Gaji Rata-Rata Pemain League of Legends European Championship Capai Rp3,9 Miliar

Prize pool yang besar jadi salah satu alasan mengapa esports menjadi perhatiah banyak orang. Dengan total hadiah sebesar US$34,3 juta (sekitar Rp484 miliar), The International 2019 adalah turnamen esports dengan prize pool terbesar sepanjang masa. Setengah dari total hadiah itu dibawa pulang oleh tim OG, yang berhasil menjadi juara The International dua tahun berturut-turut. Sementara pada Fortnite World Cup, pemenang kategori Solo, Kyle “Bugha” Giersdorf berhasil membawa pulang US$3 juta (sekitar Rp42 miliar). Namun, hadiah yang didapatkan oleh tim atau pemain pemenang berbeda dengan gaji yang pemain terima setiap bulannya dari tim dimana mereka bernaung.

League of Legends adalah salah satu game esports yang telah ada sejak hampir 10 tahun lalu. Setiap tahunnya, Riot Games juga mengadakan League of Legends World Championship, turnamen yang menjadi ajang bagi tim dan pemain esports terbaik di dunia. Selain itu, juga ada liga League of Legends untuk masing-masing kawasan. Misalnya, di Tiongkok, ada League of Legends Pro League, yang salah satu sponsornya adalah Nike. Sementara di Amerika Utara, terdapat League of Legends Championship Series (LCS) dan di Eropa, ada League of Legends European Championship (LEC).

Menurut Richard Wells, pendiri H2K Gaming dalam sebuah video, rata-rata gaji pemain LEC adalah €250 ribu (sekitar Rp3,9 miliar) per tahun, lapor ESPN. Itu artinya, setiap bulan, para pemain mendapatkan €20,8 ribu (sekitar Rp323 juta). Namun, angka itu adalah gaji rata-rata yang didapatkan pemain. Wells menyebutkan, pemain yang bermain di tim yang besar kemungkinan akan mendapatkan gaji yang lebih tinggi, sementara tim yang lebih kecil mungkin akan membayar pemainnya dengan nilai yang lebih rendah. Bagi para pemain yang bermain di tim LEC Academy, mereka mendapatkan €60 ribu (sekitar Rp932 juta) per tahun atau sekitar €5 ribu (Rp77,7 juta) per bulan.

Dalam videonya, Wells juga membahas tentang gaji yang diterima oleh pelatih tim LEC. Dia menyebutkan, rata-rata, para pelatih mendapatkan €100 ribu (sekitar Rp1,6 miliar) per tahun. Namun, angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan gaji yang didapatkan oleh pelatih tim LCS, yang mencapai US$500 ribu (Rp7,1 miliar) per tahun. Gaji pemain profesional di LCS juga lebih tinggi dari pemain LEC. League of Legends Championship Series Commissioner Chris Greeley mengatakan, gaji rata-rata pemain tim yang berlaga di LCS mencapai US$300 ribu (sekitar Rp4,2 miliar).

“Kami berusaha keras untuk menjadikan pemain pro LCS sebagai aspirasi bagi para fans kami,” katanya, menurut laporan Win.gg. “Gaji rata-rata pemain pro LCS adalah US$300 ribu, belum menghitung bonus atau hadiah turnamen.” Satu hal yang menarik, pada 2017, gaji rata-rata pemain LCS hanyalah US$105 ribu (sekitar Rp1,5 miliar). Itu artinya, gaji rata-rata pemain naik hampir tiga kali lipat dalam waktu dua tahun.

Ada beberapa alasan mengapa gaji rata-rata pemain LCS melonjak naik. Salah satunya adalah pertumbuhan industri esports yang pesat. Ekosistem esports League of Legends juga berkembang dengan cepat. Tahun lalu, dikabarkan, sebuah tim harus membayar US$10 juta (sekitar Rp141,2 miliar) untuk bisa bertanding di LCS. Dan ini bisa membuat pemain mendapatkan kenaikan gaji. Kemungkinan lain mengapa gaji rata-rata pemain LCS sangat tinggi adalah karena gaji besar yang diterima pemain bintang membuat gaji rata-rata pemain menjadi terlihat sangat tinggi. Menurut Greeley, gaji minimal pemain LCS adalah US$75 ribu (sekitar Rp1 miliar). Pemain bintang atau pemain tim besar kemungkinan mendapatkan gaji lebih dari itu. Alasan lain tim esports profesional rela membayar para pemainnya dengan gaji besar adalah untuk memastikan bahwa para pemain tetap membela timnya dan tidak keluar untuk menjadi streamer.

Tim LoL Fnatic. | Sumber: Fnatic
Tim LoL Fnatic. | Sumber: Fnatic

Tampaknya, gaji rata-rata pemain League of Legends memang cukup tinggi, terlepas di kawasan mana mereka bertanding. Sebagai perbandingan, gaji pemain League of Legends Champions Korea (LCK) mencapai sekitar 170 juta Won per tahun (sekitar Rp2,1 miliar). Sementara ketika JD Gaming mencari pemain profesional untuk bertanding di LPL, mereka menawarkan gaji mulai dari 500 ribu sampai 10 juta Yuan. (sekitar Rp1,05 sampai Rp21 miliar). Di Indonesia, League of Legends tidak terlalu dikenal sebagai game esports. Menurut riset yang dilakukan oleh DSResearch pada Juli lalu, dari 1.445 responden, hanya 30 persen orang yang tahu akan League of Legends sebagai game esports. Sebagai negara mobile first, tidak aneh jika dua game esports yang paling dikenal justru game mobile, yaitu Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground Mobile.

Sumber header: Dexerto

Riot Games Luncurkan Revenue Sharing League of Legends di Liga Amerika dan Eropa

Sebagai salah satu cabang esports terpopuler di dunia, rasanya tak afdal bila League of Legends tidak memiliki program untuk mensejahterakan para pemainnya. Seperti Dota 2 atau Rainbow Six: Siege yang menyediakan berbagai in-game item hasil kerja sama dengan tim-tim profesional, Riot Games baru-baru ini meluncurkan fitur yang memungkinkan penggemar untuk mendukung tim kesayangan secara langsung.

Fitur pertama adalah Fan Pass, sebuah item yang memberikan misi-misi tertentu pada pemain dengan berbagai imbalan menarik, termasuk emotes, icons, skins, dan sebagainya. Fan Pass ini dijual seharga 980 Riot Points, atau setara US$10. Tersedia di wilayah Brasil, Turki, Amerika Latin, Jepang, dan Oseania, hasil penjualan Fan Pass akan dibagi 50:50 dengan seluruh tim profesional di wilayah-wilayah tersebut.

Fitur baru kedua yaitu Team Pass. Mirip seperti Fan Pass, Team Pass juga memberikan misi dengan berbagai imbalan. Bedanya, imbalan-imbalan Team Pass ini memiliki tema yang berkaitan dengan tim yang dipilih. Setiap pemain hanya boleh membeli satu Team Pass untuk kompetisi LCS (League of Legends Championship Series) dan satu Team Pass untuk kompetisi LEC (League of Legends European Championship). Hasil penjualan Team Pass ini akan dibagi 50:50 dengan tim-tim dalam liga yang bersangkutan.

League of Legends - T1 x G2
Sumber: LoL Esports

Sebetulnya ini bukan pertama kalinya League of Legends menyediakan fitur serupa “Battle Pass” begini, namun biasanya Battle Pass itu hanya berlaku untuk satu turnamen saja. Sebaliknya, Fan Pass dan Team Pass berlaku selama satu musim. Ini merupakan salah satu cara bagi tim-tim profesional untuk mendapatkan penghasilan yang tidak bergantung pada uang hadiah turnamen saja.

“Kami rasa penting, seiring olahraga ini tumbuh, agar liga-liga, tim, dan para pemain saling berbagi dalam kesuksesan bersama,” demikian tulis tim LoL Esports dalam blog resminya. “Kami sangat gembira dengan peluncuran program ini dan akan terus mempelajari sebanyak-banyaknya aspek apa yang paling dihargai oleh penggemar esports seluruh dunia seiring kami melebarkan sayap lebih luas di masa depan!”

Satu fitur lagi yang baru diumumkan adalah fitur unik bernama Pro View. Tersedia untuk kompetisi LEC dan LCS mulai bulan Juni, fitur ini memungkinkan penggemar untuk membeli semacam keanggotaan premium untuk dapat melihat jalannya kompetisi secara lebih mendetail. Contohnya kemampuan mengganti sudut pandang dari kesepuluh pemain yang sedang bertanding, menampilkan pertandingan dalam empat layar sekaligus secara split-screen, dan sebagainya.

Team Liquid
Sumber: LoL Esports

Pro View juga menyediakan fitur untuk menyimpan momen-momen penting turnamen dalam bentuk video, statistik para pemain profesional, hingga fitur sosial untuk berinteraksi dengan sesama pemilik keanggotaan Pro View. Pada awalnya Riot Games hanya menyediakan Pro View dengan caster bahasa Inggris, tapi di masa depan dukungan bahasa lain juga akan diberikan.

Lebih mahal dari dua fitur sebelumnya, Pro View dijual seharga US$14,99 untuk masing-masing liga, atau bundel seharga US$19,99 untuk LEC dan LCS sekaligus. Hasil pembelian Pro View juga akan dibagi dengan tim-tim di liga terkait, namun Riot Games tidak menjelaskan pembagiannya secara detail.

Sumber: The Esports Observer, LoL Esports