Sony A7 III Hadir Membawa Sejumlah Fitur Unggulan A7R III dan A9

Sony baru saja mengungkap kamera mirrorless full-frame baru, A7 III. Dibandingkan A7 II yang dirilis tiga tahun silam, kamera ini menjanjikan pembaruan yang signifikan. Ini dikarenakan A7 III telah banyak mewarisi fitur-fitur unggulan Sony A9 dan A7R III yang sudah lebih dulu hadir tahun lalu.

Dari A9, A7 III meminjam sistem autofocus hybrid-nya, dengan 693 titik phase-detection yang nyaris memenuhi keseluruhan bingkai (93%), plus 425 titik contrast-detection. Fitur Eye AF-nya pun turut tersedia di sini, tapi tidak untuk kemampuan menjepret tanpa henti secepat 20 fps.

Dari A7R III, A7 III meminjam joystick kecilnya yang sangat praktis digunakan untuk menentukan titik autofocus. Kapabilitas burst shooting-nya juga sama dengan A7R III di angka 10 fps, dan baterai berkapasitas dua kali lebih besar pun akhirnya juga hadir di sini. A7 III juga mengemas sistem image stabilization 5-axis.

Sony A7 III

Yang membedakan A7 III adalah sensornya, yang ‘masih’ beresolusi 24 megapixel. Sensor ini juga bukan yang bertipe stacked seperti milik A9, dan itulah alasan mengapa A7 III belum bisa sengebut A9. Terlepas dari itu, pembaruan-pembaruan di atas setidaknya sudah bisa menjadi alasan bagi konsumen A7 II untuk akhirnya memutuskan upgrade.

A7 III juga lebih cekatan soal video, di mana fitur Hybrid Log Gamma yang diperkenalkan bersama A7R III turut tersedia di sini. Pilihan resolusinya mencakup 4K 30 fps, 4K 24 fps, atau 1080p 120 fps untuk slow-mo, dan videografer profesional juga dapat memakainya untuk merekam dalam mode S-Log2 atau S-Log3.

Sony A7 III

Sayangnya A7 III tidak mewarisi viewfinder elektronik beresolusi tinggi milik A7R III; masih di resolusi 2,36 juta dot, tapi kini dengan tingkat perbesaran 0,78x yang lebih tinggi. Untungnya, LCD 3 inci milik A7 III adalah touchscreen, dan slot SD card-nya pun juga ada dua seperti kedua kakaknya tersebut.

Rencananya Sony A7 III bakal dipasarkan mulai April mendatang seharga $2.000 untuk bodinya saja. Banderolnya terkesan murah jika dibandingkan dengan A7R III atau malah A9.

Sumber: DPReview.

Canon EOS M50 Jadi Kamera Mirrorless Pertama Canon yang Sanggup Merekam Video 4K

Dua tahun terakhir ini Canon sibuk mengejar ketertinggalannya di segmen mirrorless. Yang belum kesampaian selama ini adalah opsi perekaman video 4K, namun akhirnya mereka bisa mewujudkannya lewat Canon EOS M50 yang baru saja dirilis.

M50 masih menggunakan sensor APS-C 24 megapixel, lengkap dengan sistem autofocus Dual Pixel seperti sejumlah model lain di seri EOS M. Yang baru adalah, M50 dapat merekam video 4K, meski hanya terbatas pada kecepatan 24 fps saja.

Ini dimungkinkan berkat penggunaan prosesor baru DIGIC 8, yang turut berjasa memberi M50 kemampuan untuk merekam video 1080p 120 fps (untuk dijadikan video slow-motion). Performanya secara keseluruhan juga cukup lumayan, dengan kemampuan menjepret tanpa henti secepat 10 fps, atau 7,4 fps dengan continuous autofocus.

Canon EOS M50

Secara desain, M50 banyak mewarisi penampilan EOS M5. Hand grip-nya sama-sama cukup besar, tapi sayang kenop-kenop di panel atasnya tidak selengkap M5. Beruntung M50 juga mewarisi viewfinder elektronik, yang mengandalkan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot.

Yang lebih superior justru adalah layar sentuhnya di belakang. Kalau di M5, layarnya hanya bisa dimiringkan ke atas atau bawah. Di M50, layar ini bisa dibuka ke samping dan diputar 360 derajat. Desain semacam ini pastinya akan sangat bermanfaat ketika kamera digunakan untuk merekam video, dan ini sejalan dengan peningkatan di sektor video yang dibawa M50.

Canon EOS M50

Selebihnya, ada fitur-fitur pemanis seperti Bluetooth (di samping Wi-Fi dan NFC), yang memungkinkan fitur transfer gambar secara otomatis ke perangkat mobile. Kemudian ada juga format gambar RAW baru berlabel CR3, yang diyakini masih bisa menawarkan kualitas tinggi dalam ukuran file separuh lebih kecil.

Canon berencana memasarkan EOS M50 mulai bulan April mendatang seharga $780 (body only). Bundel bersama lensa juga tersedia: $900 dengan lensa 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM, atau $1.250 dengan lensa yang sama plus 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM (dua lensa sekaligus).

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-H1 Buktikan Bahwa Fuji Tak Lagi Payah Soal Video

Usai memperkenalkan X-A5 baru-baru ini, Fujifilm langsung tancap gas menyingkap kamera baru untuk segmen high-end. Bukan X-T3 atau X-Pro3, melainkan lini baru dengan kode X-H. Namun jangan salah, kamera bernama Fujifilm X-H1 ini diklaim memiliki performa tertinggi dari seluruh keluarga Fuji X-Series.

Lewat X-H1, Fujifilm sejatinya melanjutkan keseriusan mereka di bidang video, yang diawali bersama X-T2 dua tahun silam. Ini bisa dilihat dari spesifikasi utamanya yang cukup mirip: sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel, plus engine X-Processor Pro. Yang benar-benar baru, dan untuk pertama kalinya bagi Fujifilm, adalah sistem image stabilization internal 5-axis, mirip seperti milik Panasonic Lumix GX9 yang juga baru saja dirilis.

Selama ini, Fuji hanya mengandalkan stabilization bawaan lensa. Dengan adanya sistem internal ini, ketajaman gambar bisa tetap terjamin meski menggunakan lensa yang non-stabilized dan tanpa tripod. Efeknya pun bakal semakin terasa ketika kamera digunakan untuk merekam video.

Fujifilm X-H1

Di sektor video, X-H1 menjadi kamera Fuji pertama yang mampu merekam dalam format ‘mentah’ F-Log. Pilihan resolusinya antara lain 1080p 120 fps (untuk slow-mo), 4K 30 fps, dan DCI 4K (4096 x 2160) 24 fps – belum selevel Lumix GH5S, tapi setidaknya merupakan prestasi buat Fujifilm yang selama ini terkesan menyepelekan kapabilitas video kamera-kameranya.

Kualitas video yang dihasilkan juga dipastikan lebih baik ketimbang X-T2 berkat tingkat kompresi yang lebih tinggi di angka 200 Mbps. Sebagai pemanis, X-H1 mengemas Film Simulation baru bernama Eterna, yang Fuji formulasikan secara khusus untuk memberikan efek sinematik pada video.

Fujifilm X-H1

Beralih ke desain, tampak bahwa penampilannya banyak terinspirasi kamera mirrorless medium format Fuji, GFX 50S, utamanya berkat hand grip yang begitu menonjol, serta sebuah indikator LCD kecil di panel atas, di belakang tombol shutter. Sama seperti X-T2, bodi X-H1 juga diklaim tahan terhadap cuaca ekstrem.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh viewfinder elektronik (EVF) baru dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x. Tidak hanya lapang dan tajam, EVF ini juga sangat cekatan, mampu menyajikan tampilan live dalam kecepatan 100 fps. Di bawahnya, ada LCD 3 inci yang bisa dioperasikan dengan sentuhan.

Fujifilm X-H1

Fuji berencana menjual X-H1 di AS dan Kanada terlebih dulu mulai 1 Maret mendatang. Harganya dipatok $1.900 (body only), atau $2.200 bersama aksesori vertical grip yang bakal menambah daya tahan baterainya secara drastis, sekaligus meningkatkan durasi maksimum saat merekam video 4K.

Sumber: DPReview.

Olympus PEN E-PL9 Hadir Membawa Penyempurnaan Desain dan Kemampuan Merekam Video 4K

Olympus PEN Lite (E-PL) merupakan salah satu lini kamera mirrorless tertua. Generasi pertamanya (E-PL1) diumumkan di tahun 2010, jauh sebelum segmen mirrorless bisa dikategorikan mainstream. Selama kiprahnya, seri E-PL selalu diposisikan sebagai kamera mirrorless berharga terjangkau dengan penampilan yang atraktif, dan itu masih dipertahankan hingga kini.

Buktinya bisa kita lihat dari Olympus PEN E-PL9, penerus E-PL8 yang diumumkan di tahun 2016. Perawakan ringkas bergaya rangefinder-nya masih menjadi daya tarik utama, lengkap dengan balutan kulit imitasi yang tak cuma menambah kesan elegan, tapi juga membantu memantapkan genggaman.

Bicara soal grip, tonjolan di bagian depan kanan E-PL9 jauh lebih besar ketimbang pendahulunya, dan ini sudah pasti berpengaruh positif terhadap kenyamanan pengoperasiannya. Mengintip panel atasnya, kenop untuk mengganti mode kamera juga bertambah besar, dan tidak seperti pendahulunya, E-PL9 dibekali pop-up flash.

Olympus PEN E-PL9

Terkait spesifikasinya, E-PL9 mengemas sensor 16 megapixel sekaligus prosesor TruePic VIII yang sama persis seperti milik OM-D E-M10 Mark III, yang secara hierarki masih duduk di atas E-PL9. Sistem autofocus-nya pun sama, dengan total 121 titik dan dukungan face sekaligus eye detection.

Yang membedakan kedua kamera ini adalah sistem image stabilization-nya. E-PL9 mengusung sistem 3-axis, sedangkan OM-D E-M10 Mark III lebih superior dengan sistem 5-axis. Kendati demikian, sistem 3-axis saja sebenarnya sudah cukup efektif mengompensasi guncangan selama pengguna menggenggam kamera.

Sensor dan prosesor baru ini juga memungkinkan E-PL9 untuk merekam video 4K 30 fps, menjadi yang pertama dari seri E-PL yang menembus pencapaian ini. Juga baru adalah konektivitas Bluetooth, yang belakangan memang menjadi prioritas produsen-produsen kamera demi memudahkan proses menyambungkan kamera ke smartphone atau tablet. Dalam kasus E-PL9, gambar bisa dipindah ke ponsel meski kamera dalam keadaan tidak menyala.

Olympus PEN E-PL9

Selebihnya, pengguna seri E-PL masih akan dimanjakan oleh gaya pengoperasian yang sama. Layar sentuh 3 incinya masih bisa diputar 90 derajat ke atas, atau 180 derajat ke bawah, sedangkan baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 350 jepretan.

Olympus berencana melepas E-PL9 ke pasaran mulai pertengahan bulan Maret mendatang. Harganya dipatok 699 euro bersama lensa power-zoom 14-42mm f/3.5-5.6, atau 549 euro untuk body-nya saja.  Pilihan warna yang tersedia ada tiga: hitam, coklat dan putih.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-A5 Benahi Performa Pendahulunya dengan Phase-Detection Autofocus

Fujifilm baru saja memperkenalkan X-A5, model teranyar dari lini kamera mirrorless terbawahnya. Kamera ini meneruskan jejak Fujifilm X-A3 yang dirilis di tahun 2016, sekaligus membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya tersebut.

Salah satu faktor yang membuat lini Fujifilm X-A bisa ditawarkan dalam harga terjangkau adalah penggunaan sensor konvensional, bukan yang berteknologi X-Trans seperti yang terdapat lini X-E, X-T maupun X-Pro. X-A5 masih mempertahankan tradisi tersebut dengan mengusung sensor APS-C 24 megapixel yang memiliki rentang ISO 200 – 12800 (bisa diekspansi menjadi 100 – 51200).

Fujifilm X-A5

Kekurangan X-A3 yang coba dibenahi adalah perihal performa. X-A5 merupakan kamera pertama di lini X-A yang dibekali phase-detection autofocus (PDAF). Sistem hybrid AF ini memungkinkan kamera untuk mengunci fokus dua kali lebih cepat ketimbang model sebelumnya, sekaligus lebih cekatan dalam membekukan subjek yang sedang bergerak.

Di samping itu, Fuji juga telah menanamkan prosesor baru ke dalam X-A5, dengan klaim peningkatan kinerja secara umum hingga 1,5 kali lebih cepat. Soal video, X-A5 dapat merekam dalam resolusi 4K, hanya saja kecepatannya cuma 15 fps saja, jauh di bawah standar.

Fujifilm X-A5

Pembaruan lainnya mencakup baterai yang lebih awet (kini dapat beroperasi sampai 450 jepretan), jack untuk mikrofon eksternal, serta konektivitas Bluetooth 4.1 untuk memudahkan proses pairing dan transfer gambar.

Selebihnya, Fujifilm X-A5 masih mempertahankan segala kelebihan X-A3, macam layar sentuh 3 inci yang bisa dilipat menghadap ke depan untuk selfie, dan desain klasik yang tampak manis di mata. Kamera ini bakal dipasarkan mulai awal bulan ini seharga $599 bersama lensa baru XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ, yang merupakan lensa Power Zoom pertama Fujifilm.

Sumber: DPReview.

Nikon Pilih Jakarta Sebagai Lokasi Nikon Experience Hub Pertama di Asia

Nikon ialah nama familier bagi para pecinta fotografi di nusantara. Di bulan Juli kemarin, produsen perangkat optik asal Shinagawa ini baru merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Meski meledak-nya kepopularitasan smartphone berkamera turut memengaruhi bisnis mereka, brand ini tetap merepresentasikan kualitas serta pengalaman, dan tetap jadi pilihan favorit fotografer veteran.

Sudah setahun berlalu setelah Nikon melakukan restrukturisasi perusahaan, dan mereka masih terus berjuang untuk bangkit kembali. Dan di penghujung 2017 ini, Nikon menyingkap kejutan tak terduga. Nikon memutuskan buat memilih ibukota Jakarta sebagai lokasi dibukanya Nikon Experience Hub. Dan menariknya lagi, ‘hub‘ Nikon ini kabarnya merupakan yang pertama di kawasan Asia.

Nikon Experience Hub 7

Nikon Experience Hub 17

Showroom dan gerai penjualan Nikon memang sudah tersebar cukup luas di Indonesia, tapi yang membedakan Nikon Experience Hub adalah tempat ini memberikan pengunjung kesempatan untuk mencoba beragam koleksi produk Nikon, dari mulai kelas point-and-shoot, mirrorless, DSLR, hingga lensa-lensa Nikkor premium. Beragam pilihan yang disediakan di Experience Hub boleh jadi akan membuat Anda kewalahan.

Nikon Experience Hub 22

Nikon Experience Hub 21

Tentu saja selain menjajal langsung, Anda bisa mengajukan berbagai pertanyaan teknis terkait produk Nikon atau fotografi secara umum kepada para staf terlatih. Sukimin Thio selaku general manager Imaging Division Nikon Indonesia berjanji bahwa gerai ini tak hanya disiapkan untuk melayani fotografer profesional. Para staf juga akan dengan senang hati membantu konsumen yang sedang mencari kamera pertamanya.

Nikon Experience Hub 18

Nikon Experience Hub 12

Selain tempat untuk melangsungkan penjualan secara tradisional, Nikon Experience Hub juga berfungsi sebagai Service Collection Point (titik pengantaran dan penjemputan perangkat yang diservis) sekaligus lokasi diadakannya kegiatan Nikon College. Nikon College adalah program pelatihan dan edukasi, mempersilakan Anda mempelajari teknik dan pengetahuan dasar serta mendalami beragam disiplin ilmu fotografi berbeda.

Nikon Experience Hub 3

Nikon Experience Hub 4

Alasan Nikon membuka Experience Hub di Jakarta adalah karena perusahaan itu melihat tingginya perkembangan serta besarnya potensi di pasar Indonesia yang ‘menanti untuk digarap’. Nikon Experience Hub ditempatkan di Mall Grand Indonesia , dipilih karena dianggap sebagai tempat paling strategis serta mudah dijangkau oleh para pelanggan mereka.

Nikon Experience Hub 9

Nikon Experience Hub 10

Menurut Sukimin Thio, Mall Grand Indonesia merupakan salah satu pusat perbelanjaan papan atas di Jakarta, dan sangat sesuai dengan citra brand Nikon. Diresmikannya Nikon Experience Hub sepertinya juga menjadi cara bagi perusahaan untuk menunjukkan kesiapannya berduel melawan sejumlah kompetitor utamanya di ranah fotografi. Tempat ini betul-betul bersebelahan dengan gerai milik Sony dan di seberangnya, ada store Fujifilm.

Nikon Experience Hub 20

Nikon Experience Hub 21

Terlepas dari banyaknya koleksi kamera dan lensa yang Nikon pamerkan di Experience Hub, seorang staf memberi tahu saya bahwa tak semua produk di sana bisa Anda beli. Beberapa hanya baru dapat dicoba. Di rak kaca yang lebar, Nikon memajang beragam lensa Nikkor serta tak lupa membubuhkan informasi terkait spesifikasi, sedikit penjelasan soal spesialisasi lensa, serta sampel hasil jepretan. Satu hal yang absen di sana adalah info harga.

Nikon Experience Hub 13

Nikon Experience Hub 14

Dan tak cuma rangkaian kamera DSLR, Anda juga diperkenan menjajal kamera mirrorless berlensa interchangeable sampai varian point-and-shoot Coolpix yang anti-air hingga kedalaman 30 meter.

Nikon Experience Hub 23

Nikon Experience Hub 5

Nikon Experience Hub telah dibuka untuk umum. Anda bisa mengunjungi gerai ini setiap hari, berlokasi di ‘East’ Mall Grand Indonesia lantai tiga, jalan M.H. Thamrin No. 1, Menteng, Jakarta Pusat.

Nikon Experience Hub 19

Nikon Experience Hub 2

Nikon Experience Hub 6

Nikon Experience Hub 24

Leica CL Adalah Reinkarnasi Modern Kamera Rangefinder Analog Tahun 70-an

Dedengkot kamera asal Jerman, Leica, kembali merilis kamera mirrorless baru. Dijuluki Leica CL, kamera ini merupakan reinkarnasi modern dari kamera rangefinder analog bernama sama yang diluncurkan di tahun 1973, yang berarti jeroannya sudah diperbarui mengikuti standar terkini.

Yang masih dipertahankan adalah aura retro penampilannya. Antik di luar, canggih di dalam, filosofi inilah yang sejatinya membuat Leica masih dipandang hingga kini, sekaligus yang menjadikan nama Fujifilm melejit di ranah mirrorless.

Leica CL

Jantung CL dihuni oleh sensor APS-C 24 megapixel, yang juga sanggup merekam video 4K 30 fps. Tingkat ISO-nya bebas diatur dari 100 sampai 50000, setara dengan kamera-kamera mirrorless terbaru yang ada di pasaran saat ini.

Sepintas spesifikasinya terdengar identik seperti Leica TL2 yang diumumkan pada bulan Juli lalu, lengkap sampai ke sistem autofocus 49 titik dan kemampuan memotret tanpa henti secepat 10 fps menggunakan shutter mekanis. Keduanya memang sangat mirip, hanya saja CL menawarkan kontrol yang lebih konvensional ketimbang hanya mengandalkan layar sentuh saja pada TL2.

Jadi selain sepasang kenop exposure di atas, CL juga mengemas tombol empat arah di sebelah layarnya. Layar 3 inci beresolusi 1,04 juta dot ini rupanya juga dilengkapi panel sentuh, sehingga pengoperasiannya terkesan lebih fleksibel daripada TL2. Satu komponen yang absen di TL2 adalah jendela bidik elektronik beresolusi 2,36 juta dot.

Leica CL

Di saat yang sama, Leica turut memperkenalkan lensa baru untuk menemani CL yang bertubuh ringkas ini. Lensa tersebut adalah Elmarit-TL 18 mm f/2.8 ASPH, yang tebalnya tidak lebih dari 20,5 mm. Leica mengklaimnya sebagai lensa wide-angle terkecil untuk kamera APS-C saat ini.

Leica bakal memasarkan CL mulai akhir November ini seharga $2.795 untuk bodinya saja. Bundel bersama lensa 18 mm baru tadi dibanderol $3.795 – lensanya saja dihargai $1.295 kalau dibeli secara terpisah – lalu tersedia pula bundel bersama lensa Vario-Elmar-TL 18-56 mm f/3.5-5.6 seharga $3.995.

Sumber: DPReview.

Fokus pada Fotografi, Panasonic Lumix G9 Janjikan Performa di Atas Rata-Rata

Tidak bisa dipungkiri, Panasonic Lumix GH5 merupakan salah satu kamera mirrorless terbaik yang bisa dibeli saat ini. Di atas kertas mungkin masih banyak kamera lain yang menawarkan spesifikasi lebih tinggi, akan tetapi hanya segelintir yang sanggup menandingi kemampuannya dalam merekam video.

Untuk kamera terbarunya, Panasonic memutuskan untuk berfokus pada fotografer profesional sebagai target pasarnya. Entah kebetulan atau tidak, kamera bernama Lumix G9 ini sangat mengedepankan kecepatan dibanding segalanya, sama seperti yang kita jumpai pada Sony A9.

Di dalamnya bernaung sensor Micro Four Thirds 20,3 megapixel yang sama seperti milik GH5, tapi yang telah dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas gambar JPEG yang dihasilkan. Panasonic tidak lupa menyematkan mode High Resolution di mana kamera dapat menggerakkan sensornya sebanyak delapan kali guna menciptakan satu gambar beresolusi 80 megapixel dalam format RAW.

Panasonic Lumix G9

Namun seperti yang saya bilang, kecepatan adalah kata kunci untuk menggambarkan kapabilitas G9. Ia dapat menjepret 50 gambar RAW tanpa henti dalam kecepatan 20 fps dengan continuous autofocus dan electronic shutter (9 fps dengan mechanical shutter). Dengan single autofocus, angkanya malah meningkat drastis menjadi 60 fps (electronic) atau 12 fps (mechanical).

Sistem autofocus 225 titik bertajuk Depth from Defocus yang sudah menjadi andalan Panasonic selama beberapa tahun kian disempurnakan pada G9, dengan peningkatan kecepatan (dapat mengunci fokus dalam 0,04 detik saja) dan kinerja tracking subjek. Sistem image stabilization bawaannya diyakini dapat mengompensasi guncangan hingga 6,5 stop exposure.

Sebagai keluarga Lumix, video tetap menjadi salah satu nilai jualnya, meski bukan lagi prioritas utama di sini. Terlepas dari itu, G9 masih mampu merekam video 4K dalam kecepatan 60 fps, dengan bitrate maksimum 150 Mbps dan tanpa cropping sama sekali. Butuh adegan slow-motion? G9 siap merekam video full-HD dalam kecepatan 180 fps.

Panasonic Lumix G9

Secara fisik, G9 mempertahankan gaya desain yang diusung GH5, tapi dengan grip yang lebih besar lagi. Bodinya tidak cuma tahan cipratan air dan debu, tapi juga tahan dingin hingga -10° Celsius. Electronic viewfinder-nya tidak kalah dari Sony A9, sama-sama mengemas panel OLED beresolusi 3,68 juta dot, tapi dengan tingkat perbesaran yang lebih lagi, yakni 0,83x.

Di bawahnya, terdapat layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot yang bisa dimanipulasi posisinya sesuai kebutuhan, yang ditemani oleh joystick kecil untuk memudahkan pengaturan titik fokus. G9 mengusung dua slot SD card, dan keduanya sama-sama sudah mendukung tipe UHS-II yang berkecepatan tinggi.

Port lainnya mencakup HDMI, jack mikrofon dan headphone, serta micro USB. Konektivitas wireless-nya mengandalkan Wi-Fi AC dan Bluetooth 4.2 untuk terus terhubung ke perangkat secara konstan, sedangkan baterainya diklaim dapat bertahan hingga 400 jepretan.

Panasonic Lumix G9 rencananya bakal dipasarkan mulai Januari 2018 seharga $1.699 untuk bodinya saja. Panasonic juga bakal menawarkan battery grip seharga $349 yang dapat mendongkrak kapasitasnya hingga menjadi 800 jepretan.

Sumber: DPReview.

Mirrorless untuk Kebutuhan Vlogging dan Travelling-mu

Tahun 2015 bisa dikatakan sebagai titik sentral pertumbuhan tren vlogging. Di tahun itu, 42% dari pengguna internet mengaku terpapar oleh konten-konten video yang merupakan transformasi dari blog tersebut. Tarik maju ke hari ini, tren ini disinyalir meningkat lebih gila lagi. Kanal yang dapat secara bebas dimanfaatkan (umumnya YouTube) adalah satu alasannya. Faktor pendukung lainnya ialah maraknya kamera ringkas di pasar.

Konten secara esensial memang penting untuk memancing viewers mampir menonton vlog. Tapi, dalam hal teknis, kamera juga punya nilai yang tak kalah tinggi bagi kualitas vlog. Artikel ini akan mengulas “standar” kamera yang dapat digunakan untuk vlogging; atau untuk merekam momen di kegiatan mobile-mu, seperti travelling. Kamera yang kita ulas sebagai perbandingan antara “teori teknis” dengan penggunaannya di lapangan ialah Panasonic Lumix DC-GF9K.

Desain dan bodi

Vlogging berbicara soal momentum; bagaimana kita menyoroti suatu hal dengan angle tertentu adalah seninya. Jika kamu sedang travelling, membuat vlog akan setingkat lebih “sulit” lagi, oleh sebab setiap detik yang menjadi begitu penting untuk direkam. Karenanya, penting bagimu untuk menenteng kamera mirrorless yang ringan dan ringkas.

WhatsApp_Image_2017-10-18_at_23745_PM

Panasonic Lumix DC-GF9K saya rasa punya poin ini. Bobotnya yang hanya sebesar 269 gram dan berukuran 64.4 mm x 33.3 mm x 106.5 mm ini sangat membantu dalam penyimpanan. Meski kemudian ukuran demikian bagi saya terkesan “ringkih” saat digenggam, namun perlu diakui bahwa DC-GF9K tercipta memang untuk traveler.

WhatsApp_Image_2017-10-18_at_23755_PM

rsz_whatsapp_image_2017-10-25_at_64653_pm

Bagi vlogger, desain bodi harusnya jadi hal penting yang harus diamati saat memilih kamera, agar tetap keren saat mengambil shot di mana pun—karena orang-orang sekitar yang menoleh ke arahnya. Lumix DC-GF9K yang saya coba berwarna orange dengan motif kulit jeruk. Saya melihat ada kesan leather yang ingin ditunjukkan; namun sayang, hal terlihat kurang optimal. Di sisi lain, tampilan analog dan klasik tetap terpancar dan menjadi daya tarik dari mirrorless yang tersedia dalam empat warna ini.

Tampilan antar muka

Sempat saya bahas di awal bahwa vlogging menjadi tren. Fenomena ini seketika melahirkan banyak video content creator yang bertebaran di mana-mana—tak jarang vlogger juga kini sudah menjadi cita-cita anak kecil dan menjadi profesi pilihan. Tidak semua dari mereka lama bergelut di dunia videografi; banyak juga yang baru mengikuti tren ini sambil belajar mengambil gambar.

Tampilan antar muka dari menu yang ada di Lumix DC-GF9K ini sebenarnya mudah, karena Panasonic menyajikan sistem pengaturan dengan touch screen dan pengaturan shutter button yang otomatis pindah ke button bagian kiri saat sedang selfie mode.

Tapi—sepertinya disebabkan oleh penggunaan pertama kali—bagi saya tampilan antar muka ini terasa kurang user-friendly. Penempatan konten menu dan fitur-fiturnya agak sedikit sulit dipahami dengan cepat, apalagi bagi vlogger pemula atau pengguna Lumix pertama kali. Rasanya, akan menjadi kesalahan besar bila kita lupa menaruh manual book yang tersedia di dalam box. Beruntung poin ini tidak terlalu menutupi fitur-fitur mumpuni yang ada di Lumix DC-GF9K, seperti 4K photo dan post focus mode.

Performa dan kualitas gambar

Bagian terakhir inilah yang menjadi unsur penting dalam vlogging. Bagaimana seorang vlogger menangkap momen bertumpu pada performa dan kualitas gambar dari kamera mirrorless. Jika kamu merasa kualitas 4K adalah titik pengalaman tinggi, Lumix DC-GF9K memang disiapkan untukmu.

Fitur 4K yang digelorakan oleh Panasonic membawa kesan baik bagi saya saat mengambil gambar Lumix DC-GF9K. Fitur ini didukung post focus mode dan focus stacking, yang dipoles oleh micro 4/3 sensor, sehingga membuat fleksibilitas dari pemilihan focus lebih nyaman dengan hasil maksimal.

Screenshot_2017-10-25_at_113650

Screenshot_2017-10-25_at_113415

P1060068JPG

Jika kembali ke urusan vlogging, kamera ini belum begitu memanjakan dalam hal merekam suara. Panasonic Lumix DC-GF9K tidak dipersenjatai output audio video, yang sejatinya dapat memberi daya dobrak yang lebih kuat perihal merekam suara. Namun, Panasonic menebusnya dengan mikrofon stereo yang dibekali wind noise canceller.

Vlogger juga perlu kecepatan. Tidak hanya dalam mengambil shot, tapi juga dalam menyimpan dan memindahkan data. Performa dalam hal kirim-mengirim dan simpan-menyimpan data ini terasa lebih mudah dengan kehadiran fitur pemindahan data dengan berbasis Wi-Fi melalui Panasonic Image App. Fitur ini memungkinkan penggunanya untuk “melempar” data tanpa harus terkoneksi dengan kabel.

Konklusi

Bicara vlogging, bicara tentang kecepatan dan portabilitas—kualitas konten adalah syarat mutlak, sehingga tak perlu disebutkan. Panasonic Lumix DC-GF9K yang terlahir dengan tubuh mungil dan enteng serta memiliki resolusi 4K sepertinya sudah menjawab dua kebutuhan tadi. Kendati secara penggunaan akan memakan waktu untuk mempelajarinya, tapi untuk para vlogger dan traveler—apalagi jika kamu keduanya—kamera mirrorless 16,84 megapiksel ini dapat menjadi pilihan untuk merekam momen harianmu.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Panasonic.

Meski Berwajah Sama, Sony A7R III Tawarkan Sederet Pembaruan Signifikan Dibanding Pendahulunya

Sony baru saja merilis A7R III, dua tahun setelah A7R II. Sama seperti pendahulunya, A7R III merupakan kamera mirrorless bersensor full-frame, dengan desain dan dimensi yang hampir identik. Itulah mengapa sederet pembaruan yang dibawanya tidak kelihatan secara kasat mata.

Meski berfisik serupa, A7R III mengemas sejumlah elemen desain yang absen pada pendahulunya. Utamanya adalah joystick kecil di panel belakang untuk mempermudah pengaturan fokus maupun menavigasikan menu, slot SD card ganda, port USB-C dan micro USB, serta baterai berkapasitas dua kali lebih besar.

Panel OLED yang digunakan pada jendela bidik elektroniknya juga telah di-upgrade menjadi beresolusi 3,69 juta dot. A7R III masih mengemas layar sentuh 3 inci, dan layar ini sekarang dapat dijadikan semacam touchpad untuk mengatur titik fokus ketika pengguna sedang membidik menggunakan viewfinder-nya.

Sony A7R III

A7R III mengusung sensor full-frame 42,4 megapixel serta sistem image stabilization 5-axis yang sama seperti generasi sebelumnya, sehingga kualitas gambar yang dihasilkannya secara garis besar bakal sama bagusnya. Kendati demikian, Sony berhasil mendongkrak performanya berkat prosesor Bionz X baru yang lebih kencang.

Continuous shooting dapat A7R III jalani dengan kecepatan 10 fps dalam resolusi maksimum dan posisi autofocus menyala, dua kali lipat lebih cepat ketimbang A7R II. Sistem AF yang digunakan masih mengandalkan 399 titik, akan tetapi Sony mengklaim kinerjanya di kondisi low-light lebih efektif.

Sony A7R III

Untuk video, resolusi 4K tetap menjadi andalan, namun A7R III turut dibekali fitur Hybrid Log Gamma, yang pada dasarnya merupakan format perekaman RAW, tapi otomatis berubah menjadi HDR ketika ditonton lewat TV yang kompatibel. Bagi penggemar video slow-mo, tersedia opsi perekaman 1080p di kecepatan 120 fps.

Bagian terbaiknya, Sony A7R III dibanderol dengan harga yang sama seperti ketika A7R II pertama dirilis, yakni $3.200. Harga itu tentu saja belum termasuk lensa sama sekali, sedangkan pemasarannya baru akan dimulai pada akhir bulan November mendatang.

Sumber: DPReview.