Alasan Di Balik Strategi Investasi Agresif Tencent

Sekarang, Tencent merupakan publisher game terbesar di dunia. Sejauh ini, strategi Tencent untuk mengembangkan bisnis game mereka adalah dengan mengakuisisi atau membeli saham dari berbagai perusahaan game. Sepanjang 2021, Tencent masih menggunakan strategi yang sama untuk membangun bisnis game mereka.

Bulan Desember 2021, Tencent mengakuisisi Turtle Rock, developer dari Left 4 Dead. Pada Juli 2021, Tencent mengeluarkan US$1,27 miliar untuk membeli developer asal Inggris, Sumo. Di era sebelum 2020, strategi Tencent dalam mengakuisisi atau menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game terbilang konservatif. Mereka hanya tertarik dengan perusahaan-perusahaan yang telah meluncurkan game sukses. Contohnya, Riot Games, yang membuat League of Legends.

Namun, pada 2020, Tencent mulai mengubah strategi mereka. Pada 2021, mereka bahkan sangat aktif dalam melakukan akuisisi atau membeli saham dari perusahaan-perusahaan game. Menurut Niko Partners, rata-rata, Tencent melakukan 2,5 transaksi bisnis per hari, mulai dari pembelian saham sampai akusisi. Per 10 Mei 2021, Tencent telah menandatangani 51 transaksi bisnis, jauh lebih banyak dari total transaksi bisnis yang mereka lakukan pada 2020 — yang hanya mencapai 31 transaksi sepanjang tahun.

Walau Tencent menjadi lebih agresif dalam mengakuisisi atau membeli saham perusahaan-perusahaan game, mereka tidak mencoba untuk melakukan rebranding pada perusahaan yang sudah mereka akuisisi atau modali. Sebaliknya, Tencent biasanya membiarkan perusahaan-perusahaan itu beroperasi secara mandiri.

Tencent kini masih menjadi publisher game nomor satu. | Sumber: Niko Partners

Melihat sikap Tencent yang menjadi lebih agresif dalam mengakuisisi atau membeli perusahaan gameNiko Partners mencoba untuk menjelaskan tiga alasan di balik perubahan strategi tersebut.

1. Ancaman dari Alibaba dan ByteDance

Salah satu alasan mengapa Tencent menjadi lebih agresif dalam melakukan investasi dan akuisisi di industri game sepanjang 2021 adalah karena mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan dua raksasa teknologi Tiongkok lain: Alibaba dan ByteDance, perusahaan induk TikTok.

Memang, pada awal 2020, ByteDance dikabarkan berencana untuk membuat divisi gaming. Tak hanya itu, sekarang, mereka juga mempekerjakan hampir 3 ribu orang untuk membuat game sendiri. Sejauh ini, mereka telah sukses dengan Ragnarok X: Next Generation di Hong Kong dan Taipei, serta One Piece: The Voyage di Tiongkok. Tak berhenti sampai di situ, pada Maret 2021, ByteDance mengakuisisi Moonton, developer dari Mobile Legends.

ByteDance beli Moonton di tahun 2021. | Sumber: IGN

Sementara itu, pada September 2019, Alibaba meluncurkan Three Kingdoms: Tactics, game yang didasarkan intellectual property (IP) Koei Techmo. Berkat game tersebut, Alibaba sukses menjadi publisher mobile game terbesar ke-4 di Tiongkok pada 2020. Di tahun yang sama, mereka memutuskan untuk memindahkan divisi gaming mereka dari segmen “inisiatif inovasi” — berisi bisnis-bisnis kecil yang bersifat eksperimental — ke segmen “hiburan dan media digital”. Alasannya adalah karena mereka menganggap, bisnis game mereka sudah berkembang cukup besar.

 2. Munculnya Game-Game Populer dari Developer Menengah

Tencent tidak hanya menghadapi persaingan dari perusahaan raksasa seperti Alibaba dan ByteDance, tapi juga dari perusahaan-perusahaan game skala menengah, seperti miHoYo, Lilith Games, dan QingCi Digital. Dari tiga perusahaan itu, Tencent hanya memiliki saham di QingCi Digital. Dan nilai saham yang mereka miliki hanyalah 3,33%, yang mereka beli seharga RMB101 juta (sekitar Rp225, 6 miliar). Padahal, ketiga perusahaan itu telah mengeluarkan game-game sukses.

Developer miHoYo berhasil meraih sukses di kancah global dengan Genshin Impact. Game itu hanya membutuhkan waktu 12 hari untuk mendapatkan US$100 juta, yang merupakan total biaya produksi dari game tersebut. Tak hanya itu, pada Maret 2021, 5 bulan sejak Genshin Impact diluncurkan, game itu telah berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar ke-3 di dunia. Dan menurut Niko Partners, total pemasukan dari Genshin Impact di semua platform telah menembus US$1,5 miliar.

Rise Kingdoms berhasil mengalahkan game Tencent dengan genre yang serupa.

Sementara itu, Lilith Games meluncurkan AFK Arena dan Rise of Kingdoms di Tiongkok pada tahun lalu. AFK Arena adalah turn-based RPG sementara Rise of Kingdoms merupakan real-time multiplayer 4x strategy game. Menariknya, pada tahun lalu, Tencent sebenarnya juga meluncurkan game dengan genre yang sama seperti AFK Arena dan Rise of Kingdoms. Namun, game dari Tencent masih kalah populer dari kedua game buatan Lilith.

3. Keinginan untuk Kuasai Pasar Game International

Saat ini, Tiongkok memang masih menjadi pasar game paling besar. Sekitar 33% dari total pemasukan game PC dan mobile berasal dari Tiongkok. Meskipun begitu, Tencent juga tertarik untuk memasuki pasar game internasional. Sekarang, pasar game internasional hanya berkontribusi sebesar 21% dari total pemasukan Tencent. Mereka berencana untuk meningkatkan angka itu menjadi 50%.

Di pasar game internasional, sebagian besar dari pemasukan Tencent berasal dari IP yang lisensinya mereka beli, seperti PUBG Mobile dan Call of Duty Mobile. Dari segi platform, mobile masih memberikan kontribusi paling besar. Meskipun begitu, Tencent juga sadar, nilai pasar game PC dan konsol di luar Tiongkok bernilai US$70 miliar. Jadi, walau mobile jadi salah satu prioritas mereka, mereka juga tidak mengacuhkan pasar game PC atau konsol. Selain itu, mereka juga merasa, mereka masih bisa menumbuhkan bisnis game PC mereka di Tiongkok.

Di masa depan, Tencent juga berencana untuk mengembangkan game AAA yang bisa dimainkan di berbagai platform. Sementara mereka membuat game tersebut, mereka juga akan terus menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game yang memang sudah punya pengalaman dalam membuat game AAA.

Menilik Strategi Investasi Agresif Tencent

Per 10 Mei 2021, Tencent telah mengakuisisi atau menanamkan investasi di 51 perusahaan game. Dari semua perusahaan game itu, sebanyak 39 perusahaan berasal dari Tiongkok dan 12 sisanya berasal dari luar Tiongkok. Lima dari 12 perusahaan asing yang Tencent akuisisi atau berikan modal berasal dari Korea Selatan. Kesamaan lain dari lima perusahaan itu adalah mereka fokus untuk membuat game PC atau mobile. Tahun ini, Tencent sama sekali tidak melirik perusahaan Amerika Serikat. Kemungkinan, alasannya adalah karena masalah geopolitik. Bahkan saat ini, kepemilikan saham Tencent di Riot Games dan Epic Games menjadi perhatian dari Committee on Foreign Investments in the United States (CFIUS).

Hampir setengah dari 51 perusahaan game yang menarik perhatian Tencent punya pengalaman dalam membuat game konsol atau PC. Menariknya, banyak dari perusahaan tersebut yang bermarkas di Tiongkok. Seperti yang disebutkan oleh Niko Partners, keputusan Tencent untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok yang membuat game PC dan konsol adalah sesuatu yang baru. Pasalnya, di 2020, kebanyakan perusahaan game asal Tiongkok yang mendapatkan investasi atau diakuisisi oleh Tencent merupakan perusahaan yang membuat mobile game.

Pada 2021, Tencent justru menginvestasikan dana mereka ke perusahaan yang membuat game PC atau konsol, seperti Game Science yang membuat Black Myth: Wu Kong, Surgical Scalpels yang merupakan kreator dari Project Boundary, atau UltiZero Games yang membuat Lost Soul Aside. Tujuan Tencent menanamkan modal di perusahaan-perusahaan tersebut adalah karena mereka ingin memperkuat posisi mereka di pasar game PC lokal, yang diperkiran akan kembali tumbuh pada 2022.

Tak hanya di dalam negeri, Tencent juga tertarik untuk menanamkan saham atau mengakuisisi perusahaan game yang membuat game atau konsol di luar Tiongkok, seperti Fatshark, Bohemia Interactive, Dontnod Studios, dan Klei. Salah satu tujuan mereka adalah untuk membawa game-game dari perusahaan itu ke Tiongkok. Tujuan lainnya adalah karena mereka ingin bisa mendapatkan keahlian perusahaan-perusahan itu dalam membuat game PC dan konsol.

Tencent Mulai Perhatikan Gamers Perempuan

Pada 2021, Tencent juga berusaha untuk memperkaya portofolio akan perusahaan yang mereka akuisisi atau modali. Sekarang, mereka juga tertarik dengan perusahaan yang membuat game untuk gamers perempuan atau game dengan konten anime. Dalam satu tahun terakhir, mereka telah menanamkan modal di 14 perusahaan yang membuat game dengan gaya anime dan game untuk perempuan.

Sebelum ini, Tencent sebenarnya telah membuat game yang didasarkan pada anime, seperti Naruto dan Dragon Ball. Meskipun begitu, game anime Tencent tidak sesukses Genshin Impact dari miHoYo atau Onmyoji dari NetEase. Alasan mengapa Tencent tertarik dengan game bergaya anime atau game yang menargetkan gamers perempuan adalah karena pada akhir 2020, ada lebih dari 350 juta gamers perempuan dan 300 juta fans ACGN (Animation, Comic, Game, dan Novel) di Tiongkok.

Perubahan lain dalam strategi investasi Tencent adalah sekarang, mereka lebih bersedia untuk menanamkan modal ke perusahaan-perusahaan muda. Dalam dua tahun terakhir, mereka telah memberikan investasi pada enam perusahaan yang baru membuat sedikit produk atau bahkan belum mengeluarkan produk sama sekali. Tampaknya, alasan mengapa Tencent menjadi lebih proaktif dalam menanamkan investasi adalah karena ancaman dari developer game skala menengah seperti miHoYo dan Lilith Games.

Among Us Bakal Bisa Dimainkan di VR, Dota Dragon’s Blood Season 2 Tayang Awal Januari 2022

Minggu lalu, Innersloth mengumumkan bahwa mereka akan membawa Among Us ke platform VR. Sementara itu, Netflix mengungkap tanggal tayang dari Dota Dragon’s Blood Season 2, yaitu pada 6 Januari 2022. Pada minggu lalu, Sony juga mengakuisisi Valkyrie Entertainment, sementara Riot Games membeli kantor baru di Seattle, Amerika Serikat.

Emergency Meeting: Among Us Bakal Tersedia di VR

Innersloth, Schell Games, dan Robot Teddy akan membawa Emergency Meeting: Among Us ke platform virtual reality. Game itu akan bisa dimainkan di Meta Quest, PlayStation VR, dan SteamVR. Among Us pertama kali diluncurkan untuk Android, iOS, dan Windows pada 2018.

Pada 2020, Innersloth meminta bantuan perusahaan konsultasi game Robot Teddy untuk membawa Among Us ke konsol. Robot Teddy juga bertanggung jawab atas beberapa bisnis lain dari Innersloth. Sementara itu, Schell Games, studio yang memang berkutat di bidang VR, akan bekerja sama dengan dua perusahaan itu untuk membawa Among Us ke VR.

“Kami berterima kasih pada komunitas yang terus memainkan game kami bersama teman dan keluarga mereka, serta terus mendukung kami,” kata Victoria Tran, Community Director, Innersloth, seperti dikutip dari VentureBeat. “Schell Games punya rekam jejak dalam membuat game VR berkualitas dan kami tidak sabar untuk memberikan pengalaman baru dalam bermain Among Us, baik pada fans lama ataupun baru.”

Riot Games Punya Kantor Baru di Seattle, Bakal Pekerjakan 400 Orang

Riot Games punya kantor baru di Mercer Park Workplace, Seattle, Amerika Serikat. Kantor seharga US$114,1 juta itu merupakan kantor keempat Riot di Amerika Serikat. Di sana, Riot berencana untuk mempekerjakan lebih dari 400 pekerja. Para pekerja di kantor tersebut akan fokus pada riset, pengembangan, dan live service dari game-game Riot, dengan VALORANT sebagai prioritas utama mereka, menurut laporan GeekWire.

“Kantor baru ini akan menjadi bagian dari jaringan studio pengembangan game kami. Dengan begitu, kami akan bisa memenuhi ekspektasi para pemain,” kata Scott Gelb, President of Games, Riot, dikutip dari VentureBeat. “Kami ingin menjadi perusahaan pilihan bagi developer yang tertarik membuat game-game hebat dengan banyak fans.”

Dota Dragon’s Blood Season 2 Bakal Tayang di 2022

Netflix mengumumkan bahwa Dota Dragon’s Blood Season 2 akan tayang pada 6 Januari 2022. Season 2 dari Dragon’s Blood akan melanjutkan cerita dari Mirana, Davion, Luna, dan Marci. Selain itu, beberapa karakter lain dari game Dota 2 juga akan tampil di anime tersebut, seperti Lina the Slayer. Ketika diluncurkan, Dota Dragon’s Blood mendapatkan sambutan hangat, walau tidak semeriah sambutan untuk Arcane, seri animasi dari League of Legends. Saat ini, Season 2 dari Arcane juga sudah dikonfirmasi. Hanya saja, belum ada informasi tentang jadwal tayang dari Arcane Season 2, lapor Clutch Points.

Industri Game India akan Bernilai US$1,5 Miliar di 2025

Minggu lalu, perusahaan riset Niko Partners meluncurkan laporan 2021 India Games Market Report and 5-Year Forecast. Menurut laporan itu, pemasukan industri game di India akan mencapai US$1,5 miliar pada 2025. Hal itu berarti, nilai industri game di negara tersebut tumbuh tiga kali lipat dalam waktu empat tahun. Per 2021, Niko Partners memperkirakan, nilai industri game India mencapai US$534 juta, naik 32% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Niko Partners juga menyebutkan, India berpotensi untuk menjadi pasar game dengan pertumbuhan paling cepat di Asia, baik dari segi pemasukan maupun jumlah gamers. Dalam laporan terbarunya, Niko Partners juga menyebutkan, di kawasan Asia-10 — yang mencakup Filipina, Indonesia, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam — 56% gamers akan berasal dari India. Sebelum ini, Niko Partners juga membahas tentang tren di industri game dan esports sepanjang 2021.

Sony Akuisisi Valkyrie Entertainment

Sony baru saja mengakuisisi Valkyrie Entertainment, developer asal Seattle, Amerika Serikat. Didirikan pada 2002, Valkyrie Entertainment biasanya mengambil peran sebagai support studio, mendukung studio lain untuk mengembangkan game-game mereka. Sebelum ini, Sony juga telah bekerja sama dengan Valkyrie untuk membuat Infamous 2, Twisted Metal, God of War, dan God of War: Ragnarok.

Guns Up, game buatan Valkyrie Entertainment. | Sumber: Steam

Selain itu, Valkyrie juga punya peran dalam mengembangkan sejumlah game AAA, seperti lima game pertama dari Forza Motorsport, Halo Infinite, Batman: Arkham Origins, Injustice 2, dan Middle-earth: Shadow of War, menurut laporan GamesIndustry. Sejauh ini, satu-satunya game yang Valkyrie luncurkan adalah game free-to-play berjudul Guns Up.

Tren Industri Game dan Esports di 2021 dan Prediksi Tren untuk 2022 Menurut Niko Partners

Selama 2020, industri game mengalami kenaikan pesat berkat pandemi COVID-19. Di tahun 2021, pandemi mulai teratasi di sejumlah negara. Alhasil, kehidupan masyarakat pun mulai kembali seperti sedia kala. Tentunya, hal ini mempengaruhi industri game dan esports. Menggunakan data dari Niko Partners, Hybrid.co.id mencoba untuk merangkum tren industri game selama 2021. Tak hanya itu, kami juga membahas tentang prediksi keadaan industri game dan esports di tahun 2022.

Tren di Industri Game Asia Sepanjang 2021

Asia merupakan pasar game paling penting di dunia, menurut Niko Partners. Karena, di Asia, tuntutan akan game, esports, konten streaming, dan kompetisi esports cukup tinggi. Tak hanya itu, besar pendapatan yang bisa dibelanjakan oleh warga Asia juga terus naik. Infrastruktur di negara-negara Asia juga terus membaik. Semua ini membuka peluang besar bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang game, mulai dari developer dan publisher game, pembuat hardware, sampai penyedia infrastruktur.

Sepanjang 2021, Niko Partners mengamati industri game di 10 negara Asia, yaitu Filipina, Indonesia, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan studi yang mereka lakukan, mereka memperkirakan, nilai industri game PC dan mobile di Asia-10 di 2021 akan mencapai US$35,7 miliar, naik 6,2% dari tahun lalu. Dalam 5 tahun ke depan, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun alias CAGR dari industri game PC dan mobile di kawasan tersebut adalah 4,5%. Jadi, pada 2025, industri game PC dan mobile dari negara-negara Asia-10 akan mencapai US$41,8 miliar.

Industri game di Asia tidak hanya tumbuh dari segi pemasukan, tapi juga dari segi jumlah gamers. Pada akhir 2021, jumlah gamers di kawasan Asia-10 diperkirakan akan mencapai 714,9 juta orang, naik 12,1% dari tahun lalu. Sementara tingkat pertumbuhan per tahun (CAGR) dari jumlah gamers mencapai 8,1%. Dengan begitu, pada 2025, jumlah gamers di Asia-10 akan mencapai 940,9 juta orang.

Niko Partners mengumpulkan data industri game dari 10 negara di Asia. | Sumber: Niko Partners

Dengan tingkat CAGR sebesar 29,8%, India menjadi negara Asia yang industri game-nya yang tumbuh paling pesat. Sementara di kawasan Asia Tenggara, ada tiga negara yang industri game-nya memiliki laju pertumbuhan paling tinggi, yaitu Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Pada 2020, nilai industri game Thailand bahkan telah menembus angka US$1 miliar. Sementara Indonesia diperkirakan akan mencapai pencapaian hal itu pada 2025. Begitu juga dengan India dan Vietnam.

Dari segi ukuran industri game, Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara Asia dengan industri game paling besar. Dua negara Asia Timur itu memberikan kontribusi sebesar 80% dari total industri game PC dan mobile di kawasan Asia-10.

Perkiraan Tren di Industri Game dan Esports Pada 2022

Banyak industri yang luluh lantak karena COVID-19, seperti pariwisata. Dan game merupakan salah satu industri yang tidak hanya bisa bertahan di tengah pandemi, tapi justru tumbuh. Perlahan tapi pasti, masyarakat mulai pulih dari pandemi. Tentu saja, hal ini akan mempengaruhi perilaku para gamers, yang akan berdampak pada industri game secara keseluruhan.

Ketika ditanya tentang keadaan industri game di tahun 2022, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, Darang S. Candra mengatakan, walau pandemi telah mulai teratasi, pemasukan di industri game masih akan tetap naik. Hanya saja, tingkat kenaikannya tidak sebesar pada masa puncak pandemi. Hal yang sama juga akan berlaku untuk lama waktu bermain para gamers. Dia menyebutkan, lama waktu bermain para gamers pada 2022 diperkirakan akan lebih singkat jika dibandingkan dengan puncak masa pandemi.

Pulihnya masyarakat dari pandemi tidak hanya memberikan dampak pada industri game, tapi juga industri esports. Perubahan itu bahkan mulai terlihat pada akhir 2021. Misalnya, pada semester akhir 2021, ada sejumlah turnamen esports besar yang digelar secara offline, termasuk The International 10 dan League of Legends World Championship 2021. Soal ini, Darang mengatakan bahwa pada tahun depan, kompetisi esports memang akan mulai kembali digelar secara offline. Namun, hal itu bukan berarti kompetisi online akan menghilang sepenuhnya.

ONE Esports Singapore Major adalah salah satu kompetisi esports yang digelar secara offline. | Sumber: Win.gg

“Dari pengamatan kami, dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi,” kata Darang melalui email. “Meski turnamen offline akan kembali diadakan, sebagian besar negara dan penyelenggara turnamen akan tetap perhati-hati. Pembatasan sosial/social distancing yang akan terus berlaku juga mengurangi pengunjung potensial pada turnamen offline. Dengan demikian, turnamen hybrid — peserta offline tapi tidak ada/sedikit penonton, disiarkan secara online — sepertinya akan menjadi tren ke depan.”

Darang menegaskan, turnamen online tidak akan menghilang begitu saja di masa depan. Selain karena dunia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, alasan lain turnamen esports online akan tetap ada adalah karena sebagian penggemar esports sudah terbiasa menonton kompetisi esports secara online.

Di kawasan Asia, tidak semua negara siap untuk mengadakan kompetisi esports secara offline. Darang menjelaskan, “Hal ini akan tergantung pada jumlah kasus, kematian akibat COVID-19, rasio vaksinasi, dan kebijakan negara masing-masing. Negara dengan jumlah kasus dan kematian lebih sedikit, rasio vaksinasi tinggi, dan mengurangi kebijakan social distancing akan lebih mungkin untuk menggelar acara esports secara offline.”

Lebih lanjut, Darang menjelaskan, faktor lain yang mempengaruhi apakah sebuah negara akan bisa menggelar esports events secara offline adalah kemampuan untuk menanggulangi COVID-19. “Negara dengan penanganan COVID-19 yang lebih mumpuni, seperti Singapura, tentu akan lebih mudah untuk mengadakan acara esports secara offline,” ujarnya

Memang, pada 2021, Singapura membuktikan bahwa mereka bisa mengadakan beberapa esports events offline, termasuk ONE Esports Singapore Major. M3 Mobile Legends World Championship yang tengah berlangsung juga diadakan secara offline di Singapura.

Viewership dan Pemasukan Industri Esports di 2022

Ada banyak orang yang mulai menonton kompetisi esports selama pandemi. Pasalnya, ketika pandemi, mereka tidak hanya dilarang untuk keluar rumah, tapi juga tidak bisa menonton pertandingan olahraga karena banyak kompetisi yang ditunda atau dibatalkan. Pertanyaannya, apakah mereka akan tetap menonton konten esports setelah pandemi telah mulai teratasi?

Ketika ditanya tentang hal ini, Darang menjawab, bahkan setelah pandemi berakhir, akan ada penggemar esports yang melanjutkan hobinya untuk menonton konten esports. Dia merasa, hobi menonton pertandingan esports sama seperti hobi-hobi lain yang orang-orang pelajari saat pandemi, seperti berkebun atau memasak. Karena itu, baik viewership maupun pemasukan dari industri esports, khususnya di Asia, diperkirakan masih akan naik pada tahun depan.

VALORANT jadi salah satu game esports yang diduga bakal populer di 2021.

“Berdasarkan tren dari beberapa tahun terakhir, viewership dan revenue industri esports di Asia selalu meningkat, dan mencapai puncaknya di kala pandemi,” ujar Darang. “Dengan berkurangnya kasus COVID-19 dan kembalinya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan secara offline, viewership dan revenue industri esports tentu tidak akan tumbuh setinggi di masa pandemi. Hanya saja, kami memprediksi, esports sudah menjadi cara mainstream untuk mendapatkan hiburan sehingga viewership dan revenue industri esports tetap akan berkembang meski tidak setinggi di masa puncak pandemi.”

Di Asia, ada tiga genre yang populer di kalangan gamers dan fans esports, yaitu MOBA, Battle Royale, dan Shooter. Menurut Darang, tren ini diperkirakan masih akan bertahan pada 2022. Sejalan dengan tren itu, beberapa game esports yang diperkirakan akan tetap populer di tahun depan antara lain League of Legends dan Wild Rift, Free Fire, PUBG Mobile, dan VALORANT.

Sumber header: Pexels

Resep yang Buat Harry Potter: Magic Awakened Sukses di Tiongkok

Harry Potter: Magic Awakened diluncurkan pada 9 September 2021. Meskipun hanya dirilis di beberapa negara Asia — Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Makau — game buatan NetEase itu berhasil mendapatkan lebih dari US$228 juta dalam waktu kurang dari 2 bulan. Dengan begitu, Magic Awakened menjadi game dengan pemasukan terbesar ke-2 dalam franchise Harry Potter, menurut data dari Sensor Tower.

Tiongkok, pasar game terbesar di dunia, menjadi kunci dari kesuksesan NetEase dengan Magic Awakened. Di negara tersebut, Magic Awakened berhasil menjadi game dengan jumlah download paling banyak dan pemasukan terbesar di iOS. Tak hanya itu, Magic Awakened bahkan berhasil mempertahankan gelar itu selama tujuh hari berturut-turut. Menurut Niko Partners, Magic Awakened menjadi game non-Tencent pertama yang berhasil mendapatkan pencapaian tersebut sejak Onmyoji dirilis pada 2016.

Jika Anda membandingkan Magic Awakened dengan Onmyoji, Anda akan menemukan beberapa kesamaan antara keduanya. Pertama, keduanya sama-sama digarap oleh NetEase. Faktanya, tim dan produser dari Onmyoji juga ikut serta dalam pengembangan Magic Awakened. Kedua, baik Magic Awakened dan Onmyoji sama-sama merupakan card-based RPG.

Lalu, apa saja yang dilakukan oleh NetEase sehingga Magic Awakened bisa langsung populer di Tiongkok? Menurut Niko Partners, ada empat hal yang membuat Magic Awakened sukses. Berikut penjelasan lengkapnya.

Popularitas Franchise Harry Potter di Tiongkok

Salah satu alasan mengapa Magic Awakened disambut dengan hangat di kalangan gamers Tiongkok adalah karena popularitas franchise Harry Potter di negara itu. Di Tiongkok, novel pertama Harry Potter diluncurkan pada Agustus 2000, 3 tahun setelah versi bahasa Inggris dari novel itu diluncurkan. Berdasarkan data dari Beijing Youth Daily, total penjualan novel Harry Potter di Tiongkok mencapai sekitar 200 juta buku.

Walau novel terakhir dari Harry Potter diluncurkan pada 2007 dan film terakhir dari franchise itu ditayangkan pada 2011, belakangan, franchise Harry Potter kembali populer di kalangan masyarakat Tiongkok. Alasannya, karena pada tahun lalu, film Harry Potter pertama kembali ditayangkan di bioskop Tiongkok. Tak hanya itu, bulan lalu, Universal Studio Resort juga resmi dibuka di Beijing. Di sana, ada area khusus untuk Harry Potter.

Universal Beijing Resort punya bagian khusus untuk Harry Potter. | Sumber: Facebook

Keberadaan Magic Awakened pertama kali diumumkan pada Oktober 2019 oleh Warner Bros. dan Portkey Games, divisi WB yang bertanggung jawab untuk membuat dan merilis game Harry Potter. Proses pengembangan Magic Awakened sendiri ditangani oleh NetEase dan Portkey Games. Sejak keberadaan Magic Awakened diumumkan, informasi terkait game itu perlahan diungkap, seperti fakta bahwa di Magic Awakened, pemain akan bisa menjadi murid Hogwards. Dengan begitu, NetEase berhasil membuat gamers Tiongkok tertarik dengan Magic Awakened bahkan sebelum game itu diluncurkan.

Kampanye Marketing Pra-Peluncuran

Popularitas franchise Harry Potter bukan satu-satunya alasan di balik kesuksesan Magic Awakened. Faktor lain yang membuat game itu populer di kalangan gamers Tiongkok adlaah kampanye marketing yang dilakukan oleh NetEase sebelum peluncuran. Melalui kampanye pra-peluncuran, NetEase membiarkan orang-orang untuk mengunduh Magic Awakened dua hari sebelum game diluncurkan. Setelah mengunduh game itu, orang-orang akan bisa mengakses beberapa segmen dari Magic Awakened.

Salah satu hal yang bisa pemain lakukan sebelum game diluncurkan adalah membuat karakter dan ikut serta dalam Sorting Hat Ceremony. Tak berhenti sampai di situ, pemain juga bisa menghias ruang asrama mereka dan mengundang teman-teman mereka untuk bermain bersama. Semua hal ini mendorong para pemain untuk berbagi pengalaman mereka memainkan Magic Awakened di media sosial, seperti Weibo dan WeChat. Alhasil, ada lebih dari 15 juta orang yang mendaftarkan diri dalam pra-registrasi.

Gameplay yang Unik

Tidak peduli seberapa cakap sebuah perusahaan melakukan marketing, jika gameplay dari sebuah game membosankan, maka pada akhirnya, para pemain akan meninggalkan game itu. Kabar baiknya, NetEase berhasil memberikan gameplay yang unik pada Magic Awakened dengan menggabungkan elemen RPG dengan CCG. Selain itu, game tersebut juga menyediakan mode PvE dan PvP. Story Mode dari game itu bahkan menerapkan sistem real time battles. Jadi, saat battle, pemain bisa menggerakkan karakter mereka. Hal ini penting karena posisi pemain akan mempengaruhi efektivitas dari sihir yang mereka gunakan.

Dalam Magic Awakened, NetEase juga menyediakan special cards. Kartu-kartu khusus tersebut bisa digunakan oleh pemain untuk memanggil karakter atau binatang legendaris dari dunia Harry Potter. Selain Story Mode, NetEase juga melengkapi Magic Awakened dengan berbagai mode dan mini game. Harapannya, jumlah gamers yang tertarik untuk memainkan game itu akan bertambah. Beberapa mini game yang ada di Magic Awakened antara lain quidditch, dance mode, serta roguelike mode di Forbidden Forest.

Fitur Sosial

Terakhir, aspek yang membuat Magic Awakened sukses di Tiongkok adalah adanya fitur sosial dalam game. Fitur sosial sudah terintegrasi ke dalam game sebelum atau setelah game diluncurkan. Sebelum game diluncurkan, para gamers bisa menggunakan fitur sosial pada game untuk berbagi pengalaman mereka ketika mereka melalui Sorting Hat Ceremony untuk menentukan asrama yang akan mereka tinggali.

Setelah game diluncurkan, fitur sosial pada game pun menjadi semakin beragam. Para gamers tidak hanya bisa membagikan konten tentang events dalam game ke media sosial, mereka juga bisa mengakses grup diskusi, walkthrough, dan bahkan video dalam jaringan sosial internal pada game. Fitur sosial memang salah satu fitur penting untuk gamers Tiongkok. Karena, bagi gamers Tiongkok, bermain game merupakan bagian dari bersosialisasi.

Magic Awakened di Masa Depan

Magic Awakened memang telah sukses untuk menarik hati para gamers di Tiongkok. Namun, hal itu bukan berarti game itu sudah sempurna. Masih ada beberapa keluhan yang disampaikan oleh para gamers. Salah satunya adalah sistem monetisasi yang sangat agresif. Jika pemain ingin mendapatkan kartu level tinggi, maka dia harus siap untuk mengeluarkan uang. Protes lain dari para pemain adalah ketika mereka membeli item dalam game, pembelian itu berubah menjadi subscription aktif.

Dari segi cerita, sebagian pemain mengeluhkan bahwa ada beberapa bagian dalam Magic Awakened yang tidak realistis atau tidak sesuai dengan cerita di novel Harry Potter. Misalnya, dalam game, pemain bisa mendapatkan spells yang seharusnya tidak bisa diakses oleh para murid Hogwards. Contoh lainnya, pemain bisa menggunakan Unforgivable Curses. NetEase mencoba untuk mengatasi masalah itu satu per satu. Saat ini, mereka akan membatasi jumlah Unforgiveable Curses yang bisa pemain gunakan.

Ke depan, NetEase sudah punya rencana untuk mengekspansi dunia dalam Magic Awakened dengan menambahkan lokasi-lokasi baru yang bisa pemain jelajahi. Selain itu, mereka juga akan memperkenalkan elemen gameplay baru. Baik NetEase maupun Warner Bros. telah mengonfirmasi bahwa mereka akan meluncurkan Magic Awakened di pasar internasional. Hal ini sesuai dengan ambisis NetEase untuk memperbesar kontribusi pasar game global ke pemasukan mereka. Saat ini, hanya 10% dari pemasukan game NetEase berasal dari pasar internasional. Mereka berharap, dalam beberapa tahun ke depan, angka itu akan naik hingga 50%.

Blockchain Gaming: Bagaimana Axie Infinity Menggapai Popularitasnya

Konsep blockchain pertama kali diajukan pada 1982, oleh cryptographer David Chaum. Namun, blockchain baru mulai dikenal masyarakat banyak setelah teknologi itu digunakan pada cryptocurrency, seperti Bitcoin. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, blockchain punya peran penting dalam sistem cryptocurrency. Karena, blockchain adalah teknologi yang memastikan keamanan dan validitas dari transaksi cryptocurrency. Penggunaan blockchain menjamin bahwa transaksi dalam cryptocurrency aman dan terpercaya, tanpa perlu keberadaan pihak ketiga sebagai penjamin.

Setelah sukses dengan cryptocurrency, blockchain digunakan untuk berbagai sektor, termasuk game. Belakangan, mulai muncul game dengan model bisnis baru, yang diklaim sebagai blockchain game. Menurut Niko Partners, blockchain game merupakan tren teraru yang berpotensi mendisrupsi industri game. Dan tren tersebut tumbuh pesat di Asia.

Apa Itu Blockchain Game?

Sebelum membahas soal blockchain game, mari kita mendefinisikan blockchain itu sendiri. Secara sederhana, blockchain adalah sekumpulan data — disebut blok — yang terhubung dengan satu sama lain melalui cryptography. Setiap blok dalam blockchain bersifat unik dan tidak bisa diubah. Karena, jika salah satu blok dalam sebuah blockchain diubah, perubahan itu akan mempengaruhi blok-blok lain dalam blockhain tersebut.

Satu hal yang membedakan blockchain game dengan game tradisional adalah semua aset digital yang digunakan dalam blockchain game merupakan Non-Fungible Token (NFT). Artinya, setiap aset digital di blockchain game berbeda dengan satu sama lain. NFT sendiri merupakan unit data yang tersimpan dalam blockchain. Dan segmen blockchain yang menyimpan semua aset sebuah game itulah yang disebut blockchain gaming.

Blockchain dikenal sebagai teknologi yang digunakan untuk cryptocurrency. | Sumber: Pexels

Selain penggunaan NFT, satu hal lain yang membedakan blockchain game dengan game tradisional adalah model bisnis yang digunakan. Blockchain game memperkenalkan model bisnis baru yang disebut “play to earn“. Sesuai namanya, game dengan model bisnis itu memungkinkan para pemainnya untuk mendapatkan uang dengan bermain game. Jadi, ketika seseorang memainkan blockchain game dengan model bisnis play-to-earn, setiap dia bermain, dia akan mendapatkan reward berupa aset digital. Reward tersebut akan bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional.

Selain model play-to-earn, blockchain game juga menerapkan model bisnis “play to trade“. Dengan model bisnis itu, pemain akan bisa mendapatkan token saat bermain. Token tersebut bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan uang kertas. Bagi developer, ketika mereka hendak mengembangkan blockchain game dengan model play-to-earn, mereka harus bisa mengintegrasikan model bisnis itu ke desain dan gameplay dari sebuah game.

Di atas kertas, blockchain game dengan model bisnis play-to-earn merupakan impian bagi para gamers. Gamers mana yang tidak mau mendapatkan uang hanya dengan bermain game? Dan berbeda dengan atlet esports, Anda tidak harus punya kemampuan yang sangat luar biasa untuk bertanding di turnamen kelas atas dan mendapatkan hadiah.

Meskipun begitu, para pemain blockchain game juga punya kekhawatiran tersendiri. Salah satunya, mereka khawatir bahwa masalah teknis akan membuat aset digital mereka hilang — yang berarti uang mereka akan hilang. Keresahan lain yang mereka rasakan adalah penipuan. Karena, perusahaan blockchain game tidak wajib untuk mematuhi regulasi terkait pencucian uang atau untuk mengenal pemain mereka. Hal ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh para penipu.

Contoh Blockchain Game: Axie Infinity

Saat ini, ada beberapa blockchain game yang populer, seperti CryptoKitties, The Sandbox, dan Decentraland. Dengan jumlah pemain aktif harian mencapai satu juta orang, Axie Infinity menjadi contoh lain dari blockchain game yang populer. Axie Infinity adalah blockchain game buatan Sky Mavis, developer asal Vietnam. Pada Januari 2021, total pemasukan studio itu adalah US$103 ribu. Angka ini meningkat pesat pada Agustus 2021, menjadi US$364 juta. Tak hanya itu, Sky Mavis juga berhasil mendapatkan pendanaan Seri B sebesar US$150 juta.

Bagaimana mekanisme dari Axie Infinity? Blockchain game itu punya dua token. Token pertama adalah Smooth Love Potion (SLP), yaitu mata uang dalam game yang bisa digunakan untuk mengembangbiakkan axie alias binatang dalam game. Pemain bisa mendapatkan SLP sebagai reward ketika mereka memainkan Axie Infinity. Jumlah SLP dalam game tidak dibatasi. Token kedua adalah Axie Infinity Shards (AXS), yang bisa didapatkan dengan menjual axie dalam game. AXS inilah yang bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Hanya saja, jumlah maksimal AXS dibatasi, hanya 27 juta unit. Per September 2021, harga satu AXS adalah US$60. Diperkirakan, angka ini akan terus naik di masa depan.

Ketika pemain menjual axie mereka melalui marketplace dalam game, Sky Mavis akan mendapatkan komisi senilai 4,25% dari nilai transaksi. Dari sinilah sumber pemasukan studio tersebut. Menurut CryptoSlam, sejauh ini, total nilai penjualan NFT di Axie Infinity telah mencapai lebih dari US$2 miliar.

Filipina menjadi pasar terbesar untuk Axie Infinity. Pada April 2021, sebanyak 29 ribu dari total 70 ribu downloads Axie Infinity berasal dari Filipina. Menurut Niko Partners, per Oktober 2021, jumlah gamers Axie Infinity di Filipina mencapai 300 ribu orang. Faktanya, blockchain game itu begitu populer di negara kepulauan itu sehingga beberapa penjual di sana kini menerima SLP sebagai metode pembayaran untuk produk yang mereka tawarkan.

Popularitas Axie Infinity bahkan menarik perhatian Bureau of Internal Revenue (BIR) dan Department of Finance (DOF). Keduanya membuat pernyataan resmi, mengatakan bahwa cryptocurrency juga akan dikenai pajak. Namun, cryptocurrency hanya bisa dikenakan pajak ketika pemliiknya menukar cryptocurrency dengan mata uang tradisional atau menggunakannya untuk membeli barang yang harganya bisa diukur dalam mata uang tradisional.

Masalah di Axie Infinity

Sama seperti kebanyakan teknologi baru, blockchain game juga punya masalah sendiri. Untuk Axie Infinity, naik-turun harga SLP menjadi salah satu masalah. Misalnya, pada 13 Juli 2021, harga SLP sempat mencapai US$0,39, yang merupakan rekor termahal. Sementara pada pertengahan Agustus, nilai SLP telah turun menjadi US$0,081.

Perubahan harga drastis itu sempat membuat komunitas para gamers Axie Infinity di Discord dan Facebook khawatir. Tak hanya itu, opini negatif pun sempat merebak di kalangan para gamers. Sebagian dari mereka mulai meragukan validitas Axie Infinity. Meskipun begitu, sebagian gamers justru mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka mencoba untuk mendapatkan untung dari perubahan harga SLP.

Axie Infinity dari Sky Mavis.

Masalah yang terjadi pada Axie Infinity menunjukkan, permintaan dan ketersediaan aset akan berdampak besar pada ekonomi dalam blockchain game. Pada Axie Infinity, salah satu hal yang bisa developer lakukan untuk memecahkan masalah itu adalah dengan membiarkan pemain menggunakan SLP untuk aktivitas lain. Satu hal yang pasti, jika developer ingin membuat blockchain game yang sukses, mereka harus mempertimbangkan keberlangsungan dari game itu.

Keamanan menjadi masalah lain yang dikhawatirkan oleh pemain blockchain game. Mengingat seseorang bisa mendapatkan uang dengan bermain blockchain game, tidak heran jika ada hackers yang tertarik untuk mengambil alih akun blockchain game pemain lain untuk mendapatkan uang yang ada di akun tersebut. Selain itu, juga mulai muncul situs phishing yang menargetkan para pemain Axie. Ketiadaan regulasi terkait blockchain game juga memungkinkan penipu untuk berpura-pura menjadi developer game.

Sumber header: Twitter

Pasang Surut Dominasi Perusahaan Jepang di Industri Game

Jepang merupakan negara dengan pasar game terbesar ketiga. Menurut data dari Newzoo, nilai industri game di Jepang mencapai US$20,6 miliar. Tak hanya itu, Jepang juga menjadi rumah dari beberapa perusahaan game ternama, seperti Sony dan Nintendo. Jepang bahkan sempat mendominasi pasar game global pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Perusahaan-perusahaan game Jepang menguasai 50% dari pangsa pasar game global sekitar 25 tahun lalu. Namun, sekarang, dominasi Jepang telah mulai luntur. Pertanyaannya: apa yang membuat kejayaan Jepang di industri game runtuh?

Era Kejayaan Jepang di Industri Game

Kesuksesan Jepang di dunia game berawal dari arcade. Game arcade pertama, Periscope, diluncurkan pada 1966. Namun, di Jepang, game arcade baru mulai populer pada 1970-an, ketika Atari meluncurkan game arcade pertama mereka, Computer Space, di 1971. Sejak saat itu, mesin arcade menjamur, ditempatkan di berbagai pusat perbelanjaan dan bar. Sebenarnya, saat itu, para gamers sudah bisa membeli konsol untuk memainkan game di rumah. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Japan Times, game arcade lebih populer karena ia menawarkan grafik yang lebih bagus.

Salah satu perusahaan Jepang yang menuai sukses dari bisnis game arcade adalah Sega. Dan salah satu game arcade Sega yang dianggap sukses adalah Sega Rally Championship. Game itu bahkan dianggap sebagai game balapan revolusioner karena menawarkan fitur berupa gaya gesek yang berbeda untuk setiap permukaan yang berbeda. Tetsuya Mizuguchi adalah salah satu developer yang mengembangkan Sega Rally Championship.

Sega Rally arcade. | Sumber: Wikipedia

Mizuguchi bergabung dengan Sega pada 1990, saat dia berumur 25 tahun. Dia mengaku, alasan dia ingin bekerja untuk Sega adalah karena dia kagum dengan mesin arcade yang Sega buat. Contohnya, R360, mesin arcade yang bisa berputar 360 derajat. Kepada Channel News Asia, dia mengaku bahwa ketika dia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Sega, dia tidak berusaha untuk mencoba melamar pekerjaan di tempat lain.

Pada tahun 1990-an, Sega berhasil mendapatkan miliaran dollar dengan membuat dan menjual mesin arcade. Hal ini membuat Sega tidak segan-segan untuk mengucurkan banyak uang bagi divisi riset dan pengembangan. Mizuguchi bercerita, pada awal dia bergabung dengan Sega, perusahaan itu punya atmosfer layaknya startup. Pasalnya, kebanyakan kreator game di sana masih berumur 20-an.

“Kami semua tidak punya pengalaman, tapi kami terus berusaha untuk membuat hal baru. Ketika itu, saya merasa, atmosfer perusahaan Sega sangat menyenangkan. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Kami percaya, kami bisa mencoba untuk melakukan sesuatu walau kami tidak tahu caranya. Dan jika kami gagal, kami akan bisa mencoba lagi,” cerita Mizuguchi.

Sayangnya, pada 2000-an, bisnis arcade mulai lesu. Hal ini terjadi karena berkembangnya bisnis konsol, yang menurunkan minat para gamers untuk bermain di arcade. Lesunya industri arcade bahkan membuat Sega ada di ujung tanduk. Akhirnya, pada 2004, Sega akhirnya memutuskan untuk melakukan merger dengan Sammy Corporation. Sega selamat dari kebankrutan. Namun, setelah merger, atmosfer perusahaan berubah. Perubahan tersebut mendorong Mizuguchi untuk keluar.

“Tadinya, saya bisa mencoba untuk membuat hal-hal baru dan menantang di Sega. Tapi, atmosfer baru di perusahaan membuat saya kesulitan untuk melakukan hal itu,” ungkap Mizuguchi. “Namun, saya rasa, hal ini terjadi di banyak perusahaan.”

Turunnya minat akan mesin arcade memang merupakan kabar buruk untuk Sega. Namun, meningkatnya popularitas konsol menjadi kabar baik untuk produsen konsol, seperti Sony dan Nintendo. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, konsol buatan Sony dan Nintendo mendominasi pasar. Sampai saat ini, daftar lima konsol dengan penjualan terbaik diisi oleh konsol-konsol buatan kedua perusahaan Jepang tersebut.

Runtuhnya Dominasi Jepang

Era 2000-an menjadi awal dari memudarnya dominasi Jepang di industri game. Menurut Matt Alt, penulis, penerjemah, dan penulis yang bermarkas di Tokyo, peluncuran Xbox oleh Microsfot merupakan salah satu alasan di balik runtuhnya dominasi Jepang di industri game. Dengan adanya Xbox, developer di Amerika Utara dan Eropa bisa membuat game untuk konsol berbasis Windows. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir akan masalah bahasa, mengingat Microsoft adalah perusahaan Amerika Serikat.

Peluncuran Xbox oleh Microsoft jadi salah satu faktor dari lunturnya dominasi Jepang di industri game. | Sumber: Digital Trends

Senada dengan Alt, Shin Imai, jurnalis IGN Jepang mengatakan, kemunculan Xbox menjadi awal dari menurunnya penjualan game buatan Jepang di pasar global. Alasannya adalah karena game-game dari developer di luar Jepang juga mulai menarik perhatian gamers. Sementara itu, John Ricciardi, localizer game Jepang, menganggap bahwa meningkatnya biaya untuk membuat game menjadi salah satu alasan mengapa game Jepang menjadi kurang populer di pasar global.

“Ongkos untuk membuat game mendadak meroket, dan proses pengembangan game menjadi kaku serta tidak fleksibel. Dan saya rasa, Jepang terjebak di sini,” ujar Ricciardi. “Di Barat, game engine mulai muncul. Para developer game melakukan semua yang bisa mereka lakukan untuk menyederhanakan proses pembuatan game. Jadi, mereka bisa fokus pada sisi kreatif pembuatan game. Namun, hal ini tidak terjadi di Jepang.”

Sementara dominasi Jepang di industri game mulai lutur, pada 2000-an, industri game Korea Selatan justru mulai tumbuh. Menariknya, budaya game Korea Selatan jauh berbeda dengan Jepang. Hal ini terjadi karena pemerintah Korea Selatan melarang impor konsol dan game dari Jepang. Memang, hubungan antara Jepang dan Korea Selatan kurang baik karena Jepang pernah menjajah Korea Selatan.

Larangan pemerintah untuk menjual game dan konsol Jepang mendorong munculnya format game baru yang unik, yaitu game berbasis teks yang disebut Multi-User Dungeon alias TextMUD. Sesuai namanya, “game” TextMUD tidak punya grafik sama sekali. Sebagai gantinya, pemain bisa berinteraksi dengan satu sama lain dalam dunia virtual dengan mengetikkan perintah sederhana. TextMUD biasanya menggabungkan elemen RPG, hack and slash, PVP, dan online chat. Dan format game ini menjadi awal dari kemunculan game online.

“Dengan kata lain, jika konsol game Jepang mendominasi pasar game Korea Selatan, genre inovatif TextMUD tidak akan pernah muncul,” kata Jong Hyun Wi, President of Korean Academic Society of Games. Di masa depan, popularitas game online juga turut berperan dalam membentuk budaya gaming di Korea Selatan. Jika gamers Jepang lebih suka bermain sendiri, gamers Korea Selatan lebih menikmati bermain bersama teman di game online. Dan hal ini akan mendorong kemunculan esports.

Peran Perusahaan Game Jepang di Tiongkok

Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang melarang penjualan konsol  buatan Jepang. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal yang sama pada 2000. Ketika itu, alasan Beijing melarang penjualan konsol — baik buatan perusahaan Jepang maupun Amerika Serikat — adalah karena orang tua dan guru khawatir game akan menjadi “heroin digital”. Larangan penjulaan konsol ini juga mempengaruhi pertumbuhan industri game Tiongkok. Karena konsol dilarang, maka di Tiongkok, industri game PC dan mobile tumbuh pesat.

Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia. Lisa Hanson, Games Industry Consultant, Niko Partners mengatakan, Tiongkok menguasai setidaknya 25% pada pangsa pasar game global. “Banyak perusahaan game yang ingin bisa mendapatkan akses ke gamers Tiongkok,” katanya. “Dan halangan pertama yang harus mereka hadapi adalah regulasi. Ada banyak regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para pelaku industri game. Perusahaan yang ingin bisa masuk ke Tiongkok harus memenuhi regulasi tersebut.”

PS5 terjual habis di Tiongkok. | Sumber: SCMP

Lebih lanjut, Hanson menjelaskan, untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, sebuah perusahaan tidak hanya harus mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Beijing, mereka juga harus bekerja sama dengan perusahaan lokal. “Karena, hanya perusahaan lokal di Tiongkok yang bisa mengakses infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.

Kabar baik untuk perusahaan pembuat konsol, pemerintah Tiongkok menghapus larangan impor konsol pada 2015. Setelah larangan untuk menjual konsol dihapus, Nintendo menggandeng Tencent untuk meluncurkan Switch di Tiongkok. Tak mau kalah, Sony juga meluncurkan PlayStation 5 di Tiongkok pada Mei 2021. Dan PS5 laku keras di Tiongkok, membuktikan bahwa gamers Tiongkok punya minat akan konsol.

“PS5 terjual habis dalam waktu singkat. Konsol itu juga mendapat banyak pujian,” kata Hanson. “Gamers Tiongkok punya minat tinggi akan PS5 dan Switch dan Xbox. Memang, tidak semua gamers Tiongkok ingin bermain di konsol. Tapi, orang-orang yang berminat dengan konsol, mereka sangat senang dengan keberadaan konsol.” Dia menambahkan, di masa depan, dengan keberadaan cloud gaming — yang memungkinkan game-game konsol untuk dimainkan di perangkat lain via cloud — hal ini akan membuka kesempatan baru bagi perusahaan konsol.

Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, kontribusi segmen konsol di pasar game Tiongkok memang sangat kecil. Menurut Alt, kontribusi konsol pada keseluruhan pasar game Tiongkok hanyalah 2-3$. Dia menjelaskan, “Pangsa pasar konsol di Tiongkok sangat kecil karena game PC dan mobile mendominasi. Jadi, apa yang Nintendo, Sony, dan Microsoft coba lakukan adalah membangun audiens konsol yang setia.”

Industri Game Jepang di Masa Depan

Selera gamers Jepang berbeda dengan gamers dari Amerika Utara atau kawasanlain. Imai mengatakan, gamers dari Amerika Utara biasanya menyukai game dengan grafik yang realistis karena budaya menonton film di bioskop cukup kental di sana. Sebaliknya, gamers Jepang lebih terbiasa mengonsumsi media hiburan selain film, seperti manga dan anime. Perbedaan selera ini berpotensi membuat perusahaan game Jepang bingung: apakah mereka harus fokus pada pasar domestik atau global. Pasalnya, industri game Jepang juga cukup besar sehingga sebuah perusahaan bisa tetap sukses meskipun mereka hanya fokus pada pasar domestik.

Menurut Alt, di masa depan, akan semakin banyak game yang menggunakan karakter atau elemen khas Jepang lainnya, tapi dibuat oleh developer dari luar Jepang. Dia menjadikan Pokemon Go sebagai contoh. Walau menggunakan franchise Pokemon, game AR itu dibuat oleh Niantic, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Alt bahkan menduga, karakter atau trope khas Jepang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mencoba teknologi baru.

Pokemon Go dibuat oleh Niantic, yang berasal dari AS.

Sementara itu, ketika ditanya tentang memudarnya dominasi Jepang di industri game, Mizuguchi menjawab bahwa dia tidak merasa pangsa pasar Jepang di bisnis game menurun. Hanya saja, industri game sudah berkembang menjadi jauh lebih besar. Alhasil, pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang terlihat menyusut. Selain itu, dia juga merasa, kreativitas developer game Jepang juga masih hidup.

“Kami tidak punya keinginan untuk menguasai pasar game,” ujar Mizuguchi. “Kami lebih mementingkan kreativitas, teknologi, keahlian, dan seterusnya. Saya rasa, developer Jepang akan tetap membuat game sesuai dengan prinsip mereka. Dan jika game tersebut memang sukses, maka jumlah orang yang memainkan game yang kami kuasai akan naik dengan sendirinya.”

Sumber header: Tech Radar

Apakah yang Sebenarnya Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Industri Game Indonesia?

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap bahwa nilai industri game di Indonesia mencapai Rp24,4 triliun. Melihat besarnya potensi pasar game di Indonesia, tidak heran jika pemerintah menunjukkan ketertarikan untuk mendorong pertumbuhan industri tersebut. Apalagi karena game development terbukti sebagai salah satu industri yang tetap bisa bertahan di tengah pandemi sekalipun.

Setiap negara punya kebijakan yang berbeda-beda terkait industri game. Belum lama ini, Tiongkok memperketat peraturan terkait waktu main game untuk anak dan remaja di bawah umur. Sebaliknya, pemerintah Korea Selatan justru menghapus pembatasan waktu main untuk anak di bawah umur 16 tahun. Kebijakan yang dibuat pemerintah tentunya akan memberikan dampak besar pada perusahaan game. Karena itu, kali ini, saya akan mencoba membahas tentang kebijakan yang pemerintah Korea Selatan dan Polandia ambil untuk mengembangkan industri game.

Program Pemerintah Korea Selatan untuk Memajukan Industri Game

Korea Selatan adalah pasar game terbesar ke-4 setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan rata-rata dari industri game di Korea Selatan memang mencapai 9,8% per tahun. Tak hanya itu, game juga sukses menjadi komoditas ekspor. Buktinya, nilai ekspor dari game buatan perusahaan Korea Selatan mencapai US$6,4 miliar per tahun. Semua hal ini membuat pemerintah Korea Selatan berkomitmen untuk mendukung industri game.

Dengan sokongan pemerintah — khususnya Kementerian Kebudayaan — industri game diharapkan akan menciptakan 102 ribu lowongan pekerjaan baru. Selain itu, pemerintah juga berharap, industri game akan bisa mendapatkan pemasukan sebesar KRW19,9 triliun (sekitar Rp240 triliun) pada 2024. Sebanyak KRW11,5 triliun atau sekitar Rp139 triliun diharapkan akan datang dari ekspor

“Menurut perhitungan kami, perusahaan kecil dan menengah akan menjadi kunci untuk mendorong industri game dalam mencapai tujuan yang telah kami tetapkan,” ujar Kim Hyun-hwan, Director General of Content Policy Bureau, yang ada di bawah Kementerian Kebudayaan, seperti dikutip dari The Korea Herald.

Menteri Kebudayaan Korea Selatan, Park Yang-woo. | Sumber; The Korea Herald

Untuk mendorong pertumbuhan industri game, salah satu program yang pemerintah Korea Selatan adakan adalah membuka jasa konsultasi. Selain itu, melalui Kementerian Kebudyaan, pemerintah juga akan membuat sistem informasi tentang pasar game global. Keberadaan sistem informasi itu diharapkan akan memudahkan perusahaan game kecil dan menengah untuk melebarkan sayap mereka ke pasar di luar Korea Selatan. Terakhir, pemerintah juga akan mengembangkan Global Game Hub Center.

Didirikan pada 2009, Global Game Hub Center berfungsi sebagai incubator dari perusahaan game. Mereka juga punya tanggung jawab untuk melatih calon pekerja di industri game. Selain itu, fungsi dari Global Game Hub Center adalah untuk mendukung perusahaan game agar mereka bisa menciptakan produk yang berkualitas. Alasan pemerintah Korea Selatan mendirikan Global Game Hub Center pada 2009 adalah karena mereka ingin mendorong perusahaan game lokal untuk melakukan ekspansi ke pasar global. Pasalnya, ketika itu, pasar game di Korea Selatan dikhawatirkan telah mulai jenuh, menurut laporan Korea IT Times.

Tak hanya mendukung industri game, pemerintah Korea Selatan juga akan menyokong industri esports. Salah satu bentuk dukungan yang pemerintah berikan adalah menetapkan sejumlah PC bang alias warung internet sebagai fasilitas pusat esports. PC bang yang telah ditetapkan tersebut kemudian akan menjadi tempat penyelenggaraan berbagai game events. Semua hal itu diharapkan akan membantu tim dan pemain esports amatir.

Sementara itu, untuk pemain profesional, pemerintah berencana untuk membuat standarisasi kontrak. Tujuannya adalah untuk melindungi para pemain profesional. Di tahun ini, pemerintah juga berencana untuk membuat sistem registrasi pemain. Pada November 2021, pemerintah Korea Selatan juga akan berkolaborasi dengan Jepang dan Tiongkok untuk mengadakan kompetisi esports.

Pendekatan Pemerintah Polandia untuk Industri Game

Polandia memang tidak masuk dalam daftar 10 negara dengan pasar game terbesar. Namun, nilai industri game di Polandia hampir mencapai EUR500 juta (sekitar Rp8,3 triliun). Selain itu, Polandia juga menjadi rumah dari CD Projekt Red, salah satu perusahaan game terbesar di Uni Eropa. Selain CD Projekt, Polandia juga punya beberapa perusahaan game sukses, seperti Ten Square Games, PlayWay, dan 11 bit Studios.

Industri game di Polandia cukup matang. Secara total, ada lebih dari 400 studio game di Polandia. Sementara jumlah pekerja di bidang game mencapai 9,7 ribu orang, menurut laporan The Game Industry of Poland. Berdasarkan data dari Game Industry Conference, sebanyak 39% perusahaan game Polandia mempekerjakan lima atau kurang orang. Sementara 40% perusahaan game memiliki 6-16 pekerja, 10% memiliki lebih dari 40 pegawai, dan 10 perusahaan mempekerjakan lebih dari 200 orang.

Menurut Michał Król, analis di PolskiGamedev.pl, setiap tahun, perusahaan-perusahaan game asal Polandia meluncurkan 200 game untuk PC dan konsol, serta 35 game VR. Dari segi pemasukan, dalam beberapa tahun belakangan, industri game Polandia juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pada periode 2016-2019, tingkat pertumbuhan industri game di Polandia selalu hampir mencapai 30%, bahkan tanpa menghitung kontribusi dari CD Projekt.

Pemasukan industri game di Polandia pada 2016-2019. | Sumber: The Game Industry of Poland

Pendidikan jadi salah satu alasan mengapa industri game Polandia bisa tumbuh pesat. Saat ini, universitas-universitas di Polandia menawarkan 60 jurusan terkait pembuatan game. Dari 60 jurusan itu, sekitar 26 jurusan ditujukan untuk programmer, 17 jurusan untuk para artists, 9 jurusan ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi game designer, dan sisanya merupakan jurusan bagi musisi, sound engineers, narrative designers, atau studi akan game.

Salah satu alasan mengapa pemerintah Polandia ingin mendukung industri game adalah karena faktor ekonomi. Alasan lainnya adalah karena game kini menjadi bagian penting dari diplomasi budaya. Memang, pada 2020, jumlah gamers mencapai 2,7 miliar, menurut laporan dari Newzoo. Sementara di Polandia, jumlah gamers mencapai 16 juta orang, hampir 50% dari total populasi negara tersebut.

Untuk mendukung industri game, pemerintah Polandia melalui Kementerian Budaya dan Warisan Nasional meluncurkan program Creative Industries Development. Sementara itu, National Research and Development Centre memulai inisiatif GameINN, yang menawarkan subsidi tahunan untuk biaya riset dan pengembangan. Terakhir, Polish Agency for Enterprise Development (PARP) menawarkan dukungan finansial untuk mempromosikan produk Polandia ke pasar luar negeri.

Pasar game dan esports di Polandia.

Pasar game global memang jadi incaran perusahaan-perusahaan game Polandia. Faktanya, 96% game Polandia diekspor ke luar negeri. Target ekspor utama dari perusahaan game Polandia adalah Amerika Serikat, yang merupakan pasar game terbesar ke-2 setelah Tiongkok dengan nilai US$42,1 miliar. Dan berbeda dengan Beijing, pemerintah AS tidak menetapkan peraturan yang terlalu ketat terkait game-game asing yang hendak diluncurkan di AS. Selain AS, developer Polandia juga menargetkan pasar Uni Eropa. Sementara Asia bukan prioritas utama developer Polandia. Pasalnya, hanya 10% game Polandia yang diekspor ke Asia.

Tingkat ekspor perusahaan game Polandia begitu tinggi sehingga sejumlah perusahaan mendapatkan pemasukan sepenuhnya dengan mengekspor game mereka, setidaknya dalam satu periode. Ada dua alasan mengapa beberapa perusahaan game Polandia sepenuhnya fokus untuk mengekspor game mereka. Pertama, mereka memang bekerja sama dengan rekan di luar Polandia. Kedua, mereka menganggap, pasar Polandia tidak cukup penting untuk game mereka.

Besarnya volume ekspor dari game-game Polandia menjadi salah satu alasan mengapa industri game dari negara itu bisa hampir mencapai EUR500 juta. Padahal, populasi Polandia hanya mencapai 38 juta orang. Menyasar pasar global memungkinkan developer game Polandia untuk mendapatkan audiens yang lebih luas. Jika dibandingkan dengan Polandia, industri game Indonesia jauh berbeda. Indonesia punya populasi yang jauh lebih banyak, mencapai sekitar 273,5 juta orang. Sayangnya, Average Revenue per User (ARPU) dari gamers di Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekali pun.

Total belanja gamers biasanya berbanding lurus dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Artinya, semakin besar PDB per kapita sebuah negara, biasanya, semakin besar pula besar spending yang gamer habiskan. Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, ARPU gamer di Indonesia adalah US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sebagai perbandingan, ARPU dari gamers di Malaysia dan Singapura mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Masalah di Industri Game Lokal: Dana

Dana merupakan salah satu masalah utama bagi developer game di Indonesia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) pada 2020, sebanyak 67,8% developer lokal menggunakan dana pribadi untuk mengembangkan game yang mereka buat. Sementara developer yang mendapatkan dana dari angel investor hanya 10%, dari VC 4,8%, dan dari incubator atau accelerator 3,6%.

Kabar baiknya, pemerintah sudah menyadari masalah ini dan berusaha untuk mengatasinya. Salah satu program yang pemerintah adakan untuk mendanai developer game adalah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Dana tersebut bersifat hibah. Artinya, developer tidak perlu mengembalikan dana tersebut. Hanya saja, developer yang menerika BIP wajib untuk memberikan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan proposal mereka di awal.

Pemerintah meluncurkan BIP pada 2017. Ketika itu, jumlah maksimal dana yang bisa didapatkan adalah Rp100 juta. Sekarang, dana maksimal yang pemerintah bisa kucurkan mencapai 2 kali lipat, yaitu Rp200 juta. Satu hal yang harus diingat, BIP sebenarnya ditujukan untuk para pelaku industri kreatif. Artinya, developer game bukan satu-satunya pihak yang bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan dana BIP. Pelaku industri kreatif lain juga punya kesempatan yang sama. Industri kreatif yang dicakup oleh BIP antara lain pariwisata, fashion, kriya, kuliner, film dan animasi, serta aplikasi. Jika tertarik, Anda bisa tahu informasi lebih lanjut tentang BIP di sini.

Dalam sebuah sharing session, Mojiken Studio dan GameChanger Studio — yang menerima BIP pada 2019 — mengungkap bahwa sebagian besar dana yang mereka dapatkan dari BIP digunakan untuk membayar pekerja selama proses pengembangan game. Selain memberikan dana secara langsung pada developer untuk membuat game, pemerintah juga bisa membantu publisher mempromosikan game buatan developer lokal, baik melalui media ataupun influencer di dunia game. Pemerintah juga bisa mencoba untuk mengubah persepsi masyarakat, khususnya orang tua, akan game. Pasalnya, masih banyak orang tua yang menganggap game sebagai sesuatu yang buruk.

Soal masalah dana, developer game kini juga bisa mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber lain, selain pemerintah. Pada Juni 2021, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative, dengan maksimal pendanaan mencapai US$10 ribu atau sekitar Rp142 juta. Sementara pada September 2021, Agate meluncurkan Skylab Fund, yang menawarkan kucuran dana hingga US$1 juta atau sekitar Rp14,2 miliar. Telkom juga bekerja sama dengan Melon Indonesia dan Agate untuk mengadakan Indigo Game Startup Indonesia. Batas maksimal dana yang ditawarkan dari program itu adalah Rp2 miliar. Selain dana, program itu juga menawarkan mentor serta lisensi untuk penggunaan software dan co-working space.

SDM, Internet, dan Penyensoran

Selain masalah dana, masalah lain di industri game Indonesia adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Dalam wawancara eksklusif, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa di Indonesia, tidak banyak orang yang sudah bekerja lama di industri game. Alasannya, industri game Indonesia memang relatif lebih muda dari industri game di Jepang atau negara-negara lain yang industri game-nya sudah matang. Untungnya, saat ini, sudah ada universitas dan institusi pendidikan lain yang menawarkan program pendidikan untuk membuat game.

Masalahnya, matematika masih sering dianggap sebagai momok untuk para siswa di Indonesia. Padahal, matematika dan segala ilmu turunannya — seperti vektor, node, dan lain sebagainya — banyak digunakan dalam proses pembuatan game, seperti yang dibahas dalam artikel The Use of Mathematics in Computer Games dari University of Cambridge. Misalnya, untuk membuat agar karakter musuh bisa mengejar karakter pemain menggunakan jarak tersingkat, developer harus menggunakan node, edge, dan graphs. Sementara untuk memperkirakan lintasan lemparan granat, developer harus menggunakan ilmu fisika.

Mengingat tingginya tingkat kompleksitas proses pembuatan game, pemerintah bisa mendorong perusahaan game lokal untuk mulai menjajaki industri game dengan membuat dan menjual aset game. Karena, membuat aset untuk game membutuhkan waktu yang lebih sedikit dan proses pembuatannya pun lebih sederhana. Contoh aset-aset game yang bisa dijual adalah desain karakter, objek, lingkungan, dan kendaraan — baik dalam 2D maupun 3D. Ikon untuk antarmuka pada game juga bisa menjadi aset yang dijual. Untuk para programmer, mereka bisa menawarkan kode untuk AI, special effect, atau  pengaplikasian hukum fisika pada game. Sementara untuk para musisi, mereka bisa menyediakan background music atau sound effect.

Hal lain yang bisa pemerintah lakukan untuk mendorong pertumbuhan industri game — dan industri digital lainnya — adalah membangun infrastruktur internet yang memadai. Untuk mencapai hal ini, salah satu program yang pemerintah sudah laksanakan adalah Palapa Ring, yaitu proyek untuk membangun jaringan fiber optic yang menjangkau 440 kota/kabupaten di 34 provinsi di Indonesia. Ide akan Palapa Ring dicetuskan pertama kali pada 2005. Proyek itu sempat muncul pada 2007 sebelum menghilang dan kembali dimulai pada 2015. Pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Palapa Ring.

Proyek Palapa Ring dapat mendorong penetrasi internet ke kawasan pelosok. Sayangnya, proyek tersebut tidak meningkatkan kecepatan internet di Indonesia. Sialnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga, kecepatan internet di Indonesia masih lebih rendah. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile Indonesia adalah 23,12 Mbps. Sementara itu, jaringan fixed broadband di Indonesia memiliki kecepatan 27,83 Mbps. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia punya kecepatan internet broadband dan mobile paling rendah.

Kecepatan internet di negara-negara Asia Tenggara. | Sumber data: Speedtest

Internet cepat untuk apa? Pertama, komunikasi. Pandemi memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah. Alhasil, banyak meeting yang dialihkan ke ranah digital. Dan untuk bisa mengadakan meeting virtual yang nyaman, diperlukan internet yang memang mumpuni. Kedua, internet cepat juga bisa memudahkan para pekerja industri game untuk belajar. Ada banyak kelas online tentang membuat game, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Namun, sekali lagi, hal itu membutuhkan internet yang memang memadai.

Saat ini, 97% game di Indonesia merupakan game impor. Pemerintah ingin meningkatkan pangsa pasar game lokal di pasar Indonesia. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah menetapkan “pembatasan”; membatasi bandwidth untuk mengakses game-game luar sehingga gamers lebih tertarik untuk mengakses game-game lokal. Sebenarnya, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah mencoba untuk membatasi ranah dunia maya yang bisa diakses oleh netizen. Kata kunci: mencoba.

Sejak lama, pemerintah Indonesia terus berusaha untuk menghapus konten pornografi. Mesin AIS atau crawling adalah salah satu usaha pemerintah — melalui Kominfo — untuk membatasi “konten negatif”, termasuk pornografi. Mesin itu telah diluncurkan sejak 2018. Untuk mendapatkan mesin itu, pemerintah rela mengeluarkan Rp194 miliar. Idealnya, keberadaan mesin AIS bisa menghentikan netizen Indonesia untuk mengakses konten pornografi.

Namun, kenyataannya, orang-orang Indonesia justru menjadi top fans dari Eimi Fukada, bintang film dewasa asal Jepang. Hal ini menjadi bukti bahwa konten pornografi masih bisa diakses oleh netizen Indonesia, terlepas dari usaha pemerintah untuk memblokir akses ke konten tersebut. Seperti kata pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan.

Jumlah fans dari Eimi Fukada. | Sumber: Facebook

Penutup

Di mana ada gula, di situ ada semut. Wajar jika pemerintah Indonesia tertarik untuk dengan industri game setelah menyadari besarnya potensi industri tersebut. Sebagian pihak terlihat sangsi akan keseriusan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri game. Namun, sejauh ini, sudah ada beberapa program nyata yang pemerintah realisasikan untuk mendukung developer lokal. Misalnya, tanpa BIP, When the Past Was Around dari Mojiken Studio tidak akan pernah terealisasi. Selain itu, pemerintah juga pernah mengirimkan sejumlah developer game lokal ke ajang internasional bergengsi, seperti Tokyo Game Show dan Gamescom 2021.

Jadi, kali ini, saya rasa, tidak ada salahnya untuk berbaik sangka pada niat pemerintah. Hope for the best and prepare for the worst.

Efek Pandemi ke Perilaku Pasar Gaming di India dan Asia Tenggara

India merupakan negara dengan populasi terbesar kedua setelah Tiongkok. Dari 1,37 miliar orang di India, sebanyak 697 juta orang merupakan pengguna internet. Hal ini menjadikan India sebagai negara dengan jumlah netizen terbanyak kedua di dunia. Memang, dalam lima tahun terakhir, jumlah pengguna internet di India meningkat pesat. Pertumbuhan tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti biaya paket internet yang murah, harga smartphone yang semakin terjangkau, serta kualitas internet yang semakin baik.

Seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna internet di India, semakin banyak pula orang yang bisa bermain game, khususnya mobile game. Bahkan sebelum pandemi, industri mobile game di India tengah berkembang. Pandemi COVID-19 menjadi pemicu yang mendorong laju pertumbuhan industri mobile game di India.

Dampak Pandemi ke Industri Game India

Pada 2020-2021, konsumsi internet di India menunjukkan peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data dari Mobile Broadband India Traffic Index (MBiT) 2021, pada tahun llau, konsumsi internet bulanan per orang naik 20%, dari 11,2 GB menjadi 13,5GB. Tak hanya itu, pada awal tahun fiskal 2020, ketika pemerintah India menetapkan lockdown, jumlah download mobile game dan lama waktu yang dihabiskan untuk bermain game juga meningkat pesat.

Tidak aneh jika jumlah download mobile game di India selama pandemi meningkat pesat, mengingat gaming memang menjadi hiburan pilihan bagi banyak warga India. Pasalnya, bermain mobile game tidak memakan biaya besar. Sebagian besar mobile game bisa diunduh dengan gratis. Selain itu, bermain game adalah kegiatan yang bisa dilakukan di dalam rumah. Bagi warga India, bermain mobile game juga bisa menjadi pelipur lara; mengalihkan perhatian mereka dari buruknya keadaan selama pandemi COVID-19.

“Saya punya sekelompok teman di Steam. Secara rutin, kami mengobrol dan bermain bersama,” kata seorang penulis freelance berumur 21 tahun, kepada Niko Partners. “Saya rasa, pandemi mendorong pertumbuhan industri game di India. Walau dalam keadaan sulit, bermain game bisa mengalihkan perhatian saya dari berbagai berita buruk yang ada.”

Ludo jadi salah satu game yang dimainkan oleh gamers India. | Sumber: Android Headlines

Bukti lain yang menunjukkan bahwa pandemi mendorong pertumbuhan industri game di India adalah total download game pada 2020 di negara itu. Tahun lalu, India menjadi negara dengan jumlah download game terbanyak, mencapai 7,3 miliar downloads, atau sekitar 17% dari keseluruhan downloads di dunia.

Pandemi tidak hanya membuat para gamers di India menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain game, tapi juga membuat non-gamers tertarik untuk mencoba bermain game. Menurut data dari InMobi, 45% warga India mulai bermain mobile game di smartphone mereka selama pandemi. Kepada Niko Partners, seorang mahasiswa berumur 22 tahun mengungkap, dia mulai bermain mobile game pada tahun lalu. Sekarang, dia menghabiskan sekitar 6-8 jam setiap minggu untuk bermain mobile game.

Seorang pria asal Bhopal berumur 20 tahun mengungkap bahwa hal yang sama juga terjadi dengannya. Dia berkata, “Saya bermain dengan teman dekat saya selama pandemi. Dia adalah tetangga saya dan kami menghabiskan sekitar 3-4 jam setiap minggu untuk bermain game. Rutinitas kami tidak berubah sepanjang pandemi, khususnya sejak gelombang kedua dimulai karena kami tidak lagi bisa keluar dari rumah.”

Bermain game di smartphone adalah hobi yang tidak mahal.

Seiring dengan semakin pulihnya India dari pandemi COVID-19, maka kebiasaan para gamers pun akan kembali berubah. Waktu yang dihabiskan oleh para gamers — baik gamers lama maupun baru — akan menurun saat kehidupan mulai kembali normal. Hal ini dialami oleh seorang instruktur yoga berumur 30 tahun yang tinggal di Hyderabad. Tadinya, dia menghabiskan waktu selama 8 jam seminggu untuk bermain game. Sekarang, dia hanya bisa bermain game selama 30 menit sehari.

Seorang mahasiswa berumur 22 tahun yang tinggal di Bhopal mengungkapkan hal yang sama. “Sebalum ini, saya bermain Ludo King, Psyche, dan Head Ball 2 di smartphone saya selama 4-5 jam dalam seminggu pada minggu pertama lockdown,” ujarnya. “Tapi sekarang, saya jarang punya waktu untuk bermain di ponsel karena saya sekarang sibuk untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk.”

Dampak Pandemi di Industri Game Asia Tenggara

Sama seperti gamers di India atau di dunia, gamers di Indonesia dan Asia Tenggara juga menunjukkan perubahan perilaku karena pandemi. Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners mengatakan, survei yang dilakukan oleh Niko Partners menunjukkan, sekitar 50-75% gamers di Asia Tengggara menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game di kala pandemi jika dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Ketika ditanya tentang faktor yang mendorong para gamers untuk bermain game selama pandemi, Darang menjawab, “Larangan untuk beraktivitas di luar rumah serta kebutuhan untuk bersosialisasi yang tinggi merupakan pendorong utama bagi gamers Indonesia dan Asia Tenggara untuk bermain game.” Lebih lanjut dia mengatakan, “Gamers di kawasan ini memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadikan game sebagai bagian dari kebutuhan akan komunitas dan menjalin pertemanan.”

Di Indonesia, kebanyakan game yang dimainkan oleh para gamers adalah game-game esports, khususnya game dengan genre MOBA dan battle royale. Selain itu, gamers di Indonesia juga senang bermain RPG dan game kasual.

Game-game esports jadi game favorit gamers di Indonesia. | Sumber: OkeZone

Di Asia Tenggara, orang-orang yang sebelumnya tidak bermain game pun menjadi tertarik untuk mencoba bermain game. Hal ini terlihat dari meningkatnya angka pertumbuhan gamers di kawasan tersebut. “Dari segi pertumbuhan jumlah pemain game, Niko Partners mengestimasi bahwa ada 10-15% gamers baru pada tahun 2020, lebih tinggi pertumbuhan sebelum pandemi, yang hanya berkisar 6-12%,” ujar Darang.

Darang menjelaskan, bahkan setelah pandemi usai, kemungkinan, jumlah gamers akan tetap naik. Pasalnya, selama pandemi, ada perubahan persepsi masyarakat akan game. Berkat pandemi, bermain game mulai menjadi kegiatan yang lebih diterima oleh masyarakat luas. Selain itu, esports juga menjadi semakin dikenal oleh masyarakat banyak. Meskipun begitu, dia menambahkan, pertumbuhan jumlah gamers setelah pandemi tidak akan setinggi tingkat pertumbuhan jumlah gamers selama pandemi.

Sumber header: Pandaily

Dualisme Pendekatan Pemerintah Tiongkok ke Industri Game dan Esports

Dengan jumlah gamers mencapai 720 juta orang, Tiongkok merupakan pasar game terbesar di dunia. Selain unggul dalam jumlah, gamers di Tiongkok juga menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk bermain. Menurut studi dari perusahaan cloud Limelight Networks, rata-rata, gamers Tiongkok menghabiskan waktu selama 12,4 jam per minggu untuk bermain game. Sebagai perbandingan, di tingkat global, durasi rata-rata yang dihabiskan oleh gamers setiap minggu 8,5 jam seminggu.

Fakta bahwa gamers Tiongkok menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game menimbulkan kekhawatiran akan bahaya dari kecanduan game. Karena itu, pemerintah Tiongkok pun memutuskan untuk memperketat regulasi terkait game. Regulasi terbaru dari pemerintah Tiongkok berfungsi untuk membatasi lama waktu bermain gamers di bawah umur.

Regulasi Terbaru di Tiongkok

Pada akhir Agustus 2021, National Press and Publication Administration (NPPA), regulator game di Tiongkok, mengumumkan regulasi baru untuk membatasi jam main gamers di bawah umur. Regulasi itu menetapkan bahwa gamers di bawah umur 18 tahun hanya boleh bermain game pada hari Jumat, Sabtu, Minggu, dan hari libur selama 1 jam, yaitu pada pukul 8 malam sampai 9 malam. Hal itu berarti, gamers di bawah umur hanya bisa bermain game selama 3 jam seminggu.

Seperti yang disebutkan oleh Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah Tiongkok membatasi waktu bermain anak-anak di bawah umur. Pada 2019, NPPA membuat regulasi untuk membatasi waktu main gamers di bawah umur, menjadi 13,5 jam dalam seminggu.

Regulasi terbaru dari NPPA batasi waktu main anak. | Sumber: SCMP

“Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok memang aktif dalam mengeluarkan kebijakan yang mencegah dampak negatif game online, terutama perihal kecanduan, dalam kaitannya dengan pemain di bawah umur. Ini bukan hal baru,” ujar Darang melalui email kepada Hybrid.co.id.

Dalam analisa awal tentang regulasi baru dari NPPA, Niko Partners menyebutkan, dalam lebih dari 15 tahun terakhir, pemerintah Tiongkok memang terus berusaha untuk mengatasi masalah kecanduan gaming pada gamers di bawah umur. Faktanya, regulasi anti-candu gaming pertama dikeluarkan pada 2005. Selain pembatasan waktu bermain, pemerintah juga menetapkan sistem identifikasi menggunakan nama asli pada game. Jadi, ketika seseorang hendak bermain game online, ID mereka akan dicocokkan dengan database penduduk nasional milik Kementerian Keamanan Masyarakat. Dengan begitu, informasi tentang para pemain bisa diketahui, termasuk umur mereka.

Namun, Niko Partners menyebutkan, sistem pembatasan waktu bermain yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok masih punya celah. Gamers di bawah umur bisa saja membeli ID dewasa palsu sehingga mereka bisa bermain di luar jam yang telah ditetapkan. Bahkan, orang tua bisa membiarkan anak mereka bermain menggunakan ID mereka. Karena itu, pemerintah Tiongkok meminta kerja sama orang tua untuk membatasi waktu bermain dari gamers di bawah umur.

Adanya celah pada regulasi untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur menuai protes dari masyarakat. Untuk mengatasi celah ini, Tencent tengah mencoba untuk menggunakan sistem pengejalan wajah dari AI pada game mereka. Dengan begitu, sistem bisa mendeteksi gamers di bawah umur yang mencoba untuk menggunakan ID orang dewasa.

Efek ke Industri Game dan Esports

Kabar baiknya, regulasi baru dari pemerintah Tiongkok ini tampaknya tidak akan memberikan dampak besar pada pemasukan industri game di Tiongkok. Pasalnya,  kontribusi gamers di bawah umur pada pemasukan perusahaan-perusahaan game di Tiongkok memang sangat kecil. Tencent mengungkap, gamers di bawah umur 16 tahun hanya memberikan kontribusi sebesar 2,6% dari total pemasukan mereka. Hal yang sama juga terjadi di perusahaan-perusahaan game lain. Kontribusi gamers di bawah umur pada total pemasukan perusahaan biasanya ada di rentang 1%-5%.

Walau regulasi baru ini tidak akan memberikan pengaruh besar pada pemasukan industri game, kemungkinan, ia akan mempengaruhi jumlah gamers. Regulasi baru dari NPPA punya kemungkinan untuk membuat jumlah gamers muda menurun. Dan meskipun orang dewasa tidak dipengaruhi oleh regulasi baru itu, kemungkinan, orang tua tetap harus membatasi waktu bermain game mereka di hadapan anak-anak mereka.

Tim Tiongkok menangkan LWC 2018. | Sumber: Windows Central

Sayangnya, Niko Partners menyebutkan, saat ini, masih belum diketahui bagaimana regulasi baru ini akan mempengaruhi industri esports. Pasalnya, pemain profesional biasanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game. Satu hal yang pasti, pembatasan waktu bermain untuk anak di bawah umur ini bisa membuat mereka enggan untuk menjadikan game sebagai hobi atau membuat mereka tidak tertarik berkarir di dunia game dan esports. Karena keterbatasan waktu untuk bermain, di masa depan, anak-anak di bawah umur juga mungkin tidak lagi tertarik dengan game yang kompleks.

Menurut Darang, peraturan yang semakin ketat di Tiongkok bisa membuat perusahaan-perusahaan game menjadi semakin bersemangat untuk melakukan ekspansi. “Perusahaan-perusahaan Tiongkok mulai melakukan ekspansi ke berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara, dalam beberapa tahun terakhir,” katanya. “Dengan adanya regulasi-regulasi baru di bidang game dan esports, tren tersebut tampaknya akan terus berlanjut.”

Terkait game dan esports, Indonesia punya beberapa kesamaan dengan Tiongkok. Meskipun begitu, Darang menyebutkan, saat ini, Indonesia dan negara-negara tetangga menetapkan aturan yang lebih terbuka di industri game dan esports. “Sepertinya, kemungkinan bagi negara-negara ASEAN untuk meniru langkah Tiongkok agak kecil karena hal itu bisa berdampak negatif pada industri game dan esports yang baru saja berkembang di Asia Tenggara,” ujarnya.

Esports di Asian Games 2022 Hangzhou

Di satu sisi, pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait game — yang pasti juga akan berdampak pada industri esports. Di sisi lain, mereka masih menunjukkan dukungan pada pelaku industri esports. Salah satu buktinya adalah dengan mendukung atlet dan organisasi esports yang akan bertanding di Asian Games 2022. Darang mengungkap, salah satu bentuk dukungan yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok — baik di tingkat nasional maupun provinsi — pada tim dan pemain esports lokal adalah dengan memberikan bantuan finansial. Selain itu, pemerintah juga turun tangan dalam membangun stadion esports.

Tidak heran jika pemerintah Tiongkok ingin membantu atlet dan organisasi esports. Alasannya, esports menjadi salah satu cabang olahraga bermedali di Asian Games 2022. Karena cabang esports mengadu 8 game, maka hal itu berarti, ada 24 medali yang bisa dimenangkan. Sebelum menjadi cabang olahraga bermedali, esports sudah menjadi cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta.

Honor of Kings adalah versi Tiongkok dari Arena of Valor.

Berikut delapan game yang akan diadu di Asian Games 2022:

  • Arena of Valor Asian Games version
  • Dota 2
  • Dream Three Kingdoms 2
  • EA Sports FIFA
  • Hearthstone
  • League of Legends
  • PUBG Mobile Asian Games version
  • Street Fighter V

Selain delapan game itu, akan ada dua game lagi yang menjadi cabang olahraga eksibisi, yaitu Robot Masters dan VR Sports. Sementara yang dimaksud dengan “versi Asia” dari Arena of Valor dan PUBG Mobile adalah versi Tiongkok dari kedua game tersebut: Honor of Kings dan Peacekeeper Elite. Olympic Council of Asia (OCA) mengungkap bahwa Asian Electronic Sports Federation (AESF) akan menjadi penanggung jawab atas penyelenggaraan kompetisi cabang olahraga esports di Asia Games.

“Kami harap, pengumuman ini akan memberikan waktu yang cukup bagi semua tim yang ikut serta untuk mempersiapkan diri mereka sebelum babak kualifikasi,” kata Director General of OCA, Husain Al-Musallam, seperti dikutip dari Dot Esports. “Saya percaya, kami sudah memastikan agar pertandingan esports bisa menampilkan kompetisi panas, menawarkan tontotan yang menarik, baik bagi para esports enthusiasts ataupun penonton kasual.”

Sumber header: Daily Mail

5G Adalah Kunci Utama Agar Cloud Gaming Bisa Mainstream

Tidak bisa dimungkiri, cloud gaming bakal merevolusi cara kita mengonsumsi video game. Dengan hanya bermodalkan smartphone dan koneksi internet yang cepat sekaligus stabil, kita bisa memainkan deretan game yang semestinya hanya sanggup dijalankan oleh PC dan console.

Meski menjanjikan, pada kenyataannya cloud gaming masih jauh dari kata mainstream. Berdasarkan laporan terbaru dari Niko Partners, pasar yang dapat dijangkau oleh cloud gaming di Asia diperkirakan hanya mencakup sekitar 150 juta orang, dan hampir separuhnya sendiri berasal dari Tiongkok.

Padahal, kita tahu bahwa Asia merupakan salah satu pasar gaming terbesar di dunia, dengan estimasi jumlah gamer sebanyak 1,5 miliar orang. Terlepas dari itu, pasar yang dapat dijangkau oleh cloud gaming di Asia diproyeksikan bisa menembus angka 500 juta orang di tahun 2025. Namun syaratnya, 5G harus mainstream lebih dulu.

Kenapa 5G? Karena pasar gaming Asia cenderung lebih besar di segmen mobile, sehingga wajar apabila sebagian besar gamer di kawasan Asia bakal mencicipi cloud gaming untuk pertama kalinya dengan menggunakan smartphone. Agar itu bisa terwujud, sebagian besar populasi perlu memiliki akses ke jaringan 5G terlebih dulu.

Bukan kebetulan kalau kemudian perusahaan-perusahaan telekomunikasi melihat cloud gaming sebagai salah satu use case utama 5G. Di Tiongkok misalnya, tiga provider terbesarnya — China Unicom, China Mobile, dan China Telecom — sudah menawarkan layanan cloud gaming kepada para pelanggannya.

Seiring cloud gaming bertambah mainstream, Niko Partners percaya sektor lain yang masih dalam lingkup gaming pun juga akan ikut bertumbuh, seperti misalnya live streaming, esports, playable ads, native cloud games, user generated content, dan masih banyak lagi.

Untuk sekarang, pasar cloud gaming yang paling berkembang di Asia ada di Korea, Jepang, dan Taiwan. Di antara ketiganya, Korea Selatan diyakini sebagai pasar yang paling matang untuk cloud gaming. Di sisi sebaliknya, Filipina, Malaysia, dan India adalah yang paling lambat perkembangan pasar cloud gaming-nya.

Cloud gaming juga bisa menguntungkan developer game mobile

Berkat cloud gaming, game mobile yang terkenal berat seperti Genshin Impact pun dapat dimainkan di perangkat low-end / miHoYo

Perlu dicatat, cloud gaming tidak hanya memungkinkan para gamer mobile untuk mengakses game PC maupun console saja, tapi juga memungkinkan mereka untuk memainkan game mobile kelas high-end di smartphone kelas low-end tanpa harus berkompromi dengan penurunan performa maupun kualitas grafik.

Ini berarti yang bisa menjangkau lebih banyak konsumen dengan bantuan cloud gaming bukan hanya developer game PC dan console saja, melainkan juga developer game mobile. Contohnya adalah miHoYo.

Beberapa bulan lalu, miHoYo sempat bekerja sama dengan penyedia solusi cloud WeLink untuk merilis versi cloud dari game andalannya, Genshin Impact, sehingga konsumen yang perangkatnya sudah berumur pun tetap bisa ikut memainkan game yang dikenal berat itu.

Berhubung game-nya tidak perlu diunduh dan diinstal melalui App Store ataupun Play Store, miHoYo pun jadi bisa menawarkan konten in-app purchase secara langsung ke pemain tanpa perlu melibatkan Apple dan Google sebagai perantaranya.

Alhasil, mereka bisa mendapat pemasukan yang lebih besar karena tidak dipotong 30% oleh Apple dan Google, dan yang perlu mereka bayar hanyalah jasa yang disediakan WeLink itu tadi. Singkat cerita, developer game mobile pun juga bisa diuntungkan oleh maraknya tren cloud gaming.

Sumber: Niko Partners. Gambar header: Microsoft.