Fujifilm X-A5 Benahi Performa Pendahulunya dengan Phase-Detection Autofocus

Fujifilm baru saja memperkenalkan X-A5, model teranyar dari lini kamera mirrorless terbawahnya. Kamera ini meneruskan jejak Fujifilm X-A3 yang dirilis di tahun 2016, sekaligus membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya tersebut.

Salah satu faktor yang membuat lini Fujifilm X-A bisa ditawarkan dalam harga terjangkau adalah penggunaan sensor konvensional, bukan yang berteknologi X-Trans seperti yang terdapat lini X-E, X-T maupun X-Pro. X-A5 masih mempertahankan tradisi tersebut dengan mengusung sensor APS-C 24 megapixel yang memiliki rentang ISO 200 – 12800 (bisa diekspansi menjadi 100 – 51200).

Fujifilm X-A5

Kekurangan X-A3 yang coba dibenahi adalah perihal performa. X-A5 merupakan kamera pertama di lini X-A yang dibekali phase-detection autofocus (PDAF). Sistem hybrid AF ini memungkinkan kamera untuk mengunci fokus dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya, sekaligus lebih cekatan dalam membekukan subjek yang sedang bergerak.

Di samping itu, Fuji juga telah menanamkan prosesor baru ke dalam X-A5, dengan klaim peningkatan kinerja secara umum hingga 1,5 kali lebih cepat. Soal video, X-A5 dapat merekam dalam resolusi 4K, hanya saja kecepatannya cuma 15 fps saja, jauh di bawah standar.

Fujifilm X-A5

Pembaruan lainnya mencakup baterai yang lebih awet (kini dapat beroperasi sampai 450 jepretan), jack untuk mikrofon eksternal, serta konektivitas Bluetooth 4.1 untuk memudahkan proses pairing dan transfer gambar.

Selebihnya, Fujifilm X-A5 masih mempertahankan segala kelebihan X-A3, macam layar sentuh 3 inci yang bisa dilipat menghadap ke depan untuk selfie, dan desain klasik yang tampak manis di mata. Kamera ini bakal dipasarkan mulai awal bulan ini seharga $599 bersama lensa baru XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ, yang merupakan lensa Power Zoom pertama Fujifilm.

Sumber: DPReview.

Panasonic Lumix GH5S Lebih Totalitas Lagi Soal Video Ketimbang Versi Standarnya

Panggung CES 2018 Panasonic manfaatkan untuk mengungkap sebuah kejutan dalam bentuk kamera mirrorless baru bernama Lumix GH5S. Bukan, ia bukanlah suksesor Lumix GH5 yang diperkenalkan tahun lalu. Ia lebih pantas dianggap sebagai versi alternatif Lumix GH5 yang bahkan lebih totalitas lagi dalam hal videografi.

Fisik keduanya hampir identik, terkecuali adanya sedikit aksen merah pada GH5S. Yang sangat berbeda adalah sensor yang digunakan: GH5S mengemas sensor yang berukuran lebih besar (Four Thirds), akan tetapi resolusinya cuma 10,2 megapixel. Hal ini membuat GH5S jauh lebih sensitif di kondisi minim cahaya – konsepnya sama persis seperti Sony a7 dan a7S.

Ditemani prosesor Venus Engine 10, sensor ini mengandalkan teknologi Dual Native ISO yang menawarkan dua mode: satu untuk memaksimalkan dynamic range di ISO rendah, satu lagi memprioritaskan noise reduction dengan mengkompromikan dynamic range.

Panasonic Lumix GH5S

Singkat cerita, Lumix GH5S bakal lebih ideal dijadikan kamera video ketimbang GH5 standar, apalagi mengingat ia juga bisa merekam dalam format DCI 4K 60 fps, yang sedikit lebih lebar ketimbang 4K UHD. Lebih lanjut, hasil rekamannya di kondisi minim cahaya juga dipastikan jauh lebih baik. Tentu saja kamera masih bisa digunakan untuk menjepret foto, bahkan dalam format RAW 14-bit.

Perbedaan lainnya meliputi mode slow-motion 1080p 240 fps, kinerja autofocus yang sedikit lebih baik di kondisi low-light, dan viewfinder elektronik dengan refresh rate 120 fps. Fitur VLog-L yang harus ditebus dengan biaya oleh pengguna GH5, hadir sebagai fitur standar di GH5S.

Panasonic Lumix GH5S

Yang mungkin terdengar agak mengejutkan, GH5S sama sekali tak memiliki sistem image stabilization. Panasonic bilang bahwa tujuannya adalah supaya kinerja gimbal profesional yang dipakai konsumen bisa lebih maksimal dan tidak terganggu oleh sistem internal kamera seperti pada GH5 standar.

Panasonic Lumix GH5S rencananya bakal dipasarkan mulai awal Februari mendatang. Harganya dipatok $2.499 (body only).

Sumber: DPReview.

Leica CL Adalah Reinkarnasi Modern Kamera Rangefinder Analog Tahun 70-an

Dedengkot kamera asal Jerman, Leica, kembali merilis kamera mirrorless baru. Dijuluki Leica CL, kamera ini merupakan reinkarnasi modern dari kamera rangefinder analog bernama sama yang diluncurkan di tahun 1973, yang berarti jeroannya sudah diperbarui mengikuti standar terkini.

Yang masih dipertahankan adalah aura retro penampilannya. Antik di luar, canggih di dalam, filosofi inilah yang sejatinya membuat Leica masih dipandang hingga kini, sekaligus yang menjadikan nama Fujifilm melejit di ranah mirrorless.

Leica CL

Jantung CL dihuni oleh sensor APS-C 24 megapixel, yang juga sanggup merekam video 4K 30 fps. Tingkat ISO-nya bebas diatur dari 100 sampai 50000, setara dengan kamera-kamera mirrorless terbaru yang ada di pasaran saat ini.

Sepintas spesifikasinya terdengar identik seperti Leica TL2 yang diumumkan pada bulan Juli lalu, lengkap sampai ke sistem autofocus 49 titik dan kemampuan memotret tanpa henti secepat 10 fps menggunakan shutter mekanis. Keduanya memang sangat mirip, hanya saja CL menawarkan kontrol yang lebih konvensional ketimbang hanya mengandalkan layar sentuh saja pada TL2.

Jadi selain sepasang kenop exposure di atas, CL juga mengemas tombol empat arah di sebelah layarnya. Layar 3 inci beresolusi 1,04 juta dot ini rupanya juga dilengkapi panel sentuh, sehingga pengoperasiannya terkesan lebih fleksibel daripada TL2. Satu komponen yang absen di TL2 adalah jendela bidik elektronik beresolusi 2,36 juta dot.

Leica CL

Di saat yang sama, Leica turut memperkenalkan lensa baru untuk menemani CL yang bertubuh ringkas ini. Lensa tersebut adalah Elmarit-TL 18 mm f/2.8 ASPH, yang tebalnya tidak lebih dari 20,5 mm. Leica mengklaimnya sebagai lensa wide-angle terkecil untuk kamera APS-C saat ini.

Leica bakal memasarkan CL mulai akhir November ini seharga $2.795 untuk bodinya saja. Bundel bersama lensa 18 mm baru tadi dibanderol $3.795 – lensanya saja dihargai $1.295 kalau dibeli secara terpisah – lalu tersedia pula bundel bersama lensa Vario-Elmar-TL 18-56 mm f/3.5-5.6 seharga $3.995.

Sumber: DPReview.

Fokus pada Fotografi, Panasonic Lumix G9 Janjikan Performa di Atas Rata-Rata

Tidak bisa dipungkiri, Panasonic Lumix GH5 merupakan salah satu kamera mirrorless terbaik yang bisa dibeli saat ini. Di atas kertas mungkin masih banyak kamera lain yang menawarkan spesifikasi lebih tinggi, akan tetapi hanya segelintir yang sanggup menandingi kemampuannya dalam merekam video.

Untuk kamera terbarunya, Panasonic memutuskan untuk berfokus pada fotografer profesional sebagai target pasarnya. Entah kebetulan atau tidak, kamera bernama Lumix G9 ini sangat mengedepankan kecepatan dibanding segalanya, sama seperti yang kita jumpai pada Sony A9.

Di dalamnya bernaung sensor Micro Four Thirds 20,3 megapixel yang sama seperti milik GH5, tapi yang telah dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas gambar JPEG yang dihasilkan. Panasonic tidak lupa menyematkan mode High Resolution di mana kamera dapat menggerakkan sensornya sebanyak delapan kali guna menciptakan satu gambar beresolusi 80 megapixel dalam format RAW.

Panasonic Lumix G9

Namun seperti yang saya bilang, kecepatan adalah kata kunci untuk menggambarkan kapabilitas G9. Ia dapat menjepret 50 gambar RAW tanpa henti dalam kecepatan 20 fps dengan continuous autofocus dan electronic shutter (9 fps dengan mechanical shutter). Dengan single autofocus, angkanya malah meningkat drastis menjadi 60 fps (electronic) atau 12 fps (mechanical).

Sistem autofocus 225 titik bertajuk Depth from Defocus yang sudah menjadi andalan Panasonic selama beberapa tahun kian disempurnakan pada G9, dengan peningkatan kecepatan (dapat mengunci fokus dalam 0,04 detik saja) dan kinerja tracking subjek. Sistem image stabilization bawaannya diyakini dapat mengompensasi guncangan hingga 6,5 stop exposure.

Sebagai keluarga Lumix, video tetap menjadi salah satu nilai jualnya, meski bukan lagi prioritas utama di sini. Terlepas dari itu, G9 masih mampu merekam video 4K dalam kecepatan 60 fps, dengan bitrate maksimum 150 Mbps dan tanpa cropping sama sekali. Butuh adegan slow-motion? G9 siap merekam video full-HD dalam kecepatan 180 fps.

Panasonic Lumix G9

Secara fisik, G9 mempertahankan gaya desain yang diusung GH5, tapi dengan grip yang lebih besar lagi. Bodinya tidak cuma tahan cipratan air dan debu, tapi juga tahan dingin hingga -10° Celsius. Electronic viewfinder-nya tidak kalah dari Sony A9, sama-sama mengemas panel OLED beresolusi 3,68 juta dot, tapi dengan tingkat perbesaran yang lebih lagi, yakni 0,83x.

Di bawahnya, terdapat layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot yang bisa dimanipulasi posisinya sesuai kebutuhan, yang ditemani oleh joystick kecil untuk memudahkan pengaturan titik fokus. G9 mengusung dua slot SD card, dan keduanya sama-sama sudah mendukung tipe UHS-II yang berkecepatan tinggi.

Port lainnya mencakup HDMI, jack mikrofon dan headphone, serta micro USB. Konektivitas wireless-nya mengandalkan Wi-Fi AC dan Bluetooth 4.2 untuk terus terhubung ke perangkat secara konstan, sedangkan baterainya diklaim dapat bertahan hingga 400 jepretan.

Panasonic Lumix G9 rencananya bakal dipasarkan mulai Januari 2018 seharga $1.699 untuk bodinya saja. Panasonic juga bakal menawarkan battery grip seharga $349 yang dapat mendongkrak kapasitasnya hingga menjadi 800 jepretan.

Sumber: DPReview.

Mirrorless untuk Kebutuhan Vlogging dan Travelling-mu

Tahun 2015 bisa dikatakan sebagai titik sentral pertumbuhan tren vlogging. Di tahun itu, 42% dari pengguna internet mengaku terpapar oleh konten-konten video yang merupakan transformasi dari blog tersebut. Tarik maju ke hari ini, tren ini disinyalir meningkat lebih gila lagi. Kanal yang dapat secara bebas dimanfaatkan (umumnya YouTube) adalah satu alasannya. Faktor pendukung lainnya ialah maraknya kamera ringkas di pasar.

Konten secara esensial memang penting untuk memancing viewers mampir menonton vlog. Tapi, dalam hal teknis, kamera juga punya nilai yang tak kalah tinggi bagi kualitas vlog. Artikel ini akan mengulas “standar” kamera yang dapat digunakan untuk vlogging; atau untuk merekam momen di kegiatan mobile-mu, seperti travelling. Kamera yang kita ulas sebagai perbandingan antara “teori teknis” dengan penggunaannya di lapangan ialah Panasonic Lumix DC-GF9K.

Desain dan bodi

Vlogging berbicara soal momentum; bagaimana kita menyoroti suatu hal dengan angle tertentu adalah seninya. Jika kamu sedang travelling, membuat vlog akan setingkat lebih “sulit” lagi, oleh sebab setiap detik yang menjadi begitu penting untuk direkam. Karenanya, penting bagimu untuk menenteng kamera mirrorless yang ringan dan ringkas.

WhatsApp_Image_2017-10-18_at_23745_PM

Panasonic Lumix DC-GF9K saya rasa punya poin ini. Bobotnya yang hanya sebesar 269 gram dan berukuran 64.4 mm x 33.3 mm x 106.5 mm ini sangat membantu dalam penyimpanan. Meski kemudian ukuran demikian bagi saya terkesan “ringkih” saat digenggam, namun perlu diakui bahwa DC-GF9K tercipta memang untuk traveler.

WhatsApp_Image_2017-10-18_at_23755_PM

rsz_whatsapp_image_2017-10-25_at_64653_pm

Bagi vlogger, desain bodi harusnya jadi hal penting yang harus diamati saat memilih kamera, agar tetap keren saat mengambil shot di mana pun—karena orang-orang sekitar yang menoleh ke arahnya. Lumix DC-GF9K yang saya coba berwarna orange dengan motif kulit jeruk. Saya melihat ada kesan leather yang ingin ditunjukkan; namun sayang, hal terlihat kurang optimal. Di sisi lain, tampilan analog dan klasik tetap terpancar dan menjadi daya tarik dari mirrorless yang tersedia dalam empat warna ini.

Tampilan antar muka

Sempat saya bahas di awal bahwa vlogging menjadi tren. Fenomena ini seketika melahirkan banyak video content creator yang bertebaran di mana-mana—tak jarang vlogger juga kini sudah menjadi cita-cita anak kecil dan menjadi profesi pilihan. Tidak semua dari mereka lama bergelut di dunia videografi; banyak juga yang baru mengikuti tren ini sambil belajar mengambil gambar.

Tampilan antar muka dari menu yang ada di Lumix DC-GF9K ini sebenarnya mudah, karena Panasonic menyajikan sistem pengaturan dengan touch screen dan pengaturan shutter button yang otomatis pindah ke button bagian kiri saat sedang selfie mode.

Tapi—sepertinya disebabkan oleh penggunaan pertama kali—bagi saya tampilan antar muka ini terasa kurang user-friendly. Penempatan konten menu dan fitur-fiturnya agak sedikit sulit dipahami dengan cepat, apalagi bagi vlogger pemula atau pengguna Lumix pertama kali. Rasanya, akan menjadi kesalahan besar bila kita lupa menaruh manual book yang tersedia di dalam box. Beruntung poin ini tidak terlalu menutupi fitur-fitur mumpuni yang ada di Lumix DC-GF9K, seperti 4K photo dan post focus mode.

Performa dan kualitas gambar

Bagian terakhir inilah yang menjadi unsur penting dalam vlogging. Bagaimana seorang vlogger menangkap momen bertumpu pada performa dan kualitas gambar dari kamera mirrorless. Jika kamu merasa kualitas 4K adalah titik pengalaman tinggi, Lumix DC-GF9K memang disiapkan untukmu.

Fitur 4K yang digelorakan oleh Panasonic membawa kesan baik bagi saya saat mengambil gambar Lumix DC-GF9K. Fitur ini didukung post focus mode dan focus stacking, yang dipoles oleh micro 4/3 sensor, sehingga membuat fleksibilitas dari pemilihan focus lebih nyaman dengan hasil maksimal.

Screenshot_2017-10-25_at_113650

Screenshot_2017-10-25_at_113415

P1060068JPG

Jika kembali ke urusan vlogging, kamera ini belum begitu memanjakan dalam hal merekam suara. Panasonic Lumix DC-GF9K tidak dipersenjatai output audio video, yang sejatinya dapat memberi daya dobrak yang lebih kuat perihal merekam suara. Namun, Panasonic menebusnya dengan mikrofon stereo yang dibekali wind noise canceller.

Vlogger juga perlu kecepatan. Tidak hanya dalam mengambil shot, tapi juga dalam menyimpan dan memindahkan data. Performa dalam hal kirim-mengirim dan simpan-menyimpan data ini terasa lebih mudah dengan kehadiran fitur pemindahan data dengan berbasis Wi-Fi melalui Panasonic Image App. Fitur ini memungkinkan penggunanya untuk “melempar” data tanpa harus terkoneksi dengan kabel.

Konklusi

Bicara vlogging, bicara tentang kecepatan dan portabilitas—kualitas konten adalah syarat mutlak, sehingga tak perlu disebutkan. Panasonic Lumix DC-GF9K yang terlahir dengan tubuh mungil dan enteng serta memiliki resolusi 4K sepertinya sudah menjawab dua kebutuhan tadi. Kendati secara penggunaan akan memakan waktu untuk mempelajarinya, tapi untuk para vlogger dan traveler—apalagi jika kamu keduanya—kamera mirrorless 16,84 megapiksel ini dapat menjadi pilihan untuk merekam momen harianmu.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Panasonic.

Meski Berwajah Sama, Sony A7R III Tawarkan Sederet Pembaruan Signifikan Dibanding Pendahulunya

Sony baru saja merilis A7R III, dua tahun setelah A7R II. Sama seperti pendahulunya, A7R III merupakan kamera mirrorless bersensor full-frame, dengan desain dan dimensi yang hampir identik. Itulah mengapa sederet pembaruan yang dibawanya tidak kelihatan secara kasat mata.

Meski berfisik serupa, A7R III mengemas sejumlah elemen desain yang absen pada pendahulunya. Utamanya adalah joystick kecil di panel belakang untuk mempermudah pengaturan fokus maupun menavigasikan menu, slot SD card ganda, port USB-C dan micro USB, serta baterai berkapasitas dua kali lebih besar.

Panel OLED yang digunakan pada jendela bidik elektroniknya juga telah di-upgrade menjadi beresolusi 3,69 juta dot. A7R III masih mengemas layar sentuh 3 inci, dan layar ini sekarang dapat dijadikan semacam touchpad untuk mengatur titik fokus ketika pengguna sedang membidik menggunakan viewfinder-nya.

Sony A7R III

A7R III mengusung sensor full-frame 42,4 megapixel serta sistem image stabilization 5-axis yang sama seperti generasi sebelumnya, sehingga kualitas gambar yang dihasilkannya secara garis besar bakal sama bagusnya. Kendati demikian, Sony berhasil mendongkrak performanya berkat prosesor Bionz X baru yang lebih kencang.

Continuous shooting dapat A7R III jalani dengan kecepatan 10 fps dalam resolusi maksimum dan posisi autofocus menyala, dua kali lipat lebih cepat ketimbang A7R II. Sistem AF yang digunakan masih mengandalkan 399 titik, akan tetapi Sony mengklaim kinerjanya di kondisi low-light lebih efektif.

Sony A7R III

Untuk video, resolusi 4K tetap menjadi andalan, namun A7R III turut dibekali fitur Hybrid Log Gamma, yang pada dasarnya merupakan format perekaman RAW, tapi otomatis berubah menjadi HDR ketika ditonton lewat TV yang kompatibel. Bagi penggemar video slow-mo, tersedia opsi perekaman 1080p di kecepatan 120 fps.

Bagian terbaiknya, Sony A7R III dibanderol dengan harga yang sama seperti ketika A7R II pertama dirilis, yakni $3.200. Harga itu tentu saja belum termasuk lensa sama sekali, sedangkan pemasarannya baru akan dimulai pada akhir bulan November mendatang.

Sumber: DPReview.

Berbekal Sensor Super 35, Kamera Drone Terbaru DJI Siap Merekam Video 6K dalam Format RAW

DJI adalah produsen drone nomor satu di dunia. Salah satu alasannya adalah karena pabrikan asal Tiongkok itu juga merupakan produsen kamera berkualitas jempolan. Buktinya bisa kita lihat dari kamera drone terbaru mereka, Zenmuse X7.

Dirancang untuk dipasangkan pada drone Inspire 2, Zenmuse X7 menawarkan kualitas gambar terbaik yang bisa Anda dapat dari lini produk DJI. Di dalamnya bernaung sensor Super 35 yang memiliki ukuran fisik jauh lebih besar ketimbang sensor Micro Four Thirds yang terdapat pada Zenmuse X5.

DJI Zenmuse X7

Video dapat ia rekam dalam resolusi maksimum 6K 30 fps dan dalam format CinemaDNG RAW. Namun resolusi baru sebagian dari cerita Zenmuse X7, sebab ia juga menjanjikan dynamic range hingga seluas 14 stop, yang berarti detail masih akan tertangkap dengan baik walau di kondisi minim cahaya. Untuk memotret, resolusinya mencapai 24 megapixel, lagi-lagi dalam format RAW.

Zenmuse X7 datang dengan dudukan lensa baru bernama DJI DL-Mount. Total ada empat lensa prime yang diciptakan untuk X7: 16 mm, 24 mm, 35 mm dan 50 mm, semuanya dengan aperture f/2.8 dan bodi yang ringan namun kokoh berkat pemakaian material serat karbon.

DJI Zenmuse X7

Fisik X7 terbilang ringkas, dengan bobot hanya 449 gram, atau sekitar 600 gram lebih ketika dipasangi lensa. Sama seperti Inspire 2, Zenmuse X7 ditargetkan buat videografer profesional, khususnya mereka yang mengincar reproduksi warna yang akurat serta fleksibilitas dalam proses editing.

DJI Zenmuse X7 bakal dipasarkan mulai awal November 2017 seharga $2.699. Lensa 16 mm, 24 mm, 35 mm dijual terpisah masing-masing seharga $1.299, sedangkan lensa 50 mm seharga $1.199. DJI turut menyediakan bundel Zenmuse X7 plus empat lensa tersebut seharga $4.299.

Sumber: DJI.

Nikon Dikabarkan Sedang Menyiapkan Kamera Mirrorless Bersensor Full-Frame

Nikon boleh merajai segmen DSLR bersama Canon, tapi mereka bukan siapa-siapa di kancah mirrorless. Bukan berarti mereka tidak punya lini mirrorless, tapi seri Nikon 1 yang selama ini dipasarkan tidak mampu bersaing menghadapi gempuran dari Panasonic, Sony maupun Fujifilm.

Canon sendiri belakangan mulai menunjukkan keseriusannya dalam ranah mirrorless dengan mengadaptasikan teknologi andalan DSLR kelas atasnya ke bodi mirrorless yang jauh lebih ringkas macam EOS M5 dan EOS M100. Lalu bagaimana dengan Nikon? Apakah ke depannya mereka masih akan bersikukuh dengan DSLR dan mengabaikan pasar mirrorless begitu saja?

Tidak. Pada kenyataannya, bulan Juli kemarin Nikon telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang mengembangkan kamera mirrorless baru yang diklaim lebih superior dibanding kompetitornya. Seperti apa jelasnya kamera tersebut masih misteri, tapi baru-baru ini ada indikasi positif yang bisa diambil dari wawancara salah satu petinggi Nikon.

Tetsuro Goto, Nikon Imaging Product R&D General Manager / Xitek
Tetsuro Goto, Nikon Imaging Product R&D General Manager / Xitek

Berbicara kepada media publikasi asal Tiongkok, Xitek, Tetsuro Goto selaku General Manager divisi riset dan pengembangan produk Nikon mengungkapkan sejumlah petunjuk yang cukup menarik terkait kamera mirrorless baru Nikon. Berdasarkan hasil terjemahan NikonRumors, beliau bilang kalau Nikon ingin mendalami mirrorless, maka sensor full-frame harus menjadi syarat yang paling utama.

Tetsuro memang tidak bilang secara eksplisit kalau Nikon sedang mengerjakan kamera mirrorless bersensor full-frame, tapi beliau mengatakan bahwa alasannya mengacu pada tren yang ada sekarang. Seperti yang kita tahu, Sony saat ini adalah satu-satunya pabrikan yang memiliki kamera mirrorless full-frame, dan Nikon percaya kalau full-frame merupakan jalur yang tepat untuk bisa bersaing di kompetisi mirrorless sekaligus memenuhi permintaan konsumen dari kalangan profesional.

Rumor ini semakin diperkuat oleh bocoran hak paten yang diajukan Nikon terkait sepasang lensa baru untuk kamera mirrorless bersensor full-frame, yakni 52mm f/0.9 dan 36mm f/1.2. Meski tidak bisa dijadikan acuan, saya kira eksistensi kamera mirrorless full-frame dari Nikon hanya tinggal hitungan waktu.

Sumber: PetaPixel.

Pertahankan Gaya Rangefinder, Fujifilm X-E3 Lebih Jago Urusan Video Plus Dibekali Layar Sentuh

Fujifilm baru saja memperkenalkan kamera mirrorless baru, X-E3. Tidak seperti X-E2S yang cuma membawa pembaruan minor, X-E3 merupakan suksesor sejati dari X-E2 yang diumumkan menjelang akhir tahun 2013. Hampir semua bagian X-E2 telah disempurnakan di sini, termasuk desain bergaya rangefinder-nya.

Yang paling utama adalah penggunaan sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel seperti yang terdapat pada Fujifilm X-Pro2, X-T2 dan X-T20. Kualitas gambarnya pun meningkat drastis, dengan sensitivitas ISO 200 – 12800 (bisa di-expand hingga 100 – 51200), terutama dalam kondisi low-light seperti yang sudah dibuktikan oleh X-Pro2.

Fujifilm X-E3

Akan tetapi yang tidak kalah penting juga adalah opsi perekaman video 4K 30 fps yang dipelopori oleh X-T2. Saya sendiri sampai sekarang masih menggunakan X-E2, dan saya hampir tidak pernah memakainya untuk merekam video dikarenakan hasilnya bahkan lebih jelek dari kamera smartphone – ya, sebelum ada X-T2, kualitas video kamera mirrorless Fuji memang seburuk itu.

Semuanya sudah berubah sekarang. Fujifilm tak lagi payah untuk urusan video. Review X-T2 membuktikan kalau hasil rekaman videonya bisa sama bagusnya seperti hasil fotonya, dan pengguna bahkan dapat mengaktifkan efek Film Simulation selagi perekaman berlangsung. Ini saja sebenarnya sudah bisa menjadi indikasi betapa signifikannya kualitas video yang ditawarkan X-E3 dibanding pendahulunya.

Kualitas gambar dan video telah ditingkatkan, demikian pula untuk performa kamera secara keseluruhan. X-E3 mengemas sistem autofocus 325 titik yang sangat cekatan dalam mengikuti objek bergerak. Fujifilm bahkan mengklaim X-E3 bisa mengunci fokus pada objek yang bergerak dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya berkat penerapan algoritma baru, sedangkan dalam mode burst X-E3 dapat menjepret tanpa henti dalam kecepatan 8 fps.

Fujifilm X-E3

Soal penampilan, sepintas X-E3 tampak mirip seperti pendahulunya tapi dengan dimensi yang sedikit lebih ringkas dan bobot lebih ringan. Panel atasnya hampir tidak berubah, terkecuali ada tuas untuk mengaktifkan mode Auto serta hilangnya pop-up flash – jangan khawatir, Fuji menyertakan flash eksternal yang bisa dipasang di hot shoe pada paket penjualannya.

Hand grip-nya telah disempurnakan, dan tepat di atasnya kini terdapat sebuah dial ekstra. Beralih ke belakang, Anda akan menjumpai layout tombol yang sangat rapi dan minimalis. Begitu minimalisnya, tombol empat arah di sisi kanan sudah tidak ada lagi di sini. Sebagai gantinya, X-E3 dapat dioperasikan menggunakan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot.

Swipe ke atas, bawah, kiri dan kanan dapat menggantikan fungsi yang sebelumnya muncul ketika pengguna menekan tombol empat arah pada X-E2, dan semuanya dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan. Menetapkan titik fokus dengan menyentuh layar seperti pada smartphone juga mungkin dilakukan di sini.

Fujifilm X-E3

Fuji tidak lupa menyematkan joystick kecil yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur titik fokus bagi mereka yang lebih memilih kontrol bergaya konvensional. Di atas layar, viewfinder elektronik beresolusi 2,36 juta dot siap ditugaskan kapan saja pengguna membutuhkannya.

Selain Wi-Fi, X-E3 rupanya turut mengemas konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkannya untuk terus terhubung ke smartphone atau tablet sehingga proses memindah gambar bakal terasa jauh lebih mudah. Di bagian samping, terdapat port micro-HDMI dan mikrofon, namun sayang tidak ada jack headphone.

Fujifilm X-E3 dijadwalkan tiba di pasaran mulai bulan September ini juga dalam pilihan warna hitam atau silver, dan dalam tiga konfigurasi: $900 untuk bodinya saja, $1.300 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4, atau $1.150 bersama lensa XF 23mm f/2 R WR.

Sumber: DPReview.

Olympus OM-D E-M10 Mark III Datang dengan Desain Lebih Ergonomis dan Perekaman Video 4K

Olympus OM-D E-M1 Mark II adalah salah satu kamera mirrorless terbaik saat ini, tapi dengan kisaran harga Rp 28 juta untuk bodinya saja, ia jelas bukan untuk semua orang. Itulah mengapa seri OM-D E-M10 eksis, dan Olympus baru saja memperkenalkan generasi ketiganya yang membawa sejumlah penyempurnaan.

Pembaruannya tergolong minor, tapi masih bisa membuat E-M10 Mark III terdengar menarik. Sensor yang digunakan masih sama, yaitu sensor Micro Four Thirds 16 megapixel, akan tetapi prosesor yang mendampinginya telah di-upgrade menjadi TruePic VIII, yang pada akhirnya memungkinkan kamera untuk merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, sama seperti kakaknya yang jauh lebih mahal itu.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

E-M10 Mark III dilengkapi sistem autofocus 121 titik, naik dari 81 titik pada generasi sebelumnya. Performanya juga ikut naik meskipun sangat tipis; burst shooting dapat dilakukan dalam kecepatan 8,6 fps, selisih 0,1 fps saja dibandingkan pendahulunya.

Desainnya secara keseluruhan masih sama, namun Olympus sudah membenahi sejumlah elemen agar perangkat bisa menjadi lebih ergonomis lagi. Yang paling utama, handgrip-nya kini sedikit melengkung agar lebih pas dengan kontur tangan, kemudian deretan dial pada pelat atasnya sedikit diperbesar ukurannya untuk memudahkan akses.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Selebihnya, E-M10 Mark III masih mempertahankan fitur-fitur unggulan pendahulunya, di antara lain viewfinder OLED beresolusi 2,36 juta dot, layar sentuh 3 inci yang dapat di-tilt, dan image stabilization 5-axis yang dapat diaktifkan selagi merekam video 4K sekalipun.

Olympus OM-D E-M10 Mark III rencananya akan dipasarkan mulai akhir September mendatang seharga $650 untuk bodinya saja, atau $800 bersama lensa M.Zuiko 14–42mm EZ.

Sumber: DPReview.