5 Kamera Terbaik Canon dari Berbagai Kategori yang Bisa Dibeli Saat Ini

Popularitas Canon di industri kamera tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejarah mencatatnya sebagai pabrikan asal Jepang pertama yang memproduksi kamera 35 mm di tahun 1934, dan produk-produknya hingga kini dipercaya dari kalangan fotografer dan videografer amatir sampai profesional.

Sebagai produsen kamera yang sudah eksis sejak lama, wajar kalau portofolio produk Canon kini mencakup banyak kategori sekaligus. Artikel ini bermaksud untuk menyoroti lima kamera terbaik Canon yang bisa konsumen beli saat ini, dari kategori kamera point-and-shoot hingga kamera untuk kebutuhan profesional.

Kamera point-and-shoot Canon terbaik: Canon PowerShot G7 X Mark III

Canon memang sudah lama tidak merilis kamera baru di kategori ini, akan tetapi G7 X Mark III masih tergolong sangat kapabel hingga sekarang. Sensor 1 inci bertipe stacked-nya tak hanya mampu menghasilkan foto 20 megapiksel yang menawan, tapi juga mendongkrak kinerjanya secara drastis. Andai diperlukan, kamera ini siap ‘memberondong’ tanpa henti dengan kecepatan 30 fps.

G7 X Mark III juga sangat kapabel untuk video dengan kemampuan merekam di resolusi 4K 30 fps dan bitrate 120 fps. Kamera ini kerap menjadi pilihan vlogger berkat layarnya yang bisa dihadapkan ke depan, tidak ketinggalan pula mode khusus untuk live streaming langsung ke YouTube.

Banderol Rp9.499.000 memang tidak bisa dibilang murah, tapi kalau Anda menginginkan yang terbaik di kategori point-and-shoot, G7 X Mark III adalah salah satu kandidat yang tepat.

Link pembelian: Canon PowerShot G7 X Mark III

Kamera mirrorless entry-level Canon terbaik: Canon EOS M200

Dengan banderol cuma Rp6.499.000 (sudah termasuk lensa 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM), Canon EOS M200 merupakan pilihan bijak bagi yang baru memulai hobi fotografi dan ingin membeli kamera mirrorless pertamanya. Perangkat dibekali sensor APS-C 24 megapiksel, lengkap beserta sistem Dual Pixel autofocus yang amat cekatan.

Kemampuan videonya pun cukup mumpuni, tapi sayangnya ia memiliki crop factor yang cukup besar saat dipakai merekam dalam resolusi 4K. Terlepas dari itu, bodinya yang sangat ringkas membuat kamera ini bisa diandalkan kapan saja dan di mana saja. Ditandemkan dengan lensa pancake, kamera ini dapat disimpan di dalam saku celana.

Link pembelian: Canon EOS M200 (body only)

Kamera mirrorless APS-C Canon terbaik: Canon EOS M6 Mark II

Bagi yang belum tertarik lompat ke segmen full-frame, Canon EOS M6 Mark II bisa jadi alternatif yang menarik. Entah untuk keperluan fotografi maupun videografi, M6 Mark II siap menjalankan tugasnya dengan baik, dan ia merupakan lawan yang sepadan buat Sony A6400 maupun Fujifilm X-T30.

Dibanderol Rp12.999.000 (body only), M6 Mark II mengandalkan sensor APS-C 32,5 megapiksel, prosesor DIGIC 8, dan sistem Dual Pixel AF yang reliabel. Urusan video, ia sanggup merekam dalam resolusi 4K 30 fps tanpa crop sedikitpun, dan sistem Dual Pixel AF-nya juga dapat tetap bekerja dalam mode ini.

Link pembelian: Canon EOS M6 Mark II (body only)

Kamera mirrorless full-frame entry-level Canon terbaik: Canon EOS RP

16 juta tapi full-frame, itulah daya tarik utama dari kamera ini. EOS RP ditujukan bagi mereka yang ingin beralih dari APS-C ke full-frame — khususnya yang memiliki bujet terbatas — guna mendapatkan hasil foto yang lebih baik di kondisi low-light. Meski cuma mengusung sensor beresolusi 26 megapiksel, foto yang dihasilkan EOS RP jelas lebih bagus ketimbang yang dijepret menggunakan kamera mirrorless APS-C.

Kekurangan EOS RP terletak pada kapabilitas videonya, terutama akibat crop factor yang kelewat besar, serta sistem Dual Pixel AF yang tidak bisa aktif di resolusi 4K. Kalau porsi penggunaan Anda berimbang antara foto dan video, saya lebih menyarankan EOS M6 Mark II tadi daripada EOS RP. Namun kalau lebih dominan foto, EOS RP bisa jadi pertimbangan.

Link pembelian: Canon EOS RP (body only)

Kamera mirrorless full-frame Canon terbaik: Canon EOS R5

Buat yang menginginkan kamera mirrorless terbaik dari Canon, pilihannya jatuh pada EOS R5 yang dijual seharga Rp64.850.000. Ia mengemas sensor full-frame 45 megapiksel dan prosesor DIGIC X, plus sistem Dual Pixel AF generasi baru yang mencakup permukaan sensor secara keseluruhan.

Urusan video, EOS R5 juga sangat mumpuni dengan kemampuan merekam dalam resolusi 8K 30 fps selama 30 menit nonstop, atau 4K 120 fps untuk mengabadikan adegan slow-motion. EOS R5 memang bukan kamera mirrorless Canon yang paling mahal, tapi ia adalah yang paling versatile.

Link pembelian: Canon EOS R5 (body only)

Gambar header: Robin McSkelly via Unsplash.

Canon EOS R3 Resmi Dirilis, Siap Tandingi Sony A1 di Segmen Kamera Mirrorless Berperforma Tinggi

Setelah ditunggu-tunggu sejak bulan april, Canon EOS R3 akhirnya resmi diperkenalkan. Kamera ini merupakan mirrorless paling flagship di antara semua penawaran Canon saat ini, dengan performa melampaui banyak kamera DSLR sekalipun.

Rahasianya terletak pada penggunaan sensor full-frame 24 megapiksel generasi baru yang bertipe stacked hasil rancangan dan produksi Canon sendiri. Ini merupakan pertama kalinya Canon memakai sensor semacam ini, dan lonjakan performa yang dihadirkan benar-benar di atas standar kamera mirrorless secara umum.

Menggunakan shutter elektronik, EOS R3 mampu menjepret foto tanpa henti dengan kecepatan 30 fps selagi tracking autofocus-nya aktif (Servo AF), setara dengan yang ditawarkan oleh Sony A1. Kecepatan maksimum shutter elektroniknya mencapai angka 1/64.000 detik.

Kalau menggunakan shutter mekanik, kecepatannya turun menjadi 12 fps. Namun angka ini masih sangat impresif mengingat Sony A1 ‘hanya’ menawarkan 10 fps dengan shutter mekanik. Untuk kecepatan shutter mekaniknya, EOS R3 menawarkan opsi tertinggi di 1/8.000 detik.

Dengan performa sengebut itu, EOS R3 semestinya bakal menarik perhatian para fotografer olahraga maupun fotografer satwa liar. Tidak kalah penting adalah kinerja sistem autofocus-nya. EOS R3 menawarkan fitur bernama Eye Control AF, dan sesuai namanya, fitur ini memungkinkan pengguna untuk menetapkan titik fokus hanya dengan melihat ke arah yang ingin difokuskan selagi membidik menggunakan viewfinder. Sangat intuitif.

Untuk keperluan merekam video, EOS R3 memang belum bisa merekam dalam resolusi 8K. Meski begitu, pengguna bisa memilih antara dua opsi yang tak kalah high-end: 6K 60 fps dalam format RAW, atau 4K 120 fps 10-bit tanpa crop. EOS R3 juga dibekali sistem penstabil gambar 5-poros, sehingga pengguna bisa tetap percaya diri meski memakai lensa yang tidak dilengkapi OIS.

Secara desain, EOS R3 tampak mirip seperti DSLR Canon EOS 1D X Mark III yang mengadopsi rancangan dual grip. Rangkanya terbuat dari magnesium utuh, dengan tingkat weather-proofing yang selevel dengan yang ditawarkan oleh EOS 1D X Mark III. Namun berhubung mirrorless, dimensi EOS R3 lebih ringkas, dan bobotnya pun jauh lebih ringan; 822 gram (R3) dibanding 1.250 gram (1D X Mark III), tanpa lensa.

EOS R3 mengemas viewfinder elektronik dengan panel 120 fps beresolusi 5,76 juta dot. Di atasnya, pengguna bisa menjumpai multi-function shoe generasi baru yang kompatibel dengan lebih banyak macam aksesori. EOS R3 punya dua slot memory card; satu untuk CF Express, satu untuk SD card UHS-II.

Di Amerika Serikat, Canon EOS R3 dijadwalkan masuk ke pasaran pada bulan November dengan harga $5.999 (body only), lebih murah $500 daripada Sony A1. Sejauh ini belum ada informasi soal ketersediaannya di Indonesia. Namun kabarnya, stok EOS R3 bakal cukup langka di seluruh dunia.

Sumber: DPReview.

Zeiss ZX1, Kamera Compact Full-Frame dengan Integrasi Lightroom, Bakal Dipasarkan Seharga $6.000

Di bulan September 2018, Zeiss memperkenalkan sebuah kamera compact yang sangat unik bernama ZX1. Unik bukan hanya karena kameranya menjalankan sistem operasi Android, tapi juga karena ia dilengkapi aplikasi Adobe Lightroom CC yang dapat langsung dipakai untuk mengedit hasil jepretan menggunakan layar sentuhnya.

Kala itu, Zeiss ZX1 dikabarkan bakal tersedia di pasaran pada awal tahun 2019. Namun seperti yang kita tahu sekarang, janji tersebut meleset. Menariknya, baru-baru ini B&H Photo Video mencantumkan ZX1 sebagai produk yang akan segera hadir dalam waktu dekat. Mereka bahkan sempat membuka pre-order untuk kamera tersebut dengan harga $6.000.

$6.000? Ya, saya bukannya salah ketik, tapi memang ini adalah harga yang bisa kita ekspektasikan dari produsen sekelas Zeiss. Kebetulan spesifikasi ZX1 memang cukup mengesankan, terutama berkat sensor CMOS full-frame beresolusi 37,4 megapixel yang diusungnya, yang ditandemkan bersama lensa prime Distagon T* 35mm f/2.

Kombinasi tersebut tentu bakal sangat menarik untuk street photography, apalagi mengingat ZX1 juga mengadopsi mekanisme leaf shutter yang sangat senyap. Lalu meski panel belakangnya didominasi layar sentuh, pengoperasian ZX1 dipastikan tetap mudah berkat sepasang kenop untuk mengatur shutter speed dan ISO, tidak ketinggalan juga aperture ring yang mengitari lensanya.

Layar sentuhnya ini berukuran masif kalau dibandingkan dengan kamera-kamera lain: 4,3 inci, dengan resolusi 1280 x 720 pixel, krusial mengingat lewat layar inilah pengguna bakal mengedit hasil tangkapannya, dibantu oleh aplikasi Lightroom itu tadi. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan panel OLED 0,7 inci beresolusi full-HD dan tingkat perbesaran 0,74x.

Melengkapi spesifikasinya adalah SSD berkapasitas 512 GB dan konektivitas Wi-Fi sekaligus Bluetooth. Idenya adalah, pengguna bisa memotret, mengedit, dan memublikasikan hasilnya langsung dari kamera. Namun kalau memang masih perlu mengandalkan komputer, setidaknya semua hasil penyuntingan memakai Lightroom tadi bakal tersinkronisasikan secara otomatis dengan yang ada di komputer.

Sejauh ini memang belum ada kepastian kapan tepatnya Zeiss ZX1 bakal mulai dipasarkan. Namun setidaknya ini merupakan kabar baik bagi kaum enthusiast yang selama ini sudah menanti kehadirannya dan khawatir perangkat ini tidak akan terealisasikan.

Sumber: DPReview.

Sony a7C Usung Sensor Full-Frame dalam Bodi Seukuran Kamera APS-C

Sony a7S III rupanya bukan satu-satunya kamera mirrorless full-frame yang Sony luncurkan di tahun pandemi ini. Mereka juga baru saja mengumumkan a7C, yang mereka klaim sebagai kamera mirrorless terkecil yang mengusung sensor full-frame.

Oke, sebelum membahasnya lebih jauh, klaim tersebut mungkin perlu agak diluruskan. a7C tercatat memiliki dimensi 124 x 71,1 x 59,7 mm, dengan bobot 509 gram. Bandingkan dengan Sigma fp, yang sama-sama merupakan kamera mirrorless bersensor full-frame, tapi yang dimensinya cuma 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dan beratnya hanya 422 gram.

Sony bukannya bohong, tapi deskripsi terkecil tadi rupanya kurang lengkap. Yang lebih tepat adalah menyebut Sony a7C sebagai kamera mirrorless terkecil yang dibekali sensor full-frame plus in-body image stabilization (IBIS). Sigma fp memang lebih mungil, tapi kamera tersebut sama sekali tidak dilengkapi sistem penstabil.

Ini tentu juga bukan pertama kalinya Sony menyematkan sensor sebesar ini di bodi sekecil ini. Jauh sebelum ini pernah ada seri kamera Sony RX1, akan tetapi bedanya kamera tersebut punya lensa yang fixed, sedangkan a7C bisa dilepas-pasang lensanya. Desainnya sepintas kelihatan mirip seperti Sony a6600, dan ternyata bobot kedua kamera memang hampir sama meski ukuran sensornya berbeda jauh.

Secara teknis, a7C mengusung spesifikasi yang nyaris identik seperti a7 III, yang mencakup sensor full-frame 24 megapixel, IBIS 5-axis, burst shooting dengan autofocus sekencang 10 fps, perekaman video 4K 30 fps dengan dukungan format S-Log2 maupun S-Log3, sampai baterai NP-FZ100 yang berkapasitas besar. Sebagai bagian dari keluarga besar Sony a7, tracking autofocus berbasis AI juga menjadi salah satu suguhan utama di a7C.

Di bagian belakang, Anda akan menemukan touchscreen 3 inci yang bisa dihadapkan ke depan untuk vlogging. Sayang viewfinder elektroniknya lebih inferior ketimbang milik a7 III. Resolusinya memang sama-sama 2,36 juta dot, akan tetapi tingkat perbesarannya lebih kecil di angka 0,59x.

Sony a7C kabarnya akan mulai dipasarkan pada akhir Oktober. Di Amerika Serikat, ia dihargai $1.800 body-only, atau $2.100 bersama sebuah lensa kit. Lensanya kebetulan juga baru: 28-60mm f/4-5.6 dengan model collapsible yang membuatnya jadi lebih ringkas.

Sumber: DPReview.

Panasonic Lumix S5 Diungkap, Lebih Kecil dari GH5 tapi dengan Sensor Full-Frame

Panasonic sejauh ini sudah punya tiga kamera full-frame: Lumix S1, Lumix S1R, dan Lumix S1H yang lebih difokuskan untuk videografi. Hari ini, anggota keluarga Lumix full-frame sudah resmi bertambah satu lagi, yaitu Lumix S5.

Panasonic memosisikan S5 sebagai kamera hybrid yang bisa diandalkan untuk fotografi maupun videografi. Ia mengemas sensor full-frame 24 megapixel yang sama seperti milik S1 dan S1H, dengan sensitivitas ISO 100 – 51200 serta dukungan teknologi Dual Native ISO. Juga masih dipertahankan adalah sistem image stabilization internal 5-axis yang bisa ditandemkan dengan stabilization bawaan lensa.

Satu bagian yang sudah Panasonic benahi adalah autofocus, yang diklaim dapat bekerja lebih cepat dan responsif di S5. Fitur head tracking juga semakin menyempurnakan kinerja sistem autofocus-nya, dan ini bisa digunakan juga selagi merekam video.

Buat penggemar fotografi landscape, S5 juga dilengkapi mode High Resolution untuk menciptakan gambar sebesar 96 megapixel. Lalu untuk kalangan videografer, S5 mendukung perekaman dalam format V-Log atau HLG sehingga mereka bisa lebih leluasa melakukan color grading dalam proses editing.

Resolusi video maksimum yang dapat S5 hasilkan adalah 4K 30 fps, atau 4K 60 fps dengan crop factor setara kamera APS-C. Dari kacamata sederhana, kemampuan merekam video S5 cukup mirip dengan S1H, hanya saja resolusinya mentok di 4K ketimbang 6K. Komponen penting seperti dukungan video 10-bit dengan chroma sub-sampling 4:2:2 tetap tersedia pada S5.

Semua itu dikemas dalam bodi magnesium yang lebih kecil ketimbang trio S1. S5 bahkan sedikit lebih ringkas daripada Lumix GH5, padahal kita tahu ukuran sensor keduanya berbeda jauh (GH5 cuma Micro Four Thirds). Terlepas dari itu, Panasonic memastikan S5 masih dilengkapi sejumlah komponen weather sealing.

Berhubung lebih kecil, baterai S5 tidak seawet milik trio S1, dengan klaim daya tahan hingga 440 kali jepretan. Viewfinder elektroniknya juga tidak setajam milik S1, dengan resolusi standar 2,36 juta dot saja. Dimensi layar sentuhnya juga lebih kecil di angka 3 inci dengan resolusi 1,84 juta dot, akan tetapi engselnya bisa memutar ke segala arah sehingga sangat ideal dipakai untuk merekam video.

Juga tidak kalah penting dari layar yang fully-articulated seperti ini adalah kehadiran jack headphone sekaligus mikrofon (bisa juga via sambungan XLR dengan bantuan adaptor), serta dua slot SD card sekaligus. Sayang cuma satu slot saja yang mendukung tipe UHS-II, dan port HDMI-nya juga bukan yang full-size seperti di lini S1.

Panasonic Lumix S5 rencananya akan dipasarkan mulai pertengahan September di Amerika Serikat. Harganya dipatok $2.000 untuk bodinya saja, atau $2.300 jika dibundel bersama lensa 20-60mm f/3.5-5.6.

Sumber: DPReview.

Sony a7R IV Siap Merebut Kembali Takhta Teratas di Segmen Mirrorless Full-Frame

Kita tahu Sony bukan lagi satu-satunya pemain di kancah mirrorless full-frame. Canon, Nikon dan Panasonic sudah mulai mengusik dominasi Sony, dan tentu saja Sony tidak mau tinggal diam. Mereka baru saja mengumumkan kamera terbarunya: Sony a7R IV.

Datang hampir dua tahun setelah pendahulunya, a7R IV tidak sebatas membawa pembaruan yang iteratif. Sony percaya kamera ini bakal memasang standar baru di segmen mirrorless full-frame, dan itu mereka wujudkan lewat sensor yang benar-benar gres (pertama kalinya sejak 2015 kalau menurut Sony).

Sensor full-frame yang tertanam di tubuh a7R IV ini mengemas resolusi 61 megapixel, diklaim mampu menyuguhkan dynamic range hingga 15 stop. Lalu seandainya resolusi setinggi itu masih dianggap kurang, masih ada fitur pixel shift yang memungkinkan kamera untuk menghasilkan foto beresolusi 240 megapixel, disatukan dari total 16 gambar.

Sony a7R IV

Resolusi yang amat tinggi juga tak harus berarti performa kamera harus dikorbankan. Pada kenyataannya, a7R IV sanggup menjepret tanpa henti hingga 68 gambar dengan kecepatan 10 fps, dan ini dalam resolusi penuh sekaligus continuous AF/AE tracking menyala. Juga masih dipertahankan adalah sistem image stabilization internal 5-axis.

Urusan autofocus, a7R IV pun jauh dari kata mengecewakan. Ia mengusung 567 titik phase detection autofocus (PDAF) beserta 425 titik contrast-detection, yang secara keseluruhan mencakup 74% area bingkai. Fitur Real-Time Tracking AF, Real-Time Eye AF, dan Animal Eye-AF yang sebelumnya eksklusif untuk Sony a9 kini telah diwariskan ke seri a7 melalui a7R IV.

Real-Time Eye AF ini bahkan bisa digunakan selagi merekam video. Kemampuannya mengambil video pun tak kalah mengesankan: 4K 30 fps hasil oversampling dari 6K, dengan bitrate maksimum 100 Mbps menggunakan codec XAVC S. Format ‘mentah’ S-Log2, S-Log3 maupun HLG turut tersedia sebagai salah satu opsi perekaman.

Sony a7R IV

Tak cuma menghadirkan pembaruan di dalam, a7R IV juga membawa pembaruan di luar. Fisiknya sedikit berbeda dari a7R III, utamanya berkat hand grip yang lebih tebal, serta layout tombol dan kenop yang lebih dioptimalkan. Sony pun juga telah memaksimalkan kapasitas weather sealing dari kamera ini dengan ‘menambal’ lebih banyak celah pada tubuhnya.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh layar sentuh tilting serta viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 5,76 juta dot. Tepat di sebelah kanan atas LCD-nya, tampak joystick yang berukuran lebih besar dari sebelumnya, yang tentu saja dapat membantu memudahkan pengaturan titik autofocus ketika diperlukan.

Sony a7R IV rencananya akan dipasarkan mulai September mendatang seharga $3.500 (body only). Sejumlah aksesori terpisah yang bakal menemaninya mencakup vertical grip (VG-C4EMO) seharga $400, shotgun microphone (ECM-B1M) dengan integrasi analog-to-digital converter seharga $350, dan XLR microphone adapter kit (XLR-K3M) seharga $600.

Sumber: DPReview.

Sigma fp Adalah Kamera Mirrorless Full-Frame yang Dapat Dikantongi di Saku Celana

Diumumkan pada tahun 2012, Sony RX1 masih memegang predikat kamera full-frame terkecil yang pernah ada. Namun RX1 mengusung lensa fixed alias yang tidak bisa dilepas-pasang, dan 2019 merupakan tahunnya kamera mirrorless full-frame, utamanya berkat perlawanan dari Nikon, Canon, sekaligus Panasonic terhadap dominasi Sony di segmen ini.

Itulah mengapa kreasi terbaru Sigma berikut ini terdengar begitu menarik. Kamera bernama Sigma fp ini mungil, bersensor full-frame, tapi juga siap digonta-ganti lensanya. Ya, ini merupakan kamera mirrorless full-frame yang bisa kita kantongi dengan mudah di saku celana – tentunya dalam posisi tidak ada lensa yang terpasang.

Secara spesifik, Sigma fp memiliki dimensi 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dengan bobot 370 gram (422 gram jika diisi baterai dan SD card). Di dalamnya bernaung sensor BSI-CMOS full-frame 24,6 megapixel, namun yang mengandalkan filter Bayer tradisional ketimbang teknologi Foveon yang sudah menjadi ciri khas Sigma selama ini.

Sigma fp

Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 100 – 25600, sedangkan sistem autofocus-nya mengandalkan model contrast detection dengan 49 titik, lengkap beserta dukungan terhadap fitur seperti face detection, eye detection, maupun subject tracking. Performa kamera ini juga amat mengesankan, sanggup memotret dalam format DNG RAW 14-bit dengan kecepatan hingga 18 fps.

Angka setinggi itu dicapai dengan memanfaatkan shutter elektronik, dan ternyata Sigma fp sama sekali tidak memiliki shutter mekanis. Absennya shutter mekanis merupakan alasan utama mengapa Sigma fp bisa sekecil ini.

Sigma fp mengandalkan dudukan lensa L-Mount, yang Sigma kembangkan bersama Panasonic dan Leica. Beralih ke sisi belakang bodi weather sealed-nya, terdapat layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot. Tentu saja tidak ada ruang lagi untuk sebuah viewfinder elektronik.

Sigma fp

Urusan video, Sigma fp tidak kalah mengesankan. Dibantu oleh external recorder yang menyambung via port USB 3.1, ia mampu merekam video 4K 24 fps dalam format CinemaDNG RAW 12-bit. Kendala yang kerap dijumpai kamera compact di sektor perekaman video adalah overheating, tapi Sigma fp berhasil mengatasinya berkat heat sink terintegrasi.

Sigma tak lupa mengklaim bahwa fp siap digunakan oleh kalangan sineas profesional. Ini dikarenakan rancangannya yang modular, di mana pengguna dapat menambah beraneka ragam aksesori macam hot shoe, viewfinder, hand grip, dan masih banyak lagi, baik bikinan Sigma sendiri maupun pabrikan lain.

Sigma fp

Gambaran lebih jelasnya mengenai sifat modular Sigma fp bisa Anda lihat sendiri melalui video di bawah. Di situ bisa kita lihat bagaimana kamera seringkas ini dapat disulap menjadi kamera sinema bongsor berkat bantuan segudang aksesori.

Sigma fp sendiri rencananya baru akan dipasarkan pada musim semi mendatang, tapi sejauh ini belum ada info apapun terkait harganya. Pasca peluncuran fp, Sigma juga berniat meluncurkan varian lain fp yang mengemas sensor Foveon. Varian bersensor Foveon ini kabarnya mengemas resolusi 20 megapixel per layer, dengan resolusi total melebihi angka 60 megapixel.

Sumber: PetaPixel.

[Review] Canon EOS R, Mirrorless Full Frame Pertama Canon

Bagi yang mengikuti perkembangan teknologi kamera, tentunya Anda sudah mengetahui bahwa Nikon, Canon, dan Panasonic telah mengumumkan kamera mirrorless dengan sensor berukuran full frame – ranah yang saat ini dikuasai oleh Sony.

Pada tahun 2018 lalu barulah percikannya, persaingan mirrorless di segmen full frame akan berkobar lebih besar di tahun 2019 sekarang ini.

Setelah me-review Sony Alpha A7 III yang menjadi benchmark bagi saya untuk mirrorless full frame, Dailysocial kedatangan mirrorless full frame pertama dari Canon, yakni EOS R yang hadir dengan mount lensa baru bernama Canon RF.

Sebelum lanjut, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Datascrip selaku distributor tunggal produk pencitraan digital Canon di Indonesia yang telah meminjamkan unit review Canon EOS R.

Bila Nikon Z 6 dan Nikon Z 7 mengambil pendekatan yang kurang lebih mirip seperti Sony Alpha A7 dan A7R series, Canon menempuh jalan berbeda. Mengusung resolusi 30,3-megapixel, di atas kertas spesifikasi EOS R berada di tengah-tengah mereka.

Ya, meski hanya mengandalkan satu kamera saja, tapi Canon menegaskan bahwa ini baru yang pertama. Berikut review Canon EOS R selengkapnya.

Bedanya RF-mount dan EF-mount

Apa yang baru pada mount lensa Canon RF? Untuk ukuran diameternya masih sama dengan Canon EF, yakni 54mm. Namun punya jarak ke sensor lebih dekat karena tak ada lagi cermin (mirrorless), hanya 20mm. Sementara, Canon EF jarak ke sensornya ialah 44mm.

Artinya, hal ini memungkinkan Canon membuat lensa-lensa RF dengan dimensi yang lebih ringkas. RF mount ini sendiri dilengkapi dengan koneksi 12-pin yang mampu mentransmisikan data besar pada kecepatan tinggi, sehingga komunikasi antara kamera dan lensa terjadi lebih cepat.

Lebih dari itu, sistem stabilisasi gambar Dual Sensing IS juga turut ditingkatkan. Sistem baru ini juga menawarkan ring kontrol tambahan pada lensa RF yang bisa dikustomisasi.

Desain Cukup Ramping dengan Mekanisme Layar Fully Articulated

Kesan awal mencicipinya pada acara peluncuran Canon EOS R di Indonesia adalah ukurannya yang cukup bongsor. Wajar saja, karena saat itu saya membawa Sony Alpha A7 III dengan lensa FE 28-70mm f3.5-5.6 OSS dan membandingkannya langsung dengan EOS R yang dipasangkan lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM.

Ceritanya bakal lain kalau dibandingkan dengan kamera-kamera DSLR Canon, EOS R tentu lebih ramping. Setelah akhirnya tiba di meja redaksi Dailysocial dan mencobanya lebih intens, dimensi body dan hand grip yang lebih besar justru membuatnya lebih ergonomis dan nyaman sekali digenggam.

Yoga Wisesa - Tech Writer Senior | Hasil foto Canon EOS R
Yoga Wisesa – Tech Writer Senior | Hasil foto Canon EOS R

EOS R ini juga sempat dibawa oleh rekan saya, Yoga Wisesa untuk reportase ke CES 2019 di Las Vegas, AS. Sebagian hasil foto di bawah juga dipotret olehnya. Tetapi sebelum berangkat, dia sempat ragu-ragu dan berpikir dua kali untuk membawanya karena ukurannya. Pada akhirnya, dia tidak menyesal membawa EOS R setelah mendapati kualitas jepretannya.

Untuk desain EOS R sendiri, menurut saya sudah tampil modern dan keren. Kerangka EOS R terbuat dari material magnesium alloy yang tahan terhadap cuaca ekstrem, dengan dimensi 136x98x84 mm, dan bobot 660 gram termasuk baterai.

EOS R dilengkapi layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot dengan mekanisme fully-articulated, bisa ditarik ke samping dan diputar hingga 180 derajat yang tentunya dicintai oleh videografer atau para content creator.

Review-Canon-EOS-R

Di atasnya, ada electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,76x. Lalu, pada pelat atas ada panel OLED kecil yang menampilkan sejumlah parameter kamera.

Kontrol Kamera Intuitif

EOS R memiliki pegangan (grip) yang cukup besar, saya tidak menemukan masalah saat dipasang dengan lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM. Semua yang kita butuhkan untuk mengatur setting exposure kamera telah tersedia di tombol dan dial atau kenop fisik.

Kenop fisik utama (main dial) didekat tombol shutter secara default untuk mengatur shutter speed. Kemudian, kenop fisik kedua (quick control dial) untuk mengatur nilai aperture. Lalu lewat tombol M-Fn, kita bisa akses white balance.

Pada lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM terdapat tiga ring, pertama untuk mengatur focal lenght, kedua untuk manual focus, dan ketiga bisa diatur sesuai keinginan – kalau saya menggunakannya untuk ISO atau exposure compensation. Tombol navigasi di samping layar yakni atas, bawah, kanan, dan kiri juga bisa diatur sebagai shortcut untuk fitur atau setting yang sering kita gunakan.

Menu set yang berisi berbagai shortcut penting seperti AF method, AF operation, drive mode, metering mode, image quality, white balance, picture style, dan aspect ratio bisa diakses melalui tombol set atau ikon Q di layar pojok atas sebelah kanan. Kita bisa menggunakan tombol navigasi maupun layar sentuh untuk menyesuaikannya.

Satu lagi, Canon juga menawarkan cara baru untuk kontrol EOS R yakni M-Fn bar yang berada tepat di samping kanan viewfinder. Bagian kecil ini merupakan semacam touchbar multi-fungsi yang bisa diprogram sesuai kebutuhan, misalnya memberikan akses cepat ke autofocus, ISO, white balance, dan lainnya. Ada dua cara kerjanya yakni dengan mengusap (swipe) dan ketuk (tap) bagian kanan atau kiri.

Slot SD card berada di sebelah kanan, hanya ada satu slot kartu memori di EOS R dan mendukung kartu UHS-II. Akses ke baterai berada di sisi bawah, daya tahan baterainya diklaim menawarkan 370 jepretan sekali charge dan 450 jepretan bila menggunakan power saving mode.

EOS R memakai baterai yang sama dengan DSLR Canon pada umumnya, tipe LP-E6N berkapasitas 1.865 mAh. Uniknya, EOS R bisa diisi daya melalui USB type C – meski dalam paket penjualannya juga disediakan dock charging.

Port USB type C tersebut berada di sebelah kiri, bersama port mini HDMI, microphone eksternal, headphone, dan remote control terminal. Aksesori grip baterai BG-E22 juga tersedia yang memberikan kapasitas pemotretan lebih lama dan kenyamanan saat memotret secara vertikal.

Sample Gallery dari Canon EOS R

Kamera mirrorless full frame 35mm pertama dari Canon ini mengusung sensor CMOS 30,3-megapixel dengan low-pass filter untuk mengurangi efek moiré dan dilengkapi Digital Lens Optimizer untuk mengoreksi difraksi dan aberasi lensa.

Otaknya ialah prosesor gambar DIGIC 8 dengan kecepatan fokus 0,05 detik, dengan sistem autofocus Dual Pixel yang sangat mengesankan. Total ada 5.655 titik fokus yang dapat dipilih, yang mencakup 88% bentang vertikal dan 100% bentang horizontal pada lensa yang kompatibel.

Sistem autofocus-nya dapat bekerja dalam kondisi cahaya rendah EV-6. Fitur eye detection juga turut tersedia, untuk mendeteksi dan memfokuskan pada mata subjek – sangat berguna untuk foto portrait.

EOS R mampu menembak berturut-turut 8 fps dengan AF-S, 5 fps dengan AF-C, dan 3 fps dengan ‘Tracking Priority mode‘. Dengan rentang ISO 100-40.000 untuk foto (dapat diperluas menjadi 50 – 102.400).

Selain itu, EOS R dapat menangkap gambar mentah dalam format 14-bit (CRW) dan terkompresi C-RAW. C-RAW ini dapat mengurangi ukuran file hingga 40% tanpa kehilangan kualitas gambar yang nyata, tentunya dapat menghemat hardisk dan kartu memori.

Berikut hasil foto dari Canon EOS R dengan lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM. Lensa ini memiliki nilai aperture konstan f/4 di seluruh rentang zoom. Favorit saya ialah saat memotret dengan EOS R pada panjang fokus 105 mm dan aperture f/4, bokeh yang dihasilkan sangat lembut dan gambar tetap stabil karena lensa ini sudah mendukung Dual Sensing IS untuk meredam getaran saat memotret.

Kemampuan Perekam Video

Video 4K UHD dapat direkam oleh EOS R hingga 25/30 fps menggunakan kompresi ALL-I atau standar IBP dengan bitrate maksimal 480 MBps dan crop 1,7x. Lengkap dengan fitur capture frame 4K, di mana bisa mengambil frame dari rekaman 4K dan menyimpannya sebagai foto.

Jika ingin merekam video 50/60 fps, kita harus turun ke resolusi Full HD. Lalu, untuk video high frame rate hingga 100 fps harus turun lagi ke resolusi HD.

Ya, masalah crop 1,7x pada 4K dan video high frame rate pada HD memang bisa menjadi deal breaker bagi videografer ataupun fotografer profesional yang punya kebutuhan video tinggi.

Lebih lanjut mengenai perekaman videonya, EOS R telah mendukung log gamma yang disebut Canon Log. Fitur ini menyuguhkan fleksibilitas dalam pemrosesan pasca produksi seperti color grading. Dengan perangkat eksternal melalui melalui port HDMI, dengan Canon Log EOS R dapat merekam 4K 10-bit dengan color gamut yang luas.

Verdict

Kontrol intuitif pada EOS R dan respons kamera yang cepat membuat pengoperasian lebih fleksibel. Tentu saja, Anda mungkin perlu waktu untuk beradaptasi. Pada awalnya, saya juga kerap menggunakan fungsi layar sentuh untuk mendapatkan setting exposure yang diinginkan.

Setelah masuk ke menu, menyelam memahami fitur-fitur yang ditawarkan, dan mengkustomisasi tombol, kenop atau dial fisik, ring ekstra pada lensa, dan memaksakan diri menggunakan touchbar. Akhirnya, saya memperoleh kendali penuh dan tenggelam saat memotret menggunakan EOS R.

Jelas bahwa Canon EOS R ditujukan untuk para fotografer kelas kakap, tidak heran bila harga body EOS R dan lensa-lensa RF mahal-mahal. Sebagai yang pertama, saya paham betul bila EOS R masih memiliki sejumlah kekurangan dan sedikit tertinggal dibanding kompetitor penguasa full frame saat ini.

Masa depan Canon bertumpu pada sistem EOS R dan mount RF ini, menggantikan sistem EOS DSLR mereka yang diciptakan hampir 30 tahun yang lalu.

Sparks

  • Dual Pixel Autofocus yang mengesankan
  • Grip besar & kontrol intuitif
  • Prosesor Digic 8 dan mendukung format C-RAW
  • Mount RF yang responsif

Slacks

  • Video 4K dengan crop 1,7x
  • Video high frame rate tersedia di resolusi HD
  • Belum ada in-body stabilization

Leica Q-P Adalah Kamera Compact Bersensor Full-Frame dengan Penampilan Stealthy

Sebagai brand yang amat tersohor, Leica bebas meluncurkan edisi khusus dari produk-produknya yang sudah ada. Coba lihat saja Leica Q. Kamera compact bersensor full-frame itu sejauh ini sudah tersedia dalam dua edisi terbatas: satu edisi khusus Indonesia, satu lagi Leica Q Snow yang dirilis menjelang olimpiade musim dingin Februari lalu.

Baru-baru ini, Leica kembali memperkenalkan edisi anyar Leica Q. Kali ini bukanlah yang berkuantitas terbatas, melainkan varian baru bernama Leica Q-P. Embel-embel “P” pada dasarnya menandakan fokus pada aspek stealthy, seperti yang sebelumnya ditunjukkan oleh Leica M10-P.

Leica Q-P

Kesan stealthy itu tersirat dari hilangnya logo merah khas Leica di bagian depan, digantikan oleh ukiran mereknya saja di pelat atas. Pendekatan desain semacam ini pada dasarnya ditujukan kepada para street photographer, yang sering kali tidak mau mengundang perhatian ketika sedang ‘berburu’ di sudut-sudut kota.

Pembaruan lain yang diusung Q-P terletak pada tombol shutter-nya. Leica bilang sensasi taktil tombol ini lebih terasa ketimbang pada Leica Q standar. Mungkin kedengarannya sepele, tapi cukup membantu bagi yang setiap harinya menjepret ratusan foto.

Leica Q-P

Selebihnya, Q-P tidak berbeda dari Q biasa. Sensor full-frame yang tersemat masih sama dan masih beresolusi 24 megapixel, demikian pula lensa Summilux 28mm f/1.7 ASPH yang terpasang. Viewfinder dan layar sentuh 3 incinya pun sama, masing-masing dengan resolusi 3,68 juta dan 1,04 juta dot.

Soal harga, kalau Leica Q standar dibanderol $4.250, Leica Q-P harus ditebus lebih mahal seharga $4.995. Harga tersebut sudah termasuk sebuah leather strap dan satu baterai cadangan.

Sumber: DPReview.

Panasonic Sedang Kerjakan Dua Kamera Mirrorless Full-Frame: Lumix S1R dan S1

Kehadiran Nikon Z 7 dan Nikon Z 6 beserta Canon EOS R semestinya sudah cukup membuat Sony sebagai penguasa di segmen kamera mirrorless full-frame khawatir. Namun ternyata masih ada lagi pihak lain yang juga ingin ikut menginvasi lahan dominasi Sony, yaitu Panasonic. Di ajang Photokina 2018, pelopor tren mirrorless itu mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan dua kamera mirrorless full-frame.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix S1R dan S1. Layaknya seri Sony a7 yang selalu dibagi dua (tiga kalau a7S yang video-oriented juga dimasukkan hitungan), S1R adalah model flagship dengan sensor full-frame beresolusi 47 megapixel, sedangkan S1 ‘hanya’ 24 megapixel. Yang cukup unik, kedua kamera ini tidak menggunakan dudukan lensa (mount) baru seperti halnya Nikon Z dan Canon EOS R, melainkan L-mount besutan Leica.

Kendati demikian, Panasonic masih akan mengembangkan lensa L-mount bikinannya sendiri. Tiga yang sudah direncanakan adalah 50mm f/1.4, 24-105mm, dan 70-200mm, lalu tujuh lainnya akan menyusul tidak lewat setahun setelah kedua kamera ini diluncurkan. Demi semakin memperluas ekosistem lensa yang ditawarkan, Panasonic dan Leica juga telah menggandeng Sigma untuk ikut memproduksi lensa L-mount.

Panasonic Lumix S1R and Lumix S1

Berhubung masih dalam tahap pengembangan (yang dipamerkan baru prototipenya), detail mengenai S1R dan S1 pun belum terlalu lengkap. Beberapa yang esensial di antaranya adalah kemampuan merekam video 4K 60 fps (pertama untuk mirrorless full-frame kata Panasonic), dan sistem image stabilization internal yang dapat dikombinasikan dengan stabilization bawaan lensa.

Kedua kamera dilengkapi layar sentuh yang dapat dimiringkan pada tiga poros (atas, bawah dan samping, macam milik Fujifilm X-T3), sayang bukan yang model fully-articulated. Slot memory card-nya ada dua, satu untuk SD card biasa dan satu untuk XQD card. Menyesuaikan dengan target pasarnya, sasisnya telah dirancang agar tahan terhadap cuaca yang tidak ramah.

Rencananya, kedua kamera ini baru akan dipasarkan pada awal tahun 2019 mendatang. Harganya belum diketahui, tapi sudah pasti lebih mahal daripada Lumix GH5S, yang merupakan kamera termahal Panasonic saat ini.

Sumber: DPReview.