Kenapa Perusahaan Tiongkok Mau Masuki Pasar Esports Asia Tenggara?

Dari segi total hadiah, turnamen esports kini bisa menawarkan total hadiah setara atau bahkan melebihi kompetisi olahraga tradisional. Contohnya, The International 2019 yang menawarkan total hadiah lebih dari US$34 juta (sekitar Rp476 miliar). Dan turnamen esports kini tak melulu mengadu game PC. Mobile esports juga mulai menjadi semakin populer. Tencent bahkan menyiapkan US$5 juta (sekitar Rp70,6 miliar) untuk semua turnamen esports PUBG Mobile pada tahun depan.

Tahun ini, PUBG Mobile Club Open Fall Split Global Finals merupakan turnamen PUBG Mobile dengan total hadiah terbesar. Turnamen tersebut menawarkan total hadiah sebesar US$500 ribu (sekitar Rp7 miliar) Sebesar US$180 ribu (sekitar Rp2,5 miliar) dibawa pulang oleh Bigetron yang keluar sebagai pemenang. Diadakan di Malaysia, PMCO Fall Split Global Finals diselenggarakan oleh VSPN, perusahaan penyelenggara turnamen esports asal Tiongkok. Perusahaan smartphone asal Tiongkok, vivo, menjadi salah satu sponsornya. Selain itu, ada beberapa perusahaan Malaysia yang juga menjadi sponsor seperti merek minuman 100 Plus, perusahaan pengantar makanan Hungry, dan perusahaan telekomunikasi Yoodo. Meskipun begitu, vivo tetaplah menjadi salah satu rekan bisnis terbesar dari Tencent Esports.

“Saya tidak bisa mewakili Tencent dan vivo, tapi saya percaya, tujuan kami sama — untuk menjadi perusahaan global, tidak hanya perusahaan Tiongkok,” kata Wang Chenfan, Vice President of VSPN, pada The Esports Observer, ketika ditanya mengapa perusahaan-perusahaan Tiongkok — Tencent, VSPN, dan vivo — tertarik untuk masuk ke pasar esports Asia Tenggara. “Sejak VSPN didirikan pada 2016, kami telah mengadakan beberapa turnamen esports di luar Tiongkok; khususnya di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik, termasuk demonstrasi kompetisi esports dalam Asian Games di Jakarta, 2018 PUBG Mobile Star Challenge (PMSC) di Dubai, dan PMSC di Taipei tahun ini.”

Acara PMCO Fall Split Global Finals. | Sumber: VSPN/Tencent via The Esports Observer
Acara PMCO Fall Split Global Finals. | Sumber: VSPN/Tencent via The Esports Observer

Tidak aneh jika perusahaan Tiongkok tertarik untuk masuk ke pasar esports di Asia Tenggara. Asia Tenggara merupakan kawasan dengan pertumbuhan industri gaming paling besar pada tahun ini. Pada 2019, industri gaming di kawasan itu naik 17,4 persen dari tahun lalu, menurut Newzoo. Tak hanya itu, esports juga mulai diakui sebagai olahraga di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari diadakannya pertandingan eksibisi esports dalam Asian Games pada 2018 dan esports menjadi cabang olahraga bermedal dalam SEA Games 2019.

Meskipun begitu, pasar Asia Tenggara juga menawarkan tantangan tersendiri. Salah satunya adalah bahasa. Negara-negara di Asia Tenggara memiliki bahasa masing-masing. “Jika dibandingkan dengan Tiongkok, Asia Tenggara terdiri dari sejumlah negara dengan bahasa dan budaya yang berbeda,” ujar Chenfan. “Kami perlu menyiapkan beberapa penerjemah dan shoutcaster dari beberapa bahasa.” Sebagai perbandingan, di Tiongkok, turnamen esports biasanya hanya memiliki shoutcaster dalam tiga bahasa, yaitu Inggris, Mandarin, dan Korea. Masalah lainnya adalah budaya. Penyelenggara turnamen harus menyiapkan tempat untuk ibadah bagi pemain muslim yang berasal dari negara dengan mayoritas beragam Islam, seperti Indonesia.

Seputar Potensi dan Penetrasi Pasar Game Asia Tenggara

Gembar-gembor soal besarnya potensi pasar game Asia Tenggara, belakangan memang sedang hangat diperbincangkan. Beberapa lembaga riset independen mencoba mengungkap besarnya potensi pasar game Asia Tengara. Niko Partners mengatakan bahwa pasar game Asia Tenggara dan Taiwan (disebut juga Greater Southeast Asia) akan mencapai angka US$8,3 miliar (sekitar Rp116,8 triliun) pada tahun 2023.

Namun demikian, memang ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh publisher jika ingin memasarkan game di pasar yang sedang bergeliat lincah ini. Lee Hyuk Sekretaris Jendral ASEAN-KOREA CENTRE, yang merupakan organisasi intergovermental antara Korea Selatan dengan negara-negara SEA, membagikan beberapa pandangannya soal pasar game Asia Tenggara.

Sumber: InvenGlobal
Sumber: InvenGlobal

Seakan jadi rahasia umum, Lee Hyuk juga menyoroti soal sifat pasar gaming Asia Tenggara yang mobile-first kepada InvenGlobal. Newzoo sempat melaporkan ini juga, bahwa tahun 2019 Asia Tenggara mendapatkan US$ 2,6 miliar (sekitar Rp36 triliun), hanya dari mobile gaming saja. Angka tersebut diproyeksi akan meningkat 17,4% setiap tahunnya.

Lee Hyuk lalu melanjutkan, bahwa mobile games di Thailand mengambil 50% dari proporsi pasar, dengan 30% di antaranya merupakan game online. Jumlah ini mirip dengan pasar Indonesia, namun pasar game online di Indonesia hanya mengambil proporsi 20% saja.

Ia juga membagikan soal beberapa hal yang membuat pasar Asia Tenggara jadi menarik bagi investor. Lee Hyuk menyebutkan salah satunya adalah soal dukungan pemerintah terhadap perkembangan esports. Dalam hal Indonesia, kita sudah melihat sendiri bagaimana pemerintah mendukung lewat gelaran seperti Piala Presiden Esports 2020. Tak hanya itu, institusi pendidikan Indonesia juga sudah mulai membuka diri terhadap esports. Pada tingkat SMA, ada JD.ID High School League, pada tingkat universitas ada IEL University Series, dan Indonesia bahkan sudah punya 20 kampus dan sekolah yang memiliki pendidikan terkait game di dalamnya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Piala Presiden Esports 2020 jadi salah satu bentuk dukungan pemerintah terhadap perkembangan esports di Indonesia. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Lebih lanjutnya, Lee Hyuk juga mengatakan bahwa perkembangan ini terjadi karena perkembangan distribusi smartphone di beberapa negara Asia Tenggara. Untuk Filipina, distribusinya mencapai angka 40% dari total penduduk. Thailand lebih besar lagi, mencapai 70% dari total penduduk dengna 1,7 juta orang menikmati mobile games. Indonesia, mengutip Kominfo, memiliki lebih dari 100 juta orang pengguna smartphone pada tahun 2018 lalu.

Memenangkan pasar Asia Tenggara

Terlepas dari potensinya, cara untuk memenangkan pasar gaming di Asia Tenggara terbilang cukup “istimewa”. Ini mungkin terjadi karena faktor perbedaan budaya antara pengembang/penerbit asal barat dengan para pengguna di Asia Tenggara.

Lee Hyuk menjelaskan walau negara-negara Asia Tenggara pada dasarnya terikat dalam satu regional, namun masing-masing negara punya perbedaan secara kebudayaan, kepercayaan, dan sistem politik. Maka dari itu penting untuk mempersiapkan rencana pemasaran yang sesuai dengan masing-mmasing negara.

“Misal, jika konten Anda menghina keluarga kerajaan, game Anda mungkin sama sekali tidak akan bisa masuk atau diterima oleh pasar, terutama Thailand. Lalu, mengingat kepercayaan seperti Islam dan Hindu tumbuh subur di negara-negara tersebut, Anda harus paham lebih jauh soal apa yang boleh atau tidak menurut kepercayaan tersebut. Lokalisasi adlaah hal terpenting, baik secara dari bahasa, user interface, ataupun sistem pembayaran. Terakhir, Anda juga harus menemukan rekan lokal yang beroperasi di negara tersebut agar game Anda dapat sukses.” perjelas Lee.

Sumber: AKG Games
Percobaan Blizzard penetrasi pasar game Indonesia dengan menggandeng AKG Games, publisher game yang berada di bawah naungan konglomerasi Indonesia Salim Group. Sumber: AKG Games

Contoh ini juga bisa kita lihat sendiri bagaimana Blizzard Entertainment juga sadar akan hal tersebut dan menggandeng AKG Gamespublisher game yang berada di bawah konglomerasi Indonesia Salim Group.

Soal peran rekan lokal yang mungkin tidak dijelaskan Lee secara detail adalah dengan juga melibatkan ekosistem lokal. Hybrid sempat membahas soal kesempatan ekosistem game Blizzard tumbuh di Indonesia. Merangkul lebih banyak pihak dan menjadikan elemen ekosistem lokal sebagai stakeholders akan memperbesar kesempatan suatu game untuk sukses. Dengan demikian, berbagai pihak yang turut kebagian rezeki jadi merasa turut memiliki dan peduli atas keberhasilan game tersebut di ekosistem.