Benarkah Bisnis Esports di Asia Lebih Menguntungkan daripada Amerika Serikat?

Industri esports saat ini dipercaya sedang tumbuh di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Akan tetapi menurut Mark Cuban, sebetulnya esports masih belum bisa dibilang bisnis yang sehat. Lebih tepatnya, menjadi pemilik organisasi esports, kata pemilik klub NBA Dallas Mavericks itu, adalah sebuah kesalahan besar. Ia juga berkata bahwa uang industri esports adanya di Eropa dan Asia, terutama di Korea Selatan.

Sebagai seorang miliarder dan pemilik tim besar di dunia olahraga, Mark Cuban jelas merupakan orang yang pendapatnya patut didengar. Ini masih ditambah lagi dengan beberapa kasus yang menggambarkan beratnya ekosistem esports Amerika Serikat, seperti organisasi NRG Esports yang beberapa waktu lalu menjual tim Counter-Strike: Global Offensive mereka ke Evil Geniuses.

Akan tetapi tak semua orang setuju dengan pandangan tersebut. Christina Settimi, penulis topik bisnis olahraga di Forbes, menunjukkan beberapa bukti yang menampik pendapat Cuban. Ia mencatat 13 organisasi esports di Amerika yang memiliki nilai valuasi di atas US$100.000.000, beserta perkiraan revenue yang dimiliki masing-masing di tahun 2019 ini. Angka perkiraan revenue itu didapat dari hasil wawancara dengan para investor dan eksekutif organisasi, juga informasi dari para analis industri dan sponsor. Termasuk di dalamnya adalah uang sponsorship, revenue sharing dari liga, penjualan merchandise, dan lain-lain.

Berikut daftar organisasinya:

1. Team SoloMid

Valuasi: US$400.000.000

Perkiraan revenue: US$35.000.000

2. Cloud9

Valuasi: US$400.000.000

Perkiraan revenue: US$29.000.000

3. Team Liquid

Valuasi: US$320.000.000

Perkiraan revenue: US$24.000.000

4. FaZe Clan

Valuasi: US$240.000.000

Perkiraan revenue: US$35.000.000

5. Immortals Gaming Club

Valuasi: US$210.000.000

Perkiraan revenue: US$11.000.000

6. Gen.G

Valuasi: US$185.000.000

Perkiraan revenue: U$9.000.000

7. Fnatic

Valuasi: US$175.000.000

Perkiraan revenue: US$16.000.000

Team SoloMid
Team SoloMid, juara LCS 6 kali | Sumber: Rift Herald

8. Envy Gaming

Valuasi: US$170.000.000

Perkiraan revenue: US$8.000.000

9. G2 Esports

Valuasi: US$165.000.000

Perkiraan revenue: US$22.000.000

10. 100 Thieves

Valuasi: US$160.000.000

Perkiraan revenue: US$10.000.000

11. NRG Esports

Valuasi: US$150.000.000

Perkiraan revenue: US$20.000.000

12. Misfits Gaming

Valuasi: US$120.000.000

Perkiraan revenue: US$8.000.000

13. OverActive Media

Valuasi: US$120.000.000

Perkiraan revenue: US$5.000.000

Menariknya, Mark Cuban pernah menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa ia percaya tentang besarnya pertumbuhan industri esports. Cuban juga merupakan investor di perusahaan startup Unikrn, yang bergerak di bidang siaran dan judi esports. Dallas Mavericks pun memiliki tim esports yang bermain di NBA 2K League, bernama Mavs Gaming.

Salah satu organisasi esports Amerika yang saat ini tampaknya sedang sangat sehat adalah Gen.G. CEO Gen.G, Chris Park, bahkan berkata bahwa organisasi mereka sedang “over-subscribed”. Artinya terlalu banyak partner yang ingin mengajak Gen.G bekerja sama, sampai-sampai akhirnya mereka harus memilih-milih partner. Tentu saja itu bukan sebuah masalah, atau andai disebut masalah pun maka itu merupakan masalah yang baik.

Selain Forbes, pihak lain yang memberikan sanggahan terhadap pernyataan Cuban adalah Michael Cohen, seorang business strategist di bidang esports dari Belanda. Dalam artikel yang ditulisnya, Cohen mengatakan bahwa sebagian ucapan Cuban memang benar—menjadi pemilik tim adalah usaha yang penuh risiko. Terutama untuk organisasi baru yang tidak menjadi pemenang turnamen, pasti sulit menumbuhkan brand atau mendatangkan revenue.

Contoh kasusnya adalah 100 Thieves yang mengalihkan fokus dari dunia kompetitif ke arah penjualan merchandise dan kreator konten (streamer). Ini untuk menutup kelemahan sebab tim mereka kurang berprestasi di League of Legends Championship Series (LCS). Cohen juga mengiyakan pendapat Cuban bahwa perubahan meta dalam sebuah game memberi risiko yang sangat besar, apabila anggota tim tidak bisa beradaptasi dengan meta terbaru itu.

Namun di sisi lain, Cohen menunjukkan bahwa pasar Asia sebenarnya juga mengalami masalah, sama seperti Amerika Serikat. Bila “pemain” industri esports di Amerika ingin melakukan ekspansi ke Asia, para pelaku esports di Asia justru ingin memperluas brand ke level internasional. Ia mengibaratkan fenomena ini seperti peribahasa, “Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.”

Mengapa demikian? Alasannya adalah karena bisnis esports di Asia (terutama Korea Selatan dan Tiongkok) sudah “mentok”. Asia punya kultur game kompetitif yang lebih kuat dari Amerika, dan brand esports sudah lebih dahulu berkembang bahkan sejak sebelum era StarCraft II. Perkembangan ini termasuk dalam hal kualitas pemain, peran sponsor non-endemic, pembangunan markas tim, dan sebagainya.

Karena sudah berkembang hingga mentok di negara sendiri, mereka pun mencari cara untuk ekspansi ke negara barat. Contohnya yang dilakukan oleh OGN, T1 Entertainment & Sports, serta Gen.G. Harapannya, dengan menjangkau pasar internasional, nilai sponsorship yang bisa diraih pun akan lebih besar. Dan dengan menjadi organisasi pertama yang punya jangkauan global, mereka ingin bisa membangun posisi brand lebih kuat dibanding kompetitornya.

LGD International
LGD International, usaha LGD mengembangkan sayap yang akhirnya gagal | Sumber: Liquipedia

Sementara itu Tiongkok, kata Cohen, punya masalah di mana modal yang diperlukan untuk menggaji pemain serta mendirikan organisasi telah sampai di titik yang lebih tinggi daripada potensi revenue yang dihasilkan. Ini ditambah lagi dengan kendala-kendala lain, misalnya birokrasi. Karena itu para pelaku esports di Tiongkok pun ingin melebarkan sayap ke luar negeri, tapi mereka ingin melakukannya dengan risiko sesedikit mungkin. Kerja sama klub bola Paris Saint-Germain (PSG) dan LGD adalah contoh kasus yang sukses hingga sekarang, namun sebetulnya baik PSG maupun LGD sudah sempat gagal beberapa kali dalam usaha mereka melakukan penetrasi ke barat dan timur sebelum akhirnya berjodoh.

Pada akhirnya, Cohen menyimpulkan bahwa esports adalah bisnis yang berharga, namun memang berisiko dan setiap wilayah punya risiko sendiri-sendiri. Tidak ada wilayah/negara yang bisa dibilang paling bagus, tapi memang setiap wilayah itu punya karakteristik berbeda-beda. Kita juga tidak bisa memandang seluruh industri esports sebagai satu industri yang sama rata, karena situasi pasarnya bisa berbeda-beda tergantung dari game, tren, atau platform yang sedang ramai di suatu wilayah.

Mark Cuban kemudian mengekspresikan rasa setujunya terhadap tulisan Cohen, dan membagikan tulisan tersebut di akun Twitter miliknya. Ia juga mengakui bahwa Cohen punya analisis yang lebih baik terhadap pasar Asia. Bila Anda tertarik untuk membaca analisis tersebut lebih dalam, Anda bisa mengunjungi tulisan Michael Cohen di situs tortedelini.com.

Sumber: Michael Cohen, Forbes, Psyonix

Owner Dallas Mavericks: Uang Esports Adanya di Eropa dan Asia, Bukan Amerika

Sebagai salah satu investor dan pebisnis yang sudah malang-melintang di dunia olahraga, akan sangat wajar apabila Mark Cuban juga turut terjun ke dunia esports. Apalagi ia merupakan pemilik tim NBA Dallas Mavericks, dan NBA memiliki keterkaitan yang kuat dengan esports. Beberapa atlet/mantan atlet NBA seperti Kevin Garnett dan Rudy Gobert pun sudah berinvestasi di esports.

Tapi dalam acara talk show berjudul Fair Game baru-baru ini, Cuban ternyata berpendapat bahwa esports adalah investasi yang buruk. Secara spesifik, ia berpendapat bahwa menjadi pemilik tim esports di Amerika Serikat adalah sebuah kesalahan besar, dan ia tidak tertarik berinvestasi, setidaknya untuk sekarang.

Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang ia kemukakan. Pertama, Cuban berkata bahwa esports adalah dunia persaingan yang brutal. Dalam esports, meta permainan sering sekali berganti. Dan ketika meta berganti, maka game itu akan berubah seolah menjadi sebuah game yang benar-benar baru.

https://twitter.com/FairGameonFS1/status/1187051530614034432

“Anda tahu, (esports) sangat kompetitif, dan sangat menyiksa secara fisik maupun mental, sangat brutal,” ujar Cuban. Memang benar, jika dibandingkan dengan olahraga konvensional seperti sepak bola atau basket, olahraga-olahraga ini punya aturan yang jarang sekali berubah. Seorang pemain sepak bola yang sekarang hebat, kemungkinan akan tetap hebat juga dalam waktu relatif lama. Tapi di dunia esports, pemain bintang hari ini bisa jadi payah esok harinya hanya gara-gara sebuah patch.

Alasan kedua, Cuban berpendapat bahwa banyak orang yang berinvestasi ke dalam tim esports tidak paham bahwa kondisi bisnisnya sebetulnya sedang jelek. “Secara agregat, ini bisnis yang bagus. Apakah sedang tumbuh? Ya. Tapi secara domestik di Amerika Serikat, ini adalah bisnis yang parah. Memiliki sebuah tim (esports) adalah bisnis yang parah,” paparnya.

Cuban melanjutkan, “Anda melihat banyak konsolidasi, orang-orang berusaha keluar dan menjual (timnya), Anda lihat banyak orang berusaha meraih lebih banyak pendanaan dan Anda lihat valuasi menurun. Dan saya pikir banyak orang yang membeli (tim esports) tidak paham perbedaan antara stream dan viewer di Eropa, di Asia, dengan stream dan viewer di sini.”

Menurut Cuban, jumlah penonton siaran esports di Amerika Serikat terbilang kecil. Bahkan untuk liga franchise besar seperti Overwatch League, jumlah viewer terbanyaknya pun hanya sekitar 300.000 viewer secara global, dan itu sebetulnya angka yang kecil.

Bukan berarti secara keseluruhan investasi di esports adalah hal buruk. Cuban berkata bahwa “ada uang” di Eropa dan Asia. “Jika Anda di Korea, ada banyak uang di sana, itu nyata. Jika Anda di Tiongkok, ada uang di sana. Di sini? Tidak begitu banyak,” kata Cuban.

Ia kemudian mencontohkan betapa susahnya menjadi streamer di Amerika Serikat. Ninja misalnya, memang sukses dan kaya raya dari streaming di Twitch. Tapi untuk bisa menjadi sukses seperti itu, ia harus melakukan streaming selama 10 jam setiap harinya dan “tidak punya kehidupan”. Karena itulah akhirnya Ninja hijrah ke Mixer.

Andy Miller
Andy Miller, Co-CEO NRG Esports yang baru menjual tim CS:GO mereka | Sumber: Robert Paul via Esportz Network

Buruknya kondisi esports Amerika Serikat juga pernah diungkapkan oleh Co-CEO NRG Esports, Andy Miller. Miller membahas secara spesifik kondisi esports Counter-Strike: Global Offensive, di mana standar gaji pemain telah melambung begitu tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi organisasi. “Para pemain ingin mendapat (keuntungan) sebanyak mungkin sekarang, itu sudah seharusnya, karena memang itulah cara mereka mencari nafkah. Tapi sebagai sebuah organisasi itu membuat segalanya sangat sulit,” kata Miller dalam wawancara bersama Dexerto.

Berkaca dari pandangan Mark Cuban, tidak heran jika akhir-akhir ini pasar esports Asia semakin banyak diminati. NBA 2K League misalnya, baru saja melebarkan franchise mereka ke negara Tiongkok. Di kompetisi The International 2019 kemarin pun jumlah sponsor tim-tim Tiongkok tercatat naik, baik itu sponsor endemic maupun non-endemic.

Sumber: DSResearch
Platform penonton esports di Indonesia | Sumber: DSResearch

Akan tetapi para investor juga harus jeli dalam mengambil langkah di sini, karena pasar Asia terbukti punya perilaku konsumen yang berbeda jauh dari pasar barat. Di Indonesia misalnya, angka Twitch nyaris tidak ada artinya karena mayoritas penonton esports ada di platform lain. Setiap wilayah punya tantangan tersendiri, oleh karena itu investor butuh riset yang mendalam sebelum memutuskan untuk menggelontorkan dana di tim esports tertentu.

Sumber: Dexerto