Bos Xbox: Pasar Ritel Game Tradisional Masih Lebih Besar Daripada Subscription

Di antara nama-nama besar industri gaming, Microsoft adalah salah satu yang paling optimistis soal cloud gaming dan mekanisme subscription. Meski demikian, Microsoft masih belum punya rencana untuk meninggalkan pasar ritel game tradisional, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Phil Spencer selaku bos besar Xbox sempat menyinggung soal ini. Menurutnya, bisnis subscription yang Xbox jalankan berbeda dari Netflix karena Xbox masih menjual game dengan cara konvensional, dan ini penting karena pasar ritel game masih sangat kuat dan juga terus bertumbuh. Itulah mengapa Xbox memberi pilihan antara subscription dan transaksi kepada konsumennya.

Ditanya mana yang lebih besar antara subscription dan transaksi dari sudut pandang bisnis, Phil dengan sigap menjawab transaksi. “Transaksi lebih besar daripada subscription. Subscription bertumbuh dengan lebih cepat, tapi hanya karena itu relatif baru. Dan dengan Game Pass, kami adalah salah satu penggerak pertama di ranah tersebut. Namun bisnis transaksi sangatlah besar. Kami masih menjual disk fisik,” jelas Phil.

Setidaknya untuk sekarang, masih ada beberapa alasan mengapa Microsoft belum bisa sepenuhnya bergantung pada bisnis subscription. Salah satunya menyangkut isu ketersediaan: layanan Xbox Game Pass maupun PC Game Pass hingga detik ini masih belum tersedia secara resmi di negara-negara besar macam Tiongkok maupun Indonesia. Padahal, hampir semua game keluaran Xbox Game Studios sudah bisa kita beli lewat Steam, termasuk judul-judul terbaru seperti Forza Horizon 5 atau Halo Infinite.

Layanan subscription Xbox Game Pass dan PC Game Pass sejauh ini baru tersedia di beberapa negara saja / Microsoft

Phil juga sempat menyinggung lebih jauh soal cloud gaming, dan bagaimana belakangan ini semakin banyak raksasa teknologi yang tertarik untuk ikut menggeluti bidang ini, mulai dari Google, Amazon, bahkan sampai Netflix sekalipun. Kendati demikian, Phil cukup yakin Microsoft setidaknya satu langkah lebih unggul, sebab di samping memiliki infrastruktur cloud yang bagus, mereka juga sudah paham betul mengenai dunia game development.

“Menurut saya cloud itu penting. Dan Netflix jelas punya cloud. Amazon punya cloud. Google punya kapabilitas cloud yang nyata. Namun tanpa konten, komunitas dan cloud, saya pikir masuk ke gaming saat ini — dan Anda bisa melihatnya pada apa yang sedang Netflix lakukan. Menurut saya apa yang mereka lakukan itu cerdas. Mereka membeli sejumlah studio. Mereka mempelajari proses kreatif dari hiburan interaktif. Dan saya pikir ini merupakan cara cerdas bagi mereka untuk masuk ke ranah ini. Bagi kami, kami sudah memulai ini sejak bertahun-tahun yang lalu,” terang Phil.

Benar saja. Di saat Amazon baru punya satu game yang bisa dibilang lumayan sukses (New World), dan Google malah menutup studio pengembangan game-nya, Microsoft justru merilis banyak game populer hanya di tahun lalu saja (Forza Horizon 5, Halo Infinite, Age of Empires 4, Psychonauts 2). Kita pun juga tidak boleh lupa bahwa Zenimax beserta seluruh anak perusahaannya kini juga merupakan bagian dari keluarga Xbox Game Studios.

Sumber: The New York Times dan PC Gamer.

Xbox Cloud Gaming Janjikan Kualitas Visual yang Lebih Baik di Browser Microsoft Edge

Layanan seperti Xbox Cloud Gaming (xCloud) memungkinkan kita untuk memainkan beragam game AAA hanya dengan bermodalkan koneksi internet yang cepat dan stabil. Laptop yang Anda gunakan tidak punya kartu grafis diskret? Tidak masalah, sebab semua pemrosesannya berlangsung di server, dan yang dikerjakan laptop Anda pada dasarnya cuma sebatas streaming. Mirip Netflix, tapi yang di-stream video game, bukan film.

Namun seperti halnya Netflix, Xbox Cloud Gaming juga tidak luput dari salah satu kelemahan metode streaming: terkadang gambar bisa kelihatan kurang tajam, terutama jika dibandingkan dengan yang tersaji ketika game diinstal dan dimainkan langsung di perangkat.

Kabar baiknya, Microsoft sudah menyiapkan solusi dalam wujud fitur bernama Clarity Boost. Dengan mengandalkan penyempurnaan teknik scaling dari sisi client, Clarity Boost bisa membantu meningkatkan kualitas visual selama streaming berlangsung.

Perbandingan kualitas visual di game Gears Tactics; detail wajah kelihatan lebih tajam jika Clarity Boost aktif (gambar kanan) / Xbox

Berdasarkan pengujian yang dilakukan The Verge, fitur ini terbukti mampu membuat detail-detail kecil dalam game jadi terlihat lebih tajam, seperti misalnya semak-semak dan tekstur jalanan di game Forza Horizon 5. Kendati demikian, perbedaannya tidak bisa dibilang dramatis.

Hal lain yang perlu dicatat adalah, Clarity Boost sejauh ini cuma tersedia di browser Microsoft Edge, persisnya Edge Canary yang merupakan versi eksperimental. Microsoft juga bilang bahwa ada kemungkinan fitur ini berakibat pada konsumsi baterai perangkat yang lebih boros. Namanya fitur eksperimental, pasti masih ada beberapa hal yang perlu disempurnakan lagi. Rencananya, fitur ini bakal tersedia buat versi standar Edge mulai tahun depan.

Terlepas dari itu, Clarity Boost tentu bisa Microsoft jadikan salah satu cara untuk menggaet lebih banyak pengguna browser Edge, meski tentu saja ini bakal lebih efektif lagi seandainya layanan Xbox Cloud Gaming sendiri sudah tersedia secara resmi di lebih banyak negara. Namun paling tidak cara ini jauh lebih elegan ketimbang strategi licik yang Microsoft terapkan untuk mempersulit pengguna Windows 11 memakai browser selain Edge.

Sumber: The Verge dan Xbox.

Google Mulai Lisensikan Teknologi Cloud Gaming Stadia ke Perusahaan Lain

Saat Google mengumumkan penutupan studio game first-party Stadia pada bulan Februari lalu, dijelaskan bahwa ke depannya mereka berniat untuk menawarkan infrastruktur teknologinya ke perusahaan yang membutuhkan demi memastikan Stadia dapat bertumbuh menjadi bisnis yang sustainable.

Rencana tersebut rupanya sudah mulai dieksekusi, dengan AT&T sebagai klien pertama yang melisensikan teknologi cloud gaming dari Stadia. Dilaporkan oleh 9to5Google, provider jaringan seluler asal Amerika Serikat tersebut belum lama ini mempersilakan para pelanggannya untuk streaming game Batman: Arkham Knight secara cuma-cuma

Jadi, cukup dengan membuka situs ini di komputer via browser Chrome atau Microsoft Edge dan login menggunakan akunnya masing-masing, pelanggan dapat langsung memainkan game ketiga dari trilogi Batman: Arkham garapan Rocksteady tersebut di resolusi 1080p tanpa perlu mengunduh apa-apa. Kepada IGN, perwakilan AT&T sudah mengonfirmasi bahwa mereka memanfaatkan arsitektur milik Stadia.

Tampilan situs yang tersedia bagi pelanggan AT&T / 9to5Google

Menariknya, Batman: Arkham Knight dan dua prekuelnya hingga kini masih belum tersedia di katalog Stadia. Ini membuktikan kalau teknologi cloud gaming Stadia tetap bisa diimplementasikan di luar ekosistemnya sendiri. Arkham Knight adalah game terbitan WB Games, dan kebetulan WB Games beserta induk perusahaannya memang sudah menjadi bagian dari AT&T sejak pertengahan 2018.

Entah kenapa alasannya, AT&T hanya membatasi streaming via PC atau laptop. Padahal, ini sebenarnya bisa jadi kesempatan emas untuk memamerkan kapabilitas jaringan 5G-nya. Seperti yang kita tahu, 5G memang merupakan kunci utama agar cloud gaming bisa mainstream, dan di Tiongkok sudah ada banyak contoh provider jaringan seluler yang menawarkan layanan cloud gaming ke para pelanggannya secara langsung.

Apakah ini pertanda Stadia bakal melisensikan teknologi cloud gaming-nya ke lebih banyak perusahaan ke depannya? Tentu saja, apalagi mengingat tidak ada kewajiban bagi klien perusahaannya untuk menjadi bagian dari ekosistem Stadia terlebih dulu. Dalam dunia bisnis, mekanisme semacam ini biasanya dikenal dengan istilah white label.

Via: Engadget.

BlueStacks X Adalah Layanan Cloud Gaming Gratis untuk Game Mobile, Bisa Langsung Diakses via Browser

Bagi yang pernah mencoba memainkan game Android di PC Windows dengan bantuan software emulator, Anda pasti pernah setidaknya mendengar nama BlueStacks. Emulator Android memang ada banyak, akan tetapi BlueStacks adalah salah satu yang terlama sekaligus terpopuler, dengan total unduhan melebihi 1 miliar kali per Februari 2021.

Meski sudah eksis sejak lama, BlueStacks sebenarnya baru berfokus ke gaming mulai tahun 2016. Sekarang, BlueStacks sudah siap untuk membuka lembaran baru dan merambah segmen yang sedang naik daun, yakni cloud gaming. Mereka meluncurkan BlueStacks X, sebuah layanan cloud gaming gratis untuk game mobile.

BlueStacks X bukanlah sebuah aplikasi. Layanan ini bisa diakses langsung melalui browser di berbagai perangkat. Jadi tidak peduli Anda menggunakan perangkat Windows, macOS, iOS, Android, Chrome OS, Linux, atau malah Raspberry Pi, Anda hanya perlu membuka browser dan mengunjungi x.bluestacks.com untuk mulai bermain. BlueStacks bahkan mengklaim layanannya ini juga tersedia di sejumlah model smart TV.

Agar bisa menjangkau lebih banyak gamer lagi, BlueStacks X juga akan diintegrasikan ke Discord melalui sebuah bot bernama Cloudy. BlueStacks menjanjikan kustomisasi yang mendalam, sehingga admin server Discord bisa menentukan game apa saja yang bakal tersedia buat komunitasnya.

BlueStacks X ditenagai oleh teknologi hybrid cloud yang dibangun bersama sister company BlueStacks, now.gg. Layanan semacam ini juga tidak akan bisa terwujud tanpa eksistensi server berbasis ARM macam AWS Graviton. Seperti layanan cloud gaming pada umumnya, semua pemrosesan di BlueStacks X berlangsung di server, dan yang dilakukan oleh perangkat pengguna sebenarnya cuma streaming.

Pengalaman singkat mencoba BlueStacks X

Berhubung penasaran, saya pun memutuskan untuk langsung mencoba BlueStacks X. Di halaman utamanya, kita akan langsung disuguhi dengan deretan game yang sudah tersedia. Sampai artikel ini ditulis, saya melihat sudah ada 13 judul game yang bisa dimainkan di BlueStacks X.

Untuk mulai bermain, kita akan diminta untuk login menggunakan akun Google, Facebook, atau Discord. Setelahnya, tinggal pilih judul game yang ingin dimainkan dan klik tombol “Play On Cloud”. Dari situ kita akan dibawa ke sebuah tab baru, dan setelah proses loading selama beberapa detik, game-nya langsung siap untuk dimainkan. Tidak ada yang perlu diunduh terlebih dulu.

Saya tidak menemukan problem selama bermain menggunakan browser Chrome di PC. Performanya cukup mulus, tapi entah kenapa cuma terbatas di resolusi 720p 30 fps. Padahal, BlueStacks mengklaim game akan berjalan secara konstan di 60 fps, dan koneksi internet saya cukup mumpuni untuk streaming resolusi 4K di YouTube dengan lancar. Tebakan saya, mungkin karena status BlueStacks X yang sejauh ini masih beta.

Saya juga belum menemukan satu pun iklan di BlueStacks X. Padahal, BlueStacks berencana memonetisasi layanan ini dengan iklan. Kepada The Verge, Rosen Sharma selaku CEO BlueStacks menjelaskan bahwa iklannya bersifat pre-roll, alias diputar di awal dan tidak akan menginterupsi di tengah-tengah permainan.

Andai iklannya diputar selama proses loading awal tiap game, saya rasa tidak akan ada yang keberatan. Ke depannya, BlueStacks juga berencana menawarkan paket subscription. Kemungkinan besar, salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah pengalaman bebas iklan.

Berhubung semuanya berjalan di cloud, BlueStacks X turut mendukung sinkronisasi antar perangkat. Saat saya membuka BlueStacks X via browser Safari di iPhone 6S dan login memakai akun Google yang sama, saya pun bisa melanjutkan sesi permainan yang sebelumnya saya jalani di PC. Tidak perlu mengulang dari awal.

Di iPhone yang sudah sangat uzur tersebut, game-nya pun bisa berjalan dengan mulus. Sayang tampilan game-nya tidak bisa dibuat full-screen. Terlepas dari itu, bisa dibayangkan betapa bergunanya layanan BlueStacks X ini bagi pengguna yang spesifikasi ponselnya terlalu rendah untuk memainkan game tertentu. Pesan untuk tim BlueStacks: tolong segera tambahkan Genshin Impact ke katalog BlueStacks X.

5G Adalah Kunci Utama Agar Cloud Gaming Bisa Mainstream

Tidak bisa dimungkiri, cloud gaming bakal merevolusi cara kita mengonsumsi video game. Dengan hanya bermodalkan smartphone dan koneksi internet yang cepat sekaligus stabil, kita bisa memainkan deretan game yang semestinya hanya sanggup dijalankan oleh PC dan console.

Meski menjanjikan, pada kenyataannya cloud gaming masih jauh dari kata mainstream. Berdasarkan laporan terbaru dari Niko Partners, pasar yang dapat dijangkau oleh cloud gaming di Asia diperkirakan hanya mencakup sekitar 150 juta orang, dan hampir separuhnya sendiri berasal dari Tiongkok.

Padahal, kita tahu bahwa Asia merupakan salah satu pasar gaming terbesar di dunia, dengan estimasi jumlah gamer sebanyak 1,5 miliar orang. Terlepas dari itu, pasar yang dapat dijangkau oleh cloud gaming di Asia diproyeksikan bisa menembus angka 500 juta orang di tahun 2025. Namun syaratnya, 5G harus mainstream lebih dulu.

Kenapa 5G? Karena pasar gaming Asia cenderung lebih besar di segmen mobile, sehingga wajar apabila sebagian besar gamer di kawasan Asia bakal mencicipi cloud gaming untuk pertama kalinya dengan menggunakan smartphone. Agar itu bisa terwujud, sebagian besar populasi perlu memiliki akses ke jaringan 5G terlebih dulu.

Bukan kebetulan kalau kemudian perusahaan-perusahaan telekomunikasi melihat cloud gaming sebagai salah satu use case utama 5G. Di Tiongkok misalnya, tiga provider terbesarnya — China Unicom, China Mobile, dan China Telecom — sudah menawarkan layanan cloud gaming kepada para pelanggannya.

Seiring cloud gaming bertambah mainstream, Niko Partners percaya sektor lain yang masih dalam lingkup gaming pun juga akan ikut bertumbuh, seperti misalnya live streaming, esports, playable ads, native cloud games, user generated content, dan masih banyak lagi.

Untuk sekarang, pasar cloud gaming yang paling berkembang di Asia ada di Korea, Jepang, dan Taiwan. Di antara ketiganya, Korea Selatan diyakini sebagai pasar yang paling matang untuk cloud gaming. Di sisi sebaliknya, Filipina, Malaysia, dan India adalah yang paling lambat perkembangan pasar cloud gaming-nya.

Cloud gaming juga bisa menguntungkan developer game mobile

Berkat cloud gaming, game mobile yang terkenal berat seperti Genshin Impact pun dapat dimainkan di perangkat low-end / miHoYo

Perlu dicatat, cloud gaming tidak hanya memungkinkan para gamer mobile untuk mengakses game PC maupun console saja, tapi juga memungkinkan mereka untuk memainkan game mobile kelas high-end di smartphone kelas low-end tanpa harus berkompromi dengan penurunan performa maupun kualitas grafik.

Ini berarti yang bisa menjangkau lebih banyak konsumen dengan bantuan cloud gaming bukan hanya developer game PC dan console saja, melainkan juga developer game mobile. Contohnya adalah miHoYo.

Beberapa bulan lalu, miHoYo sempat bekerja sama dengan penyedia solusi cloud WeLink untuk merilis versi cloud dari game andalannya, Genshin Impact, sehingga konsumen yang perangkatnya sudah berumur pun tetap bisa ikut memainkan game yang dikenal berat itu.

Berhubung game-nya tidak perlu diunduh dan diinstal melalui App Store ataupun Play Store, miHoYo pun jadi bisa menawarkan konten in-app purchase secara langsung ke pemain tanpa perlu melibatkan Apple dan Google sebagai perantaranya.

Alhasil, mereka bisa mendapat pemasukan yang lebih besar karena tidak dipotong 30% oleh Apple dan Google, dan yang perlu mereka bayar hanyalah jasa yang disediakan WeLink itu tadi. Singkat cerita, developer game mobile pun juga bisa diuntungkan oleh maraknya tren cloud gaming.

Sumber: Niko Partners. Gambar header: Microsoft.

Di Gaming, Microsoft Bakal Fokus ke Cloud Gaming dan Xbox Game Pass

Di Electronic Entertainment Expo (E3), CEO Microsoft, Satya Nadella dan Xbox Game Leader, Phil Spencer menjelaskan strategi Microsoft untuk mengembangkan divisi gaming mereka di masa depan. Nadella percaya, Microsoft punya tiga keuntungan jika dibandingkan dengan para pesaing mereka. Pertama, Microsoft punya teknologi cloud computing yang mumpuni. Kedua, Microsoft punya Xbox Game Pass, yang diluncurkan dengan tujuan untuk membiasakan gamers dengan sistem langganan. Keunggulan Microsoft yang terakhir adalah karena mereka juga fokus untuk memberdayakan kreator game.

“Sebagai perusahaan, Microsoft akan sangat serius di industri game. Kami percaya, kami bisa memimpin proses demokratisasi gaming dan menentukan masa depan dari dunia hiburan interaktif,” kata Nadella, seperti dikutip dari VentureBeat.

Teknologi Cloud Gaming

Di awal era kemunculan PC pada tahun 1970-an, tidak semua orang dapat bermain game. Alasannya, untuk bisa bermain game, seseorang membutuhkan mesin arcade, yang tidak bisa dimliiki oleh semua orang. Seiring dengan berkembangnya teknologi, barrier untuk bisa bermain game pun menjadi semakin rendah. Sekarang, orang-orang bisa memilih platform untuk bermain game, mulai dari di PC, konsol, atau smartphone.

“Waktu saya kecil, tidak ada orang yang membeli mesin Galaga atau Ms. Pac-Man untuk menaruhnya di rumah,” ujar Spencer. “Jika ingin bermain game, Anda harus pergi ke arcade. Sekarang, jika Anda tidak membeli konsol seharga ratusan dollar atau membangun high-end PC yang membutuhkan biaya hingga ribuan dollar, Anda tidak akan bisa memainkan game-game terbaru. Cloud memungkinkan kami untuk menghilangkan batasan ini, memudahkan orang-orang untuk bermain game.” Meskipun begitu, dia meyakinkan, keberadaan cloud gaming tidak akan menghilangkan kebutuhan akan  konsol atau PC.

“Melalui cloud, kita bisa memberikan pengalaman gaming yang memuaskan pada semua orang yang punya akses ke internet, meskipun mereka hanya punya perangkat murah,” kata Spencer. “Dengan cloud, para gamers bisa mendapatkan pengalaman bermain game sama seperti orang-orang yang menjalankan game-nya di perangkat mereka sendiri.”

Cloud gaming jadi salah satu fokus Microsoft. | Sumber: VentureBeat

Karena itu, Spencer mengatakan, Microsoft akan terus mengembangkan teknologi cloud gaming sehingga teknologi tersebut bisa digunakan di berbagai perangkat. Saat ini, Microsoft ingin membuat cloud gaming bisa diakses melalui smart TV yang terhubung ke internet. Cloud gaming bahkan akan tersedia di browser. Harapannya, para gamers akan bisa bermain game di smartphone melalui Azure. Namun, saat ini, proyek tersebut masih dalam tahap pengujian akhir.  Selain itu, Microsoft juga akan meluncurkan Game Pass Ultimate di lebih banyak negara. Tahun ini, mereka berencana untuk merilis Game Pass Ultimate di Australia, Brasil, Jepang, dan Meksiko. Cloud gaming juga akan menjadi bagian dari aplikasi Xbox di PC, memungkinkan gamers untuk mencoba sebuah game sebelum mengunduhnya.

Xbox Game Pass

Selain cloud computing, Spencer juga membahas rencana Microsoft terkait Xbox Game Pass. Game Pass merupakan layanan berlangganan game yang memungkinkan seseorang untuk memainkan semua game dalam katalog Game Pass selama mereka membayar biaya berlangganan setiap bulan — yaitu sekitar US$10 atau US$15 per bulan. Ketika mengembangkan Game Pass, Microsoft sempat khawatir layanan mereka tidak akan diterima dengan baik oleh gamers maupun kreator game. Meskipun begitu, Microsoft ingin agar divisi gaming mereka juga menggunakan model bisnis sistem berlangganan daripada menjual software via retail. Dengan Game Pass, Microsoft juga ingin mengubah cara gamers mengonsumsi game.

Microsoft mengatakan, tahun ini, jumlah pengguna Game Pass telah mencapai 18 juta orang. Menariknya, orang-orang yang berlangganan Game Pass cenderung memainkan lebih banyak game. Data dari Microsoft menunjukkan, pengguna Game Pass memainkan 40% game lebih banyak dari non-pengguna. Selain itu, 90% pelanggan Game Pass mengaku, mereka bahkan mencoba untuk memainkan game yang biasanya tidak akan mereka mainkan. Setelah mencoba, mereka menjadi terdorong untuk membeli game itu. Jadi, bagi developer yang mendaftarkan game mereka ke Game Pass, hal ini bisa meningkatkan penjualan game mereka.

“Dengan Game Pass, kami mengubah cara game dimainkan dan didistribusikan,” kata Nadella. “Konten menjadi pendorong pertumbuhan Game Pass. Karena itulah, saya tidak sabar untuk melihat hasil dari akuisisi ZeniMax, yang memungkinkan kami untuk membawa game-game legendaris ke Game Pass. Dan ketika Game Pass tersedia untuk browser, pengguna Game Pass bisa memainkan game dari konsol ke PC ke mobile.”

Game Pass memungkinkan pelanggan memainkan semua game di katalog Game Pass. | Sumber: VentureBeat

Selain peningkatan penjualan, keuntungan lain yang didapatkan oleh kreator game yang bekerja sama dengan Microsoft untuk memasukkan game mereka ke Game Pass adalah meningkatnya engagemet. Microsoft menyebutkan, engagement dari game yang masuk dalam katalog Game Pass mengalami kenaikan hingga lebih dari delapan kali lipat. Selain itu, spending pemilik Game Pass juga lebih besar 50% dari non-pengguna.

“Di awal industri game, satu-satunya cara untuk mendapatkan game adalah dengan membelinya,” kata Spencer. “Bagi banyak orang, hal ini justru membatasi cara mereka bermain. Model bisnis retail membatasi jumlah gamers yang bisa dijangkau oleh kreator game. Karena itu, kami membuat Game Pass, agar para gamers bisa memainkan lebih banyak game bersama teman-teman mereka. Pada akhirnya, hal ini akan membuat game lebih mudah dimainkan dan meningkatkan jumlah gamers.”

Masalah Dalam Mengembangkan Layanan Berlangganan Game

Tidak ada yang salah dengan visi Microsoft untuk mengubah cara gamers bermain game via Game Pass. Hanya saja, mempopulerkan layanan berlangganan game seperti Game Pass tidak akan mudah. Ada beberapa masalah yang Microsoft harus bisa pecahkan.

Game Pass — atau layanan langganan game lainnya — sering dibandingkan dengan Netflix. Namun, cara orang-orang mengonsumsi game berbeda dengan cara orang-orang mengonsumsi film. Salah satu keunggulan Netflix adalah mereka menawarkan banyak film dan seri TV dalam katalog mereka. Hal ini membuat orang-orang merasa, berlangganan Netflix akan lebih ekonomis daripada membeli atau menyewa semua film dan seri TV yang ada di Netflix.

Dengan Game Pass, Anda bisa memainkan cukup banyak game, hingga 300 judul. Meskipun begitu, waktu yang diperlukan untuk menamatkan game jauh lebih lama dari menonton film. Rata-rata, waktu yang diperlukan untuk menamatkan game adalah 35,5 jam. Jadi, meskipun Game Pass menawarkan banyak game, bagi gamers yang tidak punya banyak waktu luang, mereka tetap tidak akan bisa memainkan semua game yang tersedia di katalog Game Pass. Selain itu, Game Pass juga kurang menguntungkan bagi gamers yang suka untuk memainkan sedikit game dalam waktu lama.

Microsoft memang selalu bisa memperbanyak katalog game di Game Pass. Namun, pilihan game yang bisa mereka masukkan terbatas. Karena, mereka hanya akan bisa memasukkan game-game premium. Padahal, saat ini, semakin banyak game yang menggunakan model bisnis Free-to-Play. Faktanya, menurut McKinsey, industri game berbayar jauh lebih kecil daripada industri game F2P. Industri game premium hanya bernilai US$18,5 miliar, sementara industri game F2P mencapai US$90 miliar. Seolah hal itu tak cukup buruk, industri game premium didominasi oleh beberapa franchise saja. Sekitar 50% dari total pemasukan di industri game premium berasal dari 10 franchise terpopuler, seperti Grand Theft Auto, Call of Duty, Uncharted, dan FIFA.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh Netflix adalah mereka menawarkan banyak konten orisinal. Memang, cara ini bisa digunakan oleh Microsoft atau perusahaan lain yang ingin menyediakan layanan berlangganan game. Sayangnya, biaya produksi membuat game — khususnya game AAA — sangat mahal. Tanpa menghitung biaya marketing, ongkos produksi game AAA bisa mencapai US$50 juta sampai US$100 juta. Meskipun begitu, tampaknya, Microsoft memang akan menjalankan strategi ini. Buktinya, belakangan, mereka sibuk mengakuisisi studio game. Dengan begitu, mereka bisa langsung memasukkan game-game buatan studio di bawah Microsoft langsung ke Game Pass.

Asus Chromebook Flip CM5 Adalah Laptop yang Diciptakan untuk Keperluan Cloud Gaming

Tidak setiap hari kita berjumpa dengan Chromebook yang dimaksudkan untuk keperluan gaming. Namun itulah kesan yang didapat usai melihat perangkat bernama Asus Chromebook Flip CM5 berikut ini, terutama berkat aksen warna yang mencolok pada tombol WASD-nya.

Oke, bukan gaming dalam makna yang sesungguhnya memang, melainkan cloud gaming. Meski begitu, Asus tetap merasa perlu menjejalkan spesifikasi yang lebih mumpuni ketimbang Chromebook pada umumnya; utamanya prosesor AMD Ryzen 3 3250 C (dual-core), atau Ryzen 5 3500C (quad-core), masing-masing dengan GPU Radeon terintegrasi.

Melengkapi spesifikasinya adalah pilihan kapasitas RAM DDR 4 GB, 8 GB, atau 16 GB, serta pilihan storage internal eMMC 64 GB, atau SSD NVMe 128 GB maupun 256 GB. Semua itu jelas terkesan cupu di kategori laptop gaming, tapi setidaknya ia mampu menyuguhkan pengalaman yang baik bagi para pelanggan Google Stadia ataupun Nvidia GeForce Now — tentu saja dengan catatan koneksi internetnya cepat sekaligus stabil.

Guna semakin memaksimalkan pengalaman bermainnya, Asus tidak lupa membekali perangkat dengan Wi-Fi 6 beserta teknologi Wi-Fi stabilizer, plus sistem audio bersertifikasi Harman Kardon. Asus bahkan telah melapisi bagian palm rest-nya dengan lapisan yang lembut agar perangkat bisa tetap terasa nyaman dalam durasi penggunaan yang cukup lama.

Sesuai namanya, Chromebook Flip CM5 mengemas layar sentuh dengan engsel yang dapat berputar 360°, sehingga perangkat dapat digunakan dalam beragam posisi yang berbeda. Dalam mode laptop standar, bagian atas keyboard-nya akan sedikit terangkat agar bisa lebih nyaman dipakai mengetik, sekaligus memberikan ruang ekstra di bawah laptop untuk meningkatkan sirkulasi udara sekaligus kualitas audio.

Terkait jenis panel layarnya, Chromebook Flip CM5 menggunakan panel IPS-level dengan ukuran 15,6 inci dan resolusi FHD (1080p). Semuanya dikemas dalam sasis aluminium setebal 1,85 cm dan seberat 1,95 kg. Baterainya tercatat memiliki kapasitas 57 Wh, dan konektivitasnya mencakup sepasang port USB 3.2 Gen 2 Type-C, satu port USB 3.2 Gen 2 Type-A, port HDMI 1.4, dan slot kartu microSD.

Asus Chromebook Flip CM5 saat ini sudah dijual dengan banderol mulai $500 di Amerika Serikat. Sayang sejauh ini belum ada informasi terkait ketersediaannya di Indonesia.

Sumber: The Verge dan Asus.

Microsoft Tengah Kembangkan Perangkat TV Stick untuk Cloud Gaming

Tren cloud gaming yang semakin populer belakangan ini menunjukkan bahwa agar bisa bermain video game, kita sebenarnya hanya membutuhkan sebuah layar, sebuah controller, dan koneksi internet yang cepat sekaligus stabil. Sejauh ini, layarnya bisa berupa smartphone atau laptop, tapi ke depannya, TV pun juga bakal termasuk.

Inilah yang tengah diupayakan oleh Microsoft. Lewat sebuah blog post, Microsoft menjabarkan rencana-rencana ke depan mereka untuk menyempurnakan ekosistem Xbox. Salah satu agendanya adalah bermitra dengan sejumlah produsen TV untuk mengintegrasikan “Xbox experience” langsung ke perangkat smart TV, sehingga sesi gaming bisa langsung dinikmati di TV tanpa bantuan hardware tambahan terkecuali sebuah controller.

Yang mereka maksud “Xbox experience” sudah pasti adalah fasilitas cloud gaming yang ditawarkan pada layanan berlangganan Xbox Game Pass Ultimate. Alternatifnya, tim Xbox juga sedang sibuk mengembangkan sebuah perangkat streaming yang bisa disambungkan ke TV atau monitor apapun untuk cloud gaming.

Microsoft memang belum menyingkap detail apapun mengenai perangkat tersebut, tapi kita semestinya sudah bisa membayangkan bahwa perangkat yang dimaksud bakal berfungsi layaknya sebuah Android TV stick. Entah TV-nya bisa terhubung ke internet atau tidak, cukup tancapkan perangkat streaming Xbox tersebut beserta sebuah controller, maka deretan game yang terdapat pada katalog Xbox Game Pass pun dapat langsung dimainkan di TV.

Dibandingkan layanan pesaing seperti Google Stadia atau Nvidia GeForce Now, kekuatan utama Xbox Game Pass Ultimate memang terletak pada katalog game-nya, yang dapat dinikmati secara menyeluruh tanpa memerlukan biaya tambahan. Xbox Game Pass Ultimate pada dasarnya adalah yang paling mendekati sebutan “Netflix-nya industri game“, dan itu mungkin bakal sulit terwujud seandainya Microsoft tidak agresif mengakuisisi studio game demi studio game.

Fokus Microsoft ke cloud gaming dan Xbox Game Pass ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan mengingat mereka selama ini memang tidak pernah berniat mengambil untung dari penjualan console Xbox. Sebaliknya, laba yang didapat justru berasal dari penjualan video game dan tarif subscription yang dibayarkan oleh jutaan pelanggannya.

Via: Engadget.

Bubarkan Studio, Stadia Tak Lagi Berniat Mengembangkan Game Sendiri

Google Stadia dibangun di atas ambisi yang begitu besar untuk merevolusi industri gaming. Begitu besarnya, Google bahkan tidak segan membentuk studio first-party sendiri guna menciptakan permainan-permainan eksklusif untuk pelanggan Stadia.

Hampir dua tahun berlalu semenjak studio bernama Stadia Games and Entertainment itu didirikan, tapi sejauh ini belum ada satu pun game bikinannya yang berhasil dirilis. Lebih mengecewakan lagi, Google malah memutuskan untuk menutup studio tersebut per tanggal 1 Februari 2021 kemarin.

Dalam pengumuman resminya, Google menjelaskan bahwa mereka kini akan berfokus mengembangkan teknologi di balik layar Stadia sekaligus mengekspansikan bisnisnya. Konten eksklusif tidak lagi menjadi prioritas dengan dibubarkannya Stadia Games and Entertainment, meski mungkin bakal ada beberapa judul game eksklusif bikinannya yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Dengan kata lain, mulai sekarang Stadia akan sepenuhnya mengandalkan game pihak ketiga. Ini sebenarnya bukanlah sebuah hal yang buruk, apalagi mengingat Stadia terbukti mampu menyuguhkan pengalaman bermain yang sangat baik, bahkan untuk game seberat Cyberpunk 2077 sekalipun.

Google Stadia

Google memastikan bahwa tidak akan ada yang berubah dari Stadia sebagai sebuah layanan. Ke depannya, mereka berniat untuk menjalin kerja sama dengan kalangan publisher game, menawarkan teknologinya sehingga bisa dipakai oleh banyak perusahaan game. Google percaya bahwa ini merupakan cara terbaik bagi Stadia untuk bertumbuh menjadi bisnis yang sustainable.

Arahan baru ini sudah bisa kita lihat dari rencana perilisan Crayta untuk PC. Crayta adalah game sandbox yang sejauh ini cuma bisa dimainkan di Stadia saja. Yang menarik dari game tersebut adalah teknologi bernama State Share, yang memungkinkan interaksi multiplayer secara seamless, dan itu tidak akan bisa terwujud tanpa dukungan arsitektur cloud milik Stadia.

Saya tidak akan terkejut seandainya nanti bakal ada lebih banyak game yang dirilis di Stadia yang menawarkan fitur State Share ini. Game-nya memang bisa kita mainkan di platform lain, akan tetapi kalau kita memainkannya via Stadia, maka kita juga bisa menikmati kepraktisan yang ditawarkan fitur State Share. Alternatifnya, pihak developer dan publisher juga bisa melisensikan teknologi ini dari Stadia.

Semua ini tentu baru sebatas spekulasi. Menjabarkan rencana ke depan Stadia secara konkret mungkin terkesan masih terlalu dini, tapi yang pasti mengembangkan game sendiri sudah tidak termasuk lagi dalam kamus mereka.

Sumber: Games Industry.

GeForce Now Hadir di iOS via Browser, Stadia dan xCloud Bakal Menyusul

Premis di balik layanan cloud gaming sebenarnya cukup simpel: dengan hanya bermodalkan koneksi internet yang cepat dan stabil, pelanggan dapat memainkan berbagai game AAA yang dibuat untuk PC maupun console melalui bermacam perangkat, termasuk halnya smartphone dan tablet.

Namun kalau kita mampir ke situs milik tiga layanan cloud gaming terbesar yang ada sekarang – GeForce Now, Stadia, dan xCloud (Xbox Game Pass) – ternyata yang dimaksud smartphone dan tablet tidak mencakup platform iOS sama sekali. Bukan, ini bukan berarti ketiganya pro-Android, tapi justru karena kebijakan yang Apple tetapkan untuk App Store, yang pada dasarnya tidak mengizinkan eksistensi aplikasi cloud gaming.

Agar bisa merambah pengguna iOS, penyedia layanan cloud gaming sejatinya cuma punya dua opsi: 1) mencantumkan satu per satu game yang ditawarkan ke App Store, yang berarti masing-masing game harus melalui prosedur review standar App Store, atau 2) menawarkan layanannya dalam bentuk web app yang dapat diakses lewat browser (Safari).

xCloud / Microsoft
xCloud / Microsoft

Ketiga layanan tadi rupanya memutuskan untuk mengambil opsi yang kedua, terlepas dari perbedaan model bisnis yang diterapkan oleh masing-masing layanan. Nvidia jadi pertama yang memulai; per 19 November 2020 kemarin, pengguna iPhone dan iPad (di negara-negara yang didukung) dapat mengakses GeForce Now dengan mengunjungi situs play.geforcenow.com di Safari.

Ini sebenarnya bukan pertama kali GeForce Now tersedia sebagai web app, sebab sebelumnya layanan ini sudah tersedia buat Chromebook dengan memanfaatkan teknologi serupa.

Kalau memang bisa diakses dari browser, lalu kenapa harus ada aplikasi terpisah? Well, web app ini bukanlah tanpa kekurangan. Kelemahan terbesarnya sejauh ini adalah tidak adanya dukungan untuk menyambungkan mouse dan keyboard dikarenakan keterbatasan framework WebRTC yang digunakan. Alhasil, sejumlah game yang dirancang secara spesifik untuk dimainkan dengan mouse dan keyboard harus dihapus dari katalog GeForce Now untuk iOS.

Menariknya, kehadiran GeForce Now di Safari ini juga berarti Fornite akan kembali hadir di iOS melalui layanan tersebut setelah resmi didepak sejak Agustus lalu. Nvidia bahkan sedang menyiapkan versi khusus agar pengguna GeForce Now dapat memainkan Fortnite di perangkat iOS tanpa bantuan controller maupun gamepad.

Controller Stadia / Unsplash
Controller Stadia / Unsplash

Dari kubu Google, mereka mengonfirmasi bahwa mereka sedang sibuk menggodok Stadia versi web app untuk dinikmati oleh para pengguna perangkat iOS. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Google berniat merilisnya beberapa minggu dari sekarang.

Beralih ke Microsoft, mereka sejauh ini belum punya pernyataan resmi terkait ketersediaan xCloud di iOS, akan tetapi di bulan Oktober lalu, Business Insider melaporkan bahwa Microsoft sudah punya niatan untuk menawarkan xCloud juga dalam wujud web app. Bahkan pendatang baru Amazon Luna pun dari jauh-jauh hari sudah memastikan bahwa layanannya bakal tersedia di iOS via browser.

Luna / Amazon
Luna / Amazon

Apakah ini berarti pengguna perangkat iOS bakal mendapat pengalaman cloud gaming yang berbeda dari pengguna Android? Sepertinya begitu, sebab secara kinerja aplikasi native sering kali lebih unggul daripada web app, belum lagi soal keterbatasan-keterbatasan seperti misalnya absennya kompatibilitas mouse dan keyboard itu tadi.

Kesannya memang seperti memaksakan, akan tetapi kenyataannya memang pangsa pasar perangkat iOS cukup besar, terutama di negara-negara tempat layanan-layanan ini tersedia. Apakah seterusnya bakal seperti ini? Akankah ke depannya Apple berubah pikiran dan mengizinkan aplikasi cloud gaming di App Store? Kita lihat saja perkembangannya nanti.

Sumber: Engadget dan Nvidia.