5 Kamera Terbaik Canon dari Berbagai Kategori yang Bisa Dibeli Saat Ini

Popularitas Canon di industri kamera tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejarah mencatatnya sebagai pabrikan asal Jepang pertama yang memproduksi kamera 35 mm di tahun 1934, dan produk-produknya hingga kini dipercaya dari kalangan fotografer dan videografer amatir sampai profesional.

Sebagai produsen kamera yang sudah eksis sejak lama, wajar kalau portofolio produk Canon kini mencakup banyak kategori sekaligus. Artikel ini bermaksud untuk menyoroti lima kamera terbaik Canon yang bisa konsumen beli saat ini, dari kategori kamera point-and-shoot hingga kamera untuk kebutuhan profesional.

Kamera point-and-shoot Canon terbaik: Canon PowerShot G7 X Mark III

Canon memang sudah lama tidak merilis kamera baru di kategori ini, akan tetapi G7 X Mark III masih tergolong sangat kapabel hingga sekarang. Sensor 1 inci bertipe stacked-nya tak hanya mampu menghasilkan foto 20 megapiksel yang menawan, tapi juga mendongkrak kinerjanya secara drastis. Andai diperlukan, kamera ini siap ‘memberondong’ tanpa henti dengan kecepatan 30 fps.

G7 X Mark III juga sangat kapabel untuk video dengan kemampuan merekam di resolusi 4K 30 fps dan bitrate 120 fps. Kamera ini kerap menjadi pilihan vlogger berkat layarnya yang bisa dihadapkan ke depan, tidak ketinggalan pula mode khusus untuk live streaming langsung ke YouTube.

Banderol Rp9.499.000 memang tidak bisa dibilang murah, tapi kalau Anda menginginkan yang terbaik di kategori point-and-shoot, G7 X Mark III adalah salah satu kandidat yang tepat.

Link pembelian: Canon PowerShot G7 X Mark III

Kamera mirrorless entry-level Canon terbaik: Canon EOS M200

Dengan banderol cuma Rp6.499.000 (sudah termasuk lensa 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM), Canon EOS M200 merupakan pilihan bijak bagi yang baru memulai hobi fotografi dan ingin membeli kamera mirrorless pertamanya. Perangkat dibekali sensor APS-C 24 megapiksel, lengkap beserta sistem Dual Pixel autofocus yang amat cekatan.

Kemampuan videonya pun cukup mumpuni, tapi sayangnya ia memiliki crop factor yang cukup besar saat dipakai merekam dalam resolusi 4K. Terlepas dari itu, bodinya yang sangat ringkas membuat kamera ini bisa diandalkan kapan saja dan di mana saja. Ditandemkan dengan lensa pancake, kamera ini dapat disimpan di dalam saku celana.

Link pembelian: Canon EOS M200 (body only)

Kamera mirrorless APS-C Canon terbaik: Canon EOS M6 Mark II

Bagi yang belum tertarik lompat ke segmen full-frame, Canon EOS M6 Mark II bisa jadi alternatif yang menarik. Entah untuk keperluan fotografi maupun videografi, M6 Mark II siap menjalankan tugasnya dengan baik, dan ia merupakan lawan yang sepadan buat Sony A6400 maupun Fujifilm X-T30.

Dibanderol Rp12.999.000 (body only), M6 Mark II mengandalkan sensor APS-C 32,5 megapiksel, prosesor DIGIC 8, dan sistem Dual Pixel AF yang reliabel. Urusan video, ia sanggup merekam dalam resolusi 4K 30 fps tanpa crop sedikitpun, dan sistem Dual Pixel AF-nya juga dapat tetap bekerja dalam mode ini.

Link pembelian: Canon EOS M6 Mark II (body only)

Kamera mirrorless full-frame entry-level Canon terbaik: Canon EOS RP

16 juta tapi full-frame, itulah daya tarik utama dari kamera ini. EOS RP ditujukan bagi mereka yang ingin beralih dari APS-C ke full-frame — khususnya yang memiliki bujet terbatas — guna mendapatkan hasil foto yang lebih baik di kondisi low-light. Meski cuma mengusung sensor beresolusi 26 megapiksel, foto yang dihasilkan EOS RP jelas lebih bagus ketimbang yang dijepret menggunakan kamera mirrorless APS-C.

Kekurangan EOS RP terletak pada kapabilitas videonya, terutama akibat crop factor yang kelewat besar, serta sistem Dual Pixel AF yang tidak bisa aktif di resolusi 4K. Kalau porsi penggunaan Anda berimbang antara foto dan video, saya lebih menyarankan EOS M6 Mark II tadi daripada EOS RP. Namun kalau lebih dominan foto, EOS RP bisa jadi pertimbangan.

Link pembelian: Canon EOS RP (body only)

Kamera mirrorless full-frame Canon terbaik: Canon EOS R5

Buat yang menginginkan kamera mirrorless terbaik dari Canon, pilihannya jatuh pada EOS R5 yang dijual seharga Rp64.850.000. Ia mengemas sensor full-frame 45 megapiksel dan prosesor DIGIC X, plus sistem Dual Pixel AF generasi baru yang mencakup permukaan sensor secara keseluruhan.

Urusan video, EOS R5 juga sangat mumpuni dengan kemampuan merekam dalam resolusi 8K 30 fps selama 30 menit nonstop, atau 4K 120 fps untuk mengabadikan adegan slow-motion. EOS R5 memang bukan kamera mirrorless Canon yang paling mahal, tapi ia adalah yang paling versatile.

Link pembelian: Canon EOS R5 (body only)

Gambar header: Robin McSkelly via Unsplash.

10 Kamera untuk Video dengan Harga Kurang dari 10 Juta Rupiah yang Bisa Dibeli di Indonesia

Hampir semua kamera modern, termasuk halnya smartphone, bisa digunakan untuk menjepret foto dan merekam video sekaligus. Kendati demikian, tidak semuanya betul-betul didedikasikan untuk perekaman video.

Memilih kamera untuk video pada dasarnya lebih rumit ketimbang memilih kamera untuk foto, sebab yang perlu diperhatikan bukan cuma resolusi video yang dapat dihasilkan saja. Rekan saya, Lukman, sebelumnya sempat menuliskan sejumlah tips memilih kamera untuk video, dan di artikel ini, saya ingin memberikan rekomendasi langsung terkait kamera-kamera yang pantas dibeli, khususnya bagi yang memiliki bujet terbatas.

Tanpa basa-basi lebih jauh, berikut adalah 10 kamera untuk video yang bisa dibeli di Indonesia dengan dana kurang dari 10 juta rupiah.

1. Sony ZV-1

Dari perspektif sederhana, Sony ZV-1 pada dasarnya merupakan Sony RX100 yang sudah dioptimalkan untuk pengambilan video. Berbekal sensor 1 inci dan bodi yang ringkas, ia pantas dijadikan senjata andalan saat vlogging, apalagi jika melihat layarnya yang bisa dihadapkan ke depan. Keberadaan lensa 24-70mm f/1.8-2.8 juga membuatnya semakin fleksibel.

Kemampuan videonya pun tidak boleh diremehkan. Sony ZV-1 mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps dan tanpa pixel binning pada format XAVC S. Ia juga dibekali hot shoe dan colokan untuk mikrofon eksternal seandainya pengguna tidak puas dengan kualitas mikrofon bawaannya (yang sebenarnya sudah tergolong bagus).

Di Indonesia, kamera ini bisa dibeli dengan harga Rp9.499.000. Anda hanya perlu menyiapkan SD card, maka perangkat bisa langsung digunakan. Buat yang ingin tahu lebih detail mengenai kamera ini, Anda bisa membaca review lengkapnya di sini.

Link pembelian: Sony ZV-1

2. Sony RX0 II

Anda lebih suka dengan desain ala action cam? Coba lirik Sony RX0 II. Kamera ini betul-betul Sony rancang untuk videografer, baik yang masih amatir sampai yang sudah masuk kelas profesional. Para vlogger pun masuk sebagai target pasarnya, sebab layarnya memang bisa dilipat sampai menghadap ke depan.

Di balik ukurannya yang terbilang mungil, bernaung sensor 1 inci bertipe stacked dengan kemampuan merekam dalam resolusi 4K 30 fps, juga dengan bitrate 100 Mbps dan tanpa pixel binning pada format XAVC S. Seperti kebanyakan action cam, ia mengemas lensa fixed (24mm f/4.0). Input mikrofon pun juga tersedia bagi yang membutuhkan.

Dengan banderol Rp9.999.000, kamera ini bakal jadi upgrade yang sangat signifikan bagi mereka yang masih menggunakan smartphone untuk merekam video. Silakan baca artikel hands-on singkatnya seandainya masih penasaran.

Link pembelian: Sony RX0 II

3. Panasonic Lumix LX10

Alternatif lain buat para vlogger, kamera ini turut mengemas sensor 1 inci pada bodi mungilnya. Tipikal Panasonic, sensor tersebut ditandemkan dengan lensa Leica 24-72mm f/1.4-2.8. Sistem penstabil gambar 5-axis turut tersedia, tapi ini hanya bisa aktif ketika merekam video di resolusi 1080p ke bawah.

Namun tak usah khawatir, sebab kamera ini tetap mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps di bitrate 100 Mbps. Kekurangannya mungkin hanya satu: ia tidak punya port mikrofon. Oh dan satu lagi, ia merupakan produk keluaran tahun 2016. Terlepas dari itu, ia tetap sangat bisa diandalkan untuk keperluan merekam video, dengan catatan dana Anda tidak kurang dari Rp9.499.000.

Link pembelian: Panasonic Lumix LX10

4. Panasonic Lumix G85

Kalau yang diincar adalah fleksibilitas terbaik, maka Anda harus mempertimbangkan kategori mirrorless. Di rentang harga ini, ada Lumix G85. Ia dibekali sensor Micro Four Thirds dan sanggup merekam dalam resolusi 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps. Ia bahkan punya port HDMI out untuk disambungkan ke external recorder.

Kamera ini memang bukan model yang paling baru, tapi harganya sudah tinggal Rp7.999.000, sehingga sisa dua jutanya bisa dibelikan lensa. Memangnya ada lensa semurah itu yang mendukung autofocus? Well, silakan tengok lensa 14-42mm f/3.5-5.6 milik Olympus, yang sepenuhnya kompatibel dan dijual seharga 1,3 juta saja. Atau kalau bujet Anda bisa melar sedikit, tersedia pula bundel G85 plus lensa 25mm f/1.7 seharga 10,5 juta.

Link pembelian: Panasonic Lumix G85 (body only)

5. Fujifilm X-T200

Mirrorless lain yang patut dilirik adalah Fujifilm X-T200, yang bisa didapat seharga Rp9.499.000, sudah termasuk lensa 15-45mm f/3.5-5.6. Ia mengemas sensor APS-C dan sanggup merekam video 4K secara proper di 30 fps, dengan bitrate maksimum 100 Mbps, tidak seperti pendahulunya yang terbatas di 4K 15 fps saja (alias tidak usable).

Seperti hampir semua kamera yang ada di artikel ini, layarnya juga bisa dihadapkan ke depan sehingga cocok untuk keperluan vlogging. Hot shoe dan colokan 3,5 mm juga tersedia sehingga pengguna bisa memasangkan mikrofon eksternal dengan mudah.

Link pembelian: Fujifilm X-T200

6. Canon PowerShot G7 X Mark III

Model compact premium dari Canon ini menawarkan peningkatan pesat dibanding generasi sebelumnya dalam bentuk sensor 1 inci bertipe stacked. Kemampuan videonya pun juga dirombak besar-besaran. 4K 30 fps dengan bitrate 120 Mbps adalah opsi tertinggi yang bisa dipakai, dan ia bahkan dibekali mode khusus untuk live streaming ke YouTube dalam resolusi 1080p 30 fps. Ya, langsung dari kamera dengan mengandalkan Wi-Fi.

Canon bahkan mengambil satu langkah ekstra dengan menyematkan mode perekaman video vertikal, sehingga hasilnya bisa langsung diedit di smartphone dan dibagikan ke media sosial. Ia memang tidak punya hot shoe, tapi setidaknya masih ada colokan 3,5 mm untuk mengakomodasi mikrofon eksternal.

Harganya? Rp9.499.000 saja. Simak juga ulasan lengkapnya untuk mendapatkan impresi yang lebih lengkap.

Link pembelian: Canon PowerShot G7 X Mark III

7. Insta360 One R 1-Inch Edition

Buat yang berniat membawa kameranya bertualang, Anda tentu butuh action cam dengan fisik yang tangguh. Salah satu kandidatnya adalah Insta360 One R 1-Inch Edition yang dijual seharga Rp8.749.000. Kamera ini tak hanya sekadar mengandalkan bodi yang kokoh saja (bisa menyelam sampai 5 meter tanpa bantuan casing tambahan), tetapi spesifikasinya pun sangat mumpuni berkat sensor 1 inci dan lensa 14,4mm f/3.2 yang dikembangkan bersama Leica.

Resolusi maksimum yang dapat direkam adalah 5,3K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps. Namun hal menarik lain dari kamera ini adalah desain modularnya; sensor dan lensanya itu bisa dicopot dan diganti dengan modul yang lain. Insta360 bahkan punya modul berlensa ganda yang dapat dipakai untuk merekam video 360 derajat.

Link pembelian: Insta360 One R 1-Inch Edition

8. GoPro Max

Kalau memang yang diincar adalah perekaman video 360 derajat, maka GoPro Max bisa jadi salah satu alternatif yang menarik. Menarik karena selain bisa merekam video 360 derajat dalam resolusi 5,6K 30 fps, ia juga dapat berperan sebagai action cam biasa maupun kamera vlogging, meski di mode ini resolusinya cuma terbatas di 1440p 60 fps saja.

Seperti GoPro modern lain, Max turut dibekali sistem stabilisasi HyperSmooth yang sangat efektif dalam meredam guncangan. Total ada enam buah mikrofon yang tertanam di kamera ini, dan GoPro mengklaim kinerjanya tak kalah dari shotgun mic.

GoPro Max memang sudah tidak tergolong baru, tapi itu berarti harganya pun sudah turun menjadi Rp7.828.000. Namun kalau Anda menginginkan yang terbaik dari GoPro, masih ada kamera lain yang lebih oke.

Link pembelian: GoPro Max

9. GoPro Hero10 Black

Kamera lain yang saya maksud adalah GoPro Hero10 Black yang masih sangat gres. Dibandingkan versi sebelumnya, Hero10 mengemas sensor baru sekaligus prosesor baru. Alhasil, kemampuan perekaman videonya naik menjadi 5,3K 60 fps, atau 4K 120 fps. Ya, Anda bisa menciptakan adegan slow-motion di resolusi 4K menggunakan kamera ini.

Kinerja kamera secara keseluruhan juga lebih gegas daripada pendahulunya, sehingga semua pemrosesan bakal rampung dalam waktu yang lebih singkat. Pembaruan pada sistem penstabil gambarnya berarti ia dapat meredam guncangan yang lebih ekstrem daripada sebelumnya.

Di Indonesia, pre-order GoPro Hero10 Black saat ini sudah dibuka di harga Rp8.499.000, dengan estimasi kedatangan pada akhir Oktober 2021. Buat yang sebelumnya memiliki Hero9, semua aksesori untuk kamera tersebut kompatibel dengan Hero10.

Link pembelian: GoPro Hero10 Black

10. DJI Pocket 2

Untuk mendapatkan stabilisasi yang lebih baik, videografer biasanya memanfaatkan alat bantu bernama gimbal. Kalau tidak mau ribet, Anda juga bisa mencari kamera yang dari sananya memang sudah dibekali gimbal bawaan. Contohnya seperti DJI Pocket 2 ini.

Duduk manis di gimbal 3-axis miliknya adalah sensor 1/1,7 inci dan lensa 20mm f/1.8 yang siap digunakan untuk merekam video 4K 60 fps dengan bitrate 100 Mbps. Berkat keberadaan sebuah layar mungil, kamera ini tentu juga sangat ideal untuk vlogging.

Konsumen tanah air bisa membeli kamera ini seharga Rp5.999.000. Sederet aksesori opsional juga tersedia guna semakin menambah fleksibilitasnya.

Link pembelian: DJI Pocket 2

Canon EOS R3 Resmi Dirilis, Siap Tandingi Sony A1 di Segmen Kamera Mirrorless Berperforma Tinggi

Setelah ditunggu-tunggu sejak bulan april, Canon EOS R3 akhirnya resmi diperkenalkan. Kamera ini merupakan mirrorless paling flagship di antara semua penawaran Canon saat ini, dengan performa melampaui banyak kamera DSLR sekalipun.

Rahasianya terletak pada penggunaan sensor full-frame 24 megapiksel generasi baru yang bertipe stacked hasil rancangan dan produksi Canon sendiri. Ini merupakan pertama kalinya Canon memakai sensor semacam ini, dan lonjakan performa yang dihadirkan benar-benar di atas standar kamera mirrorless secara umum.

Menggunakan shutter elektronik, EOS R3 mampu menjepret foto tanpa henti dengan kecepatan 30 fps selagi tracking autofocus-nya aktif (Servo AF), setara dengan yang ditawarkan oleh Sony A1. Kecepatan maksimum shutter elektroniknya mencapai angka 1/64.000 detik.

Kalau menggunakan shutter mekanik, kecepatannya turun menjadi 12 fps. Namun angka ini masih sangat impresif mengingat Sony A1 ‘hanya’ menawarkan 10 fps dengan shutter mekanik. Untuk kecepatan shutter mekaniknya, EOS R3 menawarkan opsi tertinggi di 1/8.000 detik.

Dengan performa sengebut itu, EOS R3 semestinya bakal menarik perhatian para fotografer olahraga maupun fotografer satwa liar. Tidak kalah penting adalah kinerja sistem autofocus-nya. EOS R3 menawarkan fitur bernama Eye Control AF, dan sesuai namanya, fitur ini memungkinkan pengguna untuk menetapkan titik fokus hanya dengan melihat ke arah yang ingin difokuskan selagi membidik menggunakan viewfinder. Sangat intuitif.

Untuk keperluan merekam video, EOS R3 memang belum bisa merekam dalam resolusi 8K. Meski begitu, pengguna bisa memilih antara dua opsi yang tak kalah high-end: 6K 60 fps dalam format RAW, atau 4K 120 fps 10-bit tanpa crop. EOS R3 juga dibekali sistem penstabil gambar 5-poros, sehingga pengguna bisa tetap percaya diri meski memakai lensa yang tidak dilengkapi OIS.

Secara desain, EOS R3 tampak mirip seperti DSLR Canon EOS 1D X Mark III yang mengadopsi rancangan dual grip. Rangkanya terbuat dari magnesium utuh, dengan tingkat weather-proofing yang selevel dengan yang ditawarkan oleh EOS 1D X Mark III. Namun berhubung mirrorless, dimensi EOS R3 lebih ringkas, dan bobotnya pun jauh lebih ringan; 822 gram (R3) dibanding 1.250 gram (1D X Mark III), tanpa lensa.

EOS R3 mengemas viewfinder elektronik dengan panel 120 fps beresolusi 5,76 juta dot. Di atasnya, pengguna bisa menjumpai multi-function shoe generasi baru yang kompatibel dengan lebih banyak macam aksesori. EOS R3 punya dua slot memory card; satu untuk CF Express, satu untuk SD card UHS-II.

Di Amerika Serikat, Canon EOS R3 dijadwalkan masuk ke pasaran pada bulan November dengan harga $5.999 (body only), lebih murah $500 daripada Sony A1. Sejauh ini belum ada informasi soal ketersediaannya di Indonesia. Namun kabarnya, stok EOS R3 bakal cukup langka di seluruh dunia.

Sumber: DPReview.

Dibanderol $3.999, Fujifilm GFX 50S II Adalah Kamera Mirrorless Medium Format Termurah Fujifilm Sejauh Ini

Dengan ukuran sensor yang lebih besar dari kamera mirrorless full-frame, wajar apabila kamera mirrorless medium format seperti Fujifilm GFX 100S dijual dengan harga selangit. Namun tidak selamanya harus seperti itu, sebab seiring waktu ongkos pengembangan suatu teknologi pasti akan terus menurun, sehingga pada akhirnya pabrikan bisa menjual produk dengan harga yang lebih murah.

Kira-kira begitulah sentimen yang saya dapat setelah mendengar kabar tentang perilisan Fujifilm GFX 50S II. Dibanderol $3.999, atau kurang lebih sekitar 57 jutaan rupiah, ia merupakan kamera medium format paling terjangkau yang pernah Fujifilm luncurkan. Memang belum bisa dikatakan murah, tapi setidaknya bisa membantu konsumen mengalokasikan sisa dana yang ada ke lensa.

GFX 50S II mengemas sensor medium format beresolusi 51,4 megapixel, sementara kemampuan merekam videonya terbatas di resolusi 1080p. Tidak seperti GFX 100S yang dibekali sistem phase-detect autofocus, GFX 50S II masih mengandalkan sistem contras-detect. Meski demikian, Fujifilm mengklaim GFX 50S II punya kemampuan Face / Eye Detection AF yang lebih akurat daripada generasi pertamanya.

Ini dimungkinkan berkat penggunaan chip X-Processor 4 seperti yang terdapat pada GFX 100S. Singkat cerita, bila dibandingkan dengan pendahulunya, GFX 50S II punya sensor yang sama, tapi prosesornya lebih baru.

Yang cukup istimewa dari GFX 50S II adalah sistem IBIS (in-body image stabilization) lima porosnya, yang diklaim mampu mengompensasi guncangan hingga 6,5 stop, paling baik di antara semua kamera dari lini Fujifilm GFX. Berkat sistem IBIS yang efektif, GFX 50S II jadi bisa menawarkan Pixel Shift Multi-Shot, yakni fitur untuk menghasilkan foto beresolusi 200 megapixel dengan cara menjepret dan menggabungkan 16 gambar dalam format RAW.

Dari segi fisik, GFX 50S II mengemas bodi yang identik dengan GFX 100S, bahkan bobotnya pun sama-sama 900 gram. Pengguna dapat menjumpai layar kecil (1,8 inci) di pelat atasnya yang berfungsi sebagai indikator parameter exposure, sementara sisi belakangnya dihuni oleh LCD 3,2 inci yang dapat dimiringkan ke tiga arah yang berbeda, plus viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.

Seperti yang sudah disebutkan, Fujifilm GFX 50S II akan dijual dengan harga $3.999 (body only), jauh lebih murah daripada GFX 50S orisinal yang dihargai $6.499 ketika pertama diluncurkan di tahun 2017.

Fujifilm juga akan menjual GFX 50S II bersama lensa baru GF 35-70mm f/4.5-5.6 WR dengan harga $4.499. Di Amerika Serikat, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai akhir bulan Oktober 2021.

Sumber: DPReview.

Panasonic Umumkan Lumix GH5M2 dan Lumix GH6, Siap Rebut Kembali Hati Kalangan Videografer

Empat tahun setelah diluncurkan, Panasonic Lumix GH5 akhirnya punya penerus, yakni Lumix GH5M2. Seperti pendahulunya, kamera ini masih mengemban misi untuk menjadi kamera favorit kalangan videografer, dan itu diwujudkan lewat sejumlah penyempurnaan.

Yang paling utama, Lumix GH5M2 sanggup merekam video dalam resolusi 4K 10-bit 4:2:0 di kecepatan 60 fps secara internal. Pada generasi pertamanya, Lumix GH5 perlu disambungkan ke perangkat external recorder agar bisa merekam video 10-bit 60 fps. Dukungan format V-Log, yang sebelumnya harus ditebus secara terpisah oleh konsumen Lumix GH5, kini bisa langsung dinikmati di Lumix GH5M2.

Lebih lanjut, Lumix GH5M2 turut menawarkan kinerja sistem penstabil gambar yang lebih efektif dari pendahulunya, dengan kemampuan mengompensasi hingga 6,5 stop (naik dari 5 stop). Performa autofocus-nya pun juga diklaim lebih cekatan ketimbang generasi pertamanya. Perubahan ini dimungkinkan berkat pembaruan yang diterapkan pada image processor-nya. Sensor yang digunakan sendiri sama persis, masih Micro Four Thirds dengan resolusi 20 megapixel, tapi kini dengan lapisan anti-reflektif.

Pembaruan lain yang tak kalah menarik adalah dukungan live streaming secara nirkabel. Jadi dengan bantuan sebuah smartphone saja, Lumix GH5M2 mampu merekam sekaligus menyiarkan video dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps. Pengguna juga tidak perlu khawatir dengan daya tahan baterainya, sebab selain mengemas baterai dengan kapasitas yang lebih besar (2.200 mAh), Lumix GH5M2 juga dapat beroperasi selagi dicolok kabel USB-C.

Terakhir, Lumix GH5M2 mengusung layar sentuh berukuran sedikit lebih kecil (3 inci dibanding 3,2 inci), tapi dengan resolusi yang lebih tinggi di angka 1,84 juta dot, serta tingkat kecerahan yang lebih baik. Viewfinder elektroniknya juga sudah diperbarui agar mampu mendukung refresh rate maksimum 120 Hz.

Secara keseluruhan, Panasonic Lumix GH5M2 memang tidak menawarkan perubahan yang terlalu drastis jika dibandingkan dengan generasi pertamanya, tapi itu juga berarti Panasonic bisa menjualnya dengan harga yang lebih terjangkau lagi dari sebelumnya, persisnya $400 lebih murah. Di Amerika Serikat, Panasonic Lumix GH5M2 akan dijual seharga $1.699 (body only), atau $2.299 bersama lensa 12-60mm f/2.8-4. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai bulan Juli.

Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, kenapa Panasonic harus menunggu selama ini untuk merilis kamera yang pada dasarnya cuma sebatas evolusi ketimbang revolusi? Jawabannya adalah karena mereka juga sedang sibuk menyiapkan kamera lain, yaitu Lumix GH6.

Panasonic Lumix GH6

Kamera inilah yang bakal menggantikan posisi Lumix GH5 sebagai kamera paling flagship dari lini Lumix G. Panasonic sejauh ini belum membeberkan spesifikasi maupun mengungkap wujudnya secara lengkap, sebab Lumix GH6 memang masih dalam tahap pengembangan.

Pun begitu, ada sejumlah detail penting yang sudah bisa kita soroti sejauh ini. Utamanya adalah kombinasi sensor dan prosesor baru yang memungkinkan Lumix GH6 untuk merekam video 5,7K 10-bit di kecepatan 60 fps, atau 4K 10-bit 4:2:2 di kecepatan 60 fps tanpa batasan durasi sama sekali. Saat dibutuhkan, Lumix GH6 juga siap merekam video 4K 120 fps, lengkap dengan audio.

Sebagai bagian dari lini Lumix G, Lumix GH6 dipastikan mengusung sensor Micro Four Thirds, bukan sensor full-frame seperti yang dijagokan lini Lumix S. Mode perekaman dalam resolusi 5,7K sejatinya mengindikasikan kalau sensor baru ini punya resolusi paling tidak 24 megapixel.

Menurut Panasonic sendiri, Lumix GH6 bakal dirilis ke publik di akhir tahun 2021 ini juga, dengan kisaran harga $2.500. Guna mendampingi kamera flagship baru ini, Panasonic juga tengah menyiapkan lensa premium anyar, yakni Leica DG 25-50mm f/1.7, yang bakal ditawarkan sebagai alternatif dari Leica DG Vario-Summilux 10-25mm f/1.7 ASPH.

Sumber: DP Review dan PetaPixel.

Sony Stop Jual Kamera DSLR

Eksistensi kamera mirrorless macam Sony A1 membuat kategori DSLR semakin tidak relevan di tahun 2021 ini. Saya tidak bilang DSLR sudah mati begitu saja, tapi arahnya sepertinya bakal ke sana jika melihat tren yang sedang berlangsung di industri kamera.

Baru-baru ini, situs Sony Alpha Rumors melaporkan bahwa Sony diam-diam sudah berhenti memasarkan lini kamera DSLR-nya yang menggunakan dudukan lensa A-mount. Kamera-kamera DSLR (DSLT kalau menurut kamus Sony) seperti Sony A68, Sony A77 II, maupun Sony A99 II semuanya sudah tidak bisa lagi ditemukan di situs resmi Sony maupun di peritel kenamaan macam B&H Photo Video.

Sejauh ini memang belum ada konfirmasi resmi dari Sony mengenai hal ini, tapi kabar ini sebenarnya sudah bisa kita tebak dari jauh-jauh hari. Pasalnya, terakhir kali Sony meluncurkan kamera DSLR adalah di bulan September 2016, yakni Sony A99 II yang membanggakan teknologi 4D Focus.

Kala itu, Sony bilang bahwa 4D Focus belum bisa diaplikasikan ke lini kamera mirrorless A7 karena keterbatasan ruang. Sekarang, 4D Focus bahkan sudah ada di kamera mirrorless sekelas A6100 sekalipun. Sony bisa dibilang sudah tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan kiprahnya di kategori DSLR.

Lineup kamera mirrorless Sony sekarang sudah bisa memenuhi kebutuhan banyak kalangan sekaligus, dari yang baru memulai hobi fotografi, sampai yang sudah berkarir secara profesional di bidang fotografi maupun videografi selama bertahun-tahun. Sony merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap popularitas kamera mirrorless sekarang, jadi tidak mengherankan apabila mereka merasa sudah waktunya untuk meninggalkan segmen DSLR sepenuhnya.

Sebagai informasi, Sony merilis DSLR perdananya, Sony A100, di tahun 2006 setelah sebelumnya lebih dulu mengakuisisi divisi kamera milik Konica Minolta. Sekitar empat tahun setelahnya, Sony merilis kamera mirrorless pertamanya, yakni Sony NEX-3 dan Sony NEX-5 yang sama-sama mengusung sensor APS-C. Barulah di tahun 2013, Sony merilis A7, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor full-frame.

Sumber: Engadget.

Canon Umumkan Pengembangan EOS R3, Mirrorless High-End Baru dengan Stacked Sensor

Persaingan kamera mirrorless di segmen high-end bakal semakin memanas. Semuanya diawali oleh peluncuran Sony A1 di awal tahun, dan bulan lalu Nikon merespon dengan mengumumkan pengerjaan kamera mirrorless tercanggihnya, Nikon Z 9. Sekarang, Canon pun rupanya tidak mau kalah.

Lewat sebuah siaran pers, Canon mengumumkan bahwa mereka sedang sibuk mengembangkan EOS R3, kamera mirrorless terbarunya yang mengusung sensor full-frame. Bukan sembarang full-frame, melainkan yang mengadopsi model stacked demi meningkatkan kinerjanya secara drastis.

Berkat sensor baru ini, EOS R3 diklaim mampu menjepret secara terus-menerus dalam kecepatan 30 fps (menggunakan shutter elektronik), lengkap dengan AF/AE tracking dan rolling shutter yang minimal. Ya, angkanya sama persis seperti yang mampu dicatatkan oleh Sony A1, mengindikasikan bahwa kedua kamera ini bakal bersaing secara langsung di pasaran.

Canon tidak lupa menyoroti bahwa ini adalah pertama kalinya mereka menggunakan sensor tipe stacked. Di saat yang sama, teknologi Dual Pixel AF bakal tetap menjadi unggulan di EOS R3, bahkan dengan kemampuan mendeteksi subjek yang lebih baik lagi berkat pemanfaatan algoritma berbasis deep learning. EOS R3 juga disebut bakal menjadi kamera digital pertama Canon yang menawarkan fitur Eye Control AF.

Selebihnya, detail mengenai EOS R3 masih tergolong minim. Secara fisik, kamera ini bakal mengadopsi desain dual-grip seperti yang tampak pada gambar. Struktur bodinya juga telah dirancang dengan ketahanan air dan debu yang sekelas dengan milik EOS 1D, yang tidak lain merupakan seri kamera DSLR tertinggi sekaligus termahal Canon.

Sejauh ini sama sekali belum ada informasi terkait kapan Canon EOS R3 bakal diluncurkan secara resmi. Kalau melihat kelebihan-kelebihannya — performa burst shooting yang sangat cepat beserta tracking autofocus yang lebih cekatan — semestinya kamera ini Canon tujukan buat para fotografer olahraga, dan bisa jadi Canon bakal merilisnya mendekati perhelatan Olimpiade Tokyo pada akhir Juli mendatang.

Sumber: DP Review dan Canon.

Alice Camera Adalah Kamera Mirrorless dengan Kemampuan Computational Photography ala Smartphone

Pesatnya perkembangan teknologi kamera smartphone membuat kita jadi semakin sering membandingkannya dengan kamera mirrorless. Padahal, kedua perangkat tentu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Untuk kamera smartphone, kelebihannya jelas terletak pada sederet teknik computational photography yang diterapkan, fitur Night Mode contohnya. Kendati demikian, kamera smartphone masih belum bisa menyaingi fleksibilitas yang ditawarkan mirrorless, terutama terkait kemudahan menggonta-ganti lensa sesuai kebutuhan.

Di luar sana, rupanya ada sebuah startup bernama Photogram yang sedang mencoba untuk menggabungkan kelebihan kedua perangkat tersebut. Buah pemikiran mereka adalah Alice Camera, sebuah kamera unik yang menawarkan keunggulan dari sisi software ala smartphone, sekaligus keunggulan dari sisi hardware ala kamera mirrorless.

Secara teknis, Alice merupakan sebuah kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) beresolusi 10,7 megapixel. Penggunaan sensor MFT berarti ia kompatibel dengan lensa-lensa bikinan Panasonic, Olympus, Sigma, Voigtlander, maupun dari pabrikan-pabrikan lain yang memang menggunakan jenis dudukan MFT. Lensa dengan jenis dudukan lain pun juga bisa digunakan dengan bantuan adaptor.

Dimensi sensor MFT memang tidak sebesar sensor full-frame, tapi masih jauh lebih besar daripada sensor kamera smartphone pada umumnya. Sederhananya, dari segi hardware saja Alice sudah cukup unggul, tapi ternyata kamera ini turut mengandalkan algoritma-algoritma berbasis AI untuk mengoptimalkan hasil jepretannya lebih jauh lagi layaknya kamera smartphone.

Untuk mewujudkan teknik-teknik pemrosesan yang advanced itu, Alice mengandalkan Edge TPU, chip machine learning yang dirancang oleh Google. Mulai dari autofocus, white balance, dynamic range, sampai noise reduction, semuanya akan dioptimalkan menggunakan algoritma-algoritma berbasis AI tersebut.

Namun sebagai sebuah kamera mirrorless, Alice tentu masih menyediakan mode pemotretan manual bagi pengguna yang sudah berpengalaman. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah, Alice tidak mempunyai layar sama sekali. Sebagai gantinya, pengguna dapat menjepitkan smartphone ke bagian belakangnya, dan itu juga berarti semua opsi pengaturannya harus diakses melalui aplikasi smartphone.

Berhubung Alice terhubung langsung dengan smartphone, kegiatan seperti live streaming pun bisa dilangsungkan semudah menggunakan smartphone itu sendiri. Menariknya, Photogram merancang software Alice dengan prinsip open-source, yang berarti siapapun bebas memodifikasi atau menambahkan fitur baru.

Secara fisik, Alice terlihat sangat minimalis dengan gaya desain industrialnya. Bodinya terbuat dari aluminium utuh, dengan hand grip yang menyatu secara seamless. Kendati demikian, bobotnya tergolong ringan di kisaran 350 – 375 gram, dan berhubung ia tidak punya LCD, tebal bodinya pun tidak lebih dari 35 mm.

Alice sejauh ini masih berstatus prototipe, akan tetapi pengembangnya sudah menerima pre-order melalui platform crowdfunding Indiegogo. Di sana, harga paling murahnya (early bird) dipatok £600 (± 11,6 jutaan rupiah). Kalau sesuai jadwal, konsumen bakal menerima pesanannya mulai Oktober 2021.

Sumber: DP Review.

Fujifilm GFX100 IR Dirancang untuk Keperluan Forensik Maupun Pelestarian Budaya

Dengan sensor medium format 100 megapixel dan banderol harga nyaris 160 juta rupiah, Fujifilm GFX100 jelas bukan untuk semua orang. Kendati demikian, Fujifilm rupanya masih punya cara untuk menyulap kamera mirrorless tersebut menjadi lebih spesial lagi.

Mereka baru saja memperkenalkan Fujifilm GFX100 IR, versi khusus GFX100 yang didedikasikan untuk keperluan fotografi inframerah. Bukan cuma 100 megapixel, kamera ini juga dapat menghasilkan gambar inframerah dalam resolusi 400 megapixel dengan memanfaatkan fitur pixel shifting – yang juga tersedia pada GFX100 standar lewat sebuah firmware update.

Menurut Fujifilm, gambar inframerah yang dihasilkan oleh GFX100 IR memungkinkan kita untuk melihat detail yang tidak tampak dengan mata telanjang. Kemampuan semacam ini tentunya dapat membantu para profesional yang bekerja di bidang forensik, semisal untuk mengidentifikasi dokumen yang dipalsukan.

Contoh lainnya adalah di bidang pelestarian budaya, di mana gambar inframerah yang dijepret oleh kamera ini dapat dipakai untuk menganalisis pigmen warna pada sejumlah karya seni maupun artefak bersejarah. Singkat cerita, kamera ini punya skenario penggunaan yang lebih spesifik lagi dibanding GFX100 standar. Berikut adalah dua contoh gambar normal beserta versi inframerahnya.

Fujifilm tidak lupa menambahkan bahwa beragam filter inframerah yang terletak di sisi depan lensa dapat dipakai untuk mengambil gambar di panjang gelombang yang berbeda guna menyingkap detail yang berbeda pula pada sebuah subjek foto. Tentu saja kamera ini juga dapat berfungsi secara normal layaknya GFX100 standar ketika dibutuhkan.

Tidak mengejutkan dari sebuah kamera profesional, GFX100 IR dapat ditempatkan di posisi yang semi-permanen, lalu disambungkan ke laptop atau komputer sehingga pengguna dapat mengambil beberapa gambar yang berbeda dari angle yang sama persis secara efisien.

Melihat sifat dasar GFX100 IR yang bisa dibilang sangat terspesialisasi, tidak heran apabila pada akhirnya kamera ini tidak akan dijual secara umum begitu saja, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang memesannya buat keperluan forensik, pelestarian budaya maupun penelitian-penelitian ilmiah.

Fujifilm juga tidak merincikan berapa harganya, tapi bisa kita tebak pasti di atas 160 juta rupiah. Penjualannya sendiri diprediksi bakal berlangsung mulai kuartal pertama 2021.

Sumber: PetaPixel.

Canon EOS M50 Mark II Adalah Kamera Mirrorless Kelas Entry-Level untuk Para Vlogger

Belum lama ini, Canon mengumumkan EOS M50 Mark II. Sesuai namanya, kamera ini menawarkan pembaruan yang iteratif terhadap perangkat bernama sama yang diluncurkan dua tahun lalu. Canon EOS M50 sendiri merupakan kamera mirrorless kelas entry-level yang terbukti cukup mumpuni, terutama buat mereka yang hobi vlogging.

Lalu apa saja yang baru dari EOS M50 Mark II? Sayangnya tidak banyak, dan sepintas terkesan bisa ditawarkan melalui firmware update ketimbang harus membeli kamera baru. Pembaruan yang paling utama adalah kehadiran sistem eye tracking autofocus, baik untuk pengambilan foto maupun video.

Ini cukup krusial mengingat pendahulunya tidak bisa mengaktifkan face detection maupun eye detection dalam perekaman video, sekaligus dalam sejumlah mode pemotretan. Sistem Dual Pixel autofocus yang digunakan sebenarnya masih sama seperti sebelumnya, tapi semestinya fitur eye tracking itu bisa lebih memudahkan pekerjaan.

Yang agak mengecewakan adalah, sistem Dual Pixel AF itu tetap saja tidak bisa dipakai saat merekam video dalam resolusi 4K, dan hanya terbatas untuk perekaman dalam resolusi 1080p saja. Crop factor saat merekam video 4K 24 fps juga tetap tinggi di angka 1,5x, sehingga menyulitkan pengambilan dari sudut pandang yang lebar.

Pembaruan lainnya bisa didapati pada interface layar sentuhnya, yang sekarang dilengkapi tombol record dan self-timer untuk memudahkan sesi vlogging. Kalau perlu menyiarkan secara live, EOS M50 Mark II sekarang juga bisa melakukannya dengan bantuan koneksi milik smartphone, tapi cuma ke platform YouTube saja. Merekam video dalam format vertikal pun sekarang juga dimungkinkan.

Selebihnya, EOS M50 Mark II benar-benar identik dengan pendahulunya, terutama dari segi hardware. Bentuk luarnya tidak berubah, demikian pula jeroannya; perangkat masih ditenagai sensor APS-C 24 megapixel yang sama, lengkap beserta prosesor DIGIC 8 yang sama pula. Canon juga sama sekali tidak mengutak-atik layar sentuh maupun viewfinder elektroniknya.

Jelas sekali kamera ini bukan ditujukan buat mereka yang sudah punya EOS M50 sebelumnya, melainkan yang ingin meng-upgrade perlengkapan vlogging-nya saat ini yang masih mengandalkan smartphone.

Kabar baiknya, harga jual Canon EOS M50 Mark II justru jauh lebih rendah daripada harga pendahulunya saat pertama diluncurkan: $600 body only, atau $700 bersama lensa EF-M 15-45mm. Bundel bersama dua lensa sekaligus (EF-M 15-45mm dan EF-M 55-200mm) juga tersedia seharga $930. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai bulan November mendatang.

Sumber: PetaPixel.