Sony ZV-1 Resmi Hadir di Indonesia, Cocok Buat Pendamping Smartphone

Masih ingat, pada akhir bulan Mei lalu Sony mengumumkan lini produk kamera compact baru yang disebut ZV-1 secara global. Hari ini, perangkat tersebut telah secara resmi hadir di Indonesia.

Sony ZV-1 ini dirancang untuk pengambilan video kasual, cocok sebagai pendamping smartphone. Buat mereka para pemula atau yang gemar bikin video kasual seperti merekam momen sehari-hari dan membagikannya di media sosial.

[Foto 1] ZV-1

Kamera ini dibekali dengan sejumlah fitur video canggih yang mudah digunakan. Dibanding smartphone, tentunya bisa lebih diandalkan di kondisi minim cahaya dan kualitas audio-nya lebih baik. Hasil rekamannya juga bisa dengan mudah ditransfer dan diedit menggunakan aplikasi Imaging Edge Mobile.

Meski di masa pandemi, kreativitas dan produktivitas harus terus dijaga dan ditingkatkan, salah satunya dengan menggunakan video. Dalam lima tahun terakhir, online video telah menunjukkan perkembangan pesat dan menjadi sebuah tren baru,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.

Tren ini diminati oleh generasi Z dan milenial yang berusia 20 sampai 30 tahun dan kebanyakan video direkam melalui smartphone. Menariknya, banyak juga yang mulai tertarik untuk beralih ke kamera di masa yang akan datang. Dan inilah kesempatan bagi Sony Indonesia untuk memperkenalkan kamera digital ZV-1“, tambahnya.

Menurut Fajar Kristiono selaku Alpha Professional Photographer, kamera ini memberi banyak kemudahan terutama untuk yang belum terbiasa merekam video. Dengan ZV-1, pengguna dapat merekam video dengan memanfaatkan beberapa fitur canggihnya, seperti Intelligent Auto Video Mode, One Touch Bokeh Button, dan Product Showcase Button yang memiliki kecepatan autofocus sangat baik.

Jadi, siapapun bisa dengan mudah menggunakan ZV-1 ini cukup dengan menggunakan fitur dalam sekali tekan. Yang terpenting adalah ZV-1 mampu menghasilkan kualitas video yang bagus tanpa perlu melakukan pengeditan,” ujar Fajar Kristiono.

Ideal Untuk Content Creator

[FOTO 3] ZV-1 dengan VCT-SGR1

Meski dirancang untuk pengambilan video kasual, di tangan para content creator – Sony ZV-1 bisa menjadi “senjata mematikan”. Kamera dengan sensor CMOS stacked tipe 1.0 inci beresolusi 20MP ini dilengkapi dengan chip DRAM dan prosesor BIONZ X generasi terbaru dengan LSI front-end.

Hadir dengan lensa 24-70mm f1.8-2.8 ZEISS Vario-Sonnar T*, layar LCD vari-angle, mikrofon internal yang cukup bagus, juga tersedia hot shoe dan port mikrofon untuk memasang mikrofon eksternal. Sony ZV-1 jelas bisa menjadi solusi “all-in-one” bagi para content creator atau vlogger yang membutuhkan kamera yang ringkas dengan fitur canggih dan hasil yang mumpuni.

[Foto 2] ZV-1

Untuk perekaman videonya, Sony ZV-1 sanggup merekam video UHD 4K 30p full pixel readout tanpa pixel binning pada codec XAVC S dengan durasi lebih dari 30 menit. Biasanya kamera dengan body kecil, meski bisa mengambil 4K tapi durasi perekamannya dibatasi.

Lalu, pada resolusi 1080p mendukung frame rate tinggi hingga 120 fps dan punya fitur Super Slow Motion 960fps. Fitur picture profile (S-Log) juga tersedia, yang memberikan fleksibilitas saat post-production. Sistem autofocus-nya juga sangat cepat, dengan Real-time Eye AF dan Real-time Tracking.

Harga & Ketersediaan

[FOTO 4] ZV-1 dengan VCT-SGR1

Sony ZV-1 akan segera tersedia di Indonesia dengan harga Rp9.999.000 dan dapat segera dipesan secara pre-order di seluruh Sony Authorized Dealers mulai dari tanggal 23 Juli – 9 Agustus 2020. Untuk seluruh pembelian dalam masa pre-order, akan mendapatkan paket spesial, termasuk paket adaptor kabel dan shooting grip VCT-SGR1.

Sony Indonesia juga memiliki kegiatan yang bersifat hybrid (dilakukan secara online dan offline), bertajuk ‘ZV-1 Hands On Workshop’. Untuk informasi mengenai registrasi dan jadwal kampanye ‘ZV-1 Hands On Workshop’, dapat ditemukan di akun Instagram @SonyAlpha_ID.

Dalam rangka peluncuran ZV-1, Sony Indonesia mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kampanye spesial yang akan dilakukan secara online dan offline. Pada platform online, netizen berkesempatan untuk memenangkan satu unit kamera ZV-1 dengan menyelesaikan tantangan dari akun Instagram @iniharigue untuk membuat videografi kasual dengan tema yang berbeda di setiap minggunya.

 

Nikon Juga Umumkan Lensa Nikkor Z 24-50 F4-6.3 Terjangkau dan 2 Teleconverter

Bersama dengan kamera mirrorless full frame entry-level Nikon Z5, Nikon mengumumkan Nikkor Z 24-50mm F4-6.3. Lensa zoom yang dirancang untuk sensor full frame ini dibanderol dengan harga yang cukup terjangkau yakni US$400 atau sekitar Rp5,8 juta.

Nikon juga memasangkan lensa anyar ini ke body Z5 sebagai lensa kit, paket ini dijual US$1699 atau Rp24,8 juta. Sebagai informasi, harga Nikon Z5 untuk body only adalah US$1399 atau sekitar Rp20 jutaan.

Nikkor Z 24-50mm F4-6.3 ini pun menjadi lensa Z-mount dengan dimensi paling compact dengan ukuran terpanjang 51mm dan termurah dari Nikon. Panjang fokus 24mm ini sudah terbilang cukup lebar yang serba guna untuk keperluan foto harian dan 50mm ideal untuk foto portrait.

Meskipun aperture yang digunakan tidak konstan, F4 pada panjang fokus 24mm dan nilainya akan otomatis berubah saat melakukan zoom hingga F6.3 pada 50mm. Agar exposure tidak berubah saat merekam video, tipsnya jangan gunakan fungsi zoom atau bila ingin zoom anggap saja lensa ini punya aperture F6.3.

Selain itu, Nikon juga mengumumkan dua teleconverter untuk lini kamera mirrorless Z-series yaitu S Teleconverter TC-1.4x dan TC-2.0x. Keduanya sudah weather-sealed dengan lapisan flour pada elemen depan dan belakang untuk menahan noda, serta sanggup mempertahankan kemampuan autofocus dengan semua titik AF hingga F11.

Teleconverter akan kompatibel dengan lensa Nikkor Z, termasuk Nikkor Z 70-200 F2.8 VR S. Kemungkinan juga akan kompatibel dengan lensa zoom telephoto Nikkor Z 100-400mm f/4.5-5.6 S VR dan Nikkor 200-600mm VR yang rencananya dirilis sebelum akhir tahun 2021.

Teleconverter 1.4x dan 2.0x masing-masing akan dijual seharga US$550 atau sekitar Rp8 juta dan US$600 atau Rp8,8 juta, serta akan mulai dijual pada akhir Agustus bersamaan dengan Nikkor Z 70-200 F2.8 VR S yang diumumkan pada bulan Januari 2020 lalu.

Sumber: DPreview

Nikon Z5 Diumumkan, Mirrorless Full Frame Pesaing Canon EOS RP

Mari kita sedikit flashback ke tahun 2018, di mana sejumlah pabrikan kamera utama akhirnya mengeluarkan kamera mirrorless dengan sensor full frame. Masih ingat Nikon mencuri start dengan mengumumkan Z6 dan Z7 pada bulan Agustus 2018, kemudian diikuti Canon dengan EOS R (September 2018) dan EOS RP (Februari 2019). Serta, Panasonic dengan Lumix S1 dan S1R pada bulan Februari 2019.

Sekarang kita fokus ke Nikon, di mana pada tahun 2019 mereka mengumumkan kamera mirrorless Nikon Z50 yang juga menggunakan Z-mount seperti Nikon Z6 dan Z7 tapi menggunakan sensor APS-C. Kini Nikon baru saja mengumumkan Nikon Z5 dengan Z-mount dan bersensor full frame.

Untuk body only, Nikon Z5 dibanderol dengan harga US$1399 atau sekitar Rp20 jutaan yang artinya bakal berhadapan langsung dengan Canon EOS RP. Pada rentang harga tersebut juga bertengger kuat Fujifilm X-T3 dan Sony A6600 dengan sensor APS-C dan Panasonic Lumix GH5 dengan Micro Four Thirds.

Sebagai informasi, saudara kandungnya (Nikon Z6) saat ini dibanderol Rp29 juta untuk body only. Meski begitu, Nikon Z5 mengemas desain yang identik dan mewarisi sejumlah fitur unggulan milik Z6 seperti 5-axis image stabilization dan sistem autofocus-nya.

Nikon Z5 mengusung sensor FX-format CMOS beresolusi 24MP, bukan varian BSI seperti Nikon Z6 tapi dengan prosesor gambar yang sama yaitu Expeed 6. Fitur IBIS-nya dapat diklaim mengurangi guncangan hingga lima stop.

Kontruksi tubuhnya, bila Nikon Z6 sasis magnesium-alloy, Z6 menggunakan material polikarbonat untuk pelat belakang dan dasarnya. Tetapi tetap tertutup rapat untuk ketahanan terhadap debu dan kelembaban. Pada pelat atas, kita tidak akan menemukan layar status seperti yang dimiliki Nikon Z6 dan Z7.

Kemudian Nikon Z5 memiliki jendela bidik OLED yang ukurannya cukup besar beresolusi 3,69 juta titik dan layar sentuh 3,2 inci yang bisa dimiringkan sedikit ke atas dan ke bawah. Punya dua slot kartu SD yang mendukung UHS-II, serta menggunakan baterai tipe baru EN-EL15C yang menawarkan 470 jepretan sekali pengisian menggunakan LCD dan 390 jepretan dengan jendela bidik.

Meski mengemas baterai tipe baru, uniknya Nikon Z5 juga masih kompatibel dengan baterai EN-EL15 dan battery grip MB-N10 yang sama digunakan oleh Nikon Z6 dan Z7. Soal perekaman video, Nikon Z5 dapat merekam video 4K 30 fps dengan crop 1.7x dan 1080p menggunakan seluruh penampang sensor dengan frame rate hingga 60 fps. Satu lagi, port mikrofon dan headphone juga tersedia.

Harga Nikon Z5 untuk body only dibanderol US$1399 atau sekitar Rp20 jutaan. Lalu, bila dengan lensa baru Nikkor Z 24-50mm F4-6.3 dijual US$1699 atau Rp24,8 juta dan US$2.999 atau Rp43 juta dengan lensa zoom telephoto Nikkor Z 24-200mm F4-6.3 VR.

Sumber: DPreview

Tips Merekam Video dengan Picture Profile Sony dan Basic Correction-nya

Pas awal belajar videografi, teman saya seorang videografer memberi tahu pengaturan terbaik saat merekam video (saya kebetulan pakai kamera mirrorless Sony) yaitu menggunakan S-Log2. Namun penggunaan color profile atau disebut picture profile di kamera mirrorless Sony, mengharuskan kita untuk melakukan color grading di post processing.

S-Log2 ini memang membawa fleksibilitas yang sangat luas, secara teori menawarkan dynamic range 14 stop. Namun perlu usaha ekstra, baik saat produksi karena mininum ISO yang digunakan ialah 800, kemampuan color grading yang mumpuni, dan juga pastikan batas waktu project tidak mepet.

Selain S-Log2, sebetulnya Sony juga punya picture profile yang juga tidak kalah populer di kalangan content creator dan sering dibandingkan dengan S-Log yaitu Cine4. Proses pengolahannya relatif cepat dan hanya membutuhkan pemahaman basic correction yang bisa dipelajari dengan mudah.

Cine4 vs. S-Log2

WhatsApp Image 2020-07-21 at 7.33.19 PM

Cine4 adalah salah satu dari banyak preset gamma yang disediakan oleh Sony. Preset ini menawarkan dynamic range lebih baik daripada profil video standar tapi tidak seluas yang disuguhkan S-Log2.

Tidak seperti S-Log2 yang memberi keleluasaan mengatur warna, Cine4 sudah menyajikan warna yang cukup ideal dan secara native lebih kontras. Dalam hal workflow post-production, Cine4 juga lebih menguntungkan karena hanya butuh basic correction.

Minimum ISO yang digunakan pada Cine4 adalah 200, sedangkan S-Log2 minimum 800 sehingga kita harus menggunakan ND filter saat syuting di pencahayaan cerah. Selain itu, untuk menghindari munculnya noise saat memulihkan detail pada area shadow, biasanya videografer sengaja mengambil footage overexposure sebanyak dua stop yang artinya hal ini mengurangi performa kamera di cahaya rendah.

Fitur picture profile sendiri tersedia di kamera mirrorless dengan sensor APS-C dan full frame terbaru Sony. Untuk APS-C mulai dari Sony A6300, A6400, A6500, dan A6600. Kalau pada Sony A6400, pengaturannya berada di tab pertama nomor sebelas.

Sony menyediakan sepuluh slot picture profile (PP), bisa pilih salah satunya. Misalnya pilih PP1, lalu atur gamma ke Cine4 dan color mode ke Pro atau Cinema. Atau bisa coba pengaturan yang direkomendasikan oleh seorang content creator bernama Cody Blue, sebagai berikut:

  • Gamma: Cine4
  • Black Gamma: Wide, +4
  • Knee: Manual, Point: 80%, Slope +2
  • Color Mode: Pro
  • Saturation: -5

Basic Correction

Basic Correction 1

Untuk menghasilkan video yang cinematic menggunakan Cine4, yang dibutuhkan saat post processing ialah basic correction yang mudah dipelajari. Kalau kalian suka edit foto pakai aplikasi Lightroom, kurang lebih prosesnya bakal sama.

Pada tutorial kali ini, saya menggunakan Adobe Premiere Pro. Setelah memilih footage yang akan diedit, langsung saja kita menuju tab ‘color‘ (Lumitri Color) dan pilih menu basic correction.

Basic Correction 2

Sebetulnya kita bisa mengeditnya sesuai preferensi, tapi umumnya adalah menurunkan hightlight untuk memperoleh detail atau meredam area yang terlalu terang, menambah atau mengurangi shadow, menambah white agar video tampak lebih cerah, dan menaikkan saturation agar warna pada video sedikit lebih menonjol.

Basic Correction 3

Satu hal lagi, kita menuju menu Curves. Pada bagian warna putih, kita buat empat titik seperti pada gambar dan naikkan sedikit titik yang ditengah untuk membuat tampilan video lebih terang dan juga berdimensi.

Bagaimana pun S-Log2 dan Cine4 memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sesuaikan dengan kebutuhan. Bila project yang dikerjakan punya batas waktu yang lama dan durasinya juga tidak terlalu panjang, S-Log2 masih dipercaya opsi terbaik untuk mengeluarkan potensi dan mendapatkan kualitas video secara optimal.

(Referensi: Premiumbeat)

Software Cascable Pro Webcam Siap Ubah Lebih dari 100 Model Kamera Menjadi Webcam

Tren menggunakan kamera biasa sebagai webcam sedang naik daun belakangan ini, apalagi mengingat satu per satu pabrikan – mulai dari Canon, Fujifilm, Panasonic, Olympus, sampai GoPro sekalipun – telah merilis software pendukung supaya masing-masing konsumennya bisa mengikuti tren tersebut tanpa perlu mengandalkan hardware tambahan macam Elgato Cam Link.

Sayangnya inisiatif dari tiap-tiap pabrikan itu masih belum bisa mengakomodasi semua pengguna, terutama mereka yang masih memakai model kamera yang sudah berumur. Saya adalah salah satu yang kurang beruntung. Kamera Fujifilm X-E2 milik saya yang sudah berusia hampir tujuh tahun rupanya sama sekali tidak didukung oleh software webcam yang ditawarkan Fujifilm.

Beruntung ada developer pihak ketiga yang mengembangkan solusi serupa macam Cascable. Mereka baru saja merilis software anyar bernama Cascable Pro Webcam. Fungsinya? Mengubah banyak kamera menjadi webcam tanpa bantuan capture card maupun hardware tambahan lainnya.

Kuncinya ada di kata “banyak” itu tadi. Tercatat ada lebih dari 100 kamera yang kompatibel dengan software ini (dan kamera saya pun termasuk). Entah itu kamera buatan Canon, Nikon, Fujifilm, Sony, Panasonic atau Olympus, asalkan ada tanda centang pada kolom “Control & Automation” di tabel kompatibilitasnya, berarti kamera tersebut bisa dialihfungsikan menjadi webcam menggunakan Cascable Pro Webcam.

Cascable Pro Webcam

Seperti yang bisa kita lihat dari begitu banyaknya kamera yang kompatibel, kelebihan Cascable Pro Webcam terletak pada fleksibilitasnya. Selain via kabel USB, pengguna juga dapat menyambungkan kameranya via Wi-Fi. Pada sejumlah kamera, pengaturan exposure-nya bahkan bisa disesuaikan selagi sesi video call atau streaming sedang berlangsung.

Aplikasi video call maupun streaming yang bisa menerima input gambar dari Cascable juga banyak, mulai dari Google Chrome, Microsoft Edge, Skype (minimal versi 8.59), Zoom (minimal versi 5.0.5), Microsoft Teams, OBS Studio, sampai Twitch Studio. Kekurangannya? Cascable Pro Webcam cuma tersedia di macOS saja.

Lebih menyebalkan lagi, software ini hanya bisa berjalan di macOS versi 10.14.4 (Catalina), sedangkan MacBook Air tua saya masih nyaman menjalankan OS X Yosemite dan saya sama sekali tidak punya niat untuk meng-update-nya demi menghindari absennya dukungan aplikasi 32-bit. Kamera dan software-nya sudah cocok, tapi sekarang giliran laptop-nya yang kelewat jadul.

Bagi yang tertarik mencoba, Cascable Pro Webcam juga menawarkan versi free trial dengan fitur-fitur yang dibatasi. Versi penuhnya bisa dibeli seharga $40, atau $30 kalau membelinya sebelum 24 Juli.

Sumber: DPReview.

Canon Dirumorkan Sudah Menyetop Pengembangan Seri DSLR EOS 5D

Oktober tahun lalu, beredar kabar bahwa Canon sedang mengerjakan penerus dari EOS 5D Mark IV. Sekarang, situs yang sama (Canon Rumors) malah memberitakan bahwa seri EOS 5D bakal menyusul jejak seri EOS 7D, alias sudah di-discontinue.

Singkat cerita, kita tidak akan melihat EOS 5D Mark V dan seterusnya. Kalau merujuk pada kejadian yang menimpa seri EOS 7D sebelumnya, penyebabnya tidak lain dari tren kamera mirrorless. Kala itu, Canon lebih memilih untuk berfokus pada seri kamera mirrorless EOS R ketimbang mengerjakan penerus EOS 7D Mark II.

Seperti yang kita tahu, Canon baru saja meluncurkan EOS R5 dan R6. R5 sendiri sebenarnya bisa dibilang pantas menggantikan 5D Mark IV yang sudah berusia hampir empat tahun, apalagi mengingat R5 banyak mewarisi kemampuan fotografi EOS 1D X Mark III. Terkait videografi, R5 juga merupakan salah satu model yang paling superior di luar lini kamera sinema Canon (EOS C) saat ini.

Juga perlu diingat adalah, rumor tentang EOS 5D Mark V itu pertama muncul di bulan Oktober 2019, jauh sebelum pandemi COVID-19 melanda. Jadi selain karena tren mirrorless yang memang semakin naik, kemungkinan besar pandemi dan imbasnya terhadap industri turut menjadi salah satu faktor pertimbangan di balik keputusan Canon memberhentikan seri EOS 5D ini.

Dengan segala kelebihannya, EOS R5 sudah pantas dianggap sebagai suksesor 5D Mark IV / Canon
Dengan segala kelebihannya, EOS R5 sudah pantas dianggap sebagai suksesor 5D Mark IV / Canon

Satu catatan penting, diberhentikannya seri EOS 5D bukan berarti Canon sudah menyerah mengembangkan DSLR dan sepenuhnya beralih ke mirrorless. Canon mungkin masih akan mengerjakan DSLR baru ke depannya, tapi kemungkinan besar bukan dari seri 5D.

Konsumen DSLR boleh terus menurun setiap tahunnya, akan tetapi saya yakin di luar sana masih banyak yang lebih nyaman menggunakan DSLR ketimbang mirrorless, apalagi yang koleksi lensanya sudah begitu banyak. Baru-baru ini, Pentax bahkan mengumumkan visinya bahwa mereka masih akan terus mengembangkan kamera DSLR ke depannya, dengan optical viewfinder sebagai salah satu nilai jual utamanya.

Di industri kamera, seri EOS 5D sendiri bisa dilihat sebagai salah satu DSLR yang paling berpengaruh sejak generasi pertamanya dirilis 15 tahun lalu sebagai kamera full-frame pertama dengan ukuran bodi standar, bukan yang ekstra bongsor (double-grip) seperti seri EOS 1D. Tiga tahun setelahnya, EOS 5D Mark II datang membawa kapabilitas perekaman video, menjadikannya populer di kalangan videografer.

Lanjut ke tahun 2012, EOS 5D Mark III hadir mengemas upgrade yang sangat signifikan terhadap kinerja autofocus-nya dengan meminjam sistem autofocus milik EOS 1D X. Terakhir, EOS 5D Mark IV yang dirilis di tahun 2016 tentu saja menjadi yang paling modern dengan fitur-fitur seperti touchscreen maupun Dual Pixel CMOS AF.

Sumber: Canon Rumors dan PetaPixel. Gambar header: ShareGrid via Unsplash.

Leica M10-R Unggulkan Sensor Full-Frame 40 Megapixel dan Kapabilitas Low-Light yang Superior

Entah kebetulan atau tidak, huruf “R” nampaknya punya kesan superior tersendiri di industri kamera. Lihat saja seri Sony a7R, yang selama empat generasi selalu menjadi varian yang lebih unggul ketimbang a7 biasa. Di kubu lain, Canon bahkan menamai kamera mirrorless full-frame pertamanya EOS R – yang baru-baru ini sudah diteruskan jejaknya oleh EOS R5 dan R6.

Kalau perlu bukti lebih terkait teori kebetulan saya ini, coba kita lihat penawaran terbaru Leica. Melalui sebuah livestream, dedengkot kamera asal Jerman itu memperkenalkan anggota terbaru dari salah satu seri kamera mirrorless terpopulernya, Leica M10. Nama anggota terbaru tersebut? Leica M10-R, dan kebetulan ia merupakan yang paling superior di antara Leica M10 lainnya.

Leica M10-R

Keunggulan utamanya terletak pada sensor yang digunakan: full-frame 40,89 megapixel, naik sekitar 16 megapixel dibanding sensor milik M10 orisinal. Secara teknis, sensor ini sebenarnya sama seperti yang tertanam pada M10 Monochrom, hanya saja di sini Leica sudah menambahkan filter Bayer sehingga hasil tangkapan M10-R bisa berwarna.

Leica percaya bahwa peningkatan resolusi yang signifikan ini tak hanya ideal disandingkan dengan lensa-lensa M yang baru saja, melainkan juga mampu menonjolkan karakteristik unik dari koleksi lensa M lawas. Bagi peminat fotografi long exposure, mereka bakal tersenyum mengetahui M10-R punya durasi exposure maksimum 16 menit.

Namun peningkatan resolusi belum menceritakan kelebihannya secara utuh, sebab sensor baru ini turut menjanjikan dynamic range yang lebih luas sekaligus noise yang lebih minimal meski rentang ISO-nya tidak berubah (100 – 50000). Jadi untuk pemotretan di kondisi low-light, Leica yakin hasil tangkapan M10-R bakal sangat mendekati kualitas yang dihasilkan M10 Monochrom.

Leica M10-R

Dari perspektif sederhana, kita boleh saja menganggap M10-R ini sebagai M10 Monochrom versi berwarna. Namun pada kenyataannya ia juga mewarisi banyak keunggulan Leica M10-P, spesifiknya bunyi shutter mekanis yang sangat halus dan nyaris tidak terdengar di tempat umum, serta LCD yang sudah dibekali panel sentuh. Desain maupun jeroannya (prosesor, baterai) pun sama persis, dan yang berbeda cuma sensornya itu tadi.

Rencananya, Leica M10-R akan dipasarkan secara global mulai 20 Juli seharga $8.295 (body only), banderol yang sama persis seperti ketika M10 Monochrom pertama diluncurkan Januari lalu. Konsumen bisa memilih antara warna hitam atau silver.

Sumber: PetaPixel dan Leica.

Software Lumix Streaming Kini Tersedia untuk MacOS

Bulan Juni lalu, Panasonic telah meluncurkan software yang menambah fungsi kamera mirrorless Lumix menjadi webcam. Adalah Lumix Tether for Streaming (beta) atau Lumix Streaming yang saat dirilis hanya tersedia untuk platfrom Windows 10.

Kini software Tether for Streaming juga telah tersedia untuk pengguna komputer dengan sistem MacOS. Sayangnya, model kamera yang didukung masih sedikit yaitu Lumix GH5, G9, GH5S, S1, S1R, dan S1H.

Sebagai informasi, Lumix Tether for Streaming ini dikembangkan berdasarkan Lumix Tether (Versi 1.7) yang awalnya dirancang untuk tethered shooting. Sehingga menampilkan elemen-elemen UI seperti autofocus dan control panel pada monitor PC.

Saat sesi video conferensi, tentu hal itu cukup mengganggu dan solusinya Panasonic menambahkan mode live view pada Lumix Streaming. Hal ini memungkinkan pengguna memilih opsi ‘camera view only‘, di mana elemen-elemen UI tersebut bisa disembunyikan atau ditampilkan selama USB tethering sesuai kebutuhan.

Selain itu, Panasonic juga mengumumkan pengembangan software yang disebut ‘Lumix Webcam’ untuk Windows dan MacOS. Apa bedanya
Tether for Streaming dengan Lumix Webcam?

Tether for Streaming pada dasarnya program untuk tethered shooting. Pengguna perlu menginstall software broadcasting supaya komputer dapat mendeteksi output tampilannya, sebelum akhirnya bisa digunakan pada layanan video conference seperti Zoom, Google Meet, dan lain sebagainya.

Sementara, dengan Lumix Webcam bisa langsung bisa digunakan untuk live streaming dan layanan video conference. Lumix Webcam rencananya akan dirilis pada bulan September di platform Windows 10 dan Oktober untuk macOS.

Kemudian, Panasonic juga merilis update firmware untuk enam kameranya yaitu Lumix GH5, GH5S, G9, G95, G85, dan GX9. Update kali ini terkait peningkatan kompatibilitas dengan Tripod Grip DMW-SHGR1 terbaru dari Panasonic dan menambahkan ‘operational stability‘ dengan lensa Lumix G Vario 12–32mm / F3.5–5.6

Sumber: DPreview

Menemani EOS R5, Canon Juga Umumkan Empat Lensa RF

Selain mengumumkan kamera mirrorless full frame EOS R5 dan R6, Canon juga menghadirkan empat lensa RF baru. Adalah RF 85mm F2 Macro IS STM, RF 100-500mm F4.5-7.1L IS USM, Canon RF 800mm F11 IS STM, dan RF 600mm F11 IS STM. Dengan ini, total lensa native untuk RF-mount berjumlah 14. Mari bahas satu per satu:

Canon RF 85mm F2 Macro IS STM

Lensa prime atau fix telephoto menengah ini harganya cukup terjangkau yaitu US$599 atau sekitar Rp8,6 jutaan. Tidak berbeda jauh dengan lensa RF 35mm F1.8 IS STM Macro yang dibanderol Rp8,8 juta di Indonesia.

Selain asyik buat foto portrait, lensa RF 85mm F2 Macro IS STM ini juga ideal untuk mengambil detail secara close-up. Jarak fokus minimumnya hanya 35mm dengan rasio pembesaran maksimum 0.5X. Artinya, subjek dapat direproduksi hanya setengah dari ukuran sebenarnya. Jadi, masih belum cukup untuk foto macro serangga atau yang berukuran kecil lainnya.

Secara optik, lensa ini terdiri dari 12 elemen dalam 11 grup, termasuk satu elemen UD (ultra low dispersion) untuk membantu mengurangi penyimpangan kromatik. Dimensinya relatif ringkas, dengan ukuran filter 67mm dan bobot 500 gram.

Lensa RF 85mm F2 Macro IS STM punya image stabilizer yang bisa mengurangi guncangan hingga lima stop dan hingga delapan stop bila dikenakan pada EOS R5 dan R6 yang punya IBIS.

Canon RF 100-500mm F4.5-7.1L IS USM

Ini adalah lensa super-zoom pertama Canon untuk RF-mount, yang ideal untuk memotret kegiatan olahraga dan wildlife photography. Sistem image stabilizer pada lensa dapat mengurangi guncangan hingga lima stop dan enam stop bila menggunakan EOS R5 dan R6.

Secara optik, lensa ini terdiri dari 20 elemen dalam 14 grup. Termasuk enam elemen UD (ultra low dispersion) dan satu ‘Super UD‘ yang membantu mengurangi penyimpanan kromatik. Kedua grup fokus digerakkan oleh Nano USM motor untuk memberikan autofocus yang cepat dan tenang.

Lensa RF 100-500mm F4.5-7.1L IS USM memiliki rasio perbesaran maksimum 0.12X dan 0.33X pada ujung lebar dan telefoto. Ukuran diameter filternya 77mm dan bobotnya 1.365 gram. Berapa harganya? Canon RF 100-500mm F4.5-7.1L IS USM dibanderol US$2.699 atau sekitar Rp39 jutaan.

Canon RF 600mm F11 IS STM dan RF 800mm F11 IS STM

Selanjutnya adalah sepasang lensa super-telephoto 600mm dan 800mm dengan fixed-aperture. Ya, Anda tidak salah baca, minimum dan maksimum aperture yang bisa digunakan hanya F11.

Canon menggunakan optik difraksi dual-layer tanpa celah (gapless dual-layer diffractive optics) dan aperture fix F11 sehingga memungkinkan Canon mengurangi ukuran dan panjang lensa. Canon juga mengatakan bahwa desain elemen DO tersebut memungkinkan harganya menjadi lebih terjangkau.

Keduanya dilengkapi image stabilization yang dapat mengurangi guncangan sebanyak lima stop pada lensa 600mm dan empat stop pada lensa 800mm. Saat terpasang pada EOS R5 dan R6, area jangkauan AF adalah 60×40 persen.

Canon juga memperkenalkan sepasang teleconverter RF 1.4x dan 2x. Misalkan kita menggunakan teleconverter 2x, artinya lensa 800mm dengan aperture F11 menjadi 1.600mm F22. Teleconverter tersebut juga kompatibel dengan lensa RF 100-500mm F4.5-7.1L IS USM.

Soal harga, Canon RF 600mm F11 IS STM dibanderol dengan harga US$699 (Rp10 jutaan), sedangkan Canon RF 800mm F11 IS STM US$899 (Rp13 jutaan). Sementara, teleconverter 1.4x dan 2x masing-masing akan dijual seharga US$499 (Rp7,2 jutaan) dan US$599 (Rp8,6 jutaan).

Sumber: DPreview

GoPro Hero8 Black Kini Bisa Dipakai Sebagai Webcam Tanpa Bantuan Perangkat Tambahan

Pandemi memaksa produsen kamera untuk lebih kreatif memperlakukan konsumennya. Kita memang dianjurkan untuk sebisa mungkin tidak keluar rumah, tapi itu bukan berarti kamera yang kita miliki harus terbengkalai begitu saja. Kalau menurut sejumlah brand, kenapa kameranya tidak dialihfungsikan saja, menjadi webcam misalnya.

Semuanya bermula ketika Canon merilis software untuk EOS Webcam Utility, yang meskipun masih berstatus beta, sudah bisa mengubah peran asli kamera DSLR maupun mirrorless menjadi webcam tanpa bantuan perangkat tambahan seperti capture card. Lalu dalam kurun waktu yang singkat, satu demi satu brand lain ikut menyusul, mulai dari Fujifilm, Panasonic, dan bahkan sampai Olympus.

Bahkan GoPro pun akhirnya juga ikut latah. Mereka baru saja merilis aplikasi GoPro Webcam, yang cukup disayangkan baru tersedia buat platform macOS sejauh ini, dengan versi Windows yang masih dalam tahap pengembangan. Kamera yang kompatibel hanyalah Hero8 Black, dan itu pun harus dengan mengunduh dan meng-install firmware update terlebih dulu.

Usai meng-install firmware baru dan aplikasi GoPro Webcam, pengguna cukup menyambungkan Hero8 Black ke komputer menggunakan kabel USB-C, maka kamera pun siap dipilih sebagai input video beresolusi 1080p atau 720p pada aplikasi-aplikasi video call seperti Zoom, Google Meet, dan lain sebagainya. Panduan lengkap langkah-langkahnya bisa dilihat langsung di situs GoPro.

Satu catatan penting yang perlu diingat, berhubung fitur webcam ini memerlukan firmware baru, otomatis pengguna tidak bisa memakainya bersamaan dengan firmware GoPro Labs. Pastikan juga baterai kamera sedang dalam kondisi penuh, sebab perangkat tidak bisa di-charge selama digunakan sebagai webcam.

Untuk pengguna GoPro Hero7 atau yang lebih tua lagi, sayangnya tidak ada solusi yang semudah dan semurah ini. Anda tetap butuh bantuan perangkat tambahan seperti Elgato Cam Link kalau mau menggunakan action cam kesayangan sebagai webcam.

Sumber: PR Newswire dan GoPro.