Sony RX100 V Masih Mungil dan Jago Potret, Tapi Kini Berbekal Sistem Autofocus yang Lebih Cepat dan Akurat

Tahun demi tahun, Sony RX100 terus mengukuhkan dirinya sebagai kamera saku terbaik. Iterasinya telah mencapai yang kelima kali, dan tahun ini Sony RX100 V membawa sejumlah pembaruan yang cukup menarik dibanding RX100 IV tahun lalu.

Lewat RX100 V, Sony ingin mengedepankan aspek performa. Ukuran yang kecil bukan berarti RX100 V harus punya kinerja kelas miniatur. Sistem autofocus-nya telah dirombak menjadi sistem hybrid, mengandalkan total 315 titik phase-detection yang terbukti jauh lebih efektif saat digunakan untuk tracking maupun mengunci objek yang bergerak cepat.

Menemani sistem tersebut adalah sebuah prosesor tambahan yang Sony rancang sendiri untuk meningkatkan kinerja kamera secara keseluruhan sekaligus buffer rate-nya, sama seperti yang terdapat pada Sony A6500 yang juga baru saja diperkenalkan. Hasilnya, RX100 V mampu memotret secara konstan dengan kecepatan 24 fps dalam resolusi penuh dan autofocus sekaligus auto-exposure menyala. Buffer rate-nya sendiri berada di kisaran 150 foto dalam format JPEG + RAW.

Spesifikasi RX100 V sebagian besar tidak berubah dari pendahulunya, terkecuali sistem autofocus yang jauh lebih cepat / Sony
Spesifikasi RX100 V sebagian besar tidak berubah dari pendahulunya, terkecuali sistem autofocus yang jauh lebih cepat / Sony

Kualitas video RX100 V juga ikut meningkat. Resolusinya masih sama 4K, tapi RX100 V mengambilnya dari resolusi asli 5028 x 2828 pixel (oversampling). Dengan teknik seperti ini, video 4K yang dihasilkan diyakini punya detail yang lebih tajam. Di saat yang sama RX100 V tetap mendukung mode slow-motion dalam kecepatan ekstrem – sampai 960 fps.

Selebihnya, Anda akan mendapat kamera yang sama dengan RX100 IV. Lensanya sama, bodinya sama, bahkan viewfinder dan layarnya pun sama, yang berarti sayang sekali layarnya masih bukan touchscreen. Satu-satunya perbedaan kecil adalah, layar ini sekarang tak cuma bisa dimiringkan ke atas 180 derajat, tapi juga ke bawah 45 derajat.

Sony RX100 V akan tersedia mulai bulan Oktober ini juga seharga $1.000. Bersamaan dengan itu, Sony juga akan menawarkan aksesori berupa underwater case secara terpisah seharga $350, kompatibel dengan seluruh seri RX100.

Sumber: DPReview.

Sony Luncurkan A6500, Kini Dilengkapi Layar Sentuh dan Image Stabilization 5-Axis

Hasil foto dan video yang berkualitas serta performa yang amat cepat menjadikan Sony A6300 sebagai salah satu kamera mirrorless terbaik yang bisa Anda beli saat ini. Hingga akhirnya tahtanya direbut oleh suksesornya sendiri, A6500, yang Sony perkenalkan kurang lebih delapan bulan setelah A6300.

Secara garis besar Sony A6500 adalah kamera yang sama seperti A6300. Desain bodinya tidak berubah, masih mengemas hand grip berukuran besar yang ergonomis. Sensor yang digunakan juga sama, APS-C 24,2 megapixel dengan kemampuan merekam video 4K yang sama pula.

Sistem autofocus-nya pun juga sama cepatnya, sanggup mengunci fokus dalam waktu 0,05 detik saja, dengan bekal 425 titik phase-detection yang akan menjamin akurasinya. Lalu apanya yang berubah? Mengapa Sony merasa perlu merilis penerus A6300 kalau kamera itu saja umurnya belum ada setahun?

Sony A6500 kini dilengkapi layar sentuh yang berfungsi bahkan ketika pengguna memakai viewfinder / Sony
Sony A6500 kini dilengkapi layar sentuh yang berfungsi bahkan ketika pengguna memakai viewfinder / Sony

Jawabannya ada dua: layar sentuh dan sistem image stabilization 5-axis. Saya pribadi sudah sejak lama mendambakan kamera mirrorless Sony yang dibekali dengan touchscreen. Kehadiran layar sentuh terbukti efektif dalam mempermudah pengguna menentukan titik fokus, seperti yang sudah saya alami selama beberapa tahun dengan kamera mirrrorless garapan Panasonic dan Olympus.

Jadi ketimbang susah-susah memakai tombol, pengguna A6500 bisa langsung menyentuh layar untuk menentukan titik fokus seperti ketika menggunakan smartphone. Fitur ini bahkan juga berfungsi saat menggunakan viewfinder, dimana layar otomatis beralih peran menjadi sebuah touchpad, lagi-lagi demi kenyamanan menentukan titik fokus secara cepat.

Spesifikasi Sony A6500 secara garis besar sama seperti A6300 / Sony
Spesifikasi Sony A6500 secara garis besar sama seperti A6300 / Sony

Setelah touchscreen, ada image stabilization 5-axis yang akan memastikan hasil foto tidak blur ketika memotret dengan shutter speed rendah tanpa memakai tripod. Efek kompensasinya setara 5 stop exposure, dan stabilization juga berfungsi dalam perekaman video.

Selebihnya, ada perubahan kecil berupa peningkatan buffer rate saat kamera dipakai untuk memotret tanpa henti. Kecepatannya sendiri masih sama di angka 11 fps, tapi buffer rate-nya meningkat menjadi sekitar 300 gambar dalam format JPEG, atau 100 gambar dalam format JPEG + RAW, sebelum akhirnya kamera menolak untuk mengambil gambar lagi kalau belum didiamkan beberapa saat.

Sony A6500 akan dipasarkan mulai akhir November seharga $1.400 (body only). Konsumen yang sudah terlanjur membeli A6300 tidak perlu minder dan tergesa-gesa ingin upgrade, budget yang tersedia mungkin akan lebih ideal jika dialokasikan ke lensa tambahan.

Sumber: DPReview.

Mirrorless Adalah Masa Depan Industri Kamera Digital

Kalender menunjuk tanggal 16 Oktober 2013. Pada hari itu, Sony membuat dunia gempar dengan memperkenalkan duo kamera mirrorless terbarunya yang amat istimewa: A7 dan A7R. Keduanya berhasil mencatatkan sejarah penting di industri kamera digital sebagai kamera mirrorless pertama yang mengusung sensor full-frame.

Sebelum A7 dan A7R, mayoritas publik masih menganggap mirrorless sebagai versi mini DSLR dengan kualitas lebih inferior. Fleksibilitasnya memang jauh melampaui kamera saku berkat lensa yang bisa dilepas-pasang, akan tetapi dimensi yang ringkas otomatis juga berarti keterbatasan ruang yang tersedia untuk sensor gambar, yang hingga saat ini masih menjadi indikator utama kualitas gambar sebuah kamera digital.

Sampai akhirnya Sony A7 dan A7R menampik anggapan tersebut. Dibandingkan dengan DSLR termurah Canon pada saat itu, EOS 100D, bodi A7 hanya sedikit lebih besar dan lebih berat, tapi tebalnya cuma 2/3 dari 100D. Di saat yang sama, kualitas gambarnya bisa disetarakan dengan DSLR full-frame Nikon D800E yang berbobot dua kali lebih berat dan berharga lebih mahal.

Singkat cerita, Sony A7 dan A7R membuktikan kalau tidak selamanya kualitas gambar mirrorless lebih buruk dari DSLR. Dan di tahun 2016 ini, saya yakin tidak ada lagi para skeptis yang masih berani meragukan kamera mirrorless. Bahkan kalau diamati perkembangannya dari tahun ke tahun, kamera mirrorless boleh dibilang merupakan masa depan industri kamera digital.

Mirrorless kini lebih unggul soal sensor dibanding DSLR

Fujifilm GFX 50S / Fujifilm

Pernyataan di atas bukannya mengada-ada. Seperti yang kita tahu, ukuran penampang sensor yang lebih besar selalu berujung pada kualitas gambar yang lebih baik, terutama di kondisi minim cahaya. Full-frame sudah berhasil dicapai oleh Sony di tahun 2013, lalu apa lagi yang bisa melampaui hal tersebut? Medium format jawabannya.

Bulan Juni kemarin, Hasselblad X1D terlahir ke dunia. Ini merupakan kamera mirrorless pertama yang mengemas sensor medium format. Memangnya ukuran medium format lebih besar lagi ketimbang full-frame? Jauh: 44 mm x 33 mm untuk medium format, dibanding 36 x 24 mm untuk full-frame – sekitar 1,7x lebih besar.

Hasselblad sendiri merupakan dedengkot kamera medium format sejak zaman digital belum eksis, dan X1D tidak luput dari keahlian dan pengalaman panjang perusahaan asal Swedia tersebut. Selain ukuran sensornya melebihi DSLR termahal sekalipun, resolusinya mencapai angka 50 megapixel, dan dynamic range-nya seluas 14 stop.

Menariknya, Hasselblad ternyata tidak sendirian dalam konteks mirrorless medium format ini. Baru pekan kemarin di ajang Photokina 2016 di Jerman, Fujifilm mengumumkan bahwa mereka selama ini diam-diam menggodok kamera mirrorless medium format bernama GFX 50S. Kamera tersebut memang baru berupa prototipe dan peluncuran resminya baru akan diadakan tahun depan, tapi ini semakin membuktikan ‘keganasan’ mirrorless dalam menghadapi DSLR.

Mirrorless kini semakin relevan di tangan fotografer olahraga

Olympus OM-D E-M1 Mark II dengan grip opsional / Olympus
Olympus OM-D E-M1 Mark II dengan grip opsional / Olympus

Tanya ke beberapa fotografer olahraga apa kriteria utama kamera yang mereka butuhkan, saya yakin jawabannya adalah performa autofocus dan continuous shooting. Itulah mengapa kamera-kamera seperti Canon 1DX Mark II dan Nikon D4s menjadi pilihan mereka; bodi kamera yang besar memungkinkan Canon dan Nikon untuk menyematkan sistem tercepat yang bisa mereka buat.

Sampai di titik ini, mirrorless sebenarnya masih belum benar-benar bisa melampaui DSLR dalam hal performa – meski gap-nya semakin tahun semakin menyempit. Contoh yang paling gampang datang dari Canon sendiri lewat kamera mirrorless terbarunya, EOS M5.

Entah apakah Canon akhirnya senewen setelah bertahun-tahun dikritik tidak serius dalam menggarap kamera mirrorless, EOS M5 akhirnya datang mengusung teknologi yang sangat istimewa: Dual Pixel AF. Teknologi ini merupakan salah satu alasan mengapa Canon 1DX Mark II tadi sangat andal dalam hal kecepatan dan akurasi autofocus, dan kini ia sudah hadir di mirrorless.

Oke, autofocus sudah teratasi, bagaimana dengan kinerja continuous shooting? 1DX Mark II sanggup menjepret foto tanpa henti dengan kecepatan 14 fps dalam posisi autofocus menyala. Mirrorless bisa apa? Bisa melampauinya, seperti yang ditunjukkan oleh Olympus OM-D E-M1 Mark II.

Sekuel dari model mirrorless terandal Olympus ini sanggup memotret tanpa henti dengan kecepatan 18 fps dengan posisi AF Tracking menyala. Lebih istimewa lagi, semua foto tersebut disimpan dalam format RAW beresolusi penuh (20,4 megapixel).

Akan tetapi performa gesit tersebut hanya bisa dicapai ketika menggunakan electronic shutter. Saat memakai mechanical shutter, kecepatannya menurun menjadi 10 fps. Itulah mengapa saya sempat menyebutkan kalau mirrorless sejauh ini masih belum bisa mengalahkan DSLR dalam hal performa, tapi setidaknya sudah sangat mendekati.

Mirrorless kian populer di kalangan videografer profesional

Gambar teaser Panasonic Lumix GH5 / Panasonic
Gambar teaser Panasonic Lumix GH5 / Panasonic

Bicara soal videografi profesional, mungkin brand yang paling populer adalah RED yang bahkan sudah memiliki kamera sinema beresolusi 8K. Pun demikian, mirrorless masih mampu menunjukkan tajinya di ranah ini, terutama berkat Panasonic Lumix GH4 yang dirilis di pertengahan tahun 2014.

Kamera tersebut mengemas hampir segala fitur yang dibutuhkan pembuat film; perekaman video 4K tanpa memerlukan recorder eksternal, jack headphone dan mikrofon, dan masih banyak lagi. Akan tetapi suksesornya nanti akan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Sejauh ini masih dalam tahap pengembangan, Lumix GH5 bermisi menjadi kamera mirrorless pertama yang bisa merekam video 4K 60 fps. Tidak cuma itu, format warna 4:2:2 10-bit juga turut didukung. Dan ini semua dilakukan tanpa ada resiko overheating.

Anda memang bisa mendapatkan kamera sinema dengan kualitas dan fitur yang lebih baik dari Lumix GH4 atau GH5 nanti, tapi perlu diingat, kedua kamera ini juga bisa menjepret foto still. Fleksibilitas seperti ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian besar konsumen.

Mirrorless punya segudang pilihan lensa berkualitas

Koleksi lensa untuk lini kamera mirrorless Fujifilm / Fujifilm
Koleksi lensa untuk lini kamera mirrorless Fujifilm / Fujifilm

DSLR mungkin masih menang soal ini, tidak heran mengingat Canon sudah memproduksi lensa EF Mount sejak tahun 1987. Kendati demikian, apa yang berhasil dicapai Panasonic dan Olympus selaku pengembang platform Micro Four Thirds dalam kurun waktu 8 tahun saja sudah cukup fenomenal: total ada 58 lensa dengan variasi yang sangat luas.

Di tempat lain, Fujifilm tidak kalah serius dalam hal pengembangan lensa untuk lini mirrorless X-Series. Sejak tahun 2012, sekarang sudah ada 21 pilihan lensa untuk kamera mirrorless Fujifilm, sebagian di antaranya bahkan memiliki kualitas optik yang luar biasa dengan aperture besar.

Mempertimbangkan semua faktor di atas, sederhananya mirrorless sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Dilihat dari sudut pandang yang paling ekstrem, kalau pabrikan kamera mau bertahan ke depannya, mereka harus mau berinovasi di ranah mirrorless. Kalau perusahaan veteran sekelas Hasselblad saja mau, kenapa yang lain tidak?

Gambar header: Hasselblad X1D.

Tempelkan Podo di Mana Saja dan Ia Siap Mengabadikan Momen Kapan Pun Anda Mau

Masih ingat dengan Podo, kamera mini yang bermisi membuat tongsis jadi tidak relevan? Tahun kemarin, Podo Labs selaku pengembangnya berhasil mengumpulkan dana di Kickstarter sebanyak sembilan kali lipat dari yang ditargetkan, dan kini mereka rupanya sudah siap dengan versi yang kedua.

Podo 2nd Gen masih mempertahankan keunikan dari pendahulunya, yakni sebuah microsuction pad yang memungkinkannya untuk ditempelkan di permukaan apa saja – kayu, kaca, semen, baja dan lain sebagainya – sehingga pengguna sama sekali tidak memerlukan aksesori macam selfie stick. Desainnya juga tidak berubah banyak, yang dirombak adalah jeroannya.

Kualitas gambarnya kini dijamin jauh lebih baik dari Podo orisinil. Resolusinya memang cuma 5 megapixel, akan tetapi ukuran masing-masing pixel-nya dua kali lebih besar di angka 2,2 μm. Sebagai pembanding, ukuran pixel kamera milik Samsung Galaxy S7 yang dipuja-puja saja cuma 1,4 μm.

Hal ini berarti Podo 2nd Gen mempunyai dynamic range yang lebih baik, serta mampu menghasilkan foto dengan noise yang lebih minim pada kondisi low-light. Singkat cerita, semakin besar ukuran masing-masing pixel pada sensor, semakin baik kualitas gambar yang dihasilkan. Lebih lanjut, lensanya kini merupakan tipe wide-angle 90 derajat.

Dimensi Podo 2nd Gen masih tetap mungil, tapi kualitas gambarnya jauh lebih baik / Podo Labs
Dimensi Podo 2nd Gen masih tetap mungil, tapi kualitas gambarnya jauh lebih baik / Podo Labs

Podo memanfaatkan Bluetooth 4.2 untuk menyambung ke smartphone, sehingga pengguna tinggal mengendalikannya dengan bantuan aplikasi pendamping. Ia dibekali memory internal sebesar 8 GB; sedangkan baterainya diyakini bisa bertahan selama dua minggu dalam satu kali charge, atau kira-kira setelah menjepret sekitar 1.000 foto.

Terdapat beberapa mode tambahan pada Podo 2nd Gen. Yang paling menarik adalah mode Multi, dimana pengguna bisa menyinkronisasikan 6 Podo sekaligus untuk mengabadikan sebuah momen. Kemudian ada juga mode Solo yang memungkinkan pengguna untuk mengoperasikan Podo tanpa smartphone, melainkan dengan kontrol berbasis gesture.

Seperti sebelumnya, Podo 2nd Gen kembali ditawarkan melalui Kickstarter. Bedanya, ia kini bakal didistribusikan ke negara mana saja, dan harganya juga dipangkas cukup signifikan menjadi $39 saja selama masa early bird.

Leica Luncurkan Leica Q Edisi Khusus Indonesia, Hanya Tersedia Sebanyak 45 Unit saja

Mewah, elegan, serta ikonik, tidak heran apabila kamera buatan Leica kerap menjadi incaran para kolektor. Dipadukan dengan kualitas optik yang superior, wajar seandainya hampir semua fotografer mempunyai impian untuk memiliki kamera Leica.

Dilihat dari sudut pandang manapun, Leica memang terkesan lebih eksklusif dari brand lain, terutama karena harga kameranya yang mahal-mahal. Hal ini semakin diperkuat oleh kebiasaan Leica merilis edisi terbatas suatu model, dan Indonesia rupanya tidak luput dari perlakuan khusus semacam ini.

Tahun lalu, Leica Store Indonesia selaku distributor resmi Leica di tanah air meluncurkan kamera D-Lux (Typ 109) Indonesia Special Edition LE45. Tahun ini, mereka kembali membuat gebrakan dengan barang collectible lain berupa Leica Q Indonesia Edition 2016 yang didesain khusus untuk pencinta Leica di nusantara.

Secara spesifikasi, kamera ini tidak berbeda dengan yang dipamerkan di Leica Store Indonesia tahun lalu. Bodi compact-nya mengemas sensor full-frame 24,2 megapixel, yang didampingi oleh lensa Summilux 28mm f/1.7 ASPH untuk semakin meningkatkan kehandalan Leica Q di kondisi low-light.

Leica Q Indonesia Edition 2016 mengemas grafir peta Indonesia di panel atasnya / Leica Store Indonesia
Leica Q Indonesia Edition 2016 mengemas grafir peta Indonesia di panel atasnya / Leica Store Indonesia

Namun dalam edisi spesial ini, tampilan keseluruhannya jadi lebih spesial sekaligus stylish. Panel depannya dibalut material kulit dengan warna hijau safari. Dipadukan dengan strap kulit berwarna coklat, kekayaan alam yang dimiliki bumi tanah air semakin tersiratkan dari kamera ini.

Namun yang paling istimewa adalah kehadiran grafir peta Indonesia di panel atas kamera, tepat di bawah branding Leica Q, yang secara simbolis menggambarkan perjalanan Leica dalam mengabadikan beragam momen dan keindahan alam Indonesia.

Demi menjunjung tinggi aspek eksklusivitas, Leica Q Indonesia Edition 2016 hanya akan dipasarkan dalam jumlah yang amat terbatas, sebanyak 45 unit saja dan hanya bisa diperoleh di Leica Store Indonesia. Tidak ada info soal harganya, tapi yang pasti lebih mahal dari Leica Q standar dan pre-order akan dibuka mulai tanggal 1 Oktober mendatang.

Panasonic Lumix GH5 Bakal Jadi Kamera Mirrorless Pertama yang Bisa Merekam Video 4K 60 fps

Tidak bisa dipungkiri, Panasonic Lumix GH4 merupakan salah satu kamera mirrorless yang paling dicintai oleh kalangan videografer. Bagaimana tidak, saat diperkenalkan di pertengahan tahun 2014, belum banyak kamera mirrorless yang bisa merekam video 4K, apalagi merekamnya langsung ke memory card seperti Lumix GH4.

Dua tahun berselang, Panasonic rupanya telah sibuk menyiapkan suksesornya. Didapuk Lumix GH5, kamera yang sejauh ini masih dalam tahap pengembangan tersebut nantinya bakal menjadi kamera mirrorless pertama yang bisa merekam video 4K 60 fps – untuk sekarang opsi teratas yang ada di mayoritas kamera adalah 4K 30 fps.

Opsi perekaman video 4K 4:2:2 10-bit turut tersedia, demikian pula halnya dengan mode 6K Photo, dimana kamera dapat mengekstrak gambar foto 18 megapixel dari video yang direkam, atau foto 8 megapixel dari video 4K 60 fps.

Apa yang dilakukan Panasonic ini bukanlah pekerjaan mudah. Mereka harus pintar-pintar mengakali bagaimana kamera bisa menggelontorkan panas secara efisien. Hal ini krusial mengingat chip pengolah sinyal digital milik Lumix GH5 akan bekerja secara maksimal dalam menyuguhkan kapabilitas perekaman secanggih itu, dan resikonya tentu saja adalah overheating.

Seperti yang sudah disebutkan, Panasonic Lumix GH5 sejauh ini masih dalam tahap pengembangan. Tidak ada informasi mengenai banderol harga maupun jadwal peluncurannya, yang ada hanyalah sebuah prototipe yang tengah dipamerkan di ajang Photokina di Jerman.

Sumber: DPReview.

Panasonic Perkenalkan Trio Kamera Baru, Masing-Masing Sanggup Merekam Video 4K

Saat pabrikan lain hanya muncul dengan satu atau dua produk, Panasonic mengungkap trio kamera baru sekaligus di ajang Photokina yang berlangsung selama 20 – 25 September ini. Ketiganya adalah Lumix G80, Lumix LX10 dan Lumix FZ2500.

Panasonic Lumix G80

Lumix G80 merupakan suksesor Lumix G7 yang mempunyai gaya desain serupa. Bodinya sama-sama bergaya DSLR, akan tetapi G80 tahan cipratan air dan debu, plus sedikit lebih kokoh berkat pelat depan berbahan magnesium.

Penggunaan material magnesium ini didukung oleh sistem shutter baru yang memanfaatkan mekanisme elektromagnetik, dimana perpaduan keduanya dapat mengurangi hentakan maupun suara yang timbul saat tombol shutter dijepret.

Lumix G80 / Panasonic
Lumix G80 / Panasonic

Sebagian besar spesifikasi dan fitur yang ditawarkan G80 mengingatkan saya akan Lumix GX80 yang dirilis di bulan April lalu. Kemiripannya bermula dari sensor Four Thirds 16 megapixel tanpa low-pass filter, opsi perekaman video 4K, teknologi Depth from Defocus untuk autofocus dan berlanjut sampai sistem image stabilization 5-axis.

Dirinya turut dibekali EVF berpanel OLED 2,36 juta dot, dengan tingkat magnifikasi 0,74x dibandingkan milik Lumix G7 yang hanya 0,7x. Di bawahnya terpasang sebuah layar sentuh 3 inci yang bisa dibuka ke samping dan diputar-putar.

Panasonic Lumix G80 akan dipasarkan mulai Oktober mendatang seharga $899 body only, atau $999 bersama lensa kit 12-60mm f/3.5-5.6 Power O.I.S.

Panasonic Lumix LX15

Seri LX selama ini tidak pernah lebih dari sekadar kamera saku, tapi dengan LX15 Panasonic telah membawanya masuk ke level premium yang selama ini dikuasai oleh Sony RX100. Kuncinya ada pada penggunaan sensor berukuran lebih besar dari standar kamera saku; 1 inci dengan resolusi 20 megapixel – seperti milik Lumix TZ100 – plus lensa 24-72mm f/1.4-2.8.

Lumix LX15 / Panasonic
Lumix LX15 / Panasonic

Lumix LX15 turut dipersenjatai oleh sistem Hybrid OIS+ 5-axis, dimana perekaman video dalam resolusi 1080p akan distabilkan dengan perpaduan sistem electronic dan optical. Perekaman video 4K juga menjadi nilai jual dari LX15, dan ia turut dilengkapi fitur-fitur unik khas Panasonic, seperti misalnya Post Focus dimana pengguna bisa mengatur ulang titik fokus pasca pemotretan.

Tidak ada EVF pada bodi kecil LX15, jadi semua pengoperasian mengandalkan layar sentuh 3 incinya yang bisa dimiringkan 180 derajat untuk memudahkan selfie. Kamera ini rencananya akan masuk ke pasaran mulai bulan November seharga $699.

Panasonic Lumix FZ2000

FZ2000, sesuai dugaan, merupakan penerus dari Lumix FZ1000 yang populer di kalangan videografer. Keunggulan utama FZ2000 ada pada lensa dengan jangkauan zoom yang amat jauh, 20x optical zoom, atau tepatnya 24-480mm f/2.8-4.5. Sensor yang dipakai masih sama, 1 inci dengan resolusi 20 megapixel, plus teknologi autofocus Depth from Defocus.

Menariknya, mekanisme lensa ini berbeda dengan milik FZ1000. Di sini lensanya akan keluar saat kamera dinyalakan, dan tidak akan bergerak maju-mundur saat pengguna melakukan zooming. Semuanya berjalan secara internal seperti di camcorder, dan hasilnya zooming bisa berjalan lebih mulus, krusial untuk skenario videografi.

Lumix FZ2000 / Panasonic
Lumix FZ2000 / Panasonic

Menyinggung soal video, resolusi 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps adalah opsi maksimum yang bisa dipilih dengan FZ2000. Fitur lain yang akan membuat para videografer tersenyum adalah ND filter terintegrasi, dengan variasi -2EV, -4EV dan -6EV.

Desain Lumix FZ2000 tidak berubah banyak. Pengguna masih akan menjumpai sebuah EVF, tapi kini dengan panel OLED dan tingkat magnifikasi 0,74x, plus sebuah layar sentuh 3 inci yang bisa diarahkan ke samping lalu diputar-putar seperti milik G80 di atas.

Soal harga, Lumix FZ2000 dipatok $1.199 dan akan dipasarkan mulai November mendatang.

Sumber: 1, 2, 3, 4.

Olympus OM-D E-M1 Mark II Tawarkan Performa yang Luar Biasa Cepat untuk Kamera Seukurannya

Sekitar empat tahun sejak memperkenalkan kamera andalannya, OM-D E-M1, Olympus kini sudah siap dengan suksesornya. Berlabel Mark II, perubahannya hampir tidak terlihat dari luar. Meski jeroannya saja yang dirombak, apa yang ditawarkan OM-D E-M1 Mark II amat signifikan dibanding pendahulunya.

Tema utama yang hendak diangkat Olympus lewat OM-D E-M1 Mark II adalah kecepatan. Performanya sangat mencengangkan untuk kamera seukurannya: continuous shooting secepat 60 fps dalam posisi AF Lock, atau 18 fps dalam posisi AF Tracking, dan semua ini disimpan dalam format RAW beresolusi penuh.

Itu tadi menggunakan electronic shutter, tapi kinerjanya tidak kalah fenomenal meski memakai mechanical shutter: 15 fps dalam posisi AF dan AE terkunci, atau 10 fps dengan AF dan AE Tracking menyala. Digabungkan dengan sistem autofocus kelas dewa, kamera ini bisa menjadi incaran para fotografer olahraga maupun satwa liar nantinya.

Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus
Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus

Benar saja, total ada 121 titik fokus bertipe cross-type pada OM-D E-M1 Mark II. Sistem ini turut ditemani oleh sebuah prosesor yang secara khusus akan menangani kinerja autofocus, memastikan penguncian fokus berlangsung secepat mungkin dan seakurat mungkin, termasuk halnya dalam mode tracking.

Olympus OM-D E-M1 Mark II mengemas sensor Four Thirds baru beresolusi 20,4 megapixel, didampingi oleh prosesor quad-core TruePic VIII yang diyakini bisa bekerja 3,5 kali lebih kencang ketimbang versi sebelumnya. Kamera turut mendukung fitur High Res Shot 50 megapixel, sedangkan video bisa direkam dalam resolusi 4K dengan bitrate hingga 237 Mbps.

Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus
Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus

Image stabilization 5-axis yang dipopulerkan oleh Olympus sendiri tentunya masih tersedia, demikian pula dengan electronic viewfinder yang kini memiliki frame rate 120 fps. Layar sentuh tiga incinya bisa diputar-putar dan dibolak-balik sesuka hati, dan bodinya yang tahan terhadap cuaca ekstrem ini turut mengemas sepasang slot SD card.

Olympus tidak mengungkapkan kapan kamera ini akan diluncurkan secara resmi, tapi yang pasti sebelum pergantian tahun. Apa yang dikerjakan Olympus selama 4 tahun sepertinya membuahkan hasil dan perubahan yang cukup drastis – bahkan daya baterainya meningkat 37 persen dan waktu charging yang diperlukan 50 persen lebih singkat.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Fujifilm X-T2 Resmi Diperkenalkan, Untuk Pertama Kalinya Mengusung Perekaman Video 4K

Tahun 2016 rupanya menjadi tahun sekuel bagi Fujifilm. Setelah merilis Fujifilm X-Pro2 di bulan Januari kemarin, produsen kamera yang berdiri sejak 82 tahun silam tersebut kini memperkenalkan Fujifilm X-T2, yang tidak lain merupakan suksesor dari Fujifilm X-T1.

Apa saja yang baru dari X-T2? Well, dilihat dari luar, sepertinya tidak ada banyak perubahan. Kendati demikian, Fujifilm telah menerapkan sejumlah revisi kecil yang membuat X-T2 semakin matang dibanding pendahulunya.

Pembaruan yang paling utama adalah pemakaian sensor anyar X-Trans CMOS III dengan resolusi 24,3 megapixel. Sensor berukuran APS-C ini sama seperti yang bernaung di dalam bodi X-Pro2, dan ketika disandingkan dengan chip pengolah gambar yang baru pula, hasil fotonya di kondisi low-light dipastikan sangat baik dan minim noise.

Sensitivitasnya terhadap cahaya turut membaik, kini mendukung hingga tingkat ISO 12800. Namun yang lebih mencengangkan lagi, X-T2 menjadi kamera mirrorless pertama Fujifilm yang mengusung opsi perekaman video 4K 30 fps. Yup, sepertinya ini merupakan langkah awal Fuji untuk memperbaiki reputasinya di bidang video.

Tombol pada kenop shutter speed dan ISO milik X-T2 kini cukup diklik satu kali untuk membuka kuncinya, tidak perlu ditahan seperti di X-T1 / Fujifilm
Tombol pada kenop shutter speed dan ISO milik X-T2 kini cukup diklik satu kali untuk membuka kuncinya, tidak perlu ditahan seperti di X-T1 / Fujifilm

Kualitas gambar dan video yang oke didukung oleh performa X-T2 yang kian gegas. Shutter speed maksimumnya kini berada di angka 1/8.000 detik, sedangkan kinerja autofocus-nya dijamin meningkat pesat dibanding pendahulunya, dengan pilihan 325 titik fokus – 91 titik di antaranya merupakan titik fokus phase detection untuk pemotretan objek bergerak.

Kinerja tracking autofocus yang semakin sempurna ini dibarengi oleh electronic viewfinder (EVF) baru yang mempunyai refresh rate 100 fps dalam mode Boost. Resolusi dan tingkat perbersarannya masih sama, yakni 2,36 juta dot dan 0,77x, namun Fujifilm memastikan objek bergerak bisa tersaji di EVF tanpa terhambat sedikitpun, bahkan di kondisi minim cahaya. Melengkapi semua itu adalah tingkat kecerahan maksimum yang meningkat dua kali lipat.

LCD milik X-T2 bisa dimiringkan ke samping kanan, berguna saat hendak mengambil gambar dalam posisi berdiri / Fujifilm
LCD milik X-T2 bisa dimiringkan ke samping kanan, berguna saat hendak mengambil gambar dalam posisi berdiri / Fujifilm

Meski desainnya sepintas terlihat identik seperti X-T1, X-T2 yang sama-sama tahan terhadap cuaca ekstrem ini telah dirancang supaya bisa lebih nyaman di genggaman pengguna. Tidak hanya dengan grip baru yang lebih besar, tetapi juga perbaikan rancangan kenop putar di panel atas serta penambahan joystick di belakang untuk memudahkan pengaturan titik fokus.

LCD 3 incinya pun kini bisa dimiringkan, tidak cuma ke atas atau bawah, tapi juga ke samping kanan – ideal ketika pengguna hendak memotret dalam orientasi portrait. Tepat di sisi kanan, tertanam sepasang slot SD card yang keduanya mendukung model UHS-2 yang berkecepatan tinggi.

Kapan Anda bisa meminang Fujifilm X-T2? Mulai bulan September besok, dengan harga $1.600 untuk bodinya saja, atau $1.900 bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4.

Sumber: Fujifilm.

Apa Itu Kamera Mirrorless dan Apa Saja Kelebihannya

Dalam beberapa tahun terakhir, industri kamera ‘dihantui’ oleh istilah mirrorless. Tidak sedikit fotografer profesional yang memutuskan untuk memensiunkan kamera DSLR-nya dan beralih ke mirrorless. Sejumlah pabrikan, termasuk Fujifilm yang populer di era kamera analog, kini juga ikut menekuni bidang mirrorless dan meraih sukses.

Namun sebelum kita membahas mengenai kelebihan-kelebihannya, ada baiknya kita memahami lebih dulu apa itu kamera mirrorless. Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab rasa ingin tahu Anda terhadap kamera mirrorless.

Apa itu kamera mirrorless

Salah satu kamera mirrorless besutan Olympus dalam posisi lensa dilepas / Wikipedia
Salah satu kamera mirrorless besutan Olympus dalam posisi lensa dilepas / Wikipedia

Secara harfiah, kamera mirrorless berarti kamera tanpa cermin. Namun kalau mengacu pada makna ini, berarti semua kamera non-SLR atau non-DSLR adalah kamera mirrorless, termasuk kamera saku maupun kamera prosumer.

Istilah mirrorless lebih tepatnya mengacu pada mirrorless interchangeable lens camera (MILC), yaitu kamera yang lensanya bisa dilepas-pasang atau diganti, tetapi tidak dilengkapi cermin seperti DSLR. Absennya cermin ini secara langsung berdampak pada ukuran kamera mirrorless yang umumnya jauh lebih ringkas ketimbang DSLR.

Pemahaman ini pun berujung pada istilah lain dari kamera mirrorless, yaitu compact system camera (CSC), yang menggambarkan kelebihan kamera mirrorless: bodi ringkas, tapi merupakan sebuah sistem karena lensanya bisa digonta-ganti.

Karena tidak memiliki cermin, kamera mirrorless pun otomatis tidak mempunyai optical viewfinder seperti DSLR – terkecuali sejumlah model seperti Fujifilm X-Pro2. Komponen ini digantikan oleh electronic viewfinder (EVF) yang semakin tahun semakin matang teknologinya; sanggup menampilkan gambar tanpa lag dan dalam resolusi tinggi.

Kemunculan kategori mirrorless sendiri diawali oleh Epson R-D1 di tahun 2004. Namun sebelum Panasonic Lumix DMC-G1 diperkenalkan di tahun 2008, kategori mirrorless masih belum terlalu populer. Sesudahnya, kita pun sampai ke titik dimana kamera mirrorless bisa dibilang lebih populer ketimbang DSLR seperti sekarang ini.

Kelebihan-kelebihan kamera mirrorless

Sony A6300 merupakan salah satu kamera mirrorless dengan performa autofocus tercepat saat ini / Sony
Sony A6300 merupakan salah satu kamera mirrorless dengan performa autofocus tercepat saat ini / Sony

Seperti yang telah disebutkan, kelebihan utama kamera mirrorless adalah ukurannya ringkas dan bobotnya jauh lebih ringan, akan tetapi lensanya bisa diganti sesuai kebutuhan layaknya DSLR. Lebih lanjut, kualitas gambarnya pun tidak kalah karena umumnya mengemas sensor berukuran cukup besar; sejumlah model, seperti Sony A7R II, bahkan mengusung sensor full-frame yang biasanya hanya bisa kita jumpai pada DSLR seharga puluhan juta.

Performa kamera mirrorless terkini pun sudah sangat mendekati kamera DSLR. Demikian pula dengan kontrol manual yang lengkap. Satu-satunya aspek yang masih bisa dibilang lebih lemah daripada DSLR adalah continuous autofocus. Itulah mengapa fotografer olahraga biasanya masih lebih memilih DSLR dibanding mirrorless.

Secara keseluruhan, kamera mirrorless tidak bisa lagi dipandang enteng dalam industri fotografi dan videografi. Kematangan teknologi beserta kelengkapan ekosistem lensa yang ditawarkan oleh sejumlah merek pada akhirnya mampu merebut hati pengguna, baik kalangan profesional maupun konsumen secara umum.

Gambar header: Fujifilm X-M1 via Pexels.