Google Mulai Lisensikan Teknologi Cloud Gaming Stadia ke Perusahaan Lain

Saat Google mengumumkan penutupan studio game first-party Stadia pada bulan Februari lalu, dijelaskan bahwa ke depannya mereka berniat untuk menawarkan infrastruktur teknologinya ke perusahaan yang membutuhkan demi memastikan Stadia dapat bertumbuh menjadi bisnis yang sustainable.

Rencana tersebut rupanya sudah mulai dieksekusi, dengan AT&T sebagai klien pertama yang melisensikan teknologi cloud gaming dari Stadia. Dilaporkan oleh 9to5Google, provider jaringan seluler asal Amerika Serikat tersebut belum lama ini mempersilakan para pelanggannya untuk streaming game Batman: Arkham Knight secara cuma-cuma

Jadi, cukup dengan membuka situs ini di komputer via browser Chrome atau Microsoft Edge dan login menggunakan akunnya masing-masing, pelanggan dapat langsung memainkan game ketiga dari trilogi Batman: Arkham garapan Rocksteady tersebut di resolusi 1080p tanpa perlu mengunduh apa-apa. Kepada IGN, perwakilan AT&T sudah mengonfirmasi bahwa mereka memanfaatkan arsitektur milik Stadia.

Tampilan situs yang tersedia bagi pelanggan AT&T / 9to5Google

Menariknya, Batman: Arkham Knight dan dua prekuelnya hingga kini masih belum tersedia di katalog Stadia. Ini membuktikan kalau teknologi cloud gaming Stadia tetap bisa diimplementasikan di luar ekosistemnya sendiri. Arkham Knight adalah game terbitan WB Games, dan kebetulan WB Games beserta induk perusahaannya memang sudah menjadi bagian dari AT&T sejak pertengahan 2018.

Entah kenapa alasannya, AT&T hanya membatasi streaming via PC atau laptop. Padahal, ini sebenarnya bisa jadi kesempatan emas untuk memamerkan kapabilitas jaringan 5G-nya. Seperti yang kita tahu, 5G memang merupakan kunci utama agar cloud gaming bisa mainstream, dan di Tiongkok sudah ada banyak contoh provider jaringan seluler yang menawarkan layanan cloud gaming ke para pelanggannya secara langsung.

Apakah ini pertanda Stadia bakal melisensikan teknologi cloud gaming-nya ke lebih banyak perusahaan ke depannya? Tentu saja, apalagi mengingat tidak ada kewajiban bagi klien perusahaannya untuk menjadi bagian dari ekosistem Stadia terlebih dulu. Dalam dunia bisnis, mekanisme semacam ini biasanya dikenal dengan istilah white label.

Via: Engadget.

Apa yang Salah dari Stadia Games and Entertainment?

Awal Februari lalu, Google membuat kejutan dengan menutup Stadia Games and Entertainment, studio first-party yang mereka dirikan untuk menciptakan permainan-permainan eksklusif buat layanan cloud gaming-nya. Selama berkiprah sejak Maret 2019 sampai akhirnya dibubarkan, Stadia Games and Entertainment sama sekali belum meluncurkan satu game pun.

Sebagian besar orang pasti heran mengapa bisa demikian. Apa yang salah dari Stadia Games and Entertainment sampai mereka harus menyerah sebelum berperang? Sebagai bagian dari Google, tentu saja mereka punya modal besar. Orang-orang penting di baliknya pun juga merupakan para veteran di dunia game development. Lalu apa yang salah?

Modal besar dan tim yang berpengalaman sejatinya bukanlah faktor penentu, dan itu sudah dibuktikan oleh Amazon Game Studios. Dalam kasus Google, akar masalahnya terletak pada kurangnya kepercayaan yang diberikan kepada tim Stadia Games and Entertainment kalau menurut laporan mendetail yang dipublikasikan oleh Wired baru-baru ini.

Seperti yang kita tahu, Google merupakan sebuah perusahaan yang sangat terstruktur, dan hampir semua yang mereka lakukan selalu berlangsung secara terstruktur. Game development di sisi lain merupakan suatu proses yang bisa dibilang organik. Kalau perlu contoh, lihat saja Overwatch, yang sejatinya terlahir secara spontan dari pembatalan sebuah proyek internal Blizzard bernama Titan.

Bukan bikinan Stadia Games and Entertainment, tapi Crayta adalah salah satu game yang meng-highlight fitur andalan Stadia, yakni Share State / Unit 2 Games
Bukan bikinan Stadia Games and Entertainment, tapi Crayta adalah salah satu game yang meng-highlight salah satu fitur andalan Stadia, yakni State Share / Unit 2 Games

Di Stadia Games and Entertainment tidak demikian. Seakan tidak percaya dengan kapabilitas timnya, Google justru menghambat kinerja mereka dengan membatasi penggunaan game development software tertentu dengan alasan keamanan. Bukan cuma itu, Google juga menghimbau tim Stadia Games and Entertainment untuk mengembangkan game yang dapat menyoroti teknologi-teknologi revolusioner milik platform Stadia.

Arahan semacam ini jelas dimaksudkan supaya Stadia bisa jadi lebih menjual. Namun pada praktiknya mentalitas seperti ini sering kali malah menghambat realisasi ide-ide kreatif yang dimiliki developer, dan sepertinya itulah yang terjadi di Stadia Games and Entertainment.

Beberapa narasumber Wired bahkan mengatakan bahwa pada awalnya, kinerja mereka sempat dinilai berdasarkan kriteria yang semestinya ditujukan untuk posisi UX designer, bukan berdasarkan semenarik apa prototipe game-nya ketika dimainkan.

Pandemi COVID-19 tentu semakin memperburuk keadaan. Di saat tim Stadia Games and Entertainment belum sepenuhnya terbentuk, Google justru memutuskan untuk berhenti merekrut karyawan baru buat mereka akibat pandemi. Padahal, kabarnya tujuan awal Stadia Games and Entertainment adalah merekrut sekitar 2.000 orang dalam lima tahun pertamanya.

Seperti Amazon, Google pada dasarnya ingin menjalani bidang game development sesuai filosofi mereka sendiri. Cara ini jelas bertolak belakang dari yang dilakukan oleh, misalnya, Microsoft. Buat Microsoft, filosofi mereka mungkin bisa disederhanakan menjadi “akuisisi studio game, beri mereka modal besar, dan biarkan mereka berkarya.” Andai saja Google menerapkan prinsip yang serupa, ceritanya mungkin bisa berbeda sekarang.

Sumber: Wired.

Belum Mau Menyerah, Amazon Masih Berkomitmen untuk Mengembangkan Game Sendiri

Game development itu bukanlah bidang yang mudah dijalani. Kalau tidak percaya, coba lihat Google. Pada tanggal 1 Februari 2021 kemarin, mereka memutuskan untuk menutup Stadia Games and Entertainment, studio yang didirikan di tahun 2019 untuk mengembangkan permainan-permainan eksklusif buat layanan Stadia.

Ditutupnya Stadia Games and Entertainment menunjukkan bahwa modal besar dan merekrut orang-orang yang berpengalaman saja bukan jaminan bahwa game yang digarap akan sukses. Kalau perlu bukti lain, silakan tengok Amazon Game Studios. Sejak didirikan di tahun 2012, divisi game milik peritel terbesar sejagat itu hingga kini masih belum mampu menciptakan game yang benar-benar sukses.

Karya terbarunya, sebuah hero shooter kompetitif berjudul Crucible, benar-benar gagal total dan ditarik dari peredaran hanya beberapa bulan setelah dirilis di tahun 2020 kemarin. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Apa yang salah dari perusahaan-perusahaan besar ini? Bukankah Amazon sebenarnya sudah terbukti sukses dengan Twitch?

Dalam kasus Amazon, alasannya ada banyak, dan semuanya dijabarkan secara cukup mendetail oleh Bloomberg belum lama ini. Namun salah satu yang menjadi sorotan adalah fakta bahwa salah satu pimpinannya, Mike Frazzini, sama sekali tidak punya pengalaman di dunia game development, yang pada akhirnya berujung pada sejumlah keputusan jelek, seperti misalnya memaksa tim developer untuk menggunakan engine bikinan sendiri ketimbang yang sudah sangat terbukti macam Unreal Engine atau Unity.

New World, MMORPG bikinan Amazon yang akan dirilis tahun ini / Amazon Game Studios
New World, MMORPG bikinan Amazon yang akan dirilis tahun ini / Amazon Game Studios

Menariknya, Amazon rupanya masih belum mau menyerah. Berbeda dari Google yang memutuskan untuk mundur, Amazon justru masih berkomitmen untuk mengembangkan game sendiri. Hal ini dibuktikan lewat pesan CEO baru Amazon, Andy Jassy, kepada karyawannya, yang dilansir oleh Bloomberg.

“Beberapa bisnis langsung berhasil di tahun pertama, dan lainnya membutuhkan waktu bertahun-tahun,” tulis Andy. “Meski kita belum bisa berhasil secara konsisten di AGS, saya yakin kita akan berhasil jika kita tetap bertahan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Mike Frazzini juga sempat mengirimkan pesan kepada timnya lebih dulu. “Kita sudah belajar dan berkembang pesat seiring waktu, termasuk saya sendiri, dan kita akan terus melanjutkannya,” tulis Mike di pesan tersebut. “Membuat game bagus itu sulit, dan kita tidak akan melakukan semuanya dengan benar,” tambahnya.

Agenda terdekat Amazon Game Studios adalah merilis New World, sebuah MMORPG ambisius yang dijadwalkan hadir tahun ini. Amazon pada awalnya hendak meluncurkan New World di bulan Mei 2020, tapi pandemi COVID-19 memaksa mereka untuk menundanya sampai bulan Agustus 2020. Kemudian, setelah menerima masukan dari para alpha tester, Amazon memutuskan untuk mengundur peluncuran New World lebih jauh lagi menjadi tahun 2021.

Amazon juga punya layanan cloud gaming bernama Luna, yang sejauh ini baru dirilis di Amerika Serikat dengan status early access. Katalog Luna sejauh ini baru berisi sekitar dua lusin game, tapi tidak ada satu pun yang berasal dari Amazon Game Studios. Amazon juga sama sekali belum berkomentar soal ketersediaan Luna di pasar internasional.

Sumber: Bloomberg.

Bubarkan Studio, Stadia Tak Lagi Berniat Mengembangkan Game Sendiri

Google Stadia dibangun di atas ambisi yang begitu besar untuk merevolusi industri gaming. Begitu besarnya, Google bahkan tidak segan membentuk studio first-party sendiri guna menciptakan permainan-permainan eksklusif untuk pelanggan Stadia.

Hampir dua tahun berlalu semenjak studio bernama Stadia Games and Entertainment itu didirikan, tapi sejauh ini belum ada satu pun game bikinannya yang berhasil dirilis. Lebih mengecewakan lagi, Google malah memutuskan untuk menutup studio tersebut per tanggal 1 Februari 2021 kemarin.

Dalam pengumuman resminya, Google menjelaskan bahwa mereka kini akan berfokus mengembangkan teknologi di balik layar Stadia sekaligus mengekspansikan bisnisnya. Konten eksklusif tidak lagi menjadi prioritas dengan dibubarkannya Stadia Games and Entertainment, meski mungkin bakal ada beberapa judul game eksklusif bikinannya yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Dengan kata lain, mulai sekarang Stadia akan sepenuhnya mengandalkan game pihak ketiga. Ini sebenarnya bukanlah sebuah hal yang buruk, apalagi mengingat Stadia terbukti mampu menyuguhkan pengalaman bermain yang sangat baik, bahkan untuk game seberat Cyberpunk 2077 sekalipun.

Google Stadia

Google memastikan bahwa tidak akan ada yang berubah dari Stadia sebagai sebuah layanan. Ke depannya, mereka berniat untuk menjalin kerja sama dengan kalangan publisher game, menawarkan teknologinya sehingga bisa dipakai oleh banyak perusahaan game. Google percaya bahwa ini merupakan cara terbaik bagi Stadia untuk bertumbuh menjadi bisnis yang sustainable.

Arahan baru ini sudah bisa kita lihat dari rencana perilisan Crayta untuk PC. Crayta adalah game sandbox yang sejauh ini cuma bisa dimainkan di Stadia saja. Yang menarik dari game tersebut adalah teknologi bernama State Share, yang memungkinkan interaksi multiplayer secara seamless, dan itu tidak akan bisa terwujud tanpa dukungan arsitektur cloud milik Stadia.

Saya tidak akan terkejut seandainya nanti bakal ada lebih banyak game yang dirilis di Stadia yang menawarkan fitur State Share ini. Game-nya memang bisa kita mainkan di platform lain, akan tetapi kalau kita memainkannya via Stadia, maka kita juga bisa menikmati kepraktisan yang ditawarkan fitur State Share. Alternatifnya, pihak developer dan publisher juga bisa melisensikan teknologi ini dari Stadia.

Semua ini tentu baru sebatas spekulasi. Menjabarkan rencana ke depan Stadia secara konkret mungkin terkesan masih terlalu dini, tapi yang pasti mengembangkan game sendiri sudah tidak termasuk lagi dalam kamus mereka.

Sumber: Games Industry.

GeForce Now Hadir di iOS via Browser, Stadia dan xCloud Bakal Menyusul

Premis di balik layanan cloud gaming sebenarnya cukup simpel: dengan hanya bermodalkan koneksi internet yang cepat dan stabil, pelanggan dapat memainkan berbagai game AAA yang dibuat untuk PC maupun console melalui bermacam perangkat, termasuk halnya smartphone dan tablet.

Namun kalau kita mampir ke situs milik tiga layanan cloud gaming terbesar yang ada sekarang – GeForce Now, Stadia, dan xCloud (Xbox Game Pass) – ternyata yang dimaksud smartphone dan tablet tidak mencakup platform iOS sama sekali. Bukan, ini bukan berarti ketiganya pro-Android, tapi justru karena kebijakan yang Apple tetapkan untuk App Store, yang pada dasarnya tidak mengizinkan eksistensi aplikasi cloud gaming.

Agar bisa merambah pengguna iOS, penyedia layanan cloud gaming sejatinya cuma punya dua opsi: 1) mencantumkan satu per satu game yang ditawarkan ke App Store, yang berarti masing-masing game harus melalui prosedur review standar App Store, atau 2) menawarkan layanannya dalam bentuk web app yang dapat diakses lewat browser (Safari).

xCloud / Microsoft
xCloud / Microsoft

Ketiga layanan tadi rupanya memutuskan untuk mengambil opsi yang kedua, terlepas dari perbedaan model bisnis yang diterapkan oleh masing-masing layanan. Nvidia jadi pertama yang memulai; per 19 November 2020 kemarin, pengguna iPhone dan iPad (di negara-negara yang didukung) dapat mengakses GeForce Now dengan mengunjungi situs play.geforcenow.com di Safari.

Ini sebenarnya bukan pertama kali GeForce Now tersedia sebagai web app, sebab sebelumnya layanan ini sudah tersedia buat Chromebook dengan memanfaatkan teknologi serupa.

Kalau memang bisa diakses dari browser, lalu kenapa harus ada aplikasi terpisah? Well, web app ini bukanlah tanpa kekurangan. Kelemahan terbesarnya sejauh ini adalah tidak adanya dukungan untuk menyambungkan mouse dan keyboard dikarenakan keterbatasan framework WebRTC yang digunakan. Alhasil, sejumlah game yang dirancang secara spesifik untuk dimainkan dengan mouse dan keyboard harus dihapus dari katalog GeForce Now untuk iOS.

Menariknya, kehadiran GeForce Now di Safari ini juga berarti Fornite akan kembali hadir di iOS melalui layanan tersebut setelah resmi didepak sejak Agustus lalu. Nvidia bahkan sedang menyiapkan versi khusus agar pengguna GeForce Now dapat memainkan Fortnite di perangkat iOS tanpa bantuan controller maupun gamepad.

Controller Stadia / Unsplash
Controller Stadia / Unsplash

Dari kubu Google, mereka mengonfirmasi bahwa mereka sedang sibuk menggodok Stadia versi web app untuk dinikmati oleh para pengguna perangkat iOS. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Google berniat merilisnya beberapa minggu dari sekarang.

Beralih ke Microsoft, mereka sejauh ini belum punya pernyataan resmi terkait ketersediaan xCloud di iOS, akan tetapi di bulan Oktober lalu, Business Insider melaporkan bahwa Microsoft sudah punya niatan untuk menawarkan xCloud juga dalam wujud web app. Bahkan pendatang baru Amazon Luna pun dari jauh-jauh hari sudah memastikan bahwa layanannya bakal tersedia di iOS via browser.

Luna / Amazon
Luna / Amazon

Apakah ini berarti pengguna perangkat iOS bakal mendapat pengalaman cloud gaming yang berbeda dari pengguna Android? Sepertinya begitu, sebab secara kinerja aplikasi native sering kali lebih unggul daripada web app, belum lagi soal keterbatasan-keterbatasan seperti misalnya absennya kompatibilitas mouse dan keyboard itu tadi.

Kesannya memang seperti memaksakan, akan tetapi kenyataannya memang pangsa pasar perangkat iOS cukup besar, terutama di negara-negara tempat layanan-layanan ini tersedia. Apakah seterusnya bakal seperti ini? Akankah ke depannya Apple berubah pikiran dan mengizinkan aplikasi cloud gaming di App Store? Kita lihat saja perkembangannya nanti.

Sumber: Engadget dan Nvidia.

Apple Merevisi Kebijakan App Store, Izinkan Layanan Cloud Gaming tapi dengan Sejumlah Syarat

Layanan cloud gaming besutan Microsoft, xCloud, akan meluncur secara resmi di 22 negara pada tanggal 15 September besok. Sayang sekali konsumen hanya bisa menikmatinya melalui perangkat Android, sebab xCloud dinilai tidak memenuhi syarat di iOS.

Itu berita sebulan lalu. Baru-baru ini, Apple rupanya telah merevisi kebijakan yang mereka terapkan untuk platform App Store. Berdasarkan laporan CNBC, salah satu poin baru yang tercantum punya dampak langsung terhadap nasib layanan cloud gaming macam xCloud maupun Stadia.

Dijelaskan bahwa layanan cloud gaming boleh eksis di App Store, tapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yang paling utama, konten alias game-nya harus diunduh secara langsung dari App Store. xCloud, Stadia, maupun layanan serupa lainnya cuma bertindak sebagai katalog.

Jadi seandainya xCloud menawarkan akses ke 100 game yang berbeda, maka tiap-tiap game tersebut harus tersedia di App Store satu per satu, sehingga bisa muncul di hasil pencarian ataupun chart, serta dapat diulas satu per satu oleh konsumen. Jadi misalnya Anda membuka xCloud dan ingin memainkan Destiny 2, maka game-nya cuma bisa diunduh dari App Store, bukan dari dalam xCloud itu sendiri.

Apple sejatinya ingin layanan cloud gaming menempuh jalur seperti Apple Arcade, yang pada dasarnya merupakan layanan berlangganan untuk menikmati gamegame yang tersedia di App Store. Selain Apple Arcade, sekarang sebenarnya sudah ada layanan bernama GameClub yang mengadopsi mekanisme yang sama. Singkat cerita, apa yang Apple inginkan tidak sepraktis yang xCloud atau Stadia tawarkan.

Aplikasi Stadia di iOS sudah ada, tapi nyaris tidak berguna karena tidak bisa dipakai untuk bermain / App Store
Aplikasi Stadia di iOS sudah ada, tapi nyaris tidak berguna karena tidak bisa dipakai untuk bermain / App Store

Lebih lanjut, masing-masing game-nya juga harus punya fungsionalitas yang mendasar. Maksudnya adalah, masing-masing game harus bisa dimainkan – mungkin hanya untuk satu atau dua level pertama – tanpa mewajibkan pengguna berlangganan terlebih dulu. Setelahnya, barulah pengguna bisa diarahkan untuk menjadi pelanggan terhadap layanan yang menaunginya (xCloud atau Stadia tadi) agar dapat menikmati game-nya secara keseluruhan.

Tentu saja Apple akan mengambil untung sebesar 30% dari tarif berlangganan yang konsumen bayarkan, dan ini langsung menyangkut topik yang sedang hangat belakangan ini, yang melibatkan perseteruan antara Apple dan Epic Games. Kalau Microsoft atau Google setuju, hampir bisa dipastikan tarif berlangganan xCloud dan Stadia di iOS lebih tinggi.

Alternatifnya, tentu saja konsumen bisa mengaktifkan langganannya terlebih dulu di platform lain, lewat browser di laptop misalnya, sebelum login menggunakan akunnya di iPhone atau iPad tanpa harus membayar lagi. Itu seandainya Microsoft dan Google setuju.

Pada kenyataannya, Microsoft tampak masih keberatan. “Ini tetap merupakan pengalaman yang buruk buat pelanggan. Gamer ingin langsung masuk ke dalam game melalui katalog terkurasi dalam satu aplikasi seperti yang biasa mereka lakukan dengan film atau musik, bukannya dipaksa mengunduh lebih dari 100 aplikasi yang berbeda untuk memainkan game dari cloud,” jelas perwakilan Microsoft kepada CNBC.

Google di sisi lain masih enggan berkomentar, dan sepertinya kehadiran layanan cloud gaming di platform iOS masih jauh dari kenyataan.

Sumber: CNBC dan TechCrunch.

Google Stadia Demonstrasikan Fitur Inovatif State Share Lewat Game Sandbox Berjudul Crayta

Beberapa hari lalu, Google mengumumkan Crayta, sebuah game sandbox ala Minecraft atau Roblox yang akan dirilis secara eksklusif (sementara) untuk layanan cloud gaming-nya, Stadia. Digarap oleh Unit 2 Games menggunakan Unreal Engine 4, Crayta sepintas terkesan seperti Fortnite tapi tanpa sesi tembak-menembak yang intens.

Game ini akan tersedia secara cuma-cuma buat para pelanggan Stadia Pro mulai 1 Juli mendatang, tapi yang lebih menarik justru adalah fitur bernama State Share yang dibawanya.

State Share pada dasarnya memungkinkan pemain untuk berbagi save file lewat sebuah tautan. Pada Crayta, pemain lain yang mengklik tautan tersebut bisa langsung bergabung ke dalam sesi permainan milik sang pembagi link dan lanjut bermain bersama-sama. Gambaran lebih jelasnya bisa dilihat langsung pada video di bawah ini.

Berhubung Crayta sendiri merupakan permainan kolaboratif, fitur semacam ini tentu sangat cocok dan bakal sangat bermanfaat buat pemain. Dari kacamata sederhana, State Share bisa dipandang sebagai versi canggih dari fitur party invite yang biasa terdapat pada game multiplayer.

State Share sejatinya juga bisa menunjukkan kapabilitas sebenarnya dari sebuah layanan cloud gaming. Tidak ada lagi proses rumit dalam sesi multiplayer seperti menentukan siapa yang menjadi host, lalu menambah pemain lain ke dalam friend list sebelum mengirimkan undangan bermain; semua itu bisa digantikan oleh satu link yang simpel.

Pada kenyataannya, State Share merupakan salah satu fitur unggulan yang Google umumkan dalam acara perkenalan Stadia tahun lalu. State Share sejauh ini masih berstatus beta, tapi saat sudah benar-benar matang nanti, tentu saja fitur ini juga akan merambah sejumlah game lain.

State Share juga punya potensi untuk mempererat interaksi para streamer dan penontonnya. Bayangkan saja seorang streamer membagikan link menuju sesi permainannya di sebuah live chat, lalu penonton (yang juga punya akses ke Stadia dan game yang bersangkutan) dapat mengklik link tersebut dan langsung ikut bermain bersama. Interaksi semacam ini sulit diwujudkan tanpa adanya fitur seperti State Share.

Dari perspektif lain, State Share juga berpotensi memperkenalkan kita pada kebiasaan baru dalam bermain game, yakni memperlakukan save file layaknya sebuah bookmark pada browser. Jeleknya, ini mungkin bisa menjadi ‘pembunuh produktivitas’ yang cukup efektif.

Sumber: Inverse dan Unit 2 Games.

Google Stadia Kini Kompatibel dengan Lebih Banyak Smartphone

Salah satu keluhan terbesar terhadap Google Stadia adalah minimnya smartphone yang kompatibel. Padahal, kalau melihat daftarnya, masih banyak smartphone yang tidak tercantum yang semestinya punya performa lebih superior. Contoh yang paling gampang: Samsung Galaxy S8 kompatibel, tapi kenapa Huawei P30 yang jelas lebih perkasa malah tidak tercantum?

Pada kenyataannya, Google baru saja menambahkan deretan smartphone OnePlus ke daftar perangkat yang kompatibel, dan perangkat setua OnePlus 5 rupanya ikut tercantum. Ponsel tersebut cuma ditenagai chipset Snapdragon 835, dan itu berarti flagship keluaran 2020 macam OPPO Find X2 semestinya sudah lebih dari cukup untuk melangsungkan sesi streaming game via Stadia.

Kabar baiknya, Stadia kini mempersilakan para pelanggan untuk menggunakan perangkat Android apa saja di luar daftar smartphone yang didukung secara resmi itu tadi. Namun perlu dicatat, Google bilang fitur ini masih bersifat eksperimental, dan mereka tidak menjamin kelancarannya di setiap smartphone.

Syaratnya cuma satu: perangkat bisa menjalankan aplikasi Stadia. Setelahnya, cukup aktifkan opsinya melalui menu pengaturan (Settings → Experiments → Play on this device), maka permainan dapat langsung dinikmati di perangkat tersebut meskipun ia tak tercantum dalam daftar perangkat yang kompatibel.

Stadia touch controls

Selain menyediakan dukungan terhadap lebih banyak perangkat, Stadia juga memperkenalkan fitur kontrol sentuh. Jadi ketimbang menggunakan controller fisik, permainan bisa dijalani dengan menavigasikan tombol-tombol virtual yang muncul pada layar. Lagi-lagi fitur ini juga masih dikategorikan eksperimental, dan Google berjanji untuk terus menyempurnakannya seiring waktu.

Pembaruan terakhir yang Google hadirkan adalah opsi pengaturan resolusi untuk tiap-tiap perangkat. Sebelumnya, pengguna hanya bisa menetapkan satu pilihan resolusi saja buat semua perangkat yang digunakan. Sekarang, pengguna bisa menetapkan resolusi yang berbeda saat hendak bermain di smartphone, laptop, atau TV via Chromecast Ultra.

Perlahan tapi pasti, Stadia terus menunjukkan penyempurnaan demi penyempurnaan. Perkembangan industri cloud gaming memang jauh dari kata mulus; platform pesaing seperti GeForce Now juga punya masalahnya sendiri, meski Nvidia perlahan juga sudah mulai membenahinya. Sekarang kita tinggal berharap Google bisa segera membawanya ke Indonesia, sehingga saya tidak bingung internet cepat saya buat apa 🙂

Sumber: Stadia via Android Police.

CEO Take-Two: Google Stadia Kurang Sesuai Ekspektasi

Google Stadia bukanlah layanan cloud gaming pertama yang ada di dunia. Namun reputasi Google membuat banyak orang menetapkan ekspektasi yang tinggi terhadapnya. Google sendiri juga menjanjikan sejumlah inovasi canggih saat mengumumkan layanan cloud gaming-nya tersebut tahun lalu.

Namun kalau menurut CEO Take-Two Interactive (perusahaan induk Rockstar Games maupun 2K Games), Strauss Zelnick, janji-janji itu terkesan berlebihan dan berujung pada kekecewaan konsumen. Pernyataan tersebut beliau sampaikan saat menjadi pembicara di acara Bernstein Annual Strategic Decisions Conference.

Kemungkinan besar pernyataan soal janji yang berlebihan itu merujuk pada tweet Phil Harrison berikut ini. Vice President Google itu bilang bahwa semua game di Stadia akan berjalan pada resolusi 4K, tapi kenyataannya tidak demikian. Game seperti Red Dead Redemption 2 maupun Doom Eternal ternyata berjalan di resolusi 1080p sebelum akhirnya di-upscale menjadi 4K.

Red Dead Redemption 2

Opini CEO Take-Two ini sangat kontras dibanding optimismenya pasca pengumuman perdana Stadia tahun lalu, dan beliau juga banyak berkomentar soal aspek bisnis Stadia. Salah satunya, Strauss ragu bahwa Stadia punya target konsumen yang besar.

“Keyakinan bahwa streaming bakal menjadi transformatif didasari oleh anggapan bahwa ada banyak orang yang sangat tertarik dan mau membayar untuk menikmati hiburan interaktif, tapi tidak mau memiliki sebuah console. Saya tidak yakin kenyataannya demikian,” ungkap Strauss.

Pun begitu, Strauss yakin cloud gaming bakal sukses seiring berjalannya waktu. Meski kurang sesuai ekspektasi, layanan seperti Stadia tetap berjasa menambahkan konsumen baru buat publisher dan developer game. Itulah mengapa Stadia masih punya game keluaran Take-Two di katalognya, meski memang sejauh ini baru ada tiga, yaitu Borderlands 3, NBA 2K20, dan Red Dead Redemption 2 itu tadi.

Bandingkan dengan Nvidia GeForce Now, yang sama sekali tidak menawarkan game terbitan Take-Two. Strauss lanjut menjelaskan bahwa Take-Two bakal terus mendukung layanan cloud gaming papan atas selama model bisnisnya masuk akal, dan dari sini bisa kita simpulkan bahwa Take-Two tidak setuju dengan model bisnis yang diterapkan Nvidia, yang memanfaatkan platform distribusi eksternal seperti Steam dan Epic Games ketimbang platform-nya sendiri (seperti kasusnya pada Stadia).

Sumber: GameSpot.

Google Gratiskan Akses ke Stadia Pro Selama 2 Bulan

Disiapkan sebagai cara alternatif bermain game bagi mereka yang tak punya hardware khusus gaming, Google Stadia pada dasarnya bisa diakses tanpa perlu membayar. Namun jika Anda bersedia mengeluarkan uang US$ 10 per bulan dan jadi pelanggan level Pro, sejumlah fitur eksklusif di layanan on demand ini akan terbuka: laju stream lebih cepat, resolusi lebih tinggi, potongan harga, serta penawaran permainan-permainan gratis.

Stadia meluncur pada bulan November 2019 di 14 negara, dan memasuki kuartal kedua tahun ini, Google berencana untuk memperluas ketersediaannya – terutama di tengah ‘kondisi sulit’ seperti sekarang. Sebagai langkah awalnya, Google memberikan semua orang (yang berdomisili di 14 negara itu) kesempatan buat menikmati Stadia Pro gratis selama dua bulan. Kesempatan tersebut berlaku bagi seluruh pelanggan Stadia ataupun pengguna baru.

Mereka yang mendaftar akan mendapatkan akses langsung ke sekitar 10 permainan, yaitu Destiny 2: The Collection, Grid, Gylt, Metro Exodus, Steamworld Dig 2, Steamworld Quest: Hand of Gilgamech, Thumper, The Serious Sam Collection, Spitlings, dan Stacks on Stack. Di luar judul-judul tersebut, Anda tetap perlu membelinya. Namun tentu penawaran Google ini sama sekali tidak buruk, apalagi jika kita punya internet bekecepatan tinggi.

Jika Anda kebetulan sudah menjadi pengguna Stadia Pro, maka Anda tak perlu membayar selama dua bulan ke depan. Google juga memperkenankan siapa pun buat berhenti dari keanggotaan Pro, dan permainan-permainan yang telah dibeli akan tetap jadi milik mereka. Berdasarkan laporan PC Gamer, program Stadia Pro gratis ini diimplementasikan secara bertahap dalam waktu 48 jam sejak dimulai dan tak semua orang bisa langsung mengaksesnya.

Sayangnya untuk sekarang Stadia memang belum bisa digunakan oleh konsumen di tanah air, walaupun laman berbahasa Indonesia-nya mengindikasikan rencana Google buat menghadikannya di sini. Platform cloud gaming ini baru dapat dinikmati oleh konsumen dari Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Inggris Raya, Irlandia, Itali, Jerman, Kanada, Norwegia, Perancis, Spanyol, dan Swedia.

Jika kebetulan Anda tinggal di salah satu kawasan tersebut tapi belum familier dengan Stadia, Google tak lupa menyediakan panduan untuk bergabung ke layanannya. Pertama-tama, silakan daftarkan diri di Stadia.com, lalu unduh aplikasi mobile-nya (tersedia buat iOS maupun Android). Game-game Stadia juga bisa dimainkan dari PC desktop dan laptop via browser Chrome, serta tablet Chrome OS – menggunakan keyboard dan mouse atau controller.

Google menyadari dengan dilangsungkannya program ini, Stadia akan diserbu banyak orang. Dan demi mengurangi beban pada server, buat sementara resolusi 4K tidak bisa dipilih user Stadia Pro. Mereka hanya dapat bermain di 1080p. Meski begitu, developer menjamin gamer di PC tidak akan merasakan penurunan kualitas secara signifikan…

Sumber: Google.