

Di Indonesia, organisasi esports yang mencoba metode ini adalah EVOS Esports, yang memiliki divisi entertainment sendiri. Menariknya, ketika mendapatkan kucuran dana dari Insignia, dana investasi tersebut digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia tak lama setelah mereka menanamkan modal di EVOS.

Lain halnya dengan Fnatic, yang mencoba untuk melakukan monetisasi dengan membuka bisnis Fnatic Gear pada 2015. Jadi, mereka menyediakan perangkat untuk para pemain yang berarti mereka harus bertanding secara langsung dengan perusahaan peripheral seperti Logitech, HyperX, dan Razer. Sementara itu, Complexity Gaming, yang merupakan bagian dari tim american football Dallas Cowboy hendak fokus pada pengembangan para pemainnya. Untuk itu, mereka akan memanfaatkan pusat pelatihan Dallas Cowboys yang bernilai US$1,5 miliar.

Tergantung dari liga yang diikuti, organisasi esports juga bisa mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket. Misalnya, tim-tim Overwatch League dan Call of Duty League. Activision Blizzard menggunakan model franchise pada kedua liga tersebut. Selain itu, mereka juga meniru sistem kandang-tandang yang digunakan di olahraga tradisional. Dengan begitu, tim-tim di OWL dan CDL harus memiliki markas sendiri untuk menjamu musuh yang datang. Activision Blizzard membebaskan organisasi esports untuk menentukan harga tiket untuk pertandingan yang mereka adakan di markasnya. Namun, metode ini baru diterapkan tahun ini. Jadi, belum diketahui apakah penjualan tiket bisa menjadi sumber pemasukan tetap.

Monetisasi Penonton

Salah satu daya tarik industri esports adalah jumlah penontonnya yang banyak dan terus bertambah. Menurut laporan Newzoo, pada 2018, jumlah penonton esports mencapai 380 juta orang. Sementara pada 2021, angka itu diperkirakan naik menjadi 557 juta orang. Memang, sebelum ini, saya pernah menyebutkan bahwa popularitas bukan jaminan untung. Misalnya, di Indonesia, fans esports memang banyak — hal ini terlihat dari membludaknya penonton dalam Mobile Legends Pro League Season 4 — tapi bukan berarti mereka rela membayar tiket.

Oke, sekarang, memang belum ada cara pasti untuk memonetisasi pelanggan. Itu bukan berarti para pelaku esports akan berhenti berusaha. Kemungkinan, mereka akan belajar dari industri olahraga tradisional. Mengingat industri itu memang telah jauh lebih lama ada, tidak aneh jika pelaku esports meniru apa yang pelaku industri olahraga tradisional lakukan. Tentu saja, mereka tidak bisa meniru metode secara sama persis. Mereka harus menyesuaikan metode monetisasi agar cocok untuk digunakan di pasar esports.

Cara membuat fans setia adalah sesuatu yang bisa dipelajari organisasi esports dari olahraga tradisional. Seorang fans sepak bola biasanya rela untuk membeli tiket demi bisa menonton tim jagoannya bermain. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga mau untuk membeli merchandise, seperti jersey pemain misalnya. Dan jangan tanya antusiasme penonton ketika yang bertanding adalah timnas. Inilah yang harus bisa ditiru oleh organisasi esports. (Tapi, tolong, jangan tiru perilaku anarkis dari sebagian fans sepak bola.)

Hal lain yang bisa ditiru oleh pelaku industri esports adalah bagaimana cara untuk memberikan pengalaman menonton langsung yang unik. Memang, kebanyakan (kalau tidak semua) pertandingan esports disiarkan di internet, yang bisa ditonton gratis dari rumah. Namun, pelaku esports seharusnya dapat memberikan pengalaman unik saat penonton datang langsung ke tempat pertandingan. Ini sudah dilakukan oleh Riot Games ketika mengadakan League of Legends World Championship. Pada 2018, Riot menampilkan hologram naga raksasa yang mengelilingi stadion. Ketika itu, mereka juga menampilkan “band virtual” yang berduet langsung dengan musisi di dunia nyata.

Memang, penggunaan teknologi terbaru seperti augmented reality, virtual reality, dan hologram masih memakan biaya yang sangat besar. Namun, ke depan, kemungkinan biaya untuk menggunakan teknologi-teknologi tersebut akan turun, sehingga para pelaku esports akan bisa menggunakannya dengan lebih leluasa untuk menawarkan pengalaman menonton yang unik. Selain menonton pertandingan secara langsung, para fans juga bisa menonton di layar lebar. Potensi akan ini terlihat ketika Imax bekerja sama dengan startup Vindex.

Esports bakal jadi entertainment next gen

Menurut Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV, bisnis esports memang memiliki potensi yang sangat besar. “Angka US$1 miliar secara global itu sangat mungkin,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Esports bakal jadi gede banget dalam waktu 10-15 tahun ke depan. Bagi aku, esports itu bukan hanya industri yang baru, tapi juga merupakan bentuk hiburan untuk generasi berikutnya.” Dia menjelaskan, generasi baby boomers tumbuh dengan menonton pertandingan olahraga tradisional, seperti balap mobil, melalui televisi. Setelah mereka tumbuh besar dan memiliki uang untuk dibelanjakan, mereka menghabiskan uang mereka untuk sesuatu yang mereka sukai tapi tak mereka mampu beli sebelumnya, contohnya mobil.

“Nah, kalau kita lihat generasi muda sekarang (kurang dari 16 tahun), mereka tumbuh besar dengan bermain game di smartphone mereka, entah itu game esports atau bukan,” ujar Irli. “Kebayang kan, kalau nanti mereka sudah besar mereka bakal menghabiskan uang untuk membeli barang yang tadinya mereka tidak bisa beli, karena dilarang orangtua atau tidak punya kartu kredit atau alasan lain. Suka nggak suka, esports adalah next level entertainment.”

Salah satu indikasinya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi besar — Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft — berlomba-lomba untuk membesarkan platform streaming game mereka. Mereka bahkan rela mengeluarkan uang besar untuk mendapatkan kontrak eksklusif dengan sejumlah streamer ternama.

Ki-ka: DrLupo, TimTheTatman, Ninja, dan CouRage. | Sumber: Twitter
Ki-ka: DrLupo, TimTheTatman, Ninja, dan CouRage. | Sumber: Twitter

Awal mulanya…

Intergalactic Spacewar Olympics dianggap sebagai turnamen esports pertama di dunia. Turnamen yang mengadu Spacewar! ini diadakan pada 19 Oktober 1972 di Artificial Intelligence Laboratory, Stanford University. Sejak saat itu, dunia game dan competitive gaming telah berkembang pesat. Internet yang semakin cepat dan semakin accessible berarti kompetisi gaming tak harus dilakukan secara offline. Batas negara menghilang. Ini membuat banyak game multiplayer bermunculan. Bermain game tak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Game telah masuk ke jalur mainstream dan menjadi industri bernilai US$120 miliar.

Kemampuan untuk melakukan streaming tidak hanya mengubah bagaimana game dimainkan, tapi juga mendorong tren baru untuk menonton permainan orang lain, baik untuk melihat kemampuan seseorang yang memang imba atau karena gaya bermain yang menghibur. Menurut data dari YouTube, sepanjang 2019, konten Minecraft berhasil mendapatkan lebih dari 100 miliar view. Selain itu, platform streaming game Twitch juga memiliki ranking yang lebih tinggi dari media sosial Twitter dan situs ecommerce eBay, menurut data dari Alexa. Itu berarti, ada lebih banyak orang yang mengunjungi Twitch daripada Twitter dan eBay. Pada Agustus 2019, Twitch memecahkan rekor baru, total durasi video ditonton di platform itu mencapai satu miliar jam.

Memang, turnamen esports identik dengan siaran di internet, apapun platform yang digunakan. Namun, itu bukan berarti tidak ada pertandingan esports yang ditayangkan di televisi. Pada Maret 2019, ABC menyiarkan babak final dari Overwatch League. Pada hari Sabtu, program tersebut mendapatkan 306 ribu penonton sementara pada hari Minggu, jumlah penonton bertambah menjadi 367 ribu orang. Memang, angka itu relatif kecil jika dibandingkan dengan program televisi lain. Namun, rating dari babak final Overwatch League itu lebih baik dari dugaan, terutama karena siaran OWL tidak digembar-gemborkan. Babak final Overwatch League diadakan di Wells Fargo Center, Philadelphia. Sebanyak 12 ribu orang datang ke sana untuk menonton pertandingan secara langsung.

Semua ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang tertarik untuk menonton konten gaming. Alhasil, semakin banyak turnamen dan liga esports yang bermunculan. Menurut laporan FEE, saat ini, ada 69 liga dan turnamen esports di dunia, sekitar setengah dari total turnamen tersebut baru diadakan dalam waktu lima tahun terakhir. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen atau liga esports ini pun tidak main-main. The International 2019, yang merupakan turnamen dengan total hadiah terbesar, setidaknya untuk saat ini, menawarkan total hadiah lebih dari US$34 juta.

The International 2019.
The International 2019.

Mengingat industri esports masih relatif muda, belum diketahui cara pasti untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, para pelaku industri esports kini tengah bereksperimen untuk mencari cara yang tepat untuk memonetisasi esports. Activision Blizzard ingin membuat struktur yang jelas dalam pertandingan esports dengan membuat liga berbasis franchise. Saat ini, mereka memiliki dua liga yang sudah berjalan, yaitu Overwatch League dan Call of Duty League.

Saat pertama kali muncul, Overwatch League hanya memiliki 12 tim. Sekarang, terdapat 20 tim yang bertanding. Sementara Call of Duty League hanya memiliki 12 tim. Dikabarkan, Activision Blizzard mendapatkan US$500 juta dari penjualan franchise untuk kedua liga tersebut. Selain biaya franchise, tim yang ingin ikut serta dalam liga buatan Activision Blizzard juga harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, seperti gaji minimal untuk pemain. Jika sebuah tim tidak memenuhi persyaratan yang ada, publisher bisa melarang tim untuk ikut dalam liga mereka.

Masalah yang muncul dalam masa perkembangan industri esports

Esports telah menjadi industri yang besar dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi lebih besar lagi. Yohannes tidak membantah hal itu. Pada saat yang sama, dia juga menganggap bahwa hype esports terlalu dibesar-besarkan. “Esports memang industri yang besar (dan bisa terus berkembang), tapi esports juga industri yang overhyped. Perkembangan yang pesat dari industri esports membuat banyak pihak ingin terjun ke industri ini sehingga hampir setiap minggu, ada kabar tentang tim baru, game baru, atau event baru.”

Masalahnya, dia mengungkap, muncul risiko industri esports tumbuh lebih cepat dari kemampuan industri untuk menopang perkembangan industri itu. “Apalagi kebanyakan pelaku di industri esports lebih fokus di tingkatan atas alias profesional dan bukannya di pembangunan ekosistem,” katanya. Memang, salah satu masalah yang dihadapi para pelaku esports di Indonesia saat ini adalah soal regenerasi.

Sementara menurut Irli, salah satu kendala yang tengah dihadapi industri esports adalah keberadaan dua grup yang ada di kubu yang saling berlawanan. Kubu pertama adalah hardcore gamer yang bekerja di dunia esports atas dasar “passion”. Sementara kelompok kedua adalah para profesional yang melihat esports sebagai industri yang berpotensi untuk diinvestasikan dalam jangka panjang. Dia menjadikan politikus dan investor sebagai contoh. Orang yang masuk dalam kelompok kedua biasanya tahu cara bekerja sebagai profesional, tapi tidak terlalu mengerti industri esports. Sementara grup pertama justru sebaliknya. “Kira-kira, butuh dua tahun bagi kelompok satu dan dua untuk ketemu di tengah-tengah,” ujarnya.

Fortnite World Cup. | Sumber: Epic Games
Fortnite World Cup. | Sumber: Epic Games

Sayangnya, proses adaptasi ini juga tidak bebas dari masalah. “Di belahan dunia manapun belum ada standar soal cara menjalankan usaha di esports,” kata Irli. “Apa yang sukses di Amerika Utara atau Eropa, bisa tidak berjalan di Asia Tenggara. Misalnya, Fortnite, Counter-Strike: Global Offensive, dan League of Legends tidak laku untuk kawasan SEA. Ini tentang siapa yang kuat bertahan, siapa yang sabar dan tidak buru-buru untuk mencari untung sebanyak-banyaknya di dunia esports.” Alasannya, karena esports masih sangat muda. Dia membandingkannya dengan Gempi, anak dari Gading Marten dan Gisel. “Tidak peduli seberapa famous-nya dia, dia nggak bisa dipaksa kerja di kantor. Pada akhirnya, dia masih bayi, perlu dituntun pelan-pelan,” kata Irli.

Dia bercerita, salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah jika sebuah merek telah menyiapkan uang hingga miliaran rupiah dan event tersebut dianggap gagal. Memang, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke industri esports, baik dengan mendukung penyelenggaraan turnamen esports atau menjadi sponsor dari organisasi esports, seperti GoPay yang mendukung RRQ. Venture capital pun turut melirik para organisasi esports, seperti Insignia yang mengucurkan dana untuk membesarkan divisi kreator konten dari EVOS Esports. Masalah lainnya adalah belum ada formula pasti untuk memonetisasi industri esports. “Sikut-sikutan antar kubu, politik-politikan, ada yang nipu-nipu, habis ditanamkan investasi, kabur,” ujarnya. “It’s all about trial and error. Kalau ada satu brand yang gagal, brand yang lain bakal belajar. Jika ada satu brand yang sukses, maka pihak lain akan meniru.”

“Sudah banyak banget yang tumbang, seperti tim-tim profesional banyak yang collapse. EO pun banyak yang gagal. Media pun sama. Semua orang pada buru-buru banget di esports. Mereka lupa, bisnis itu marathon, bukan sprint race. Orang-orang yang buru-buru lari di depan tidak akan bisa bertahan. Justru pihak yang tahu cara untuk menghemat energi dan sumber daya mereka dan bisa membangun merek mereka pelan-pelan, merekalah yang akan bertahan,” ujar Irli.

Publisher memegang hak IP dari sebuah game

Sekarang, sponsorship adalah sumber pemasukan utama industri esports. Namun, Newzoo memperkirakan, di masa depan, hak siar media akan menjadi sumber pemasukan terbesar. Demi mendapatkan hak siar atas Overwatch League, Twitch dikabarkan rela menggelontorkan US$90 juta. Namun, kontrak Activision Blizzard dengan Twitch telah habis dan mereka justru membuat perjanjian eksklusif dengan YouTube Gaming. Jika hak siar media memang jadi sumber pendapatan utama, maka ada kekhawatiran bahwa developer/publisher akan bersikap sewenang-wenang.

Tahun lalu, The Esports Observer dan Foley & Lardner LLP memberikan survei pada 200 eksekutif perusahaan yang bergerak di bidang esports. Menurut survei tersebut, 95 persen responden percaya, kendali developer/publisher yang sangat besar atas sebuah liga/game akan berdampak negatif. Mereka khawatir, developer akan membatasi API (Application Programming Interfaces) ke game mereka. Selain itu, juga ada kekhawatiran bahwa publisher sebagai penyelenggara akan membatasi tim yang ikut dalam sebuah turnamen. Inilah yang terjadi dalam liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League atau Mobile Legends Professional League.

MPL Season 4. | Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL Season 4. | Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika ditanya apakah ada kekhawatiran bahwa developer/publisher akan berlaku semena-mena, Irli optimistis bahwa para pelaku esports tidak akan menggantungkan diri pada kemauan developer. Memang, saat ini, developer masih sangat berkuasa atas game dan scene esports dari game yang mereka buat. “Karena saat ini, cuma mereka yang paling paham sama komunitas game dan komunitas esports-nya,” kata Irli. “Infrastruktur dan regulasi dari pemerintah lokal juga belum ada.” Namun, menurutnya, hanya masalah waktu sebelum pemerintah membuat regulasi untuk memastikan developer/publisher tidak bisa melakukan monopoli. “Nantinya, sama seperti sepak bola, akan ada standarisasi dari federasi atau asosiasi terkait. Fungsinya, untuk melindungi pemain dan juga pelaku industri terkait.”

Memang, publisher sebagai pemilik properti intelektual dari sebuah game adalah pihak yang paling bebas dalam melakukan monetisasi. Dalam peluncuran Flashpoint, liga yang diadakan oleh tim-tim esports sendiri, Co-founder Gen.G Kent Wakeford bahkan mengatakan bahwa terkadang, pihak publisher sebagai penyelenggara dan organisasi esports terasa saling bersaing dengan satu sama lain. Namun, sebuah liga esports tak akan berjalan tanpa keberadaan tim-tim profesional yang berlaga di dalamnya. Jadi, hubungan antara publisher dan organisasi esports adalah simbiosis mutualisme. Selama organisasi esports bisa memposisikan diri agar mereka adalah bagian tak tergantikan dari ekosistem esports, maka mereka akan tetap memiliki bargaining power.

Regulasi

Regulasi atas scene esports sebuah game biasanya ditangani oleh developer. Misalnya, Riot Games menentukan gaji minimal yang harus diberikan oleh tim profesional pada para pemain yang berlaga di League of Legends Championship Series, liga LOL di Amerika Utara. Activision Blizzard juga menentukan hal serupa untuk pemain Overwatch League. Sementara itu, di Turki, pernah muncul skandal, sebuah tim tidak membayar para pemainnya selama beberapa bulan. Alhasil, Riot melarang tim tersebut ikut serta dalam liga League of Legends di Turki.

Di Amerika Serikat, California hendak meloloskan regulasi yang menjamin bahwa pemain esports akan mendapatkan benefit yang sama dengan pekerja tetap developer, seperti asuransi. Di Indonesia, walau ada lebih dari satu asosiasi game dan esports, tapi belum ada peraturan terkait esports. Belum lama ini, juga dibentuk PB Esports. Meskipun begitu, saya agak skeptik. Dalam acara pembentukan PB Esports, “candaan” pertama yang diluncurkan adalah esports bisa digunakan sebagai alat untuk menarik suara milenial dan gen Z pada pemilu presiden berikutnya, yang baru akan diadakan empat tahun lagi.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika membahas tentang ini, Irli mengatakan bahwa regulasi soal esports memang tidak akan bisa dibuat dengan cepat. “Bagi kita yang di esports pun, kita tidak tahu apa yang diperlukan oleh dunia profesional. Regulasi tidak akan jadi dengan cepat, dan belum tentu sesuai,” katanya. “Mungkin, regulasi yang pertama keluar justru yang menguntungkan pihak yang berkuasa secara politik dan bakal ada masalah dengan komunitas esports.” Namun, dia optimistis, keberadaan “orang-orang hebat di esports” seperti AP (CEO RRQ dan Kepala FEI), Garry Ongko (Bos BOOM Esports), dan Giring (Ketua Panitia Penyelenggara, Piala Presiden Esports 2020) akan bisa bertindak sebagai penyeimbang dan menyuarakan opini komunitas esports.

“Tapi, tenang saja, pemerintah dan pelaku esports sekarang setuju, kita harus buat regulasi yang mencegah developer memonopoli market mereka. Intinya, siapa yang mau jualan di Indonesia, harus minta izin ke pemerintah dan bekerja sama dengan perusahaan lokal,” kata Irli. Dia yakin, para developer asing, seperti Tencent tidak akan kehilangan potensi pendapatan karena tidak bisa membuat kegiatan esports.

Esports adalah industri hasil dari spontanenous order

Ada banyak pemegang kepentingan dalam industri esports, mulai dari developer dan publisher game, organisasi esports, pemain profesional, pengiklan sampai pemerintah. Meskipun sekarang esports dinyatakan sebagai industri bernilai besar, masih belum ada bisnis model yang pasti untuk meraih untuk di industri esports.

Menurut FEE, industri esports merupakan hasil dari spontaneous order, sesuatu yang muncul karena tindakan orang-orang dan bukannya sesuatu yang sudah direncanakan. Sepuluh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa sebuah perusahaan rela mengeluarkan US$100 juta untuk membuat turnamen game yang bisa dimainkan secara gratis. Sepuluh tahun lalu, mungkin tidak ada yang percaya jika seorang remaja bisa membawa pulang US$3 juta setelah memenangkan turnamen game.

Fakta bahwa pemain esports bisa mendapatkan gaji jutaan rupiah — atau mungkin bahkan puluhan juta rupiah untuk pemain yang telah go international — mungkin sesuatu yang sulit untuk diterima nalar. Namun, mekanisme pasarlah yang memungkinkan hal itu terjadi. Sama seperti evolusi home entertainment. Ketiadaan campur tangan dari pemerintahlah yang memungkinkan industri itu tumbuh dan berkembang.

Bagi yang ingin masuk ke dunia esports

Banyak orangtua yang menganggap bahwa bermain game adalah hobi yang tidak ada manfaatnya. Namun, kemunculan esports sebagai industri telah mematahkan tanggapan itu. Menjadi pemain profesional tidak lagi sekadar mimpi di siang bolong. Tentu saja, tugas pemain profesional tidak melulu bermain game. Ada risiko yang harus ditanggung oleh orang-orang yang ingin serius menjadi pemain profesional, mulai dari masalah kesehatan sampai kesulitan dalam menjalin hubungan percintaan. Karir sebagai pemain profesional juga relatif pendek. Tentu saja, karir di dunia esports tidak melulu soal menjadi pemain. Ada banyak karir lain yang bisa dikejar.

Setiap turnamen biasanya memiliki shoutcaster.
Setiap turnamen biasanya memiliki shoutcaster.

Namun, hanya karena esports adalah industri soal game, bukan berarti seseorang bisa bekerja di sini dengan bermain-main. Irli mengatakan, bagi orang-orang yang ingin masuk industri esports, mereka harus bersedia untuk bekerja profesional. “Ini bukan lagi masalah passion atau keinginan untuk berkontribusi dalam esports,” katanya. “You need skills and determination to survive here. Nggak ada yang instan di sini dan industrinya masih belum stabil. Jadi, jika mau terjun ke sini, harus commitment.”

Irli juga menyarankan untuk tidak mengorbankan pendidikan. Dia mengaku, background pendidikan memang tidak selalu menjadi tolak ukur utama dalam mencari pekerjaan di dunia esports. Tapi, dia menegaskan, “kompetisi di industri ini sangat gila. Siapa yang kuat, siapa yang bisa beradaptasi, dia yang bertahan. Setiap hari, banyak orang-orang baru yang hebat di industri ini, baik pro player atau orang di belakang layar. Jadi, pastikan kalian punya skill yang cukup untuk bertahan. Jadi, kalau pun terpental, masih punya asuransi.”

Irli juga menyarankan untuk mengetahui apa yang Anda inginkan dengan terjun ke dunia esports. “Kerja di esports itu ibarat mengabdi. Mesti banyak banget waktu, tenaga, dan modal lainnya yang ditanamkan sebelum Anda bisa mendapatkan uang,” ujarnya. “Banyak banget yang nanya soal jadi pro player atau kerja di esports. Yang mereka nggak tahu adalah seberapa gilanya persaingan di dalam industri. Mereka pikir, mereka bakal auto kaya atau famous begitu menjadi pemain profesional.”

Dia mengatakan, kebanyakan orang berusaha untuk masuk ke esports demi pengakuan, bahwa mereka bisa mendapatkan uang dengan bermain game. Namun, jika tidak hati-hati, ini justru bisa membuat seseorang menjadi sombong. Hybrid pernah membahas tentang beberapa dampak negatif esports dan arogansi adalah salah satunya.

Irli bercerita, pada tahun lalu, ada 10 YouTuber Gaming yang populer. Namun, lebih dari setengahnya sudah tak lagi terdengar namanya. “Ada yang tidak berkembang engagement-nya, ada yang tutup channel, ada yang pensiun, dan lain sebagainya karena mereka nggak paham cara mengaturnya. Ini (esports) dunia kerja, dunia beneran. Nggak ada namanya duduk santai,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, bermain game dianggap sebagai hobi segelintir orang. Sekarang, jumlah gamer diperkirakan mencapai 3,5 miliar orang, hampir setengah dari total populasi dunia. Seiring dengan berkembangnya teknologi, khususnya internet, game pun menjadi semakin beragam. Selain bermain game, juga muncul kebiasaan untuk menonton orang lain bermain. Komunitas gamer memang sudah mengadakan kompetisi game sejak dulu. Namun, sekarang, kompetisi itu ada di level yang sama sekali berbeda. Keberadaan platform streaming seperti Twitch dan YouTube Gaming memungkinkan banyak orang untuk menonton turnamen game.

Jumlah penonton esports yang mencapai ratusan juta tentu menarik para pengiklan. Karena itulah semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi sponsor dan investor esports. Terlepas besar dana yang sudah dikucurkan ke industri esports, masih belum ada cara pasti untuk mendapatkan keuntungan di sini. Namun, seperti yang disebutkan oleh Head of Global Partnerships Activision Blizzard Esports, Josh Cella dalam CES 2020, lain halnya dengan liga olahraga tradisional, orang-orang memiliki ekspektasi untuk memonetisasi esports. Dengan banyaknya investor yang masuk, tentunya mereka berharap modal yang mereka tanamkan akan kembali (beserta bunga).

Jadi, para pelaku esports pasti akan mencari cara untuk mendapatkan pemasukan yang sustainable, baik dengan menjual merchandise, tiket pertandingan, atau membuat perangkat gaming sendiri. Dan ketika sudah ada yang menemukan cara yang tepat, pelaku yang lain akan meniru. Pada akhirnya, apa yang bos saya sering katakan akan jadi nyata: “Semua akan esports pada waktunya.”

Sumber: The Esports Observer, FEE

Esports BAR Cannes 2020, Acara B2B antara Pelaku Industri Esports dan Non-Endemic

Esports sudah tidak lagi dipandang sebagai niche community dan bahkan sudah diakui sebagai olahraga dan business model. Sudah banyak perusahaan besar non-endemic yang ingin ataupun telah terjun ke esports. Di Indonesia sendiri, sudah ada BCA, Indofood, Tokopedia, Gojek, Telkomsel, dan sejumlah perusahaan raksasa lainnya yang telah mengeluarkan dana ke esports. Lebih menariknya lagi, munculnya logo Hello Kitty di jersey dari FNATIC pertengahan tahun 2019 ini.

Sumber: Gadgetren
Sumber: Gadgetren

Esports BAR Cannes adalah ajang berkumpulnya para pelaku bisnis esports dengan non-endemic leaders untuk menjalin hubungan dan bertukar ilmu guna memajukan industri esports ke depannya. Tujuan acara ini adalah menjembatani dunia esports dan industri di luar esports. Sudah banyak brand non-endemic yang berusaha terjun ke esports tanpa mengetahui banyak mengenai industri tersebut. Kenapa para brand non-endemic ini tertarik untuk terjun ke esports?

Angka yang besar dan pasar yang tepat

Sumber: TechStartups
Sumber: TechStartups

Berdasarkan Business insider, esports akan mencapai revenue tahunan sebesar US$1,5 miliar pada tahun 2020. Baru-baru ini, League of Legends World Championship 2019 baru saja mencetak 100 juta penonton dan 44 juta peak concurrent viewers. Final Worlds 2019 yang digelar di AccorHotel Arena Paris berhasil mengumpulkan total 15 ribu penonton di stadion tersebut. Walaupun memang masih lebih rendah dibandingkan liga-liga besar seperti NBA atau NFL, industri ini tidak bisa diabaikan.

Di sisi lain, The International 2019 Dota 2 juga memiliki total hadiah sebesar US$34 juta. Angka ini didapat juga karena bantuan crowdfunding yang dilakukan oleh para penggemar Dota 2 di seluruh dunia dari sistem penjualan Battle Pass.

Olahraga tradisional juga semakin sulit untuk mengejar audience dengan umur 18-35 tahun. Berdasarkan TurfShowTimes, umur rata-rata penonton NFL adalah 50 tahun. Dibandingkan dengan esports, dikutip dari Business Insider, sebesar 62 persen penonton esports berumur 18-34 tahun. Hal ini berarti penontonnya mayoritas Millenials yang memiliki disposable income. Tentu saja angka tersebut sangat menarik bagi pelaku-pelaku di luar industri esports untuk masuk.

Menghubungkan pelaku industri esports dengan brand non-endemic

Sumber: EsportsInsider
Sumber: EsportsInsider

Gelaran acara Esports BAR Cannes ini dibagi menjadi tiga kegiatan. Pertama ada The Forum, seminar yang digelar selama tiga hari ini akan membagikan pengalaman dan pandangan bisnis seperti data, fakta, dan jumlah angka terkini yang ada di industri esports. The Forum akan menghadirkan pembicara-pembicara yang sudah memiliki pengalaman memasukkan brand-nya ke dalam industri esports seperti Mike Sepso selaku co-founder dari Major League (MLG) dan Activision Blizzard SVP. Dalam kesempatannya, Mike Sepso berbicara mengenai usahanya ketika memulai menyamakan esports dengan olahraga dalam hal format kompetitif dan kesempatan bisnisnya.

Matt Schnider selaku Head of Digital NFL juga pernah membagikan pengalamannya terhadap esports. NFL sendiri sudah memiliki kerjasama dengan Fortnite dalam peluncuran skins khusus bertemakan seragam pemain NFL.

1-to-1 Matchmaking adalah acara selanjutnya dari Esports BAR Cannes ini, sebuah klub eksklusif untuk para pelaku esports berbincang dengan pihak dari brand non-endemic. Cara ini sangat efektif bagi kedua pihak yang berbincang untuk mengerti keinginan dan tujuan satu sama lain. Lalu yang terakhir, ada The Game Shaker Awards yang bertujuan untuk menghargai individu yang membantu membangun industri esports di seluruh dunia.

Ketidaktahuan masih menjadi penghalang bagi brand non-endemic untuk terjun dan sukses di esports. Masih banyak juga brand yang memasukkan kakinya ke dalam kolam esports tanpa tahu ada apa di bawah sana. Menurut saya, acara-acara seperti Esports BAR Cannes ini sangat berguna untuk memajukan industri esports karena dapat bertukar insight dan pengalaman dengan industri-industri yang lebih dewasa dan matang.

 

4 Dampak Negatif Esports untuk Kaum Muda di Indonesia

Biasanya, opini-opini tentang dampak negatif esports dan game datang dari kalangan konservatif ataupun masyarakat awam. Sebaliknya, para pelaku yang punya kepentingan di esports seringnya, jika tak mau dibilang selalu, meneriakkan betapa mulianya pengaruh esports bagi kaum muda.

Saya? Saya memang aneh… Saya pribadi memang punya kepentingan dan keinginan melihat industri dan ekosistem esports di Indonesia maju karena kebetulan saya sudah berkarier di industri game dan sekitarnya dari 2008. Namun demikian, saya tak ingin terjebak dengan bias-bias kognitif yang biasanya terlihat jelas pada dikotomi pilihan politik.

Lagipula, saya percaya betul bahwa setiap hal pasti punya dampak positif dan negatif di saat yang sama. Demikian juga dengan dampak esports yang kini sedang hingar bingar di kalangan anak muda ataupun industri. Lalu apa tujuannya? Saya hanya berharap dengan menyuguhkan wacana ini, kita, semua yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports, bisa setidaknya menyadari atau bahkan menentukan sikap lanjutan.

Tanpa panjang lebar lagi, inilah 4 dampak negatif esports bagi kaum muda di Indonesia.

Pemupuk Arogansi Dosis Tinggi

Sumber: Escape Artist
Sumber: Escape Artist

Sepanjang perjalanan saya jadi seorang jurnalis dari 2008, inilah keanehan yang saya temukan. Atlet ataupun selebriti esports seringkali lebih arogan ketimbang petinggi perusahaan internasional sekalipun. Kebetulan saja, saya sudah mewawancarai sejumlah petinggi perusahaan, bahkan yang kelasnya internasional ataupun konglomerasi. Kebanyakan dari mereka justru lebih ramah menjawab ataupun merespon pertanyaan saya ketimbang saat saya mewawancarai atlet esports ataupun beberapa selebriti sosmed yang berkecimpung di sini.

Memang, ada banyak juga pro player ataupun mereka-mereka yang sering tampil di industri esports itu begitu terbuka dan ramah terhadap media — setidaknya ke saya… Di sisi lain, saya juga beberapa kali menemukan petinggi perusahaan yang jelas menunjukkan keengganannya berinteraksi dengan media — atau mungkin, spesifik ke saya saja juga kwkakwka…

Di satu sisi, hal tadi memang aneh mengingat petinggi perusahaan biasanya punya kuasa, kapasitas, dan pengalaman yang lebih berharga ketimbang para atlet esports yang memang relatif muda. Meski demikian, di sisi lainnya, saya juga memahami kenapa hal ini bisa terjadi.

Ketika seseorang yang masih berusia 20an (atau bahkan belasan) sudah merasa berada di puncak dunia, arogansi itu memang mungkin tak bisa dibendung. Setidaknya saya pribadi juga dulu merasakan hal tersebut. Komunitas esports memang punya kecenderungan mengelu-elukan dan memuja-muja jagoan atau idolanya masing-masing. Hal inilah yang memupuk arogansi ego masing-masing dengan dosis tinggi.

Kenapa saya bisa bilang arogansi jadi sebuah dampak negatif? Karena, saya kira setiap manusia punya kecenderungan untuk memilih lebih banyak berinteraksi dengan mereka-mereka yang menerima dengan tangan terbuka. Ditambah lagi, arogansi membuat kita kehilangan empati dan kian sempit melihat dunia.

Indoktrinasi Budaya Instan

Dengan pesatnya industri dan ekosistem esports di Indonesia, hal ini menyebabkan para pelaku di dalamnya terbiasa dengan budaya instan. Hal ini sebenarnya pernah dibahas di artikel yang saya tulis soal regenerasi esports namun izinkan saya menjelaskannya singkat di sini.

Ekosistem dan industri esports kita saat ini memang bisa saja meroketkan karier seseorang dengan begitu cepat. Atlet esports yang tadinya bukan siapa-siapa bisa jadi idola sejumat ‘umat’ dalam sekejap. Dibandingkan dengan atlet olahraga, menurut penjelasan Yohannes Siagian yang saat ini jadi Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD (saat kami berbincang soal regenerasi tadi), karier instan ini lebih jarang terjadi. Pasalnya, di olahraga ‘tradisional’, mereka yang ingin jadi atlet pelatnas harus melewati berbagai fase seperti mewakili sekolah, kota, ataupun provinsi.

Sayangnya, hal ini juga terjadi tak hanya untuk pro player tapi para profesional yang berkecimpung di esports. Dengan antusiasme pasar esports yang memang sedang tinggi-tingginya, tak sedikit juga banyak orang yang jadi merasa ‘ahli’ di esports padahal pengalamannya baru seumur jagung. Tak sedikit juga para pelaku esports di Indonesia sekarang ini yang hanya bermodal passion.

Sumber: Acadia Software
Sumber: Human Resource Online

Mungkin memang saya yang terlalu konservatif soal hal ini namun saya sangat percaya bahwa belajar itu mengalami. Saya juga percaya betul bahwa setiap keahlian, apapun itu bidangnya, butuh proses yang panjang, melelahkan, dan tak jarang membosankan.

Sebenarnya indoktrinasi budaya instan ini juga terjadi tak hanya karena esports tapi juga karena kemajuan industri digital dan teknologi yang kerap kali menyuguhkan gratifikasi instan.

Meski begitu, menurut saya, indoktrinasi budaya instan ini aneh karena justru bertentangan dengan apa yang coba diajarkan dari kegiatan bermain gameGame itu justru memberikan penekanan bahwa semua hal pasti butuh proses. Anda tidak mungkin tiba-tiba level 100 saat mulai bermain. Anda harus membasmi ribuan atau bahkan jutaan musuh untuk mengumpulkan EXP yang dibutuhkan untuk naik level di RPG. Anda juga harus bertahap mendaki competitive ranks di game-game multiplayer yang kompetitif.

Menjadikan Uang Sebagai Tujuan Akhir

Sumber: Every Geek
Sumber: Every Geek

“Kenapa harus terjun ke esports? Karena Anda bisa mendapatkan banyak uang dari sana…”

Mungkin itulah argumentasi yang paling sering saya temui di banyak talkshow soal esports yang belakangan juga mulai menjamur. Di luar acara-acara kampus dan sekolah, seperti di artikel, video, postingan sosmed atau apapun itu, uang jugalah yang dijadikan motivasi utama kenapa generasi muda harus terjun ke esports. Saya sendiri juga harus mengaku ‘dosa’ karena menyuguhkan argumentasi yang sama di beberapa kali kesempatan.

Tidak, saya tidak akan berargumen soal uang yang tidak bisa membeli semua hal. Saya sendiri cinta uang (wkwkwkwk) dan percaya banyak, jika tidak semua, hal bisa dibeli dengan uang. Kita bisa mempercepat proses belajar dengan uang. Kita juga bisa memperkaya pengalaman dengan membayar. Bahkan cinta pun katanya juga bisa dibeli dengan uang.

Argumentasi soal uang tadi sebenarnya wajar karena jadi jawaban paling mudah yang bisa dipahami semua orang. Namun sekarang, saya akan mencoba menawarkan argumentasi yang lebih jauh lagi.

Di sini, saya lebih berargumen bahwa yang negatif adalah menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Muasalnya, uang hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan, bukannya tujuan akhirnya itu sendiri. Lalu, apa contoh tujuan akhir yang lebih konkret kalau bukan uang? Banyak…

Ingin membelikan rumah untuk orang tua atau untuk membiayai orang tua agar bisa naik haji adalah tujuan akhir yang lebih masuk akal — meski jadinya overused untuk jadi konten… Kuliah bahkan sampai S3, beli rumah atau apartemen mewah, ataupun modal mendirikan startup sendiri adalah contoh-contoh lain dari tujuan akhir yang memang butuh uang. Bahkan menikah pun juga butuh uang, apalagi bagi yang berniat poligami ataupun poliandri — I won’t judge.

Beberapa contoh yang saya sebutkan tadi lebih positif karena hal tersebut membuat kita punya rencana yang lebih panjang dan terarah. Lagipula, sejumlah tujuan akhir tadi juga tak hanya butuh uang namun juga menuntut hal-hal lainnya untuk bisa diwujudkan.

Izinkan saya menutup bagian ini dengan sebuah analogi. Di game MOBA, kita juga harus mengumpulkan gold/uang dari creeping, jungling, atau bahkan membunuh lawan. Namun apakah tujuan akhirnya hanyalah sekadar mengumpulkan gold? Bisa dipastikan Anda akan kalah dan menanggung malu jika Anda hanya mengumpulkan gold sebanyak-banyaknya tanpa mengubahnya jadi item/equipment yang lebih pragmatis.

Seperti tadi saya sebutkan soal uang yang hanya jadi alat untuk meraih tujuan akhir, demikian juga hal ini berlaku di MOBA. Tujuan akhirnya adalah mengalahkan lawan — menghancurkan base/nexus tim musuh. Untuk sampai ke sana, selain butuh gold, juga butuh kerja sama, strategi, dan mental juara.

Ruang Sembunyi atas Kemalasan

Sumber: University of Rochester
Sumber: University of Rochester

Sebelum esports berkembang sampai ke titik ini, profesi yang bisa dikembangkan dari hobi bermain game itu memang sungguh sangat terbatas — seperti jadi jurnalis media game, game master di publisher, tukang farming gold dan item langka, atau joki level/rank.

Sekarang, dengan perkembangan esports, ada banyak sekali ruang-ruang profesional baru yang bisa dikejar oleh komunitas gamer. Sayangnya, hal ini kadang jadi alasan atau bahkan kambing hitam atas kemalasan.

Misalnya, seorang pelajar jadi melupakan atau meninggalkan kewajibannya demi bermain game dengan alasan ingin menjadi pro player. Saya juga beberapa kali menemukan judul berita seperti ini, “seorang anak mencuri uang orang tuanya demi membeli game.” Ada juga bentuk tindak kriminal lain yang lebih parah yang menjadikan game sebagai kambing hitam.

Selain itu, berhubung saya juga sudah lumayan lama bekerja di industri game dan sekitarnya (yang kebanyakan para pekerjanya memang gamer), saya juga beberapa kali menemukan para pekerja yang gagal memenuhi tanggung jawabnya karena terlalu lama/sering bermain.

Entah kenapa, saya paling tidak suka melihat yang seperti itu… Saya juga gamer dan saya bahkan tidak jarang menghabiskan waktu 2-8 jam sehari untuk bermain game (bahkan weekdays sekalipun). Tahun ini, saya bahkan menghabiskan anggaran sampai Rp30 juta agar PC saya bisa menghasilkan performa yang mulus dengan setting rata kanan saat bermain game.

Dokumentasi Pribadi
Pamer PC kesayangan boleh yak… Dokumentasi: Pribadi

Namun demikian, saya selalu mencoba untuk bisa diandalkan dari sisi profesional — yang akhirnya waktu tidur yang biasanya saya korbankan — meski memang saya sendiri juga mengaku masih punya banyak sekali kekurangan soal ini.

Lagi-lagi, kemalasan ini juga bertolak belakang dengan filosofi hidup yang coba diajarkan dari game. Kembali ke analogi MOBA, Anda harus farming lebih cepat dari yang lain jika ingin cepat kaya. Reward & punishment di game itu dijabarkan dengan gamblang dan diimplementasikan dengan lebih adil.

Bagi saya pribadi, mungkin inilah kekurangan utama hidup dibanding game. Saya tahu betul bahwa kadang orang yang lebih pintar, rajin, dan selalu berbuat baik kepada sesamanya bisa saja kalah sukses dengan yang beruntung. Meski demikian, bukan gamer juga namanya jika kita mengasihani diri, menyalahkan keadaan, dan menyerah pada tantangan.

Akhirnya

Saya di sini hanya ingin menyuguhkan pendapat saya tanpa bermaksud menggurui atau malah menghakimi. Saya hanya berharap dengan industri esports yang semakin besar, hal tersebut tidak mengingkari sejumlah pelajaran hidup yang sebenarnya bisa ditawarkan dari sebuah permainan.

Sumber Feature Image: MPL Indonesia