Cara Cek dan Cairkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) UMKM 2022

Bagi pelaku usaha terutama UMKM atau usaha mikro, kecil dan menengah, bersiaplah menerima bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Sebelumnya, BLT serupa telah diberikan sejak 2020, dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.

BLT UMKM sendiri merupakan bantuan khusus yang diberikan pemerintah kepada pelaku UMKM, khususnya bagi yang terdampak pandemi Covid-19. Besaran BLT yang akan diterima ini senilai Rp 600 ribu.

Untuk mendapatkan BLT UMKM 2022, terdapat syarat-syarat khusus yang perlu dipenuhi. Misalnya, pelaku UMKM bukan merupakan ASN, anggota TNI/Polri, dan pegawai BUMN atau BUMD. Lalu, tidak sedang menerima kredit usaha mikro (KUR) dari perbankan manapun.

Lantas, bagaimana cara mengetahui apakah Anda termasuk ke dalam pelaku UMKM penerima BLT UMKM 2022? Serta bagaimana cara mencairkan dana bantuan tersebut? Berikut langkahnya.

Langkah Cek Penerima Bantuan UMKM 2022

BLT UMKM

  • Isi Nomor KTP dan Kode Verifikasi.
  • Lalu, klik Proses Inquiry.

UMKM

  • Jika sudah berhasil masuk, Anda akan mendapatkan informasi apakah sudah mendapatkan bantuan atau tidak.

BLT

  • Jika sudah terdaftar sebagai penerima BLT UMKM 2022, pelaku UMKM bisa langsung mendatangi kantor BRI, untuk mencairkan dana bantuan UMKM atau langsung ditransfer ke rekening penerima.

Syarat Mencairkan BLT UMKM 2022

Setelah dinyatakan terdaftar sebagai penerima BLT UMKM 2022, pelaku UMKM dapat mencairkan dana bantuan tersebut, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penerima BLT UMKM wajib melampirkan buku tabungan dan Kartu ATM.
  • Penerima wajib membawa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).
  • Penerima harus membawa surat Pernyataan yang ditandatangani oleh petugas Desa daerah setempat.
  • Penerima wajib menunjukkan notifikasi pesan SMS pemberitahuan penerima BLT UMKM atau BPUM.

Demikian informasi mengenai cara cek penerima dan mencairkan dana BLT UMKM 2022, melalui eform BRI. Pastikan setiap persyaratan dan prosesnya terpenuhi, sehingga dana bantuan UMKM dapat segera diterima.

Efek Pandemi ke Perilaku Pasar Gaming di India dan Asia Tenggara

India merupakan negara dengan populasi terbesar kedua setelah Tiongkok. Dari 1,37 miliar orang di India, sebanyak 697 juta orang merupakan pengguna internet. Hal ini menjadikan India sebagai negara dengan jumlah netizen terbanyak kedua di dunia. Memang, dalam lima tahun terakhir, jumlah pengguna internet di India meningkat pesat. Pertumbuhan tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti biaya paket internet yang murah, harga smartphone yang semakin terjangkau, serta kualitas internet yang semakin baik.

Seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna internet di India, semakin banyak pula orang yang bisa bermain game, khususnya mobile game. Bahkan sebelum pandemi, industri mobile game di India tengah berkembang. Pandemi COVID-19 menjadi pemicu yang mendorong laju pertumbuhan industri mobile game di India.

Dampak Pandemi ke Industri Game India

Pada 2020-2021, konsumsi internet di India menunjukkan peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data dari Mobile Broadband India Traffic Index (MBiT) 2021, pada tahun llau, konsumsi internet bulanan per orang naik 20%, dari 11,2 GB menjadi 13,5GB. Tak hanya itu, pada awal tahun fiskal 2020, ketika pemerintah India menetapkan lockdown, jumlah download mobile game dan lama waktu yang dihabiskan untuk bermain game juga meningkat pesat.

Tidak aneh jika jumlah download mobile game di India selama pandemi meningkat pesat, mengingat gaming memang menjadi hiburan pilihan bagi banyak warga India. Pasalnya, bermain mobile game tidak memakan biaya besar. Sebagian besar mobile game bisa diunduh dengan gratis. Selain itu, bermain game adalah kegiatan yang bisa dilakukan di dalam rumah. Bagi warga India, bermain mobile game juga bisa menjadi pelipur lara; mengalihkan perhatian mereka dari buruknya keadaan selama pandemi COVID-19.

“Saya punya sekelompok teman di Steam. Secara rutin, kami mengobrol dan bermain bersama,” kata seorang penulis freelance berumur 21 tahun, kepada Niko Partners. “Saya rasa, pandemi mendorong pertumbuhan industri game di India. Walau dalam keadaan sulit, bermain game bisa mengalihkan perhatian saya dari berbagai berita buruk yang ada.”

Ludo jadi salah satu game yang dimainkan oleh gamers India. | Sumber: Android Headlines

Bukti lain yang menunjukkan bahwa pandemi mendorong pertumbuhan industri game di India adalah total download game pada 2020 di negara itu. Tahun lalu, India menjadi negara dengan jumlah download game terbanyak, mencapai 7,3 miliar downloads, atau sekitar 17% dari keseluruhan downloads di dunia.

Pandemi tidak hanya membuat para gamers di India menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain game, tapi juga membuat non-gamers tertarik untuk mencoba bermain game. Menurut data dari InMobi, 45% warga India mulai bermain mobile game di smartphone mereka selama pandemi. Kepada Niko Partners, seorang mahasiswa berumur 22 tahun mengungkap, dia mulai bermain mobile game pada tahun lalu. Sekarang, dia menghabiskan sekitar 6-8 jam setiap minggu untuk bermain mobile game.

Seorang pria asal Bhopal berumur 20 tahun mengungkap bahwa hal yang sama juga terjadi dengannya. Dia berkata, “Saya bermain dengan teman dekat saya selama pandemi. Dia adalah tetangga saya dan kami menghabiskan sekitar 3-4 jam setiap minggu untuk bermain game. Rutinitas kami tidak berubah sepanjang pandemi, khususnya sejak gelombang kedua dimulai karena kami tidak lagi bisa keluar dari rumah.”

Bermain game di smartphone adalah hobi yang tidak mahal.

Seiring dengan semakin pulihnya India dari pandemi COVID-19, maka kebiasaan para gamers pun akan kembali berubah. Waktu yang dihabiskan oleh para gamers — baik gamers lama maupun baru — akan menurun saat kehidupan mulai kembali normal. Hal ini dialami oleh seorang instruktur yoga berumur 30 tahun yang tinggal di Hyderabad. Tadinya, dia menghabiskan waktu selama 8 jam seminggu untuk bermain game. Sekarang, dia hanya bisa bermain game selama 30 menit sehari.

Seorang mahasiswa berumur 22 tahun yang tinggal di Bhopal mengungkapkan hal yang sama. “Sebalum ini, saya bermain Ludo King, Psyche, dan Head Ball 2 di smartphone saya selama 4-5 jam dalam seminggu pada minggu pertama lockdown,” ujarnya. “Tapi sekarang, saya jarang punya waktu untuk bermain di ponsel karena saya sekarang sibuk untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk.”

Dampak Pandemi di Industri Game Asia Tenggara

Sama seperti gamers di India atau di dunia, gamers di Indonesia dan Asia Tenggara juga menunjukkan perubahan perilaku karena pandemi. Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners mengatakan, survei yang dilakukan oleh Niko Partners menunjukkan, sekitar 50-75% gamers di Asia Tengggara menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game di kala pandemi jika dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Ketika ditanya tentang faktor yang mendorong para gamers untuk bermain game selama pandemi, Darang menjawab, “Larangan untuk beraktivitas di luar rumah serta kebutuhan untuk bersosialisasi yang tinggi merupakan pendorong utama bagi gamers Indonesia dan Asia Tenggara untuk bermain game.” Lebih lanjut dia mengatakan, “Gamers di kawasan ini memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadikan game sebagai bagian dari kebutuhan akan komunitas dan menjalin pertemanan.”

Di Indonesia, kebanyakan game yang dimainkan oleh para gamers adalah game-game esports, khususnya game dengan genre MOBA dan battle royale. Selain itu, gamers di Indonesia juga senang bermain RPG dan game kasual.

Game-game esports jadi game favorit gamers di Indonesia. | Sumber: OkeZone

Di Asia Tenggara, orang-orang yang sebelumnya tidak bermain game pun menjadi tertarik untuk mencoba bermain game. Hal ini terlihat dari meningkatnya angka pertumbuhan gamers di kawasan tersebut. “Dari segi pertumbuhan jumlah pemain game, Niko Partners mengestimasi bahwa ada 10-15% gamers baru pada tahun 2020, lebih tinggi pertumbuhan sebelum pandemi, yang hanya berkisar 6-12%,” ujar Darang.

Darang menjelaskan, bahkan setelah pandemi usai, kemungkinan, jumlah gamers akan tetap naik. Pasalnya, selama pandemi, ada perubahan persepsi masyarakat akan game. Berkat pandemi, bermain game mulai menjadi kegiatan yang lebih diterima oleh masyarakat luas. Selain itu, esports juga menjadi semakin dikenal oleh masyarakat banyak. Meskipun begitu, dia menambahkan, pertumbuhan jumlah gamers setelah pandemi tidak akan setinggi tingkat pertumbuhan jumlah gamers selama pandemi.

Sumber header: Pandaily

4 Cara Daftar PeduliLindungi Dari PC dan Mobile

Semakin menurunnya angka penyebaran Covid-19 di Indonesia menyebabkan meningkatnya jumlah tempat publik yang dibuka. Menjadi salah satu syarat masuk ke tempat publik, Anda harus mengetahui cara daftar PeduliLindungi untuk menunjukkan sertifikat vaksinasi dan scan QR Code. Anda dapat melakukan pendaftaran akun PeduliLindungi melalui PC ataupun mobile smartphone.

Cara Daftar Akun PeduliLindungi Dari PC

Ada dua cara yang dapat Anda terapkan untuk daftar akun PeduliLindungi melalui PC, yaitu dengan nomor telepon atau e-mail.

Cara Daftar dengan alamat E-Mail

Berikut adalah cara daftar dengan e-mail melalui PC:

cara daftar pedulilindungi

  • Selanjutnya, Anda akan melihat tampilan untuk login. Untuk pendaftaran akun, klik “Daftar”.

cara daftar pedulilindungi

  • Anda akan diminta untuk mengisi kolom nama dan e-mail serta checklist kotak syarat kebijakan dan Captcha.

cara daftar pedulilindungi

  • Lalu, klik “Daftar”
  • Setelah itu, Anda harus memasukkan kode OTP yang dikirimkan ke e-mail yang telah Anda daftarkan.

cara daftar pedulilindungi

Cara Daftar dengan Nomor Telepon

Ikuti langkah-langkah cara mendaftar dengan e-mail hingga Anda tiba pada halaman pendaftaran. Lalu, ikuti langkah berikut ini.

  • Pada halaman daftar, pilih metode dengan nomor telepon.

cara daftar pedulilindungi

  • Setelah itu, isi kolom nama dan e-mail, serta checklist kotak persetujuan syarat kebijakan dan Captcha.

IMGcara daftar pedulilindungi

  • Klik “Daftar”.
  • Selanjutnya, Anda akan diminta memasukkan kode OTP yang dikirimkan melalui SMS ke nomor yang Anda daftarkan.

cara daftar pedulilindungi

Cara Daftar PeduliLindungi Dari Aplikasi Smartphone

Sama seperti pada PC, Anda dapat melakukan pendaftaran akun PeduliLindungi dengan dua metode, yakni dengan nomor telepon atau e-mail.

Cara Daftar dengan Nomor Telepon di Smartphone

Ikuti langkah-langkah di bawah ini untuk daftar akun PeduliLindungi lewat aplikasi smartphone.

  • Buka aplikasi PeduliLindungi. Anda dapat mengunduh aplikasi ini di PlayStore atau AppStore.
  • Setelah melihat beberapa informasi mengenai aplikasi PeduliLindungi, klik “Mulai” pada layar pembuka.

cara daftar pedulilindungi

  • Selanjutnya, akan muncul informasi mengenai persetujuan syarat penggunaan & kebijakan privasi.

cara daftar pedulilindungi

  • Klik “Saya Setuju”.
  • Anda akan langsung masuk ke halaman login. Klik “Daftar” untuk mendaftarkan akun baru.

cara daftar pedulilindungi

  • Lalu, Anda akan langsung melihat halaman daftar dengan menggunakan nomor telepon.
  • Isi nama, nomor telepon, dan checklist persetujuan syarat dan kebijakan.

cara daftar pedulilindungi

  • Klik “Daftar”.
  • Setelah itu, masukkan nomor OTP yang telah dikirimkan melalui SMS.

cara daftar pedulilindungi

Cara Daftar Akun PeduliLindungi dengan E-Mail di Smartphone

Setelah melihat cara daftar menggunakan nomor telepon di smartphone, berikut adalah langkah-langkah untuk mendaftar dengan e-mail di aplikasi PeduliLindungi.

  • Pada halaman Daftar, secara otomatis akan muncul kolom pendaftaran dengan nomor telepon. Untuk mengubahnya, klik pilihan “Alamat Email”.

cara daftar pedulilindungi

  • Isi nama lengkap dan alamat e-mail Anda. Jangan lupa untuk checklist syarat dan kebijakan.

cara daftar pedulilindungi

  • Klik “Daftar”.
  • Lalu, masukkan kode OTP yang telah dikirim ke e-mail Anda.

cara daftar pedulilindungi

Nah, itu dia empat cara daftar akun PeduliLindungi. Pastikan nomor telepon yang Anda daftarkan aktif dan penyimpanan e-mail Anda tidak penuh agar dapat menerima kode OTP.

Kiat SweetEscape dan SurveySensum Mempertahankan Laju Bisnis Selama Pandemi

Teknologi telah mengubah kebiasaan dan gaya hidup orang banyak. Bukan hanya membantu mereka memangkas waktu, namun juga memberikan pengalaman baru saat mengakses produk dan layanan secara online. Pandemi yang datang sejak tahun 2020 lalu juga telah mempercepat edukasi dan adopsi teknologi kepada orang banyak. Dan secara langsung telah memudahkan pekerjaan hingga proses belajar mengajar untuk semua.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini, dibahas pentingnya peranan teknologi untuk mendukung pertumbuhan startup, bersama Co-Founder & CEO SweetEscape David Soong dan Co-founder & Head of Product SurveySensum Tanuj Diwan.

Pandemi dan inovasi

Sebagai platform yang selama ini fokus kepada segmen B2C, SweetEscape, online marketplace jasa fotografer, memiliki layanan baru untuk bisnis dijuluki “Fotto”. Strategi ini dipilih dalam rangka menyelamatkan bisnis perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19, permintaan industri perjalanan turun hingga 90%. Melalui lini baru ini, perusahaan mampu untuk tetap menjalankan bisnis, meskipun segmen utama mereka yaitu B2C terganggu karena adanya aturan pembatasan perjalanan.

Sebelumnya saat menawarkan layanan kepada segmen B2C, interaksi dengan pelanggan secara langsung tidak terlalu banyak terjadi. Kebanyakan pelanggan langsung menghubungi fotografer yang dipilih dalam platform. Namun saat pandemi dan dengan lini bisnis baru mereka yang menyasar B2B, interaksi dengan klien pun harus dilakukan secara langsung oleh tim SweetEscape.

Sementara itu bagi  SurveySensum yang selama ini fokus kepada segmen B2B, saat awal pandemi sempat mengalami kendala. Banyaknya pebisnis yang memangkas budget dan menunda proyek mereka, cukup menyulitkan bagi tim SurveySensum. Namun demikian saat ini ketika kondisi sudah semakin pulih, bisnis pun kembali menggunakan teknologi yang mereka miliki.

“Tujuan kita adalah memanfaatkan teknologi untuk memecahkan masalah dan memberikan solusi. Dimulai dengan feedback kita berharap klien bisa mengambil langkah selanjutnya berdasarkan survey dan feedback yang diterima,” kata Head of Product SurveySensum Tanuj Diwan.

Penerapan teknologi

Terkait dengan teknologi, platform seperti Sweet Escape mengklaim tidak terlalu banyak menerapkan teknologi yang rumit. Fungsi mereka sebagai platform pada dasarnya adalah memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk melakukan pemilihan photographer yang sesuai, melakukan reservasi dan pembayaran.

Untuk mengelola semua percakapan dalam satu platform, SweetEscape juga mengembangkan sendiri chat message internal dan menghindari penggunaan platform chat app/messenger. Sebagai open marketplace, SweetEscape juga melakukan proses kurasi photographer terbaik yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggan.

Sementara itu sebagai platform yang mengedepankan teknologi SurveySensum menerapkan teknologi artificial intelligence (AI) di dalam platform. Dengan demikian secara otomatis bisa dikategorikan pertanyaan atau feedback yang masuk dari pelanggan secara langsung. Hal ini tentunya memudahkan perusahaan untuk mengelola masukan tersebut.

Melalui teknologi, SurveySensum ingin membantu pendiri startup yang tidak terlalu mengerti teknologi dengan edukasi dan proses yang fleksibel dan tentunya mudah dipahami.

Astra Group’s Digital Transformation Through Moxa Integrated Financial Product

For the last few years, Astra Group has started to perform digital transformation. In the manifestation, the company has three main approaches, modernizing its core business, creating new and innovative sources of income, and investing in products in the digital ecosystem.

Through several subsidiaries in the field of digital development, Astra has delivered a number of products in various service categories, including AstraPay, CariParkir, Sejalan, Movic, and SEVA. Recently, Astra Group through PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) launched a digital financial platform named Moxa.

Moxa was developed by PT Astra Kreasi Digital under Astra Financial. This platform originally designed as an integrated digital solution for all financial products belonging to the Astra Group. On this occasion, Moxa CEO Daniel Hartono shared a thorough explanation of the products to DailySocial.id.

About Moxa

Moxa or Mobile Experience by Astra Financial was launched in March 2021. However, Daniel said that Moxa development had been carefully planned long before the Covid-19 pandemic occurred. The recent launching is following the trend of people’s shifting lifestyles that triggered the digital services acceleration in Indonesia.

This trend is also reinforced by the e-Conomy SEA 2020 report by Google, Temasek, Bain & Company that said 37% of Indonesia’s  internet users are first timer. Meanwhile, 93% of digital consumers in Indonesia admit that they will continue to use digital platforms to cover their basic needs even when Covid-19 is over.

“We see that Covid-19 has driven large digital consumption in various sectors, including finance. Moreover, Astra Financial finally developed a platform to accommodate consumers’ needs that are getting dependent on digital products. One of them is through the integrated, fast, and secure product, Moxa,” he said.

Currently, Moxa connects consumers with 21 types of financial products belonging to the Astra Group, ranging from car to motorcycle financing, health insurance, life insurance, heavy equipment financing, to multipurpose loans. Moxa acts as an alternate digital channel for financial service partners. Meanwhile, financial services are fully managed by business partners.

Agile working culture

Daniel said, in formulating product and business strategies, his party applies agile methods that focus on insight-driven and combines decades of experience from the Astra Group business. In terms of products, Moxa and other Astra digital products were developed by prioritizing the Minimum Viable Product (MVP) concept and regular usability testing.

“We ensure that to formulate customer pain points, business insights, and technology-based solutions in Moxa’s every new feature or product launch. Our team always does design thinking with all product, branch, technology and business teams,” he said.

In his journey, the trust of financial service partners provided a big challenge for the company. The thing is, Moxa must be able to provide more added value compared to similar services that already exist. The Moxa team must also be able to digitize the financial processes that currently ongoing.

For example, digitizing credit applications, therefore, they can be done quickly, easily and safely in accordance with regulatory corridors. It is committed to providing digital financial services according to the Financial Services Authority (OJK) regulations.

“I think Moxa has succeeded in answering the challenge. It is proven by a good results while operating as a new player. Our application has been downloaded 3.5 million times within March-August 2021. There is still a long way to go, but we believe this number is an indicator of positive market acceptance for Moxa products,” he said.

Ecosystem and collaboration

To date, Moxa is still focused on strengthening the product ecosystem in an inclusive manner with all financial products belonging to the Astra Group. Daniel targets to grow Moxa users up to five times in the next three years.

Some of the inclusive collaborations are including Moxa’s synergy with the AstraPay digital wallet and the Maucash lending platform. In the AstraPay synergy, Moxa users can use their AstraPay balance to make transactions.

Apart from this internal synergy, Moxa plans to open its ecosystem with external parties. Daniel mentioned, his team has prepared an Open API system to facilitate strategic collaboration with external partners in the near future.

One of the latest collaborations is between Moxa and PermataBank to provide the MoxaKu Permata Savings feature in early August. Through this feature, Moxa users can open a savings account directly through the application without having to come to a branch office.

“Currently, Moxa users are dominated by consumers who apply for loans in Maucash, financing and multipurpose for motorbikes and cars, and insurance applications. We also see an increase in the MoxaKu Permata Savings product. In total, there are 300 Open API collaborations on the Moxa platform. We will continue to expand the collaboration to support digital acceleration,” Daniel said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kondisi dan Strategi Bisnis WeWork Menghadapi Perubahan Gaya Kerja Akibat Pandemi

Operator coworking space global WeWork meresmikan kehadirannya di Indonesia sejak tahun 2018, setelah satu tahun sebelumnya mengakuisisi Spacemob. Berdasarkan informasi yang didapat dari situs resminya, saat ini mereka mengoperasikan layanan di 4 lokasi di Jakarta.

Sayangnya perubahan tren dan gaya kerja akibat pandemi juga turut terdampak untuk industri tersebut. Salah satunya diungkapkan hasil laporan ResearchAndMarkets pada Juni 2020, pasar global coworking space diperkirakan turun dari $9,27 miliar pada 2019 menjadi $8,24 miliar di 2020 dengan CAGR -12,9%.

Di laporan satu tahun berikutnya oleh firma riset yang sama, pasar diperkirakan tumbuh dari $7,97 miliar di 2020 menjadi $8,14 miliar pada 2021 dengan CAGR 2,1%. Pertumbuhan disebabkan karena operator layanan terus beroperasi dan mencoba beradaptasi dengan kondisi normal baru, di tengah proses pemulihan dampak akibat pandemi [termasuk vaksinasi]. Potensinya diperkirakan mencapai $13,03 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12%.

Bisnis WeWork selama pandemi

WeWork coworking space / WeWork

Ketahanan bisnis WeWork selama pandemi disokong dengan lebih dari 50% anggotanya yang memiliki komitmen [sewa] lebih dari 12 bulan, berkontribusi pada jangka waktu komitmen penuh rata-rata lebih dari 15 bulan terhadap ruang kerjanya. Tercatat saat ini WeWork telah kembali ke kinerja sebelum masa pandemi, dengan mencatat penjualan net desk terkuat di bulan April dan Mei sejak September 2019.

“Kami mencatat penjualan net desk yang positif di semua wilayah terkonsolidasi, menunjukkan sifat pemulihan global dan mempercepat permintaan untuk solusi yang hybrid di WeWork. Di seluruh portofolio global kami, tingkat hunian ruang kerja WeWork terus meningkat hingga 53% pada akhir Mei,” kata Head of WeWork Labs Australia, SEA & South Korea Monica Wulff kepada DailySocial.id.

Untuk kawasan Asia Tenggara, WeWork melihat peningkatan minat saat perusahaan mulai merencanakan strategi tempat kerja jangka panjang dan lebih berkelanjutan. Sementara bisnis yang lebih kecil juga memilih pengaturan ruang kerja yang lebih fleksibel, dibandingkan dengan komitmen ruang kerja tradisional.

“Hal ini dibuktikan dengan peningkatan hampir 10% di segmen korporasi untuk WeWork di Asia Tenggara. Di seluruh wilayah, WeWork telah mencatat perpanjangan komitmen dan komitmen baru dari perusahaan seperti OPPO, Thales, Payoneer, Affinidi, Indepay, dan Katalon,” kata Monica.

Meluncurkan program “Growth Campus”

WeWork Growth Campus / WeWork

Bertujuan untuk mendukung ekosistem industri startup dan terus berinovasi selama pandemi, WeWork meluncurkan “Growth Campus” pertamanya di Inggris pada awal tahun ini. Inisiatif tersebut kini telah diperluas ke Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Growth Campus adalah sebuah komunitas resource-sharing. Diharapkan melalui inovasi ini, WeWork dapat menciptakan kemitraan yang kuat dengan semua pemain ekosistem startup (program startup, investor, perusahaan berkembang) yang bergabung. Untuk mendukung program ini, WeWork menginvestasikan hampir $8 Juta untuk subsidi ruang kerja, mentorships, dan edukasi di seluruh Asia Tenggara.

“Seiring kita beradaptasi dengan keadaan, WeWork telah memainkan peran penting dalam banyak strategi pertumbuhan perusahaan dan karena Covid-19 terus berdampak pada ekonomi dan mendisrupsi cara kita bekerja, kami melihat kebutuhan akan jaringan dan ruang kerja untuk membantu bisnis meningkat.”

Untuk startup yang bisa bergabung, minimal mereka berada di tahap awal yang telah didirikan dalam 5 tahun terakhir dengan jumlah karyawan kurang dari 20. Selain itu, startup mereka telah didanai sendiri dengan omzet di atas $75 ribu atau telah mengumpulkan modal eksternal termasuk seri A.

“Peserta harus menandatangani Perjanjian Keanggotaan WeWork untuk berkomitmen dalam memiliki ruang kerja selama 6 hingga 12 bulan, dan tidak mengikuti atau berpartisipasi dalam penawaran atau promosi WeWork lainnya,” kata Monica.

Sementara itu terkait kurikulum, WeWork Growth Campus memberikan mereka platform digital global WeWork yang disebut WeWork Labs. Melalui inovasi ini, mereka akan diberikan edukasi dan bimbingan dengan ribuan profesional dan pakar dalam format one-on-one, roundtable setting, dan webinar global.

WeWork Labs juga memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk memajukan bisnis mereka, seperti pembelajaran sesuai permintaan (on-demand learning), community of founders, serta wellness & personal development.

“Kami juga memberikan peserta dengan program pendidikan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan pribadi dan profesional anggota kami. Kurikulum dikembangkan dan difasilitasi dalam kemitraan dengan jaringan mentor dan pakar kami,” kata Monica.

Application Information Will Show Up Here

Transformasi Digital Astra Group Lewat Platform Produk Keuangan Terintegrasi “Moxa”

Sejak beberapa tahun terakhir, Astra Group sudah mulai menjejakkan upaya untuk bertransformasi digital. Dalam mengembangkan inisiatif tersebut, perusahaan berkiblat pada tiga pendekatan utama, yaitu memodernisasi core business, menciptakan sumber pendapatan baru yang inovatif, dan berinvestasi pada produk di ekosistem digital.

Lewat beberapa anak usaha di bidang pengembangan digital, Astra telah melahirkan sejumlah produk di berbagai kategori layanan, antara lain AstraPay, CariParkir, Sejalan, Movic, dan SEVA. Terbaru, Astra Group melalui PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) merilis platform keuangan digital, yakni Moxa.

Moxa dikembangkan oleh PT Astra Kreasi Digital yang juga berada di bawah naungan Astra Financial. Platform ini sejak awal dirancang sebagai solusi digital terintegrasi bagi seluruh produk keuangan milik Astra Group. Pada kesempatan ini, CEO Moxa Daniel Hartono berbagi paparan lebih dalam mengenai produknya kepada DailySocial.id.

Mengenal Moxa

Moxa alias Mobile Experience by Astra Financial baru meluncur pada Maret 2021. Kendati begitu, Daniel berujar bahwa pengembangan Moxa sebetulnya sudah direncanakan secara matang jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Peluncuran Moxa justru baru dilakukan menyusul tren perubahan gaya hidup masyarakat yang memicu akselerasi layanan digital di Indonesia.

Tren ini juga diperkuat oleh laporan e-Conomy SEA 2020 oleh Google, Temasek, Bain & Company yang menyebutkan sebanyak 37% pengguna internet di Indonesia adalah first time user. Sementara, 93% konsumen digital di Indonesia mengaku akan terus menggunakan platform digital untuk memenuhi kebutuhannya apabila Covid-19 usai.

“Kami melihat Covid-19 mendorong konsumsi digital yang besar di berbagai sektor, termasuk keuangan. Dari situ, Astra Financial akhirnya mengembangkan platform untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen yang kini semakin tergantung dengan produk digital. Salah satunya lewat Moxa yang terintegrasi, cepat, dan aman,” ujarnya.

Saat ini Moxa menghubungkan konsumen dengan 21 jenis produk finansial milik Astra Group, mulai dari pembiayaan mobil pembiayaan motor, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, pembiayaan alat berat, hingga pinjaman multiguna. Moxa berperan sebagai alternate digital channel bagi para mitra jasa keuangan. Adapun, layanan keuangan sepenuhnya dikelola oleh mitra bisnis.

Budaya kerja agile

Dalam meracik strategi produk dan bisnis, ungkap Daniel, pihaknya menerapkan metode agile yang berfokus pada insight-driven serta mengombinasikan pengalaman puluhan tahun dari bisnis Astra Group. Dari sisi produk, Moxa dan produk digital Astra lainnya dikembangkan dengan mengedepankan konsep Minimum Viable Product (MVP) dan usability testing secara reguler.

“Kami memastikan dapat merumuskan customer pain points, business insight, dan solusi berbasis teknologi di setiap peluncuran fitur atau produk baru Moxa. Tim kami selalu melakukan design thinking bersama segenap tim produk, cabang, teknologi, dan bisnis,” jelasnya.

Dalam perjalanannya, ia menilai kepercayaan dari mitra jasa keuangan memberikan tantangan besar bagi perusahaan. Pasalnya, Moxa harus dapat memberikan nilai tambah yang lebih dibandingkan layanan sejenis yang sudah ada. Tim Moxa juga harus dapat mendigitalisasi proses keuangan yang selama ini sudah berjalan.

Contohnya, digitalisasi pengajuan kredit agar dapat dilakukan secara lebih cepat, mudah, dan aman sesuai koridor regulasi. Pihaknya berkomitmen untuk menyediakan jasa keuangan digital sesuai aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Saya pikir Moxa berhasil menjawab tantangan tersebut. Sebagai bukti, Moxa mengantongi pencapaian baik meskipun masih tergolong pemain baru. Aplikasi kami sudah diunduh 3,5 juta kali pada periode Maret-Agustus 2021. Perjalanan masih panjang, tetapi kami yakin angka ini menjadi indikator penerimaan pasar yang baik terhadap produk Moxa,” paparnya.

Ekosistem dan kolaborasi

Saat ini, Moxa masih fokus memperkuat ekosistem produk secara inklusif dengan seluruh produk keuangan milik Astra Group. Daniel menargetkan jumlah pengguna Moxa dapat mencapai pertumbuhan hingga lima kali lipat dalam tiga tahun mendatang.

Beberapa kolaborasi inklusif yang telah dilakukan adalah sinergi Moxa dengan dompet digital AstraPay dan platform pinjaman Maucash. Pada sinergi AstraPay, pengguna Moxa dapat menggunakan saldo AstraPay untuk melakukan transaksi.

Di luar sinergi internal ini, Moxa juga berencana membuka ekosistemnya dengan pihak eksternal. Menurut Daniel, pihaknya telah menyiapkan sistem Open API sehingga mempermudah kolaborasi strategis dengan mitra eksternal di masa depan.

Salah satu kolaborasi yang baru terealiasi adalah kerja sama Moxa dengan PermataBank untuk menyediakan fitur Tabungan Permata moxaKu pada awal Agustus ini. Lewat fitur ini, pengguna Moxa dapat membuka rekening tabungan langsung lewat aplikasi tanpa perlu datang ke kantor cabang.

“Saat ini, pengguna layanan Moxa didominasi oleh konsumen yang mengajukan pinjaman di Maucash, pembiayaan dan multiguna untuk motor dan mobil, dan pengajuan asuransi. Kami juga melihat peningkatan pada produk Tabungan Permata moxaKu. Secara total, sudah ada 300 kerja sama Open API di platform Moxa. Kami akan terus memperluas kolaborasinya untuk mendukung akselerasi digital,” kata Daniel.

Application Information Will Show Up Here

Pemodal Ventura Tatap Masa Depan Bisnis Coworking Space

Era kejayaan bisnis coworking space di Indonesia berbanding lurus dengan popularitas dan bermunculannya startup teknologi. Tidak hanya sekadar menyediakan tempat untuk bekerja, penyelenggara coworking berlomba menghadirkan ekosistem kewirausahaan menyeluruh untuk mendukung tenant di dalamnya. Mulai dari acara edukasi bisnis, akses ke jaringan investor, sampai dengan program inkubasi.

Sejak tahun lalu, bisnis ini terganggu aktivitasnya akibat pembatasan sosial yang diberlakukan semasa pandemi. Belum lagi karakteristik konsumen utama mereka, pekerja di bidang teknologi, yang lebih fleksibel untuk bekerja di mana saja, termasuk melakukan work from home.

Vice President Indogen Capital Kevin Winsen mengatakan, “Secara industri, semua bisnis real estate termasuk coworking space akan terdampak dengan adanya pembatasan sosial […] Namun dari kondisi economic stress ini, saya juga melihat ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi bisnis model coworking space mana yang bisa bertahan dan bagaimana para founder merespons tantangan ini. Saya rasa pemain yang bisa bertahan akan menjadi pemenang atau category leader dalam segmen ini untuk jangka panjang.”

Indogen saat ini berinvestasi di GoWork. Sebelumnya mereka termasuk pemegang saham Spacemob sebelum diakuisisi WeWork pada tahun 2017 lalu.

Pendanaan masih terus berlanjut

Menurut data yang DailySocial peroleh, dua pemain besar coworking space lokal mendapatkan pendanaan tambahan di tahun ini. Pertama ada GoWork yang dikabarkan memulai putaran pendanaan Seri C1. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta atau setara 51,8 miliar Rupiah. Kami mencoba menghubungi eksekutif perusahaan untuk mengonfirmasi kabar ini, namun sampai tulisan ini terbit belum mendapatkan respons.

Pemain lainnya yang dikabarkan mendapatkan suntikan dana adalah CoHive. Tahun ini Stonebridge Ventures, East Ventures, Naver, LINE Ventures, dan sejumlah investor mengisi daftar investasi di putaran Seri B dengan nilai mencapai $16 juta atau setara 230,3 miliar Rupiah. Pihak terkait yang kami konfirmasi soal pendanaan ini memilih tidak berkomentar. Investor-investor tersebut merupakan mereka yang telah berinvestasi di tahap sebelumnya.

Operator Pendanaan Tahun Investor Pemimpin Kisaran Nilai
CoHive Seed Round 2017 East Ventures, Insignia Ventures Partners $4,3 juta
Series A 2018 Softbank Ventures Asia $20 juta
Series B 2019 s/d 2021 Stonebridge Ventures $16 juta
GoWork Seed Round 2017 ATM Capital, Convergence Ventures $3 juta
Series A 2018 Gobi Partners, The Paradise Group $10 juta
Series B 2019 undisclosed Undisclosed
Series C1 2021 Gobi Partners $3,6 juta

Keyakinan investor untuk bisnis coworking

East Ventures, yang merupakan pemegang saham penting di layanan coworking space CoHive di Indonesia dan CirCO di Vietnam, memberikan pendapatnya terkait kondisi yang dialami vertikal bisnis tersebut saat ini.

Operating Partner East Ventures David Fernando Audy mengatakan, “Ruang fleksibel atau coworking telah menjadi bagian terintegrasi dari tren pasar perkantoran dan akan terus berlanjut. Diyakini akan ada permintaan yang baik untuk layanan tersebut, ketika pandemi mereda. Tentu saja dalam jangka pendek, pembatasan mobilitas memberikan banyak tekanan pada operator. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengharapkan beberapa strategi yang bergeser ke arah konsolidasi pasar.

Sayangnya tidak mudah untuk memprediksi kapan krisis pandemi ini akan berakhir. Demikian juga tren cara kerja di era new normal nantinya – apalagi saat ini beberapa perusahaan teknologi memberikan keleluasaan untuk pegawainya bekerja dari mana saja.

Kevin melanjutkan, “Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini.”

Tren selama pandemi

Jika melihat dari tren pencarian dalam beberapa tahun terakhir, terminologi coworking mendapati traksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di awal masa pandemi sekitar bulan Juni-Juli 2020, tren tersebut sempat turun drastis kendati secara perlahan mulai merangkak naik.

Menurut laporan “Coworking Space Global Market Report 2021” dari Research and Markets, adanya Covid-19 juga diperkirakan hanya akan membawa pertumbuhan pasar sebesar 2,1%, dari $7,97 miliar di tahun 2020 menjadi $8,14 miliar di tahun 2021.

Pertumbuhan ini disebabkan para penyedia layanan yang melanjutkan operasi mereka dan beradaptasi dengan new normalPasar diperkirakan akan mencapai $13,03 miliar pada tahun 2025 dengan kenaikan pertumbuhan tahunan mencapai 12%.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Accenture Report: 84% of Gamers Use Gaming as a Socializing Tool

Gamers are often seen by the public as antisocial, which may be true to a certain degree. However, today, games are not simply used as a means of personal entertainment but also as a medium of communication. Especially in midst of a lockdown due to the COVID-19 pandemic, games have become the bridge that connects friends and people alike around the world.

The Growth of the Gaming Industry

According to Accenture, the gaming industry is estimated to be worth $200 billion. Today, approximately 2.7 billion people in the world play games. China, the United States, and Japan are the three countries with the largest gaming industries. China is estimated to have a population of 929 million gamers, and its gaming industry is valued over $51 billion USD. On the other hand, the US gaming industry is worth around $48 billion USD while housing over 219 million gamers.

In terms of population size, Japan will never come close to China or the United States. However, pound for pound, the game industry in Japan is incredibly massive. Despite its minuscule population, there are around 75 million gamers in Japan. Its gaming industry is also estimated to be worth over $24 billion USD. Apart from China, the US, and Japan, there are 17 other countries with gaming industries valued at over $1 billion USD. UK, Italy, Germany, Canada, South Korea, France, and Spain are some examples.

Gender proportions among gamers. | Source: Accenture

There is a strong belief within the gaming community that the gamer population is dominated by males. This assumption, however, is totally wrong. According to Accenture, 46% of the gamer population are female, 52% are male, and the remaining 2% fall into the non-binary category or people who do not want to mention their gender. Indeed, there are almost as many female gamers as there are male gamers. The rise in the number of females playing games is assumed to be the product of mobile gaming, which makes games far more accessible in general. 

In terms of experience at gaming, Accenture divides its four thousand respondents into two categories: gamers with more than five years of playing experience and gamers who have only played for the past one to four years. Interestingly, newer gamers have different characteristics from the more experienced gamers. In terms of age, new gamers are, of course, generally younger. The average age of less experienced gamers is 32 years old, while the average age of the more experienced gamers is 35 years old. The percentage of new and experienced gamers below the age of 25 is 30% and 25%, respectively. Most of the new gamers, 60% to be exact, are also women. On the other hand, females only populate around 39% of the experienced gamers group.

Industries That Have Benefitted from the Gaming Industry

The rapid growth of the gaming industry has also catalyzed the emergence of other related industries such as esports. Currently, these newborn industries are estimated to have a value of $100 billion USD. Here some examples of these industries and their respective net worth:

  • Esports, $1.3 billion USD
  • Gaming accessories for PC, $12 billion USD
  • PC gaming hardware, $39.3 billion USD
  • Mobile devices, $39.7 billion USD
  • Gaming content creation, $9.3 billion USD
Various industries that have benefited from the development of the gaming industry. | Source: Accenture

The rising popularity of gaming has also undoubtedly impacted mainstream culture. In the film industry, for example, there are a number of films that were based on video games, such as Angry Birds and War of Warcraft. Unfortunately, I must admit that most of these video game adaptation movies have drawn more criticism than praise from its fanbase. In addition to the film industry, gaming also had an impact on the toy and esports industry. Innovations in the gaming industry have also been translated into other fields ranging from education, health, and even the military. For example, education is one of the fastest-growing categories on Roblox.

The concept of gamification is also widely used by people outside gaming. As an illustration, many teachers today implement a point or ranking system in their classes to introduce competitive spirits between students. Games, nowadays, are also used as a place to hang out or socialize instead of just being a tool of personal entertainment. As proof, Travis Scott’s virtual concert at Fortnite was “attended” by 12 million players around the world. Due to the current pandemic lockdown, people also celebrate important moments, such as birthdays and weddings, in video games.

The Social Aspects of Gaming Drives the Growth of Its Industry

One of the driving factors behind the growth of the gaming industry is the development of mobile devices. For one, smartphones are usually much cheaper and accessible than gaming PCs or consoles. Furthermore, a majority of mobile games are free-to-play. Interestingly, however, the emergence of mobile games does not cannibalize the console and PC game market and instead encourages game developers to focus more on the social aspects of gaming. Therefore, don’t be surprised that more and more people today use gaming as a socializing tool.

According to data from Accenture, 84% of gamers say that they use games as a means of socializing with people with similar interests. Many gamers also play to find new friends online. This trend is further reinforced by the current COVID-19 pandemic. 74% of the respondents admitted that the pandemic has pushed them to socialize more through games. Furthermore, as many as 75% of gamers mentioned that a majority of their social interactions occur in games or gaming-related platforms such as Discord.

The importance of social aspects in games. | Source:Accenture

For most gamers, the gaming world plays an important role in their social life. Accenture’s data also shows that gamers spend about 16 hours every week playing games. On average, gamers also spend 8 hours a week watching gaming content and 6 hours on socializing in gaming communities or forums.

Unfortunately, the gaming community is also often known for its bizarre toxicity. Therefore, it is imperative that gamers always try to find suitable friends or communities that can mesh well with their personality. In fact, 84% of the respondents in Accenture’s survey admitted that having the right group of friends is key to an enjoyable online gaming experience. 

Finding a suitable group of friends while playing games is incredibly important. | Source: Accenture

All these data above show that the social aspects of gaming are becoming the main attraction for many gamers today. Thus, creating interesting games from popular franchises will simply no longer cut it. Instead, game developers must always think out of the box to innovate and optimize the social interactions and experiences between the players.

Featured Image: Team17. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Dihantam Pandemi, Adopsi Aplikasi Fintech di Indonesia Masih Terus Bertumbuh

Penggunaan layanan fintech dan digital banking mengalami pertumbuhan pesat sepanjang tahun 2020 hingga saat ini. Salah satunya dibuktikan dalam riset yang dilakukan AppsFlyer. Dalam laporan berjudul “The State of Finance App Marketing 2021” disebutkan, aplikasi-aplikasi tersebut memainkan peranan kunci di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satunya ditengarai masih banyak orang yang masuk dalam kategori unbanked atau underbanked.

Meskipun permintaan secara global menurun selama masa lockdown pertama, akibat aktivitas keuangan menurun dan ketidakpastian meningkat, penggunaan aplikasi finansial kembali bertumbuh pada Q2 tahun 2020. Pada Q1 2021, akselerasi digital yang makin meningkat telah mempercepat adopsi aplikasi pembayaran, investasi, dan perbankan.

Kategori layanan finansial lainnya yang menjadi sorotan AppsFlyer adalah aplikasi bank digital, bank tradisional, layanan finansial, pinjaman, hingga investasi; termasuk di dalamnya perdagangan, kripto, pasar saham, serta instrumen lainnya. Secara keseluruhan ada 2,7 miliar unduhan aplikasi finansial di kawasan Asia Pasifik antara Q1 2019 hingga Q2 2021.

Dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa banyak perusahaan finansial yang kemudian meningkatkan upaya untuk mengarahkan lebih banyak trafik ke aplikasi, menggunakan kombinasi aktivitas akuisisi pengguna dan remarketing.

Sementara itu juga tercatat secara global pemasangan aplikasi perbankan digital meningkat hampir 45% antara Q1 2020 dan Q1 2021, dan terus mengalami peningkatan saat pandemi. Sementara instalasi aplikasi layanan keuangan dan perbankan tradisional hanya naik 15% dalam jangka waktu yang sama. Namun, bank tradisional menambah kecepatan dengan kenaikan pemasangan aplikasi sebesar 22% pada Q1 2021.

Indonesia dan popularitas aplikasi finansial

Terdapat 3 negara yang mengalami pertumbuhan paling pesat terkait dengan penggunaan aplikasi finansial. Di antaranya adalah India sebagai negara peringkat pertama, disusul oleh Brazil dan Indonesia yang berada dalam peringkat kedua dan ketiga.

Dari data yang dihimpun, aktivitas penggunaan aplikasi finansial sempat menurun di periode Q2 2020 di Indonesia. Hal ini ditengarai adanya hambatan di iklim perekonomian akibat pandemi. Secara YoY turun mencapai 40%. Namun demikian berangsur naik dari waktu ke waktu seiring kondisi pasar dan perekonomian yang mulai membaik.

Para pengguna umumnya mengunduh aplikasi mobile payment dan aplikasi pinjaman. Dua kategori besar ini berkontribusi besar terhadap jumlah total unduhan.

Namun secara keseluruhan, laporan AppsFlyer membagi beberapa kategori aplikasi finansial yang banyak diunduh pengguna di tanah air, di antaranya adalah aplikasi dari bank tradisional (13,9%), kemudian layanan finansial (40,9%), pinjaman (35,7%), dan investasi (9,5%).

Pandemi juga mendorong pertumbuhan jumlah pengguna baru. Di Indonesia pertumbuhannya mencapai 20% jika melihat kondisi di Q1 2020 dan Q1 2021.

“Sektor fintech telah beradaptasi secara drastis pada berbagai perubahan lingkungan dan mengakselerasi transformasi digital, terutama di negara-negara berkembang, di mana sangat banyak masyarakat yang belum punya rekening bank dan tidak memiliki akses ke perbankan,” kata Senior Customer Success Manager APAC AppsFlyer Luthfi Anshari.

Gambar Header: Depositphotos.com