Zenit Bangkit Kembali dengan Kamera Mirrorless Full-Frame, Zenit M

Penggemar sekaligus pengguna kamera Leica semestinya pernah mendengar pabrikan bernama Zenit. Di era fotografi film, merek asal Rusia tersebut pernah berjaya berkat sejumlah kamera jiplakan produk-produk Leica, sampai akhirnya mereka berhenti memproduksi kamera di tahun 2005.

Namun di tahun 2016, Shvabe Holding selaku pemegang merek Zenit mengumumkan bahwa mereka berniat menghidupkan brand itu kembali. Setahun setelahnya, niat mereka semakin jelas dengan rencana meluncurkan kamera mirrorless full-frame di tahun 2018, dan itu ternyata bukan bualan semata.

Di ajang Photokina 2018, di tengah-tengah pengumuman dari brandbrand besar, Zenit memperkenalkan Zenit M. Kalau sebelumnya mereka banyak mencontek Leica, kali ini Zenit bekerja sama langsung dengan Leica; Zenit M dibuat dengan Leica M (Typ 240) sebagai basisnya.

Leica M (Typ 240) / Leica
Leica M (Typ 240) / Leica

Kendati demikian, Zenit bilang bahwa mereka telah melakukan modifikasi baik pada hardware maupun software guna merealisasikan Zenit M, yang seharusnya berarti ini bukan revisi kosmetik semata. Menemani Zenit M adalah lensa Zenitar 35mm f/1 yang proses desain dan produksinya diklaim 100% berlangsung di Rusia.

Menurut Zenit, lensa ini sanggup menghasilkan gambar dengan efek soft focus dan bokeh yang unik tanpa memerlukan pemrosesan digital tambahan. Secara keseluruhan, penampilan Zenit M memang sengaja dibikin mirip dengan kamera-kamera lawas buatan mereka.

Zenit M

Zenit sejauh ini belum membeberkan spesifikasi M, akan tetapi semestinya identik dengan Leica M (Typ 240), yang mencakup sensor CMOS full-frame 24 megapixel, ISO 6400, continuous shooting 3 fps, perekaman video 1080p, LCD 3 inci beresolusi 920 ribu dot, live view focusing, dan viewfinder dengan tingkat perbesaran 0,68x.

Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan di Eropa pada bulan Desember mendatang. Harganya belum diungkap, tapi sebagai referensi, Leica M (Typ 240) yang menjadi basisnya sampai sekarang masih bisa dibeli seharga $6.000.

Sumber: PetaPixel dan Shvabe.

Leica S3 Sapa Penggemar DSLR Medium Format Tahun Depan

Photokina 2018 dimanfaatkan Leica untuk merayakan ulang tahun ke-10 DSLR medium format-nya, Leica S2. Pabrikan asal Jerman itu juga mengumumkan suksesornya, Leica S3, yang membawa sejumlah penyempurnaan dalam wujud yang tidak jauh berbeda.

Peningkatan yang paling signifikan, seperti yang sudah bisa kita duga, adalah di sektor resolusi. Sensor ProFormat (45 x 30 mm) yang digunakan S3 menawarkan resolusi 64 megapixel, naik hampir dua kali lipat dibanding sensor tipe CCD yang tertanam pada Leica S2.

S3 tidak lupa menjanjikan kemampuan merekam video 4K, dengan jaminan hasil yang berkualitas berkat pemanfaatan seluruh penampang sensor, serta tampilan khas medium format. Urusan continuous shooting, Leica S3 sanggup menjepret dalam kecepatan 3 fps.

Leica S3

Selebihnya, detail mengenai S3 masih minim. Leica cuma bilang bahwa sistem autofocus-nya dipastikan cepat sekaligus akurat, dan kamera akan dibekali viewfinder optik yang besar dan terang – S3 termasuk kategori DSLR, sehingga wajar apabila yang digunakan bukanlah viewfinder elektronik.

Rencananya, Leica S3 akan dipasarkan mulai musim semi tahun 2019. Harganya belum diungkap, tapi sudah pasti mahal. Buktinya, Leica S (Typ 007) (yang menggantikan sensor tipe CCD milik S2 dengan sensor CMOS di tahun 2014) masih bisa dibeli seharga $20.000.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Panasonic Sedang Kerjakan Dua Kamera Mirrorless Full-Frame: Lumix S1R dan S1

Kehadiran Nikon Z 7 dan Nikon Z 6 beserta Canon EOS R semestinya sudah cukup membuat Sony sebagai penguasa di segmen kamera mirrorless full-frame khawatir. Namun ternyata masih ada lagi pihak lain yang juga ingin ikut menginvasi lahan dominasi Sony, yaitu Panasonic. Di ajang Photokina 2018, pelopor tren mirrorless itu mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan dua kamera mirrorless full-frame.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix S1R dan S1. Layaknya seri Sony a7 yang selalu dibagi dua (tiga kalau a7S yang video-oriented juga dimasukkan hitungan), S1R adalah model flagship dengan sensor full-frame beresolusi 47 megapixel, sedangkan S1 ‘hanya’ 24 megapixel. Yang cukup unik, kedua kamera ini tidak menggunakan dudukan lensa (mount) baru seperti halnya Nikon Z dan Canon EOS R, melainkan L-mount besutan Leica.

Kendati demikian, Panasonic masih akan mengembangkan lensa L-mount bikinannya sendiri. Tiga yang sudah direncanakan adalah 50mm f/1.4, 24-105mm, dan 70-200mm, lalu tujuh lainnya akan menyusul tidak lewat setahun setelah kedua kamera ini diluncurkan. Demi semakin memperluas ekosistem lensa yang ditawarkan, Panasonic dan Leica juga telah menggandeng Sigma untuk ikut memproduksi lensa L-mount.

Panasonic Lumix S1R and Lumix S1

Berhubung masih dalam tahap pengembangan (yang dipamerkan baru prototipenya), detail mengenai S1R dan S1 pun belum terlalu lengkap. Beberapa yang esensial di antaranya adalah kemampuan merekam video 4K 60 fps (pertama untuk mirrorless full-frame kata Panasonic), dan sistem image stabilization internal yang dapat dikombinasikan dengan stabilization bawaan lensa.

Kedua kamera dilengkapi layar sentuh yang dapat dimiringkan pada tiga poros (atas, bawah dan samping, macam milik Fujifilm X-T3), sayang bukan yang model fully-articulated. Slot memory card-nya ada dua, satu untuk SD card biasa dan satu untuk XQD card. Menyesuaikan dengan target pasarnya, sasisnya telah dirancang agar tahan terhadap cuaca yang tidak ramah.

Rencananya, kedua kamera ini baru akan dipasarkan pada awal tahun 2019 mendatang. Harganya belum diketahui, tapi sudah pasti lebih mahal daripada Lumix GH5S, yang merupakan kamera termahal Panasonic saat ini.

Sumber: DPReview.

Canon PowerShot SX70 HS Unggulkan 65x Optical Zoom, Sempurnakan Banyak Aspek Pendahulunya

Kamera superzoom merupakan kategori yang cukup menarik. Umumnya kamera dalam kategori ini dirancang sebagai pendamping traveling yang serbabisa: dimensinya ringkas, akan tetapi menyimpan lensa dengan jangkauan zoom yang amat jauh, sehingga cocok untuk beragam kebutuhan.

Juli lalu, Canon meluncurkan PowerShot SX740 HS yang seukuran kamera saku tapi menawarkan 40x optical zoom. Kalau ternyata 40x masih dirasa kurang jauh, Canon punya penawaran baru lainnya, yakni PowerShot SX70 HS yang lebih besar sekaligus lebih jago meneropong.

Canon PowerShot SX70 HS

Kamera ini merupakan penerus langsung PowerShot SX60 HS, namun ternyata lensa yang digunakan masih sama: 21-1365mm (65x optical zoom, atau hampir separuh Nikon Coolpix P1000), dengan aperture maksimum f/3.4-6.5. Yang banyak dirombak justru adalah jeroannya.

SX70 mengemas sensor BSI (backside-illuminated) 1/2,3 inci dengan resolusi 20,3 megapixel. Ditemani oleh prosesor Digic 8, sensor ini sanggup menjepret dalam format RAW Canon CR3, yang ukuran file-nya lebih kecil daripada CR2. Video pun dapat ia rekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan bitrate maksimum 120 Mbps.

Canon juga menjanjikan sistem image stabilization yang lebih efektif lewat perpaduan sensor dan prosesor baru ini, dengan klaim bahwa sistemnya bisa mengompensasi guncangan hingga lima stop. Performa burst shooting-nya pun cukup gegas di angka 10 fps, atau 5,7 fps dengan continuous AF.

Canon PowerShot SX70 HS

Perubahan drastis lainnya ada pada viewfinder elektroniknya (EVF). Panel yang digunakan bukan lagi LCD beresolusi 922 ribu dot, tapi OLED 2,36 juta dot layaknya mayoritas kamera mirrorless. Sebelumnya absen, sensor mata kini hadir sehingga pergantian antara EVF dan LCD di bawahnya bisa terjadi secara otomatis.

Konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth melengkapi fitur-fitur yang ditawarkan Canon PowerShot SX70 HS. Kamera ini rencananya akan dipasarkan pada akhir November mendatang seharga $550.

Sumber: DPReview.

GoPro Luncurkan Trio Action Cam Baru: Hero 7 Black, Silver dan White

Sejak tahun 2016, GoPro rutin merilis action cam baru di bulan September. Di tahun 2016, GoPro Hero 5 Black datang membawa desain baru. 2017, GoPro Hero 6 Black hadir sebagai kamera pertama yang mengemas prosesor buatan GoPro sendiri. Tahun ini, GoPro menyiapkan tiga action cam baru sekaligus: Hero 7 Black, Hero 7 Silver dan Hero 7 White.

Seperti biasa, Hero 7 Black adalah bintang utama alias model flagship-nya. Gaya desain yang diperkenalkan Hero 5 masih dipertahankan, demikian pula bodi yang tahan air sampai kedalaman 10 meter tanpa bantuan casing. Sekali lagi yang berubah cukup signifikan adalah jeroannya.

GoPro Hero 7 Black

Prosesor GP1 kembali menjadi suguhan utama, akan tetapi GoPro sudah memodifikasinya lebih lanjut hingga mampu menghadirkan kapabilitas baru pada Hero 7 Black. Utamanya adalah sistem stabilization internal super-efektif yang dijuluki HyperSmooth.

Eksklusif untuk Hero 7 Black, HyperSmooth sanggup mengompensasi guncangan dengan luar biasa baik sampai-sampai hasil videonya kelihatan seperti direkam dengan bantuan gimbal, dan sistem ini pun tetap bisa bekerja meski kamera sedang dibawa menyelam. Komparasinya dengan generasi sebelumnya dapat Anda lihat sendiri pada video di bawah ini.

Hero 7 Black juga menjadi action cam pertama GoPro yang dibekali fitur live streaming. Video yang sedang direkam dapat langsung disiarkan ke berbagai platform seperti Facebook, YouTube atau Twitch. Juga baru adalah fitur bernama TimeWarp, yang akan menghasilkan video time lapse dengan efek yang sangat mirip seperti fitur Hyperlapse di Instagram.

Selebihnya, spesifikasi Hero 7 Black masih sama seperti Hero 6 Black. Resolusi video maksimum yang dapat direkam 4K 60 fps, plus 1080p 240 fps jika ingin mengambil video slow-motion. Foto dapat dijepret dalam resolusi 12 megapixel, dan Hero 7 Black turut dibekali fitur pemotretan HDR ala smartphone.

Beralih ke Hero 7 Silver dan Hero 7 White, keduanya jelas dipasarkan sebagai alternatif yang lebih terjangkau. Desainnya nyaris identik (dengan warna yang berbeda tentunya), akan tetapi LCD kecil yang ada di samping lensa Hero 7 Black absen di sini. Tonjolan lensanya pun lebih kecil jika dibandingkan Hero 7 Black.

Seperti yang saya bilang, fitur HyperSmooth cuma tersedia di Hero 7 Black, sedangkan Silver dan White cuma dibekali sistem stabilization internal standar. Beruntung layar sentuh 2 inci tetap ada di kedua kamera ini, demikian pula fitur pemanis macam kendali via perintah suara. Khusus Hero 7 White, ia adalah satu-satunya yang tak dilengkapi GPS.

GoPro Hero 7 SilverSoal spesifikasi, Hero 7 Silver mampu merekam video dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, sedangkan resolusi fotonya turun menjadi 10 megapixel. Kalau Hero 7 Black dilengkapi HDR, Hero 7 Silver cuma WDR alias “wide dynamic range”.

GoPro Hero 7 White

Hero 7 White di sisi lain cuma bisa merekam video dalam resolusi 1080p 60 fps, dan resolusi fotonya juga cuma 10 megapixel, tapi tanpa HDR maupun WDR. Baik Hero 7 Silver maupun White mengemas baterai rechargeable yang tertanam, sedangkan Hero 7 Black bisa dilepas-pasang baterainya.

Rencananya, trio action cam baru ini akan dipasarkan mulai 27 September mendatang. GoPro Hero 7 Black dihargai $399, Hero 7 Silver $299, dan Hero 7 White $199. Pada generasi terbaru ini, seri Session yang berbentuk kubus sudah tidak ada lagi.

Sumber: PetaPixel dan GoPro 1, 2.

Fujifilm X-T3 Datang Membawa Sensor Generasi Baru dan Kapabilitas Video Superior

Sebelum Fujifilm X-T2 diluncurkan dua tahun lalu, tidak ada kamera dari lini X-Series yang jago perihal video. Pernyataan ini bukan semata karena X-T2 adalah yang pertama menawarkan opsi perekaman dalam resolusi 4K, tetapi memang hasil rekaman videonya tergolong jelek untuk standar kamera mirrorless.

Kondisinya sudah berubah drastis sekarang. Fujifilm X-H1 yang dirilis di bulan Februari kemarin sejatinya didedikasikan bagi kalangan videografer selagi masih menawarkan kualitas foto khas lini X-Series. Formula ini terus dimatangkan sampai akhirnya lahir Fujifilm X-T3.

Kalau hanya mengamati fisiknya secara sepintas, sulit rasanya membedakan antara X-T3 dan pendahulunya. Fujifilm memang tidak banyak mengubah desainnya, kecuali memperbesar ukuran kenop-kenop di panel atas serta tombol-tombol di panel belakang. Yang berubah signifikan adalah jeroan alias bagian dalamnya.

Fujifilm X-T3

X-T3 merupakan kamera pertama yang mengemas sensor X-Trans 4; masih APS-C, tapi kini beresolusi 26 megapixel dan sudah menganut desain backside-illuminated demi semakin meningkatkan performanya di kondisi minim cahaya. Native ISO terendah yang bisa dipilih sekarang ISO 160, bukan lagi ISO 200 seperti pada sensor X-Trans generasi sebelumnya.

Sensor ini hadir bersama chip X-Processor 4 yang berinti empat (quad-core) dan menjanjikan kinerja tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Prosesor baru ini juga merupakan salah satu alasan terbesar mengapa X-T3 semakin cekatan untuk urusan perekaman video.

Selain menawarkan resolusi maksimum 4K 60 fps, X-T3 juga sanggup menghasilkan output video 10-bit 4:2:0 langsung ke SD card yang terpasang (menggunakan codec H.265/HEVC) atau 10-bit 4:2:2 ke external recorder via HDMI. Barisan angka ini mungkin terdengar membingungkan bagi konsumen secara luas, tapi sangat penting di mata videografer.

Sepintas kapabilitas video X-T3 terdengar lebih superior ketimbang X-H1, akan tetapi X-H1 masih lebih unggul soal satu hal, yaitu image stabilization 5-axis. Kalau merekam tanpa bantuan tripod atau gimbal, X-H1 yang memang video-oriented pasti dapat menghasilkan video yang lebih bagus ketimbang X-T3.

Fujifilm X-T3

Sistem autofocus-nya juga ikut disempurnakan, kini mengandalkan 2,1 juta phase detection pixel dengan coverage 100% (jumlah total titik fokusnya 425). Fujifilm mengklaim kinerja sistem AF milik X-T3 1,5 kali lebih cepat dari X-T2, plus mampu mengunci fokus pada tingkat pencahayaan serendah –3EV (X-T2 cuma sampai –1EV). Lebih lanjut, fitur Eye Detection AF di X-T3 dapat diaktifkan dalam mode AF-C maupun ketika merekam video.

Untuk memotret tanpa henti, X-T3 mencatatkan angka 11 fps menggunakan shutter mekanis, atau 20 fps dengan shutter elektronik. Andai perlu lebih ngebut lagi, pengguna bisa mengaktifkan mode “Sports Finder” yang akan meng-crop gambar sebesar 1,25x, tapi mendongkrak kecepatannya menjadi 30 fps.

Fujifilm X-T3

Beralih ke aspek pengoperasian, X-T3 dibekali viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x, serta yang cukup langka, refresh rate setinggi 100 fps tanpa harus mengandalkan bantuan aksesori opsional vertical grip seperti sebelumnya. Tidak seperti pendahulunya, X-T3 kini dilengkapi layar sentuh, dan layar ini masih bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

Soal konektivitas, X-T3 pun juga lengkap. Jack headphone maupun mikrofon semuanya ada, demikian pula HDMI dan USB-C, serta Wi-Fi dan Bluetooth. Baterainya diklaim bisa bertahan sampai 390 jepretan, sedikit lebih awet ketimbang kamera mirrorless full-frame Nikon dan Canon yang diumumkan baru-baru ini.

Fujifilm berniat memasarkan X-T3 mulai 20 September mendatang seharga $1.500 (body only) atau $1.900 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4. Seperti biasa, pilihan warna yang tersedia ada dua: serba hitam atau kombinasi silver dan hitam.

Sumber: DPReview.

Canon EOS R Memulai Babak Kompetisi Baru di Segmen Kamera Mirrorless Full-Frame

Ternyata tidak butuh waktu lama bagi Canon untuk merespon peluncuran Nikon Z 7 dan Z 6 dua minggu lalu. Dengan kehadiran Canon EOS R, rivalitas abadi antar keduanya resmi berlanjut sampai ke segmen mirrorless full-frame.

Tidak seperti Nikon yang sempat gagal di kancah mirrorless, Canon belakangan semakin menunjukkan keseriusannya di ranah ini, dan mereka rupanya juga tergiur untuk mengusik dominasi Sony. Canon memang hanya mengumumkan satu kamera mirrorless full-frame, tapi mereka menegaskan bahwa ini baru yang pertama.

Canon EOS R

Di atas kertas, EOS R bisa dibilang duduk di tengah-tengah Nikon Z 7 dan Z 6. Sensor full-frame miliknya yang didampingi prosesor DIGIC 8 ini memiliki resolusi 30,3 megapixel, dengan tingkat ISO 100 – 40000 (dapat ditingkatkan lagi menjadi 50 – 102400). Sensor ini dibekali low-pass filter untuk mengurangi efek moiré, tapi dampaknya ketajaman jadi sedikit berkurang.

Yang sangat mengesankan dari EOS R, layaknya DSLR kelas atas Canon, adalah sistem autofocus Dual Pixel-nya. Total ada 5.655 titik fokus yang dapat dipilih, yang menjangkau 88% bentang vertikal dan 100% bentang horizontal. Fitur eye detection turut tersedia, dan ini absen pada Nikon Z 7 maupun Z 6.

Kemampuan menjepret tanpa henti EOS R tergolong lumayan: 8 fps dengan AF-S, atau 5 fps dengan AF-C. Untuk video, pengguna dapat merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps langsung ke memory card, atau ke external recorder via HDMI jika membutuhkan bitrate lebih. Opsi slow-motion pun juga tersedia, sayang cuma 120 fps pada resolusi 720p.

Canon EOS R

Sama seperti pesaingnya, EOS R juga menggunakan dudukan lensa baru bernama RF-mount. Diameternya sama persis seperti EF-mount (54 mm), akan tetapi jaraknya ke sensor tentu lebih dekat karena tidak ada lagi cermin (mirrorless), dan ini memungkinkan konstruksi lensa yang lebih simpel dan ringkas.

Alasan klasik menggunakan kamera Canon adalah ekosistem lensanya yang begitu luas, dan ini tentu masih berlaku pada EOS R, sebab Canon telah menyediakan adaptor untuk lensa-lensa EF, EF-S, TS-E dan MP-E. 12 pin elektrik yang digunakan RF-mount juga diklaim bisa mewujudkan komunikasi yang lebih sigap dan mendalam antara kamera dan lensa.

Canon EOS R

Lanjut ke bagian fisik, EOS R mengusung sasis magnesium yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Bobotnya berkisar 660 gram, sudah termasuk baterai. Baterainya sendiri diklaim dapat bertahan sampai 370 jepretan, tapi yang unik, EOS R bisa di-charge langsung menggunakan kabel USB layaknya kamera saku.

EOS R dilengkapi layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang fully-articulated, alias bisa kita tarik ke samping dan putar-putar sesuka hati, tidak seperti Nikon Z 7 dan Z 6 yang cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah. Di atasnya, tentu saja ada electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,76x.

Canon EOS R

Namun bagian terunik EOS R berada tepat di samping kanan EVF tersebut. Bagian kecil itu merupakan semacam touchpad multi-fungsi yang akan memberikan akses cepat ke berbagai pengaturan seperti autofocus, ISO atau white balance, dan tentu saja semua ini bisa diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna. Wi-Fi maupun Bluetooth juga sudah menjadi fitur standar pada kamera ini.

Secara harga, Canon EOS R lebih mirip Nikon Z 6. Bodinya saja dibanderol $2.300, sedangkan bundel bersama lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM dibanderol $3.400. Resmi sudah, jangan ada lagi yang bilang “Canon dan Nikon tidak serius menyikapi persaingan di kancah mirrorless”.

Sumber: DPReview.

Sony HX99 dan HX95 Diklaim Sebagai Kamera Terkecil dengan 30x Optical Zoom

Anggap Anda baru saja membeli sebuah kamera saku, apa alasan Anda memilihnya ketimbang smartphone? Kalau Anda bilang kualitas gambar, saya yakin Anda bakal dicerca banyak orang, dan jawaban itu pun hanya berlaku untuk kamera-kamera tertentu saja, macam Sony RX100 yang duduk di kelas premium.

Jawaban yang lebih masuk akal mungkin adalah optical zoom. Beberapa smartphone terkini memang ada yang menawarkan fitur optical zoom, tapi tidak lebih dari sebatas 2x atau 3x saja. Untuk zooming ekstrem (di atas 20x) misalnya, kamera saku yang masuk kategori superzoom masih belum bisa ditandingi smartphone.

Sony HX99

Salah satu yang terbaru adalah Sony HX99 dan HX95. Keduanya diklaim sebagai kamera terkecil yang mengemas lensa 24–720mm (30x optical zoom). Kualitas lensanya juga tak perlu diragukan kalau melihat label “ZEISS” di sana, dan Sony tak lupa membekalinya dengan sistem image stabilization yang bakal sangat membantu ketika lensa di-zoom cukup jauh.

Urusan kualitas gambar, HX99 dan HX95 sama-sama mengemas sensor Exmor R 1/2,3 inci dengan resolusi 18 megapixel dan dukungan pemotretan dalam format RAW. Video 4K 30 fps pun dapat ia rekam, sedangkan kecepatan menjepret tanpa hentinya mencapai angka 10 fps. Sistem autofocus-nya diklaim sanggup mengunci fokus secepat 0,09 detik saja.

Sony HX99

Keduanya memiliki desain dan spesifikasi yang identik, akan tetapi HX99 sedikit lebih unggul soal pengoperasian. Meski sama-sama dibekali pop-up viewfinder dan LCD yang bisa dilipat hingga menghadap ke depan (180º), cuma HX99 yang dilengkapi layar sentuh, dan lensanya juga dikitari sebuah control ring yang dapat dikustomisasi untuk mengatur fokus manual atau zooming secara bertahap.

Fitur pelengkap seperti Wi-Fi, NFC dan Bluetooth turut tersedia pada HX99 dan HX95. Keduanya akan dipasarkan di Eropa mulai bulan Oktober mendatang seharga 520 euro (HX99) dan 500 euro (HX95).

Sumber: DPReview dan Sony.

Nikon D3500 Unggulkan Kepraktisan dan Harga Terjangkau di Segmen DSLR Entry-Level

Lewat Nikon Z 7 dan Z 6, Nikon resmi memulai babak baru di kancah mirrorless. Kendati demikian, sang rival abadi Canon tersebut tentu tidak lupa dengan segmen yang berhasil membangun reputasinya hingga ke titik ini. Lagipula, kamera mirrorless anyar Nikon itu masuk kategori high-end, sehingga masih ada celah di kelas bawah yang bisa diisi oleh DSLR terbarunya.

Nikon D3500, sesuai namanya, merupakan suksesor dari Nikon D3400 yang dirilis dua tahun silam. Lagi-lagi Nikon tidak menghadirkan peningkatan kualitas gambar, sebab target pasar yang dituju di kelas ini adalah mereka yang belum pernah memiliki kamera sama sekali, dan spesifikasi pendahulunya saja memang sudah lebih dari cukup.

Spesifikasi tersebut mencakup sensor APS-C 24 megapixel dan prosesor Expeed 4. Tingkat ISO-nya berada di kisaran 100 – 25600, sedangkan autofocus-nya mengandalkan sistem 11 titik. Satu-satunya hal yang paling mengecewakan adalah kemampuan merekam videonya, yang masih saja terbatas di resolusi 1080p 60 fps, padahal kita sudah hidup di era smartphone berkemampuan 4K.

Nikon D3500

Kinerjanya sama persis, tapi yang berubah adalah kepraktisannya. D3500 rupanya memiliki dimensi yang lebih ringkas lagi ketimbang D3400, dengan bobot hanya 365 gram, sudah termasuk baterai. Baterainya ini juga amat istimewa, sanggup bertahan hingga 1.550 jepretan dalam satu kali charge, naik sekitar 30% dari baterai D3400 yang sudah tergolong sangat awet.

Desain D3500 pun juga telah disempurnakan agar lebih mudah dioperasikan. Satu yang paling saya suka adalah, semua tombol di panel belakangnya kini diposisikan di samping kanan layar (kecuali tombol pop-up flash). Dengan begitu, pengguna dapat meraih semuanya menggunakan jempol kanan tanpa harus melepas matanya dari viewfinder.

Nikon D3500

Wi-Fi lagi-lagi absen di kamera ini. Namun jangan khawatir, D3500 tetap dibekali Bluetooth dan kompatibel dengan sistem SnapBridge. Pada versi terbarunya, SnapBridge tak hanya berguna untuk memudahkan proses transfer gambar ke perangkat mobile saja, tapi juga memungkinkan fungsi remote control via Bluetooth.

Perubahan lain yang bakal membuat konsumen tersenyum adalah harga jualnya yang turun drastis jika dibandingkan D3400. Nikon mematok harga $500 saja untuk D3500 bersama lensa 18–55mm f/3.5–5.6G VR, sedangkan bundel dengan dua lensa (lensa yang tadi plus 70–300mm f/4.5–6.3G ED) dihargai $850. Pemasarannya akan dimulai pada bulan September ini juga.

Sumber: DPReview.

Leica M10-P Siap Menggoda Street Photographer Berkantong Tebal

Leica belum lama ini mengungkap suksesor dari kamera mirrorless Leica M10 yang dirilis pada awal tahun lalu. Dinamai Leica M10-P, pembaruan yang dibawanya tergolong sedikit (desainnya sama), akan tetapi cukup signifikan terutama bagi para penggiat street photography.

Itu dikarenakan desain M10-P yang lebih minimalis sekaligus stealthy; Anda tak akan menemukan logo merah khas Leica di mana pun pada M10-P. Perubahan kecil namun sepele ini setidaknya bisa membantu menimbulkan kesan di mata publik bahwa sang fotografer tidak sedang menggunakan kamera mahal, sehingga momen-momen candid bisa diabadikan dengan lebih leluasa.

Leica M10-P

Juga sangat membantu menyuguhkan kesan stealthy itu adalah bunyi shutter mekanis yang jauh lebih halus. Bunyi jepretan M10-P nyaris tidak terdengar sama sekali, apalagi kalau kita menggunakannya di tempat-tempat umum.

LCD 3 inci di bagian belakangnya sepintas terlihat sama, akan tetapi Leica telah membubuhkan panel sentuh untuk memudahkan pengoperasian. Kehadiran touchscreen pastinya akan sangat membantu ketika melihat-lihat hasil foto, plus bakal mempermudah pengaturan fokus yang lebih presisi.

Leica M10-P

Selebihnya, M10-P mengusung spesifikasi utama yang sama persis seperti pendahulunya, yakni sensor CMOS full-frame 24 megapixel, dengan rentang ISO 100 – 50000. Tidak ada satu pun colokan di tubuhnya, tapi untungnya masih ada Wi-Fi. Viewfinder dan lain sebagainya pun masih identik dengan M10 standar.

Leica M10-P saat ini sudah dipasarkan seharga $7.995 dalam dua pilihan warna: hitam-silver atau serba hitam. Kenaikan harganya dibandingkan M10 standar terbilang sangat tinggi jika melihat minimnya fitur baru yang dihadirkannya, tapi ya begitulah Leica.

Sumber: DPReview.