Antara Venture Capital dan Esports Asia Tenggara: Kemesraan di Masa Penjajakan

Perusahaan venture capital sekarang tidak hanya melirik startup untuk didanai, tapi juga organisasi esports. Memang, industri esports dunia ataupun Indonesia, berkembang dengan pesat belakangan ini. Pada Mei 2019, Skystar Capital mengaku mereka akan menanamkan investasi di salah satu tim esports lokal. Pada awal November 2019, EVOS Esports mengumumkan bahwa mereka baru saja mendapatkan pendanaan sebesar US4,4 juta atau sekitar Rp61 miliar. Insignia Venture Partners menyumbangkan US$3 juta dari total pendanaan Seri A ini.

Menurut CrunchBase, Insignia adalah perusahaan venture capital yang memfokuskan diri pada investasi startup. Sementara di situs resminya, Insignia mengklaim bahwa mereka mendedikasikan diri untuk mendukung perusahaan paling berpengaruh di Asia Tenggara. Dengan menanamkan investasi pada EVOS, secara tidak langsung, Insignia menyatakan bahwa EVOS merupakan perusahaan yang berpengaruh yang cukup besar di Asia Tenggara. Perusahaan VC itu mengatakan, mereka mencoba untuk berkontribusi dalam mengembangkan industri esports dan karir pemain profesional di Asia Tenggara dengan berinvestasi di EVOS. Sementara alasan mereka ingin mendukung esports adalah karena mereka merasa industri ini memiliki potensi besar dalam beberapa tahun ke depan. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, saat ini, valuasi industri esports telah mencapai US$1,1 miliar dan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Jadi, ya, esports telah menjadi industri yang besar dan tampaknya, masih akan terus tumbuh.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

Lalu, kenapa harus EVOS? Oke, EVOS memang terbukti memiliki prestasi dan reputasi. Tapi, di Asia Tenggara, ada banyak organisasi esports yang tidak kalah pamor. Misalnya, RRQ dari Indonesia, ataupun Mineski, dan TNC dari Filipina.

“EVOS tidak hanya memiliki roadmap yang jelas, mereka juga memiliki kemampuan untuk mengeksekusi rencana tersebut dan membawa gamer di Asia Tenggara ke level berikutnya,” kata Insignia pada Hybrid. “Kami percaya dengan pendekatan yang mereka lakukan dan dengan pencapaian mereka sejauh ini dalam membuat ekosistem esports yang mandiri untuk mendukung para gamer di Asia Tenggara.” Lebih lanjut mereka mengatakan, EVOS berhasil menjalin kerja sama dengan sejumlah platform, publisher, dan merek ternama. Semua ini, ditambah dengan divisi entertainment EVOS, memungkinkan tim dengan logo harimau putih itu untuk menyokong tim esports mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia.

Memang, investasi yang diberikan oleh Insignia justru akan digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment EVOS dan bukannya tim esports mereka. Menurut Insignia, keputusan EVOS untuk mengembangkan divisi influencer mereka bukan berarti mereka menganaktirikan tim esports mereka. Ini justru dianggap sebagai cara EVOS untuk menyokong tim esports mereka. “Hubungan antara divisi EVOS layaknya anggota tim dalam game MOBA. Tim esports EVOS mengambil midlane sebagai carry atau tank, sementara divisi entertainment mereka merupakan jungler atau support, yang akan mendukung kesuksesan dari tim esports mereka. Lebih mudah bagi para pemain hebat untuk menjadi influencer dan dengan bantuan influencer, EVOS dapat menciptakan ruang untuk mencari talenta baru,” ungkap mereka.

Hanya karena EVOS memiliki divisi entertainment memang bukan berarti mereka tak lagi mendorong tim esports mereka untuk meraih kemenangan. Tahun ini, mereka telah memenangkan sejumlah turnamen besar termasuk Mobile Legends Professional League Season 4 (dengan hadiah sebesar US$150 ribu atau sekitar Rp2,1 miliar) dan Mobile Legends M1 World Championship 2019 (dengan hadiah US$80 ribu). Secara total, hadiah yang mereka menangkan sepanjang tahun 2019 telah mencapai sekitar Rp6 miliar.

Tren perusahaan venture capital mendukung organisasi esports tampaknya masih akan terus berlanjut. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports asal Indonesia yang telah mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. ONIC Esports, yang menjuarai Piala Presiden 2019 dan MPL Season 3, juga didukung oleh perusahaan venture capital, yaitu Agaeti Venture. Beberapa waktu lalu, venture partner, Agaeti Venture Carey Ticoalu mengatakan bahwa alasan mereka mendukung ONIC adalah karena tim esports tersebut dianggap memberikan dampak sosial yang besar, terutama pada generasi muda Indonesia.

Seberapa besar potensi esports di Asia Tenggara?

Saat ini, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor pelaku esports. Hal ini dianggap sebagai salah satu bukti bahwa industri esports telah semakin matang. Satu hal yang membuat perusahaan — termasuk yang tidak ada kaitannya dengan dunia game atau esports — tertarik masuk adalah karena jumlah penonton esports yang terus naik. Menurut survei yang dilakukan oleh Goldman Sachs dan Newzoo, jumlah penonton esports pada 2022 akan naik menjadi 276 juta dari 194 juta pada 2019. Tak hanya itu, hampir 80 persen dari penonton esports memiliki umur di bawah 35 tahun, generasi milenial dan gen Z, yang memang dikenal sulit untuk ditargetkan pengiklan karena mereka sudah jarang menonton televisi dan menggunakan ad blocker saat menjelajah internet. Karena itulah, esports jadi salah satu jalan bagi perusahaan untuk mendekatkan diri dengan generasi milenial tersebut.

Sementara itu, menurut Niko Partners, industri game di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (Greater Southeast Asia) akan memiliki nilai US$8,3 miliar pada 2023, naik dari US$5 miliar pada tahun ini. Salah satu pendorongnya adalah bertambahnya jumlah gamer PC dan gamer mobile. Esports juga dianggap menjadi alasan lain industri game di kawasan GSEA akan berkembang pesat.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs

“Audiens esports untuk kawasan Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai 31,9 juta orang pada tahun ini. Dan esports juga akan masuk ke dalam cabang olahraga SEA Games pada akhir bulan November. Dua hal ini membuktikan bahwa esports telah menjadi semakin mainstream,” jawab Insignia ketika ditanya soal potensi pasar esports di Asia Tenggara. “Namun, masih banyak kesempatan untuk gamer yang belum direalisasikan, terutama dari segi karir jangka panjang. EVOS telah memanfaatkan kesempatan ini. Dan mereka akan terus merealisasikan potensi yang ada berkat jutaan follower dan subscriber, prestasi mereka di turnamen regional, dan ekosistem infrastruktur yang mendukung pertumbuhan komunitas di platform mereka.”

Insignia mengatakan, ke depan, tim-tim esports asal Asia Tenggara akan masuk ke kancah global. “Memasuki kompetisi global berarti, talenta esports harus diasah untuk dapat bertanding tidak hanya di kawasan Asia Tenggara. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada di masing-masing negara,” kata Insignia. Mereka menambahkan, kemampuan EVOS untuk bekerja sama dengan platform, komunitas, dan perusahaan Indonesia membuka jalan bagi gamer Indonesia untuk bertanding di tingkat regional. “Tiongkok dan Korea Selatan memanfaatkan jaringan internet cepat dan jumlah gamer yang banyak. Sementara Asia Tenggara memiliki talenta yang bervariasi. Ini akan membuka kesempatan bagi industri esports untuk tumbuh di kawasan ini.”

EVOS adalah salah satu organisasi esports Indonesia yang tak hanya beroperasi di Indonesia. Dengan total pemain sebanyak 62 orang, EVOS terbagi ke dalam 13 tim yang berlaga di 6 game. EVOS memiliki tim di beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports yang telah merekrut pemain di negara tetangga. RRQ juga memiliki tim di luar Indonesia. Faktanya, RRQ Athena dari Thailand merupakan salah satu tim RRQ yang memberikan kontribusi besar pada total hadiah Sang Raja pada tahun 2019.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Co-founder EVOS dan CEO RRQ dalam panggung SMW | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Dalam acara Social Media Week yang digelar pada minggu lalu, Andrian Pauline (AP), yang hadir sebagai Ketua Federasi Esports Indonesia (FEI), tapi juga merupakan CEO RRQ, mengatakan bahwa dia percaya, pada akhirnya esports akan menembus batas negara. “Esports sendiri kan medium yang universal. Semua orang bisa berpartisipasi, berkembang bareng,” katanya. Ke depan, dia merasa bahwa tim esports akan menyerupai tim sepak bolah Eropa. Anggota tim esports mungkin tak semua berasal dari Indonesia, tapi di bawah bendera tim asal Tanah Air, maka nama Indonesia yang akan dikenal. Dia memberikan contoh RRQ Athena, yang berisi pemain Thailand. “Itu mereknya adalah merek lokal. Ini menunjukkan bahwa tak hanya talenta Indonesia, tapi secara merek, kita diterima kok (di luar Indonesia),” ujarnya.

Pada akhirnya…

Semakin banyak organisasi esports yang mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. Di Indonesia, ada EVOS Esports dan ONIC Esports. Secara global, sejumlah organisasi esports juga mendapatkan investasi dari berbagai pihak. Misalnya, pada November 2019, Gen.G mengumumkan bahwa mereka mendapatkan investasi dari akselerator asal New York. Sementara investor 100 Thieves menyiapkan US$100 juta sebagai dana investasi khusus untuk industri esports. Astralis bahkan tengah menyiapkan untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Semakin banyak investor yang masuk ke ranah esports adalah kabar baik karena ini berarti ranah competitive gaming semakin matang.

Pada saat yang sama, masuknya perusahaan venture capital sebagai investor berarti pelaku industri esports akan dituntut untuk dapat bertanggung jawab atas modal yang mereka terima. Jadi, mereka harus bisa menghadapi berbagai masalah yang ada di dunia esports, seperti regenerasi dan ketiadaan regulasi, setidaknya di Indonesia. Masalah lain yang harus dihadapi di industri esports adalah kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang mumpuni jika dibandingkan dengan industri lain yang lebih tua. Tak aneh, karena biasanya, pelaku esports mulai membuat tim profesional karena mereka memang senang bermain game. Passion. Walau terdengar romantis, tapi passion saja tak lagi cukup. Para pelaku esports tak lagi bisa sekadar mengejar kesenangan mereka. Sekarang, mereka dituntut untuk menjadi businessman dan mulai memperhitungkan apakah bisnis esports memang akan mendapatkan untung.

After all, money makes the world go round…

Sumber header: Twitter

Misfits Gaming Group Siapkan Rp141 Miliar untuk Modali Startup Esports

Misfits Gaming Group, perusahaan yang membawahi Misfits Gaming, Florida Mayhem, dan Florida Mutineers, baru saja mengumumkan peluncuran MSF.IO, inkubator dan program pendanaan awal untuk startup yang bergerak di bidang esports. Namun, mereka tidak membatasi diri hanya pada startup esports, tapi juga startup lain yang mendukung esports sebagai ekosistem, seperti perusahaan data dan analitik atau startup edukasi yang siap membantu pemain untuk mengasah kemampuannya. Mereka juga tertarik untuk mendanai studio game. Untuk program pendanaan ini, Misifts Gaming Group menyiapkan US$10 juta (sekitar Rp141 miliar), yang akan diberikan pada lima startup terpilih dalam batch pertama investasi mereka.

“Walaupun ada banyak opsi investasi di tingkat tertinggi dari esports, kami percaya, pelaku usaha kecil di bidang ini sering kesulitan dalam mendapatkan pendanaan,” kata CEO dan Co-founder Misfits Gaming Group, Bent Spoont, menurut laporan The Esports Observer. “Untuk menumbuhkan industri esports, penting untuk mendukung para pengusaha kecil ini. Esports tidak hanya berjalan pada tingkat tertinggi. Perusahaan kecil memiliki ide-ide inovatif yang dapat menantang kita dan menciptakan tool, layanan, dan struktur yang membuat indsutri esports tetap segar dan kompetitif.”

Sumber: MICHAL KONKOL/RIOT GAMES via Forbse
Sumber: MICHAL KONKOL/RIOT GAMES via Forbes

MSF.IO menyebutkan, pendanaan ini ditujukan untuk para “inovator” sehingga mereka bisa mengembangkan ide yang akan mengubah industri gaming dan esports. Selain bantuan dana, MSF.IO juga bersedia untuk berbagi pengalaman mereka dalam dunia esports untuk membantu startup yang mereka pilih. Tak hanya itu, mereka juga bisa membantu para startup untuk menjalin hubungan dengan pelaku industri esports dan grup investor lain. Menurut laporan Forbes, untuk program pendanaan ini, Misfits juga dibantu oleh sejumlah penasehat, seperti James Kuhn, Prseident Newmark Knight Frank, perusahaan real estate, Rich Kracum, co-founder Wind Point Partners, perusahaan permodalan swasta, dan Nicola Piggott, co-founder The Story Sob, perusahaan PR esports, yang pernah menjadi pemimpin divisi komunikasi di Riot Games.

Misfits menjadikan MSF.IO sebagai program global, yang berarti semua startup boleh mencoba untuk ikut serta. Lima startup yang terpilih akan bisa mengikuti kelas pada 2020. Mereka juga mendapatkan kesempatan untuk pergi ke markas Misfits Gaming Group di Florida.

MSF.IO bukan satu-satunya program pendanaan yang ditujukan khusus untuk para pelaku esports. Pada pertengahan November lalu, Capital Management, yang merupakan investor dari organsisasi esports 100 Thieves juga menyiapkan US$100 juta untuk diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan esports. Sementara bulan lalu, Hiro Capital diluncurkan untuk mendanai startup yang bergerak di bidang game, esports, dan digital sports. Memang, jumlah pihak yang tertarik untuk menjadi investor di bidang esports terus bertambah. Hal ini dianggap sebagai tanda bahwa industri esports semakin matang.

Sumber header: Esports Insider

Aplikasi Gaming Sosial Bunch Dapatkan Investasi Rp54,3 Miliar

Bunch mengumumkan bahwa mereka baru saja mendapatkan investasi sebesar US$3,85 juta (sekitar Rp54,3 miliar) dari Supercell, Tencent, Riot Games, Miniclip, dan Colopl Next. Bunch adalah aplikasi gaming sosial serupa Discord. Hanya saja, jika Discord ditujukan untuk para gamer PC, Bunch ditujukan untuk mobile gamer. Melalui Bunch, para gamer akan dapat mengobrol dengan teman-teman mereka saat mereka sedang bermain. Menariknya, para pengguna Bunch bisa membuat party di dalam aplikasi Bunch sehingga ketika mereka mulai bermain game, secara otomatis, mereka akan bermain pada mode multiplayer. Setelah game dimulai, Bunch akan berjalan di background, memungkinkan para pemain untuk tetap mengobrol sambil bermain.

“Anda bisa mengobrol sambil bermain game,” kata CEO dan co-founder Bunch, Selcuk Atli pada VentureBeat. “Di Android, Anda bisa memilih untuk mengaktifkan atau mematikan video.” Saat ini, Bunch telah memiliki sejumlah game yang mereka buat sendiri yang dapat dimainkan oleh para penggunanya. Namun, ke depan, mereka berencana untuk bekerja sama dengan para publisher game mobile untuk mengintegrasikan aplikasi Bunch dengan game-game para publisher.

Atli tumbuh besar bermain game bersama teman-temannya, lapor TechCrunch. Setelah tumbuh dewasa, Atli tetap senang bermain game, tapi dia ingin bisa bermain bersama teman-temannya, seperti ketika dia masih kecil. Inilah alasannya untuk membuat Bunch. Pada dasarnya, tujuan Bunch adalah untuk menghubungkan para pengguna dengan teman-teman mereka di dunia nyata, mendorong mereka untuk bermain bersama. Atli percaya, ini akan memberikan dampak yang lebih besar, baik pada para gamer maupun game yang mereka mainkan.

Para pendiri Bunch. | Sumber: VentureBeat
Para pendiri Bunch. | Sumber: VentureBeat

Atli berkata, bermain bersama melalui Bunch membuat pemain menjadi lebih sering bermain. Tingkat user retention naik 1,3 kali lipat setiap seseorang menambahkan satu teman baru. Sementara antara hari ke-7 dan ke-30, tingkat user retention naik menjadi dua kali lipat jika dibandingkan dengan pemain biasa yang tidak menggunakan Bunch, menurut Atli. “Bunch akan membantu user retention, sesuatu yang kreator game harus tingkatkan, sehingga pemain akan lebih sering memainkan game mereka dan menghabiskan uang lebih banyak,” kata Atli.

“Kebanyakan pemain yang baru memainkan League of Legends tertarik bermain karena teman mereka. Inilah mengapa sisi sosial menjadi salah satu fokus kami di Riot,” kata Brendan Mulligan, Senior Corporate Development Manager, Riot Games. “Seiring dengan semakin banyaknya game multiplayer yang kami buat, termasuk game mobile, kami ingin memudahkan para gamer untuk bermain bersama.”

Sumber header: LinkedIn

Platfrom Streaming Game VR, LIV Dapatkan Investasi Rp36,7 Miliar

Platform streaming Virtual Reality, LIV, mendapatkan pendanaan Seri A sebesar US$2,6 juta (sekitar Rp36,7 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh Hiro Capital, perusahaan venture capital yang memang memfokuskan diri untuk menyokong perusahaan-perushaaan yang bergerak di bidang esports dan game.

LIV didirikan pada 2016 oleh AJ Shewki (Dr Doom), Steffan “Ruu” Donal, dan teman-teman mereka yang pernah bekerja sabagai streamer Twitch, developer game, dan mantan pemain competitive game. Mereka semua pernah mencoba headset VR dan percaya bahwa VR memiliki potensi besar di industri hiburan dan esports. Namun, ketika mereka mencoba untuk melakukan streaming game VR, mereka merasa bahwa pengalaman menonton para penonton tidak memuaskan.

“Alat yang digunakan untuk menyiarkan game PC tidak bisa menunjukkan intensitas yang kami rasakan saat bermain game VR,” kata Dr Doom, CEO dan Co-founder LIV, pada VentureBeat. “Di VR, tubuh Anda menjadi alat untuk mengendalikan game, dan itulah salah satu alasan mengapa bermain game VR menarik. Ketika bermain game VR, Anda akan merasa seolah-olah Anda masuk dalam dunia game, tapi penonton tidak akan bisa merasakan hal tersebut kecuali jika kita menunjukkan bagaimana pemain berinteraksi dengan keadaan di sekeliling mereka. Dan inilah awal mula kami — kami ingin memberikan pengalaman menonton game VR yang lebih baik.”

Sumber: LIV.tv
Sumber: LIV.tv

LIV akan menggunakan pendanaan Seri A ini untuk merekrut lebih banyak orang untuk mengembangkan platform streaming VR mereka. Selain itu, mereka juga akan menjalin kerja sama dengan lebih banyak game studio untuk mengintegrasikan platform mereka dengan game buatan para developer. Sebelum ini, LIV telah mendapatkan pendanaan Seed dari Seedcamp asal London, Techstars asal Los Angeles, dan Credo Ventures dari Prague. Ketika itu, Jaroslav Beck dari Beat Games dan kreator Oculus Rift, Palmer Lucky juga ikut mendukung pendanaan untuk LIV. Dalam pendanaan Seri A kali ini, selain Hiro Capital, Credo Ventures dan Seedcamp juga ikut.

Managing Partner, Hiro Capital, Luke Alvarez mengatakan bahwa pendanaan atas LIV merupakan pendanaan pertama mereka di bidang Esports/Streaming. Dia juga menyebutkan, saat ini, pasar VR memang masih kecil, tapi audiens streaming sudah besar. Sementara itu, Partner, Credo Ventures, Ondrej Bartos berkata, “VR telah menjadi industri yang menjanjikan selama beberapa waktu dan kami percaya, teknologi yang LIV buat akan dapat merealisasikan potensi di pasar VR.”

Sumber header: PYMNTS.com

Perusahaan Analitik Esports, FanAI Dapatkan Investasi Rp112,6 Miliar

Di tengah hype soal esports, semakin banyak investor yang bersedia menanamkan modal di perusahaan terkait esports. FanAI baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan pendanaan Seri A sebesar US$8 juta (sekitar Rp112,6 miliar). Pendanaan ini dipimpin oleh konglomerasi bisnis asal Jepang, Marubeni Corporation. FanAI adalah perusahaan yang menawarkan jasa analitik pada sponsor dan pengiklan di esports untuk menghitung dan mengoptimalkan biaya yang mereka keluarkan di industri competitive gaming. CEO FanAI, Johannes Waldstein mengatakan, kucuran dana segar ini akan mereka gunakan untuk memperkuat bisnis mereka yang telah ada di Eropa dan Inggris Raya, serta melakukan ekspansi bisnis ke kawasan Asia Pasifik, dimulai dari Jepang. Selain itu, mereka juga akan menambah pekerja mereka, dari 20 orang menjadi 30 orang.

“Kami akan meluncurkan platform bagi merek dan agensi serta melakukan ekspansi ke bidang analitik hiburan dan olahraga profesional,” kata Waldstein, dikutip dari LA Business Journal. Dia mengatakan, Marubeni adalah investor yang sangat cocok untuk mereka. “Mereka adalah salah satu trading house terbesar di Jepang dan memiliki posisi kuat di Asia Pasifik, yang merupakan pasar gaming dan esports terbesar, lebih besar dari Amerika Serikat. Mereka juga memiliki divisi baru di Amerika Serikat dan kami adalah salah satu perusahaan yang menerima investasi pertama mereka.” Saat ini, FanAI beroperasi di Inggris dan Jerman. Meskipun begitu, mereka tidak memiliki kantor di kedua negara tersebut. Mereka hanya bekerja sama dengan rekan lokal yang akan bertanggung jawab atas klien dan menjual produk FanAI. Namun, mereka berencana untuk membuka kantor di Jepang pada 2020 atau 2021.

Sumber: Aithority
Sumber: Aithority

Pada Januari 2019, FanAI mengakuisisi Waypoint Media, memungkinkan mereka untuk mendapatkan akses ke data pengguna platform streaming Twitch. Dengan data ini, FanAI dapat mengetahui berapa lama waktu yang dihabiskan oleh penonton di Twitch. Selain itu, mereka juga bisa mengetahui konten yang audiens tonton dan tingkat loyalitas para penonton pada seorang streamer atau merek tertentu. “Ini adalah analitik in-depth yang klien kami gunakan untuk memilih streamer atau influencer mana yang harus mereka ajak kerja sama untuk meningkatkan jangkauan mereka,” kata Waldstein. Layanan streaming memang menjadi bagian penting dari esports. Meskipun Twitch masih menjadi platform streaming nomor satu secara global, YouTube Gaming dan Microsoft Mixer mencoba untuk bersaing dengan platform milik Amazon tersebut. Salah satu cara yang mereka gunakan adalah menawarkan kontrak eksklusif pada sejumlah streamer. Beberapa streamer yang akhirnya memutuskan unutk pindah dari Twitch antara lain Tyler “Ninja” Blevins, Michael “Shroud” Grzesiek, dan Jack “CouRage” Dunlop.

Sejak didirikan pada 2016, FanAI telah mendapatkan total investasi sebesar US$12,5 juta (sekitar Rp176 miliar). Waldstein mengatakan, pendanaan Seri A kali ini akan cukup untuk digunakan sepanjang tahun depan. Namun, mereka harus mengumpulkan investasi Seri A sebesar US$10 juta (sekitar Rp141 miliar) sebelum mereka mulai mengejar pendanaan Seri B pada 2021.

Sumber header: The Esports Observer

Investor 100 Thieves Siapkan Rp1,4 triliun untuk Investasi Khusus Esports

Perusahaan manajemen investasi Artist Capital Management berhasil mengumpulkan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk Artist Esports Edge Fund, yang akan menginvestasikan dana tersebut ke perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang esports. Mereka melakukan ini karena mereka percaya, pada akhirnya, esports akan tumbuh lebih besar daripada industri olahraga tradisional.

Ada beberapa alasan mengapa Artist Capital Management percaya, esports akan tumbuh pesat di masa depan. Dari segi penonton, jumlah penonton esports terus tumbuh dari tahun ke tahun. Diperkirakan, tahun ini, jumlah penonton esports mencapai 194 juta orang dan akan naik menjadi 276 juta orang pada 2022. Umur para penonton esports juga relatif muda jika dibandingkan dengan penonton olahraga tradisional. Sebanyak 79 persen penonton esports berumur di bawah 35 tahun. Sementara dari segi pemasukan, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Artist Capital Management juga percaya, keberadaan liga dengan sistem franchsie akan mendorong pertumbuhan esports. Salah satu liga esports yang menggunakan sistem franchise adalah Overwatch League dari Activision Blizzard. Pada tahun depan, Activision Blizzard juga akan mengadakan Call of Duty League dengan format serupa. Di Indonesia, satu-satunya liga yang menggunakan model franchise adalah Mobile Legends Professional League dari Moonton. Memang, penggunaan sistem franchise pada liga esports berhasil menarik lebih banyak sponsor. Namun, para pelaku esports masih mempertanyakan apakah sistem franchise memang akan menjadi tren di masa depan.

CEO Matthew “Nadeshot” Haag dan COO 100 Thieves, John Robinson. | Sumber: VentureBeat
CEO Matthew “Nadeshot” Haag dan COO 100 Thieves, John Robinson. | Sumber: VentureBeat

“Berkaca dari evolusi industri terkait internet lainnya, kami merasa, sejumlah perusahaan esports akan menguasai sebagian besar pemasukan di pasar esports,” kata Chief Investment Officer, Artist Capital Management, Josh Dienstag, seperti dilaporkan VentureBeat. “Kami harap, kami bisa bekerja sama dengan para penguasaha yang sedang mengembangkan platform yang akan menjadi penguasa pasar.” Pada Juli 2019, Edge Fund telah memimpin investasi seri B senilai US$35 juta untuk 100 Thieves, organisasi esports asal Los Angeles, Amerika Serikat. Ketika itu, Dienstag juga ditunjuk masuk menjadi anggota dewan dari organisasi esports tersebut. Selain 100 Thieves, Edge Fund juga memiliki investasi di Washington Esports Ventures, yang merupakan pemilik dari tim Overwatch League, Washington Justice. Dalam waktu 10 tahun, Edge Fund berencana untuk bisa menemukan perusahaan esports sebagai rekan dalam jangka panjang.

“Artist Capital Management adalah rekan yang sangat baik; mereka mengerti industri esports dan menghargai perbedaan yang kami miliki dari organisasi esports lain dan mendukung visi kami. Industri esports pada dasarnya adalah industri hiburan yang terus berubah dan kami senang kami bisa bekerja sama dengan perusahaan yang menyadari tren ini,” kata President dan Chief Operating Officer 100 Thieves, John Robinson dalam pernyataan resmi. Belakangan, memang semakin banyak investor yang tertarik untuk masuk ke dunia esports. Ini dianggap sebagai tandar bahwa industri esports, yang masih sangat muda, sudah mulai matang.

Sumber header: The Esports Observer

Semakin Banyak Investor di Esports, Tanda Industri Semakin Matang

Tahun ini, valuasi industri esports menembus US$1 miliar untuk pertama kalinya, menurut Newzoo. Industri esports juga diperkirakan masih akan terus tumbuh. Menurut data Goldman Sachs, nilai industri esports akan mencapai hampir US$3 miliar pada 2022. Saat ini, sumber pemasukan utama industri esports adalah sponsorship (38 persen) dan iklan (22 persen). Namun, pada 2022, diperkirakan bahwa hak siar media akan menjadi sumber pemasukan utama industri esports dengan kontribusi 40 persen pada total pendapatan.

Menurut survei yang dilakukan oleh Foley & Lardner LLP dan The Esports Observer pada 200 eksekutif dari berbagai perusahaan yang bergerak di bidang esports, sebagian besar responden masih memperkirakan bahwa sponsorship dan iklan sebagai dua sumber pemasukan utama di industri esports. Menariknya, lebih banyak responden yang percaya bahwa in-game purchase akan memberikan kontribusi yang lebih besar pada pemasukan di industri esports daripada hak siar media. Memang, banyak game esports yang bisa dimainkan dengan gratis, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Player Unknown’s Battleground Mobile. Karena game bisa dimainkan dengan gratis, pihak developer atau publisher biasaya mengandalkan micro-transaction atau pembelian dalam game sebagai sumber pemasukan.

Sumber pendapatan esports menurut survei. | Sumber; The Esports Observer
Sumber pendapatan esports menurut survei. | Sumber: The Esports Observer

Responden dari survei ini juga memperkirakan, investasi di industri esports masih akan terus naik. Memang, belakangan, semakin banyak investor yang mengkhususkan diri di industri esports atau gaming yang muncul. Sebanyak 47 persen responden menduga, jumlah investasi dari dana pribadi atau venture capital akan bertambah. Ini menunjukkan bahwa esports sebagai industri telah semakin matang, karena semakin banyak investor yang berani untuk menanamkan modal di bidang ini.

“Semakin banyaknya perusahaan venture capital dan pendanaan pribadi yang melibatkan diri dalam esports merupakan bukti nyata bahwa investor tradisional percaya akan keberlanjutan industri esports dan telah membuat keputusan finansial yang menunjukkan bahwa esports kini adalah bagian dari budaya masyarakat,” kata Bobby Sharma, Special Adviser to the Sports & Entertainment Group, Foley & Lardner LLP, dalam laporan survei ini. “Para investor bertaruh untuk mengambil kesempatan di esports, melihat betapa besarnya penonton competitive gaming.”

Esports adalah fenomena global. Namun, 60 persen responden percaya, kawasan yang paling menjanjikan dalam waktu lima tahun ke depan adalah Amerika Serikat. Sementara 56 persen berpendapat bahwa Tiongkok adalah kawasan yang paling menjanjikan. Meskipun begitu, sejumlah responden juga percaya bahwa kawasan lain akan bertumbuh, seperti India (32 persen), Asia Tenggara (24 persen), dan Amerika Latin (22 persen).

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Ini bukan berarti industri esports telah bebas dari masalah. Sebanyak 68 persen responden mengatakan bahwa kecurangan dan match fixing tetap menjadi ancaman bagi industri esports karena berpotensi membuat penonton mempertanyakan legitimasi pertandingan esports. Kebanyakan responden (47 persen) percaya, alasan mengapa match fixing tetap terjadi adalah karena ketiadaan alat untuk memonitor tindakan curang. Sementara 36 persen percaya bahwa kecurangan terjadi karena kemudahan untuk mendapatkan kode cheat dan 36 persen lainnya mengaku percaya bahwa alasan pemain berbuat curang karena gaji atau hadiah yang diterima pemain dirasa terlalu kecil sehingga mereka tergoda untuk menerima sogokan.

Saat ini, sebagian besar esports ada di bawah kendali sejumlah developer game, seperti Overwatch League di bawah Activision Blizzard dan Mobile Legends Professional League di bawah Moonton. Terkait hal ini, 95 persen responden percaya bahwa ini akan memiliki dampak negatif. Kekhawatiran terbesar dari para responden adalah para developer akan membatasi akses ke API (Application Programming Interfaces) pada game mereka buat, sehingga aplikasi lain tak bisa terhubung ke game tersebut. Hal lain yang dikhawatirkan para responden adalah pihak developer atau publisher akan membatasi tim yang boleh ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Ini ada kaitannya dengan penggunaan model franchise dalam sebuah liga esports, yang memang menuai pro dan kontra.

Pada akhirnya, survei ini menunjukkan bahwa esports berpotensi untuk tumbuh besar di masa depan jika para pelakunya berhasil mengatasi berbagai masalah yang ada saat ini, seperti kecurangan dan model turnamen yang ideal untuk digunakan.

Gen.G Dapatkan Dana dari Akselerator New York

Gen.G baru saja mendapatkan investasi dari Entrepreneurs Roundtable Accelerator (ERA) yang bermarkas di New York, Amerika Serikat. Dengan valuasi lebih dari US$1 miliar, industri esports tak lagi dianggap sebagai permainan untuk anak-anak. Berbaga merek non-endemik berlomba-lomba untuk terjun ke industri esports, dengan menjadi sponsor dari tim profesional atau liga esports. Tak hanya itu, semakin banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal di industri esports. Inilah yang membuat semakin banyak Exchange-Traded Fund (ETF) yang bergerak di bidang esports. Perusahaan modal ventura pun tertarik untuk masuk ke ranah esports, seperti Bessemer Venture Partners yang ikut berinvestasi di Team SoloMid dan Sequioa di 100 Thieves.

Sayangnya, tak diketahui berapa jumlah investasi yang diberikan oleh ERA pada Gen.G. Satu hal yang pasti, dana investasi ini memungkinkan Gen.G untuk memperkuat posisinya sebagai organisasi esports besar di Pesisir Timur Amerika Serikat. Selain dana, Gen.G juga mendapatkan kerja sama strategis dengan ERA, yang biasanya mendukung startup teknologi di tahap awal. Melalui kerja sama strategis ini, Gen.G akan mendapatkan akses ke rekan dan mentor dari ERA, memungkinkan organisasi esports ini untuk mengembangkan diri dan membantu mereka dalam menyelesaikan masalah yang ada di industri esports yang masih berkembang pesat.

“Kami fokus untuk memudahkan orang-orang yang ada di komunitas gaming untuk saling mengenal satu sama lain,” kata CEO Gen.G, Chris Park, menurut laporan TechCrunch. Kata-kata sang CEO tampaknya mengimplikasikan rencana Gen.G di masa depan. “Harapan saya adalah, ke depan, platform dan tim profesional akan memperlakukan para pemain dan para fans dengan lebih baik, layaknya rekan dan kolaborator.” Sebelum menjadi CEO Gen.G, Park bekerja sebagai executive vice president yang bertanggung jawab atas bagian produk dan marketing di Major League Baseball. Pada akhir 2018, dia diajak untuk bergabung ke Gen.G sebagai CEO. Gen.G sendiri dibentuk pada pertengahan 2017. Ketika itu, nama yang mereka gunakan adalah KSV eSports dan mereka hanya memiliki tim yang bertanding di Overwatch League. Pada 2018, mereka melakukan ekspansi dan membuat tim-tim baru untuk berlaga di game esports lain, seperti Heroes of the Storm, Player Unknown’s Battleground (PUBG), dan League of Legends. Mereka lalu mengganti nama mereka menjadi Gen.G yang merupakan singkatan dari Generation Gaming. Perubahan ini diumumkan bersamaan dengan pembentukan divisi Clash Royale.

Gen.G Player Wellness Campaign

Sejauh ini, sebagai CEO Gen.G, Park telah mengumpulkan total investasi sebesar US$46 juta. Dana ini didapatkan dari bebagai sumber, seperti Dennis Wong, pemegang saham minoritas di tim basket Los Angeles Clippers, Dreamers Fund milik Will Smith, Battery Ventures, Canaan Partners, Stanford University, SVB Capital, dan lain sebagainya. Selain itu, dia juga bekerja sama dengan berbagai pihak. Salah satunya dengan aplikasi kencan Bumble. Gen.G menggandeng Bumble untuk membuat tim Fornite khusus perempuan. Memang, ketidaksetaraan gender adalah salah satu masalah di dunia game dan esports. Meskipun ESA menyebutkan bahwa 46 persen gamer adalah perempuan, tak banyak game yang dibuat khusus untuk gamer perempuan. Inilah mengapa TouchTen memutuskan untuk fokus pada mobile gamer perempuan ketika mendapatkan kucuran dana segar. Sementara itu, Nielsen mengatakan, hampir 25 persen penonton esports adalah perempuan. Sayangnya, jumlah tim atau pemain profesional perempuan tak banyak. Salah satu alasannya karena memang adanya seksisme. Xiaomeng “VKLiooon” Li, yang baru saja memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals, menceritakan pengalaman buruknya sebagai pemain profesional perempuan.

Belum lama ini, Gen.G juga bekerja sama dengan University of Kentucky dengan tujuan untuk memperkuat esports di dunia akademik. Dengan ini, Gen.G dapat menjembatani dunia esports profesional dengan dunia akademik. Sementara pada pertengahan September lalu, Gen.G meluncurkan Player Wellness Campaign, menunjukkan bahwa kesehatan atletnya adalah hal yang mereka perhatikan. Fakta bahwa Gen.G bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari aplikasi kencan sampai universitas, menunjukkan bahwa mereka tak hanya tertarik untuk menang turnamen dan meraih gelar, tapi juga menjaga dan mengembangkan ekosistem esports sendiri.

Mainline Dapat Investasi Sebesar Rp95,3 Miliar

Mainline, perusahaan manajemen dan software turnamen esports asal Amerika Serikat, baru saja mendapatkan investasi Seri A sebesar US$6,8 juta (sekitar Rp95,3 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh Work America Capital. Selain perusahaan modal ventura itu, sejumlah investor pribadi yang bergerak di ranah olahraga juga ikut serta dalam pendanaan untuk Mainline ini. Mainline menyebutkan, dana ini akan mereka gunakan untuk mengembangkan platform turnamen esports mereka. Selain itu, mereka juga akan menambah pekerja di bidang sales, marketing, dan development. Mereka juga berencana untuk menambah klien dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Pada awalnya, Mainline adalah bagian dari FanReact (yang kini bernama Truss) dan secara khusus menargetkan esports di tingkat universitas. Esports di tingkat perkuliahan memang tumbuh dengan sangat cepat. Penyelenggara turnamen esports tingkat universitas terbesar, Tespa, memiliki 850 sekolah sebagai anggota, hampir 2.000 pemain, dan telah memberikan total hadiah sebesar US$3 juta. Tak hanya di tingkat kuliah, esports di tingkat SMA juga menunjukkan potensi. Platform penyedia turnamen esports untuk siswa SMA, PlayVS dan All-Star eLeague, belum lama ini telah mendapatkan pendanaan. Meskipun begitu, Mainline kini tak hanya fokus pada esports di tingkat kuliah. Sekarang, mereka juga membantu penyelenggaraan turnamen esports profesional. Mereka telah memiliki sejumlah klien ternama, seperti Dreamhack, PUBG Corp., dan Clutch Gaming. Mereka juga membantu ESPN dalam mengadakan Collegiate Esports Championship. Sejauh ini, Mainline telah membantu pengadaan ribuan turnamen esports online dan offline.

CEO Mainline, Chris Buckner | Sumber: Houston Business Journal / JONATHAN ADAMS
CEO Mainline, Chris Buckner | Sumber: Houston Business Journal / JONATHAN ADAMS

“Industri gaming dan esports tengah berkembang pesat; sayangnya, penyelenggaraan turnamen esports tak memiliki keberlanjutan yang jelas, membuat esports tak bisa tumbuh di sejumlah pasar yang berpotensi,” kata CEO Mainline, Chris Bucker, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Pada klien kami, Mainline memberikan tool untuk mengadakan acara esports yang meriah yang akan mengubah industri esports yang kini semakin dewasa. Ini akan menguntungkan para pemain, siswa, dan ekosistem esports secara keseluruhan.” Eksekutif Mainline berasal dari berbagai perusahaan esports ternama, seperti ESL, Dreamhack, Tespa, NRG Esports, Blizzard, Twitch, dan Sony Pictures Entertainment.

“Sama seperti industri lain yang berkembang pesat, ada masalah di esports yang hanya bisa diselesaikan dengan inovasi baru,” kata Mark Toon, Managing Partner, Work America Capital, menurut laporan VentureBeat. “Mainline membuat standar dan mengoptimalkan industri esports, membuka jalan bagi lebih banyak pemain dan tim untuk ikut serta, dan menciptakan kemungkinan diadakannya turnamen esports yang lebih besar dan lebih baik. Mainline memiliki visi yang menempatkan mereka pada posisi strategis untuk menyelenggarakan turnamen di semua level, dari amatir, tingkat universitas, dan profesional.”

Vindex Resmi Diluncurkan, Dapatkan Investasi Senilai Rp842 Miliar

Vindex, perusahaan yang hendak membangun infrastruktur esports, resmi beroperasi. Bersamaan dengan itu, mereka juga mengumumkan pendanaan Seri A sebesar US$60 juta (sekitar Rp842 miliar). Vindex didirikan oleh Mike Sepso dan Sundance DiGiovanni, dua pendiri Major League Gaming (MLG) — yang diakuisisi oleh Activition Blizzard pada 2015 — serta Bryan Binder dan Jason Garminse, investor pribadi dan wirausahawan fintech. Vindex ingin menjadi penyedia teknologi dan layanan untuk membantu para pelaku esports, seperti publisher game, penyelenggara liga, dan tim profesional, untuk berinteraksi dengan para fans mereka di seluruh dunia.

Esports telah mengalami pertumbuhan pesat selama hampir dua puluh tahun, dan saya bangga karena saya bisa menjadi bagian dari industri ini,” kata CEO Vindex, Mike Sepso, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Yang lebih penting, esports mendorong pertumbuhan di industri game dan membuat fans menjadi lebih aktif berinteraksi. Kami ada untuk memudahkan proses itu, membuat interaksi dengan fans menjadi lebih menyenangkan dan lebih mudah.”

Pada saat peluncurannya, Vindex juga mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Next Generation Esports (NGE) dan peluncuran perusahaan Esports Engine. Kedua perusahaan ini bergerak dalam bidang terkait operasi, produksi, dan teknologi esports. Para pendiri dan manajemen senior dari dua perusahaan itu akan tetap duduk di jabatan mereka saat ini. Selain itu, mereka juga akan menjadi bagian dari tim kepemimpinan Vindex. Didirikan oleh Adam Apicella, yang juga pernah bekerja di MLG, Esports Engine berusaha untuk membantu publisher dan tim esports profesional terhubung dengan para fans. Sementara NGE adalah perusahaan produksi esports asal California, Amerika Serikat. Vindex berencana untuk mempertahankan dan mengembangkan semua kerja sama yang telah Esports Engine dan VGE buat selama ini.

Sumber: MLG via Dot Esports
Sumber: MLG via Dot Esports

Dengan bergabungnya Esports Engine dan NGE di bawah Vindex, ini menjadikan Vindex sebagai platform penyedia infrastruktur esports terbesar yang ada saat ini. Karena itu, tak heran jika Pendiri Gotham Asset Management, Joel Greenblatt tertarik untuk menanamkan investasi di Vindex. Dia percaya, Vindex akan bisa menyelesaikan salah satu masalah yang ada di esports. “Publisher game dan penyelenggara liga game harus bisa memenuhi permintaan yang tinggi dari para fans yang jumlahnya terus bertambah,” kata Greenblatt pada CNBC. “Tidak mudah untuk memenuhi permintaan akan program, konten, dan acara esports yang sangat tinggi.” Dia percaya, industri esports memiliki potensi besar. Namun, dia merasa, potensi itu hanya bisa direalisasikan jika ada infrastruktur yang mumpuni untuk mendukung meroketnya jumlah penonton esports.

Selain modal, Vindex juga memiliki anggota dewan yang berpengalaman, seperti Steve Bornstein, veteran broadcast olahraga yang pernah menjadi CEO ESPN dan NFL Network serta ikut bekerja sama dengan Sepso di Activision untuk meluncurkan divisi esports mereka. “Saya tak pernah merasa seantusias ini sejak saya menjadi CEO ESPN. Saya melihat tingkat antusiasme dan talenta yang sama di Vindex,” ujar Bornstein, dikutip dari Aithority. “Orang-orang di Vindex telah mencapai berbagai pencapaian besar di industri esports dan memiliki visi yang jelas dalam fase berikutnya dari pertumbuhan indsutri esports. Saya senang bisa ikut membantu merealisasikan potensi dari pasar esports global.”