Runway: Pengertian, Dampak dan Cara Menerapkannya di Bisnis Startup

Pernahkah kamu mendengar istilah runway? Umumnya, istilah runway digunakan untuk menyebut landasan pacu pesawat untuk lepas landas. Jika landasan pacu yang digunakan pesawat terlalu pendek, maka pesawat akan gagal lepas landas. Sebaliknya, jika landasan pacunya terlalu panjang, maka pesawat akan kehabisan bahan bakar sebelum benar-benar melakukan lepas landas.

Sama seperti pesawat, dalam dunia startup, runway adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut jumlah waktu yang dimiliki oleh sebuah startup sebelum kehabisan uang. Startup runway harus diperhitungkan secara benar dan detail, agar terhindar dari kerugian bahkan kegagalan.

Lantas, apa yang disebut sebagai runway dan seberapa penting runway dalam startup? Simak penjelasannya dalam artikel ini!

Pengertian Runway

Pada dasarnya, runway adalah landasan pacu yang digunakan oleh pesawat untuk lepas landas. Mengutip dari Forbes, runway dalam konteks startup adalah jumlah waktu yang dimiliki oleh sebuah startup sebelum kehabisan uang.

Jumlah waktu tersebut merupakan salah satu perhitungan terpenting yang harus dibuat oleh founder startup. Pasalnya, apabila perhitungan yang dibuat benar, maka startup akan memiliki lebih besar untuk mencapai kesuksesan.

Jika sebuah startup tidak memiliki runway yang cukup, maka mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk gagal dalam mengembangkan produk mereka. Sementara apabila runway yang dimiliki terlalu panjang, maka startup akan berisiko untuk menyia-nyiakan equity atau modal mereka.

Cara Mengetahui Runway yang Dibutuhkan oleh Startup

Agar dapat memperhitungkan periode runway yang tepat untuk sebuah startup, kamu perlu mempertimbangkan dua hal, yakni gross burn rate dan net burn rate.

Gross Burn Rate

Gross burn rate adalah jumlah uang yang dihabiskan oleh sebuah startup setiap bulan. Untuk mengetahui jumlahnya, kamu bisa mengurangi sisa dana dari jumlah dana asli lalu membaginya dengan 12 bulan.

Net Burn Rate

Net burn rate mengacu pada perbedaan antara jumlah uang yang masuk dan jumlah uang yang keluar. Untuk menghitungnya, kamu harus mengurangi penghasilan bulanan perusahaan dari gross brun. Dalam hal ini, kamu bisa mengetahui startup runaway dengan membagi jumlah uang yang kamu miliki di awal dengan net burn rate.

Dampak Startup yang Kehabisan Waktu Runway

Menurut pemodal ventura dan investor profesional, Paul Graham dan Peter Sandberg, yang dikutip dari situs Duitku, runway “zona merah” dimulai pada waktu tiga bulan. Dalam tahap ini, founder startup memiliki posisi yang cukup genting, karena investor cenderung tidak akan berinvestasi di perusahaan mereka.

Apabila sebuah startup kehabisan waktu runway, maka potensi kegagalan akan semakin besar. Maka dari itu, banyak startup yang mengumpulkan uang untuk meningkatkan runway mereka hingga bisnisnya menghasilkan pendapatan.

Cara Memperpanjang Waktu Runway

Salah satu kunci untuk memperpanjang waktu runway adalah dengan mengurangii atau dengan meningkatkan arus kas masuk dan mengurangi pengeluaran. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa cara untuk melakukannya.

Memangkas Biaya

Salah satu cara untuk memperpanjang runway adalah dengan memangkas biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Pemangkasan biaya ini dilakukan untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh produk atau jasa yang tidak menghasilkan profit.

Kamu bisa melakukan hal ini dengan menghentikan produk atau jasa yang kurang laku, memotong jumlah karyawan, hingga mempertimbangkan penggunaan ruang kerja bersama daripada menyewa gedung untuk kantor.

Meningkatkan Pendanaan

Kamu juga bisa memperpanjang runway dengan cara meningkatkan pendanaan. Selain dengan modal ventura, kamu bisa menggunakan alternatif lain, seperti sistem bagi hasil.

Bagi hasil sendiri adalah strategi pendanaan yang dilakukan dengan meminjam uang dari investor dan mengikat pembayarannya dengan jumlah pendapatan yang dihasilkan. Jadi, ketika bisnis berkembang, maka jumlah pembayaran juga akan meningkat.

Membuat Dana Darurat

Mencegah adalah cara terbaik dibandingkan mengobati. Dalam hal ini, perencanaan yang direncanakan dengan baik adalah cara terbaik untuk memperpanjang startup runway. Salah satu bentuk dari perencanaan ini adalah dengan membuat dana darurat. Dengan mempersiapkan dana darurat berarti kamu sudah memiliki persiapan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Nah, itulah penjelasan lengkap mengenai runway pada startup. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa runway adalah sebuah periode yang dimiliki oleh startup untuk lepas landas sebelum kehabisan dana.

How These Early-Stage Startups Can Survive Despite Pandemic

There are many reasons why startups in the early stages have so many difficulties. Obstacles in finding the right talent, building solid team communication, product exploration, also penetration on the target market.

During this pandemic, these obstacles converge to several more fundamentals. Maintaining cash flow and seeking new funding to secure business continuity are two of them.

We spoke with three startups in the early phase (seed) to find out tips and strategies for dealing with this pandemic. They generally don’t have the flexibility of a more mature startup. However, it is not impossible. They have taken various initiatives to survive this abnormal situation.

Focus not only to a single market

It still remains the memory of the early months when the pandemic hit so many businesses until some are collapsed. The sectors most affected, such as hospitality, restaurants, import-export logistics, transportation, experienced the hardest hit. Large-scale social restrictions (PSBB) to reduce the level of transmission of the outbreak forced the sector to hold back for a while.

Stoqo is one of the victims. The discontinuity of thousands of restaurants and shopping centers caused their income to drop significantly. Stoqo announced shutdown in April.

Startup Izy.ai, which business is closely related to hospitality, learned from this situation. The CEO, Gerry Mangentang does not want the startup he founded to have the same fate.

Izy started its operation in 2018, relies on the sustainability of hotels and accommodations. Its platform helps hotels and accommodations digitize services and increase guests. Gerry realized that his party could not continue to rely solely on the hospitality business. Moreover, the local situation indicates that the pandemic will last longer.

“We have to pivot into another direction and must not depend only on accommodations. We have plans to enter the residential and retail [markets],” Gerry said.

Izy’s core business actually lies in fulfilling the digitization of hotel services through a subscription model. Services such as ordering food in the hotel, room service, laundry, and others. With the same principle, they are trying to open new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

“We are an on-demand platform, with this retail we can be considered light e-commerce, but for malls and retail. The focus will be on Jakarta, Bandung, and Bali,” Gerry added.

Efficiency and other initiatives

If Izy decided to pivot in order to survive this crisis, Crowde and Doogether prefer efficiency strategy.

Crowde’s Head of Impact Investment, Afifa Urfani admitted, at the beginning of the pandemic, her team experienced a strong impact in order to survive until public acceptance of its products. Therefore, Afifa thought Crowde is more selective with every step of the way.

“We chose to slow down, to speed up later,” she said.

Crowde carefully calculates the costs in and out of the company, tightens expenses, and changes the company’ss culture to do all its activities digitally. This method is the compensation that Crowde chose, therefore the acquisition and maintenance process of their capital project continues.

Crowde’s core business is actually capital risk control in the agricultural sector. Since the pandemic began, Afifa said the company has made several initiatives to adjust to the situation. One of these initiatives is to link market access with tonnage purchases.

“What is different is that in the past we focused on the hospitality business (hotels, restaurants, cafes/catering), now we are open to multi-layer market potential,” she added.

Doogether has similar strategies. The wellness platform fronted by Fauzan Gani admits Doogether has made many adjustments to expenses.

From an initiative aspect, Doogether focuses on enriching its service features. One of them is by launching a live streaming-based class to be ordered through the application. This strategic step was taken to target people who now exercise more at home.

“In addition, we also add a verification feature for our partners who have opened their facilities and comply with the SOP from the government,” Doogether’s CEO, Fauzan Gani said.

New funding is still an option

Extending the runway is the focus of all startups in these situations. Apart from previous strategies, funding is a clearly available option. However, funding is not an easy choice because it involves many other factors.

Fauzan said that the obstacle to raising a new funding round is the unstable economic situation in Indonesia. He thought, the availability of vaccines is hope for getting out of the pandemic crisis and the adoption of the community for the industry they are in.

Fauzan admitted that his team had no plans to raise new funds. He believes the Doogether runway is still sufficient to survive the pandemic crisis since they have succeeded in getting extension funding from its investors.

“However, as a startup, we must always be ready for a new round of funding,” he said.

Afifah has quite similar answer. Attracting investors for new funding is clearly more challenging. That’s why deploying Series A funding is the second priority. Crowde’s first priority, she mentioned, is to optimize the scheme and business model in order to finance operational expenses, even though the profits they earned were thin.

We strongly believe that the runway is still long enough to survive the company, Crowde is determined to get through this crisis with their own business.

“Certainly our choice is to run a healthy business in order to ensure investment possibilities,” Afifa said.

Meanwhile, Izy is racing against time. The recent seed funding gave them a one-year runway. With hospitality and accommodation conditions still far from normal, their pivot plan will play a big role in the company’s future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bagaimana Beberapa Startup Fase Awal Ini Bertahan dari Pandemi

Ada banyak alasan mengapa startup di tahap awal punya banyak kesulitan. Kendala mencari talenta yang tepat, membangun komunikasi tim yang solid, eksplorasi produk, hingga menembus pasar yang dituju.

Di masa pandemi ini, kendala tersebut mengerucut ke beberapa hal yang lebih fundamental. Menjaga cash flow dan mencari pendanaan baru untuk mengamankan keberlangsungan bisnis adalah dua di antaranya.

Kami berbicara dengan tiga startup di fase awal (seed) untuk mengetahui bagaimana kiat dan strategi mereka menghadapi pandemi ini. Pada umumnya mereka tidak punya fleksibilitas seluas startup di fase yang lebih matang. Namun bukan berarti tanpa harapan. Berbagai inisiatif mereka lakukan agar selamat dari situasi tidak normal ini.

Tidak terpaku ke satu pasar

Masih lekat di ingatan bagaimana di bulan-bulan awal pandemi menghantam begitu banyak bisnis runtuh. Sektor yang paling terpengaruh seperti hospitality, restoran, logistik ekspor impor, transportasi, jelas kena imbas paling keras. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan tingkat penularan wabah memaksa sektor tadi gigit jari untuk sementara waktu.

Stoqo adalah salah satu korbannya. Tutupnya ribuan restoran, rumah makan, dan pusat perbelanjaan menyebabkan turunnya pendapatan mereka turun drastis. Stoqo mengumumkan berhenti beroperasi pada April lalu.

Startup Izy.ai, yang bisnisnya bersinggungan erat dengan hospitality, belajar dari keadaan tersebut. CEO Gerry Mangentang tidak ingin startup yang ia dirikan bernasib serupa.

Izy yang mulai beroperasi pada 2018 menggantungkan bisnisnya pada keberlangsungan hotel dan akomodasi. Platform-nya membantu hotel dan akomodasi dalam mendigitalisasi layanan dan meningkatkan konsumsi tamu. Gerry sadar pihaknya tak bisa terus-menerus hanya bersandar pada bisnis hospitality. Terlebih situasi di dalam negeri mengindikasikan pandemi masih akan berlangsung lebih lama.

“Kita harus pivot ke arah lain dan tidak boleh bergantung ke hotel saja. Kita ada rencana masuk ke [market] residensial dan ritel,” ujar Gerry.

Fokus bisnis Izy sejatinya terletak pada pemenuhan digitalisasi layanan hotel lewat model berlangganan. Layanan itu seperti pemesanan makanan di dalam hotel, room service, binatu, dan lainnya. Dengan prinsip yang sama, mereka berupaya membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

“Kita ini platform on demand, kalau dengan ritel ini kita bisa dianggap light e-commerce-lah, tapi untuk mall dan ritel. Fokusnya akan ada di Jakarta, Bandung dan Bali,” ujar Gerry.

Efisiensi dan inisiatif lainnya

Jika Izy memilih pivot sebagai jalan untuk terus bertahan dari masa paceklik ini, Crowde dan Doogether lebih memilih jalan efisiensi.

Head of Impact Investment Crowde Afifa Urfani mengakui, di awal pandemi pihaknya mengalami dampak yang kuat dalam kekuatan untuk bertahan sampai penerimaan publik terhadap produknya. Itu sebabnya, menurut Afifa, Crowde lebih berhitung dalam setiap langkahnya.

“Kami memilih untuk slowing down, to speed up kemudian,” tutur Afifa.

Crowde menghitung baik-baik biaya keluar-masuk dari perusahaan, mengetatkan pengeluaran, hingga mengubah kultur perusahaan untuk melakukan segala kegiatannya secara digital. Cara tersebut merupakan kompensasi yang dipilih Crowde agar proses akuisisi dan maintenance proyek permodalan mereka tetap berjalan.

Bisnis inti Crowde sejatinya berporos pada pengendalian risiko permodalan di sektor pertanian. Sejak pandemi berlangsung, menurut Afifa, perusahaan membuat sejumlah inisiatif untuk menyesuaikan keadaan. Inisiatif tersebut salah satunya menghubungkan akses pasar dengan pembelian tonase.

“Yang berbeda hanyalah jika dulu fokus terhadap bisnis horeka (hotel, restoran, kafe/katering), kalau sekarang kami terbuka dengan potensi pasar multi-layer,” terang Afifa.

Doogether punya kiat tak jauh berbeda. Platform wellness yang digawangi Fauzan Gani ini mengakui Doogether melakukan banyak penyesuaian untuk pengeluaran.

Dari aspek inisiatif, Doogether fokus memperkaya fitur layanan mereka. Salah satunya dengan meluncurkan kelas berbasis live streaming yang dapat dipesan melalui aplikasi. Langkah strategis ini diambil untuk menyasar masyarakat yang kini lebih banyak berolahraga di dalam rumah.

“Selain itu pun kita menambahkan fitur verifikasi untuk para mitra kami yang sudah membuka fasilitas mereka dan mematuhi SOP dari pemerintah,” jelas CEO Fauzan Gani.

Pendanaan baru tetap jadi opsi

Memperpanjang napas menjadi fokus semua startup di situasi seperti ini. Di luar yang telah dilakukan tadi, pendanaan jelas jadi opsi yang tersedia untuk mereka. Namun pendanaan bukan pilihan mudah karena melibatkan lebih banyak faktor.

Fauzan berpendapat, kendala untuk menggelar babak pendanaan baru adalah situasi ekonomi Indonesia yang belum stabil. Ketersediaan vaksin sebagai harapan keluar dari krisis pandemi serta adopsi masyarakat terhadap industri yang mereka geluti menurutnya adalah faktor penentu.

Fauzan mengakui pihaknya belum ada rencana menggalang dana baru. Ia yakin runway Doogether masih cukup untuk selamat dari krisis pandemi semenjak mereka berhasil mendapatkan extension funding dari para investornya.

“Namun sebagai startup kita harus selalu siap melakukan babak baru pendanaan,” ungkapnya.

Afifah memiliki pendapat yang sama. Menarik minat investor untuk pendanaan baru jelas lebih menantang. Itu sebabnya menggelar pendanaan Seri A jadi proritas kedua. Prioritas pertama Crowde, menurutnya, adalah mengoptimalkan skema dan model bisnis agar bisa membiayai pengeluaran operasional, meski profit yang mereka peroleh tipis.

Dengan keyakinan runway dari pendanaan sebelumnya masih kuat menopang keberlangsungan perusahaan, Crowde bertekad melalui situasi krisis ini dengan bisnis mereka sendiri.

“Pastinya pilihan kami adalah menjalankan bisnis yang sehat agar bisa meyakinkan kemungkinan investasi,” pungkas Afifa.

Sementara itu Izy sedang berpacu dengan waktu. Pendanaan awal yang diperoleh belum lama ini membuat mereka memiliki runway hingga setahun ke depan. Dengan kondisi perhotelan dan akomodasi yang masih jauh dari normal, rencana pivot mereka akan berperan besar untuk masa depan perusahaan.