DJI Mic Adalah Solusi Wireless Bagi yang Serius Terhadap Kualitas Audio pada Konten Bikinannya

Peluncuran DJI Ronin 4D dan DJI Action 2 belum lama ini menjadi bukti bahwa drone bukan lagi satu-satunya bidang industri yang hendak mereka tekuni. Pabrikan asal Tiongkok itu sekarang juga serius menggarap segmen videografi, dan seperti yang kita tahu, audio merupakan elemen yang sama pentingnya di bidang ini. Itulah mengapa mereka turut menyingkap produk seperti DJI Mic berikut ini.

DJI Mic merupakan sebuah wireless microphone kit dengan konsep yang sangat mirip seperti Rode Wireless Go. Kit ini terdiri dari tiga bagian: transmitter (2 unit), receiver, dan charging case. Masing-masing unit transmitter-nya mengemas mikrofon terintegrasi, akan tetapi mereka turut mengemas jack 3,5 mm agar pengguna juga memiliki opsi untuk menghubungkan mic eksternal.

Transmitter-nya ini memancarkan sinyal ke receiver melalui gelombang 2,4 GHz. DJI mengklaim jangkauannya bisa sampai sejauh 250 meter. Sebagai perbandingan, Rode Wireless Go cuma bisa memancarkan sinyal sampai sejauh 200 meter — atau malah cuma 70 meter kalau Anda menggunakan generasi pertamanya.

Selain dijepitkan ke baju, transmitter-nya juga dapat ditempelkan ke klip magnetis yang terdapat pada paket pembeliannya. Di setiap unit transmitter-nya, tertanam penyimpanan internal sebesar 8 GB yang diklaim cukup untuk menyimpan rekaman audio lossless 24-bit dengan durasi total 14 jam. Dimensinya tergolong kecil — 47 x 30 x 20 mm — dan bobot masing-masing unit transmitter-nya pun tidak lebih dari 30 gram.

Beralih ke unit receiver-nya, ia dilengkapi sebuah layar sentuh berwarna untuk memudahkan pengoperasian. Kompatibilitasnya dengan berbagai perangkat juga sangat terjamin berkat sederet adaptor yang DJI sertakan; mulai dari adaptor hot shoe, USB-C, Lightning, sampai kabel TRS 3,5 mm.

Dalam posisi baterainya terisi penuh, unit transmitter-nya bisa beroperasi sampai 5,5 jam, sedangkan receiver-nya hingga 5 jam. Kalau digabungkan dengan suplai daya ekstra dari charging case-nya (ala-ala TWS), daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai angka 15 jam.

Selagi beristirahat di dalam charging case, receiver-nya akan menampilkan status baterai milik tiap-tiap unit. Lalu saat dikeluarkan dari case, pairing pun akan berlangsung secara otomatis, baik untuk unit transmitter maupun receiver-nya.

Satu fitur yang cukup menarik dari DJI Mic adalah Safety Track, yang pada dasarnya akan merekam track audio cadangan secara otomatis dengan volume -6 dB. Dengan kata lain, selagi fitur ini diaktifkan, transmitter-nya akan menyimpan dua output hasil rekaman yang berbeda, dan output cadangannya itu bisa dipakai seandainya ada terdengar distorsi atau clipping pada rekaman aslinya.

Di Amerika Serikat, DJI Mic kabarnya akan dipasarkan mulai Januari 2022 dengan banderol $329. Sepintas kedengarannya mahal, tapi menurut saya cukup sepadan dengan fitur dan kelengkapan yang ditawarkan. Harganya juga terbilang kompetitif dan hanya terpaut $30 saja dari Rode Wireless Go II.

Sumber: CineD.

Razer Seiren V2 X dan Seiren V2 Pro Hadir Sebagai Alternatif Bagi Streamer yang Perlu Upgrade Mikrofon

Kabar gembira bagi para streamer yang berencana meng-upgrade perlengkapannya, Razer baru saja meluncurkan dua mikrofon USB anyar, yakni Seiren V2 X dan Seiren V2 Pro. Keduanya punya sejumlah kemiripan, tapi tentu saja yang Pro mengemas beberapa kelebihan tersendiri.

Untuk Seiren V2 X, perangkat ini merupakan penerus dari Seiren X yang dirilis empat tahun silam. Ia merupakan sebuah condenser mic 25 mm dengan pola penangkapan supercardioid, yang dipercaya dapat mengisolasi suara pengguna dari sekitarnya dengan lebih baik.

Seiren V2 Pro di sisi lain menggantikan posisi Seiren Elite di kelas profesional. Secara teknis, ia merupakan sebuah dynamic microphone 30 mm dengan high pass filter yang bertugas untuk mengeliminasi suara-suara pengganggu di frekuensi rendah, macam dengung kipas komputer misalnya. Pengguna mikrofon ini bakal terdengar seperti sedang berada di studio kedap suara kalau kata Razer.

Kedua perangkat sama-sama dibekali analog gain limiter yang akan mengatur gain secara otomatis demi meminimalkan distorsi. Namun seandainya perlu mengatur secara manual, pengguna bisa melakukannya via kenop di bawah tombol mute. Khusus Seiren V2 Pro, tersedia pula kenop untuk mengatur volume.

Razer tidak lupa menjejalkan colokan 3,5 mm supaya pengguna dapat memonitor suaranya sendiri. Baik Seiren V2 X maupun Seiren V2 Pro sama-sama mendukung fitur mixing yang cukup lengkap dengan memanfaatkan software Razer Synapse. Resolusi audio yang bisa ditangkap sendiri adalah 24-bit/96kHz.

Secara desain, kedua mikrofon ini memang kelihatan mirip. Meski begitu, Seiren V2 Pro menawarkan fleksibilitas ekstra perihal penempatan, sementara Seiren V2 X cuma bisa diberdirikan selagi mic-nya menghadap ke atas saja.

Keduanya saat ini sudah dipasarkan secara resmi di Indonesia. Razer Seiren V2 X dihargai Rp1.699.000, sementara Seiren V2 Pro dibanderol Rp2.499.000. Berbeda dari Seiren Mini yang ditawarkan dalam tiga pilihan warna, Seiren V2 X dan Seiren V2 Pro hanya tersedia dalam warna hitam saja.

Sumber: Engadget.

AKG Ara Adalah Mikrofon USB Kelas Profesional untuk Kreator dengan Dana Terbatas

Banyaknya pilihan platform podcasting dan livestreaming membuat kegiatan berkarya jadi lebih mudah. Untuk memulai, yang dibutuhkan hanyalah niat. Lalu kalau sudah jalan, barulah kita bisa memikirkan berbagai cara untuk meningkatkan kualitas konten yang dibuat. Salah satu caranya adalah dengan meng-upgrade kualitas audio.

Bagi yang selama ini masih mengandalkan mikrofon bawaan headset, opsi upgrade yang paling mudah adalah membeli mikrofon USB. Tidak perlu yang mahal-mahal, sebab dengan modal maksimum $100, kita sudah bisa mendapatkan mikrofon USB dengan kualitas jauh di atas bawaan headset. Salah satu contohnya adalah mic bernama AKG Ara berikut ini.

AKG Ara menawarkan dua pola penangkapan suara yang berbeda: cardioid dan omnidirectional. Cardioid fokus menangkap suara dari depan mikrofon, ideal untuk sesi livestreaming, sementara omnidirectional akan menangkap suara yang berasal dari segala arah, cocok untuk sesi podcasting atau rekaman dengan dua orang atau lebih.

Ara mampu menangkap audio dalam resolusi 24-bit/96kHz, sangat cukup untuk menghasilkan rekaman atau siaran langsung dengan suara yang jernih. Berbekal kabel USB-C ke USB-A, Ara kompatibel dengan perangkat apapun yang mendukung USB audio. Ara juga bisa disambungkan ke perangkat iOS maupun Android dengan bantuan adaptor (tidak termasuk dalam paket penjualannya).

Di sebelah port USB-C miliknya, pengguna juga bisa menemukan colokan headphone, berguna untuk memonitor audio yang ditangkap. Ara mempunyai dua kenop putar di sisi depannya; yang atas untuk memilih pola penangkapan suaranya tadi, yang bawah untuk mengatur volume. Kenop volumenya itu juga bisa ditekan untuk mute atau unmute.

Melihat desainnya secara keseluruhan, Ara tampak modern dengan sedikit sentuhan vintage. Selain menggunakan stand bawaannya, Ara juga mendukung sejumlah opsi mounting mikrofon yang umum dipakai dalam setup livestreaming maupun di studio.

AKG Ara saat ini telah dipasarkan dengan banderol $99. Di harga tersebut, saingan paling dekatnya adalah Yeti Nano besutan Blue Microphones.

Sumber: Engadget.

Blue Icepop Adalah Upgrade Premium untuk Mic Bawaan Headset Logitech G Pro

Produsen mikrofon USB kenamaan, Blue, meluncurkan produk baru yang menarik, khususnya buat mereka yang menggunakan headset Logitech G Pro. Dinamai Blue Icepop, produk ini dirancang sebagai mikrofon premium untuk menggantikan mikrofon bawaan headset.

Icepop mengandalkan modul electret condenser berdiameter 10 mm dengan pickup pattern unidirectional untuk menangkap suara pengguna secara lebih jelas selagi mengeliminasi suara-suara di sekitar. Juga esensial adalah sebuah pop filter terintegrasi yang diyakini mampu menghilangkan kesan kasar dari suara “b” dan “p” yang kerap terjadi saat menggunakan mic bawaan headset dengan kualitas di bawah rata-rata.

Namun bagian terpentingnya adalah kemudahan penggunaan. Tanpa bantuan kabel tambahan, Icepop dapat langsung ditancapkan ke colokan 3,5 mm milik headset Logitech G Pro, G Pro X, atau G Pro X Wireless. Alternatifnya, Blue turut menawarkan varian Icepop yang kompatibel dengan headset Astro A40. Buat yang tidak tahu, baik Blue maupun Astro Gaming sama-sama merupakan anak perusahaan Logitech.

Icepop sepenuhnya bersifat plug-and-play dan tidak memerlukan instalasi driver khusus. Meski begitu, pengguna Logitech G Pro punya opsi untuk mengutak-atik kinerja Icepop lebih jauh lagi dengan memanfaatkan fitur Blue Voice di software pendamping Logitech G Hub. Sebelumnya, mic bawaan Logitech G Pro memang sudah mendukung fitur ini.

Dari segi fisik, Icepop mengadopsi desain yang cukup simpel sehingga tidak kelihatan terlalu mencolok ketika dipasangkan bersama Logitech G Pro. G Pro sendiri tergolong cukup elegan untuk ukuran headset gaming, dan kombinasi keduanya semestinya bakal sangat ideal untuk menemani sesi WFH.

Blue Icepop saat ini sudah dipasarkan secara global dengan banderol $50. Harga tersebut tidak bisa dibilang murah. Sebagai perbandingan, mic USB termurah yang Blue punya saat ini, Snowball Ice, juga dijual dengan harga $50.

Sumber: Logitech.

Sennheiser Luncurkan Dua Mic Baru untuk Kreator Konten

Salah satu cara termudah untuk meningkatkan kualitas suatu video adalah dengan meningkatkan kualitas audionya, sebab bagaimanapun juga, video merupakan sebuah produk audio visual. Untuk mewujudkannya, kita perlu lebih dari sebatas mic bawaan yang tertanam pada kamera atau smartphone.

Pilihan mikrofon eksternal yang tersedia sangatlah beragam, dan di antaranya mungkin Anda pernah mendengar nama Sennheiser MKE 400 sebagai salah satu rekomendasi. Kabar baiknya, shotgun mic yang populer itu telah diperbarui dengan sederet penyempurnaan.

Yang paling utama, desainnya kini tampak jauh lebih modern. Namun bukan sekadar manis di mata saja, desain barunya juga jauh lebih fungsional; spesifiknya berkat housing yang merangkap peran sebagai windshield standar. Saat merekam di tengah-tengah tiupan angin yang sangat kencang, tentu saja pengguna masih bisa membungkusnya dengan windshield eksternal yang juga termasuk dalam paket penjualan.

Kompatibilitas juga menjadi faktor yang diperhatikan oleh Sennheiser. Jadi selain kabel TRS untuk menyambungkan mic ke kamera DSLR atau mirrorless, paket penjualannya turut mencakup kabel TRRS sehingga pengguna juga bisa menghubungkannya ke smartphone via headphone jack.

Bicara soal headphone jack, MKE 400 rupanya juga memiliki sambungan headphone-nya sendiri. Ini tentu sangat berguna ketika pengguna hendak memonitor audio yang direkam, tapi ternyata kamera yang digunakan tidak dilengkapi jack mikrofon.

Tidak seperti iterasi sebelumnya, MKE 400 versi anyar ini bisa menyala atau mati dengan sendirinya mengikuti kamera. Pada beberapa smartphone, MKE 400 juga bisa mati sendiri ketika dilepaskan. Tentu saja ia tetap dilengkapi tombol power untuk pengoperasian secara manual.

Fitur auto on/off ini penting mengingat baterainya bukanlah yang paling awet, terutama jika dibandingkan dengan pendahulunya. Menggunakan dua baterai AAA, mikrofon ini bisa beroperasi selama sekitar 100 jam perekaman. Beruntung harga jualnya masih sama, yakni $200.

Alternatifnya, kreator juga bisa memanfaatkan mic model lavalier yang mudah sekali dikaitkan ke kerah baju. Buat yang lebih senang dengan bentuk clip-on seperti ini, mereka bisa melirik Sennheiser XS Lav yang juga baru diluncurkan.

Lagi-lagi kompatibilitas menjadi salah satu fitur yang paling diunggulkan. XS Lav terdiri dalam dua model, satu dengan colokan TRRS, satu lagi dengan colokan USB-C. Bagi kreator yang menggunakan smartphone yang tidak dilengkapi headphone jack, varian USB-C ini tentu bakal menjadi opsi yang paling ideal.

Untuk harganya sendiri, XS Lav versi standar dibanderol $50, sedangkan XS Lav versi USB-C dihargai $60. Sennheiser pun tidak lupa menyertakan windshield eksternal pada paket penjualan kedua model XS Lav.

Baik MKE 400 maupun XS Lav versi USB-C juga akan ditawarkan dalam bentuk bundel berlabel “Mobile Kit” yang dihargai lebih mahal $30 dari banderol masing-masing perangkat. Perangkat yang didapat sama persis, tapi plus sebuah tripod kecil besutan Manfrotto dan sebuah clamp mount untuk smartphone.

Sumber: The Verge dan Sennheiser.

Sony ECM-W2BT Adalah Mikrofon Wireless Bebas Kabel Dengan Digital Multi Interface Shoe

Bagi content creator, perangkat kamera, lensa, dan mikrofon eksternal menjadi senjata utama dalam pembuatan konten. Karena bagaimana pun video adalah konten audio visual, jadi hasilnya harus enak dilihat dan didengar.

Untuk konten jenis vlog, umumnya mikrofon shotgun dan wireless menjadi pilihan utama, yang pasti jenis wireless lebih handy dan bisa digunakan dari jarak jauh. Baru-baru ini, Sony telah mengumumkan mikrofon wireless terbarunya yang benar-benar bebas kabel.

Namanya Sony ECM-W2BT, mikrofon wireless ini bisa digunakan tanpa kabel karena menggunakan Digital Audio Interface melalui Multi Interface (MI) Shoe. Artinya, receiver dapat mengirimkan audio dari mikrofon secara langsung melalui MI Shoe tanpa memerlukan kabel eksternal.

Sony belum mengungkapkan daftar kamera yang secara khusus mendukung protokol baru tersebut. Tentu saja, selain lewat MI Shoe, Sony ECM-W2BT juga tetap bisa digunakan dengan kabel menggunakan port mikrofon 3,5mm di kamera.

Sony mengatakan bahwa ECM-W2BT telah didesain ulang sepenuhnya dengan ‘advanced omni-directional mic capsule‘. Jangkauan transmisinya, unit dapat mengirimkan audio berkualitas tinggi hingga pada jarak 200 meter dengan gangguan yang minimal berkat penggunaan codec Qualcomm aptX berlatensi rendah.

Mikrofon ini memiliki tiga mode pengambilan yang berbeda. Meliputi mode MIC yang hanya akan merekam audio dari mikrofon di transmitter, mode MIX yang dapat mengambil audio dari transmitter dan receiver, serta mode RCVR baru yang hanya akan mengambil suara dari unit receiver yang terpasang pada Digital Multi Interface shoe.

Fitur lain ada lampu LINK yang memperjelas saat receiver terhubung ke transmitter mikrofon. Saat dipasangkan dengan kamera mirrorless Sony dengan MI Shoe, baterainya bisa bertahan sampai sembilan jam pemakaian dalam sekali charge.

Selain itu, Sony juga mengumumkan mikrofon lavalier ECM-LV1 yang merupakan pasangan yang cocok untuk ECM-W2BT. Mikrofon lavalier baru ini memiliki fitur omni-directional mic capsule, klip yang dapat diputar 360 derajat, dan windscreen. Untuk harganya, Sony ECM-W2BT dibanderol US$230 atau sekitar Rp3,3 jutaan dan US$30 atau Rp433 ribuan untuk mikrofon lavalier Sony ECM-LV1.

Sumber: DPreview

Rode VXLR Pro Adalah Solusi untuk Menghubungkan Mikrofon Rode ke Perangkat XLR

Kualitas audio pada sebuah video sama pentingnya dengan kualitas gambar, mikrofon eksternal pun menjadi aksesori wajib bagi para content creator dan filmmaker. Namun saat produksi kadang timbul masalah seperti sinyal yang tidak stabil ketika pakai mikrofon wireless dan kualitas audio yang menurun ketiga pakai mikrofon shotgun menggunakan kabel yang panjang.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut, belum lama ini Rode memperkenalkan VXLR Pro. Adapter 3,5mm female TRS ke male XLR yang memungkinkan mikrofon Rode dihubungkan ke kamera atau perangkat recorder yang memiliki input XLR.

Rode VXLR Pro dapat mengubah daya phantom 12-48V menjadi daya plug-in 3-5V. Artinya, memungkinkan mikrofon seperti VideoMicro dan VideoMic GO menerima daya dari perangkat XLR. Rode VXLR Pro ini dilengkapi dengan konektor pengunci yang memastikan koneksi Anda selalu aman saat merekam.

Lebih lanjut, Rode VXLR Pro memiliki transformer internal untuk menyeimbangkan sinyal yang tidak seimbang dari mikrofon menjadi sinyal yang seimbang saat ditransmisikan. Fitur ini sangat berguna, terutama bila menggunakan mikrofon seperti Rode VideoMic NTG yang dipasang pada boom pole atau tiang boom, dengan kabel panjang yang terhubung ke mixer atau interface.

VXLR_Pro2 3 vxlr-pro

Rode mengatakan, dengan VideoMic NTG bahkan bila menggunakan kabel sepanjang 100 meter, Anda tidak akan mengalami gangguan sinyal dan noise yang dapat mempengaruhi kualitas rekaman.  Harga Rode VXLR Pro ini dibanderol US$39 atau sekitar Rp550 ribuan.

Daftar lengkap mikrofon Rode yang kompatibel dengan Rode VXLR Pro sebagai berikut:

  • VideoMic NTG
  • Wireless GO
  • VideoMic
  • VideoMicro
  • VideoMic Pro
  • VideoMic Pro+
  • VideoMic GO
  • HS2
  • RØDELink Filmmaker Kit
  • SmartLav+ (bila menggunakan SC3 Adapter)

Sumber: Diyphotography

HyperX Luncurkan Solocast, Mikrofon USB Berharga Terjangkau dengan Fitur Cukup Lengkap

Bagi para kreator konten, mikrofon USB merupakan cara termudah untuk meningkatkan kualitas audio pada karya-karya besutannya. Entah itu podcaster, streamer, atau YouTuber secara umum, mikrofon USB bisa dipandang sebagai aset yang tak kalah penting dari sebuah kamera.

Seperti halnya kamera, tentu ada banyak pilihan mikrofon yang tersedia di pasaran. Kendati demikian, mikrofon USB kerap menjadi pilihan karena kepraktisannya; cukup colokkan ke PC, maka mikrofon bisa langsung berfungsi tanpa perlu bantuan mixer maupun perangkat sejenis lainnya.

Mikrofon USB sendiri ada yang mahal ada yang murah. Salah satu mikrofon USB kelas budget terbaru datang dari HyperX. Dinamai HyperX Solocast, mic ini bisa menjadi alternatif yang sangat menarik dengan banderol hanya $60.

Harga tersebut menempatkan Solocast di level yang sama seperti Razer Seiren Mini, yang baru saja diluncurkan pada bulan Oktober lalu. Solocast memang dihargai $10 lebih mahal dan punya dimensi yang sedikit lebih bongsor, akan tetapi ia juga punya satu kelebihan yang tak dimiliki Seiren Mini, yakni tombol mute.

Tombol mute kapasitif ini terletak di bagian atas mic, jadi cukup dengan menyentuhnya sekali, mic pun otomatis akan berhenti menangkap suara. Sentuh sekali lagi, maka mic akan kembali berfungsi secara normal. Simpel dan tidak neko-neko. Selagi dalam posisi mute, indikator LED-nya yang berwarna merah akan berkedip.

Dudukan bawaan Solocast cukup fleksibel. Mic bisa diposisikan sepenuhnya miring (180°) dan diselipkan di bawah monitor jika perlu. Buat yang berniat menggunakan boom arm atau dudukan lain, terdapat drat 3/8 inci dan 5/8 inci di bagian bawah Solocast.

Seperti kebanyakan mikrofon USB, unit condenser di dalam Solocast mengandalkan pickup pattern cardioid, yang berarti ia paling sensitif terhadap suara yang berasal langsung di depannya. Tidak ada keterangan seberapa besar unit condenser-nya, tapi semestinya tidak lebih kecil daripada milik Seiren Mini.

Dengan harga yang cukup terjangkau, HyperX Solocast tentu bisa menjadi opsi upgrade yang menarik bagi kreator yang masih mengandalkan mic bawaan headset atau kamera. Produk ini memang berasal dari sebuah brand gaming, tapi saya kira streamer bukan satu-satunya target pasar yang dituju.

Sumber: Business Wire.

Shure MV7 Adalah Mikrofon untuk Podcaster dengan Sambungan USB dan XLR Sekaligus

Seperti halnya YouTuber, gear yang dimiliki seorang podcaster tentu akan berkembang seiring berjalannya waktu dan bertumbuhnya channel. Dari yang awalnya cuma mengandalkan mikrofon bawaan headset, lalu naik pangkat ke mikrofon USB, hingga akhirnya memiliki setup profesional dengan mikrofon XLR sebagai tonggak utamanya.

Alternatifnya, podcaster juga bisa memilih ‘jalur aman’ dengan membeli mikrofon jenis hybrid yang menawarkan dua jenis konektor sekaligus: USB dan XLR. Dengan begitu, mereka bebas menyambungkannya ke PC via USB, atau ke mixer via XLR ketika sudah tiba saatnya bagi mereka untuk naik ke level produksi yang lebih tinggi lagi.

Mikrofon yang masuk di kategori hybrid ini ada banyak sebenarnya, seperti Blue Yeti Pro misalnya, akan tetapi yang terbaru datang dari dedengkot mikrofon itu sendiri, Shure. Pabrikan asal Amerika Serikat itu baru saja memperkenalkan Shure MV7, mic pertamanya yang dilengkapi konektor USB sekaligus XLR.

Secara fisik, MV7 jauh lebih mirip seperti mikrofon legendaris Shure SM7B ketimbang Shure MV51 yang sepenuhnya mengandalkan konektor USB. Dimensinya cukup ringkas untuk dipakai dalam konteks rumahan, tapi ia juga siap digantungkan di atas saat berada di dalam sebuah studio rekaman profesional, terutama mengingat ia juga dilengkapi sambungan XLR.

MV7 mengandalkan pickup pattern jenis cardioid yang memang sangat cocok untuk keperluan podcasting karena hanya akan menangkap suara sesuai arah ia dihadapkan. Terdapat jack 3,5 mm untuk menyambungkan headphone sehingga pengguna dapat memonitor suaranya, dan MV7 turut dilengkapi panel sentuh untuk mengontrol gain maupun volume headphone yang terhubung.

Berhubung MV7 merupakan mikrofon USB, tentu saja ia turut hadir bersama sebuah aplikasi pendamping di PC (ShurePlus MOTIV) supaya pengguna dapat melakukan pengaturan secara lebih merinci. Di saat yang sama, kehadiran sejumlah preset tentu akan memudahkan pengguna yang masih masuk tahap pemula, dan perangkat turut dibekali fitur Auto Level Mode sehingga hasil rekaman tetap terdengar konsisten meski pengguna mungkin banyak bergerak.

Saat ini Shure MV7 sudah dipasarkan dengan harga $250, jauh lebih murah daripada SM7B yang dibanderol $400, dan hanya terpaut $50 dari MV51 yang USB-only. Kebetulan harganya juga sangat bersaing dengan produk serupa yang ada di pasaran, alias sama persis dengan harga Blue Yeti Pro tadi.

Sumber: Adorama.

GorillaPod Mobile Vlogging Kit Diciptakan untuk Calon-Calon Influencer Baru

Dibanding lima tahun yang lalu, vlogging sekarang jelas lebih mudah dilakukan. Alasannya bukan semata karena kualitas kamera smartphone yang terus meningkat, tapi karena alat-alat pendukungnya sudah jauh lebih lengkap.

Lihat saja produk terbaru yang diluncurkan Joby berikut ini. Dinamai GorillaPod Mobile Vlogging Kit, bundel ini terdiri dari tiga perangkat: GorillaPod Mobile Rig, Beamo Mini LED, dan mikrofon Wavo Mobile. Ketiganya betul-betul dirancang untuk memudahkan pekerjaan kreator konten yang banyak mengandalkan smartphone-nya.

Joby GorillaPod Mobile Vlogging Kit

GorillaPod sendiri sudah tidak perlu saya jelaskan lagi kegunaannya, sebab produk ini sudah begitu populer sampai akhirnya dianggap sebagai kategori sendiri di Tokopedia. Untuk Beamo Mini, lampu LED portable ini rupanya cukup perkasa, mampu memancarkan cahaya hingga seterang 1.000 lumen.

Namun yang lebih penting dalam konteks vlogging adalah, suhu warna cahaya yang dipancarkan adalah 5100 K, dan jika dipadukan dengan diffuser bawaannya, Joby mengklaim perangkat ini bisa membantu pengguna menghasilkan video dengan warna skin tone yang sangat alami. Selain dipasang di GorillaPod, Beamo Mini juga dapat ditempelkan ke permukaan logam mengingat sisi belakangnya dibekali magnet.

Joby GorillaPod Mobile Vlogging Kit

Terakhir, ada mikrofon Wavo Mobile yang mengunggulkan dudukan unik dengan kemampuan meredam getaran, sehingga suara-suara dari pergerakan pengguna (berjalan, berlari, dan lain sebagainya) tidak ikut tertangkap oleh mic. Lebih lanjut, mode pengambilan suara cardioid yang diandalkan juga akan membantu meminimalkan suara-suara dari arah lain.

Bundel GorillaPod Mobile Vlogging Kit ini dipasarkan seharga $200, $10 lebih murah ketimbang kalau konsumen membeli tiap-tiap komponennya secara terpisah. Memang tidak bisa dibilang terjangkau, tapi setidaknya aksesori-aksesori ini masih bisa digunakan dengan kamera mirrorless kecil seandainya pengguna memutuskan untuk meng-upgrade gear-nya.

Sumber: DPReview.