Evil Geniuses Diakuisisi oleh Perusahaan Investasi, PEAK6

PEAK6 adalah sebuah perusahaan investasi dan teknologi yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat. Mereka pun mengumumkan bahwa telah mengakuisisi Evil Geniuses (EG) dan menunjuk CEO baru untuk organisasi ini sebagai bagian dari kesepakatannya.

Nilai kesepakatan akuisisi organisasi ini memang tidak dibuka ke publik. Menurut The Esports Observer, tim ini pun menolak untuk mengungkap informasi lebih lanjut tentang nilai akuisisinya.

Nicole LaPointe Jameson, yang sebelumnya seorang associate untuk divisi Strategic Capital di PEAK6, akan menjadi CEO Evil Genius yang baru. Sedangkan Phillip Aram, COO EG, masih akan menjabat posisi yang sama sejak dipilih dari bulan September 2017 yang lalu.

Dikutip dari The Esports Observer, Jenny Just, Co-Founder PEAK6, sempat memberikan komentarnya tentang akuisisi ini. “Kami memang telah lama menjadi investor untuk olahraga tradisional dan kami sangat bersemangat bisa terjun langsung ke komunitas gaming kompetitif.”

Ia pun melanjutkan, “melihat industri esports yang berkembang dan berevolusi, kami memang memiliki kesamaan visi dengan EG untuk menciptakan pengalaman yang inovatif sekaligus berkesan untuk para fans dan atletnya. Kerjasama ini menguatkan misi kami untuk memimpin semangat kompetitif dan hasrat untuk merangkul pengguna melalui teknologi.”

Sebelumnya, EG sendiri dimiliki oleh Twitch, sebuah platform streaming untuk komunitas gaming; saat mereka mengakuisisi Good Game Agency di 2014. Desember 2016, Twitch pun melepas kepemilikan mereka dan memberikannya kepada para pemainnya. Kala itu, para pemainnya bahkan dipersilakan untuk memilih manajemennya sendiri.

EG memang punya banyak divisi seperti Dota 2, Rainbow Six Siege, Fortnite, Call of Duty, dan Rocket League. Namun demikian, divisi Dota 2 mereka lah yang membuat organisasi ini meroket popularitasnya. EG adalah tim yang membesarkan pemain muda berbakat Sumail Hassan. EG juga pernah jadi juara dunia di Dota 2 saat menjuarai The International 2015.

Sebelumnya, EG juga teken kontrak kerjasama dengan brand gaming peripheral, Razer.

Tren Tontonan Esports Global di 2018 dan Implikasinya dengan Industri Esports Indonesia

Jika berbicara mengenai industri esports Indonesia, pasar kita mungkin memang unik dan berbeda dari tren yang terjadi di pasar global. Beberapa waktu yang lalu, ESC mengeluarkan hasil riset mereka untuk tren tontonan esports di 2018. Mari kita bahas hasil riset mereka dan mencoba menjawab implikasinya terhadap perkembangan industri esports Indonesia.

Tanpa basa-basi lagi, mari kita bahas bersama satu persatu hasil risetnya sebelum saya mencoba menjawab implikasinya.

Turnamen Esports paling Populer

Sumber: ESC
Total durasi sebuah turnamen ditonton (dalam jam). Sumber: ESC

Dari statistik di atas, yaitu turnamen yang paling lama ditonton (dalam satuan jam), League of Legends (LoL) masih menyita waktu terbanyak dengan World Championship 2018 mereka. Di posisi kedua, ada turnamen Dota 2 paling bergengsi di dunia, TI8. Di posisi ketiga dan keempat, ada turnamen CS:GO. Posisi kelima kembali diisi oleh LoL. Sedangkan sisanya ke belakang diikuti oleh berbagai turnamen Dota 2.

Biar lebih menarik dan dapat dipahami oleh orang awam soal esports, berikut ini adalah game yang dipertandingkan dari 10 turnamen yang paling lama ditonton tadi:

  1. League of Legends (LoL)
  2. Dota 2
  3. Counter Strike: Global Offensive (CS:GO)
  4. Counter Strike: Global Offensive (CS:GO)
  5. League of Legends (LoL)
  6. Dota 2
  7. Dota 2
  8. Dota 2
  9. Dota 2 & CS:GO
  10. Dota 2
Jumlah turnamen dengan penonton terbanyak. Sumber: ESC
Jumlah turnamen dengan penonton terbanyak. Sumber: ESC

Untuk statistik turnamen dengan jumlah penonton terbanyak, hasilnya sedikit berubah karena ada single game competition, PUBG dan Fortnite, yang masuk 10 besar dan ada Asian Games 2018 yang mempertandingkan 6 game. Meski demikian, catatan untuk Asian Games 2018, ESC memasukkan turnamen tersebut ke dalam kategori LoL. Jadi, saya tidak tahu apakah hanya penonton LoL saja yang dicatat atau keseluruhannya.

Berikut ini adalah game yang dipertandingkan dari statistik kedua:

  1. LoL
  2. CS:GO
  3. Dota 2
  4. CS:GO
  5. 6 game (LoL, Arena of Valor, Clash Royale, Hearthstone, Pro Evolution Soccer, StarCraft II)
  6. LoL
  7. Fortnite
  8. PUBG
  9. Fortnite
  10. Fortnite

Dari 2 statistik tentang turnamen esports paling populer di pasar global tadi, mungkin hanya Dota 2 yang punya irisan cukup besar dengan pasar Indonesia. League of Legends sudah dihilangkan liga profesionalnya di Indonesia (LGS) tahun 2018. CS:GO juga demikian. Jika saya tidak salah ingat, hanya ada 2 turnamen berskala besar di Indonesia yang mempertandingkan CS:GO sepanjang 2018 yaitu IESPL (Tokopedia Battle of Friday) dan IEG 2018. Fortnite? Apalagi… Belum ada turnamen tatap muka (offline) berskala besar untuk game ini di Indonesia, meski di Amerika sana Fortnite sudah jadi sebuah fenomena sosial. PUBG mungkin yang masih lumayan mendekati Dota 2 jika berbicara soal popularitas esports-nya (untuk platform PC) di Indonesia. Namun, popularitas PUBG sendiri di sini malah dikalahkan oleh versi mobile-nya.

Fakta menariknya, banyak orang di Indonesia justru salah kaprah menyebutnya PUBG PC dan PUBG Mobile. Padahal, tidak ada yang namanya benar-benar PUBG PC; karena yang benar adalah PUBG (yang ada di platform Xbox One, PS4, dan PC) dan PUBG Mobile.

Esports Game Mobile yang paling Lama Ditonton

Game mobile yang esports-nya paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC
Game mobile yang esports-nya paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC

Di platform mobile, pasar global juga sepertinya berbeda jauh dengan pasar Indonesia. Arena of Valor mendominasi pasar esports global. Padahal di Indonesia sendiri, Garena punya ‘anak emas’ baru yang bernama Free Fire yang bisa menyaingi dominasi Mobile Legends di sini. PUBG Mobile juga sepertinya kalah popularitasnya di luar sana. Padahal di sini, PUBG Mobile jelas masuk 3 besar esports mobile paling populer (bersama dengan Mobile Legends dan Free Fire).

Untuk 2 game besutan Supercell, Clash Royale dan Clash of Clans, yang masuk daftar di atas memang cukup populer di Indonesia beberapa tahun silam. Namun, saya sendiri belum pernah dengar ada turnamen Clash of Clans berskala besar di 2018 di tingkat nasional. Clash Royale juga terakhir saya dengar turnamennya hanya ada di Asian Games 2018.

Statistik Organizer Turnamen yang paling Lama Ditonton

Sumber: ESC
Sumber: ESC

Dari semua organizer yang ada di statistik di atas, hanya ESL dan Garena yang ada di Indonesia. Garena sendiri juga sebenarnya, menurut saya, tidak bisa dimasukkan sebagai organizer. Pasalnya, sepengetahuan saya, pendapatan terbesar mereka justru dari peran mereka sebagai publisher game, bukan organizer layaknya ESL.

Di Indonesia sendiri, organizer esports yang mungkin turnamennya paling banyak ditonton adalah yang besutan RevivalTV dan Mineski Event Team.

ESL sendiri di Indonesia memang baru mulai. Jadi, baru di 2019 ini nanti kita bisa melihat apakah mereka juga akan mendominasi pasar Indonesia dan mengalahkan RevivalTV dan MET. Selain melihat perkembangan ESL di sini, menarik juga untuk cari tahu apakah organizer esports yang biasa menggarap turnamen internasional di daftar di atas (seperti PGL, MLG, OGN, ELEAGUE, dkk.) akan tertarik untuk menggarap pasar Indonesia.

Implikasinya dengan Industri Esports Indonesia

Tim esports yang paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC
Tim esports yang paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC

Sebenarnya masih ada beberapa data lain yang dibuka oleh ESC di sana seperti tim esports yang paling banyak ditonton dan yang lainnya. Namun data-data yang saya sadur kali ini adalah yang ingin saya analisa untuk melihat implikasinya dengan industri esports Indonesia.

Mari kita bahas bersama.

1. Industri Esports Indonesia dalam ‘Bubble’

Berhubung kebanyakan EO (Event Organizer) besar dan sponsor esports di Indonesia hanya memilih untuk menggarap apa yang sedang ramai di pasar lokal, trennya akan terus seperti ini; tidak alligned / sejalan dengan pasar global.

Saya pribadi menilai hal ini tak sepenuhnya negatif juga sebenarnya. Positifnya, game-game yang kesulitan mencari popularitas di pasar global bisa menggarap pasar Indonesia yang punya volume besar. Bagaimanapun juga, Indonesia adalah negara keempat dengan populasi terbanyak (di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat).

Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Contoh yang paling mudah adalah Mobile Legends. Dari 2017, Moonton sudah cukup banyak mengalokasikan dana untuk menggarap esports Indonesia. Diakui atau tidak, faktanya, Moonton adalah salah satu faktor besar dari kebangkitan esports di tanah air. Free Fire juga dapat mengikuti jejaknya di tahun 2019 ini. Bagaimana dengan PUBG Mobile? PUBGM punya keunikan sendiri yang akan saya bahas di bagian berikutnya.

Sayangnya, menurut saya, tren yang tidak sejalan tadi juga punya dampak negatif. Dampak negatifnya adalah industri esports Indonesia akan jadi lebih sulit mendapatkan investasi / perputaran uang dari para sponsor yang mengincar pasar global. Maksud saya seperti ini, brand internasional biasanya punya anggaran pemasaran dan penjenamaan (marketing dan branding) untuk pasar global yang jumlahnya amit-amit besarnya. Namun, karena tren esports kita berbeda dari pasar global, anggaran besar tadi mungkin tidak akan masuk ke Indonesia.

Misalnya saja Intel. Intel adalah salah satu brand terbesar di industri teknologi. Mereka juga punya event esports berskala internasional yang bernama Intel Extreme Master (IEM). Namun, IEM sendiri biasanya lebih dikenal sebagai turnamen Major untuk CS:GO. Berhubung popularitas CS:GO di Indonesia semakin menurun, kecil sekali kemungkinannya IEM akan ada di Indonesia.

Selain itu, sejumlah brand internasional juga sebenarnya sudah menjadi sponsor esports di Indonesia (baik itu tim ataupun turnamen). Namun anggaran yang dipakai untuk itu adalah anggaran untuk pasar lokal, yang jumlahnya pasti jauh lebih kecil dibanding untuk pasar global.

IEM Katowice 2019. Sumber: ESL
IEM Katowice 2019. Sumber: ESL

Sebelum salah kaprah, saya tidak menihilkan adanya sejumlah faktor lain juga yang berpengaruh terhadap masuknya anggaran pasar global ke industri esports Indonesia. Namun, menurut saya, tren esports kita yang berbeda ini juga ikut berpengaruh.

Di sisi lain, tren yang berbeda ini tetap ada sisi positifnya jika masih berbicara soal sponsor. Merek-merek atau perusahaan lokal jadi punya peluang untuk mengeluarkan investasi di industri esports Indonesia. Kenapa?

Andaikan saja seperti ini, jika ada satu turnamen besar berskala internasional di Indonesia yang mampu menarik anggaran global tadi, saya kira tidak banyak perusahaan nasional yang bisa atau berani menandingi angka investasi itu.

Namun demikian, hal ini juga berarti industri esports Indonesia akan kesulitan untuk scaling ke angka yang masif layaknya industri esports Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, ataupun Tiongkok.

2. Masa Depan Pro Player Indonesia

Kevin Susanto saat bertanding di IEM Sydney. Sumber: ESL
Kevin Susanto saat bertanding di IEM Sydney. Sumber: ESL

Selain skala industri esports Indonesia yang sulit ke tingkat internasional, hal yang sama akan terjadi untuk para pemain kita – setidaknya untuk game-game tertentu.

Jika sebagian besar pelaku industri esports kita masih pada pendiriannya untuk menggarap apa yang ramai di Indonesia dan tidak berani mencoba hal yang berbeda, masa depan para pemain kita juga akan memiliki batasan yang rendah. Karena itulah, buat para pemain Indonesia yang ingin menggeluti game-game kurang laris di sini, jalan terbaik menuju panggung internasional adalah dengan cara meninggalkan Indonesia.

Contoh soal ini juga sudah terlihat jelas dengan melihat 3 pemain kita yang saat ini bermain untuk tim luar negeri. Adalah Kevin ‘xccurate’ Susanto dan Hansel ‘BnTeT’ Ferdinand yang saat ini bermain untuk tim CS:GO Tiongkok, TYLOO. Satu lagi pemain kita yang bermain untuk tim luar negeri adalah Kenny ‘Xepher’ Deo yang bermain untuk (TNC) Tigers. Ketiga pemain tersebut masa depannya jauh lebih cerah ketimbang para pemain lokal game-game tertentu yang mungkin masih bertahan bermain di Indonesia.

Solusi ini sebenarnya juga sudah dilakukan oleh para pemain di negara-negara yang game-nya tak laris di sana. Salah satu contoh pemain yang saya ingat di luar kepala adalah Damien ‘kpii’ Chok. Damien adalah pemain Dota 2 asal Australia yang mengadu nasib keluar dari negaranya karena scene Dota di sana memang tak berkembang maksimal.

Jadi, saya tahu saran ini mungkin terdengar pesimistis, namun jika Anda ingin bermain secara profesional di game-game tertentu, masa depan Anda akan lebih cerah jika Anda punya target dan keberanian untuk keluar dari Indonesia.

Buat tim yang sudah jadi pun, cara ini juga bisa jadi solusi yang masuk akal. Misalnya saja untuk tim Dota 2 dari BOOM ID ataupun EVOS Esports. Kedua tim ini bisa dipindah basecamp-nya ke luar negeri untuk mencoba peruntungan dan masa depan yang lebih cerah. Jika Eropa ataupun Amerika Serikat terlalu mahal biayanya, ada Tiongkok, Singapura, ataupun Filipina yang bisa jadi alternatif lokasi basecamp baru.

Kenapa hal ini masuk akal? Karena faktanya, jika kita berbicara soal ajang kompetitif, skill kita juga ditentukan oleh siapa saja lawan yang biasa kita hadapi. Selain itu, dengan memindahkan basecamp ke sana, tak hanya para pemain yang bisa mendapatkan pengalaman berharga, manajemen tim juga memiliki peluang untuk menggaet sponsor baru ataupun talenta-talenta baru yang mungkin tak tersedia di Indonesia.

Mungkin, satu-satunya halangan terbesar hanyalah soal biaya yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup di sana. Namun, jika menghitung peluang yang mungkin didapat, saya kira ongkosnya cukup sepadan untuk dibayarkan.

3. Tren Esports Internasional Baru yang Berawal dari Indonesia

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile

Terakhir, sebelum artikel ini jadi terlalu panjang. Saya kira ada peluang positif besar dengan tren esports Indonesia yang berbeda jauh dengan tren global. Peluang tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat tren baru untuk tingkat global.

Namun demikian, hal ini memang sangat sulit dilakukan karena hanya ada beberapa pelaku yang mungkin punya kapasitas dan modal untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat baru tren esports internasional. Point Blank sebenarnya dulu memiliki momentum ini ketika mereka jadi game terlaris di Indonesia. Namun, skala nasional dan internasional itu jelas berbeda tingkat kesulitannya (dan modalnya).

Di aspek inilah saya kira PUBG Mobile punya posisi unik. Menurut data dari ESC di atas tadi, PUBG Mobile memang masih belum mendominasi untuk esports di platform mobile di tingkat internasional. Namun di Indonesia, game ini bisa dibilang sebagai 1 dari 3 yang terlaris. Dari 3 esports mobile terlaris di Indonesia, mungkin memang hanya PUBG Mobile yang punya peluang terbesar untuk mendominasi tren esports global. Pasalnya, bukan bermaksud meremehkan Moonton (Mobile Legends) dan Garena (Free Fire), Tencent memang jelas sudah berbeda kelas dari kapasitasnya sebagai pelaku industri game raksasa di kelas internasional.

Meski demikian, punya kemampuan itu juga bukan berarti punya kemauan… Apakah menjadikan Indonesia sebagai pusat esports PUBG Mobile dunia ada di agenda mereka? Saya tidak tahu…

Kemauan dan agenda publisher tadi juga bukan satu-satunya faktor untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat tren esports baru di tingkat internasional. Satu lagi faktor besar dalam ekosistem yang dibutuhkan adalah EO yang mampu menggarap turnamen-turnamen kelas internasional dan menjangkau pasar global.

Menurut saya, setidaknya ada 3 hal yang wajib yang harus dilakukan untuk menjangkau pasar internasional. Hal pertama adalah adanya shoutcaster berbahasa Inggris di setiap event. Kedua, publikasi di media ataupun sosial media yang juga berbahasa Inggris tentang event tersebut. Ketiga, jaringan yang kuat dari EO ataupun publisher game tersebut dengan ekosistem esports internasional.

Di Indonesia sendiri, saya kira saat ini sudah ada 2 EO yang punya peluang untuk ke sana; yaitu Mineski Event Team dan ESL. Namun kembali lagi pertanyaannya, apakah mereka mau?

Penutup

Akhirnya, mungkin memang hanya saya sendiri yang tak puas melihat perkembangan industri esports Indonesia jika hanya sebatas pada kelas nasional. Namun, jika boleh jujur, saya sungguh percaya bahwa kita mampu turut berpengaruh dalam perkembangan esports dunia.

Saya percaya orang-orang kita, baik itu dari sisi pro player ataupun para profesional di industrinya, punya kapasitas untuk turut meramaikan pasar global. Hanya saja, saya kira masalahnya ada di mindset dan ambisinya. Apakah kita akan puas dan berbangga diri melihat pencapaian industri esports Indonesia yang hanya besar di tingkat lokal? Atau apakah kita mau berusaha dan berjuang lebih keras untuk menantang dunia?

Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi

Di balik hingar bingarnya teriakan para pendukung fanatik, gemerlap lampu panggung, serta ratusan juta atau bahkan miliaran Rupiah total hadiah dan anggaran event; buat yang peduli dengan ekosistem esports, ada sebuah kegetiran yang harus dihadapi. Perkara regenerasi para pemain profesional di esports menjadi sebuah kekhawatiran nyata yang harus dicoba diselesaikan bersama.

Imbas dari impotensi regenerasi tadi tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Sejarah bulu tangkis Indonesia jadi catatan perjalanan salah satu efek buruk tadi. Dulu, kita punya Rudi Hartono yang pernah menang 7 kali kejuaraan All-England berturut-turut. Ada juga Susi Susanti, sang srikandi yang legendanya bisa jadi abadi. Sekarang…?

Selain itu, sebaliknya, regenerasi yang baik juga bisa jadi langkah progresif untuk mengukir prestasi. Ekosistem sepak bola kita yang mungkin bisa dibilang lebih baik dalam hal regenerasi (setidaknya dibanding bulu tangkis tadi) berhasil mencetak pemain-pemain muda baru berbakat. Terbukti, timnas sepak bola U19 dan U23 Indonesia justru bisa meraih prestasi yang sedikit lebih baik ketimbang para seniornya.

Regenerasi yang ideal di esports Indonesia juga saya percaya bisa menghantarkan prestasi tanah air kita ke arah yang lebih cerah.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport

Meski begitu, mungkin memang ada yang tak percaya bahwa ekosistem esports Indonesia punya kekhawatiran soal regenerasi tadi atau bahkan mungkin merasa masalah itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Untuk itulah, saya mengajak berbincang Yohannes P. Siagian yang merupakan Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. Bersamanya, kita akan mencoba mengupas tentang permasalahan regenerasi, dari abstraksi sampai solusi.

Sebelumnya, mungkin saya perlu menyebutkan singkat pengalaman beliau sebagai sebuah justifikasi pilihan saya menjadikannya narasumber soal ini. Awalnya, ia diberi mandat untuk menjadi Kepala Pengembangan untuk Program Olahraga di SMA 1 PSKD. Seiring waktu, Joey (panggilannya) pun naik ‘kasta’ jadi Kepala Sekolah di SMA yang sama. Sampai artikel ini ditulis, ia sudah mengantongi jam terbang sepuluh tahun sebagai kepala sekolah. 3-4 tahun terakhir, ia juga menjabat sebagai Head of Esports Program di sekolah tadi. Sekarang (saat wawancara kami), ia juga memegang peran ganda sebagai Vice President untuk salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia, EVOS Esports. Di bulan Mei 2019, ia akan mundur dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah untuk full-time di EVOS.

Ekosistem Esports Indonesia yang Terlalu Cepat Matang

Yohannes setuju dengan saya bahwa memang ada sebuah problematika soal regenerasi pemain. Dari pengalamannya sendiri, ia melihat ada 2 permasalahan regenerasi pemain. Pertama, memang ada beberapa game yang kesulitan cari talenta baru. Namun di sisi lain, ada beberapa game yang kesulitan cari pemain baru dengan mentalitas yang benar.

“Untuk game mobile, ada banyak talent baru tapi masalahnya udah ada di mentalitasnya. Di level pro pun ada kendala. Di cabang lain, Dota 2 misalnya, hampir tidak kelihatan. Kalaupun ada, sangat susah untuk mencarinya.” Jelas Kepala Sekolah pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, Perancis ini.

Jika kita berkaca dari industri pada umumnya, atau kerja kantoran istilah pintarnya, jenjang karier itu sudah cukup sistematis. Kemungkinan besar, mereka-mereka yang baru lulus tidak akan serta merta jadi manajer atau direktur. Mereka harus berangkat dulu dari posisi bawah untuk mengumpulkan jam terbang sebelum naik ‘kelas’. Saya kira inilah salah satu penyebab kenapa ada masalah regenerasi di ekosistem esports kita saat ini.

Joey pun mengatakan yang serupa. Lebih lanjut menjelaskan, menurutnya, masalahnya esports itu di Indonesia terlalu cepet matang atau ibarat matangnya dikarbit. Ia pun membandingkannya dengan olahraga tradisional. Di sepak bola atau basket, para pemain harus menjalani ratusan jam latihan dan bertanding di level junior. Mereka harus bertanding dulu atas nama sekolah, daerah, dan jenjang lainnya sebelum ke tingkat pro.

“Di esports, ini memang tidak ada. Talent muncul ada langsung loncat ke tim pro atau mengincar pro. Ujung-ujungnya para pemain yang sampai level atas ini, mereka belum siap.” Padahal, ada banyak masalah yang sebenarnya dapat dengan mudah terselesaikan otomatis hanya dengan jam terbang ribuan jam seperti disiplin diri dan mentalitas daya juang.

Lebih lanjut Joey menjelaskan bahwa, menurutnya, level permainan di semifinal ataupun final (offline) nya justru malah lebih rendah di bawah level permainan di babak penyisihan yang online. Hal ini disebabkan karena demam panggung ditonton 10 ribu orang yang meneriakkan nama mereka. Esports Indonesia sendiri memang besar sekali seperti sebuah pohon yang daunnya sudah lebat. Namun sayangnya, pohon itu tadi belum ada batang ataupun akarnya. Hal ini akan membuat pohon itu ambruk ketika hujan badai.

Walaupun demikian, Joey juga menambahkan bahwa hal ini memang wajar karena kebanyakan orang memang hanya melihat rimbunnya sebuah pohon. Lebih banyak orang melihat apa yang ada di permukaan, apa yang menyilaukan dari sebuah industri. Meski faktanya, industri tanpa fondasi yang kuat adalah ekosistem yang berbahaya.

Selain absennya konsentrasi terhadap fondasi industri esports, permasalahan regenerasi ini juga disebabkan oleh beberapa unsur intrinsik ataupun ekstrinsik game-nya itu sendiri.

Maksud saya seperti ini, MOBA di PC (Dota 2 dan LoL) punya learning curve yang cukup terjal. Saya sendiri masih ingat betul saat awal-awal belajar bermain DotA, saya harus menghabiskan waktu 3 bulan untuk belajar Last-Hit. Dari waktu 3 bulan itu pun, kesuksesan Last Hit saya juga baru 60% per Creep Wave. Demikian juga saat saya belajar bermain LoL di penghujung tahun 2009. Kala itu, saya harus belajar Warding, baik soal lokasi ataupun timing-nya.

MOBA di mobile, baik itu MLBB ataupun AoV misalnya, memang lebih sederhana dari segi gameplay karena ada banyak aspek yang dihilangkan atau disederhanakan seperti aspek Warding dan Last Hit tadi. Hal ini tentu saja akan membuatnya lebih ramah untuk para pemain pemula. Belum lagi, perangkat ponsel yang digunakan untuk bermain juga lebih terjangkau harganya. Atau setidaknya, ponsel sekarang jadi layar pertama kebanyakan orang. Berbeda seperti desktop ataupun laptop yang mungkin lebih mahal dan belum tentu jadi kebutuhan setiap generasi muda.

Teorinya, hal ini menarik karena para pemain pemula bisa belajar dulu di MOBA mobile sebelum beranjak ke PC. Learning curve yang curam bisa diperlandai dengan masuk ke MOBA mobile. Saat para pemula tadi ingin mencari tantangan lebih, mereka bisa migrasi ke MOBA PC tanpa harus memulai belajar konsep dasar permainan dan strateginya.

Namun menurut Joey, itu tadi memang teori yang menarik untuk mengatasi masalah regenerasi. Namun, pada prakteknya, hal ini tak bisa berjalan karena exposure dan benefit yang ditawarkan oleh esports MOBA mobile jauh lebih besar. Joey pun mencontohkan seperti ini: katakanlah ada salah seorang pemain MOBA mobile yang ingin mencari tantangan lebih dan ia pun tertarik untuk mencoba MOBA PC. Sayangnya, ketika mereka menanyakan soal benefit (misalnya gaji) ataupun popularitas, MOBA di PC sayangnya memang berada di bawah MOBA mobile di 2 aspek tadi saat ini di Indonesia.

Karena itulah, teori tadi hanya dapat berlaku untuk para pemain yang benar-benar mencari tantangan tanpa memedulikan keuntungan materi ataupun popularitas.

Sumber: Rainmakrr
Sumber: Rainmakrr

Kebutuhan untuk Pemikiran Dewasa demi Kemaslahatan Bersama

Selain barrier (baik dari segi gameplay ataupun perangkat) dan jenjang amatir (ataupun semi-amatir) yang masih absen, ada 2 hal lagi menurut Joey yang menjadi penyebab impotensi regenerasi esports di Indonesia.

Pertama, hal ini terkait dengan paradigma kalangan mainstream tentang esports sendiri yang masih negatif. Hal tersebut menjadi penghalang sosial bagi para dewasa muda yang ingin serius bergabung ke organisasi. Namun demikian, menurut Joey, hal ini sebenarnya sudah mulai berjalan solusinya dengan pengakuan pemerintah yang menggelar Piala Presiden dan yang lain serta kehadiran mereka di berbagai kompetisi.

Faktor kedua yang menjadi penghambat regenerasi esports menurut Joey adalah ekosistem esports nya itu sendiri. Saat ini, memang sudah banyak yang investasi ke esports namun sebagian besar (jika tidak mau dibilang semuanya) masih berupa investasi jangka pendek. Misalnya saja, hal yang ia rasakan sendiri sebagai kepala sekolah adalah masih lebih banyak yang tertarik untuk sponsori klub esports ketimbang sekolahan karena eksposure yang ditawarkan. Padahal, sekolah sebenarnya bisa jadi penyalur dan pencari bakat sebelum bisa dilempar ke klub.

Buat para pembaca setia Hybrid, Anda juga pasti pernah membaca soal investasi besar yang hanya untuk game-game yang itu-itu saja. Masih banyak genre yang termarginalkan seperti esports fighting (Tekken dan Street Fighter), olahraga (FIFA dan PES), FPS (Rainbow Six: Siege, Overwatch, dkk.), ataupun yang lainnya.

Di sisi warnet sendiri juga demikian. Warnet sendiri sebenarnya dapat menjadi faktor pendukung esports. Sayangnya, warnet-warnet besar yang cukup mumpuni dan nyaman, seperti Highground, warnet TNC, ataupun Mineski Infinity, juga tak tersebar merata. Bahkan di Jakarta sekalipun, sulit rasanya menyebutkan warnet-warnet kelas atas di wilayah Jakarta Pusat, Selatan, ataupun Timur. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah luar Jakarta. Ada beberapa daerah yang memang punya warnet yang bahkan bersertifikasi NVIDIA iCafe Platinum namun ada kota-kota yang bahkan tak punya warnet berkelas satu pun.

Implementasi Solusi atas Permasalahan Regenerasi

Setelah kita berbicara panjang lebar soal berbagai penyebab problematika regenerasi, bagaimana solusi yang bisa kita coba bersama-sama sebagai sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai elemen seperti sponsor, EO, tim esports, ataupun yang lainnya?

Menurut Yohannes, yang bisa dilakukan oleh para pemilik kepentingan adalah mulai mencoba investasi ke level bawah. Mereka harus mulai berpikir bagaimana membuat project yang tak hanya menguntungkan diri sendiri tapi juga untuk kepentingan bersama. Para pemilik kepentingan ini harus benar-benar peduli dengan masa depan jangka panjang industri dan ekosistem esports Indonesia.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Atau, opsi lainnya adalah berharap pada dukungan pemerintah. Jika dukungan pemerintah ini tak hanya menjelang pemilu dan mereka bisa satu ‘halaman’ untuk seluruh Indonesia, bukan tidak mungkin, mereka bisa mematangkan ekosistem esports dalam hitungan bulan.

Walau demikian, terlalu berharap pada pemerintah untuk menyelesaikan semua permasalahan kita sebenarnya terlalu naif juga, jika tak mau dibilang hiperbolis. Apalagi, berkaca pada saudara kita sesama industri kreatif – musik – masih ada beberapa kebijakan yang mungkin patut dipertanyakan atau malah diragukan dampak positifnya (khususnya yang baru-baru ini).

Akhirnya, sebelum tulisan ini jadi skripsi 500 halaman, saya dan Joey setuju bahwa memang dibutuhkan para pelaku dan konsumen esports yang berpikiran dewasa – yang benar-benar peduli dengan kemaslahatan jangka panjang seperti mulai mencari dan implementasi solusi tentang regenerasi.

Semoga saja, hal ini tak hanya berakhir jadi wacana semata…

Esports dan Dukungan Pemerintah, Wacana Sesaat atau Program Jangka Panjang?

Belakangan, esports sedang mendapat sorotan dari pihak pemeritah. Berbagai lembaga pemerintahan membuat event esports di Indonesia. Beberapa badan pemerintahan tersebut adalah Kementrian Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia (FORMI), juga Kementrian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO).

Badan pemerintahan tersebut langsung menyambut para gamers dengan 3 turnamen esports sekaligus. Ada Piala Presiden, Youth National Esports Championship, dan IEC University Series 2019. Lalu apakah dengan campur tangan pemerintah seperti ini, masa depan esports di Indonesia jadi lebih cerah? Penasaran dengan topik ini, kami pun berdiskusi dengan salah satu sosok yang sudah cukup lama malang melintang di dunia esport Indonesia, Gisma “Melon” Priayudha.

Gisma "Melon" (Kanan) shoutcaster kondang yang terkenal oleh komunitas sebagai "peternak lele". Sumber:
Gisma “Melon” (Kanan) shoutcaster Dota kondang yang terkenal di kalangan komunitas sebagai “peternak lele”. Sumber: Melondotos

Pertama-tama mungkin adalah soal Piala Presiden yang menjadi perdebatan di komunitas gamers Indonesia gara-gara game yang dipilih. Bicara soal hal tersebut, Melon cukup kalem menanggapinya. “Sebenarnya bukan hal baru game disentuh-sentuh politik. Soal ML (Mobile Legends) yang jadi sorotan, ya nggak heran juga. Memang gamenya lagi populer banget, jadi sudah sepantasnya”.

Sampai di titik ini, pertanyaan yang sesungguhnya pun muncul. Apakah dukungan pemerintah yang bertubi-tubi seperti ini akan membuat esports melaju pesat ke depan? Melon mengatakan bahwa konsistensi dukungan lebih penting daripada bertubi-tubi tapi cuma satu saat. “Udah kenyang deh sama yang kaya ginian, makanya gue gak terlalu masalah walau tahun ini game-nya bukan Dota. Tapi harapannya cuma satu, kalau pemilihan sudah selesai dukungan terhadap esports jangan cuma wacana aja.” Jawab Melon.

Esports dan politik di Indonesia sudah berkali-kali saling interaksi, sejauh yang saya tahu semuanya dimulai pada tahun 2017. Zaman itu adalah zaman Pilkada DKI, ketika paslon Ahok Djarot mencoba meraup perhatian anak muda dengan gelaran Ahok Djarot Dota 2 Invitational. “Pas zaman Ahok Djarot itu katanya mau bikin akademi Dota, tapi berujung cuma wacana. Sejauh yang gue pantau, belum ada lembaga pemerintahan atau politik yang serius menyokong esports. Ujung-ujungnya cuma wacana.” Cerita Melon yang berawal dari seorang shoutcaster kepada Hybrid.

Dokumentas: Hybrid - Novarurozaq Nur
IEL, salah satu event esports yang digagas badan pemerintah KOI, IESPA, dan KEMENPORA. Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur

Jadi, bila program seperti ini cuma jalan satu kali, mungkin percepatan pertumbuhan ekosistem esports di Indonesia tak akan berubah. Tapi bukan berarti esports Indonesia jadi mundur tanpa dukungan pemerintah. Selama ini juga ekosistem esports Indonesia juga sehat-sehat saja, bahkan melaju pesat tanpa ada dukungan dana dari pemerintah. Namun, menurut saya pribadi, pertumbuhannya bisa jadi lebih pesat jika negara juga turut investasi dalam industri ini.

Terkait hal ini Melon juga turut memberikan komentar yang cukup lugas “pokoknya yang dekat-dekat ini semoga lancar, semoga semua program esports ini nggak cuma wacana doang. Kalau ini semua program ini bisa konsisten dampaknya pasti jadi asik, gamer indonesia bisa makan kenyang. Kalau kata Jess (JessNoLimit), uang dulu baru kita main game jadi enak” jawab Melon sembari bercanda.

Memang apapun yang terjadi, tujuan ekosistem esports adalah untuk memberi ruang bagi para generasi baru, agar mereka bisa menjadikan hobi bermain game sebagai pekerjaan. Jadi apapun dukungannya, entah dari pihak swasta ataupun pihak pemerintah, intinya semua ini soal bisnis: tujuan dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar kita sebagai manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan.

Ambil contoh Mobile Legends, yang berhasil menjadi besar secara mandiri tanpa banyak campur tangan pemerintah.
Ambil contoh Mobile Legends, yang berhasil menjadi besar secara mandiri tanpa banyak campur tangan pemerintah. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Namun soal dukungan pemerintah, hal yang patut kita apresiasi sebenarnya bukan hanya dari soal dukungan berupa suntikan dana, melainkan soal dukungan moril. Dukungan moril pemerintah ini maksudnya memberi semacam “legitimasi” terhadap esports.

Maksud “legitimasi” adalah memberi anggapan bahwa esports kini sudah “didukung pemerintah” sehingga tingkat kepercayaan para sponsor terhadap industri jadi ini lebih mengingkat. Kehadiran sosok-sosok kepemerintahan dalam gelaran esports juga membuat industri ini jadi lebih disorot oleh media mainstream, sehingga khalayak umum kini juga turut mengenal fenomena baru ini.

Satu hal yang pasti kita tidak bisa atau bahkan tidak perlu bergantung kepada pemerintah. Selama ini, motor penggerak industri esports adalah bisnis swasta yang ada dalam ekosistemnya. Jika kita berkaca dari negara yang punya ekosistem esports matang seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Tiongkok, mereka berkembang dan matang karena peran swasta. Bagaimana dengan pemerintah? Fokus pemerintah biasanya adalah membuat regulasi yang tujuannya agar ekosistem tetap terjaga dan dapat berkembang dengan sehat.

Datangnya PSG ke Indonesia bisa jadi bagus bisa jadi buruk, apalagi kalau tak ada regulasi pemerintah untuk lindungi entitas bisnis esports lokal.
Datangnya PSG ke Indonesia bisa jadi bagus. Tapi bisa jadi buruk, terutama bila tak ada regulasi pemerintah yang berguna untuk lindungi entitas serta pekerja ekosistem esports lokal. Dokumentasi Hybrid

Apalagi jika melihat rentetan investasi luar negeri terhadap industri esports di Indonesia. Kebutuhan akan regulasi dan perundangan yang baik justru semakin dibutuhkan kehadirannya agar industri ini bisa lebih sustainable. Jangan seperti RUU musik yang jelas-jelas konyol dan tak berpihak pada keberlangsungan sebuah industri dan orang-orang di dalamnya.

Pemerintah Tiongkok Akui Esports Sebagai Profesi Resmi

Tanggal 25 Januari 2019, Kementrian Tenaga Kerja dan Perlindungan Sosial Tiongkok (Ministry of Human Resources and Social Security – CMHRSS) memberikan pengumuman resmi yang menyatakan bahwa esports professional dan esports operator akan diakui sebagai 2 profesi baru, bersama dengan 13 profesi lainnya seperti A.I engineer, big data engineer, dan drone pilot.

Menurut laman resminya, CMHRSS sendiri merupakan kementrian yang bertugas untuk membuat kebijakan dan perundang-undangan tenaga kerja di Tiongkok sana yang bertugas memberikan dukungan kepada industri dan perusahaan yang intensif dalam hal sumber daya manusia agar mampu memberikan lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Kabar tentang 2 profesi esports baru tadi sebenarnya cukup mengejutkan karena, sebelumnya, hubungan antara pemerintah dan industri game secara umum di sana tidak terlalu kondusif. Pemerintah di sana sebelumnya mengkaji 20 judul game dan menolak 9 judul karena dianggap tidak memiliki konten yang layak. Sedangkan 11 judul game lainnya diharuskan untuk digarap ulang agar menghilangkan hal-hal yang dianggap berbahaya bagi moral.

Sumber: CMHRSS
Sumber: CMHRSS

Di sisi lainnya, Kementrian Kesehatan Tiongkok juga sebelumnya menyatakan bahwa game dapat berakibat buruk bagi kesehatan mata. Karena itulah, pemerintah sana juga menahan ijin perilisan game sejak Maret 2018; meski di Desember 2018 ada 80 game yang akhirnya disetujui dirilis. Menariknya lagi, dari 80 game tersebut, tidak ada satupun game rilisan Tencent yang bisa dibilang sebagai publisher game terbesar di dunia dan salah satu penggerak esports terbesar dari Tiongkok.

Meski demikian, hubungan antara pemerintah sana dan esports sepertinya mulai membaik. Muasalnya, pemerintah Shanghai memulai pendaftaran untuk program bagi atlet esports di Desember 2018 lalu.

Kembali ke 2 profesi esports yang baru saja diakui, menurut CMHRSS, esports operator adalah orang-orang yang mengorganisir turnamen esports dan hasil kontennya. Sedangkan esports profesional mengacu kepada para pemain esports profesional yang berkompetisi di turnamen, tampil di event esports, ataupun yang bertanding dan berlatih melawan pemain profesional lainnya.

Sumber: Valve via Flickr
Sumber: Valve via Flickr

Lucunya, salah satu pekerjaan utama dari esports professional itu tadi termasuk account boosting atau, bahasa kerennya, jasa joki. Buat yang belum familiar dengan istilah tersebut, jasa joki mengacu pada layanan yang diberikan oleh pemain untuk meningkatkan rank pemain lainnya dengan bayaran tertentu. Padahal, jasa joki ini sebenarnya dilarang oleh sejumlah publishers ataupun organizers seperti Riot Games (LoL), EA (FIFA), dan beberapa yang lainnya.

Bagaimana kelanjutannya dari perkembangan industri dan ekosistem esports di Tiongkok sana nantinya? Lalu, kapan ya kira-kira profesi industri game di Indonesia bakal diakui pemerintah?

AT&T Jalin Kerjasama Tahunan Dengan NBA, Termasuk 2K League

Belakangan esports genre sports memang sedang jadi sorotan para sponsor, terutama di industri esports barat sana. Alasannya mungkin cukup sederhana, genre ini bisa ditonton berbagai demografi usia, juga mudah dimengerti oleh orang awam. Kalau kemarin ada FIFA yang kerjasama dengan ELEAGUE, kali ini ada kerjasama lain yang terjalin dari game olahraga bola basket.

Kerjasama ini sebenarnya terjadi antara liga bola basket profesional Amerika Serikat, NBA, dengan penyedia layanan telekomunikasi, AT&T. Namun kerjasama ini ternyata tidak berhenti kepada liga bola basket NBA saja, namun juga pada liga esports bola basket, NBA 2K League atau yang juga disebut 2K League.

Sumber
Sumber: Flurry Sports

Tahun lalu, NBA 2K League sudah berjalan selama satu musim mulai dari bulan Mei 2018. Kompetisi tersebut mempertandingkan 17 tim yang pada akhirnya memunculkan tim New York City sebagai pemenang. Tahun ini NBA 2K League akan kembali berlangsung dengan penambahan jumlah tim menjadi 21. Seperti tahun lalu, musim kompetisi NBA 2K League 2019 dimulai pada bulan Mei nanti.

Liga esports dari game NBA 2K ini sebenarnya cukup menarik. Karena diselenggarakan atas kerjasama NBA dengan sang pengembang game, Take-Two Interactive, jadinya tim peserta liga ini juga adalah tim yang masuk dalam franchise liga bola basket NBA. Jadi kalau menonton 2K League, Anda bisa melihat nama-nama besar seperti LA Lakers, Miami Heat, atau Golden State Warriors, namun dengan branding yang berbeda.

Walau baru berjalan selama satu musim, kompetisi ini terbilang berjalan dengan cukup sukses. Secara bisnis, mereka berhasil mengamankan berbagai sponsor dari brand endemik seperti HyperX, Scuf Gaming, Intel, Alienware, dan juga kerjasama dengan Twitch untuk menjadi official live streaming partner. Jumlah penonton liga ini juga cukup lumayan, walau meski jumlahnya memang belum sebesar seperti kompetisi MOBA.

Sumber:
Sumber: Yahoo! Sports

Mengutip dari Esports Watch jumlah penonton terbanyak dari NBA 2K League ini baru mencapai 28.850 penonton secara bersamaan. Jumlah ini memang tak besar namun cukup wajar, mengingat NBA 2K League baru berjalan selama satu musim. Jika harus dibandingkan, jumlah ini terpaut cukup jauh jika dibandingkan dengan Dota 2 Chongqing Major yang memiliki jumlah penonton terbanyak mencapai 503.727 penonton secara bersamaan.

NBA 2K League juga menawarkan konsep permainan yang unik. Kalau game olahraga FIFA biasanya mengandalkan satu orang pemain untuk memainkan satu tim sepakbola. NBA 2K League malah membuat game olahraga jadi seperti MOBA. Format pertandingan 2K League adalah 5v5, yang mana setiap pemain mengendalikan pebasket virtual mereka sendiri. Alhasil jika ingin menang, sang atlet esports NBA 2K League ini juga harus mengerti dasar-dasar formasi, strategi, dan pergerakan pemain di dalam bola basket.

Electronic Arts Kerjasama Dengan ELEAGUE Untuk Kompetisi FIFA 19

ELEAGUE, salah satu penyelenggara kompetisi esports yang terkenal berkat kompetisi CS:GO, umumkan akan selenggarakan kompetisi FIFA 19. Hal ini dilakukan ELEAGUE setelah kerjasama antara mereka dengan sang pengembang FIFA 19, Electronic Arts, akhirnya resmi terjalin.

Bentuk kerjasama antar keduanya adalah penyelenggaraan serta penayangan kompetisi FIFA 19 oleh ELEAGUE, termasuk kompetisi FIFA 19 Global Series (salah satu kompetisi kelas Major dari game FIFA 19). Selain itu karena kepemilikan Turner (konglomerasi media di Amerika Serikat) terhadap ELEAGUE, maka kerjasama ini juga menawarkan integrasi unik antara FIFA 19 dengan kompetisi sepakbola itu sendiri serta kesempatan untuk menayangkan esports di jaringan televisi TBS.

Sumber: Esports Observer
Esports FIFA 19, menjadi salah satu game yang banyak dilirik oleh ekosistem industri hiburan esports di luar negeri sana. Sumber: Esports Observer

Kerjasama ini tentu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi EA sendiri selaku pengembang FIFA. Alih-alih sekadar menayangkan kompetisi mereka di Twitch dengan menggunakan branding ELEAGUE, tawaran agar game FIFA 19 bisa tayang di televisi tentu jadi tawaran rekanan yang sulit untuk dilewatkan.

“Hal ini adalah kesempatan yang besar. Sejak awal kami memang sudah melihat peluang pada game FIFA 19. Dengan aset yang kami miliki, kami merasa kerjasama ini adalah kesempatan untuk membuat esports jadi lebih dikenal lagi, memberi pengalaman yang lebih menyeluruh namun tetap otentik kepada para fans. Menurut kami, ini adalah nilai pembeda dari ELEAGUE; sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh ESL ataupun MLG.” Kata Craig Barry, Executive Vice President dan Chief Content Officer dari Turner Sports kepada Esports Observer.

Seperti tadi sudah disebutkan, ELEAGUE selama ini terkenal sebagai salah satu penyelenggara dari kompetisi Major CSGO. Namun portfolio pengalaman mereka tak terbatas pada  CSGO saja. Selama kurang lebih 4 tahun pengalaman, mereka juga sudah menggelar kompetisi beragam game, contohnya seperti Super Smash Bros, Street Fighters, Injustice 2,  dan juga Rocket League.

Sumber: Esports Observer
Sumber: Esports Observer

Dengan semua pengalaman tersebut, ELEAGUE menjanjikan produksi berkualitas tinggi seperti kompetisi lainnya yang pernah mereka jalankan. Barry pun kembali menambahkan soal evolusi teknologi serta industri game yang kini semakin bergeser nilainya. Kembali mengutip dari Esports Observer, menurutnya salah satu pelajaran terbesar dalam industri tersebut adalah keharusan untuk mendengar masukan dari para fans dan ekosistem.

Salah satu contoh terbesar hal ini adalah Fortnite, yang mana game tersebut tak lagi hanya sekadar game. Fortnite, terutama di Amerika Serikat sana, seakan jadi perpanjangan tangan dari kultur serta cara anak muda untuk bersosialisasi, layaknya seperti bagaimana popularitas Mobile Legends mengakar di Indonesia.

Blibli Buka Suara atas Dukungannya ke Esports dan Piala Presiden 2019

Hari Jumat 26 Januari 2019 kemarin, Hybrid diundang untuk berbincang-bincang dengan Blibli mengenai keterlibatan mereka mendukung ekosistem esports Indonesia, khususnya untuk Piala Presiden Esports 2019.

Andy Adrian, Deputy Chief Marketing Officer untuk Blibli, menjelaskan bahwa target pasar esports merupakan salah satu target pasar yang dituju oleh ecommerce. Pasar ecommerce itu memang relevan dengan target pasar milenial yang juga jadi target pasar esports. Ditambah lagi, menurut pengakuan Andy, Blibli selalu menjadi benchmark untuk pasar milenial dan potensi pasar ini akan semakin besar ke depannya.

Target pasar gaming sendiri juga sebenarnya terkait dengan berbagai produk yang tersedia di Blibli. Menurut cerita dari Lay Ridwan Gautama, SVP – Trade Partnership untuk Blibli, mereka mengawali menjual produk digital dari 2 tahun yang lalu dengan pulsa dan sekarang Blibli sudah punya segmen sendiri untuk produk gaming mulai dari gaming peripheraldevices (laptop), sampai voucher game.

Meski demikian, Lay sendiri mengatakan bahwa revenue dari penjualan voucher di 2017 untuk Blibli memang masih di bawah 10% dari total keseluruhan pendapatan – meski mendapatkan jutaan transaksi dalam satu tahun.

Dokumentasi: Hybrid
Andy Adrian (Kiri) dan Lay Ridwan Gautama (Kanan). Dokumentasi: Hybrid

Hal itu jugalah yang menjadi salah satu alasan mereka mendukung esports. Mereka ingin memperbesar revenue dari pasar gaming. Namun demikian, bukan itu saja tujuannya menurut Andy. Ia menambahkan bahwa ada engagement dari komunitas gamer yang juga ingin dituju. Akuisisi user baru juga tidak boleh dilupakan. Rencananya, mereka juga akan mengadakan campaign yang tujuannya adalah conversion atau call-to-action. Terakhir, terkait erat dengan kebutuhan mereka untuk branding, Blibli juga ingin selalu up-to-date sebagai pionir ecommerce.

Mungkin memang, dengan kata lain, mereka tak ingin ketinggalan dengan pemain ecommerce lainnya yang sudah lebih dulu menjejakkan kakinya di esports seperti JD dengan High School League mereka, Shopee yang jadi sponsor tim Louvre, Lazada dengan Aerowolf, dan Tokopedia yang bahkan sudah beberapa kali menjadi sponsor event kompetitif (Garuda Cup dan IESPL Battle of Friday) ataupun menjadi sponsor tim esports (EVOS Esports dan RRQ).

Berbicara mengenai sponsor tim esports, saya juga menanyakan soal hal ini ke Blibli serta rencana mereka setelah Piala Presiden 2019. Untuk event esports selanjutnya, Blibli mengaku sudah ada beberapa proposal yang masuk ke mereka namun mereka ingin melihat dan menimbang terlebih dahulu sebelum lebih lanjut menggarap esports. Hal yang sama mereka utarakan tentang kemungkinan menjadi salah satu sponsor tim esports.

Lalu bagaimana kah kelanjutan Blibli di esports? Apakah mereka juga nantinya akan lebih intens seperti dukungan mereka ke bulu tangkis?

Sumber: Instagram @pialapresidenesports
Sumber: Instagram @pialapresidenesports

Untuk Piala Presiden 2019 sendiri, turnamen yang mempertandingkan Mobile Legends tersebut akan menggelar kualifikasi di 8 kota (Bali, Palembang, Surabaya, Makassar, Manado, Solo, Pontianak, dan Bekasi) dari tanggal 9 Februari – 3 Maret 2019 sebelum menggelar babak Grand Finalnya di Jakarta tanggal 30-31 Maret 2019.

 

Setelah Mercedez-SK Gaming, Giliran Team Liquid Gandeng Honda

Industri otomotif internasional nampaknya semakin mantab menjejakkan kakinya di kolam esports. Setelah Audi jadi yang pertama ke esports menggandeng Astralis dan Mercedes-Benz menyusul bersama SK Gaming, kali ini Team Liquid merangkul Honda.menjalin kerjasama.

Steve Arhancet, Co-CEO dan Owner dari Team Liquid, memberikan komentarnya dalam pengumuman langsung yang dirilis oleh Team Liquid.

“Mobil pertama saya adalah Honda Accord EX warna hijau – dan saya mengasosiasikan merek Honda dengan keandalan, keamanan, dan penampilan sampai hari ini. Saya pun bangga dapat mengorelasikan pengalaman tadi dalam kerjasama resmi dengan Team Liquid. Kami akan bekerjasama dengan Honda untuk menyuguhkan konten, aktivasi, dan yang lainnya ke fans Team Liquid. Kami juga bangga dapat bekerjasama dengan merek internasional yang prestisius yang juga sama-sama percaya dengan ekosistem esports seperti kami.” Ujar Steve.

Dalam pengumuman resminya, Team Liquid juga mengatakan bahwa perjalanan mereka berdua akan dimulai di LCS yang merupakan liga League of Legends profesional untuk wilayah Amerika Utara. Untuk mengawali kerjasama mereka, juara bertahan LCS ini akan diantar bertanding dengan Honda Odyssey dengan desain Team Liquid.

Nantinya, Team Liquid juga akan mendapatkan akses untuk sejumlah mobil Honda Civic. Selain soal transportasi, logo Honda akan dipasang di jersey Team Liquid dan keduanya akan berkolaborasi menggarap konten untuk League of Legends, Fortnite, dan Dota 2.

Menyadur dari Esports Observer, Phil Hruska, Manager of Media Strategy untuk Honda Amerika sempat memberikan komentarnya mengenai kerjasama ini. Ia melihat kerjasama ini sebagai langkah lanjut brand otomotif menggarap pasar milenial.

Team Liquid sendiri merupakan salah satu organisasi esports paling bergengsi di dunia yang cukup dikenal prestasinya di LoL ataupun Dota 2. Organisasi yang didirikan tahun 2000 ini juga memiliki tim di berbagai game lainnya seperti CS:GO, Rainbow 6: Siege, Street Fighter, Fortnite, PUBG dan yang lainnya.

Perusahaan Minyak Shell Kerjasama Dengan Riot Untuk Liga LEC 2019

Perusahaan minyak Shell bekerja sama dengan Riot Games dalam seri kompetisi liga League of Legends di Eropa (LEC). Kerjasama Shell dengan esports ini terbilang baru, mengingat ini adalah kali pertama industri pertambangan terjun ke esports.

Sebelumnya, pemain dari brand non-endemic lainnya memang sudah lebih dulu melek esports seperti Mercedes-Benz, kripik Pringles, ataupun produk Indofood. Kerjasama antara Shell dengan Riot Games, juga menjadi unik karena Shell mendapat porsinya tersendiri dalam acara League of Legends European Championship (LEC 2019).

Sumber:
Sumber: The Esports Observer

Porsi penampilan Shell dalam LEC sendiri adalah dalam sebuah segmen replay selama pertandingan yang disebut sebagai “Baron Power Play Presented by Shell V-Power”. Cara penyajian sponsor seperti ini terbilang baru untuk jagat esports, namun bukan sesuatu yang asing di dalam dunia olahraga. Kalau kamu pernah menonton liga bola basket Amerika, NBA, kamu mungkin pernah melihat juga satu segmen tertentu (seperti replay, istirahat paruh babak, highlight momen keren) yang diisi oleh para sponsor.

Terkait kerjasama ini, mengutip press release yang diterbitkan oleh The Esports Observer mengatakan, “kerjasama ini adalah langkah pertama Shell untuk masuk ke esports dan ke cabang game besar di Eropa, League of Legends. Kami bangga bisa berkolaborasi dengan mereka dan bisa bergabung dalam perjalanan untuk menciptakan hiburan serta nilai bagi penggemar esports di Eropa”.

Tambahan lain selain tampil dalam segmen “Baron Power Play” Shell juga akan memberikan berbagai hadiah in-game kepada para penggemar League of Legends. Beberapa contohnya seperti kode skin gratis atau promosi khusus untuk penonton League of Legends dengan bahasa Jerman.

Sumber:
Sumber: The Esports Observer

Riot Games belakangan memang sedang bekerja keras untuk mengumpulkan partner untuk menyokong liga LEC. Sebelumnya mereka juga bekerja sama dengan Kia dan juga Alienware.

Nama LEC sendiri merupakan rebranding setelah sebelumnya kompetisi ini bernama EU LCS atau European League of Legends Championship Series. Liga kompetisi ini diikuti oleh berbagai nama besar di eropa seperti SK Gaming, Fnatic, G2, bahkan juga klub sepakbola Jerman, Schalke.