IDBYTE Sekilas Bahas tentang Stigma Esports di Mata Masyarakat

Ketika tim Binus University menjadi juara dari (Indonesia Esports League) IEL University Series tahun ini, mereka mendapatkan kesempatan untuk menjadi perwakilan Indonesia dalam cabang esports untuk game Mobile Legends dan Dota 2. Esports memang menjadi salah satu cabang olahraga yang akan dipertandingkan dalam SEA Games. Jika dalam Asian Games tahun lalu pertandingan esports tak lebih dari pertandingan eksibisi, tahun ini, esports akan menjadi cabang olahraga dengan medali. Ini menunjukkan bahwa esports memang tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Meskipun begitu, masih ada sentimen negatif terhadap esports di kalangan masyarakat Indonesia.

Dalam acara IDBYTE yang diadakan di ICE BSD pada Jumat, 13 September, President Indonesia Esports Premier League (IESPL), Giring Ganesha mengatakan, salah satu masalah terbesar yang dihadapi pelaku industri esports adalah meyakinkan publik bahwa esports tidak melulu berdampak negatif. “Yang paling berdarah-darah adalah harus berbicara ke semua orang kalau esports dan game itu harus didukung,” katanya di atas panggung. Dia menyebutkan, esports dan game adalah bagian dari ekonomi kreatif. Dan meskipun industri pembuatan game lokal masih belum besar, tapi industri tersebut memiliki potensi besar.

Sementara itu, CEO ESIDTV, Gisma Priayudha, yang dikenal sebagai caster Dota 2, Melon, menceritakan pengalamannya ketika dia turut mendukung High School League (HSL) 2018 yang diadakan oleh JD.id. Saat itu, dia harus ikut melakukan roadshow untuk bertemu dengan orangtua siswa dan meminta izin sekolah agar siswanya boleh bertanding dalam liga ini. Dia bercerita, kepala sekolah salah satu SMK di Bekasi sempat menolak. Namun, ketika tim dari SMK itu berhasil juara, sang kepala sekolah justru berubah pikiran dan meminta tambahan komputer. Selain memenangkan turnamen, menurutnya, cara lain untuk memperbaiki persepsi masyarakat tentang esports adalah dengan melakukan edukasi tentang efek positif esports pada masyarakat oleh tim profesional dan komunitas.

CEO dan Co-founder RRQ, Andrian Pauline yang akrab dengan panggilan AP, mengatakan, RRQ telah aktif untuk datang ke SD, SMP, dan SMA. Menurut AP, alasan mereka melakukan itu karena masih banyaknya informasi buruk tentang esports. “Para orangtua masih takut anaknya tidak belajar atau main terus. RRQ punya tanggung jawab moral untuk melakukan edukasi dan sosialisasi bahwa tim profesional punya jadwal bermain. Rata-rata, pemain RRQ main sehari enam jam, maksimal,” katanya. “Karena lebih dari itu, mata lelah, jadi tidak maksimal. Selain itu, juga ada evaluasi, jadi tidak melulu main. Pola tidur dan makan dijaga. Untuk olahraga fisik, seminggu ada dua kali kegiatan. Banyak orang yang tidak tahu, untuk menjadi pro player, tidak mudah. Harus disiplin latihan. Saya ingin memberitahu hal ini pada orangtua.”

Menurut AP, esports itu tidak seharusnya menjadi momok bagi orangtua. Sebaliknya, orangtua justru bisa menjadikan esports dan game sebagai insentif bagi anak untuk bisa berprestasi di sekolah. Dia bercerita, saat kecil, orangtuanya mengizinkan dia untuk bermain game hanya jika nilainya di sekolah bagus. “Akhirnya, saya belajar supaya nilai saya bagus, karena saya mau main game,” ujarnya.

JD.id mengumumkan keberadaan HSL pada September tahun lalu. Ketika itu, Dota 2 menjadi game yang dijadikan sebagai liga, sementara Mobile Legends menjadi game eksibisi. Alasannya, dua game MOBA ini dianggap dapat mendorong para pemainnya untuk bekerja sama, melatih pemain untuk memikirkan strategi, serta menciptakan sifat disiplin dan sportif. Presiden HSL, Stevanus mengatakan, esports bisa membangun mental para pemainnya dan menjadi aktualisasi diri bagi pemain. Hal serupa diungkapkan oleh psikolog anak dan keluarga, Nina Anna Surti Ariani. Total hadiah HSL mencapai Rp1,2 miliar. Namun, hadiah tersebut berupa beasiswa, bantuan penyediaan kurikulum esports, dan juga biaya untuk guru pembimbing ekstrakurikuler esports.

Prestasi dan Reputasi, Dua Alasan GoPay Sponsori RRQ

GoPay resmi menjadi sponsor salah satu tim esports terbesar di Indonesia, RRQ. Hal ini diumumkan oleh RRQ melalui situs resminya pada hari Sabtu, 27 Juli 2019.

GoPay merupakan bagian dari Go-Jek, yang pada awalnya dikenal sebagai penyedia jasa ojek online. GoPay sendiri fokus menawarkan solusi pembayaran non-tunai.

Keputusan GoPay untuk menjadi sponsor tim esports menarik karena sekilas, tak ada hubungan antara fintech tersebut dengan esports. Namun, belakangan memang banyak perusahaan yang menjadi sponsor tim esports demi mendekatkan diri dengan para fans esports.

Merek makanan seperti Pop Mie dan Dua Kelinci pun tertarik untuk menarik perhatian fans esports dengan menjadi sponsor dari EVOS dan RRQ.

“Kami melihat industri gaming berkembang pesat di Indonesia,” kata SVP Digital Product, GoPay, Timothius Martin, saat ditanya mengenai keputusan GoPay untuk menjadi sponsor RRQ.

“Sudah semakin banyak juga nama-nama atlet esports yang muncul di Indonesia dan bahkan go international. Melihat potensi yang besar, GoPay berupaya memberikan dukungan untuk mengakselerasi industri esports di Indonesia.”

RRQ bukanlah tim esports pertama yang disponsori oleh GoPay. Pada Juli lalu, GoPay mengumumkan bahwa mereka akan menjadi sponsor dari Bigetron. Pada 2016, GoPay juga pernah bekerja sama dengan EVOS Esports yang ketika itu merupakan salah satu organisasi esports dengan perkembangan paling pesat.

Tidak sekadar menjadi sponsor dari berbagai tim esports, GoPay juga pernah mensponsori berbagai kompetisi esports, seperti PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) 2019 yang diadakan pada 13-14 Juli lalu dan Mobile Legends: Bang Bang Professional League Season 2 pada 2018.

“Kami percaya, semakin banyak turnamen esports yang digelar di tingkat lokal dan nasional, akan semakin banyak memberikan kesempatan bagi gamers Indonesia berkarir lebih serius sebagai pemain profesional dan bisa menjadi perwakilan bangsa ke level dunia,” kata Timothius.

Menurut Timothius, ada dua alasan mengapa GoPay memutuskan untuk menjadi sponsor dari tim RRQ, yaitu prestasi dan reputasi tim yang sangat baik. “Reputasi dan kepiawaian RRQ telah terbukti dengan ratusan prestasi di berbagai jenis turnamen esports hingga membawa harum nama Indonesia di kancah internasional,” katanya.

Sebagai informasi, pada Juni lalu, RRQ.Athena menjadi juara dari PMCO SEA Finals 2019. RRQ juga sempat bertanding di MET Asia Series: PUBG Classic. Selain prestasi, RRQ juga memiliki fans dalam jumlah yang cukup besar. Akun Instagram resmi RRQ memiliki pengikut hingga 1,2 juta orang.

“Diharapkan, kami bisa terus merangkul pasar game yang lebih luas dan terus mendukung atlet profesional menjadi panutan bagi generasi muda di Indonesia agar dapat mengembangkan minat dan bakatnya di esports secara produktif dan bertanggung jawab,” ungkap Timothius.

RRQ Duduki Peringkat 12 di MET Asia Series: PUBG Classic

MET Asia Series: PUBG Classic selesai digelar (26-28 Juli 2019). Dalam turnamen tingkat Asia ini, Indonesia diwakili oleh RRQ. Sayangnya, meskipun RRQ sukses melewati babak kualifikasi tingkat Asia Tenggara untuk bertanding di MET Asia Series, mereka harus puas dengan peringkat 12.

Tim Gen.G dari Korea Selatan keluar sebagai juara MET Asia Series, membawa pulang hadiah uang sebesar USD130 ribu. Posisi dua diduduki oleh DPG EVGA, yang juga berasal dari Korea Selatan. Sementara posisi ketiga dikuasai oleh tim Weibo dari Tiongkok.

RRQ tampil dalam MET Asia Series setelah bertanding di PUBG Southeast Asia Championship 2019 – Phase 2. Dalam babak kualifikasi tingkat Asia Tenggara itu, RRQ menyabet juara dua dengan hadiah sebesar USD20 ribu.

Sebelum pertandingan, Arwanto “WawaMania” Tanuwiharja mengatakan bahwa Korea dan China menjadi dua negara yang harus diwaspadai dalam MET Asia Series. Dugaannya ini tepat.

Dalam kompetisi tingkat Asia ini, posisi 10 besar didominasi oleh tim dari dua negara itu, hanya ada tiga tim yang tidak berasal dari Korea atau China. Tiga itm itu adalah Armory Gaming dari Thailand, yang menduduki posisi 3, tim AHQ dari Taiwan di posisi 7, dan tim DGW dari Jepang yang ada di posisi 10.

Anda bisa melihat hasil pertandingan dari MET Asia Series pada gambar di bawah.

met asia

MET Asia Series diadakan selama tiga hari, mulai dari tanggal 26 Juli sampai 28 Juli. Pada hari pertama dan kedua, para peserta harus bertanding sebanyak enam kali: tiga kali di peta Erangel dan tiga kali di peta Miramar.

Pada hari pertama, RRQ tampil dengan cukup baik. Meskipun tidak pernah mendapatkan Chicken Dinner, tapi mereka berhasil mendapatkan posisi empat dalam tiga pertandingan. Pada akhir hari pertama, RRQ mendapatkan 36 poin dan 24 kill.

Sayangnya, performa RRQ pada hari kedua memburuk. Dari enam pertandingan pada hari kedua, RRQ hanya dapat meraih 12 poin dan 6 kill. Performa mereka pada hari ketiga membaik, walau tetap tidak sebaik performanya pada hari pertama. Di hari terakhir, RRQ mendapatkan poin 27 dan kill 23.

Pada akhir kompetisi, mereka mendapatkan total poin 75 dengan jumlah kill 53. Sebagai perbandingan, tim Gen.G mendapatkan poin 111 dan kill 75.

Menurut Manajer Divisi PUBG tim RRQ, Denny Wijaya, tantangan tersulit yang harus timnya hadapi saat berkompetisi tidak hanya tim lain, tapi juga diri sendiri.

“Lawan terberat selain tim lain dan para player lain adalah diri sendiri dan zona,” katanya. “Bagaimana mengimplementasi strategi, percaya diri, dan rotasi dengan baik ketika zona tidak ke arah kami.”

Ini bukan kali pertama RRQ bertanding dalam kompetisi level Asia. Pada Januari, RRQ ikut bertanding dalam PUBG Asia Invitational 2019. Ketika itu, mereka hanya dapat meraih peringkat 15 dari 16 peserta.

Dalam MET Asia Series, terlihat bahwa ada peningkatan soal peringkat yang dicapai oleh RRQ, meski tidak banyak. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan tim RRQ dapat menampilkan performa yang lebih baik dan mencapai peringkat yang lebih tinggi.

Mewakili tim RRQ divisi PUBG, Denny berkata bahwa target mereka masih sama seperti sebelumnya, yaitu juara di tingkat global.

“Yang pasti, target berikutnya tetap konsisten dengan target sebelumnya, yaitu juara. Karena kita sudah menembus SEA dan main di Asia, pastinya, target berikutnya ke global,” ujarnya.

Jalan Terjal RRQ Menghadapi MET Asia Series: PUBG Classic

Selain gelaran PUBG Mobile Club Open 2019, akhir pekan nanti juga akan menjadi ajang puncak dari gelaran kompetisi PUBG PC tingkat Asia lewat gelaran MET Asia Series: PUBG Classic. Dalam gelaran ini, tim RRQ yang beranggotakan Surya “Bogor” Mandika Andesta dan kawan-kawan menjadi wakil Indonesia, melawan tim kelas berat asal Korea, China, Jepang, dan sesama Asia Tenggara.

Sebelumnya, divisi PUBG PC RRQ berhasil lolos ke dalam kompetisi ini setelah melewati beberapa kualifikasi, mulai dari tingkat lokal Indonesia, sampai ke tingkat Asia Tenggara. Pada tingkat lokal, RRQ tampil dengan stabil. Mereka berhasil mengalahkan dua tim Aerowolf, yang sedari dulu terkenal kuat di kancah kompetitif PUBG lokal.

Sumber: Facebook Page @PUBG.ID.Official
Sumber: Facebook Page @PUBG.ID.Official

Masuk ke tingkat Asia Tenggara, penampilan RRQ cukup impresif. Melawan jagoan-jagoan FPS asal Thailand, mereka berhasil mendominasi untuk beberapa kali. Satu dua chicken dinner, ditambah kill yang banyak, membuat tim RRQ bisa memborong banyak poin. Alhasil, mereka bisa lolos ke tingkat Asia setelah menjadi runner-up dalam gelaran PUBG SEA Championship.

“Untuk persiapan kita tetap dengan jadwal latihan seperti biasa, scrim dengan tim luar negeri dan ditambah dengan latihan aim secara pribadi.” ucap Denny Wijaya, manajer divisi PUBG RRQ, menyambung mulut dari para pemainnya. Sepeninggalan Ryan “Supernayr” Prakasha dari tim Aerowolf One, peta kekuatan kancah kompetitif PUBG di Indonesia mulai berubah.

Tim RRQ bangkit dengan strategi permainan yang solid, ditambah dengan skill bidikan para pemain yang tajam, membuat RRQ kini menjadi raja baru di kancah kompetitif PUBG Indonesia.

Sumber: PUBG Mobile Indonesia
Sumber: PUBG Mobile Indonesia

“Untuk MET Classic, menurut saya RRQ punya peluang yang cukup bagus.” jawab Arwanto “WawaMania” Tanuwiharja saat saya tanyakan komentarnya. “Pemain-pemain mereka sudah bonding cukup lama. Ditambah lagi, Bogor, pengganti ASWP, mainnya juga sudah klop dengan yang lain.” lanjut Wawa.

Kendati demikian, lawan mereka datang dari regional-regional yang memang terkenal kuat di kancah PUBG. “MET Classic ini lawannya datang dari Korea, China, dan Jepang. Di antara tiga tersebut, ada dua negara yang menurut saya perlu diwaspadai, yaitu Korea dan China.” jawab Wawa, menganalisis. “Mereka jadi perlu diwaspadai karena playstyle-nya yang sangat cerdik. Mereka kerap berpikir 1-step-ahead, yang akan menyulitkan bagi siapapun yang menghadapinya.”

Menghadapi jalan terjal di MET Asia Series, tim RRQ ternyata tak gentar dan tetap optimis. “Kami tidak berani berprediksi, namun kami akan berjuang semampu kami dan mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik kami.” para pemain tim RRQ mengatakan kepada sang manajer, Denny Wijaya.

Sumber: MET Asia Series Official Site
Sumber: MET Asia Series Official Site

Divisi PUBG PC tim RRQ akan bertanding di dalam gelaran MET ASIA Series: PUBG Classic mulai dari hari ini sampai 28 Juli 2019 mendatang. Anda dapat menyaksikan tayangan pertandingan ini pada kanal Twitch resmi milik MET Events.

Dapatkan mereka menjadi yang terbaik, merebut bagian dari total hadiah US$300.000, dan mewakili Indonesia di tingkat internasional? Mari kita doakan agar tim RRQ bisa mendapatkan hasil yang terbaik!

 

Kolaborasi dengan RRQ Berakhir, Paris Saint-Germain Kini Gandeng Supercell

Pada awal tahun 2019 lalu, dunia esports Mobile Legends Indonesia sempat dihebohkan oleh tim Rex Regum Qeon alias RRQ. Tim yang merupakan juara MPL ID Season 2 tersebut menjalin kerja sama dengan salah satu tim sepak bola raksasa asal Perancis, Paris Saint-Germain atau dikenal dengan sebutan PSG. Salah satu bagian penting dari kerja sama ini adalah perubahan nama RRQ menjadi PSG.RRQ, mirip dengan tim Tiongkok PSG.LGD yang melakukan kerja sama serupa.

Fast forward ke 8 Juli 2019, RRQ mengumumkan secara resmi bahwa kerja sama kedua pihak tersebut telah berakhir. Dalam pernyataan di situs RRQ yang berjudul “Thank You PSG”, RRQ menyampaikan rasa terima kasih serta penghormatan mereka kepada PSG, yang telah memberi banyak pengalaman berharga dan berbagi visi untuk membuat esports di Indonesia lebih baik lagi. Meski dua organisasi ini tidak melakukan perpanjangan, hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi PSG dan RRQ berakhir dengan baik.

Lepas dari RRQ, belum lama ini PSG rupanya juga baru menjalin kolaborasi dengan pihak lain, yaitu Supercell. Perusahaan developer di balik Clash of Clans, Clash Royale, serta Brawl Stars itu kini menjadi partner resmi PSG untuk mempromosikan game bikinan mereka kepada audiens penggemar PSG. Tentunya sebagai salah satu klub terbesar Eropa, jumlah audiens yang dimaksud itu besar sekali.

Wujud awal kerja sama antara PSG dan Supercell adalah sebuah video iklan dengan judul “Brawl with the Stars”. Di video ini, para bintang PSG seperti Kylian Mbappe, Angel Di Maria, serta Neymar Jr mempromosikan Brawl Stars yang merupakan judul terbaru milik Supercell. Mereka juga berkata bahwa kita akan bisa “menonton para bintang favorit bermain Brawl”, tapi belum mengumumkan seperti apa program konkretnya.

“Kami gembira menyambut Supercell ke dalam keluarga Paris Saint-Germain. Kedua brand kami sama-sama memiliki ambisi global serta identitas muda dan dinamis yang menarik bagi audiens muda. Dengan lebih dari 75 juta penggemar di media sosial, hampir seperempatnya ada di Asia, klub ini akan membantu Supercell memperkuat popularitasnya di seluruh dunia,” kata Marc Armstrong, Chief Partnership Officer PSG, dilansir dari Esports Insider.

Bagi PSG sendiri, ini bukan pertama kalinya mereka bersentuhan dengan dunia Brawl Stars. PSG memiliki divisi esports yang bernama PSG Esports, dan salah satu timnya berkecimpung di bidang Brawl Stars. Selain itu mereka juga bertanding di cabang FIFA, Rocket League, juga Dota 2 dan FIFA Online yang keduanya bekerja sama dengan LGD.

“Kami bangga bisa bergabung dengan klub yang mengerti dan memiliki passion yang sama terhadap game, dalam rangka belajar dari keahlian serta pengalaman dari satu sama lain. Kami memiliki tujuan yang sama untuk menghibur audiens global dengan menciptakan konten inovatif dan berkualitas tinggi. Kami gembira bisa mengasosiasikan brand kami dengan Paris Saint-Germain, yang terdepan di dunia olahraga dan inovator di dunia esports. Klub ini sudah membentuk tim esports di sekitar game Brawl Stars yang mana kami sangat gembira karenanya,” papar Manuel Langegger, Marketing Manager Supercell di Eropa.

PSG adalah klub terkenal yang penuh dengan pemain kelas dunia, jadi kerja sama ini bisa dipastikan akan mendongkrak nama Brawl Stars. Akan tetapi tentu akan lebih menarik bila bentuk kolaborasinya lebih dari sekadar video iklan. Mungkinkah ada konten-konten bertema PSG di dalam game Brawl Stars dalam waktu dekat?

Sumber: Esports Insider, Rex Regum Qeon

RRQ Kerja Sama Dengan Jaringan Cinema XXI, Siap Manjakan Fans Dengan Layar Besar

Rex Regum Qeon kini, mungkin bisa dibilang sudah jadi salah satu tim esports paling populer di Indonesia. Salah satu penyebabnya, setidaknya menurut saya, adalah karena tim ini yang selalu mengedepankan prestasi dalam berbagai cabang yang mereka geluti. Contohnya saja kemarin, ketika salah satu cabang tim PUBG Mobile RRQ di Thailand, RRQ.Athena, berhasil menjadi juara PMCO SEA Finals 2019.

Maka dari itu, mencoba menjangkau penggemar dari berbagai penjuru nusantara, baru-baru ini RRQ mengumumkan jalin kerjasama dengan salah satu jaringan sinema terbesar di Indonesia, Cinema XXI. Kerjasama ini diumumkan berbarengan dengan acara Meet and Beat RRQ Athena yang diselenggarakan di Epiwalk XXI, Rasuna Said, Jakarta, pada 25 Juni 2019 kemarin.

Dalam acara kumpul jumpa fans dengan tim RRQ Athena tersebut, para penggemar diajak untuk bermain dan menonton pertandingan PUBG Mobile di layar bioskop milik Cinema XXI.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Keseruan para fans ketika berjumpa dengan sang jawara PUBG Mobile, RRQ Athena. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

“Kami sangat senang bisa bekerja sama dengan RRQ. Kami percaya banyak dari penonton kami juga pecinta game ataupun sebaliknya. Kami yakin lewat kerjasama ini, komunitas RRQ maupun Cinema XXI akan makin sering mengadakan event seru bersama.” Ujar Catherine Keng, Corporate Communication Cinema XXI.

Andrian “AP” Pauline, CEO Team RRQ, juga turut berkomentar soal kerjasama antara RRQ dengan Cinema XXI. “Semoga dukungan Cinema XXI dapat menjadi momentum untuk meningkatkan animo para gamers dan moviegoers di Indonesia terhadap esports. Industri esports semakin maju dan berkembang, event esports dapat mulai diselenggarakan di bioskop, dan tentunya semoga Team RRQ akan semakin dikenal baik di Indonesia dan berkembang bersama dengan Cinema XXI.”

Lebih lanjut soal kerjasama, Andrian Pauline lalu sedikit membocorkan beberapa rencana acara yang diselenggarakan saat kami tanyakan dalam sesi tanya jawab di gelaran Meet and Beat RRQ Athena. “Kami sedang menggodok beberapa event bersama dengan Cinema XXI. Mengingat ini adalah hal yang baru, jadi kami juga harus diskusi terlebih dahulu, internal maupun dengan pihak Cinema XXI. Dan….ya, event yang kami maksud ini adalah sebuah turnamen, yang akan kami coba selenggarakan di dalam Cinema XXI.”

Andrian Pauline, dalam sesi tanya jawab dengan awak media seputar kerjasama RRQ dengan Cinema XXI. Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Andrian Pauline, CEO RRQ, dalam sesi tanya jawab bersama awak media, membicarakan seputar kerjasama RRQ dengan Cinema XXI. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ini tentu akan memberikan pengalaman yang baru. Tapi kalau bicara bertanding di dalam Cinema XXI, rasanya mungkin akan jadi sedikit janggal. Mengingat suara speaker stereo yang sangat menggelegar, para pemain bisa jadi tidak konsentrasi dibuatnya bukan? Tapi, bagaimana kalau nonton tayangan esports di Cinema XXI? Hal itu tentu akan jadi pengalaman baru yang sangat menyenangkan bagi para penggemar esports! Saya sendiri bahkan turut bersemangat ketika menulis tentang hal ini!

“Wah media yang datang hari ini kritis-kritis sekali ya, saya jadi nggak bisa bikin surprise lagi dong buat fans..hahaha.” Ucap pria yang biasa disapa AP, seraya bersenda bergurau saat menerima pertanyaan tersebut. “Ya benar sekali, kami merencanakan akan mengadakan acara nonton bareng atau pubstomp PMCO Global Finals, agar para fans dapat lebih puas menyaksikan perjuangan RRQ Athena di layar besar Cinema XXI.”

Menarik melihat perkembangan esports di tahun 2019 ini. Sungguh tidak diduga, bagaimana besarnya esports, membuat berbagai pihak jadi tertarik dan terpincut untuk turut berinvestasi atau bekerja sama. Kerjasama RRQ dengan Cinema XXI, selain memang merupakan hal yang baru, tapi tentunya juga menjadi hal yang sangat menarik dan bisa membuat para fans RRQ jadi makin terpincut.

Indofood Mantapkan Langkah Dukung Esports Indonesia

Indofood (PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk) kembali memeriahkan pameran Jakarta Fair Kemayoran (JFK) yang digelar mulai tanggal 22 Mei-30 Juni 2019. Keikutsertaan mereka, yang kali ini bertajuk “Satukan Rasa di Rumah Indofood”, menandai bahwa Indofood tidak pernah absen dalam 10 tahun terakhir untuk memeriahkan pameran terbesar se-Asia Tenggara ini.

Selain menggelar Rumah Indofood, mereka juga menggelar Area Gaming Corner ‘Good Luck Have Fun (GLHF Corner) sebagai wujud manifestasi dukungan Indofood melalui brand Pop Mie terhadap perkembangan esports Indonesia.

Gaming Corner ini tidak hanya bisa digunakan untuk menonton tapi juga bermain bersama dengan para pemain profesional EVOS Esports (16 Juni 2019) dan RRQ (23 Juni 2019).

“Kami melihat saat ini esports semakin digemari oleh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Oleh karena itu, Pop Mie menjadikan esports sebuah wadah untuk menyatukan rasa kebersamaan melalui Rumah Indofood di JFK 2019, yang diharapkan mampu menciptakan keseruan saat bermain serta menjadi teman makan andalan yang mudah dikonsumsi serta dikonsumsi.” Ujar Vemri Junaidi, Senior Brand Manager Pop Mie di rilis yang kami terima.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saat Meet&Greet dan Mabar bersama RRQ (23 Juni 2019), Vemri juga sempat berbincang seputar Indofood dan esports bersama dengan Andrian Pauline (CEO RRQ) dan Febrianto Genta Prakarsa (Pro Player PUBGM dari RRQ).

Saat berbincang, muncul sebuah pertanyaan, apakah Pop Mie juga akan mendukung atau menjalin kerja sama dengan tim-tim lain selain RRQ dan EVOS? Vemri pun menjawab bahwa mungkin saja akan ada tim-tim lain yang akan didukung, selama hal tersebut dapat mendukung ekosistem esports Indonesia.

Selain itu, mengingat saat ini Pop Mie dan Indofood sudah menjadi sponsor tim dan event (ESL National Championship dan Clash of Nations), saya pun menanyakan apa perbedaannya mendukung 2 aspek esports yang berbeda tadi. Vemri pun menjawab, “mendukung tim adalah soal branding, bagaimana Pop Mie selalu eksis di kalangan anak muda. Sedangkan untuk event, yang mereka cari di sana adalah soal engagement. Jadi, memang berbeda kebutuhannya.”

Dokumentasi: Indofood
Dokumentasi: Indofood

Berbicara soal event, saya pun menggali lebih jauh tentang pemilihan game-nya antara PC atau mobile. Menurut Vemri, pemilihan game-nya memang lebih baik disesuaikan dengan pasar Indonesia yang lebih dominan di platform mobile.

Jadi, kira-kira tim mana lagi yang menyusul RRQ dan EVOS digandeng Pop Mie? Bagaimana dengan event esports dengan dukungan Indofood yang selanjutnya?

Upaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 Indonesia

Bulan April 2019 kemarin menjadi bulan berkabung buat para pemerhati esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, tanggal 25 April 2019, Rex Regum Qeon (RRQ) menutup divisi Dota 2 mereka. Tak lama berselang, 29 April 2019, The Prime Esports juga turut menutup divisi tertua mereka.

Memang, tim Dota 2 Indonesia yang paling berprestasi sampai sekarang, BOOM ID masih terus bertahan dan malah mengukir prestasi-prestasi baru di tingkat internasional. Selain itu, PG Barracx juga bahkan punya 3 tim Dota 2 (setidaknya sampai artikel ini ditulis, sepengetahuan saya). EVOS Esports juga sepertinya masih punya keyakinan dengan divisi Dota 2 mereka, berhubung belum lama menarik salah satu pemain bintang; Muhammad “inYourdreaM” Rizky.

Sumber: Instagram Team RRQ
Sumber: Instagram Team RRQ

Namun demikian, bubarnya RRQ dan The Prime bisa jadi bukti nyata memang ada masalah yang tak terurai (atau bahkan tak disadari) dengan ekosistem esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, kedua organisasi ini memang bisa dibilang sebagai salah dua tonggak sejarah perkembangan ekosistem esports Dota 2 Indonesia.

RRQ merupakan salah satu pionir esports Dota 2 di sini dan menjadi rumah bagi salah satu legenda Dota Indonesia, Farand “Koala” Kowara. RRQ juga menjadi tempat berkembang besarnya Kenny “Xepher” Deo, yang sempat bermain untuk TNC Tigers dan sekarang membawa nama Geek Fam. Kedua tim tadi adalah tim besar asal Malaysia.

Di sisi lain, The Prime Esports juga tak bisa dipandang sebelah mata atas signifikansinya memantapkan Dota 2 jadi game esports terlaris selama bertahun-tahun di Indonesia; sebelum mobile esports menyerbu. Mereka sempat menguasai dunia persilatan Dota 2 Indonesia beberapa tahun silam. The Prime Esports, yang dulu dikenal dengan nama TP NND, juga menjadi kampung halaman yang membesarkan nama-nama besar di Dota 2; seperti inYourdreaM, KelThuzard, Nafari, Rusman, R7, dan yang lainnya.

Untuk mencoba mengurai masalah ekosistem esports Dota 2 di Indonesia kali ini, saya pun menghubungi berbagai pihak terkait. Saya menghubungi General Manager The Prime Esports, Anton Sarwono, dan CEO Team RRQ, Andrian Pauline. Tidak lupa juga saya menanyakan beberapa pendapat shoutcaster Indonesia yang besar dari scene Dota 2 seperti Gisma “Melon” Priayudha Assyidiq, Riantoro “Pasta” Yogi, dan Dimas “Dejet” Surya Rizki.

Dari obrolan saya bersama kawan-kawan saya tadi, ada sejumlah masalah yang saling terkait yang saya temukan di ekosistem esports Dota 2. Sebelum kita membahas masalah-masalah tadi, saya kira penting saja untuk menyebutkan motivasi saya menuliskan ulasan ini. Saya pribadi sudah berkecimpung di industri game Indonesia dari 2008. Jadi, saya punya kepentingan dan keinginan untuk melihat industri ini terus bertahan (sustainable) sampai nanti di masa mendatang (atau paling tidak sampai saya sudah tak bisa bekerja lagi).

Karena itulah, saya tak bermaksud membuat tulisan ini menjadi ‘drama’ dengan menyudutkan satu pihak tertentu. Motivasi utama saya hanyalah bagaimana Anda dan kawan-kawan sekalian yang peduli dengan industri ini menyadari masalah dan berupaya bersama untuk ekosistem yang lebih baik.

Regenerasi Ekosistem yang Tersendat

Beberapa waktu yang lalu, saya sebenarnya pernah menuliskan perbincangan saya dengan Yohannes Siagian, Vice President EVOS Esports, tentang masalah regenerasi ini (Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi). Namun mungkin memang proses regenerasi sendiri adalah proses panjang yang butuh waktu.

Ketika kita berbicara soal regenerasi, hal ini tidak harus selalu berarti kehabisan pemain karena masalah usia. Saya kira saya harus meluruskan hal ini karena banyak yang masih salah kaprah. Namun permasalahan regenerasi adalah juga soal bagaimana ekosistem mampu mencetak pemain-pemain baru, dengan jenjang yang jelas.

Saya sebenarnya sudah mulai melihat persoalan ini sejak tahun 2018. Pasalnya, di banyak bursa transfer tahun lalu pun, tidak banyak nama-nama pemain yang baru muncul. Hampir semua bursa transfer pemain Dota 2 di 2018 adalah soal pemain lama yang pindah dari tim profesional ke tim lain. Bukan pemain yang benar-benar belum pernah bergabung dengan tim profesional sebelumnya.

Imbas dari impotensi regenerasi ini pun dirasakan oleh The Prime dan RRQ. Menurut pengakuannya masing-masing, baik Anton dari The Prime ataupun AP dari RRQ sebenarnya juga sudah mencoba memasukkan pemain rookie ke dalam divisi Dota 2 mereka. Namun solusi ini tak berhasil karena kendala yang tak jauh berbeda.

AP dari RRQ mengatakan bahwa kendala di para pemain rookie yang ia temukan adalah tingkat permainan mereka yang terlalu jauh di bawah standar. “Standarnya jauh banget (dengan pemain pro).” Kata AP. Standar yang terlalu jauh ini memang jadinya tidak masuk akal untuk kondisi tim Dota 2 RRQ terakhir. Pasalnya, sebelum bubar, tim mereka masih punya pemain-pemain berpengalaman seperti Rusman, R7, Yabyoo, dan Acil.

Sedangkan Anton bercerita bahwa kendalanya ada di para pemain baru yang tidak bisa full time alias bootcamp karena kesibukan mereka sebagai pelajar ataupun mahasiswa. Tanpa bootcamp, jelas perkembangan mereka jadi tak maksimal. Jadwal latihan mereka pun jadi tak bisa optimal seperti layaknya para pemain yang bisa terus tinggal di gaming house.

Masalah regenerasi tadi terjadi karena memang tak ada ruang-ruang kompetitif untuk kelas amatir ataupun pelajar (mahasiswa) sebelumnya. Tahun 2018 dan 2019 ini sebenarnya sudah ada beberapa kompetisi Dota 2 untuk kelas di bawah profesional, seperti JD HSL untuk kelas SMA dan IEL untuk kelas mahasiswa. Namun demikian, sekali lagi, proses regenerasi butuh waktu.

IEL University. Sumber: IESPA
IEL University. Sumber: IESPA

Di sisi lainnya lagi, menurut saya, persoalan regenerasi ini juga terjadi tak hanya untuk suplai pemain namun juga untuk orang-orang di belakang layarnya. Dalam kasus ini, ekosistem esports kita juga masih kekurangan suplai manajer tim yang mumpuni.

Saat saya berbincang dengan Anton dari The Prime, saya pun menanyakan hal ini, “jika punya manajer tim yang hebat, apakah memungkinkan sebuah tim bisa berkembang tanpa bootcamp?” Anton pun menjawab, “mungkin saja.”

“Betul (talent pool manajer yang kurang juga). Makanya ada beberapa divisi (The Prime) yang masih gua pantau dari jauh. Cuma, kalau manajernya qualified, langsung gua lepas.” Cerita Anton.

Berhubung akan terlalu panjang jika dibahas detailnya di sini, mungkin saya akan bahas khusus soal manajer tim esports di lain waktu. Namun singkatnya, meski memang idealnya manajer tim bisa ditempati oleh mantan-mantan pemain seperti Aldean Tegar Gemilang dari EVOS Esports ataupun Brando Oloan dari BOOM ID, jalur tersebut makan waktu terlalu lama untuk mencetak sumber daya manusia baru yang kompeten.

Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Meski demikian, persoalan suplai pemain profesional mungkin lebih pelik ketimbang manajer tim. Karena kemampuan mengatur sumber daya manusia bisa dilatih di ruang-ruang lain, di luar ekosistem esports. Sedangkan mencetak para pemain rookie yang siap naik kasta memang hanya bisa dilakukan di dalam ekosistem esports-nya sendiri.

Absennya Dukungan Publisher

Jika berbicara mengenai ruang kompetitif buat kelas rookie, memang ada 2 pihak yang bisa dibilang ideal untuk menangani hal ini: pemerintah dan publisher game tersebut. Sayangnya, untuk Dota 2, mungkin kita tidak akan bisa sampai pada kondisi ideal.

Jika berbicara soal peran pemerintah di esports, jujur saja, saya tak berharap banyak. Kenapa? Karena industri esports Indonesia sendiri belum bisa menjadi sumber devisa untuk negara. Lain halnya jika esports sudah bisa menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk negara.

Di sisi lainnya, AP dari RRQ mengutarakan pendapatnya bahwa publisher game-nya lah yang seharusnya memerhatikan masalah ekosistem rookie. “Ini dari developer/publisher game-nya yang harusnya notice. Mereka yang punya power lebih. Tapi ada baiknya juga semua pelaku di industri aware tentang hal ini.” Ujar AP.

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat AP tadi. Sayangnya, dari awal Dota 2 dirilis, saya belum pernah mendengar bisikan-bisikan tentang keseriusan Valve menggarap scene esports game mereka di Indonesia.

Kenapa publisher merupakan pihak yang ideal untuk menggarap scene rookie? Karena hal tersebut adalah bentuk investasi jangka panjang untuk pihak ketiga, tim dan event organizer, dan tidak semua pelakunya punya kapasitas untuk itu.

Namun demikian, ketimbang menanti Valve melirik esports Indonesia yang mungkin tak akan pernah terjadi, para pelaku industri esports kita harus mau bertindak dan berbuat sesuatu.

Sumber: Dota 2 Official Media
Sumber: Dota 2 Official Media

“Harusnya ada roadmap yang jelas, setiap turnamen besar harus dipaketin sama turnamen amatirnya. Bahasa sederhananya… Amatir scene perlu disubsidi. Nyari untung di pro-scene; tapi supaya industrinya sustain, harus ada timbal baliknya dong. Jangan semua mau metik tapi ga mau menabur. Hahaha!” Jelas AP seraya berseloroh.

Hal yang serupa juga diutarakan oleh Gisma A.K.A Melondoto. Para pelaku industri harus mau membagi porsi antara mobile esports (yang mungkin sekarang dianggap lebih menguntungkan) dan PC. Misalnya, 70% resource untuk mobile dan 30% untuk PCMenurut Melon, ajang kompetitif untuk kelas amatir memang bisa jadi solusi untuk regenerasi.

Saya kira memang solusi soal ajang kompetitif untuk amatir ini memang harus segera dijalankan, ataupun digalakkan buat yang sudah berjalan, karena proses pematangan para pemain amatir butuh proses yang tidak sebentar.

Minimnya Pemahaman Exposure sebagai Komoditas Industri

Jika berbicara soal esports mobile, tak jarang hal tersebut juga sering dijadikan kambing hitam atas menurunnya popularitas esports di PC; seperti yang diutarakan oleh Dimas Dejet. Ia berpendapat bahwa esports mobile membuat esports PC kalah dalam hal exposure. Lagipula, Dejet juga menambahkan bahwa esports sekarang adalah soal industri. Jadi, menurutnya, ada ideologi yang harus dikorbankan. “Ada kalanya nyerah sama ideologi daripada memaksakan sesuatu yang tidak menghasilkan.” Ungkap Dejet.

Saya pribadi setuju dengan sebagian pendapatnya. Dari sisi exposure, saya kira saya tak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa esports PC memang kalah popularitasnya saat ini. Menurunnya exposure esports PC memang ada kaitannya dengan meningkatnya popularitas esports mobile. Namun, masih banyak orang yang mungkin belum sadar betul soal perhatian dan exposure sebagai komoditas.

Faktanya, jika kita berbicara soal exposure atau perhatian end-user, ada satu batasan absolut yang tak dapat dipungkiri; yaitu waktu kita.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Setiap manusia, siapapun itu, cuma punya waktu sehari 24 jam. Jika ada lebih banyak orang yang menghabiskan waktunya bermain game mobile ataupun menonton esports-nya, hal ini berarti lebih sedikit waktu yang tersisa untuk esports lainnya (dalam hal ini PC). Namun demikian, hitung-hitungan tadi hanya berlaku untuk end-user yang memang bermain game ataupun menonton esports untuk 2 platform, PC dan mobile.

Padahal, saya tahu betul bahwa memang ada orang-orang yang hanya bermain game di satu platform dan orang-orang yang tidak menonton semua pertandingan esports untuk semua game yang ada. Misalnya, ada banyak orang yang memang hanya bermain di console ataupun hanya di PC.

Banyak yang mengatakan bahwa platform mobile lebih populer gara-gara harganya dan mobilitasnya. Hal tersebut memang ada benarnya namun jarang saya yang mendengar argumentasi soal keterbatasan waktu untuk gamer console dan PC. Maksud saya seperti ini, bisa jadi, gamer PC dan console itu memang punya waktu luang yang lebih terbatas. Kembali lagi, kita semua punya keterbatasan waktu yang absolut.

Karena itu, gamer PC dan console mungkin tidak akan punya banyak waktu lebih untuk menonton esports-nya. Apalagi, jika berbicara soal exposure dan perhatian, esports Dota 2 sendiri harus bersaing dengan pertandingan-pertandingan tingkat internasional (Minor ataupun Major). Jadwal turnamen luar dan dalam negeri sendiri sudah tak relevan lagi diperdebatkan jika perspektif waktu tadi masih disadari.

Maksud saya seperti ini, anggaplah di satu hari ada turnamen Minor jam 2 pagi. Fans yang menonton pertandingan itu sampai selesai, mungkin tak akan menonton pertandingan lokal keesokan harinya karena masih mengantuk setelah begadang semalaman. Jadwal pertandingan sudah tak lagi relevan dalam berebut perhatian penonton karena, nyatanya, kita punya kesibukan lainnya setiap hari yang menghabiskan waktu.

Kenapa hal ini jadi masalah yang penting disadari? Karena industri yang baik adalah yang paham betul soal komoditas, satuan, dan alat tukar industri tersebut.

Kurangnya Fokus dan Investasi Jangka Panjang

Mengutip kembali kata AP di atas tadi, yang mengatakan bahwa masalah regenerasi harus disubsidi, saya memang setuju sekali dengan tujuannya. Namun, saya pribadi kurang setuju dengan istilah dan konsep soal ‘subsidi’ untuk regenerasi.

BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.
BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.

Di sisi lain, dari obrolan saya bersama Dejet dan Melondoto, pandangan esports mobile yang lebih menggiurkan dan menguntungkan saat ini memang jadi konsensus sebagian besar pelaku bisnis esports di Indonesia. Tak hanya itu, dari pengalaman saya berbincang dengan berbagai pelaku industri esports belakangan ini juga mengemukakan hal yang senada. Maka dari itu, lebih banyak pelaku bisnis esports (mulai dari tim, EO, sponsor, media, bahkan para pekerjanya) saat ini yang fokus menggarap game-game mobile ketimbang PC; termasuk Dota 2.

Lalu apa benang merahnya antara soal istilah ‘subsidi’ tadi dan pergeseran tren ke mobile esports? Menurut saya, benang merahnya ada di kurangnya fokus dan investasi jangka panjang di banyak pelaku bisnisnya.

Itu tadi kenapa saya kurang setuju dengan istilah ‘subsidi’. Subsidi itu seperti sebuah sedekah atau hibah, yang memang tidak mengharap imbalan. Sedangkan menghidupkan ekosistem kompetitif untuk tingkat amatir adalah soal investasi jangka panjang, setidaknya menurut saya pribadi. Pasalnya, memang harus ada imbas alias keuntungan yang diharapkan dan bahkan direncanakan dari soal investasi untuk ekosistem kelas amatir.

Izinkan saya mengambil contoh dari pemain industri-industri besar di luar sana. Jika kita berbicara soal industri teknologi, R&D (research and development) adalah bentuk investasi jangka panjangnya. Menurut laporan dari Recode yang dirilis di VOX tahun 2018, Amazon bahkan menggelontorkan dana sampai mendekati angka US$23 miliar untuk R&D. Alphabet, induk perusahaan Google, merogoh kocek mereka sampai dengan US$16 miliar untuk kebutuhan yang sama. Sedangkan Intel mencapai angka US$13 miliar dan Microsoft mencapai angka US$12 miliar.

Modal untuk R&D yang besarnya amit-amit tadi memang tak bisa langsung diraih keuntungannya dalam waktu dekat namun hal ini harus dilakukan untuk memastikan para pemain tadi (termasuk industrinya) masih bisa sustain untuk jangka waktu yang panjang.

Kurangnya fokus untuk jangka panjang ini jugalah yang saya lihat dari para pelaku industri esports yang beramai-ramai menggelontorkan sebagian besar anggaran ke mobile esports, hanya karena trennya lagi ramai di sana.

Sebelum salah kaprah, saya harus katakan bahwa saya tak ada masalah dengan ramainya esports mobile. Saya pribadi, sebagai salah satu pelaku industri game Indonesia, sungguh bersyukur ada Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) dan Moonton di Indonesia. Karena, bagaimanapun juga, mereka punya andil besar membawa industri esports Indonesia sampai ke titik ini.

Sumber: ThePrime official Media
Sumber: ThePrime official Media

Kritik saya bukanlah soal esports mobile-nya namun kepada perilaku gegabah yang mengambil keputusan hanya dari sebatas tren semata tanpa ada pertimbangan konsekuensi jangka panjang. Jika hal ini terus dilakukan, bukan tidak mungkin juga game-game esports mobile yang sedang naik daun sekarang akan mengalami nasib yang sama.

Misalnya saja soal tren yang terjadi di ajang kompetitif di 2018. Tahun lalu, sebagian besar turnamen esports pihak ketiga (jika tidak mau dibilang semua) pasti ada pertandingan Mobile Legends nya. Bagi saya pribadi, hal ini juga sebenarnya tidak baik untuk sustainability dari Mobile Legends karena fans esports nya bisa jadi bosan dan ‘kebal’ dengan hype yang coba ditawarkan.

Anggap saja seperti ini, andaikan ada Piala Dunia dan Liga Champion (sepak bola) 5 kali dalam setahun. Apakah hype-nya masih bisa terjaga? Saya kira tidak.

Hal ini juga sebenarnya terjadi untuk kasus Dota 2. Faktanya, sebelum ada Mobile Legends, Dota 2 menjadi favorit para penyelenggara esports di Indonesia. Namun semuanya memang hanya memilih Dota 2 karena trennya saat itu, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut.

Memikirkan solusi mencari keuntungan dari investasi jangka panjang itu memang tidak mudah karena tingkat kompleksitasnya yang tinggi. Namun, buat Anda yang membaca artikel ini, tak ada salahnya juga untuk mulai berpikir ke depan dan mulai membuka diskusi tentang ini.

Faktanya, pengetahuan kolektif (collective wisdom and knowledge) adalah yang membuat kita manusia berkembang sampai hari ini, menguasai dunia, dan berbeda dari binatang lainnya.

Soft Skill Pro Player Dota 2 yang Perlu Digali Lebih Jauh

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Obrolan saya bersama Pasta lah yang membuat saya menyadari memang butuh satu bagian lagi dalam upaya saya kali ini mengurai permasalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

“Sama ini paling, player-nya bisa branding diri mereka juga atau engga, supaya penonton bisa lebih antusias buat nontonin mereka live stream atau tanding. Kalau di MLBB kan gitu.” Ujar Pasta.

Di sisi lainnya, saat saya berbincang dengan AP dan Anton, saya juga sebenarnya menanyakan soal memasukkan pemain luar negeri ke divisi Dota 2 mereka. Kendala yang mereka rasakan soal ini juga sama, yaitu soal bahasa.

2 hal tadi adalah soal soft skill yang saya kira punya pengaruh terhadap masalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

Mari kita bahas soal bahasa lebih dulu. Tim-tim Dota 2 luar negeri sebenarnya juga terdiri dari pemain-pemain berbagai negara. OG saat menjadi juara The International 2018 berisikan pemain-pemain dari 5 negara. Team Liquid saat jadi juara The International 2017 bahkan berisikan pemain dari 6 negara.

Di CS:GO, ada 2 pemain Indonesia yang juga bermain untuk tim Tiongkok, TYLOO; Hansel “BnTeT” Ferdinand dan Kevin “xccurate” Susanto. Saya yakin mereka tidak pakai bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan rekan satu timnya yang berasal dari Tiongkok.

Selain berguna untuk timnya sendiri yang memungkinkan untuk mengambil pemain luar negeri, penguasaan bahasa selain bahasa Indonesia sebenarnya penting juga untuk para pemain kita jika tidak ingin terjebak dengan scene esports lokal. Soal ini, solusinya mungkin sudah bisa dimulai dari sekarang untuk tim-tim esports lokal yang bermain game esports yang scene-nya besar di luar sana; seperti menerapkan aturan untuk pembelajaran bahasa Inggris untuk semua pemainnya.

Di sisi lain, seperti yang diungkap oleh Pasta tadi, saya pribadi setuju dengan pendapatnya soal para pemain Dota 2 Indonesia yang memang kurang memanfaatkan panggung mereka sebagai figur publik. Selebritas atau popularitas pemain esports, menurut saya, memang berpengaruh terhadap scene-nya secara keseluruhan.

Maksud saya seperti ini, rivalitas antara Messi dan Ronaldo (sebelum pindah ke Juventus) adalah salah satu faktor juga ramainya penonton pertandingan antara Barcelona dan Real Madrid. Hal ini juga terjadi di pertandingan MLBB antara RRQ dan EVOS Esports, karena masing-masing punya Lemon dan JessNoLimit. Ketokohan dua pemain tadi di MLBB, saya kira berpengaruh terhadap jumlah penontonnya.

Dari pengalaman saya sebagai jurnalis, saya sendiri merasakan bahwa para pemain MLBB itu lebih ramah terhadap media. JessNoLimit yang bahkan punya 5,5 juta subscribers di YouTube itu media darling karena memang ia cukup pandai bersikap kepada para awak media. Demikian juga dengan banyak pemain MLBB yang saya kenal seperti Oura, G, Fabiens, Arss, Jeel, dan kawan-kawannya yang akan terlalu banyak jika disebutkan semuanya di sini.

Memang, tak semua pemain MLBB juga terbuka diwawancarai (buat anak-anak media esports dan game pasti tahu siapa saja yang saya maksud, hahahaha…) Namun, setidaknya jumlah para pemain MLBB yang lebih ramah saat dimintai kutipan ataupun komentar itu lebih banyak ketimbang pemain Dota 2 (setidaknya berdasarkan pengalaman saya pribadi).

Soft skill semacam bahasa ataupun kepandaian memanfaatkan panggung sebagai figur publik ini, saya percaya betul sangat berpengaruh terhadap ekosistem esports-nya secara keseluruhan. Harapannya, lebih banyak manajemen tim yang juga mulai menyadari betapa pentingnya hal ini untuk diajarkan.

Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull
Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull

Penutup

Sebelum jadi skripsi ratusan halaman, itu tadi 5 masalah yang saya temukan berpengaruh terhadap ekosistem Dota 2 di Indonesia. Saya kira masalah-masalah ini juga sebenarnya terjadi di ekosistem game esports lainnya di Indonesia (CS:GO uhuk…).

Jadi, dari upaya saya mengurai permasalahan ini, semoga saja kita semua bisa belajar lebih jauh dan berdiskusi sehat demi ekosistem esports Dota 2 ataupun game esports lainnya yang lebih dewasa dan berumur panjang.

Harumkan Nama Indonesia, PSG.RRQ Raih Juara MLBB SEA Clash of Champions

Gelaran SEA Games 2019 memang masih belum akan terjadi hingga beberapa bulan ke depan, tapi hangatnya persaingan esports Mobile Legends: Bang Bang di wilayah Asia Tenggara sudah mulai terasa. Hal ini bisa kita lihat dalam turnamen internasional SEA Clash of Champions, pada hari Sabtu dan Minggu, tanggal 18 – 19 Mei lalu. Turnamen yang diadakan di Suntec City Convention Center Singapore tersebut mengundang 6 tim kuat dari beberapa negara Asia Tenggara untuk membuktikan siapa wakil negara yang paling kuat.

Indonesia diwakili oleh tim Rex Regum Qeon alias PSG.RRQ dan Team Flash, sementara sebagai wakil tuan rumah Singapura adalah EVOS Esports SG. Cignal Ultra hadir sebagai juara nasional yang mewakili Filipina, didampingi perwakilan Malaysia yaitu Geek Fam. Terakhir, perwakilan dari Myanmar adalah tim Burmese Ghouls. Dihadiri oleh lebih dari 2.000 penonton, SEA Clash of Champions merupakan turnamen Mobile Legends tingkat regional pertama yang digelar di Singapura.

SEACOC - Photo 1
Suasana SEA Clash of Champions | Sumber: Reddentes Sports

PSG.RRQ sudah tampil mendominasi sejak di Group Stage. Di sini meraka masuk ke dalam Group A, berhadapan dengan Team Flash dan Cignal Ultra dengan sistem Best of 1. Para anggota PSG.RRQ yang terdiri dari Lemon, AyamJago, Liam, Vyn, dan Tuturu sama sekali tidak mengalami kesulitan di sini. Baik Team Flash maupun Cignal Ultra sama-sama bertekuk lutut dengan skor 1-0, dan PSG.RRQ pun berhak maju ke semifinal.

Di babak semifinal ini mereka berhadapan dari Geek Fam dalam format pertandingan Best of 3. Namun rupanya dominasi PSG.RRQ masih tak terhentikan. Seperti dua tim sebelumnya, Geek Fam pun menyerah tanpa balas dengan skor 2-0. PSG.RRQ nyaris saja mencetak rekor tak terkalahkan dalam turnamen ini, andai saja mereka tidak berhadapan dengan tim kuat di Grand Final yaitu EVOS Esports SG.

SEACOC - Photo 2
Liam, pemain muda andalan PSG.RRQ | Sumber: Reddentes Sports

Menurut portal berita Singapura The Straits Times, EVOS Esports SG sebetulnya merupakan tim yang tidak diunggulkan, karena lawan-lawan mereka lebih berpengalaman dan punya waktu persiapan lebih panjang. Tapi ternyata EVOS Esports SG berhasil membuktikan kekuatan mereka dengan mengalahkan Cignal Ultra di semifinal, yang notabene merupakan salah satu favorit.

EVOS Esports SG pun memberikan perlawanan kuat di Grand Final yang menggunakan sistem Best of 3. Sempat tertinggal lebih dulu dari PSG.RRQ, mereka berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Namun pada akhirnya PSG.RRQ terbukti lebih unggul. PSG.RRQ menjadi juara dengan skor 2-1 dan berhak membawa pulang hadiah senilai US$5.000 (sekitar Rp72,4 juta). Salah satu pemain PSG.RRQ yaitu AyamJago pun mendapat gelar Tournament MVP.

SEACOC - Photo 3
SEA Clash of Champions dihadiri tim dari 5 negara Asia Tenggara | Sumber: Reddentes Sports

Kapten EVOS Esports SG, OhDeerBambi, berkata bahwa perbedaan antara timnya dan PSG.RRQ adalah faktor mental dan komunikasi, dua hal yang akan EVOS perbaiki jelang turnamen-turnamen berikutnya. Tapi kekalahan ini tidak membuat OhDeerBambi patah semangat. “PSG.RRQ tampil dominan sepanjang turnamen, jadi kami sangat bangga dapat mencuri angka dari mereka dan juga menunjukkan bahwa kami adalah tim terkuat kedua di wilayah ini (Asia Tenggara). Kami tidak punya banyak waktu persiapan setelah kualifikasi lokal, tapi kami akan jadi lebih baik lagi di masa depan,” ujarnya dalam wawancara dengan The Straits Times.

Lemon dari PSG.RRQ yang meraih gelar juara pun tidak jemawa atas pencapaian timnya. Ia berkata, “Kami senang bisa mengalahkan EVOS karena mereka adalah tim top di Singapura. Tapi saya rasa kami bisa jadi lebih baik lagi dari ini dan ada banyak hal yang perlu kami benahi.”

Dalam situs resminya, PSG.RRQ menyebut peraihan gelar SEA Clash of Champions 2019 sebagai sebuah “Endgame” bagi tim ini. Akan tetapi sesungguhnya perjuangan masih belum berakhir. Bisakah PSG.RRQ menunjukkan prestasi serupa di acara SEA Games 2019 nanti? Kita tunggu saja tanggal mainnya.

Sumber: PSG.RRQ, The Straits Times, Reddentes Sports

RRQ.Eggsy Akan Tampil Dalam Gelaran eChampions League 2019

Ega “RRQ.Eggsy” Rahaditya baru-baru ini mendapat undangan untuk bertanding dalam gelaran internasional, FIFA 19 eChampions League. Turnamen yang bisa dibilang sebagai versi digital dari liga Champion ini, akan diselenggarakan pada 26-27 April 2019 mendatang di Manchester, Inggris. Kompetisi ini merupakan salah satu bagian dari sirkuit panjang esports FIFA 19. Ega akan menghadapi 63 pemain lainnya dari berbagai belahan dunia untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$280 ribu (Rp3,9 miliar).

Event ini merupakan event pertama yang bertajuk eChampions League (ECL) dalam rangkaian sirkuit esports FIFA 19. Bertanding melawan pemain dari berbagai belahan dunia, kompetisi ini mungkin bisa dibilang akan menjadi sangat berat bagi Ega. Pasalnya, eChampions League diikuti oleh pemain-pemain kelas kakap di kancah esports FIFA 19 dunia.

1
Sumber: EA Official Media

Nama-nama seperti F2Tekkz, MsDossary, dan Nicolas99FC turut mengikuti kompetisi ini. Tak lupa ada juga juara FIFA eNations Cup, Vitality Maestro, yang tentu membuat pertandingan eChampions League ini akan jadi semakin sengit. Selain penampilan RRQ.Eggsy, kompetisi ini juga jadi wajib ditonton karena rivalitas antar peserta yang kini jadi semakin sengit.  

Salah satunya adalah rivalitas antara F2Tekkz dengan MsDossary. Kedua pemain tersebut adalah pemain ranking tertinggi di kancah FIFA 19 Xbox. F2Tekkz adalah wonderkid asal Inggris, pencetak rekor, berhasil kumpulkan enam trofi sepanjang FIFA 19 Global Series.

Sementara di sisi lain MsDossary adalah juara bertahan dari eWorld Cup. Dia juga merupakan satu-satunya pemain pro yang memenangkan kompetisi major selama tiga musim berturut-turut. Pada tahun ini saja, dia sudah mengangkat dua trofi kompetisi major.

Menghadapi pemain kelas berat seperti ini, bagaimana kesempatan Eggsy? Kami sedikit berbincang dengan Achmad Fadh, community manager Indonesia Gaming League. Ia mengatakan bahwa sebenarnya Ega punya kesempatan di kompetisi ini. “Menurut saya, kalau Ega menampilkan performa terbaiknya, saya yakin Ega setidaknya bisa mencapai 8 besar.”

Secara kemampuan dan mental, Eggsy memang sudah cukup terlatih. Hal ini mengingat dia sudah banyak makan asam garam bertanding di kancah internasional. Terakhir kali, ia berhasil menjadi runner-up kualifikasi SEA dari kompetisi Virtual Bundesliga; walau sayangnya posisi tersebut tidak cukup membuat Ega mendapat kesempatan berkompetisi di Jerman dalam gelaran final Virtual Bundesliga.

1
Sumber: EA Official Media

Pada babak final, ia harus kalah oleh pemain asal Thailand. Ia kalah 2-0 dari seri best of 3. Ketika itu, Wisuwat yang jadi lawan Ega disebut olehnya sebagai pemain yang hebat karena composure yang dimiliki. Ketika ditanya soal musuh-musuh yang jadi lawan berat Eggsy di kompetisi ini, Fadh juga menyebut nama lain selain dari F2Tekkz dan MsDossary.

Nama tersebut adalah Maestro dan juga Nicolas. Nama tersebut juga merupakan pemain top klasemen poin FIFA 19 Global Series. Tercatat, saat ini Nicolas ada di peringkat satu, sementara Maestro berada di peringkat 3 FIFA 19 Global Series untuk platform PS 4.

Selain memberi tantangan, bertemu lawan berat seperti ini tentu juga memberikan pengalaman tersendiri kepada Eggsy. Mari kita doakan agar Eggsy bisa mendapatkan hasil terbaik pada gelaran eChampions League dan dapat mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional!