Formula 1: 10 Tahun Lagi, Driver F1 akan Datang dari Dunia Esports

Pada bulan Januari 2019 lalu, sebuah kompetisi balap mobil bernama Race of Champions digelar di stadion Foro Sol, Meksiko. Berjalan sejak tahun 1988, Race of Champions (ROC) adalah kompetisi head-to-head yang mengumpulkan para driver top dari seluruh disiplin balap mobil untuk saling adu kemampuan. Tak peduli apakah mereka berasal dari dunia Formula 1, NASCAR, atau Rally, semua driver diberi mobil yang sama, dan hanya skill yang menentukan keberhasilan mereka.

Ada yang spesial dalam ROC tahun ini. Secara tak terduga, atlet esports yang bernama Enzo Bonito berhasil mengalahkan pembalap-pembalap senior lainnya, termasuk juara Indy 500 Ryan Hunter-Reay dan juara Formula E Lucas di Grassi. Pada akhirnya Enzo Bonito tidak berhasil menjadi juara ROC, tapi kemenangan head-to-head atas nama-nama di atas tidak bisa dianggap remeh.

Sebelumnya meraih juara eROC, Enzo Bonito saat ini tergabung dengan tim esports McLaren, namun bisa saja hal itu berubah di masa depan. Setelah membuktikan keahlian di sirkuit sungguhan, tidak menutup kemungkinan atlet esports seperti Bonito beralih karier menjadi pembalap dunia nyata. Pendapat ini diungkapkan oleh Ellie Norman, Head of Marketing Formula 1.

“Saya pasti akan berkata, ‘hati-hati dengan (dunia esports)’, terutama setelah Race of Champions. Acara itu menunjukkan dengan jelas perbedaan antara esports sebagai profesi dan hanya sebagai permainan. Saya rasa dalam 10 tahun, kecepatan perkembangan teknologi sangat fenomenal. Jadi hal itu (atlet esports menjadi driver F1) bisa terjadi dalam rentang waktu tersebut,” kata Eliie Norman dalam wawancaranya dengan Autosport.

Norman percaya bahwa hanya soal waktu saja sampai dunia esports dan Formula 1 benar-benar menyatu dan tumpang tindih. Di masa depan nanti, cara audiens menikmati Formula 1 akan berubah.

“Ada balap fisik di sirkuit, untuk sebagian orang mungkin mereka hanya ingin menonton ini, entah lewat TV atau langsung di lapangan. Tapi ada audiens baru yang ingin menonton balapan sambil sekaligus ikut balapan secara virtual. Itulah yang akan menjadi pengalaman F1 mereka. Keduanya tidak salah, itu hanya cara mereka memilih menikmati olahraga ini,” ujar Norman.

Pendapat senada dikemukakan oleh Ben Payne, Director of Esports di McLaren. Pada bulan Januari lalu McLaren juga baru menyelesaikan program esports mereka yang bernama McLaren Shadow Project. Program ini bertujuan mencari talenta untuk direkrut ke dalam tim esports McLaren. Akan tetapi di McLaren, tim esports dan tim balap dunia nyata punya hubungan yang saling mempengaruhi.

Rudy van Buren misalnya, juara kompetisi serupa di tahun 2017, kini telah direkrut menjadi Official Simulator Driver untuk tim Formula 1 McLaren. Pemenang tahun ini, Igor Fraga, kini telah masuk ke dalam tim esports McLaren, dan akan bekerja sama dengan tim Formula 1 McLaren juga.

Transfer kemampuan dari esports ke Formula 1 ini dimungkinkan, menurut McLaren, karena atlet esports balap mobil memiliki kondisi fisik yang prima. Beda dengan cabang-cabang esports lain. “Semua finalis (McLaren Shadow Project) punya kondisi fisik yang bagus. Bila Anda pergi ke turnamen FIFA, mereka tidak terlihat seperti atlet. Para finalis kami terlihat seperti atlet,” ujar Ben Payne kepada Gamesindustry.biz.

Igor Fraga - McLaren Shadow Project
Igor Fraga | Sumber: McLaren

“Mereka duduk di atas kursi dan balapan dengan agresif, dan jika mereka melakukannya enam jam per hari, force feedback dari setir (controller) ini sangat kuat dan menjaganya agar selalu on track juga sulit. Mereka memang tidak akan patah jari bila tabrakan, tapi ini tetap sebuah uji ketahanan.

Bila Anda dan saya bermain FIFA untuk beberapa jam, kita bisa berhenti, minum-minum, lalu lanjut bermain. Tapi atlet-atlet kami lebih mirip atlet sungguhan daripada banyak cabang esports lain. Saya tahu tim-tim esports besar punya ahli gizi dan sebagainya, tapi saya rasa simulation racing memang berbeda,” demikian papar Ben Payne.

Menariknya, Igor Fraga sendiri sebelum menjadi atlet esports sebenarnya adalah pembalap sungguhan. Ia memiliki karier sebagai driver mobil gokar serta Formula 3. Ini semakin menunjukkan bahwa skillset seorang pembalap motorsport dan esports punya kedekatan yang kuat. Kita tunggu saja program apa lagi yang akan dicetuskan Formula 1 untuk menyatukan dua dunia balap tersebut.

Sumber: Autosport, GPFans, Gamesindustry.biz, McLarenTop Gear, Race of Champions

Kerja Sama Antara McLaren dan HTC Lahirkan Vive Pro McLaren Limited Edition

Bulan Mei lalu, McLaren menjalin kerja sama dengan HTC sebagai bagian dari upaya mereka mengembangkan program esport-nya, Shadow Project. Kemitraan tersebut secara otomatis menjadikan HTC Vive Pro sebagai perangkat VR resmi untuk kompetisi esport yang diselenggarakan sang produsen supercar asal Inggris.

Salah satu agenda kolaborasi keduanya adalah merilis edisi khusus Vive Pro. Dijuluki Vive Pro McLaren Limited Edition, logo McLaren beserta aksen oranye khasnya tampak kontras pada headset maupun controller-nya. Yang dibundel sejatinya sama persis seperti Vive Pro full kit, tapi dengan imbuhan dua game bertema balap.

Yang pertama adalah rFactor 2 McLaren Edition, game balap karya Studio 397. Yang kedua adalah McLaren Garage VR Experience, yang pada dasarnya merupakan semacam simulator untuk menjadi kru pit stop pada sebuah tim balap. Kedua game ini sebelumnya hanya bisa didapat secara eksklusif oleh pelanggan layanan Viveport.

Sebagai edisi spesial, harganya tentu lebih mahal: $1.549, dibandingkan dengan Vive Pro full kit biasa yang dihargai $1.199.

Dilihat dari perspektif lain, kerja sama antara McLaren dan HTC Vive ini berpotensi memopulerkan tren VR esport yang sejauh ini masih kalah pamor dari esport ‘normal’. Esport tema balapan sudah cukup laris, jadi sekarang waktunya melangkah lebih jauh lagi ke ranah VR.

Sumber: Engadget.

McLaren Makin Semangat Kembangkan Program eSport-nya

McLaren memulai inisiatifnya di ranah esport tahun lalu lewat sebuah kompetisi bertajuk World’s Fastest Gamer. Sekitar 30.000 orang dari 78 negara yang berbeda berpartisipasi dalam kompetisi tersebut, sebelum akhirnya gelar juara jatuh ke sosok muda asal Belanda bernama Rudy van Buren.

Sekarang, Rudy merupakan salah satu simulator driver resmi tim Formula 1 McLaren, dan McLaren sendiri jadi semakin semangat dan percaya diri dengan program esport-nya. Nama programnya juga telah diganti menjadi Shadow Project, dan McLaren pun sudah menggandeng dua sponsor baru, yakni HTC Vive dan Alienware (sebelumnya cuma Logitech dan Sparco).

Namun yang paling menarik dari Shadow Project adalah penekanan pada premis “terbuka dan inklusif”. Sederhananya, hampir semua orang berusia minimal 18 tahun bisa menjadi peserta. Bukan hanya para pemain simulator balapan seperti iRacing dan rFactor 2 saja, tapi para pemain Forza Motorsport 7 pun juga dipersilakan berpartisipasi.

Lebih mengejutkan lagi, kita bahkan bisa menjadi peserta lewat game mobile Real Racing 3 kalau mau. McLaren pada dasarnya tidak mau membeda-bedakan platform favorit para gamer maupun secanggih apa gaming gear yang mereka miliki. Yang dicari McLaren murni hanyalah passion terhadap olahraga balapan dan tentu saja talenta bermain.

Keputusan ini didasari oleh pengalaman tahun lalu, di mana salah satu finalisnya yang bernama Henrik Drue berhasil mencapai titik tersebut meski tidak pernah punya pengalaman bermain game balapan di console atau PC sama sekali. Jadi, jangan sekali-sekali meremehkan para pemain Real Racing 3 hanya karena mereka tidak punya akses ke mesin simulator berharga mahal.

Seperti tahun lalu, pemenangnya bakal mendapat kesempatan bekerja bersama tim F1 McLaren, plus menjadi bagian dari tim esport baru McLaren yang bakal bertanding di kancah profesional. Mereka yang tertarik dapat mendaftar di situs resmi McLaren.

Sumber: Engadget dan McLaren.