Phantom v2640 Adalah Kamera Slow-Motion Kelas Dewa

Video slow-motion sederhananya tercipta dari video yang direkam dalam kecepatan tinggi, yang kemudian ditonton dalam kecepatan normal. Menggunakan smartphone, kita bisa merekam dalam kecepatan 240 fps, sedangkan menggunakan kamera seperti Sony RX100 V, kecepatannya meningkat drastis menjadi 960 fps.

Ketika video diputar dalam kecepatan normal 30 fps, ini berarti kita menonton videonya dalam kecepatan 32 kali lebih lambat dari adegan aslinya. Namun ini semua tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kamera yang diciptakan secara khusus untuk keperluan slow-motion, seperti kamera bernama Phantom v2640 berikut ini.

Dikembangkan oleh Vision Research, Phantom v2640 sebenarnya ditujukan buat kalangan peneliti maupun engineer. Sensor yang dikemasnya memang cuma beresolusi 4 megapixel (2048 x 1952 pixel), akan tetapi ia sanggup merekam video dalam kecepatan 6.600 fps di resolusi ini.

Phantom v2640

Kalau resolusinya diturunkan menjadi 1920 x 1080 pixel, kecepatannya malah bisa ditingkatkan lagi menjadi 11.750 fps. Masih kurang cepat? Ganti mode perekamannya menjadi mode monokrom, maka Phantom v2640 siap merekam dalam kecepatan 25.030 fps. Dalam mode ini, kondisi pencahayaan yang minim pun bukan masalah mengingat ISO-nya bisa mencapai angka 16.000.

Salah satu rahasianya terletak pada kemampuan kamera merekam dengan shutter speed secepat 142 nanodetik, alias 0,000142 milidetik. Di samping itu, kamera turut dilengkapi media penyimpanan internal sebesar 288 GB, serta port Ethernet 10 Gb untuk memindah hasil rekaman ke komputer dengan cepat.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai harga jual Phantom v2640, tapi bisa dipastikan harganya jauh dari kata murah – ingat, target pasarnya adalah para peneliti dan engineer, bukan konsumen umum. Kalau masih penasaran sekeren apa adegan slow-motion yang bisa ditangkapnya, tonton saja video di bawah.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-A5 Benahi Performa Pendahulunya dengan Phase-Detection Autofocus

Fujifilm baru saja memperkenalkan X-A5, model teranyar dari lini kamera mirrorless terbawahnya. Kamera ini meneruskan jejak Fujifilm X-A3 yang dirilis di tahun 2016, sekaligus membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya tersebut.

Salah satu faktor yang membuat lini Fujifilm X-A bisa ditawarkan dalam harga terjangkau adalah penggunaan sensor konvensional, bukan yang berteknologi X-Trans seperti yang terdapat lini X-E, X-T maupun X-Pro. X-A5 masih mempertahankan tradisi tersebut dengan mengusung sensor APS-C 24 megapixel yang memiliki rentang ISO 200 – 12800 (bisa diekspansi menjadi 100 – 51200).

Fujifilm X-A5

Kekurangan X-A3 yang coba dibenahi adalah perihal performa. X-A5 merupakan kamera pertama di lini X-A yang dibekali phase-detection autofocus (PDAF). Sistem hybrid AF ini memungkinkan kamera untuk mengunci fokus dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya, sekaligus lebih cekatan dalam membekukan subjek yang sedang bergerak.

Di samping itu, Fuji juga telah menanamkan prosesor baru ke dalam X-A5, dengan klaim peningkatan kinerja secara umum hingga 1,5 kali lebih cepat. Soal video, X-A5 dapat merekam dalam resolusi 4K, hanya saja kecepatannya cuma 15 fps saja, jauh di bawah standar.

Fujifilm X-A5

Pembaruan lainnya mencakup baterai yang lebih awet (kini dapat beroperasi sampai 450 jepretan), jack untuk mikrofon eksternal, serta konektivitas Bluetooth 4.1 untuk memudahkan proses pairing dan transfer gambar.

Selebihnya, Fujifilm X-A5 masih mempertahankan segala kelebihan X-A3, macam layar sentuh 3 inci yang bisa dilipat menghadap ke depan untuk selfie, dan desain klasik yang tampak manis di mata. Kamera ini bakal dipasarkan mulai awal bulan ini seharga $599 bersama lensa baru XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ, yang merupakan lensa Power Zoom pertama Fujifilm.

Sumber: DPReview.

Fujifilm Luncurkan Kamera Saku Tahan Banting Baru, FinePix XP130

Fujifilm mengawali tahun 2018 dengan cukup santai, tidak seperti dua tahun lalu di mana mereka menyingkap salah satu kamera mirrorless terandalnya, X-Pro2. Produk pertamanya yang dirilis tahun ini adalah FinePix XP130, generasi baru dari kamera saku tahan bantingnya.

Secara fisik dan teknis tidak ada banyak perubahan yang dibawa XP130 jika dibandingkan XP120. Perangkat masih mengemas sensor 16 megapixel, ditemani oleh lensa 28-140mm f/3.9-4.9. Video dapat ia rekam dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps, sedangkan tingkat ISO-nya berkisar 100 – 3200.

Fujifilm FinePix XP130

Body-nya tetap amat ringkas, dengan bobot hanya 207 gram, sudah termasuk baterai. Terlepas dari itu, Fuji mengklaim XP130 tahan banting dari ketinggian 1,8 meter, tahan air sampai kedalaman 20 meter dan tahan beku sampai suhu -10 derajat Celsius. Di belakang, pengguna bakal disambut oleh LCD 3 inci beresolusi 920 ribut dot dengan lapisan anti-reflektif.

Beralih ke hal yang baru, XP130 mengemas konektivitas Bluetooth di samping Wi-Fi, fitur baru yang Fuji perkenalkan belum lama ini lewat X-E3. Kehadiran Bluetooth berarti menyambungkan kamera ke smartphone atau tablet bakal jauh lebih mudah, dan foto pun bisa dipindah secara instan, termasuk menuju printer Instax Share.

Fujifilm FinePix XP130

Selain Bluetooth, fitur baru yang dibawa XP130 mencakup Eye Detection untuk mengunci fokus pada mata subjek, dan juga Electronic Level untuk membantu mengambil komposisi dengan subjek horizontal secara apik. Fujifilm XP130 rencananya akan dilepas ke pasaran mulai bulan Maret seharga $230, dengan lima pilihan warna: hitam, biru, hijau, kuning dan putih.

Sumber: DPReview.

Smartphone Masih Mendominasi Daftar Kamera Terpopuler Versi Flickr Tahun Ini

Seperti biasa menjelang pergantian tahun, Flickr selalu merilis laporan kamera terpopuler yang digunakan oleh komunitas penggunanya. Tahun lalu, 48% dari semua foto yang diunggah ke Flickr diambil menggunakan smartphone, dan tren itu terus berlanjut hingga kini.

Angkanya naik sedikit menjadi 50%, atau dengan kata lain separuh dari total foto yang diunggah ke Flickr untuk tahun ini. Peningkatannya tidak sedrastis dari 2015 ke 2016, dan hal ini dikarenakan ada jenis kamera lain yang juga mengalami peningkatan dalam hal persentase penggunaan, yaitu DSLR.

Kalau di tahun sebelumnya DSLR hanya mencatatkan angka 25%, tahun ini angkanya naik menjadi 33%. Ini menarik mengingat tahun ini sejatinya tidak banyak DSLR baru yang terkesan fenomenal, terkecuali Nikon D850 yang hampir sempurna dari segala aspek, dan terbukti menuai deretan pujian dari para fotografer (plus videografer).

Laporan Flickr ini sejatinya bisa dijadikan ‘serangan balik’ terhadap mereka yang bersikukuh bilang “DSLR sudah mati, sebab semua sekarang lebih memilih memakai smartphone.” Tidak bisa dipungkiri, smartphone sebagai alat fotografi memang terus bertambah populer, akan tetapi DSLR masih punya pasarnya sendiri, terutama di segmen profesional.

2017 Flickr top camera types

Yang bisa dibilang ‘nyaris mati’ justru adalah kamera point-and-shoot, yang hanya menorehkan angka 12% tahun ini, turun dari 21% di tahun lalu. Sejumlah smartphone, seperti Google Pixel 2 misalnya, terbukti mampu menghasilkan foto yang lebih bagus ketimbang beberapa kamera point-and-shoot.

Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan alasan di balik penurunan drastis ini. Saya juga tidak akan terkejut apabila dalam beberapa tahun ke depan smartphone bakal digolongkan sebagai kamera point-and-shoot, mengingat premis penggunaannya sudah sangat memenuhi kriteria kategori tersebut.

Juga menarik adalah bagaimana pertumbuhan kamera mirrorless tergolong stagnan kalau berdasarkan laporan Flickr ini. Persentasenya hanya naik dari 3% menjadi 4% tahun ini, terlepas dari cukup banyaknya kamera mirrorless baru yang fenomenal tahun ini, macam Sony A9 misalnya.

2017 Flickr top brands

Beralih ke soal brand, Apple lagi-lagi mendominasi kategori ini. 9 dari 10 kamera yang paling sering digunakan komunitas Flickr di tahun 2017 adalah iPhone – dengan iPhone 6, iPhone 6S dan iPhone 5S menduduki tiga posisi teratas – sedangkan satu sisanya dihuni oleh Canon 5D Mark III yang menduduki posisi 9.

Dari perspektif yang lebih luas, 54% dari total 100 kamera terpopuler di Flickr adalah iPhone. Posisi kedua ditempati oleh Canon dengan 23%, sedangkan Nikon menduduki posisi tiga dengan 18%. Tahun depan bisa dipastikan smartphone masih akan terus mendominasi, apalagi mengingat belakangan ini fitur Portrait Mode mulai menjamur dan terus dimatangkan dari waktu ke waktu.

Sumber: Flickr. Gambar header: Pexels.

Leica CL Adalah Reinkarnasi Modern Kamera Rangefinder Analog Tahun 70-an

Dedengkot kamera asal Jerman, Leica, kembali merilis kamera mirrorless baru. Dijuluki Leica CL, kamera ini merupakan reinkarnasi modern dari kamera rangefinder analog bernama sama yang diluncurkan di tahun 1973, yang berarti jeroannya sudah diperbarui mengikuti standar terkini.

Yang masih dipertahankan adalah aura retro penampilannya. Antik di luar, canggih di dalam, filosofi inilah yang sejatinya membuat Leica masih dipandang hingga kini, sekaligus yang menjadikan nama Fujifilm melejit di ranah mirrorless.

Leica CL

Jantung CL dihuni oleh sensor APS-C 24 megapixel, yang juga sanggup merekam video 4K 30 fps. Tingkat ISO-nya bebas diatur dari 100 sampai 50000, setara dengan kamera-kamera mirrorless terbaru yang ada di pasaran saat ini.

Sepintas spesifikasinya terdengar identik seperti Leica TL2 yang diumumkan pada bulan Juli lalu, lengkap sampai ke sistem autofocus 49 titik dan kemampuan memotret tanpa henti secepat 10 fps menggunakan shutter mekanis. Keduanya memang sangat mirip, hanya saja CL menawarkan kontrol yang lebih konvensional ketimbang hanya mengandalkan layar sentuh saja pada TL2.

Jadi selain sepasang kenop exposure di atas, CL juga mengemas tombol empat arah di sebelah layarnya. Layar 3 inci beresolusi 1,04 juta dot ini rupanya juga dilengkapi panel sentuh, sehingga pengoperasiannya terkesan lebih fleksibel daripada TL2. Satu komponen yang absen di TL2 adalah jendela bidik elektronik beresolusi 2,36 juta dot.

Leica CL

Di saat yang sama, Leica turut memperkenalkan lensa baru untuk menemani CL yang bertubuh ringkas ini. Lensa tersebut adalah Elmarit-TL 18 mm f/2.8 ASPH, yang tebalnya tidak lebih dari 20,5 mm. Leica mengklaimnya sebagai lensa wide-angle terkecil untuk kamera APS-C saat ini.

Leica bakal memasarkan CL mulai akhir November ini seharga $2.795 untuk bodinya saja. Bundel bersama lensa 18 mm baru tadi dibanderol $3.795 – lensanya saja dihargai $1.295 kalau dibeli secara terpisah – lalu tersedia pula bundel bersama lensa Vario-Elmar-TL 18-56 mm f/3.5-5.6 seharga $3.995.

Sumber: DPReview.

I’m Back Hidupkan Kembali Kamera Analog Menjadi Kamera Digital

Dalam rangka membangkitkan kembali semangat fotografi analog, Yashica belum lama ini memperkenalkan sebuah kamera digital unik yang memiliki cara kerja seperti kamera analog. Di tempat lain, ada startup asal Itali yang mencoba menghidupkan kembali kamera analog lewat jalur lain.

Jalur lain itu adalah mengubah kamera analog sepenuhnya menjadi kamera digital. Buah pemikirannya adalah I’m Back, sebuah aksesori yang bertindak sebagai dudukan kamera, dengan sebuah sensor gambar digital pada bagian dimana rol film sebelumnya berada.

I’m Back dapat digunakan bersama sejumlah kamera analog, seperti Nikon F, Minolta Maxxum 7000, Olympus om10, Praktica B200 maupun sejumlah kamera besutan Pentax. Pada dasarnya, apabila kamera analog Anda memiliki lubang tripod, opsi Bulb pada pengaturan shutter speed, kompatibilitas dengan sync flash dan kemampuan beroperasi selagi panel belakangnya terbuka; maka kamera itu kompatibel dengan I’m Back.

I'm Back

Sensor yang digunakan adalah sensor 16 megapixel buatan Panasonic. Detail mengenai ukuran sensornya tidak diberikan, tapi saya duga Micro Four Thirds kalau melibatkan Panasonic. Video dapat direkam dalam resolusi 1080p 60 fps, atau 2880 x 2160 pixel di kecepatan 24 fps.

Bagian belakangnya dihuni layar 2 inci, akan tetapi pengguna juga dapat memanfaatkan ponsel atau tablet-nya sebagai jendela bidik. Foto dan video akan disimpan ke kartu microSD, lalu ketika pengguna hendak menggunakan film kembali, cukup lepas modul I’m Back begitu saja.

I’m Back saat ini sedang ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga €175, atau kurang lebih sekitar Rp 2,8 juta.

Sumber: PetaPixel.

Yashica digiFilm Y35 Adalah Kamera Digital dengan Cara Kerja Sangat Mirip Seperti Kamera Analog

Comeback Polaroid bulan lalu mendapat respon yang cukup positif dari publik. Hal ini tampaknya menginspirasi produsen kamera lawas lain untuk mengambil langkah serupa, salah satunya adalah Yashica. Pabrikan asal Jepang yang merupakan pionir teknologi shutter berbasis elektronik itu baru saja memperkenalkan kamera yang super-unik.

Namanya Yashica digiFilm Y35. Desainnya sengaja dibuat semirip mungkin dengan Yashica Electro 35 yang populer di tahun 60-an. Secara mendasar ia merupakan sebuah kamera digital, akan tetapi embel-embel “digiFilm” mengindikasikan keunikan tersendiri daripadanya.

Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)
Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)

Y35 mengemas sensor CMOS 1/3,2 inci beresolusi 14 megapixel, plus lensa fixed 35mm f/2.8. Dengan sensor sekecil itu, kualitas gambar jelas bukan aspek yang diunggulkannya. Pada kenyataannya, Y35 memang tidak mengincar titel kamera dengan hasil foto terbaik.

Yang ingin disuguhkannya justru adalah pengalaman memotret menggunakan kamera analog, tapi dengan kepraktisan teknologi digital. Jadi, dengan kata lain, cara menggunakan Y35 sebenarnya sangat mirip seperti kamera analog, tapi semua hasil jepretannya merupakan foto digital.

Yashica digiFilm Y35

Kalau kamera analog membutuhkan rol film untuk beroperasi, Y35 membutuhkan digiFilm, yang pada dasarnya merupakan rol film palsu. Namun sebelum Anda menggaruk-garuk kepala, ketahuilah bahwa digiFilm merupakan bagian terpenting dari keseluruhan kamera ini.

digiFilm sederhananya berfungsi untuk menyetel pengaturan kamera, spesifiknya tingkat ISO, aspect ratio dan mode warna. Jadi ketimbang mengakses menu via layar seperti pada kamera digital biasa, pengguna Y35 harus menukar satu digiFilm dengan yang lain secara fisik untuk mengubah pengaturan-pengaturan tersebut – Anda juga tak akan menemukan layar di belakang Y35.

Yashica digiFilm Y35

Seperti kasusnya di kamera analog, mengganti tingkat ISO di Y35 hanya bisa dilakukan dengan mengganti digiFilm yang terpasang. Total ada 4 jenis digiFilm yang menemani Y35 pada awal debutnya ini: ISO 1600 High Speed, ISO 400 Black & White, ISO 200 Ultra Fine, dan 120 Format (ISO 200, tapi dengan aspect ratio kotak yang dioptimalkan untuk Instagram).

Satu-satunya parameter yang dapat diatur pengguna secara langsung adalah shutter speed; bisa 1 detik, 1/30, 1/60, 1/250 atau 1/500 detik lewat sebuah kenop di panel atasnya – atau pengguna bisa juga mengaktifkan mode otomatis kalau perlu. Juga seperti kamera analog, Y35 beroperasi menggunakan sepasang baterai AA biasa.

Yashica digiFilm Y35

Agar pengalaman fotografi analog yang disuguhkan jadi lebih autentik lagi, Y35 bahkan juga dilengkapi film winder di sebelah tombol shutter-nya. Jadi setiap kali selesai menjepret, pengguna harus menggeser tuas ini secara manual terlebih dulu agar dapat memotret kembali, sama persis seperti di kebanyakan kamera analog.

Tidak cuma itu, pengguna Y35 bahkan tidak memiliki opsi untuk menghapus foto yang diambilnya. Satu-satunya cara adalah memindah hasil jepretannya terlebih dulu dari SD card yang terpasang, atau bisa juga dengan menancapkan kabel micro USB dan menyambungkannya ke komputer.

Yashica digiFilm Y35

Yashica digiFilm Y35 pastinya tidak akan bisa menggantikan kamera analog sejati, tapi menurut saya ini merupakan cara cerdas untuk mengenang atau setidaknya mengenali fotografi analog, tanpa harus meluangkan waktu ekstra yang diperlukan untuk proses pencucian film.

Hal lain yang perlu dicatat, pengembang digiFilm mungkin sudah bukan lagi Yashica yang dunia kenal dulunya, sebab Yashica sebagai perusahaan telah beberapa kali berpindah tuan (dijual) dalam beberapa dekade terakhir. Terlepas dari itu, Anda yang tertarik dapat memesannya lewat situs crowdfunding Kickstarter seharga HK$1.168 (± Rp 2 jutaan), sudah termasuk 4 jenis digiFilm itu tadi.

Sumber: PetaPixel.

Kamera Superzoom Sony RX10 IV Sanggup Memotret Tanpa Henti dalam Kecepatan 24 fps

Sony baru saja mengumumkan generasi terbaru seri kamera superzoom-nya, RX10. Meski secara fisik RX10 IV identik dengan pendahulunya, performanya telah meningkat drastis berkat pengadopsian sejumlah teknologi yang dipinjam dari kamera mirrorless terbaik sekaligus termahal Sony saat ini, a9.

RX10 IV masih mempertahankan sensor 20 megapixel milik generasi sebelumnya, akan tetapi sensor berukuran 1 inci tersebut kini ditemani oleh prosesor Bionz X yang dipinjam dari Sony a9. Alhasil, RX10 IV sanggup memotret tanpa henti dalam kecepatan 24 fps, dengan posisi AF dan AE menyala. Saking cepatnya, hasil jepretannya bisa diubah menjadi video yang mulus.

Sony RX10 IV

Performa autofocus-nya juga ikut ditingkatkan, dan untuk pertama kalinya dalam seri RX10, Sony menyematkan sistem AF phase-detection. Total ada 315 titik AF yang bisa dipilih oleh pengguna, dan pengguna juga dapat mengoperasikannya via layar sentuh. Tidak hanya itu, kinerja AF Tracking-nya diyakini setara dengan Sony a9.

Mengingat seri RX10 banyak disukai oleh kalangan videografer, wajar apabila kapabilitas videonya turut mendapat perhatian khusus. RX10 IV mampu merekam dalam resolusi 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps. Namun yang paling penting, opsi perekaman dalam format S-Log2 dan S-Log3 yang pada dasarnya merupakan format RAW untuk video juga tersedia di sini.

Sony RX10 IV

Lensa yang digunakan masih sama: 24-600mm f/2.4-4 buatan Carl Zeiss. Sony tidak lupa menyematkan optical image stabilization pada lensa tersebut yang mampu mengompensasikan guncangan hingga 4,5 stop. Selain layar sentuh, kamera juga dilengkapi viewfinder elektronik berpanel OLED dengan resolusi 2,36 juta dot.

Sony RX10 IV rencananya akan dipasarkan mulai bulan Oktober mendatang seharga $1.700, dimulai di pasar Amerika Serikat terlebih dulu.

Sumber: DPReview.

Pertahankan Gaya Rangefinder, Fujifilm X-E3 Lebih Jago Urusan Video Plus Dibekali Layar Sentuh

Fujifilm baru saja memperkenalkan kamera mirrorless baru, X-E3. Tidak seperti X-E2S yang cuma membawa pembaruan minor, X-E3 merupakan suksesor sejati dari X-E2 yang diumumkan menjelang akhir tahun 2013. Hampir semua bagian X-E2 telah disempurnakan di sini, termasuk desain bergaya rangefinder-nya.

Yang paling utama adalah penggunaan sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel seperti yang terdapat pada Fujifilm X-Pro2, X-T2 dan X-T20. Kualitas gambarnya pun meningkat drastis, dengan sensitivitas ISO 200 – 12800 (bisa di-expand hingga 100 – 51200), terutama dalam kondisi low-light seperti yang sudah dibuktikan oleh X-Pro2.

Fujifilm X-E3

Akan tetapi yang tidak kalah penting juga adalah opsi perekaman video 4K 30 fps yang dipelopori oleh X-T2. Saya sendiri sampai sekarang masih menggunakan X-E2, dan saya hampir tidak pernah memakainya untuk merekam video dikarenakan hasilnya bahkan lebih jelek dari kamera smartphone – ya, sebelum ada X-T2, kualitas video kamera mirrorless Fuji memang seburuk itu.

Semuanya sudah berubah sekarang. Fujifilm tak lagi payah untuk urusan video. Review X-T2 membuktikan kalau hasil rekaman videonya bisa sama bagusnya seperti hasil fotonya, dan pengguna bahkan dapat mengaktifkan efek Film Simulation selagi perekaman berlangsung. Ini saja sebenarnya sudah bisa menjadi indikasi betapa signifikannya kualitas video yang ditawarkan X-E3 dibanding pendahulunya.

Kualitas gambar dan video telah ditingkatkan, demikian pula untuk performa kamera secara keseluruhan. X-E3 mengemas sistem autofocus 325 titik yang sangat cekatan dalam mengikuti objek bergerak. Fujifilm bahkan mengklaim X-E3 bisa mengunci fokus pada objek yang bergerak dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya berkat penerapan algoritma baru, sedangkan dalam mode burst X-E3 dapat menjepret tanpa henti dalam kecepatan 8 fps.

Fujifilm X-E3

Soal penampilan, sepintas X-E3 tampak mirip seperti pendahulunya tapi dengan dimensi yang sedikit lebih ringkas dan bobot lebih ringan. Panel atasnya hampir tidak berubah, terkecuali ada tuas untuk mengaktifkan mode Auto serta hilangnya pop-up flash – jangan khawatir, Fuji menyertakan flash eksternal yang bisa dipasang di hot shoe pada paket penjualannya.

Hand grip-nya telah disempurnakan, dan tepat di atasnya kini terdapat sebuah dial ekstra. Beralih ke belakang, Anda akan menjumpai layout tombol yang sangat rapi dan minimalis. Begitu minimalisnya, tombol empat arah di sisi kanan sudah tidak ada lagi di sini. Sebagai gantinya, X-E3 dapat dioperasikan menggunakan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot.

Swipe ke atas, bawah, kiri dan kanan dapat menggantikan fungsi yang sebelumnya muncul ketika pengguna menekan tombol empat arah pada X-E2, dan semuanya dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan. Menetapkan titik fokus dengan menyentuh layar seperti pada smartphone juga mungkin dilakukan di sini.

Fujifilm X-E3

Fuji tidak lupa menyematkan joystick kecil yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur titik fokus bagi mereka yang lebih memilih kontrol bergaya konvensional. Di atas layar, viewfinder elektronik beresolusi 2,36 juta dot siap ditugaskan kapan saja pengguna membutuhkannya.

Selain Wi-Fi, X-E3 rupanya turut mengemas konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkannya untuk terus terhubung ke smartphone atau tablet sehingga proses memindah gambar bakal terasa jauh lebih mudah. Di bagian samping, terdapat port micro-HDMI dan mikrofon, namun sayang tidak ada jack headphone.

Fujifilm X-E3 dijadwalkan tiba di pasaran mulai bulan September ini juga dalam pilihan warna hitam atau silver, dan dalam tiga konfigurasi: $900 untuk bodinya saja, $1.300 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4, atau $1.150 bersama lensa XF 23mm f/2 R WR.

Sumber: DPReview.

Masih Simpel dan Praktis, Kamera 360 Derajat Ricoh Theta V Kini Bisa Merekam 4K

Ricoh Theta adalah salah satu kamera 360 derajat terpopuler yang ada di pasaran. Popularitasnya bukan semata karena statusnya sebagai salah satu pionir di ranah ini, tetapi juga karena desainnya yang simpel dan pengoperasiannya yang praktis. Kualitas gambar memang bukan atribut unggulannya, tapi semua itu berubah pada generasi kelimanya tahun ini.

Desain Ricoh Theta V secara garis besar tidak berubah. Yang dirombak adalah jeroannya, yang kini mencakup chipset Qualcomm Snapdragon 625 guna mendongkrak kemampuannya dalam mengolah gambar. Benar saja, Theta V sepasang sensor 12 megapixel-nya kini sanggup menghasilkan video 360 derajat dalam resolusi 4K, atau foto spherical dalam resolusi 14 megapixel.

Sensitivitasnya terhadap cahaya juga ikut naik, dengan ISO maksimum 3200 (6400 untuk video), naik dari 1600 pada Theta S (generasi ketiga). Ricoh bilang kalau dynamic range Theta V meningkat drastis dikarenakan mereka telah menerapkan sejumlah teknologi dari lini DSLR Pentax.

Ricoh Theta V

Bukan cuma kualitas videonya saja yang disempurnakan, audio pun turut dibenahi berkat penggunaan mikrofon omni-directional. Andai suara yang dihasilkan pada video masih kurang surround, Theta V juga bisa dipasangi aksesori opsional berupa mikrofon 3D – tersedia pula aksesori lain berupa casing anti-air untuk dibawa menyelam sampai kedalaman 30 meter.

Koneksi dengan smartphone bisa terus berlangsung secara konstan berkat konektivitas Bluetooth LE, sedangkan proses transfer gambar bisa berlangsung secara lebih cepat berkat Wi-Fi AC. Theta V kini dibekali kapasitas penyimpanan internal sebesar 19 GB, sanggup mengakomodasi sekitar 4.800 foto dan video dengan total durasi 40 menit.

Ricoh saat ini sudah memasarkan Theta V seharga $430. Aksesori mikrofon 3D-nya dibanderol $270, sedangkan underwater case-nya bakal menyusul di bulan Oktober seharga $200.

Sumber: DPReview.