Kecil tapi Bandel, Panasonic Lumix FT7 Juga Dilengkapi Viewfinder Elektronik

Mayoritas smartphone terkini sudah bisa Anda ajak berenang. Namun kalau niat Anda adalah menyelam di laut selagi mengabadikan keindahannya, opsi berwujud ringkas masih harus dijatuhkan pada deretan kamera compact berbodi tangguh, macam yang baru diluncurkan oleh Panasonic berikut ini.

Dari luar kamera bernama Panasonic Lumix FT7 ini memang kelihatan bandel. Tanpa dibantu casing tambahan, ia siap Anda ajak menyelam sampai kedalaman 31 meter. Jatuh dari ketinggian 2 meter pun bukan masalah besar baginya, demikian pula untuk suhu dingin sampai -10 derajat Celsius.

Panasonic Lumix FT7

Yang unik dari kamera ini adalah kehadiran sebuah viewfinder elektronik, yang tergolong jarang kita temui di kategori ini. Viewfinder-nya memang bukan termasuk ukuran yang proper, hanya 0,2 inci, dengan tingkat perbesaran 0,45x dan resolusi 1,17 juta dot. Meski demikian, kehadirannya masih akan sangat berguna ketika memotret di darat selagi matahari bersinar amat terang.

Di dalamnya, bernaung sensor BSI (backside illuminated) 1/2,3 inci dengan resolusi maksimum 20,4 megapixel. Lensa yang menemani memiliki focal length 28-128mm, dengan rentang aperture f/3.5-5.9. Bukan yang terbaik, tapi setidaknya Anda bisa melakukan zooming tanpa harus mendekat terlebih dulu.

Seperti Panasonic lainnya, perekaman video selalu mendapat perhatian khusus. FT7 menawarkan opsi perekaman dalam resolusi 4K 30 fps, 1080p 60 fps, atau 720p 120 fps. Fitur 4K Photo yang menjadi ciri khas Panasonic pun turut tersedia. Soal pengoperasian, sayang LCD 3 inci di belakangnya bukan layar sentuh.

Panasonic Lumix FT7

Sistem autofocus-nya sendiri mengandalkan teknik contrast-detection, dengan 49 titik yang bisa dipilih. Tracking subjek bergerak diklaim dapat dilakukan dalam kecepatan 5 fps, sedangkan kecepatan burst shooting-nya mencapai angka 10 fps. Baterainya sendiri diyakini bisa bertahan hingga 300 jepretan.

Konektivitas Wi-Fi sudah pasti tersedia, sayangnya Bluetooth masih belum. Perangkat ini rencananya bakal dipasarkan mulai musim panas mendatang seharga $449 dengan tiga pilihan warna: hitam, biru dan oranye.

Sumber: DPReview.

Fujifilm Resmikan Showroom Pertamanya di Surabaya

Membuka toko fisik di era yang didominasi e-commerce ini mungkin terkesan sebagai tindakan yang kurang bijak. Namun kalau melihat kesuksesan Apple dengan jaringan Apple Store-nya di berbagai negara, langkah yang penuh risiko ini sejatinya juga bisa membantu meningkatkan penetrasi pasar secara signifikan.

Di Indonesia, Apple memang belum memiliki toko fisik, akan tetapi brand lain seperti Samsung sudah membuka semacam experience store. Itu di industri smartphone, sedangkan di industri kamera, ada Fujifilm yang sudah membuka showroom resminya di Jakarta sejak tahun 2015.

Tahun 2018 ini, mereka memutuskan untuk berekspansi ke kota lain. Tujuan yang pertama adalah Surabaya, di mana Fujifilm baru saja meresmikan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza 6. Lokasinya terbilang cukup tengah bagi saya yang memang berdomisili di Kota Pahlawan.

Fujifilm Showroom Surabaya

Fungsi utama showroom ini tentu saja adalah sebagai tempat berjualan, akan tetapi calon pembeli pun juga dibebaskan untuk menjajal deretan kamera yang sudah di-display. Kalau Anda membeli ponsel, umumnya pasti ingin mencoba langsung terlebih dulu, premisnya kurang lebih sama di sini, hanya saja barangnya berupa kamera.

Dalam persaingan di kancah mirrorless di Indonesia, Fujifilm sendiri menduduki peringkat dua menurut penjelasan Johanes Rampi selaku General Manager divisi electronic imaging Fujifilm Indonesia. Tren penggunaan mirrorless yang terus naik – rata-rata naik 25 persen setiap tahun, tahun lalu bahkan lebih – menjadi salah satu dorongan bagi Fujifilm untuk membuka showroom di lokasi lain selain ibukota.

Lalu mengapa Surabaya? Karena Surabaya memang merupakan lahan penjualan kamera Fujifilm yang terbesar kedua setelah Jakarta. Showroom ini pun baru permulaan, sebab mereka juga berencana membuka cabang lainnya, termasuk yang terintegrasi dengan toko kamera (Fujifilm Corner), dan Fuji pun juga tertarik untuk membuka showroom di Yogyakarta, meski belum tahu kapan.

Showroom sebagai upaya menyatukan berbagai unit bisnis

Fujifilm Showroom Surabaya

Selain mengedepankan aspek experience, masih ada beberapa fasilitas lain yang ditawarkan showroom Fujifilm di Surabaya. Yang pertama adalah ruang kelas untuk menggelar workshop, dengan kapasitas sekitar 20 orang. Workshop ini bakal mencakup tema dari yang basic sampai advanced, dan diestimasikan 80 persennya bisa diikuti secara cuma-cuma.

Anggiawan Pratama, Marketing Manager Fujifilm Indonesia, mengatakan bahwa workshop bakal dihelat secara rutin, bisa seminggu sekali, bisa dua minggu sekali. Jadwalnya akan dipublikasikan melalui media sosial, dan yang tertarik bisa melakukan pendaftaran via email.

Fujifilm Showroom Surabaya

Di seberang ruang kelas itu, ada booth khusus untuk memamerkan lini kamera instan Fujifilm Instax. Namun yang lebih menarik ada di sebelahnya lagi, yakni sebuah booth bernama Wonder Photo Corner untuk mencetak foto. Mungkin Anda sudah lupa, tapi sebelum dunia mengenal kamera digital, Fujifilm memang cukup berjaya di bisnis printing.

Showroom ini pada dasarnya bisa dianggap sebagai upaya Fujifilm untuk menyatukan divisi-divisi bisnisnya yang berhadapan langsung dengan konsumen umum. Jadi meskipun bisnis printing cukup tergerus oleh industri digital, nyatanya bisnis ini masih bisa bertahan, dan belakangan konsumen memang banyak yang tertarik mencetak hasil jepretan kamera maupun smartphone-nya.

Fujifilm Showroom Surabaya

Di booth Wonder Photo Corner ini, konsumen hanya perlu membawa ponsel atau memory card, lalu memindahkan foto yang hendak dicetaknya ke komputer yang telah tersedia. Konsumen bebas mengedit fotonya sebelum dicetak, dan sesudah dicetak pun mereka bisa menambahkan ornamen-ornamen dekoratif lainnya di semacam meja arts & crafts (DIY) yang sudah disediakan.

Semua ini tidak dipungut biaya selama masa pembukaan showroom, tapi masih belum bisa dipastikan sampai kapan tepatnya – Fuji nantinya bakal mematok tarif. Anda pun tidak harus menjadi pengguna kamera Fujifilm untuk bisa mencetak di sana, sebab booth ini pada dasarnya merupakan bentuk promosi bisnis printing Fuji.

Gratis, tapi tentu harus ada sejumlah batasan agar tidak disalahgunakan. Utamanya, batas foto yang bisa konsumen cetak hanya lima lembar. Format foto yang dapat dicetak pun bisa sampai sebesar 10R (sekitar 25 x 30 cm).

Varian warna baru Fujifilm X-A5

Fujifilm X-A5 Dark Silver

Dalam momen yang sama, Fujifilm turut memperkenalkan varian warna baru untuk kamera Fujifilm X-A5 yang sebelumnya sudah mereka luncurkan secara resmi di tanah air pada bulan Februari lalu. Warna baru ini mereka sebut dengan istilah Dark Silver, dan harganya sama-sama dipatok Rp 9 juta bersama lensa kit. Selama bulan Mei ini, X-A5 Dark Silver akan dijual secara eksklusif melalui Tokopedia.

Fujifilm X-A5 Dark Silver

Dibandingkan pilihan warna sebelumnya, warna baru ini tampak jauh lebih maskulin (di mata saya sepintas terlihat seperti warna panel belakang iPhone 5) dan diharapkan bisa menarik perhatian lebih banyak konsumen pria. X-A Series sendiri merupakan lini yang paling laris penjualannya tahun lalu, jadi wajar apabila Fujifilm ingin terus meningkatkan angka penjualannya lebih lagi.

Fujifilm X-A5 Dark Silver

Secara keseluruhan, Anggiawan mengatakan bahwa konsep yang diusung showroom Fujifilm di Surabaya ini lebih modern ketimbang yang sudah beroperasi di Jakarta. Kalau terbukti bisa meningkatkan traffic dan penjualan, rencananya showroom yang di Jakarta juga akan di-refresh mengikuti arahan baru ini – yang sebenarnya juga bisa dipandang sebagai upaya peremajaan toko cetak foto.

Action Cam Terbaru GoPro Dihargai Cuma $200

GoPro kembali mendapat sorotan publik. Setelah mengumumkan strategi bisnis barunya belum lama ini, kali ini mereka memperkenalkan sebuah action cam baru yang secara spesifik ditujukan untuk konsumen baru, atau dengan kata lain, action cam berharga paling terjangkaunya.

Dinamai sesederhana GoPro Hero (tanpa embel-embel angka), action cam ini menawarkan keseimbangan yang pas antara harga dan kualitas. Hero6 dan Hero5 belum lama ini memang sudah turun harga masing-masing menjadi $400 dan $300, akan tetapi Hero yang paling gres ini malah lebih murah lagi di angka $200.

GoPro Hero

Tentu saja pemangkasan harga itu harus berujung pada hilangnya beberapa fitur unggulan milik kedua kakaknya yang lebih mahal, utamanya opsi perekaman video 4K. Kendati demikian, Hero masih sanggup merekam dalam resolusi 1440p ataupun 1080p, semuanya dalam kecepatan 60 fps, serta menjepret foto beresolusi 10 megapixel.

Desainnya nyaris identik dengan Hero6 maupun Hero5, dan Hero rupanya juga tahan air hingga 10 meter tanpa casing tambahan. Pengoperasiannya mengandalkan layar sentuh 2 inci di belakang, atau bisa juga dengan perintah suara. Lebih lanjut, sistem electronic stabilization telah disematkan, dan seperti biasa, kamera juga kompatibel dengan seabrek aksesori GoPro yang ada di pasaran.

GoPro Hero

Tidak ketinggalan adalah dukungan fitur QuikStories yang ada pada aplikasi pendamping GoPro, di mana koleksi rekaman dapat diedit menjadi satu klip secara otomatis. Kehadiran fitur ini sejatinya cukup krusial kalau yang menjadi target pasar adalah konsumen baru, atau lebih tepatnya mereka yang belum pernah memiliki action cam dan selama ini masih mengandalkan kamera smartphone.

Simpel, mengemas fitur dan spesifikasi yang lumayan, tapi dihargai terjangkau; kira-kira demikian deskripsi pendek yang cocok untuk GoPro Hero generasi terbaru ini. $200 memang masih terdengar mahal jika dibandingkan action cam lain yang ada di pasaran, tapi setidaknya Hero layak dipertimbangkan berkat dukungan ekosistem aksesorinya.

Sumber: DPReview.

Sony A7 III Hadir Membawa Sejumlah Fitur Unggulan A7R III dan A9

Sony baru saja mengungkap kamera mirrorless full-frame baru, A7 III. Dibandingkan A7 II yang dirilis tiga tahun silam, kamera ini menjanjikan pembaruan yang signifikan. Ini dikarenakan A7 III telah banyak mewarisi fitur-fitur unggulan Sony A9 dan A7R III yang sudah lebih dulu hadir tahun lalu.

Dari A9, A7 III meminjam sistem autofocus hybrid-nya, dengan 693 titik phase-detection yang nyaris memenuhi keseluruhan bingkai (93%), plus 425 titik contrast-detection. Fitur Eye AF-nya pun turut tersedia di sini, tapi tidak untuk kemampuan menjepret tanpa henti secepat 20 fps.

Dari A7R III, A7 III meminjam joystick kecilnya yang sangat praktis digunakan untuk menentukan titik autofocus. Kapabilitas burst shooting-nya juga sama dengan A7R III di angka 10 fps, dan baterai berkapasitas dua kali lebih besar pun akhirnya juga hadir di sini. A7 III juga mengemas sistem image stabilization 5-axis.

Sony A7 III

Yang membedakan A7 III adalah sensornya, yang ‘masih’ beresolusi 24 megapixel. Sensor ini juga bukan yang bertipe stacked seperti milik A9, dan itulah alasan mengapa A7 III belum bisa sengebut A9. Terlepas dari itu, pembaruan-pembaruan di atas setidaknya sudah bisa menjadi alasan bagi konsumen A7 II untuk akhirnya memutuskan upgrade.

A7 III juga lebih cekatan soal video, di mana fitur Hybrid Log Gamma yang diperkenalkan bersama A7R III turut tersedia di sini. Pilihan resolusinya mencakup 4K 30 fps, 4K 24 fps, atau 1080p 120 fps untuk slow-mo, dan videografer profesional juga dapat memakainya untuk merekam dalam mode S-Log2 atau S-Log3.

Sony A7 III

Sayangnya A7 III tidak mewarisi viewfinder elektronik beresolusi tinggi milik A7R III; masih di resolusi 2,36 juta dot, tapi kini dengan tingkat perbesaran 0,78x yang lebih tinggi. Untungnya, LCD 3 inci milik A7 III adalah touchscreen, dan slot SD card-nya pun juga ada dua seperti kedua kakaknya tersebut.

Rencananya Sony A7 III bakal dipasarkan mulai April mendatang seharga $2.000 untuk bodinya saja. Banderolnya terkesan murah jika dibandingkan dengan A7R III atau malah A9.

Sumber: DPReview.

Canon EOS M50 Jadi Kamera Mirrorless Pertama Canon yang Sanggup Merekam Video 4K

Dua tahun terakhir ini Canon sibuk mengejar ketertinggalannya di segmen mirrorless. Yang belum kesampaian selama ini adalah opsi perekaman video 4K, namun akhirnya mereka bisa mewujudkannya lewat Canon EOS M50 yang baru saja dirilis.

M50 masih menggunakan sensor APS-C 24 megapixel, lengkap dengan sistem autofocus Dual Pixel seperti sejumlah model lain di seri EOS M. Yang baru adalah, M50 dapat merekam video 4K, meski hanya terbatas pada kecepatan 24 fps saja.

Ini dimungkinkan berkat penggunaan prosesor baru DIGIC 8, yang turut berjasa memberi M50 kemampuan untuk merekam video 1080p 120 fps (untuk dijadikan video slow-motion). Performanya secara keseluruhan juga cukup lumayan, dengan kemampuan menjepret tanpa henti secepat 10 fps, atau 7,4 fps dengan continuous autofocus.

Canon EOS M50

Secara desain, M50 banyak mewarisi penampilan EOS M5. Hand grip-nya sama-sama cukup besar, tapi sayang kenop-kenop di panel atasnya tidak selengkap M5. Beruntung M50 juga mewarisi viewfinder elektronik, yang mengandalkan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot.

Yang lebih superior justru adalah layar sentuhnya di belakang. Kalau di M5, layarnya hanya bisa dimiringkan ke atas atau bawah. Di M50, layar ini bisa dibuka ke samping dan diputar 360 derajat. Desain semacam ini pastinya akan sangat bermanfaat ketika kamera digunakan untuk merekam video, dan ini sejalan dengan peningkatan di sektor video yang dibawa M50.

Canon EOS M50

Selebihnya, ada fitur-fitur pemanis seperti Bluetooth (di samping Wi-Fi dan NFC), yang memungkinkan fitur transfer gambar secara otomatis ke perangkat mobile. Kemudian ada juga format gambar RAW baru berlabel CR3, yang diyakini masih bisa menawarkan kualitas tinggi dalam ukuran file separuh lebih kecil.

Canon berencana memasarkan EOS M50 mulai bulan April mendatang seharga $780 (body only). Bundel bersama lensa juga tersedia: $900 dengan lensa 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM, atau $1.250 dengan lensa yang sama plus 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM (dua lensa sekaligus).

Sumber: DPReview.

DSLR Full-Frame Pentax K-1 Mark II Tidak Kesulitan Memotret dalam Kondisi Gelap Gulita

Persis dua tahun yang lalu, Pentax memulai debutnya di segmen DSLR full-frame lewat Pentax K-1. Sekarang, sekuelnya sudah siap meluncur dengan sejumlah pembaruan. Label “Mark II” pada namanya mengindikasikan pembaruan yang tergolong minor, akan tetapi pengaruhnya tetap cukup signifikan.

Pentax K-1 Mark II masih mengemas sensor yang sama seperti pendahulunya: full-frame 36,4 megapixel, tanpa filter anti-aliasing guna mempertajam hasil tangkapannya. Yang baru adalah sebuah komponen accelerator, yang memungkinkan sensitivitasnya terhadap cahaya naik drastis sampai ke ISO 819200, sehingga kamera pada dasarnya mampu melihat dalam kegelapan.

Pentax K-1 Mark II

Juga baru adalah sistem image stabilization 5-axis yang lebih sempurna. Begitu efektifnya kinerja sistem ini, mode pemotretan Pixel Shift pun bisa digunakan tanpa memerlukan tripod. Pixel Shift sendiri merupakan mode khusus di mana kamera akan mengambil empat gambar selagi menggeser posisi sensornya, sebelum akhirnya dijadikan satu gambar dengan tingkat detail yang luar biasa.

Mode Pixel Shift di K-1 Mark II juga ikut dibenahi, di mana kamera kini dapat menyimpan data warna RGB di tiap-tiap pixel, sehingga pada akhirnya hasil tangkapannya bisa mengemas detail yang lebih baik lagi, serta warna yang lebih realistis. Singkat cerita, Pentax pada dasarnya tidak mau menyia-nyiakan potensi sensor full-frame pada kamera ini.

Selebihnya, K-1 Mark II masih sama seperti generasi pertamanya. Ini bisa berarti baik, tapi bisa juga tidak. Yang mungkin sangat mengecewakan adalah, K-1 Mark II masih saja belum bisa merekam video 4K. Satu-satunya cara menghasilkan video 4K menggunakan kamera ini adalah dengan memanfaatkan mode time lapse.

Positifnya, K-1 Mark II masih mempertahankan desain ergonomis dan konstruksi kokoh pendahulunya yang tahan terhadap cuaca ekstrem. LCD 3,2 inci yang sangat fleksibel dan bisa diputar-putar ke hampir segala arah pun juga masih ada di sini.

Pentax berencana melepas K-1 Mark II ke pasaran mulai bulan April, dengan banderol $2.000 (body only). Bundel bersama lensa 28-105mm f/3.5-5.6 juga bakal tersedia seharga $2.400.

Pentax K-1 Mark II

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-H1 Buktikan Bahwa Fuji Tak Lagi Payah Soal Video

Usai memperkenalkan X-A5 baru-baru ini, Fujifilm langsung tancap gas menyingkap kamera baru untuk segmen high-end. Bukan X-T3 atau X-Pro3, melainkan lini baru dengan kode X-H. Namun jangan salah, kamera bernama Fujifilm X-H1 ini diklaim memiliki performa tertinggi dari seluruh keluarga Fuji X-Series.

Lewat X-H1, Fujifilm sejatinya melanjutkan keseriusan mereka di bidang video, yang diawali bersama X-T2 dua tahun silam. Ini bisa dilihat dari spesifikasi utamanya yang cukup mirip: sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel, plus engine X-Processor Pro. Yang benar-benar baru, dan untuk pertama kalinya bagi Fujifilm, adalah sistem image stabilization internal 5-axis, mirip seperti milik Panasonic Lumix GX9 yang juga baru saja dirilis.

Selama ini, Fuji hanya mengandalkan stabilization bawaan lensa. Dengan adanya sistem internal ini, ketajaman gambar bisa tetap terjamin meski menggunakan lensa yang non-stabilized dan tanpa tripod. Efeknya pun bakal semakin terasa ketika kamera digunakan untuk merekam video.

Fujifilm X-H1

Di sektor video, X-H1 menjadi kamera Fuji pertama yang mampu merekam dalam format ‘mentah’ F-Log. Pilihan resolusinya antara lain 1080p 120 fps (untuk slow-mo), 4K 30 fps, dan DCI 4K (4096 x 2160) 24 fps – belum selevel Lumix GH5S, tapi setidaknya merupakan prestasi buat Fujifilm yang selama ini terkesan menyepelekan kapabilitas video kamera-kameranya.

Kualitas video yang dihasilkan juga dipastikan lebih baik ketimbang X-T2 berkat tingkat kompresi yang lebih tinggi di angka 200 Mbps. Sebagai pemanis, X-H1 mengemas Film Simulation baru bernama Eterna, yang Fuji formulasikan secara khusus untuk memberikan efek sinematik pada video.

Fujifilm X-H1

Beralih ke desain, tampak bahwa penampilannya banyak terinspirasi kamera mirrorless medium format Fuji, GFX 50S, utamanya berkat hand grip yang begitu menonjol, serta sebuah indikator LCD kecil di panel atas, di belakang tombol shutter. Sama seperti X-T2, bodi X-H1 juga diklaim tahan terhadap cuaca ekstrem.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh viewfinder elektronik (EVF) baru dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x. Tidak hanya lapang dan tajam, EVF ini juga sangat cekatan, mampu menyajikan tampilan live dalam kecepatan 100 fps. Di bawahnya, ada LCD 3 inci yang bisa dioperasikan dengan sentuhan.

Fujifilm X-H1

Fuji berencana menjual X-H1 di AS dan Kanada terlebih dulu mulai 1 Maret mendatang. Harganya dipatok $1.900 (body only), atau $2.200 bersama aksesori vertical grip yang bakal menambah daya tahan baterainya secara drastis, sekaligus meningkatkan durasi maksimum saat merekam video 4K.

Sumber: DPReview.

Blackmagic Ursa Broadcast Adalah Kamera Video 4K Kelas Pro dengan Harga Setara DSLR High-End

Dimensi bongsor dan harga yang mahal merupakan dua atribut yang selalu melekat pada kamera video kelas profesional. Hal ini tergolong wajar mengingat kebanyakan konsumennya adalah stasiun televisi, akan tetapi belakangan YouTuber juga mulai ‘naik kelas’ dan menggunakan kamera serupa buat channel-nya masing-masing.

Tren ini tampaknya menjadi penggerak di balik inisiatif terbaru Blackmagic Design. Belum lama ini, produsen kamera asal Australia itu memperkenalkan Blackmagic Ursa Broadcast, yang diklaim sebagai kamera video kelas profesional dengan harga paling terjangkau.

Memangnya seberapa terjangkau? $3.495, masih kelewat mahal buat sebagian besar konsumen, akan tetapi harganya ini selevel dengan sejumlah DSLR kelas atas. Nikon D850 misalnya, dijual seharga $3.300, sedangkan Canon 1D X Mark II malah jauh lebih mahal di angka $5.999.

Blackmagic Ursa Broadcast

Meski terjangkau, Ursa Broadcast masih menawarkan fleksibilitas tinggi seperti kamera lain yang ditujukan untuk keperluan broadcasting. Pengguna bebas memilih hendak merekam video 4K (hingga 60 fps) dalam format lossless 12-bit CinemaDNG Raw, 10-bit DNxHD 220X, DNxHD 145 atau ProRes.

Sensor berukuran 2/3 inci yang digunakan memang bukan yang terbesar, akan tetapi masih bisa menjanjikan dynamic range seluas 12 stop. Singkat cerita, Blackmagic cukup percaya diri hasil rekaman Ursa Broadcast jauh lebih baik ketimbang mayoritas DSLR, dan semuanya layak tayang tanpa harus melalui proses color grading.

Blackmagic Ursa Broadcast

Selain di studio, Ursa Broadcast juga ideal untuk di lapangan. Ini dikarenakan terdapat dua slot SD card dan dua slot CFast di bodinya, fitur yang termasuk langka untuk kategori kamera broadcast. Ursa Broadcast menggunakan mount lensa B4, namun pengguna juga bisa menggantinya dengan mount lensa PL, F atau EF.

Pengoperasiannya banyak mengandalkan sederet tombol dan kenop fisik dengan sebuah indikator LCD, akan tetapi kamera turut mengemas layar sentuh 4 inci yang siap digunakan kapan saja. Semuanya dikemas dalam bodi magnesium yang kokoh sekaligus ringan, plus kompatibel dengan seabrek aksesori keluaran Blackmagic.

Blackmagic Ursa Broadcast

Produk ini dirilis hampir bersamaan dengan diumumkannya rencana kerja sama Foxconn dan RED untuk mengembangkan kamera 8K dengan harga yang lebih terjangkau. Mungkin ini hanya kebetulan, akan tetapi bisa menjadi indikasi bahwa produsen kamera video kelas profesional juga ingin mencicipi porsi pasar yang lebih mainstream, yang sebelumnya dikuasai oleh brand seperti Sony dan Panasonic.

Sumber: DPReview dan Blackmagic.

Panasonic Lumix GX9 Andalkan Sistem Image Stabilization 5-Axis dan Sensor Tanpa Low-Pass Filter

Panasonic baru saja menyingkap kamera mirrorless terbarunya, Lumix GX9. Sesuai namanya, ia merupakan penerus dari Lumix GX8 yang dirilis di tahun 2015. Spesifikasinya memang tidak sefenomenal Lumix G9, akan tetapi masih menawarkan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pendahulunya.

Sensor Micro Four Thirds yang digunakan masih sama, dengan resolusi 20,3 megapixel dan dukungan prosesor Venus Engine. Yang berbeda kali ini adalah absennya low-pass filter, yang diyakini mampu meningkatkan ketajaman gambar yang dihasilkan. Sebagai bonus, Panasonic turut menyematkan mode L.Monochrome D bagi penggemar fotografi hitam-putih dengan cita rasa analog, lengkap dengan penyesuaian intensitas grain-nya.

Panasonic Lumix GX9

Untuk video, Lumix GX9 siap merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps. Sistem autofocus-nya tidak berubah, masih mengandalkan 49 titik beserta teknologi Depth from Defocus yang terbukti sanggup mengunci fokus dengan sangat cepat.

Pembaruan lain yang dibawa GX9 adalah sistem image stabilization internal 5-axis, selevel dengan yang Olympus tawarkan melalui seri OM-D. Lebih lanjut, Panasonic bilang bahwa sistem ini bisa dipadukan bersama sistem image stabilization bawaan lensa agar kompensasi guncangan bisa semakin maksimal.

Panasonic Lumix GX9

Secara fisik, Lumix GX9 mungkin terlihat mirip seperti GX8, akan tetapi sebenarnya tersimpan banyak perbedaan. Di depan, ukuran hand grip-nya menyusut dan tidak lagi setebal milik GX8 – grip milik GX8 begitu tebal sampai-sampai tombol shutter bisa ditempatkan di atasnya.

Beralih ke panel atasnya, Anda bisa menemukan pop-up flash di sebelah hot shoe. Lalu di sebelah satunya, masih ada viewfinder elektronik (EVF) yang bisa dimiringkan ke atas sampai 90 derajat. EVF ini mengemas resolusi 2,76 juta dot, dengan tingkat perbesaran 0,7x dan field of view 100%.

Di bawahnya, Anda akan menjumpai layar sentuh 3 inci beresolusi 1,24 juta dot. Yang sedikit mengecewakan, layar ini tak lagi seperti milik GX8 yang bisa ditarik ke sebelah lalu diputar-putar sesuka hati. Di sini layarnya cuma bisa dimiringkan ke atas 80 derajat, atau ke bawah 45 derajat.

Panasonic Lumix GX9

Saya menduga Panasonic sengaja melakukannya demi memangkas tebal body sekaligus bobot GX9, akan tetapi hal ini sepertinya bisa menjadi alasan utama pengguna GX8 untuk tidak memilih rute upgrade. Selebihnya, karena ini sudah tahun 2018, Bluetooth pun sudah menjadi suatu keharusan, dan GX9 paham betul akan persyaratan tersebut.

Panasonic Lumix GX9 dijadwalkan masuk ke pasaran mulai awal Maret mendatang dengan harga $999, sudah termasuk lensa anyar 12-60mm f/3.5-5.6. Aksesori yang ditawarkan mencakup wide eyecup seharga $19, serta grip tambahan seharga $59.

Sumber: DPReview.

Olympus PEN E-PL9 Hadir Membawa Penyempurnaan Desain dan Kemampuan Merekam Video 4K

Olympus PEN Lite (E-PL) merupakan salah satu lini kamera mirrorless tertua. Generasi pertamanya (E-PL1) diumumkan di tahun 2010, jauh sebelum segmen mirrorless bisa dikategorikan mainstream. Selama kiprahnya, seri E-PL selalu diposisikan sebagai kamera mirrorless berharga terjangkau dengan penampilan yang atraktif, dan itu masih dipertahankan hingga kini.

Buktinya bisa kita lihat dari Olympus PEN E-PL9, penerus E-PL8 yang diumumkan di tahun 2016. Perawakan ringkas bergaya rangefinder-nya masih menjadi daya tarik utama, lengkap dengan balutan kulit imitasi yang tak cuma menambah kesan elegan, tapi juga membantu memantapkan genggaman.

Bicara soal grip, tonjolan di bagian depan kanan E-PL9 jauh lebih besar ketimbang pendahulunya, dan ini sudah pasti berpengaruh positif terhadap kenyamanan pengoperasiannya. Mengintip panel atasnya, kenop untuk mengganti mode kamera juga bertambah besar, dan tidak seperti pendahulunya, E-PL9 dibekali pop-up flash.

Olympus PEN E-PL9

Terkait spesifikasinya, E-PL9 mengemas sensor 16 megapixel sekaligus prosesor TruePic VIII yang sama persis seperti milik OM-D E-M10 Mark III, yang secara hierarki masih duduk di atas E-PL9. Sistem autofocus-nya pun sama, dengan total 121 titik dan dukungan face sekaligus eye detection.

Yang membedakan kedua kamera ini adalah sistem image stabilization-nya. E-PL9 mengusung sistem 3-axis, sedangkan OM-D E-M10 Mark III lebih superior dengan sistem 5-axis. Kendati demikian, sistem 3-axis saja sebenarnya sudah cukup efektif mengompensasi guncangan selama pengguna menggenggam kamera.

Sensor dan prosesor baru ini juga memungkinkan E-PL9 untuk merekam video 4K 30 fps, menjadi yang pertama dari seri E-PL yang menembus pencapaian ini. Juga baru adalah konektivitas Bluetooth, yang belakangan memang menjadi prioritas produsen-produsen kamera demi memudahkan proses menyambungkan kamera ke smartphone atau tablet. Dalam kasus E-PL9, gambar bisa dipindah ke ponsel meski kamera dalam keadaan tidak menyala.

Olympus PEN E-PL9

Selebihnya, pengguna seri E-PL masih akan dimanjakan oleh gaya pengoperasian yang sama. Layar sentuh 3 incinya masih bisa diputar 90 derajat ke atas, atau 180 derajat ke bawah, sedangkan baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 350 jepretan.

Olympus berencana melepas E-PL9 ke pasaran mulai pertengahan bulan Maret mendatang. Harganya dipatok 699 euro bersama lensa power-zoom 14-42mm f/3.5-5.6, atau 549 euro untuk body-nya saja.  Pilihan warna yang tersedia ada tiga: hitam, coklat dan putih.

Sumber: DPReview.