Sony Umumkan Kamera Cinema FX3, dengan Bodi Kecil dan Lebih Terjangkau

Sony A7S III merupakan kamera mirrorless lini Alpha dari Sony yang paling kapabel untuk produksi video. Di atasnya, Sony masih punya lini kamera video Cinema yang meliputi Sony FX6, FX9, dan Venice. Baru-baru ini Sony mengumumkan satu lagi kamera Cinema yang sangat menarik bagi filmmaker dan content creator.

Adalah Sony FX3, posisi kamera ini berada di antara A7S III dan FX6, harganya jauh lebih terjangkau dari FX6 dan beda tipis dari A7S. Berbeda dengan para saudaranya yang memiliki desain kotak, FX3 punya bodi ringkas seperti lini kamera Alpha.

Sekilas desain Sony FX3 terlihat mirip seperti Sigma FP terutama bagian atas, bentuknya kotak persegi panjang. Namun membawa grip cukup besar, tanpa jendela bidik, dan punya LCD 3 inci 1,33 juta dot dengan mekanisme vari-angle.

Selain itu, atribut di tubuhnya sangat ramai. Total ada enam tombol yang bisa disesuaikan, tiga di atas, dua di belakang di samping LCD, dan satu di depan dekat dudukan Sony E-mount. Juga sudah memiliki enam sekrup tipe 1/4-20 UNC, tiga di atas, serta masing-masing satu di sisi kanan, kiri, dan bawah. Artinya kita tidak perlu lagi pakai cage dan praktis bisa memasang berbagai aksesori secara langsung.

Bicara bagian dalam dan kemampuannya, Sony FX3 membawa banyak sekali fitur dari Sony A7S III. Termasuk sensor full frame BSI-CMOS 12MP yang sama dengan prosesor gambar BIONZ XR. Kamera ini juga memiliki IBIS dan dapat merekam video UHD 4K 60p dengan seluruh penampang sensornya dan 4K 120fps dengan sedikit crop.

Pengaturan opsi bitrate, frame rate, dan format video yang ditawarkan juga identik dengan A7S III. Termasuk kemampuan mengambil gambar 10-bit 4:2:2 dalam format XAVC HS (H.265) atau XAVC S (H.264) secara internal. Juga mendukung output RAW 16-bit menggunakan external recorder lewat HDMI.

Sebagai informasi, di Indonesia Sony A7S III body only dibanderol Rp50.999.000 dan Rp92.999.000 untuk Sony FX6. Sementara, Sony FX3 dijual dengan harga US$3899 atau sekitar Rp54,8 jutaan dan rencananya akan tersedia secara global pada bulan Maret mendatang.

Sumber: DPreview

Rode VXLR Pro Adalah Solusi untuk Menghubungkan Mikrofon Rode ke Perangkat XLR

Kualitas audio pada sebuah video sama pentingnya dengan kualitas gambar, mikrofon eksternal pun menjadi aksesori wajib bagi para content creator dan filmmaker. Namun saat produksi kadang timbul masalah seperti sinyal yang tidak stabil ketika pakai mikrofon wireless dan kualitas audio yang menurun ketiga pakai mikrofon shotgun menggunakan kabel yang panjang.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut, belum lama ini Rode memperkenalkan VXLR Pro. Adapter 3,5mm female TRS ke male XLR yang memungkinkan mikrofon Rode dihubungkan ke kamera atau perangkat recorder yang memiliki input XLR.

Rode VXLR Pro dapat mengubah daya phantom 12-48V menjadi daya plug-in 3-5V. Artinya, memungkinkan mikrofon seperti VideoMicro dan VideoMic GO menerima daya dari perangkat XLR. Rode VXLR Pro ini dilengkapi dengan konektor pengunci yang memastikan koneksi Anda selalu aman saat merekam.

Lebih lanjut, Rode VXLR Pro memiliki transformer internal untuk menyeimbangkan sinyal yang tidak seimbang dari mikrofon menjadi sinyal yang seimbang saat ditransmisikan. Fitur ini sangat berguna, terutama bila menggunakan mikrofon seperti Rode VideoMic NTG yang dipasang pada boom pole atau tiang boom, dengan kabel panjang yang terhubung ke mixer atau interface.

VXLR_Pro2 3 vxlr-pro

Rode mengatakan, dengan VideoMic NTG bahkan bila menggunakan kabel sepanjang 100 meter, Anda tidak akan mengalami gangguan sinyal dan noise yang dapat mempengaruhi kualitas rekaman.  Harga Rode VXLR Pro ini dibanderol US$39 atau sekitar Rp550 ribuan.

Daftar lengkap mikrofon Rode yang kompatibel dengan Rode VXLR Pro sebagai berikut:

  • VideoMic NTG
  • Wireless GO
  • VideoMic
  • VideoMicro
  • VideoMic Pro
  • VideoMic Pro+
  • VideoMic GO
  • HS2
  • RØDELink Filmmaker Kit
  • SmartLav+ (bila menggunakan SC3 Adapter)

Sumber: Diyphotography

Panasonic dan Leica Umumkan Sepasang Lensa L-mount

Dalam waktu yang berdekatan, Panasonic dan Leica telah mengumumkan masing-masing satu lensa L-mount terbarunya. Adalah lensa zoom telephoto Lumix S 70-300mm F4.5-5.6 Macro OIS dan lensa fix wide angle APO-Summicron-SL 28mm F2 ASPH.

Mari bahas mulai dari Lumix S 70-300mm F4.5-5.6 Macro OIS, lensa ini memiliki 17 elemen dalam 11 grup termasuk elemen ultra extra low-dispersion, extra low-dispersion, dan ultra high-refractive index glass. Grup fokusnya digerakkan oleh motor linier dan diklaim punya focus breathing yang minim untuk menangani kebutuhan video.

Lensa Panasonic tersebut dilengkapi image stabilizer dan mendukung Dual Image Stabilizer (IS) yang dapat mengurangi guncangan hingga 5,5 stop. Jarak fokus minimumnya 54cm pada sudut lebar dan dapat menangkap gambar makro setengah ukuran aslinya pada focal length 300mm (pembesaran maksimum 0,5x).

Bodi lensanya tahan terhadap debu dan kelembaban, serta dapat berfungsi pada kondisi ekstrem 10°C atau +14°F. Beratnya mencapai 790g dengan ukuran filter ulir 77mm. Rencananya lensa Panasonic Lumix S 70-300mm F4.5-5.6 Macro OIS akan dikirimkan pada bulan April dengan harga promo $999 (Rp14 jutaan) dari harga normal US$1249 (Rp17,5 juta).

Beralih ke Leica APO-Summicron-SL 28mm F2 ASPH yang sangat cocok untuk fotografi reportase, interior, dan arsitektur. Lensa ini memiliki 13 elemen, 6 diantaranya elemen aspherical, dengan beberapa elemen berjenis anomalous partial dispersion untuk mengurangi chromatic aberration. Jarak fokus minimumnya 24cm dengan pembesaran maksimum 0,2x.

Grup fokus digerakkan oleh motor penggerak yang disebut Leica ‘Dual Syncro Drive‘. Memiliki desain cincin fokus manual baru yang menggunakan medan magnet untuk meningkatkan daya tanggap dan presisi. Lensa ini juga sudah weather-sealed, beratnya 700 gram tanpa hood, dan ukuran filternya 67mm. Harga Leica APO-Summicron-SL 28mm F2 ASPH dibanderol US$5.195 atau sekitar Rp73 jutaan.

Sumber: Dpreview 1 dan 2

Alice Camera Adalah Kamera Mirrorless dengan Kemampuan Computational Photography ala Smartphone

Pesatnya perkembangan teknologi kamera smartphone membuat kita jadi semakin sering membandingkannya dengan kamera mirrorless. Padahal, kedua perangkat tentu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Untuk kamera smartphone, kelebihannya jelas terletak pada sederet teknik computational photography yang diterapkan, fitur Night Mode contohnya. Kendati demikian, kamera smartphone masih belum bisa menyaingi fleksibilitas yang ditawarkan mirrorless, terutama terkait kemudahan menggonta-ganti lensa sesuai kebutuhan.

Di luar sana, rupanya ada sebuah startup bernama Photogram yang sedang mencoba untuk menggabungkan kelebihan kedua perangkat tersebut. Buah pemikiran mereka adalah Alice Camera, sebuah kamera unik yang menawarkan keunggulan dari sisi software ala smartphone, sekaligus keunggulan dari sisi hardware ala kamera mirrorless.

Secara teknis, Alice merupakan sebuah kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) beresolusi 10,7 megapixel. Penggunaan sensor MFT berarti ia kompatibel dengan lensa-lensa bikinan Panasonic, Olympus, Sigma, Voigtlander, maupun dari pabrikan-pabrikan lain yang memang menggunakan jenis dudukan MFT. Lensa dengan jenis dudukan lain pun juga bisa digunakan dengan bantuan adaptor.

Dimensi sensor MFT memang tidak sebesar sensor full-frame, tapi masih jauh lebih besar daripada sensor kamera smartphone pada umumnya. Sederhananya, dari segi hardware saja Alice sudah cukup unggul, tapi ternyata kamera ini turut mengandalkan algoritma-algoritma berbasis AI untuk mengoptimalkan hasil jepretannya lebih jauh lagi layaknya kamera smartphone.

Untuk mewujudkan teknik-teknik pemrosesan yang advanced itu, Alice mengandalkan Edge TPU, chip machine learning yang dirancang oleh Google. Mulai dari autofocus, white balance, dynamic range, sampai noise reduction, semuanya akan dioptimalkan menggunakan algoritma-algoritma berbasis AI tersebut.

Namun sebagai sebuah kamera mirrorless, Alice tentu masih menyediakan mode pemotretan manual bagi pengguna yang sudah berpengalaman. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah, Alice tidak mempunyai layar sama sekali. Sebagai gantinya, pengguna dapat menjepitkan smartphone ke bagian belakangnya, dan itu juga berarti semua opsi pengaturannya harus diakses melalui aplikasi smartphone.

Berhubung Alice terhubung langsung dengan smartphone, kegiatan seperti live streaming pun bisa dilangsungkan semudah menggunakan smartphone itu sendiri. Menariknya, Photogram merancang software Alice dengan prinsip open-source, yang berarti siapapun bebas memodifikasi atau menambahkan fitur baru.

Secara fisik, Alice terlihat sangat minimalis dengan gaya desain industrialnya. Bodinya terbuat dari aluminium utuh, dengan hand grip yang menyatu secara seamless. Kendati demikian, bobotnya tergolong ringan di kisaran 350 – 375 gram, dan berhubung ia tidak punya LCD, tebal bodinya pun tidak lebih dari 35 mm.

Alice sejauh ini masih berstatus prototipe, akan tetapi pengembangnya sudah menerima pre-order melalui platform crowdfunding Indiegogo. Di sana, harga paling murahnya (early bird) dipatok £600 (± 11,6 jutaan rupiah). Kalau sesuai jadwal, konsumen bakal menerima pesanannya mulai Oktober 2021.

Sumber: DP Review.

Samsung Jelaskan Cara Kerja Teknologi HDR Baru Smart-ISO Pro Pada Sensor Gambar ISOCELL

Pemandangan dengan kontras tinggi kadang dapat dijumpai disela-sela kegiatan sehari-hari. Meski terlihat menakjubkan pada pandangan mata kita, namun tidak mudah untuk mengabadikannya dengan kamera smartphone. Entah itu hasilnya cenderung overexposure atau underexposure, di mana area bayangan terlihat terlalu gelap dan sorotan langit terlalu terang yang menyebabkan hilangnya detail informasi penting.

Untuk memaksimalkan rentang dinamis pada kamera smartphone, Samsung memperkenalkan teknologi High Dynamic Range (HDR) baru untuk sensor gambar ISOCELL buatannya yang disebut Smart-ISO Pro. Untuk memahami cara kerjanya, Samsung menjelaskan cara sensor gambar menangkap cahaya, dalam fotografi digital – conversion gain menentukan sensitivitas cahaya dari sensor dan digunakan untuk mengubah cahaya menjadi voltage.

Saat memotret di lingkungan dengan cahaya redup, detail di area gelap bisa hilang jika conversion gain terlalu rendah. Sebaliknya, sensor juga mungkin tidak dapat mempertahankan informasi warna yang memadai jika conversion gain terlalu tinggi saat memotret di lingkungan terang.

Sebagian besar sensor gambar seluler memiliki conversion gain tetap, imbasnya sulit bagi kamera smartphone untuk secara konsisten menghasilkan foto berkualitas di lingkungan pencahayaan dengan kontras tinggi. Namun dengan teknologi Smart-ISO Pro, sensor memiliki dua tingkat conversion gain yaitu mode ISO tinggi dan rendah untuk meningkatkan dynamic range, sehingga memungkinkan kamera untuk memilih pengaturan yang optimal sesuai kondisi.

Saat pencahayaan rendah, mode ISO tinggi akan mengubah cahaya menjadi voltage dengan conversion gain yang lebih tinggi untuk mempertahan detail pada bayangan sekaligus mengurangi noise. Sementara, mode ISO rendah akan memaksimalkan kapasitas setiap piksel untuk mencegah oversaturation dan meningkatkan reproduksi warna di area yang cerah.

Singkatnya kamera smartphone akan menjepret dua kali, satu dengan mode ISO tinggi dan satu lagi dalam mode ISO rendah. Kemudian menggabungkannya menjadi satu gambar dengan rentang dinamis tinggi untuk mempertahankan detail termasuk pada area gelap dan terang, serta warna yang seperti aslinya berkat dukungan kedalaman warna 12-bit.

Sumber: Samsung

Venus Optics Merilis 4 Lensa Laowa untuk Sistem Kamera L-mount

Dalam industri fotografi, ekosistem lensa yang luas sangatlah penting pada sebuah sistem kamera. Bukan hanya koleksi lensa native dari pihak pertama yang harus cukup lengkap, tetapi juga dukungan pabrikan lensa pihak ketiga.

Baru-baru ini Venus Optics mengumumkan akan membawa empat lensa Laowa ke sistem kamera L-mount. Meliputi Laowa 4mm F2.8 Fisheye, Laowa 9mm F2.8 Zero-D, Laowa 24mm F14 2x Macro Probe, dan Laowa 25mm F2.8 2.5–5x Ultra Macro.

Keempatnya bukan lensa yang benar-benar baru, melainkan sudah pernah dirilis sebelumnya. Sekedar informasi, sistem kamera full frame L-mount awalnya dikembangkan oleh Leica. Lalu di tahun 2018, Leica, Panasonic, dan Sigma membentuk aliansi L-mount Alliance untuk mengembangkan kamera dan lensa dengan L-mount.

Loawa L-mount 2

Mari bahas sedikit mulai dari Laowa 4mm F2.8 Fisheye, lensa ini sangat unik dan menyuguhkan perspektif yang sangat luas. Dibangun dari tujuh elemen dalam enam grup, dengan diafragma aperture tujuh bilah, rentang aperture dari F2.8 hingga F16, dan jarak pemfokusan minimum 80mm. Versi L-mount lensa ini akan tersedia pada bulan Maret dengan harga yang sangat terjangkau US$199 atau sekitar Rp2,7 jutaan.

Loawa L-mount 3

Lanjut ke Laowa 9mm F2.8 Zero-D, lensa ultra-wide ini dibanderol US$499 atau Rp6,9 jutaan. Dibangun dari 15 elemen dalam 10 grup, termasuk tiga elemen extra-low-dispersion dan Frog Eye Coating (FEC) agar mudah dibersihkan. Fitur lainnya termasuk diafragma aperture tujuh bilah, jarak pemfokusan minimum 12cm, dan punya jarak pemfokusan minimum 12cm.

Loawa-L-mount-4

Beralih ke Laowa 24mm F14 2x Macro Probe, lensa macro dengan rasio reproduksi maksimum 2:1 memiliki laras yang sangat panjang 40cm. Idenya untuk menjangkau subjek yang sulit didekati dengan lensa macro konvensional dan belakangan cukup hits di kalangan food videografer. Lensa ini dibanderol US$1.499 atau Rp20,9 jutaan, terdiri dari 27 elemen dalam 19 grup, termasuk elemen multiple extra-low-dispersion dan prism. Fitur lain meliputi diafragma aperture tujuh bilah dan rentang aperture dari F14 hingga F40.

Loawa L-mount 5

Terakhir Laowa 25mm F2.8 2.5–5x Ultra Macro juga tidak kalah unik, karena memiliki rasio reproduksi maksimum 2.5:1 dan 5:1. Lensa ini dibanderol US$399 atau Rp5,5 juta, tersusun dari delapan elemen dalam enam grup, dilengkapi diafragma aperture delapan bilah, dengan jarak pemfokusan minimum dari 17,3mm pada pembesaran 5x hingga 23,4mm pada pembesaran 2.5x.

Sumber: DPreview

Bahas Lensa 7Artisans dan yang Perlu Diketahui Sebelum Membelinya

Pada bulan Oktober 2020 lalu, saya akhirnya kesampaian meminang 7Artisans 35mm F1.2. Lensa manual fokus ini sudah lama saya idam-idamkan, karena aperture-nya besar F1.2, bentuknya ringkas dengan material aluminium yang terasa premium, dan tentu saja harganya terjangkau.

Untuk pekerjaan yang menuntut kecepatan seperti garap video dan foto produk, saya masih mengandalkan lensa Sony E 18-105mm F4 G OSS di Sony A6400. Sementara, 7Artisans 35mm F1.2 ini saya jadikan lensa kedua untuk mengisi gap dan bermain kreativitas.

Baru-baru ini dua lensa terbaru 7Artisans telah mendarat di Indonesia, yaitu lensa pancake 7Artisans 18mm F6.3 (Rp925.000) dan yang lagi hot 7Artisans 35mm F0.95 (Rp2.990.000). Sangat menggiurkan bukan? Bagi yang tertarik, berikut rekomendasi dan informasi yang perlu diketahui sebelum membeli 7Artisans.

Dukungan Native Mount

7Artisans-2

7Artisans merancang lensa untuk berbagai sensor berbeda, termasuk Full Frame, APS-C, dan juga Micro Four Thirds (MFT). Salah satu kelebihan lensa 7Artisans ialah produsen lensa asal Tiongkok ini menyediakan dukungan native mount untuk beragam sistem kamera yang berbeda, artinya tidak perlu pakai adapter tambahan.

Pada awalnya, lensa 7Artisans tersedia untuk dudukan Leica M, Sony E, Fujifilm X, Canon EF-M, dan MFT. Belakangan untuk lensa terbarunya juga mendukung dudukan Canon RF dan Nikon Z. Jadi, satu model lensa tersedia dalam banyak mount dan tinggal sesuaikan dengan jenis sistem kamera yang Anda gunakan.

Namun khusus lensa Full Frame untuk kamera rangefinder digital Leica, 7Artisans merancangnya secara khusus dan hanya tersedia untuk Leica M-mount. Meski begitu, 7Artisans menyediakan adapter dari Leica M ke mount kamera mirrorless full frame seperti Sony misalnya.

Lensa Manual Fokus

7Artisans-4

Hal penting yang harus diketahui dan perlu dipertimbangan ialah seluruh lensa besutan 7Artisans tidak mendukung fitur autofocus. Bagi yang belum pernah menggunakan lensa manual fokus, mungkin bakal butuh waktu dan latihan ekstra untuk beradaptasi.

Tips memotret menggunakan lensa manual sudah pernah saya bahas sebelumnya. Ada beberapa pengaturan di kamera untuk membantu mendapatkan fokus seperti fitur focus peaking, focus magnifier, hingga penggunaan continuous shooting bila dibutuhkan.

Yang pasti menggunakan lensa manual 7Artisans sangatlah menantang, bikin sedikit frustasi, tetapi dengan kreativitas hasil bidikannya menjadi lebih unik. Perlu dicatat, karena tanpa pin kontak di lensa untuk berkomunikasi dengan bodi kamera, nilai dari aperture tidak terdeteksi alias selalu nol.

Harga Terjangkau

7Artisans-5
7Artisans 35mm F0.95

Harga yang terjangkau menjadi daya tarik utama dari lensa 7Artisans, mulai dari Rp800.000. Selisihnya jauh dengan lensa fix native buatan pihak pertama, tetapi model mana yang recommended?

Biar lebih mudah, lensa 7Artisans ini terbagi menjadi tiga kasta. Golongan pertama murah meriah, meliputi 7Artisans 25mm F1.8 (Rp790.000), 50mm F1.8 (Rp800.000), dan 18mm F6.3 (Rp925.000). Lensa-lensa ini cocok untuk pemula yang baru ingin coba-coba.

Golongan kedua ialah kelas menengah dengan cita rasa premium dan yang paling direkomendasikan. Mulai dari 7Artisans 55mm F1.4 (Rp1.490.000), 35mm F1.2 (Rp1.590.000), 7.5mm F2.8 (Rp1.990.000), 60mm F2.8 Macro (Rp2.090.000), 12mm F2.8 (Rp2.190.000), dan yang lagi hot 7Artisans 35mm F0.95 (Rp2.990.000).

Bisa dibilang, model lensa yang paling populer dari 7Artisans sejauh ini adalah 55mm F1.4 dan 35mm F1.2. Saat terpasang pada kamera APS-C Sony dan Fuji, panjang fokus tersebut menawarkan ruang pandang tele menengah dengan ekuivalen 82,5mm dan 52,5mm di full frame. Berpadu dengan aperture maksimum besar, hasil bidikannya pun punya bokeh yang menawan.

Untuk 7Artisans 35mm F0.95 pada harga Rp2.990.000 juga penawaran yang sangat menarik dengan kualitas optik lebih baik. Kalau mau menunggu, ada 35mm F1.2 mark II yang diharapkan juga akan segera hadir di Indonesia.

Terakhir golongan ketiga merupakan seri lensa premium dari 7Artisans untuk sistem kamera dengan sensor full frame. Termasuk rangkaian lensa untuk Leica M-mount seperti M75mm F1.25, M50mm F1.1, M35mm F2.0, M28mm F1.4, M35mm F5.6, dan M35mm F1.4. Serta, lensa full frame lainnya seperti 35mm F2.0, 35mm F1.4, dan yang terbaru 50mm F1.05.

 

KamLan KL 32mm F1.1 Adalah Lensa Manual Rp4 Jutaan untuk APS-C dan MFT

Dunia fotografi sangat luas dan mendalam, spesifikasi kamera penting tetapi tidak bergantung pada seberapa mahal dan canggih kamera yang digunakan. Kreativitas the man behind the camera dan lensa yang terpasang juga tak kalah berpengaruh.

Bicara soal lensa, masing-masing jenis lensa memang memiliki keunggulan dan karakteristik uniknya sendiri. Setelah lensa kit, menurut saya seorang penggemar fotografi harus memiliki satu atau lensa lensa prime atau fix. Sebab lensa ini memiliki aperture besar, pilihan lensa, dan harganya juga bervariasi, yang terjangkau ada banyak.

KamLan_32mm_F11_1

Sebut saja dari KamLan, baru-baru ini produsen lensa asal Tiongkok itu telah mengumumkan Kamlan KL 32mm f/1.1. Lensa manual fokus ini dirancang untuk sistem kamera dengan sensor APS-C dan Micro Four Thirds  (MFT) dengan harga US$300 atau sekitar Rp4,2 jutaan.

Saat terpasang dengan kamera mirrorless Fujifilm X-mount dan Sony E-mount, Kamlan KL 32mm f/1.1 menawarkan ruang pandang ekuivalen 48mm di full frame. Pada Canon EOS M series 51,2mm, sedangkan di kamera Panasonic Lumix dan Olympus adalah 64mm, focal length ini sangat populer dan serbaguna.

KamLan_32mm_F11_2

Lebih lanjut, konstruksi lensa Kamlan KL 32mm f/1.1 terdiri dari sembilan elemen dalam tujuh grup, lima diantaranya high-refractive class. Serta dilengkapi dengan diafragma 11 bilah dan memiliki jarak pemfokusan minimum 40cm.

Ring kontrol aperture-nya clickless dengan memiliki rentang aperture f/1.1 hingga f/11 dan ukuran filter depannya 62mm. Focal length sekitar 50mm dan aperture maksimum f/1.1 sudah terbayangkan, bokeh menawan yang dihasilkan.

Sumber: PetaPixel

Lomography Umumkan Lensa Atoll 17mm F2.8 Ultra Wide Art untuk Sistem Kamera Full Frame

Lomography telah membuka campaign crowdfunding untuk lensa terbarunya, Atoll Ultra-Wide 17mm F2.8 Art untuk sistem kamera mirrorless full frame. Lensa manual penuh ini terbuat dari material sandblasted, anodized aluminum, dan rancangan optiknya terdiri dari 13 elemen dalam 10 grup.

Lensa Atoll Ultra-Wide 17mm F2.8 Art memiliki dudukan asli Leica M-mount, namun Lomography menyediakan mount adapter ke Canon RF, Nikon Z, dan Sony E-mount. Dengan focal length 17mm, lensa ini menawarkan bidang pandang 103 derajat pada kamera full frame.

Lomography mengatakan, meski termasuk sangat lebar tetapi diklaim punya distorsi minimal dengan karakteristik warna yang vibrant dan kontras kuat. Serta, dioptimalkan untuk pengambilan foto maupun video dengan mekanisme pemfokusan helicoid.

Selain itu, lensa memiliki ring kontrol aperture yang diredam sehingga dapat beralih aperture dari terbuka penuh ke tertutup penuh dalam satu sapuan tanpa benturan atau klik. Rentang aperture-nya antara f2.8 hingga f22 dan menggunakan diafragma aperture delapan bilah.

Untuk versi Leica M-mount, Atoll Ultra-Wide 17mm F2.8 Art memiliki jarak fokus minimum 25cm. Sementara, versi dudukan Canon RF, Nikon Z, dan Sony E-mount memiliki jarak pemfokusan minimum 10cm berkat penggunaan adapter ‘close-up lens base‘. Ukurannya cukup ringkas, model yang terbesar versi Nikon Z memiliki diameter 73mm dan panjang 91mm.

Harga lensa Atoll Ultra-Wide 17mm F2.8 Art dibanderol US$399 atau (Rp5,6 jutaan) untuk versi Leica M-mount. Sementara, versi dudukan RF/Z/E mount dijual seharga US$449 (Rp6,3 jutaan) khusus penawaran early-bird di Kickstarter. Harga normal lensa ini masing-masing akan dijual US$549 dan US$600. Sejauh ini, Lomography telah berhasil mendanai dan mengirimkan 12 project Kickstarter dan unit pertama akan dikirim ke pendukung pada bulan Agustus 2021.

Sumber: DPreview

ND Filter Bawaan Fujifilm X100V Akhirnya Bisa Digunakan untuk Merekam Video

Fujifilm baru-baru ini mengumumkan perilisan pembaruan firmware baru untuk tiga kameranya, yakni Fujifilm X100V, X-T30, dan X-Pro3. Pembaruan ini akan datang pada akhir bulan Februari 2021 mendatang dan menambahkan fitur baru seperti dukungan untuk Fujifilm X Webcam serta banyak lagi.

Mari mulai dari X100V, dirilis tepat satu tahun yang lalu – X100V merupakan kamera compact premium yang sangat unik. Dikemas dalam bodi rangefinder yang ringkas, menawarkan tombol kontrol manual yang lengkap, serta memiliki hybrid viewfinder optical dan electronic.

Generasi ke-5 dari X100 series ini sudah menggunakan sensor, prosesor, dan lensa baru fix 23mm f/2 generasi kedua. Karena sudah menggunakan sensor CMOS X-Trans 4 26MP dan X-Processor 4, meski berorientasi pada fotografi, kemampuan video X100V juga meningkat signifikan.

X100V juga memiliki ND filter bawaan 4 stop, tetapi hanya bisa digunakan untuk foto. Lewat pembaruan firmware versi 2.00, ND filter tersebut bakal bisa dimanfaatkan untuk perekaman video. Fitur ini cukup berguna, karena memungkinkan menggunakan aperture besar dan menjaga motion blur yang alami dengan shutter speed mendekati 2x frame rate saat syuting di kondisi cahaya berlimpah.

Selain itu, software Fujifilm X Webcam bakal mendukung film simulation pada X100V. Lalu, saat menggunakan fitur digital teleconverter, pengguna kini dapat menyimpan foto dalam RAW + JPEG ke kartu memori.

Lanjut ke Fujifilm X-T30, versi hemat X-T3 ini juga mendapatkan firmware versi 1.40 yang kini dapat digunakan sebagai webcam lewat software Fujifilm X Webcam dengan menghubungkannya ke komputer melalui kabel USB dan mode film simulation juga bisa digunakan. Selain itu, rating informasi yang disimpan di kamera, kini dapat dilihat di software edit foto untuk peningkatan manajemen katalog.

Fujifilm-X-PRO3

Beralih ke Fujifilm X-Pro3 dengan firmware versi 1.20 memungkinkan untuk mengatur posisi bingkai terang ke lokasi bergesernya dalam mode optical viewfinder ketika tombol rana ditekan setengah. Dengan mengaktifkan fitur ini, kamera tidak perlu menyesuaikan kembali posisi binkai setiap kali fokus diperoleh.

Fitur tersebut juga tersedia untuk X100V dan X-Pro3 sendiri merupakan kamera mirrorless yang ditujukan untuk para fotografer berpengalaman yang merindukan sensasi memotret menggunakan kamera film. Punya hybrid viewfinder, dengan dual screen dengan panel LCD utama menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya yang secara dramatis akan mengubah kebiasaan cara memotret para penggunanya.

Sumber: Cined.com