Fujifilm X-H1 Buktikan Bahwa Fuji Tak Lagi Payah Soal Video

Usai memperkenalkan X-A5 baru-baru ini, Fujifilm langsung tancap gas menyingkap kamera baru untuk segmen high-end. Bukan X-T3 atau X-Pro3, melainkan lini baru dengan kode X-H. Namun jangan salah, kamera bernama Fujifilm X-H1 ini diklaim memiliki performa tertinggi dari seluruh keluarga Fuji X-Series.

Lewat X-H1, Fujifilm sejatinya melanjutkan keseriusan mereka di bidang video, yang diawali bersama X-T2 dua tahun silam. Ini bisa dilihat dari spesifikasi utamanya yang cukup mirip: sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel, plus engine X-Processor Pro. Yang benar-benar baru, dan untuk pertama kalinya bagi Fujifilm, adalah sistem image stabilization internal 5-axis, mirip seperti milik Panasonic Lumix GX9 yang juga baru saja dirilis.

Selama ini, Fuji hanya mengandalkan stabilization bawaan lensa. Dengan adanya sistem internal ini, ketajaman gambar bisa tetap terjamin meski menggunakan lensa yang non-stabilized dan tanpa tripod. Efeknya pun bakal semakin terasa ketika kamera digunakan untuk merekam video.

Fujifilm X-H1

Di sektor video, X-H1 menjadi kamera Fuji pertama yang mampu merekam dalam format ‘mentah’ F-Log. Pilihan resolusinya antara lain 1080p 120 fps (untuk slow-mo), 4K 30 fps, dan DCI 4K (4096 x 2160) 24 fps – belum selevel Lumix GH5S, tapi setidaknya merupakan prestasi buat Fujifilm yang selama ini terkesan menyepelekan kapabilitas video kamera-kameranya.

Kualitas video yang dihasilkan juga dipastikan lebih baik ketimbang X-T2 berkat tingkat kompresi yang lebih tinggi di angka 200 Mbps. Sebagai pemanis, X-H1 mengemas Film Simulation baru bernama Eterna, yang Fuji formulasikan secara khusus untuk memberikan efek sinematik pada video.

Fujifilm X-H1

Beralih ke desain, tampak bahwa penampilannya banyak terinspirasi kamera mirrorless medium format Fuji, GFX 50S, utamanya berkat hand grip yang begitu menonjol, serta sebuah indikator LCD kecil di panel atas, di belakang tombol shutter. Sama seperti X-T2, bodi X-H1 juga diklaim tahan terhadap cuaca ekstrem.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh viewfinder elektronik (EVF) baru dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x. Tidak hanya lapang dan tajam, EVF ini juga sangat cekatan, mampu menyajikan tampilan live dalam kecepatan 100 fps. Di bawahnya, ada LCD 3 inci yang bisa dioperasikan dengan sentuhan.

Fujifilm X-H1

Fuji berencana menjual X-H1 di AS dan Kanada terlebih dulu mulai 1 Maret mendatang. Harganya dipatok $1.900 (body only), atau $2.200 bersama aksesori vertical grip yang bakal menambah daya tahan baterainya secara drastis, sekaligus meningkatkan durasi maksimum saat merekam video 4K.

Sumber: DPReview.

Blackmagic Ursa Broadcast Adalah Kamera Video 4K Kelas Pro dengan Harga Setara DSLR High-End

Dimensi bongsor dan harga yang mahal merupakan dua atribut yang selalu melekat pada kamera video kelas profesional. Hal ini tergolong wajar mengingat kebanyakan konsumennya adalah stasiun televisi, akan tetapi belakangan YouTuber juga mulai ‘naik kelas’ dan menggunakan kamera serupa buat channel-nya masing-masing.

Tren ini tampaknya menjadi penggerak di balik inisiatif terbaru Blackmagic Design. Belum lama ini, produsen kamera asal Australia itu memperkenalkan Blackmagic Ursa Broadcast, yang diklaim sebagai kamera video kelas profesional dengan harga paling terjangkau.

Memangnya seberapa terjangkau? $3.495, masih kelewat mahal buat sebagian besar konsumen, akan tetapi harganya ini selevel dengan sejumlah DSLR kelas atas. Nikon D850 misalnya, dijual seharga $3.300, sedangkan Canon 1D X Mark II malah jauh lebih mahal di angka $5.999.

Blackmagic Ursa Broadcast

Meski terjangkau, Ursa Broadcast masih menawarkan fleksibilitas tinggi seperti kamera lain yang ditujukan untuk keperluan broadcasting. Pengguna bebas memilih hendak merekam video 4K (hingga 60 fps) dalam format lossless 12-bit CinemaDNG Raw, 10-bit DNxHD 220X, DNxHD 145 atau ProRes.

Sensor berukuran 2/3 inci yang digunakan memang bukan yang terbesar, akan tetapi masih bisa menjanjikan dynamic range seluas 12 stop. Singkat cerita, Blackmagic cukup percaya diri hasil rekaman Ursa Broadcast jauh lebih baik ketimbang mayoritas DSLR, dan semuanya layak tayang tanpa harus melalui proses color grading.

Blackmagic Ursa Broadcast

Selain di studio, Ursa Broadcast juga ideal untuk di lapangan. Ini dikarenakan terdapat dua slot SD card dan dua slot CFast di bodinya, fitur yang termasuk langka untuk kategori kamera broadcast. Ursa Broadcast menggunakan mount lensa B4, namun pengguna juga bisa menggantinya dengan mount lensa PL, F atau EF.

Pengoperasiannya banyak mengandalkan sederet tombol dan kenop fisik dengan sebuah indikator LCD, akan tetapi kamera turut mengemas layar sentuh 4 inci yang siap digunakan kapan saja. Semuanya dikemas dalam bodi magnesium yang kokoh sekaligus ringan, plus kompatibel dengan seabrek aksesori keluaran Blackmagic.

Blackmagic Ursa Broadcast

Produk ini dirilis hampir bersamaan dengan diumumkannya rencana kerja sama Foxconn dan RED untuk mengembangkan kamera 8K dengan harga yang lebih terjangkau. Mungkin ini hanya kebetulan, akan tetapi bisa menjadi indikasi bahwa produsen kamera video kelas profesional juga ingin mencicipi porsi pasar yang lebih mainstream, yang sebelumnya dikuasai oleh brand seperti Sony dan Panasonic.

Sumber: DPReview dan Blackmagic.

Foxconn dan RED Tertarik Mengembangkan Kamera 8K dengan Harga yang Lebih Terjangkau

Bagi sebagian besar orang, kamera mirrorless buatan Sony atau Panasonic sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan video dengan kualitas jauh di atas kamera smartphone. Namun kalau uang memang bukan masalah, saya yakin kamera-kamera buatan RED yang terkadang bisa seharga mobil mewah bakal menjadi pertimbangan.

Apakah situasinya harus selamanya demikian? Tidak, kalau menurut Foxconn. Baru-baru ini, perusahaan perakit perangkat elektronik itu mengungkap rencananya untuk bekerja sama dengan RED, dengan tujuan untuk menciptakan kamera yang sanggup merekam dalam resolusi 8K, tapi dengan dimensi dan banderol harga sepertiga dari yang ada sekarang.

Kalau kita lihat, kamera 8K ‘termurah’ RED sekarang adalah Epic-W yang mengemas sensor Helium 8K S35. Untuk bodinya saja, konsumen harus merogoh kocek sedalam $29.500. Kalau sepertiganya, berarti kamera baru hasil kolaborasi Foxconn dan RED ini nanti bakal dibanderol kurang lebih sekitar $10.000.

Angka itu memang masih sangat mahal kalau dibandingkan dengan kamera termahal Panasonic sekalipun, yakni Lumix GH5S yang dijual seharga $2.500 untuk bodinya saja. Namun perlu diingat, kemampuan merekam Lumix GH5S ‘hanya’ mentok di 4K, sedangkan yang Foxconn dan RED incar adalah kamera 8K.

Pertanyaan berikutnya, mengapa Foxconn? Jawabannya karena keduanya memang sudah punya hubungan baik selama ini. Foxconn selama ini sudah berjasa merakitkan komponen LSI circuit yang digunakan pada kamera-kamera besutan RED, dan rencana baru ini sejatinya bakal semakin memperdalam kemitraan mereka.

Tidak ada sama sekali yang menyinggung soal waktu maupun jadwal perilisan di sini. Realisasinya mungkin masih membutuhkan beberapa tahun, dan mungkin ketika sudah siap, Sony dan Panasonic juga sudah menyiapkan kamera mirrorless yang sanggup merekam video 8K.

Sumber: DPReview dan EOSHD. Gambar header: Jakob Owens via Unsplash.

Panasonic Lumix GX9 Andalkan Sistem Image Stabilization 5-Axis dan Sensor Tanpa Low-Pass Filter

Panasonic baru saja menyingkap kamera mirrorless terbarunya, Lumix GX9. Sesuai namanya, ia merupakan penerus dari Lumix GX8 yang dirilis di tahun 2015. Spesifikasinya memang tidak sefenomenal Lumix G9, akan tetapi masih menawarkan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pendahulunya.

Sensor Micro Four Thirds yang digunakan masih sama, dengan resolusi 20,3 megapixel dan dukungan prosesor Venus Engine. Yang berbeda kali ini adalah absennya low-pass filter, yang diyakini mampu meningkatkan ketajaman gambar yang dihasilkan. Sebagai bonus, Panasonic turut menyematkan mode L.Monochrome D bagi penggemar fotografi hitam-putih dengan cita rasa analog, lengkap dengan penyesuaian intensitas grain-nya.

Panasonic Lumix GX9

Untuk video, Lumix GX9 siap merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps. Sistem autofocus-nya tidak berubah, masih mengandalkan 49 titik beserta teknologi Depth from Defocus yang terbukti sanggup mengunci fokus dengan sangat cepat.

Pembaruan lain yang dibawa GX9 adalah sistem image stabilization internal 5-axis, selevel dengan yang Olympus tawarkan melalui seri OM-D. Lebih lanjut, Panasonic bilang bahwa sistem ini bisa dipadukan bersama sistem image stabilization bawaan lensa agar kompensasi guncangan bisa semakin maksimal.

Panasonic Lumix GX9

Secara fisik, Lumix GX9 mungkin terlihat mirip seperti GX8, akan tetapi sebenarnya tersimpan banyak perbedaan. Di depan, ukuran hand grip-nya menyusut dan tidak lagi setebal milik GX8 – grip milik GX8 begitu tebal sampai-sampai tombol shutter bisa ditempatkan di atasnya.

Beralih ke panel atasnya, Anda bisa menemukan pop-up flash di sebelah hot shoe. Lalu di sebelah satunya, masih ada viewfinder elektronik (EVF) yang bisa dimiringkan ke atas sampai 90 derajat. EVF ini mengemas resolusi 2,76 juta dot, dengan tingkat perbesaran 0,7x dan field of view 100%.

Di bawahnya, Anda akan menjumpai layar sentuh 3 inci beresolusi 1,24 juta dot. Yang sedikit mengecewakan, layar ini tak lagi seperti milik GX8 yang bisa ditarik ke sebelah lalu diputar-putar sesuka hati. Di sini layarnya cuma bisa dimiringkan ke atas 80 derajat, atau ke bawah 45 derajat.

Panasonic Lumix GX9

Saya menduga Panasonic sengaja melakukannya demi memangkas tebal body sekaligus bobot GX9, akan tetapi hal ini sepertinya bisa menjadi alasan utama pengguna GX8 untuk tidak memilih rute upgrade. Selebihnya, karena ini sudah tahun 2018, Bluetooth pun sudah menjadi suatu keharusan, dan GX9 paham betul akan persyaratan tersebut.

Panasonic Lumix GX9 dijadwalkan masuk ke pasaran mulai awal Maret mendatang dengan harga $999, sudah termasuk lensa anyar 12-60mm f/3.5-5.6. Aksesori yang ditawarkan mencakup wide eyecup seharga $19, serta grip tambahan seharga $59.

Sumber: DPReview.

Olympus PEN E-PL9 Hadir Membawa Penyempurnaan Desain dan Kemampuan Merekam Video 4K

Olympus PEN Lite (E-PL) merupakan salah satu lini kamera mirrorless tertua. Generasi pertamanya (E-PL1) diumumkan di tahun 2010, jauh sebelum segmen mirrorless bisa dikategorikan mainstream. Selama kiprahnya, seri E-PL selalu diposisikan sebagai kamera mirrorless berharga terjangkau dengan penampilan yang atraktif, dan itu masih dipertahankan hingga kini.

Buktinya bisa kita lihat dari Olympus PEN E-PL9, penerus E-PL8 yang diumumkan di tahun 2016. Perawakan ringkas bergaya rangefinder-nya masih menjadi daya tarik utama, lengkap dengan balutan kulit imitasi yang tak cuma menambah kesan elegan, tapi juga membantu memantapkan genggaman.

Bicara soal grip, tonjolan di bagian depan kanan E-PL9 jauh lebih besar ketimbang pendahulunya, dan ini sudah pasti berpengaruh positif terhadap kenyamanan pengoperasiannya. Mengintip panel atasnya, kenop untuk mengganti mode kamera juga bertambah besar, dan tidak seperti pendahulunya, E-PL9 dibekali pop-up flash.

Olympus PEN E-PL9

Terkait spesifikasinya, E-PL9 mengemas sensor 16 megapixel sekaligus prosesor TruePic VIII yang sama persis seperti milik OM-D E-M10 Mark III, yang secara hierarki masih duduk di atas E-PL9. Sistem autofocus-nya pun sama, dengan total 121 titik dan dukungan face sekaligus eye detection.

Yang membedakan kedua kamera ini adalah sistem image stabilization-nya. E-PL9 mengusung sistem 3-axis, sedangkan OM-D E-M10 Mark III lebih superior dengan sistem 5-axis. Kendati demikian, sistem 3-axis saja sebenarnya sudah cukup efektif mengompensasi guncangan selama pengguna menggenggam kamera.

Sensor dan prosesor baru ini juga memungkinkan E-PL9 untuk merekam video 4K 30 fps, menjadi yang pertama dari seri E-PL yang menembus pencapaian ini. Juga baru adalah konektivitas Bluetooth, yang belakangan memang menjadi prioritas produsen-produsen kamera demi memudahkan proses menyambungkan kamera ke smartphone atau tablet. Dalam kasus E-PL9, gambar bisa dipindah ke ponsel meski kamera dalam keadaan tidak menyala.

Olympus PEN E-PL9

Selebihnya, pengguna seri E-PL masih akan dimanjakan oleh gaya pengoperasian yang sama. Layar sentuh 3 incinya masih bisa diputar 90 derajat ke atas, atau 180 derajat ke bawah, sedangkan baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 350 jepretan.

Olympus berencana melepas E-PL9 ke pasaran mulai pertengahan bulan Maret mendatang. Harganya dipatok 699 euro bersama lensa power-zoom 14-42mm f/3.5-5.6, atau 549 euro untuk body-nya saja.  Pilihan warna yang tersedia ada tiga: hitam, coklat dan putih.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-A5 Benahi Performa Pendahulunya dengan Phase-Detection Autofocus

Fujifilm baru saja memperkenalkan X-A5, model teranyar dari lini kamera mirrorless terbawahnya. Kamera ini meneruskan jejak Fujifilm X-A3 yang dirilis di tahun 2016, sekaligus membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya tersebut.

Salah satu faktor yang membuat lini Fujifilm X-A bisa ditawarkan dalam harga terjangkau adalah penggunaan sensor konvensional, bukan yang berteknologi X-Trans seperti yang terdapat lini X-E, X-T maupun X-Pro. X-A5 masih mempertahankan tradisi tersebut dengan mengusung sensor APS-C 24 megapixel yang memiliki rentang ISO 200 – 12800 (bisa diekspansi menjadi 100 – 51200).

Fujifilm X-A5

Kekurangan X-A3 yang coba dibenahi adalah perihal performa. X-A5 merupakan kamera pertama di lini X-A yang dibekali phase-detection autofocus (PDAF). Sistem hybrid AF ini memungkinkan kamera untuk mengunci fokus dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya, sekaligus lebih cekatan dalam membekukan subjek yang sedang bergerak.

Di samping itu, Fuji juga telah menanamkan prosesor baru ke dalam X-A5, dengan klaim peningkatan kinerja secara umum hingga 1,5 kali lebih cepat. Soal video, X-A5 dapat merekam dalam resolusi 4K, hanya saja kecepatannya cuma 15 fps saja, jauh di bawah standar.

Fujifilm X-A5

Pembaruan lainnya mencakup baterai yang lebih awet (kini dapat beroperasi sampai 450 jepretan), jack untuk mikrofon eksternal, serta konektivitas Bluetooth 4.1 untuk memudahkan proses pairing dan transfer gambar.

Selebihnya, Fujifilm X-A5 masih mempertahankan segala kelebihan X-A3, macam layar sentuh 3 inci yang bisa dilipat menghadap ke depan untuk selfie, dan desain klasik yang tampak manis di mata. Kamera ini bakal dipasarkan mulai awal bulan ini seharga $599 bersama lensa baru XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ, yang merupakan lensa Power Zoom pertama Fujifilm.

Sumber: DPReview.

Kamera Medium Format Terbaru Hasselblad Dapat Menjepret Foto Beresolusi 400 Megapixel

Dalam dua tahun terakhir ini, salah satu tren yang cukup marak di industri kamera adalah mode pemotretan beresolusi tinggi, jauh melebihi resolusi milik sensor kameranya sendiri. Salah satu contohnya adalah Olympus OM-D E-M1 Mark II, yang menyimpan mode khusus untuk menghasilkan foto sebesar 50 megapixel, meski sensornya cuma beresolusi 20,4 megapixel.

Rahasianya terletak pada kemampuan kamera untuk menggeser posisi sensornya sedikit demi sedikit selagi mengambil gambar. Gambar-gambar tersebut kemudian disatukan menjadi satu gambar beresolusi tinggi, dengan detail yang amat mengesankan. Melihat cara kerjanya, jelas mode ini lebih ideal untuk foto-foto pemandangan ketimbang foto portrait atau yang lainnya.

50 megapixel mungkin terdengar kecil, apalagi kalau Anda sudah terbiasa membawa kamera medium format seperti Hasselblad X1D, yang dari sananya sudah mengemas sensor beresolusi 50 megapixel. Untuk itu, Hasselblad sudah menyiapkan kamera baru yang secara spesifik dirancang untuk menjepret dalam resolusi masif, semasif 400 megapixel tepatnya.

Hasil foto Hasselblad H6D-400c MS / Hasselblad
Hasil foto Hasselblad H6D-400c MS / Hasselblad

Kamera bernama Hasselblad H6D-400c MS ini secara teknis tidak mengemas sensor beresolusi 400 megapixel, melainkan ‘hanya’ 100 megapixel. Label “MS” pada namanya adalah singkatan dari “Multi Shot”, mengindikasikan metode pengambilan beberapa gambar sekaligus. Pada kenyataannya, kamera ini akan menjepret enam gambar sebelum menyatukannya menjadi satu gambar beresolusi 23.200 x 17.400 pixel.

Kalau itu masih kedengaran kurang besar, coba ini: ukuran satu file yang dihasilkannya berkisar 2,3 GB, disimpan dalam format TIFF 16-bit. Kamera ini jelas bukan untuk semua orang, melainkan untuk mereka yang hasil kerjanya melibatkan baliho berukuran raksasa.

Gambar yang berasal dari penyatuan enam gambar tampak luar biasa tajam meski sudah di-zoom sampai cukup dekat / Hasselblad
Gambar yang berasal dari penyatuan enam gambar (kanan) tampak luar biasa tajam meski sudah di-zoom sampai cukup dekat / Hasselblad

Hasselblad mengklaim sistem yang mereka terapkan lebih presisi ketimbang penawaran Olympus dan lainnya yang memanfaatkan sistem image stabilization bawaan kamera. Saat digunakan dalam mode pemotretan normal, kamera ini identik dengan Hasselblad H6D-100c. Desainnya pun sama persis, hanya saja di bagian dalam H6D-400c ada semacam jalur khusus tempat sensornya bergeser.

Hasselblad berencana memasarkannya mulai bulan Maret mendatang seharga $47.995, nyaris 1,5x lipat harga varian standarnya yang tidak dilengkapi embel-embel “MS”. Skenario yang lebih masuk akal mungkin adalah menyewanya, dan Anda bisa meminjamnya langsung dari Hasselblad seharga $480 per hari.

Sumber: DPReview.

Panasonic Lumix GH5S Lebih Totalitas Lagi Soal Video Ketimbang Versi Standarnya

Panggung CES 2018 Panasonic manfaatkan untuk mengungkap sebuah kejutan dalam bentuk kamera mirrorless baru bernama Lumix GH5S. Bukan, ia bukanlah suksesor Lumix GH5 yang diperkenalkan tahun lalu. Ia lebih pantas dianggap sebagai versi alternatif Lumix GH5 yang bahkan lebih totalitas lagi dalam hal videografi.

Fisik keduanya hampir identik, terkecuali adanya sedikit aksen merah pada GH5S. Yang sangat berbeda adalah sensor yang digunakan: GH5S mengemas sensor yang berukuran lebih besar (Four Thirds), akan tetapi resolusinya cuma 10,2 megapixel. Hal ini membuat GH5S jauh lebih sensitif di kondisi minim cahaya – konsepnya sama persis seperti Sony a7 dan a7S.

Ditemani prosesor Venus Engine 10, sensor ini mengandalkan teknologi Dual Native ISO yang menawarkan dua mode: satu untuk memaksimalkan dynamic range di ISO rendah, satu lagi memprioritaskan noise reduction dengan mengkompromikan dynamic range.

Panasonic Lumix GH5S

Singkat cerita, Lumix GH5S bakal lebih ideal dijadikan kamera video ketimbang GH5 standar, apalagi mengingat ia juga bisa merekam dalam format DCI 4K 60 fps, yang sedikit lebih lebar ketimbang 4K UHD. Lebih lanjut, hasil rekamannya di kondisi minim cahaya juga dipastikan jauh lebih baik. Tentu saja kamera masih bisa digunakan untuk menjepret foto, bahkan dalam format RAW 14-bit.

Perbedaan lainnya meliputi mode slow-motion 1080p 240 fps, kinerja autofocus yang sedikit lebih baik di kondisi low-light, dan viewfinder elektronik dengan refresh rate 120 fps. Fitur VLog-L yang harus ditebus dengan biaya oleh pengguna GH5, hadir sebagai fitur standar di GH5S.

Panasonic Lumix GH5S

Yang mungkin terdengar agak mengejutkan, GH5S sama sekali tak memiliki sistem image stabilization. Panasonic bilang bahwa tujuannya adalah supaya kinerja gimbal profesional yang dipakai konsumen bisa lebih maksimal dan tidak terganggu oleh sistem internal kamera seperti pada GH5 standar.

Panasonic Lumix GH5S rencananya bakal dipasarkan mulai awal Februari mendatang. Harganya dipatok $2.499 (body only).

Sumber: DPReview.

Smartphone Masih Mendominasi Daftar Kamera Terpopuler Versi Flickr Tahun Ini

Seperti biasa menjelang pergantian tahun, Flickr selalu merilis laporan kamera terpopuler yang digunakan oleh komunitas penggunanya. Tahun lalu, 48% dari semua foto yang diunggah ke Flickr diambil menggunakan smartphone, dan tren itu terus berlanjut hingga kini.

Angkanya naik sedikit menjadi 50%, atau dengan kata lain separuh dari total foto yang diunggah ke Flickr untuk tahun ini. Peningkatannya tidak sedrastis dari 2015 ke 2016, dan hal ini dikarenakan ada jenis kamera lain yang juga mengalami peningkatan dalam hal persentase penggunaan, yaitu DSLR.

Kalau di tahun sebelumnya DSLR hanya mencatatkan angka 25%, tahun ini angkanya naik menjadi 33%. Ini menarik mengingat tahun ini sejatinya tidak banyak DSLR baru yang terkesan fenomenal, terkecuali Nikon D850 yang hampir sempurna dari segala aspek, dan terbukti menuai deretan pujian dari para fotografer (plus videografer).

Laporan Flickr ini sejatinya bisa dijadikan ‘serangan balik’ terhadap mereka yang bersikukuh bilang “DSLR sudah mati, sebab semua sekarang lebih memilih memakai smartphone.” Tidak bisa dipungkiri, smartphone sebagai alat fotografi memang terus bertambah populer, akan tetapi DSLR masih punya pasarnya sendiri, terutama di segmen profesional.

2017 Flickr top camera types

Yang bisa dibilang ‘nyaris mati’ justru adalah kamera point-and-shoot, yang hanya menorehkan angka 12% tahun ini, turun dari 21% di tahun lalu. Sejumlah smartphone, seperti Google Pixel 2 misalnya, terbukti mampu menghasilkan foto yang lebih bagus ketimbang beberapa kamera point-and-shoot.

Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan alasan di balik penurunan drastis ini. Saya juga tidak akan terkejut apabila dalam beberapa tahun ke depan smartphone bakal digolongkan sebagai kamera point-and-shoot, mengingat premis penggunaannya sudah sangat memenuhi kriteria kategori tersebut.

Juga menarik adalah bagaimana pertumbuhan kamera mirrorless tergolong stagnan kalau berdasarkan laporan Flickr ini. Persentasenya hanya naik dari 3% menjadi 4% tahun ini, terlepas dari cukup banyaknya kamera mirrorless baru yang fenomenal tahun ini, macam Sony A9 misalnya.

2017 Flickr top brands

Beralih ke soal brand, Apple lagi-lagi mendominasi kategori ini. 9 dari 10 kamera yang paling sering digunakan komunitas Flickr di tahun 2017 adalah iPhone – dengan iPhone 6, iPhone 6S dan iPhone 5S menduduki tiga posisi teratas – sedangkan satu sisanya dihuni oleh Canon 5D Mark III yang menduduki posisi 9.

Dari perspektif yang lebih luas, 54% dari total 100 kamera terpopuler di Flickr adalah iPhone. Posisi kedua ditempati oleh Canon dengan 23%, sedangkan Nikon menduduki posisi tiga dengan 18%. Tahun depan bisa dipastikan smartphone masih akan terus mendominasi, apalagi mengingat belakangan ini fitur Portrait Mode mulai menjamur dan terus dimatangkan dari waktu ke waktu.

Sumber: Flickr. Gambar header: Pexels.

Kodak Mini Shot Padukan Kesederhanaan Kamera Saku Dengan Teknologi Film Instan

Melejitnya teknologi kamera di ponsel memang memengaruhi banyak aspek di industri fotografi. Namun meski kita mengira hal tersebut akan menyingkirkan tipe point-and-shoot dari pasar, produsen seperti Sony dan Panasonic masih tetap menawarkannya, masing-masing dibekali fitur andalan sendiri. Tapi Kodak punya konsep berbeda dalam menyediakan kamera jenis ini.

Di bulan September kemarin, perusahaan perangkat imaging Amerika itu menyingkap sebuah produk unik. Mereka menamainya Printomatic, yaitu kamera instan bertubuh mungil ala point-and-shoot. Sejarah produk ini cukup menarik karena ternyata Printomatic digarap oleh perusahaan C+A Global yang juga memproduksi Polaroid Snap dua tahun lalu. Dan di ujung 2017, Kodak mengekspansi lineup kamera instan saku melalui pengenalan Mini Shot.

Kodak Mini Shot 3

Mini Shot mempunyai arahan desain serupa Printomatic. Ukurannya hanya sedikit lebih besar dari luas kartu identitas/debit Anda. Di bagian luarnya, user disuguhkan layout familier; dengan modul lensa, LED flash dan tombol shutter di atas. Mini Shot turut dilengkapi layar LCD viewfinder seluas 1,7-inci serta tombol buat mengakses fungsi serta navigasi menu.

Kodak Mini Shot 1

Kamera poket instan ini menyimpan unit cetak film di dalam, dikeluarkan dari sisi kanan (jika dilihat dari depan). Mini Shot siap mendukung dua varian film 4Pass Photo Paper, yakni 2,1×3,4-inci atau 2,1×2,1-inci. Uniknya lagi, kamera tak hanya bisa mencetak hasil jepretan, tapi juga file yang dikirim dari perangkat Android atau iOS lewat Bluetooth via app companion.

Kodak Mini Shot 2

Melalui aplikasi mobile tersebut, Anda bisa melakukan sedikit proses penyuntingan sebelum gambar dicetak, contohnya membubuhkan filter, stiker atau memilih template kartu. Tanpa smartphone, Mini Shot memanfaatkan sensor digital 10-megapixel buat mengabadikan gambar. Kamera ini juga ditunjang fitur-fitur penting semisal auto-focus, pengaturan exposure, white balance serta gamma, dan Anda dapat melihat tampilan pratinjaunya di layar.

Kodak Mini Shot 4

CEO Kodak Jeff Clarke menjelaskan alasan yang mendorong mereka menyajikan Mini Shot, “Kebangkitan tengah terjadi di segmen fotografi ‘instan print‘, dan saat ini permintaan terhadap produk yang tahan lama dan terjangkau sangat tinggi. Pelepasan Kodak Mini Shot dan Printomatic merupakan wujud dari komitmen berkelanjutan kami pada ranah pencetakan instan serta merepresentasikan awal dari agenda Kodak menghadirkan Print Solutions ke pasar.”

Kodak Mini Shot sudah dapat dipesan saat ini juga di Amazon. Di situs eCommerce raksasa itu, produk dijajakan seharga US$ 100 saja.

Sumber: DPreview.