Demi Regenerasi, 100 Thieves Meluncurkan 100 Thieves Next

League of Legends Amerika Utara memang memiliki permasalahan kualitas player pool. Impor pemain menjadi jalan keluar paling cepat dan efektif bagi tim yang bermain di NA LCS.

Tetapi mau sampai kapan region ini dijuluki sebagai rumah untuk pemain pensiunan? Contohnya adalah Bae “Bang” Jun-sik  yang pindah ke region Amerika Utara setelah memutuskan untuk berpisah dengan SKT T1. Bang, yang karirnya sudah menurun di tahun 2018, akhirnya menerima tawaran untuk bermain di region Amerika Utara.

Untuk perbandingan, NA LCS memiliki total 41 pemain yang berasal dari luar Amerika Utara. Sedangkan region Eropa LEC hanya memiliki 6 pemain impor. LPL Tiongkok sendiri ada 29 pemain dari luar Tiongkok. LCK Korea sama sekali tidak memiliki pemain impor.

Alasan dari meningkatnya pemain impor di NA LCS adalah kualitas talenta muda yang tidak mumpuni. Riot Games Amerika Utara sudah berusaha untuk membuat program guna membina talenta muda, yaitu dengan mengadakan NA Academy League. Merasa kurang efektif terhadap NA Academy League, 100 Thieves juga meluncurkan program mereka sendiri yaitu 100 Thieves Next.

 

Membina pemain yang masih sangat muda, 100X berisikan 3 pemain yang masih bersekolah. Chris “PapaSmithy” Smith sebagai General Manager League of Legends dari 100 Thieves berkata bahwa ia ingin memberikan kesempatan pada pemain muda untuk menjalani sekolah dan membangun karir esports mereka secara bersamaan. Sehingga ketika selesai bersekolah, mereka diharapkan untuk siap bersaing di NA LCS. Pemain-pemain ini diambil dari leaderboard peringkat Challenger League of Legends Amerika Utara.

Selain upaya dari organisasi dari 100 Thieves, Riot Games juga perlu mengembangkan programnya lebih lanjut lagi. Sampai saat ini masih terbukti bahwa NA Academy league belum sangat membantu untuk mengurangi pemain impor. Riot Games harus bekerja sama dengan para organisasi esports di Amerika Utara untuk membantu mereka melakukan scouting talenta baru.

Antara Esports dan Olahraga: Sebuah Kenyataan Pahit

Pada 2018, esports jadi bagian dari Asian Games yang diadakan di Jakarta, Indonesia; walau hanya sebagai pertandingan eksibisi. Dalam SEA Games yang diadakan di Filipina tahun 2019, esports menjadi cabang olahraga bermedali. Indonesia mendapatkan dua medali perak berkat esports. Salah satu streamer Fortnite terpopuler, Tyler “Ninja” Blevins bahkan percaya, hanya masalah waktu sebelum esports masuk ke Olimpiade. Terkait hal ini, International Olympic Committee mengatakan, mereka hanya akan mempertimbangkan untuk memasukkan game esports yang merupakan simulasi dari olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Semua ini menunjukkan bahwa esports semakin dianggap sebagai olahraga. Karena itu, tidak heran jika banyak orang yang membandingkan keduanya seperti dalam total hadiah.

Membandingkan esports dengan olahraga tradisional juga memudahkan para pelaku atau penggemar esports — yang biasanya merupakan anak muda — untuk menjelaskan bahwa industri esports kini telah semakin berkembang dan tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Newzoo memperkirakan, industri esports telah bernilai US$1,1 miliar pada tahun 2019. Sementara dari segi penonton, turnamen esports kini mendapatkan viewership hingga jutaan. Tak berhenti sampai di situ, kota tempat diselenggarakan turnamen esports juga mendapatkan untung karena turnamen esports terbukti memberikan dampak ekonomi positif pada perekonomian lokal.

League of Legends World Championship 2019. | Sumber: RIOT GAMES/COLIN YOUNG-WOLFL
League of Legends World Championship 2019. | Sumber: RIOT GAMES/COLIN YOUNG-WOLFL via Forbes

Mantan pemilik Echo Fox dan pemain profesional NBA, Rick Fox membandingkan turnamen esports dengan liga american football. Pada TMZ, dia berkata bahwa jumlah penonton esports kini mulai menyaingi Super Bowl, turnamen american football tahunan yang diadakan oleh NFL (National Football League). “Di Amerika Utara, american football memang populer, tapi olahraga ini tidak ada di level internasional,” kata Fox pada TMZ. “League of Legends adalah acara global. Jumlah penontonnya mulai menyaingi Super Bowl… dan angka ini terus naik setiap tahun.”

Fox bukanlah satu-satunya orang yang membandingkan esports dengan olahraga tradisional. Memang, Fox tidak salah dengan mengatakan bahwa pertumbuhan esports sangat pesat. Sayangnya, membandingkan esport dengan olahraga tradisional, dalam kasus ini american football, tidak memberikan gambaran keadaan industri esports yang akurat.

Membandingkan industri esports — misalnya dari segi jumlah penonton — dengan olahraga tradisional memang akan memudahkan pelaku untuk meyakinkan investor atau sponsor untuk mendukung organisasi atau turnamen esports tertentu. Masalah muncul ketika seseorang atau sebuah perusahaan memilah data yang mereka berikan pada calon investor, membuat industri esports terlihat lebih besar dari sebenarnya, demi mendapatkan investasi. Ini justru bisa melukai reputasi esports sebagai industri, membuat para investor dan sponsor menjadi kehilangan kepercayaan pada para pelaku industri esports.

Esports dan olahraga tradisional terkadang tak bisa dibandingkan

Fox membandingkan League of Legends, salah satu game esports paling populer di dunia (walau tak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia), dengan Super Bowl. Menurut data Riot Games, developer League of Legends, jumlah penonton League of Legends World Championship (LWC) pada 2018 mencapai 99,6 juta orang. Sementara penonton Super Bowl pada tahun yang sama mencapai 103,5 juta orang. Itu artinya, esports League of Legends — game yang baru merayakan ulang tahunnya ke-10 pada Oktober 2019 — dapat menyaingi liga american football yang telah berumur puluhan tahun. Tentu saja hal ini sangat membanggakan untuk League of Legends.

Team Liquid saat memenangkan LCS Summer Split 2019. | Sumber: Dot Esports
Team Liquid saat memenangkan LCS Summer Split 2019. | Sumber: Dot Esports

Namun, menurut VPEsports, LWC tidak seharusnya disandingkan dengan Super Bowl karena LWC adalah liga tingkat dunia, sementara Super Bowl hanya mencakup satu negara, yaitu Amerika Serikat. Super Bowl seharusnya dibandingkan dengan League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends untuk kawasan Amerika Utara. Pada puncaknya, jumlah penonton LCS hanya mencapai 494 ribu orang, jauh lebih rendah dari 103,5 juta orang penonton Super Bowl. Sementara pada tingkat global, LWC seharusnya dibandingkan dengan Piala Dunia. Penonton Piala Dunia mencapai 3,5 miliar orang, setengah dari populasi dunia. Ini akan membuat jumlah penonton LWC menjadi tidak terlihat ada apa-apanya.

Tebang pilih data

Kalau Anda sering mengikuti berita, Anda pasti familier dengan berita berjudul “clickbait“. Fenomena ini tidak hanya terjadi di media berita mainstream, tapi juga media esports. Masalahnya, “wartawan” yang membuat berita sensasional biasanya tidak segan-segan untuk tebang pilih data demi menampilkan berita yang fantastis nan bombastis. Dan ini bisa membuat salah persepsi tentang industri esports.

Kita ambil League of Legends World Championship sebagai contoh. Riot mengklaim bahwa ada 99,6 juta orang yang menonton babak final LWC, dengan 44 juta penonton menonton saat momen puncak. Namun, menurut Esports Charts, pada titik puncak, hanya 2 juta orang — sekitar 4 persen dari total 44 juta orang — yang berasal dari platform di luar Tiongkok. Sementara 96 persen sisanya merupakan penonton dari Tiongkok, yang biasanya memiliki data yang kurang akurat. Ini menunjukkan bahwa, di luar Tiongkok, penonton League of Legends jauh lebih sedikit dari penonton Super Bowl.

Super Bowl Halftime Show. | Sumber: GQ Australia
Super Bowl Halftime Show. | Sumber: GQ Australia

Tak hanya itu, data yang muncul tentang esports juga tak selamanya seragam. Misalnya, Newzoo mengatakan bahwa nilai industri esports pada 2022 akan mencapai US$1,8 miliar, sementara Goldman Sachs memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$3 miliar pada tahun yang sama. Hal ini juga lah yang mendorong perusahaan seperti Riot Games dan Activision Blizzard untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik dan intelijen pihak ketiga, seperti Nielsen. Organisasi esports sekalipun, seperti Astralis Group juga tertarik untuk bekerja sama dengan Newzoo demi memastikan bahwa data yang mereka dapatkan tentang industri esports memang akurat.

Sekalipun tidak ada masalah pada data esports saat ini, meskipun esports memang ditonton ratusan juta orang, ada satu masalah lain yang harus dipertimbangkan: popularitas tak menjamin keuntungan/pendapatan.

Populer =/= untung

Di Indonesia, Mobile Legends jadi salah satu game esports yang paling populer. Moonton juga serius dalam mengembangkan ekosistem esports game mobile tersebut. Total hadiah Mobile Legends Professional League Season 4 mencapai US$300 ribu, membuatnya menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar di Indonesia pada 2019. Tim-tim yang bertanding di MPL juga tim terbaik. Karena itu, jangan heran jika pengunjung MPL selalu ramai.

Meskipun begitu, pada MPL Season 3, jumlah pengunjung turun drastis. Alasannya? Karena tiketnya berbayar. Memang, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Di industri lain, seperti smartphone misalnya, harga juga masih menjadi salah satu pertimbangan utama dalam membeli smartphone. Dari sini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa esports mungkin memang populer, jumlah fansnya banyak dan masih muda, tapi popularitas tadi tidak serta merta membuatnya jadi mudah untuk menarik pendapatan dari pasar ini.

Sementara itu, di kancah global, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari esports League of Legends sepanjang tahun. Mereka juga mengaku, bagi mereka, esports tak sekadar menjadi alat marketing, tapi sudah menjadi salah satu pilar bisnis mereka. Dari berbagai liga regional League of Legends, dua di antaranya bahkan telah menghasilkan untung, yaitu League of Legends Professional League di Tiongkok dan League of Legends Korea Championship (LCK) untuk Korea Selatan. Namun, ada beberapa turnamen League of Legends yang tak terlalu sukses sehingga memaksa Riot untuk melakukan konsolidasi.

Tencent League of Legends Pro League
LPL adalah liga League of Legends paling prestisius di Tiongkok | Sumber: The Esports Observer

Anda mungkin berpikir, jumlah yang dihasilkan oleh esports League of Legends sudah besar, tapi, angka itu masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan atau keuntungan yang didapat turnamen olahraga akbar. Piala Dunia 2018 misalnya, meraih pendapatan sebesar US$5,3 miliar dan mendapatkan untung US$3,5 miliar. Sementara pasar liga sepak bola di Eropa memiliki pendapatan sampai US$31,6 miliar. Ini menunjukkan bahwa esports memang masih belum bisa menyaingi olahraga tradisional, seperti sepak bola.

Namun, itu bukan berarti esports tak memiliki potensi. Jika dibandingkan dengan sepak bola, umur esports jauh lebih muda. League of Legends, salah satu game esports terbesar di dunia, diluncurkan pada 2009. Turnamen untuk game tersebut dimulai pada 2011. Sementara kompetisi esports pertama, yaitu Space Invaders Championship yang diadakan oleh Atari, diadakan pada 1980. Sebagai perbandingan, Premier League pertama kali diadakan pada 1992, La Liga pada 1929, dan Piala Dunia telah diadakan setiap empat tahun sekali sejak 1930. Jadi, jangan kecil hati jika esports saat ini masih belum bisa menyamai industri sepak bola. Dari segi umur, industri esports ibarat masih sedang imut-imutnya.

Kesimpulannya…

Sekarang, Anda mungkin mulai meragukan potensi industri esports; mulai berpikir, kalau esports tak lebih dari sekadar hype. Membuat Anda ragu akan potensi esports, bukan itu tujuan dari tulisan ini. Saya percaya, esports memiliki potensi untuk berkembang. Mengingat umur industri esports yang masih muda, tak aneh jika pendapatannya masih belum sebanding dengan industri olahraga tradisional yang telah lama ada. Namun, itu bukan berarti esports tak berpotensi untuk tumbuh besar. Startup seperti GoJek telah membuktikan bahwa startup yang masih muda pun bisa bersaing dengan perusahaan tua seperti BlueBird.

Hanya saja, dalam era post-truth seperti sekarang, Anda bisa mengakses informasi apapun yang Anda mau dengan mudah. Masalah yang ada adalah memastikan Anda tahu informasi secara menyeluruh. Half-truth is more dangerous than a lie. Ketika Anda menemukan informasi baru, pastikan bahwa Anda mendapatkan informasi yang lengkap. Anda harus memastikan bahwa gambar yang Anda lihat memang gambar yang utuh dan bukan satu potong gambar yang sudah dibingkai oleh pihak ketiga.

Sumber header: Colin Young-Wolff/Riot Games via The Washington Post

Season Pass NA LCS Dijual Seharga Rp13 Juta

Penggemar League of Legends yang betul-betul mengikuti gelaran acara North America LCS diberikan kemudahan oleh Riot Games untuk menonton secara langsung di NA LCS Studio. Setelah sekian lama, akhirnya Riot Games membuat Season Pass untuk para penggemar NA LCS. Mengikuti Valve dengan Battle Pass Dota 2, Riot Games mulai memanfaatkan momen berjalannya suatu turnamen dari penggemarnya.

Riot Games menjual Season Pass NA LCS di website-nya dengan harga US$950 atau setara sekitar Rp13 juta. Memang terhitung mahal, tetapi banyak sekali yang ditawarkan oleh Riot Games di Season Pass ini. Penggemar akan mendapatkan 18 tiket regular season dan 6 tiket playoffs. Satu tiket untuk acara regular season NA LCS adalah seharga US$30. Harga Season Pass tadi memang terlihat lebih mahal dibandingkan membeli tiket secara satuan tapi bukan tiket saja yang akan Anda dapatkan dari Season Pass ini. Anda bisa mendapatkan hak istimewa untuk memilih kursi  di barisan paling depan dan menggunakan kursi tersebut sepanjang musim NA LCS berlangsung. Berarti, tidak ada orang yang boleh duduk di kursi Anda. Karena tiket sering kali terjual habis, dengan Season Pass ini Anda dipastikan akan mendapatkan kursi ketika acara berlangsung.

Sumber: Flickr TSM Fans
Sumber: Flickr TSM Fans

Selain kemudahan untuk menonton acara, Anda juga diberikan beberapa hadiah eksklusif seperti custom prestige LCS shirts, kesempatan untuk berfoto bersama para talent NA LCS dan mousepad yang dapat Anda desain sendiri sesuai nickname Anda. Tiket yang Anda dapatkan dari Season Pass ini hanya untuk gelaran regular season dan playoffs. Untuk partai final, memang tidak termasuk dari Season Pass. Tetapi, Anda mendapatkan hak early access untuk membeli tiket final. Jadi Anda bisa memastikan agar tidak kehabisan tiket untuk partai final NA LCS. 

Season Pass ini dijual secara terbatas, melihat terbatasnya kursi yang ada di barisan paling depan. Ada 16 Season Pass yang akan dijual ke penggemar League of Legends.

Sumber: Esports Edition
Sumber: Esports Edition

Penjualan Season Pass ini memang tidak untuk semua orang. Selain harus mengeluarkan uang yang cukup banyak, tergolong sulit juga untuk menonton acara tersebut setiap 3 hari dalam seminggu. Keuntungan yang didapat dari Season Pass ini akan lebih maksimal apabila dibeli oleh penggemar berat NA LCS yang yakin akan sering datang ke gelaran acara tersebut.

Tahun 2020, T1 Targetkan Buat Program Komersial

Pada Oktober 2019, SK Telecom T1 melakukan rebranding dan mengubah nama menjadi T1. Alasannya, karena SK Telecom memutuskan untuk membuat perusahaan joint venture bersama perusahaan telekomunikasi lain, Comcast. Dengan begitu, organisasi esports yang tadinya ada di bawah SK Telecom sepenuhnya, sekarang menjadi tanggung jawab perusahaan joint venture tersebut. Inven Global mendapatkan kesempatan untuk mengobrol dengan CEO T1, Joe Marsh untuk membahas tentang perubahan yang terjadi setelah rebranding dan juga tujuan mereka ke depan.

“Perubahan nama dan logo adalah perubahan yang paling terlihat,” kata Marsh ketika ditanya tentang perubahan yang terjadi pada T1 setelah mereka melakukan rebranding. Dia mengatakan, jika mereka tetap menggunakan nama SK Telecom T1, mereka akan kesulitan untuk memperkenalkan diri mereka di luar Korea Selatan.

“Namun, tujuan kami bukanlah untuk mengubah organisasi, tapi melanjutkan dan memperbaiki apa yang sudah kami lakukan dan membuka kesempatan baru,” ungkap Marsh. Salah satu kesempatan baru yang dia maksud adalah program komersial untuk T1. “Sebelum SK Telecom dan Comcast membuat perusahaan joint venture, tim T1 hanyalah bagian dari divisi marketing SK Telecom, jadi mereka tidak perlu untuk mencari sponsor lain selain perusahaan telekomunikasi itu.”

SK Telecom T1. | Sumber: Riot via Dexerto
SK Telecom T1. | Sumber: Riot via Dexerto

Marsh memberikan contoh kolaborasi T1 dengan Nike pada minggu lalu. Kolaborasi tersebut tidak hanya memberikan modal ekstra untuk T1, tapi memungkinkan mereka untuk mendekatkan diri dengan perusahaan dan merek kelas dunia. “Membuat program komersial harus dilakukan jika sebuah organisasi ingin bisa mandiri. Dan ada banyak organisasi esports kelas dunia yang mulai melakukan hal itu,” ujarnya. “Kami telah memiliki pola pikir ini sejak kami memiliki Philadelphia Flyers di National Hockey League (NHL). Seiring dengan kenaikan gaji dan penanaman investasi di infrastruktur, seperti pembangunan markas baru kami, Anda akan memerlukan sumber pendanaan lain selain investor Anda.”

Selain itu, Marsh mengungkap, T1 juga akan mencari game esports lain yang tengah populer. “Mencari kesempatan yang sesuai, baik di Amerika Utara, Asia, dan Eropa, yang memungkinkan kami untuk membuat tim yang benar, itu yang kami lakukan,” ungkapnya. “Ekosistem mobile gaming, khususnya di Asia Tenggara, lebih besar dari konsol dan PC, jadi kami juga mencoba untuk mencari kesempatan di sini. Kami tidak ingin menjadi tim yang biasa saja. Kami ingin menang dan menjadi yang terbaik.”

Ketika ditanya tentang target T1 pada 2020, Marsch mengatakan bahwa mereka ingin terus memperbaiki diri mereka dan membuat para fans bangga. Dengan masuknya tim Comcast, termasuk Marsh, dia ingin ada perubahan dalam tubuh organisasi. Meskipun begitu, dia juga ingin memastikan bahwa tim esports tetap menjadi fokus utama mereka. Sementara untuk jangka panjang, salah satu tujuan T1 adalah membangun markas mereka sendiri. “Selain itu, meski T1 sangat populer di Korea Selatan dan Tiongkok, kami ingin melebarkan sayap kami dan memperkenalkan organisasi ini ke Amerika Utara, Eropa. Jadi, mencoba game esports lain adalah target kami yang lain,” dia berkata.

Joe Marsh, CEO T1. | Sumber: Inven Global
Joe Marsh, CEO T1. | Sumber: Inven Global

Selain itu, T1 juga berencana untuk bereksperimen di ranah lain selain gaming, terutama karena dua perusahaan induk mereka — SK Telecom dan Comcast — merupakan perusahaan media dan teknologi. “Kami tidak ingin menjadi organisasi yang mengikuti tren, tapi menjadi organisasi yang pertama melakukan sesuatu yang baru,” ujar Marsh. Dia mengaku tidak sabar untuk melihat kerja sama T1 dengan Riot Games, developer dan publisher dari game League of Legends.

Sebagai CEO T1, Marsh mengatakan bahwa fokus mereka tahun ini adalah untuk membuat pondasi dari rencana mereka di masa depan, mulai dari memindahkan tim-tim ke markas mereka yang baru dan menjalankan program latihan baru yang didesain oleh Nike.

“Kami akan membuat gym standar Nike di markas kami, sehingga para pemain profesional juga bisa melakukan olahraga fisik. Kami harap, ini tidak hanya akan membuat mereka menjadi lebih sehat, tapi membuat karir mereka menjadi lebih panjang,” aku Marsh. “Kami juga akan menyediakan chef untuk membuat makanan dengan nutrisi yang sesuai untuk para pemain. Kami harap kami bisa mengubah pandangan akan pemain profesional. Para pemain kami berkata, mereka biasanya tidur larut malam, jadi kami harap kami juga bisa membuat mereka memiliki gaya hidup yang lebih sehat.”

Sumber header: Twitter

Sneaky Pindah Halauan Jadi Full Time Live-streamer

Zachary “Sneaky” Scuderi memutuskan untuk beristirahat dari dunia kompetitif League of Legends dan menjadi fulltime live-streamer. Sneaky merupakan ADC veteran yang telah lima kali mewakili region Amerika Utara di ajang Worlds Championship. Kemampuannya sebagai ADC sudah diakui ketika ia dan timnya berhasil mendapatkan promosi ke NA LCS Summer 2013 dan menjuarainya di musim yang sama.

Sumber: X Games
Sumber: X Games

Sampai akhirnya pada bulan November 2019, Cloud9 mengumumkan ADC baru yaitu Jesper “Zven’ Svenningsen. Sneaky tidak akan bermain dengan Cloud9 di NA LCS pada tahun 2020. Pada sesi stream-nya Sneaky menjelaskan bahwa rekan-rekan timnya tidak lagi ingin bermain dengannya. Cloud9 memberikan tawaran untuk Sneaky mendapatkan kembali tempatnya di tim. Yaitu dengan cara melakukan rotasi bermain bersama Zven. Tetapi Sneaky tidak menginginkan hal tersebut. Ia berkata “untuk apa saya berjuang memperebutkan tempat di tim yang sudah tidak ingin bermain lagi dengan saya.”

Selain dikenal karena kehebatannya sebagai ADC, Sneaky juga mulai menambah jumlah penggemarnya dengan melakukan livestreaming dan cosplay. Beberapa hasil cosplay-nya memang berhasil membuat internet gempar. Sneaky melakukan cosplay crossdressing yang membuat orang tidak percaya bahwa ia bisa menjadi cantik sekali. Bahkan ia membuat akun patreon dan menjual foto-foto hasil cosplay miliknya. Sampai Januari 2020 ini, Sneaky memiliki 1.58 juta followers di Twitch-nya.

Sneaky sebagai KDA Ahri | Sumber: win.gg
Sneaky sebagai KDA Ahri | Sumber: win.gg 

Tentu keputusannya untuk menjadi full-time streamer tidak akan mendapatkan kendala. Melihat popularitas yang sudah ia miliki sekarang, karir sebagai streamer memang bisa diandalkan. Ditambah lagi Sneaky menyebutkan di tweet-nya bahwa ia sangat menyukai live streaming.

Sneaky juga menjelaskan bahwa ia belum memiliki niat untuk pensiun. Istirahat dari ranah kompetitif ini hanya sementara baginya, sampai ia menemukan kembali dorongan untuk bermain secara kompetitif. Hingga kini, belum ada tawaran menarik dari tim lain untuknya. Jack Etienne juga disebut oleh Sneaky telah banyak membantu dirinya untuk mencari kesempatan bermain di tim lain.  Sneaky pun berterima kasih karena Jack tidak menutup kesempatan Sneaky untuk pindah ke tim lain.

Nike Sponsori Seluruh Tim T1, Termasuk Faker

T1 Entertainment & Sports mengumumkan kerja samanya dengan Nike. Melalui kerja sama ini, Nike akan menyediakan pakaian dan sepatu untuk semua pemain dan tim esports T1, Lee “Faker” Sang-hyeok, yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik sepanjang masa. Selain itu, Nike juga akan membuat seragam untuk tim T1 dan merchandise berupa pakaian untuk para fans.

Tidak berhenti sampai di situ, Nike juga berencana untuk membangun tempat latihan di markas T1 yang terletak di ibu kota Korea Selatan, Seoul. Nike juga akan membantu T1 dalam membuat program latihan untuk pemain T1. Tujuannya adalah untuk “meningkatkan kemampuan atletik pemain dan tim T1.”

“Saya tidak sabar untuk melihat bagaimana program pelatihan Nike akan meningkatkan performa tim kami dan keseluruhan pemain T1,” kata Faker, dikutip dari Foot Wear News. “Menarik untuk melihat Nike mendukung ekosistem esports dan kami tidak sabar untuk mewakilkan Swoosh di pertandingan.”

Sementara itu, menurut laporan The Esports ObserverBrant Hirst, Marketing Director, Nike Korea berkata, “Kami tertarik untuk mempelajari lebih lanjut kaitan antara kesehatan fisik dengan performa gaming pemain. Atlet-atlet esports T1 memiliki kemampuan unik. Kami percaya, kami akan bisa meningkatkan kemampuan merkea dengan metode latihan yang sesuai.”

Nike pertama kali masuk ke ranah esports pada tahun lalu. Ketika itu, mereka bekerja sama dengan TJ Sports untuk mensponsori League of Legends Pro League (LPL) di Tiongkok. Sementara itu, T1 dulunya bernama SK Telecom. Nama organisasi esports itu berubah menjadi T1 setelah dua perusahaan telekomunikasi raksasa, SK Telecom dan Comcast memutuskan untuk bekerja sama membuat joint venture. Sejauh ini, T1 paling dikenal dengan tim League of Legends mereka. Tim tersebut telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, paling banyak jika dibandingkan dengan organisasi lain.

Kia Motors dan Alienware Kembali Sponsori Liga League of Legends Eropa

Kia Motors akan kembali menjadi sponsor dari League of Legends European Championship (LEC). Mereka akan menjadi presenting sponsor dalam segmen “Player of the Game”, yaitu bagian ketika caster dan analis liga League of Legends Eropa membahas tentang performa para pemain sepanjang turnamen. Selain itu, Kia Motors juga akan menjadi presenting sonsor untuk penghargaan “All-Star of the Split” dan “MVP of the Split”, yang diberikan pada akhir turnamen. Dalam berbagai kegiatan LEC offline, mobil-mobil Kia juga akan dipajang. Tak hanya itu, Kia Motors juga berencana untuk melakukan “roadshow”. Sayangnya, belum ada informasi detail terkait hal ini, menurut The Esports Observer.

“Kami senang karena Kia Motors memutuskan untuk memperkuat kerja sama dengan kami. Kini kami adalah salah satu rekan kerja sama premium mereka, seperti NBA dan Kia MVP Ladder. Pencapaian ini memungkinkan kami untuk melanjutkan momentum dari 2019 dan memperkuat reputasi Kia yang konsisten dengan kerja sama mereka,” kata Alban Dechelotte, Head of Sponsorship & Business Development EU Esports, Riot Games, menurut laporan Inven Global.

Sementara itu, Michael Choo, Head of Brand Experience Team, Kia Motors mengatakan bahwa sebagai rekan LEC, mereka ingin dapat mendekatkan diri dengan fans esports. “Untuk LEC 2020, dalam acara online dan offline, kami ingin menunjukkan mobil dan SUV kami dan membuktikan bagaimana Kia dengan cepat menjadi perusahaan mobil yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

Kia Motors bukan satu-satunya perusahaan yang memutuskan untuk menjadi sponsor dari LEC. Alienware juga kembali membuat perjanjian dengan Riot Games. Dengan perjanjian yang berlangsung selama lebih dari setahun tersebut, Alienware akan menjadi penyedia resmi untuk PC dan monitor di LEC. Alienware akan menyediakan desktop Aurora P9 sebagai PC dan monitor AW2521HF 240 Hz IPS untuk monitor. Selain itu, Alienware juga akan menjadi presenting partner dari Match of the Week, segmen yang akan menunjukkan bagian paling menarik dari pertandingan LEC sepanjang minggu.

“Sebagai sebuah liga, pertumbuhan viewership LEC sangat baik. Dan liga ini juga sangat sukses di kancah internasional,” kata Bryan DeZayas, Director of Global Marketing, Alienware. “Tim kamera dan broadcast yang mumpuni dari LEC dapat membuat konten yang menarik untuk dinikmati semua penonton. Performa yang baik dari tim-tim hebat seperti G2, Fnatic, dan Schalke menunjukkan dunia bahwa pemain dan pertandingan esports terbaik bisa ditemukan di LEC.”

Turnamen Dunia Free Fire Jadi Salah Satu Turnamen Terpopuler Sepanjang 2019

Tahun lalu, semakin banyak perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor esports, baik turnamen esports maupun organisasi esports. Salah satu alasannya adalah karena jumlah penonton esports yang terus naik. Esports Insider bekerja sama dengan Esports Charts untuk melacak data penonton turnamen esports. Laporan terbaru mereka membahas tentang turnamen esports yang paling banyak ditonton sepanjan tahun 2019.

Ada tiga tolok ukur yang digunakan dalam laporan ini, yaitu total jam turnamen ditonton, jumlah rata-rata penonton, dan jumlah penonton pada momen puncak. Satu hal yang harus diingat, data ini tidak menyertakan data penonton dari Tiongkok.

Total durasi turnamen ditonton
Berdasarkan total durasi turnamen ditonton, League of Legends World Championship (LWC) menjadi turnamen yang paling populer pada tahun lalu. Total durasi turnamen LWC ditonton mencapai 137 juta jam. Memang, format LWC dibuat sedemikian rupa sehingga penonton tertarik untuk menonton semua segmen turnamen, mulai dari babak kualifikasi, group stage, sampai babak final. Selain itu, turnamen ini juga berlangsung lebih lama jika dibandingkan dengan turnamen esports kebanyakan. LWC berlangsung selama hampir satu bulan dan diadakan di tiga kota di tiga negara, yaitu Berlin di Jerman, Madrid di Spanyol, dan Paris di Prancis.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

The International 2019 (TI9) menjadi turnamen yang paling lama ditonton kedua setelah LWC. Meskipun begitu, dari segi total hadiah turnamen, TI9 masih menjadi turnamen esports dengan hadiah paling besar. Posisi ketiga dan keempat diisi oleh turnamen Counter-Strike: Global Offensive, yaitu IEM Katowice Major dan StarLadder Major Berlin. Keduanya memiliki total durasi ditonton selama 53 juta dan 45 juta jam. Sementara posisi kelima diisi oleh League of Legends Mid-Season Invitational dengan total jam ditonton 43 juta jam.

Jumlah rata-rata penonton
Menariknya, jika tolok ukur popularitas turnamen esports diubah menjadi jumlah rata-rata penonton, maka turnamen esports yang paling populer adalah Free Fire World Series Rio. Meskipun begitu, baik LWC maupun TI9 masih tetap masuk daftar lima besar. Jumlah rata-rata penonton LWC mencapai 1 juta sementara jumlah rata-rata TI9 mencapai 726 ribu orang. Setelah Free Fire World Series Rio, Fortnite World Cup menjadi turnamen dengan jumlah rata-rata penonton terbanyak kedua.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Peak viewership
Sementara dari segi peak viewership — jumlah penonton pada momen puncak — League of Legends World Championship kembali duduk di posisi pertama dengan 3,9 juta penonton. Peringkat kedua diisi oleh Fortnite World Cup dengan jumlah penonton 2,3 juta orang. Sementara Free Fire World Series Rio ada di peringkat ketiga dengan jumlah penonton terbanyak mencapai 2 juta orang. TI9 dan Mid-Season Invitational ada di peringkat ke-4 dan ke-5 dengan jumlah penonton mencapai 1,9 juta dan 1,7 juta.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Laporan dari Esports Insider dan Esports Charts ini menunjukkan bahwa popularitas sebuah turnamen esports memiliki tolok ukur yang berbeda-beda. Namun, dari semua tolok ukur yang ada, League of Legends World Championship jelas menjadi salah satu turnamen paling populer. Sementara itu, Dota 2 tampaknya sangat menggantungkan diri pada The International untuk menarik perhatian penonton. Turnamen Free Fire juga terbukti tak bisa diremehkan. Di Indonesia, Free Fire menjadi salah satu game esports populer.

Sumber header: ONE Esports

Dota 2 Jadi Game Esports Berhadiah Terbesar

Esports kini menjadi bisnis serius. Salah satu indikasinya adalah dari hadiah turnamen yang semakin besar. Menurut laporan Esports Earnings, total hadiah dari semua turnamen esports yang pernah digelar mencapai lebih dari US$700 juta. Sayangnya, hadiah turnamen esports tidak merata. Ada game esports yang menawarkan total hadiah besar, seperti Dota 2. Namun, ada juga game esports yang total hadiahnya tidak terlalu besar, seperti Super Smash Bros.

Dari semua game esports yang ada, game esports berhadiah terbesar adalah Dota 2. Secara keseluruhan, turnamen esports dari game MOBA itu telah memberikan hadiah sebesar US$220 juta. Tidak heran, mengingat selama ini, The International memang selalu menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar. Tahun lalu, The International 9 menawarkan total hadiah sebesar US$34 juta. Setelah mengalahkan Team Liquid di babak final, OG keluar sebagai juara dan membawa pulang US$15 juta. Ini menjadikan tim OG sebagai tim esports dengan total hadiah kemenangan terbesar sepanjang 2019.

Menurut laporan The Hollywood Reporter, kelima anggota tim OG juga menjadi atlet esports dengan total hadiah kemenangan terbesar. Di posisi nomor satu, duduk Johan “N0tail” Sundstein. Pemain berumur 26 tahun asal Denmark ini merupakan kapten OG. Sepanjang karirnya, dia telah mengumpulkan US$6,8 juta sepanjang karirnya. Sementara posisi kedua diisi oleh Jesse “JerAx” Vainikka. Pemain asal Finlandia ini mendapatkan US$6,4 juta sepanjang karirnya. Dengan total hadiah sebesar US$6 juta, anggota OG asal Australia, Anathan “ana” Pham duduk di posisi ketiga. Posisi keempat diisi oleh pemain Prancis, Sebastian “Ceb” Debs sementara posisi kelima diduduki oleh Topias “Topson” Taavitsainen. Keduanya juga merupakan anggota tim OG.

Sumber: Esports Earnings
Tiga game dengan total hadiah turnamen terbesar. | Sumber: Esports Earnings

Selain Dota 2, game lain yang menawarkan total hadiah terbesar adalah Counter-Strike: Global Offensive. Sepanjang sejarah, CS:GO telah memberikan total hadiah turnamen sebesar US$87,1 juta. Fortnite dari Epic Games ada di peringkat ketiga dengan total hadiah sebesar US$84,4 juta. Dengan total hadiah sebesar US$73 juta, League of Legends menjadi game esports dengan total hadiah terbesar keempat. Posisi ke lima diisi oleh game strategi real-time buatan Blizzard, Starcraft II dengan total hadiah US$32,1 juta.

Kelima game esports dengan hadiah terbesar merupakan game PC. Berdasarkan laporan Esports Earnings, game esports mobile dengan total hadiah terbesar adalah Arena of Valor, yang secara keseluruhan telah memberikan hadiah turnamen sebesar US$11,7 juta. Game tersebut duduk di peringkat 11 dari daftar game-game esports berhadiah terbesar. Sementara Player Unknown’s Battleground Mobile duduk di peringkat 31 dengan total hadiah sebesar US$2,8 juta. Di Indonesia, esports mobile memang lebih berkembang. Namun, di kancah internasional, game PC seperti Dota 2, League of Legends, dan CS:GO, masih mendominasi esports scene.

California Sahkan Regulasi untuk Jamin Kesejahteraan Pemain Esports

Riot Games mengatakan bahwa esports kini telah menjadi bagian dari bisnis mereka. Memang, dari sejumlah liga League of Legends, dua di antaranya telah menghasilkan untung. Pemain profesional merupakan bagian penting dari turnamen esports. Tanpa atlet esports, tidak akan ada turnamen esports.

Masalah gaji, pendapatan pemain profesional sudah memadai. Rata-rata gaji minimal yang didapatkan oleh pemain League of Legends profesional adalah US$75 ribu per tahun dan pada 2018, rata-rata gaji pemain League of Legends Championship Series, liga di Amerika Utara, mencapai US$300 ribu. Meskipun begitu, pemain profesional tidak dianggap sebagai pekerja di bawah Riot Games. Memang, seorang pemain profesional biasanya menjalin kontrak dengan organisasi esports. Namun, untuk bergabung dengan tim League of Legends profesional, seseorang harus membuat kontrak dengan Riot Games sebagai publisher game tersebut.

Ini memberi Riot kuasa yang sangat besar atas para pemain. Mereka tidak hanya menentukan besar gaji yang diterima pemain, tapi mereka juga bisa mengharuskan para pemain untuk berlatih di tempat yang telah ditentukan perusahaan atau menggunakan perangkat yang digunakan oleh tim. Selain itu, Riot juga bisa membatasi kebebasan berpendapat dari para pemain. Misalnya, ketika Hong Kong melakukan protes atas Tiongkok, John Needham, Global Head of League of Legends Esports mendorong para atlet untuk tidak mengungkap pendapat pribadi mereka terkait isu sensitif, lapor Quartz.

Per 1 Januari 2020, regulasi baru bernama Assembly Bill 5 (AB5) mulai berlaku di California, Amerika Serikat. Di bawah regulasi ini, semua orang yang bekerja demi keuntungan perusahaan akan dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Ada tiga hal yang membuat seseorang tidak dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Pertama, jika perusahaan tak memiliki kendali atas seorang individu. Kedua, jika apa yang dilakukan oleh seseorang tidak berkaitan dengan bisnis perusahaan. Terakhir, jika seseorang memiliki akses yang memadai untuk bisa mendapatkan penghasilan ekstra atau menjadi pengusaha.

Atlet esports League of Legends memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendapatan ekstra yang sangat terbatas karena Riot memiliki peraturan ketat terkait sponsorship. Mereka bahkan membatasi jenis perusahaan yang boleh menjadi sponsor para pemain. Selain itu, Riot sempat melarang para atlet esports untuk membuat konten dari game yang dianggap sebagai saingan mereka, walau untungnya, mereka akhirnya membatalkan peraturan tersebut.

Di bawah regulasi AB5, semua atlet esports League of Legends merupakan karyawan tetap dari RIot Games. Itu artinya, mereka tidak hanya berhak atas gaji minimal, tapi juga perlindungan dan benefit yang didapatkan oleh pekerja tetap, seperti cuti dan asuransi. Sebagai industri yang masih relatif baru, memang belum banyak regulasi tentang esports yang ada. Namun, perlahan tapi pasti, seiring dengan semakin besarnya industri esports, akan mulai muncul regulasi yang mengatur industri tersebut.

Di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur tentang kontrak pemain profesional. Meskipun begitu, para pelaku industri esports memiliki inisiatif untuk membentuk Federasi Esports Indonesia pada Oktober 2019 dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah di industri esports, termasuk standarisasi kontrak pekerja esports, baik pemain profesional maupun talent.

Sumber header: Red Bull