Apa yang Salah dari Stadia Games and Entertainment?

Awal Februari lalu, Google membuat kejutan dengan menutup Stadia Games and Entertainment, studio first-party yang mereka dirikan untuk menciptakan permainan-permainan eksklusif buat layanan cloud gaming-nya. Selama berkiprah sejak Maret 2019 sampai akhirnya dibubarkan, Stadia Games and Entertainment sama sekali belum meluncurkan satu game pun.

Sebagian besar orang pasti heran mengapa bisa demikian. Apa yang salah dari Stadia Games and Entertainment sampai mereka harus menyerah sebelum berperang? Sebagai bagian dari Google, tentu saja mereka punya modal besar. Orang-orang penting di baliknya pun juga merupakan para veteran di dunia game development. Lalu apa yang salah?

Modal besar dan tim yang berpengalaman sejatinya bukanlah faktor penentu, dan itu sudah dibuktikan oleh Amazon Game Studios. Dalam kasus Google, akar masalahnya terletak pada kurangnya kepercayaan yang diberikan kepada tim Stadia Games and Entertainment kalau menurut laporan mendetail yang dipublikasikan oleh Wired baru-baru ini.

Seperti yang kita tahu, Google merupakan sebuah perusahaan yang sangat terstruktur, dan hampir semua yang mereka lakukan selalu berlangsung secara terstruktur. Game development di sisi lain merupakan suatu proses yang bisa dibilang organik. Kalau perlu contoh, lihat saja Overwatch, yang sejatinya terlahir secara spontan dari pembatalan sebuah proyek internal Blizzard bernama Titan.

Bukan bikinan Stadia Games and Entertainment, tapi Crayta adalah salah satu game yang meng-highlight fitur andalan Stadia, yakni Share State / Unit 2 Games
Bukan bikinan Stadia Games and Entertainment, tapi Crayta adalah salah satu game yang meng-highlight salah satu fitur andalan Stadia, yakni State Share / Unit 2 Games

Di Stadia Games and Entertainment tidak demikian. Seakan tidak percaya dengan kapabilitas timnya, Google justru menghambat kinerja mereka dengan membatasi penggunaan game development software tertentu dengan alasan keamanan. Bukan cuma itu, Google juga menghimbau tim Stadia Games and Entertainment untuk mengembangkan game yang dapat menyoroti teknologi-teknologi revolusioner milik platform Stadia.

Arahan semacam ini jelas dimaksudkan supaya Stadia bisa jadi lebih menjual. Namun pada praktiknya mentalitas seperti ini sering kali malah menghambat realisasi ide-ide kreatif yang dimiliki developer, dan sepertinya itulah yang terjadi di Stadia Games and Entertainment.

Beberapa narasumber Wired bahkan mengatakan bahwa pada awalnya, kinerja mereka sempat dinilai berdasarkan kriteria yang semestinya ditujukan untuk posisi UX designer, bukan berdasarkan semenarik apa prototipe game-nya ketika dimainkan.

Pandemi COVID-19 tentu semakin memperburuk keadaan. Di saat tim Stadia Games and Entertainment belum sepenuhnya terbentuk, Google justru memutuskan untuk berhenti merekrut karyawan baru buat mereka akibat pandemi. Padahal, kabarnya tujuan awal Stadia Games and Entertainment adalah merekrut sekitar 2.000 orang dalam lima tahun pertamanya.

Seperti Amazon, Google pada dasarnya ingin menjalani bidang game development sesuai filosofi mereka sendiri. Cara ini jelas bertolak belakang dari yang dilakukan oleh, misalnya, Microsoft. Buat Microsoft, filosofi mereka mungkin bisa disederhanakan menjadi “akuisisi studio game, beri mereka modal besar, dan biarkan mereka berkarya.” Andai saja Google menerapkan prinsip yang serupa, ceritanya mungkin bisa berbeda sekarang.

Sumber: Wired.

Belum Mau Menyerah, Amazon Masih Berkomitmen untuk Mengembangkan Game Sendiri

Game development itu bukanlah bidang yang mudah dijalani. Kalau tidak percaya, coba lihat Google. Pada tanggal 1 Februari 2021 kemarin, mereka memutuskan untuk menutup Stadia Games and Entertainment, studio yang didirikan di tahun 2019 untuk mengembangkan permainan-permainan eksklusif buat layanan Stadia.

Ditutupnya Stadia Games and Entertainment menunjukkan bahwa modal besar dan merekrut orang-orang yang berpengalaman saja bukan jaminan bahwa game yang digarap akan sukses. Kalau perlu bukti lain, silakan tengok Amazon Game Studios. Sejak didirikan di tahun 2012, divisi game milik peritel terbesar sejagat itu hingga kini masih belum mampu menciptakan game yang benar-benar sukses.

Karya terbarunya, sebuah hero shooter kompetitif berjudul Crucible, benar-benar gagal total dan ditarik dari peredaran hanya beberapa bulan setelah dirilis di tahun 2020 kemarin. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Apa yang salah dari perusahaan-perusahaan besar ini? Bukankah Amazon sebenarnya sudah terbukti sukses dengan Twitch?

Dalam kasus Amazon, alasannya ada banyak, dan semuanya dijabarkan secara cukup mendetail oleh Bloomberg belum lama ini. Namun salah satu yang menjadi sorotan adalah fakta bahwa salah satu pimpinannya, Mike Frazzini, sama sekali tidak punya pengalaman di dunia game development, yang pada akhirnya berujung pada sejumlah keputusan jelek, seperti misalnya memaksa tim developer untuk menggunakan engine bikinan sendiri ketimbang yang sudah sangat terbukti macam Unreal Engine atau Unity.

New World, MMORPG bikinan Amazon yang akan dirilis tahun ini / Amazon Game Studios
New World, MMORPG bikinan Amazon yang akan dirilis tahun ini / Amazon Game Studios

Menariknya, Amazon rupanya masih belum mau menyerah. Berbeda dari Google yang memutuskan untuk mundur, Amazon justru masih berkomitmen untuk mengembangkan game sendiri. Hal ini dibuktikan lewat pesan CEO baru Amazon, Andy Jassy, kepada karyawannya, yang dilansir oleh Bloomberg.

“Beberapa bisnis langsung berhasil di tahun pertama, dan lainnya membutuhkan waktu bertahun-tahun,” tulis Andy. “Meski kita belum bisa berhasil secara konsisten di AGS, saya yakin kita akan berhasil jika kita tetap bertahan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Mike Frazzini juga sempat mengirimkan pesan kepada timnya lebih dulu. “Kita sudah belajar dan berkembang pesat seiring waktu, termasuk saya sendiri, dan kita akan terus melanjutkannya,” tulis Mike di pesan tersebut. “Membuat game bagus itu sulit, dan kita tidak akan melakukan semuanya dengan benar,” tambahnya.

Agenda terdekat Amazon Game Studios adalah merilis New World, sebuah MMORPG ambisius yang dijadwalkan hadir tahun ini. Amazon pada awalnya hendak meluncurkan New World di bulan Mei 2020, tapi pandemi COVID-19 memaksa mereka untuk menundanya sampai bulan Agustus 2020. Kemudian, setelah menerima masukan dari para alpha tester, Amazon memutuskan untuk mengundur peluncuran New World lebih jauh lagi menjadi tahun 2021.

Amazon juga punya layanan cloud gaming bernama Luna, yang sejauh ini baru dirilis di Amerika Serikat dengan status early access. Katalog Luna sejauh ini baru berisi sekitar dua lusin game, tapi tidak ada satu pun yang berasal dari Amazon Game Studios. Amazon juga sama sekali belum berkomentar soal ketersediaan Luna di pasar internasional.

Sumber: Bloomberg.

Bubarkan Studio, Stadia Tak Lagi Berniat Mengembangkan Game Sendiri

Google Stadia dibangun di atas ambisi yang begitu besar untuk merevolusi industri gaming. Begitu besarnya, Google bahkan tidak segan membentuk studio first-party sendiri guna menciptakan permainan-permainan eksklusif untuk pelanggan Stadia.

Hampir dua tahun berlalu semenjak studio bernama Stadia Games and Entertainment itu didirikan, tapi sejauh ini belum ada satu pun game bikinannya yang berhasil dirilis. Lebih mengecewakan lagi, Google malah memutuskan untuk menutup studio tersebut per tanggal 1 Februari 2021 kemarin.

Dalam pengumuman resminya, Google menjelaskan bahwa mereka kini akan berfokus mengembangkan teknologi di balik layar Stadia sekaligus mengekspansikan bisnisnya. Konten eksklusif tidak lagi menjadi prioritas dengan dibubarkannya Stadia Games and Entertainment, meski mungkin bakal ada beberapa judul game eksklusif bikinannya yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Dengan kata lain, mulai sekarang Stadia akan sepenuhnya mengandalkan game pihak ketiga. Ini sebenarnya bukanlah sebuah hal yang buruk, apalagi mengingat Stadia terbukti mampu menyuguhkan pengalaman bermain yang sangat baik, bahkan untuk game seberat Cyberpunk 2077 sekalipun.

Google Stadia

Google memastikan bahwa tidak akan ada yang berubah dari Stadia sebagai sebuah layanan. Ke depannya, mereka berniat untuk menjalin kerja sama dengan kalangan publisher game, menawarkan teknologinya sehingga bisa dipakai oleh banyak perusahaan game. Google percaya bahwa ini merupakan cara terbaik bagi Stadia untuk bertumbuh menjadi bisnis yang sustainable.

Arahan baru ini sudah bisa kita lihat dari rencana perilisan Crayta untuk PC. Crayta adalah game sandbox yang sejauh ini cuma bisa dimainkan di Stadia saja. Yang menarik dari game tersebut adalah teknologi bernama State Share, yang memungkinkan interaksi multiplayer secara seamless, dan itu tidak akan bisa terwujud tanpa dukungan arsitektur cloud milik Stadia.

Saya tidak akan terkejut seandainya nanti bakal ada lebih banyak game yang dirilis di Stadia yang menawarkan fitur State Share ini. Game-nya memang bisa kita mainkan di platform lain, akan tetapi kalau kita memainkannya via Stadia, maka kita juga bisa menikmati kepraktisan yang ditawarkan fitur State Share. Alternatifnya, pihak developer dan publisher juga bisa melisensikan teknologi ini dari Stadia.

Semua ini tentu baru sebatas spekulasi. Menjabarkan rencana ke depan Stadia secara konkret mungkin terkesan masih terlalu dini, tapi yang pasti mengembangkan game sendiri sudah tidak termasuk lagi dalam kamus mereka.

Sumber: Games Industry.

Typhoon Studios Adalah Akuisisi Pertama Tim Developer Mandiri Google Stadia

Salah satu alasan mengapa publik menaruh harapan besar pada Stadia adalah fakta bahwa Google berada di baliknya. Sumber daya yang begitu melimpah pada dasarnya merupakan jaminan atas keberhasilan Stadia, terutama terkait rencananya untuk menelurkan sejumlah game eksklusif.

Seperti yang kita tahu, Stadia punya tim developer sendiri bernama Stadia Games and Entertainment yang dipimpin oleh eks veteran Ubisoft, Sebastien Puel. Studio yang berumur masih sangat muda ini belum menghasilkan karya apapun, dan mereka rupanya masih sibuk mengembangkan timnya.

Tidak mengejutkan dari anak perusahaan Google, rute yang diambil adalah rute akuisisi. Stadia baru saja mengumumkan akuisisinya atas Typhoon Studios. Tidak pernah dengar namanya? Wajar, mengingat Typhoon merupakan studio baru beranggotakan sekitar dua lusin orang, dan game pertama bikinannya, Journey to the Savage Planet, baru akan dirilis Januari mendatang di console dan PC.

Journey to the Savage Planet, game pertama sekaligus terakhir Typhoon Studios / Typhoon Studios
Journey to the Savage Planet, game pertama sekaligus terakhir Typhoon Studios / Typhoon Studios

Tentunya ada alasan tersendiri di balik pemilihan Typhoon sebagai akuisisi perdana Stadia. Typhoon memang masih seumur jagung, akan tetapi personil-personilnya merupakan senior di industri game. Duo pendirinya, Reid Schneider dan Alex Hutchinson, punya portofolio panjang yang berkesan sebelum membentuk Typhoon.

Alex Hutchinson misalnya, memulai karirnya di Maxis sebagai Lead Designer atas The Sims 2 dan Spore, sebelum akhirnya hijrah ke Ubisoft dan ditunjuk sebagai Creative Director atas Assassin’s Creed III dan Far Cry 4. Di sisi lain, Reid Schneider bertanggung jawab atas pengembangan seri Batman Arkham sekaligus Splinter Cell orisinal sebelum memutuskan untuk mengambil jalur indie.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Stadia cukup selektif dalam hal akuisisi, dan ini tentunya baru awal dari upaya mereka membesarkan tim developer mandirinya. Tim Typhoon sendiri masih akan berfokus pada game pertama sekaligus terakhirnya tersebut, sebelum akhirnya dilebur dengan tim Stadia Games and Entertainment.

Sumber: Google dan VentureBeat.

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.