Toge Productions Umumkan Enam Penerima Program Pendanaan Toge Game Fund Initiative

Juni lalu, Toge Productions mengumumkan sebuah program pendanaan bertajuk Toge Game Fund Initiative (TGFI). Program tersebut ditujukan untuk membantu studio-studio indie di kawasan Asia Tenggara dalam merealisasikan ide-idenya menjadi sebuah prototipe game yang dapat dimainkan, dengan sokongan modal hingga sebesar $10.000.

Setelah melangsungkan proses seleksi, Toge akhirnya mengumumkan enam proyek yang terpilih sebagai partisipan program TGFI. Masing-masing berasal dari studio yang berbeda, dan tidak semuanya berbasis di Indonesia.

Yang pertama adalah Project Darma karya Anoman Studio asal Indonesia. Project Darma merupakan sebuah game action bertempo cepat yang menceritakan tentang misi balas dendam seorang pembunuh bayaran melawan pimpinan-pimpinan bandit dalam setting Indonesia zaman modern. Game ini sebenarnya sudah diumumkan sejak sekitar dua tahun lalu, dan sekarang realisasinya tentu bakal semakin terjamin.

Selanjutnya, ada Ngopi Yuk! garapan Uniqx Studio asal Indonesia. Game ini diadaptasikan dari komik Webtoon berjudul sama, dengan cerita seputar kedai kopi tradisional di kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang sudah menjamu warga-warga lokal selama beberapa generasi. Game tentang kedai kopi dengan kreator Coffee Talk sebagai mentornya. Menarik.

Partisipan yang ketiga adalah Project Descent bikinan Kotakoren Games asal Malaysia. Project Descent merupakan sebuah game RTS dengan setting fantasi yang terinspirasi oleh budaya-budaya Asia Tenggara. Kalau Anda suka dengan game seperti Final Fantasy Tactics, game ini patut Anda pantau perkembangannya.

Berikutnya, ada Project Angkara besutan Trimatra Interactive asal Indonesia. Angkara merupakan sebuah shooter yang banyak terinspirasi FPS lawas Hexen, dengan setting fantasi yang kelam yang berdasar pada sejumlah mitologi Asia Tenggara. Ini bukan kali pertama Trimatra menggarap game yang terinspirasi Hexen. Sebelumnya, studio asal Surabaya ini sudah pernah mengerjakan game berjudul Ravensword: Undaunted.

Proyek yang kelima adalah The Secret Life of Dorian Pink buatan AmberLimShin asal Malaysia. Game ini merupakan sebuah narrative RPG yang agak nyeleneh, dengan lakon utama yang bertujuan untuk menyelamatkan pacarnya dari neraka, dengan cara mengambil keputusan-keputusan yang meragukan, mengumpulkan kawan, dan meledakkan donat. Nyeleneh, tapi penuh intrik.

Terakhir, ada Sunset Satellite karya Twilight Foundry Games asal Malaysia. Sebelumnya sempat diumumkan di event Level Up KL 2021, Sunset Satellite dideskripsikan sebagai sebuah 3D interactive fiction yang penuh atmosfer dan emosi, dengan narasi seputar pertumbuhan dan penerimaan. Grafik bergaya lo-fi membuat game ini terkesan sangat chill untuk dimainkan.

Selain menerima bantuan dana tanpa terikat kontrak eksklusif maupun sistem royalti, keenam developer indie tadi juga bakal menerima mentoring dari beberapa anggota veteran Toge Productions. Program TGFI ini benar-benar bertujuan untuk membantu, dan Toge sendiri hanya mendapatkan hak sebagai pihak pertama yang menawarkan diri untuk menjadi publisher.

Kabar baiknya, Toge masih membuka program TGFI buat developer-developer lain yang berminat mengikuti. Detail lebih lengkap sekaligus persyaratannya dapat dilihat langsung di situs Toge Productions.

Sumber: IGN dan Virtual SEA.

Midnight Society Adalah Studio Game AAA Baru Besutan Dr Disrespect

Streamer kenamaan berpenampilan nyentrik, Dr Disrespect, mengumumkan studio game baru yang digagasnya bersama eks developer Call of Duty dan Halo. Studio tersebut dinamai Midnight Society, dan sejauh ini masih sedang dalam tahap perekrutan karyawan.

Pria bernama asli Guy Beahm itu tidak segan menyebut studio yang baru didirikannya sebagai studio game AAA, dan lowongan kerja yang dibuka untuk sebagian posisi bahkan mewajibkan pengalaman bekerja minimal selama 5 tahun.

Mendampingi Guy adalah Robert Bowling, mantan creative strategist Call of Duty yang kini menjabat sebagai Studio Head, dan Quinn DelHoyo, eks multiplayer designer Halo 5 yang kini bertanggung jawab sebagai Creative Director di Midnight Society. Menariknya, kursi CEO-nya bukan ditempati oleh Guy, melainkan oleh sosok yang sudah cukup berpengalaman di industri esports, Sumit Gupta.

Alhasil, tidak mengejutkan kalau game pertama yang direncanakan adalah sebuah game PVP multiplayer, spesifiknya yang digarap menggunakan Unreal Engine 5. Sebelum memulai kariernya sebagai influencer, Dr Disrespect sendiri juga merupakan seorang developer yang terlibat dalam pengembangan game Call of Duty: Modern Warfare 3 dan Advanced Warfare.

Sejauh ini memang belum ada detail mengenai game baru yang sedang dikerjakan tersebut, namun yang pasti Midnight Society bakal melibatkan komunitas pemain dan influencer dalam proses pengembangannya sejak sedini mungkin. Dengan kata lain, kita semestinya tidak perlu menunggu lama sebelum game-nya muncul dengan status early access.

AAA tapi early access? Menurut saya sah-sah saja, dan ini bukan pertama kalinya itu terjadi. Di tahun 2015 misalnya, ada Codemasters yang meluncurkan Dirt Rally dalam status early access. Kemudian tahun lalu, ada Baldur’s Gate 3 yang sampai sekarang juga masih berstatus early access.

Tidak bisa dimungkiri, popularitas Dr Disrespect dan pengalaman dua co-founder-nya tadi membuat studio baru ini patut mendapat sorotan. Saat artikel ini ditayangkan, komunitas Discord Midnight Society sudah memiliki sekitar 24 ribu anggota, menunjukkan antusiasme besar dari publik.

Sumber: IGN dan PC Gamer.

Developer Game Indonesia Dominasi SEA Games Awards 2021, Rebut 5 dari 10 Kategori Penghargaan

Ajang SEA Games Awards 2021 telah usai digelar pekan lalu, dan Indonesia boleh berbangga melihat sekumpulan developer-nya mendominasi perhelatan tersebut. Dari 10 kategori penghargaan yang diperebutkan, 5 di antaranya berhasil dimenangkan oleh developer game asal tanah air.

Di kategori Best Game Design misalnya, ada rogue-lite platformer Rising Hell yang keluar sebagai pemenang, mengalahkan judul-judul lain seperti Tank Brawl 2: Armor Fury, The Signal State, Malice, dan Eldritch. Rising Hell dikembangkan oleh Tahoe Games, studio game indie yang bermarkas di kota Kediri.

Rising Hell tak hanya menerima pujian dari sisi gameplay. Musik heavy metal dalam game ini rupanya juga cukup memukau sampai-sampai ia berhasil memenangkan kategori lain, yakni Best Audio. Padahal, saingannya di kategori ini bisa dibilang berat-berat, termasuk Coffee Talk yang soundtrack resminya kini dikemas sebagai vinyl.

Selanjutnya, ada kategori Best Technology yang dimenangkan oleh Biwar Legend of Dragon Slayer karya Devata Game Production asal Bali. Biwar merupakan sebuah action adventure dengan banyak elemen puzzle. Grafiknya tampak memukau berkat penggunaan Unreal Engine 4, akan tetapi bagian yang lebih istimewa adalah, keseluruhan game-nya menggunakan dialek tradisional Bali.

Beralih ke kategori Best Visual Art, giliran When the Past Was Around yang terpilih sebagai pemenang. Game petualangan ini digarap oleh Mojiken Studio, developer asal Surabaya yang portofolionya memang dipenuhi oleh game-game yang masing-masing memiliki art style uniknya sendiri-sendiri.

Kategori kelima sekaligus yang paling prestisius adalah Grand Jury Award yang berhasil dimenangkan oleh Coffee Talk. Mahakarya Toge Productions ini sejatinya sudah tidak perlu perkenalan lagi, dan game-nyapun juga telah beberapa kali mendapat sorotan internasional sejak diluncurkan pertama kali di awal 2020. Sekuelnya sudah dijadwalkan meluncur tahun depan.

Lanjut ke kategori Best Innovation, ada Airship Academy karya Revolution Industry. Dengan lebih dari 150 komponen yang bisa dipasangkan ke lebih dari 30 jenis rangka pesawat yang berbeda, kompleksitas yang ditawarkan game ini betul-betul tidak perlu diragukan. Di saat yang sama, pengembangnya masih bisa menyajikan narasi yang tidak kalah mendalam.

Bicara soal narasi, kategori Best Storytelling dimenangkan oleh DeLight: The Journey Home karya developer Malaysia, DreamTree Studio. Game ini menceritakan kisah seorang perempuan tuna netra dalam perjalanannya bertemu kembali dengan orang tuanya. Selama bermain, pemain bakal dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit, dan semua ini akan berdampak langsung pada alur cerita game.

Untuk kategori Audience Choice Award, pemenangnya adalah Fallen Tear: The Ascencion, sebuah metroidvania dengan bumbu open-world dan grafik 2D yang memukau. Dibuat oleh studio asal Filipina, CMD Studios, Fallen Tree terlihat menjanjikan meski sejauh ini masih dalam tahap pengembangan.

Kategori berikutnya, yakni Best Student Game, berhasil direbut oleh Water Child. Game dengan atmosfer yang kuat dan musik yang emotif ini digarap oleh sekelompok mahasiswa UOW Malaysia KDU University College yang menamai dirinya SkyJus Works.

Terakhir, ada kategori Rising Star Award yang dimenangkan oleh Exist.EXE karya Skyfeather Games Studio. Game ini banyak terinspirasi oleh JRPG klasik, dengan sistem combat turn-based yang unik dan agak berbeda dari biasanya.

Buat yang tertarik menyaksikan perhelatan SEA Games Awards 2021 secara lengkap, Anda bisa menonton siaran ulangnya di laman Facebook resmi eGG Network.

Via: IGN.

Unity Akuisisi Studio VFX Weta Digital Sebagai Langkah Awal Menyambut Tren Metaverse

Unity Technologies, perusahaan pembuat game engine Unity, mengumumkan bahwa mereka sedang dalam proses mengakuisisi Weta Digital dengan mahar sebesar $1,625 miliar.

Weta Digital, buat yang tidak tahu, adalah studio visual effect (VFX) asal Selandia Baru yang diprakarsai oleh Sir Peter Jackson. Kalau Anda gemar menonton film, Anda semestinya sudah sangat familier dengan berbagai karya Weta di judul-judul seperti Avatar, Black Widow, Planet of the Apes, The Suicide Squad, dan tentu saja, trilogi Lord of the Rings beserta Hobbit.

Apa saja yang bakal didapat oleh Unity dari akuisisi ini? Yang paling utama adalah lebih dari selusin proprietary software milik Weta, mulai dari yang dapat menyimulasikan rambut dan bulu pada objek 3D, sampai teknologi facial capture dan beragam tool esensial lain untuk kreasi VFX. Sebanyak 275 engineer Weta yang bertanggung jawab atas pengembangan software-software tersebut juga akan bergabung dengan Unity.

Deretan software ini nantinya bakal diintegrasikan ke engine Unity secara perlahan. Unity bahkan sudah punya rencana untuk membawa semua itu ke infrastruktur cloud dengan model bisnis subscription. Kapan pastinya itu bakal terealisasi masih belum diketahui, namun yang pasti tujuan akhirnya adalah membawa teknologi-teknologi canggih yang Weta gunakan selama ini ke tangan jutaan kreator pengguna engine Unity.

Selain itu, Weta juga akan mewariskan asset library-nya ke Unity. Menariknya, asset library ini ke depannya akan terus diperbarui seiring Weta melanjutkan kiprahnya di bidang VFX di bawah nama baru, WetaFX.

Apakah ini berarti game yang dibuat menggunakan Unity bakal langsung memiliki grafik sekelas film-film Hollywood? Mungkin tidak sesimpel itu implikasinya, apalagi mengingat proses pembuatan VFX di film dan game memang cukup berbeda.

Alasan utama di balik akuisisi ini sebenarnya adalah untuk bersiap menyambut tren metaverse. Unity percaya bahwa kalangan kreator bakal punya peran besar dalam perkembangan metaverse, dan akuisisi ini akan membantu mereka mengakselerasi misi tersebut.

Sumber: Unity dan Weta Digital via Engadget.

Amazon Rombak Lumberyard Menjadi Game Engine Open-Source Bernama Open 3D Engine

Game engine yang dapat digunakan secara cuma-cuma oleh kalangan developer sudah sangat umum kita jumpai di tahun 2021 ini. Bahkan engine sekelas Unreal Engine 5 pun sekarang bisa dipakai secara gratis, dan developer baru diwajibkan membayar biaya royalti seandainya pemasukan yang didapat sudah mencapai angka 1 juta dolar.

Yang masih tergolong langka adalah game engine yang bersifat open-source, yang bebas dimodifikasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing developer. Itulah nilai jual utama yang hendak ditawarkan oleh Open 3D Engine (O3DE), game engine anyar yang terlahir Lumberyard, engine racikan Amazon yang dirilis sekitar lima tahun silam.

Lumberyard, bagi yang tidak tahu, awalnya diramu dengan menggunakan CryEngine sebagai basisnya. Guna menghindarkan developer dari masalah-masalah terkait lisensi atau pelanggaran kekayaan intelektual, Amazon pun memutuskan untuk membangun O3DE dari nol. Dengan kata lain, O3DE bukan sebatas Lumberyard yang telah menjalani re-branding dan dijadikan open-source begitu saja.

Juga baru adalah komponen renderer-nya, yang diklaim lebih superior dan lebih photorealistic ketimbang milik Lumberyard. Amazon cukup percaya diri bahwa O3DE punya potensi untuk digunakan di luar industri video game.

Kendati demikian, daya tarik terbesar O3DE tentu adalah sifat terbukanya, dan ini bisa berujung pada setidaknya dua keuntungan. Yang pertama, layaknya proyek open-source lain, O3DE bakal terus disempurnakan seiring berjalannya waktu, sebab siapapun bisa ikut berkontribusi terhadap pengembangannya. Tidak main-main, pihak yang mengawasi pengembangan O3DE adalah Linux Foundation, yang kita tahu sudah punya pengalaman panjang perihal open-source development.

Sejumlah perusahaan ternama seperti Adobe, Huawei, Intel, maupun Niantic juga sudah mengumumkan komitmennya untuk berkontribusi terhadap pengembangan O3DE, dan mereka semua bakal berkolaborasi di bawah wadah bernama Open 3D Foundation. Bulan Oktober nanti, Open 3D Foundation sudah punya rencana untuk menggelar acara O3DECon dan mengundang komunitas developer untuk ikut berpartisipasi.

Keuntungan yang kedua adalah kemudahan O3DE untuk ‘dipecah-belah’ seandainya developer hanya perlu menggunakan beberapa fiturnya saja, lalu mengintegrasikannya ke engine lain yang mereka gunakan. Sebagai proyek yang terlahir dari lab Amazon, O3DE tentu menawarkan integrasi yang mudah ke infrastruktur cloud milik Amazon Web Services (AWS), dan ini semestinya bisa menjadi daya tarik tersendiri buat sejumlah developer.

O3DE saat ini sudah tersedia dalam bentuk developer preview. Versi finalnya ditargetkan bakal tersedia mendekati akhir tahun 2021. Selain untuk mengembangkan game PC, macOS, Linux, iOS, maupun Android; O3DE ke depannya juga dapat digunakan untuk menggarap game Xbox, PlayStation, Nintendo Switch, Oculus, dan bahkan AR headset Magic Leap.

Sumber: VentureBeat.

Antara Spectator Mode dan Kualitas Tayangan Esports Wild Rift

Skena esports game League of Legends: Wild Rift mungkin menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Pasalnya, kesuksesan Riot Games membina League of Legends di PC menjadi esports dunia jadi salah satu alasannya. Di luar dari soal cara penyajian kompetisi dan strategi bisnis yang dilakukan, hal lain yang juga mendongkrak kesuksesan tersebut adalah bagaimana Riot Games menjaga kualitas game-nya itu sendiri.

Beberapa bulan ke belakang, Wild Rift sempat mengalami momen stagnasi, terutama ketika fitur Spectator yang dinanti tak kunjung hadir. Komunitas pun sempat bertanya-tanya kapan hadirnya fitur tersebut? Atau mungkin Riot Games tidak berencana membuat Wild Rift jadi esports? Untungnya fitur yang lama didamba tersebut akhirnya hadir di awal Februari 2021 kemarin. Redaksi Hybrid.co.id kebetulan berkesempatan menanyakan alasan kenapa Riot Games butuh waktu cenderung lama untuk menghadirkan fitur tersebut.

Maddy Wojdak selaku Growth Strategies dari Riot Games menjadi perwakilan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maddy mengatakan bahwa salah satu alasan terbesar kenapa fitur tersebut lama hadir ke dalam Wild Rift adalah karena banyaknya informasi yang harus dihadirkan ke dalam layar smartphone yang kecil.

Maddy mengatakan. “Layaknya League of Legends, Wild Rift memiliki banyak informasi yang perlu ditampilkan di layar saat ditonton (Seperti build item, jumlah Gold, dan lain sebagainya). Namun device smartphone tidak seperti PC. Karenanya kami berusaha mencari cara agar pengguna tidak kesulitan untuk menyaksikan permainan saat menggunakan Spectator Mode di Wild Rift yang ada di layar kecil ponsel.”

Maddy Wodjak
Maddy Wojdak, Growth Strategies Riot Games. Sumber Gambar – Riot Official

Setelah update hadir ke dalam game, momen perdana saya melihat bentuk Spectator Mode di dalam game Wild Rift adalah pada pertandingan Wild Rift Asia Brawls yang diadakan oleh YouTuber bernama Assassin Dave. Saya cukup takjub saat melihatnya karena merasa Spectator Mode Wild Rift mirip sekali dengan League of Legends; dan kemiripan tersebut positif.

Proporsi antar elemen interface terasa pas dengan informasi-informasi penting terpampang cukup jelas, mulai dari Champion apa membawa Spell apa, berapa total Gold yang didapatkan, tim apa mendapat Dragon jenis apa, sampai apa saja daftar item yang sudah dibuat oleh masing-masing pemain. Ditambah, pergerakan dan transisi Zoom In-Zoom Out kamera in-game yang halus juga patut diapresiasi kehadirannya.

Dari semua hal tersebut, proporsi ukuran yang pas antara karakter dengan Health Bar di Wild Rift membuat pengalaman menonton jadi semakin nikmat. Sudah ada beberapa MOBA di mobile yang sukses di pasaran dan tampil sebagai esports. Namun demikian saya merasa belum ada satupun di antara para developer tersebut sadar, bahwa proporsi karakter dengan health bar di beberapa game tersebut tidak pas dan cukup mengganggu pengalaman menonton.

Salah satu yang jadi contoh kasus adalah Spectator Mode di game AOV. Dalam pertarungan besar penuh kemelut, saya seringkali tidak tahu karakter apa sedang melakukan apa (bahkan kadang tidak tahu karakter apa yang sedang bertarung). Saya hanya bisa lihat Health Bar melayang dengan nickname pemain tertulis, saling tumpuk, sampai tiba-tiba salah satu Health Bar terus berkurang lalu hilang karena karakternya mati.

Wild Rift menghadirkan Health Bar yang lebih kecil, namun tetap memberi dengan informasi jelas soal siapa yang masih segar bugar, siapa yang sekarat, atau siapa yang tiba-tiba meninggal. Lebih baiknya lagi, Wild Rift bahkan juga memberi informasi di atas Health Bar apabila karakter terkena disable yang penting di dalam pertarungan (terkena Airborne misalnya). Karenanya proporsi Health Bar dengan karakter game di Wild Rift bisa dibilang sebagai perubahan kecil yang punya dampak besar kepada pengalaman menonton.

Sumber
Dalam keadaan kemelut, penonton hampir tidak bisa tahu di mana dan sedang apa para karakter yang bertarung di Arena of Valor karena tertutup Health Bar. Sumber Gambar – Arena of Valor Official YouTube Channel.
Sumber Gambar - Wild Rift Vietnam Official Channell.
Dalam Wild Rift, ukuran Health Bar yang lebih kecil membuat penonton bisa melihat lebih jelas siapa yang ada di mana dan sedang apa, walau aksinya tetap penuh kemelut. Sumber Gambar – Wild Rift Vietnam Official YouTube Channel.

Pembahasan barusan adalah pembahasan Spectator Mode dari sisi kebutuhan untuk penayangan pertandingan. Namun, fitur itu sendiri sebenarnya tersedia dan dapat digunakan oleh semua pemain. Sebagai pemain, kita bisa menyasikan pertandingan dari kawan yang sedang bermain di dalam Friend List. Secara keseluruhan, fiturnya sama persis. Namun pengalaman penggunaannya tergolong cukup sulit karena tombol-tombol sentuh di dalam game terlalu kecil untuk layar ponsel yang juga kecil. Selain itu, ketidakhadiran fitur rewind juga jadi bentuk kekurangan lain.

“Sebenarnya fungsi rewind adalah fungsi lain yang sangat ingin kami kembangkan lebih jauh. Kami sadar bahwa saat pemain menyaksikan replay, pemain tidak hanya ingin melihat rekamannya tetapi juga ingin mundur ke momen tertentu. Sayangnya untuk saat ini Wild Rift tidak dapat memutar balik rekaman pertandingan, karenanya fitur itu tidak ada di dalam game saat ini. Kami akan menelisik dan mencari tahu lebih jauh apakah kami dapat mewujudkan fitur tersebut ke dalam game di masa depan, demi para pemain.” Tulis Maddy Wojdak merespon pertanyaan saya terkait Spectator Mode di dalam Wild Rift.

nonton pertandingan orang
Sebagai pemain, Anda bisa menonton pertandingan kawan yang ada di dalam Friend List.
contoh full interface
Tangkapan gambar pada saat saya mencoba menonton pertandingan kawan di smartphone dengan layar 6,5 inci. Walaupun terlihat enak pada tangkapan gambar, namun mengoperasikannya tergolong sulit karena tombol-tombol terlalu kecil.

Walau terasa mudah, tapi sepertinya ada tingkat kesulitan tertentu saat developer ingin dapat menyajikan suatu fitur yang biasa kita lihat di game PC ke dalam game mobile. Keterbatasan teknis mungkin jadi salah satu alasannya. Bagaimanapun, teknologi pengembangan game (bahasa pemograman dsb.) di mobile muncul lebih belakangan ketimbang teknologi pengembangan game di PC/Konsol adalah fakta yang tak bisa tertampik. Karenanya, bisa jadi teknologi pengembangan game di mobile ketinggalan hal yang sebenarnya bisa mudah dilakukan di PC.

Merujuk kepada wawancara saya tanggal 28 Oktober 2020 lalu, Brian Feeney selaku Design Director Wild Rift juga mengakui bahwa mengembangkan game mobile adalah satu tantangan tersendiri. Hal tersebut mengingat tim pengembang di Riot Games punya kemampuan yang lebih kuat di bidang pengembangan game PC ketimbang game mobile.

Pada akhirnya Spectator Mode di Wild Rift sebenarnya tergolong sudah cukup lengkap dan hanya butuh sedikit polesan saja. Selain fitur rewind, tambahan lain seperti susunan pemain berdasarkan role in-game (seperti yang disebut Hasagi.gg) sebenarnya jadi polesan lain yang bisa membuat Spectator Mode semakin meanrik. Bagaimana dengan pendapat Anda sendiri? Apakah sudah cukup puas dengan Spectator Mode di Wild Rift dan jadi tidak sabar menyaksikan keseruan esports Wild Rift nantinya?

Apa yang Salah dari Stadia Games and Entertainment?

Awal Februari lalu, Google membuat kejutan dengan menutup Stadia Games and Entertainment, studio first-party yang mereka dirikan untuk menciptakan permainan-permainan eksklusif buat layanan cloud gaming-nya. Selama berkiprah sejak Maret 2019 sampai akhirnya dibubarkan, Stadia Games and Entertainment sama sekali belum meluncurkan satu game pun.

Sebagian besar orang pasti heran mengapa bisa demikian. Apa yang salah dari Stadia Games and Entertainment sampai mereka harus menyerah sebelum berperang? Sebagai bagian dari Google, tentu saja mereka punya modal besar. Orang-orang penting di baliknya pun juga merupakan para veteran di dunia game development. Lalu apa yang salah?

Modal besar dan tim yang berpengalaman sejatinya bukanlah faktor penentu, dan itu sudah dibuktikan oleh Amazon Game Studios. Dalam kasus Google, akar masalahnya terletak pada kurangnya kepercayaan yang diberikan kepada tim Stadia Games and Entertainment kalau menurut laporan mendetail yang dipublikasikan oleh Wired baru-baru ini.

Seperti yang kita tahu, Google merupakan sebuah perusahaan yang sangat terstruktur, dan hampir semua yang mereka lakukan selalu berlangsung secara terstruktur. Game development di sisi lain merupakan suatu proses yang bisa dibilang organik. Kalau perlu contoh, lihat saja Overwatch, yang sejatinya terlahir secara spontan dari pembatalan sebuah proyek internal Blizzard bernama Titan.

Bukan bikinan Stadia Games and Entertainment, tapi Crayta adalah salah satu game yang meng-highlight fitur andalan Stadia, yakni Share State / Unit 2 Games
Bukan bikinan Stadia Games and Entertainment, tapi Crayta adalah salah satu game yang meng-highlight salah satu fitur andalan Stadia, yakni State Share / Unit 2 Games

Di Stadia Games and Entertainment tidak demikian. Seakan tidak percaya dengan kapabilitas timnya, Google justru menghambat kinerja mereka dengan membatasi penggunaan game development software tertentu dengan alasan keamanan. Bukan cuma itu, Google juga menghimbau tim Stadia Games and Entertainment untuk mengembangkan game yang dapat menyoroti teknologi-teknologi revolusioner milik platform Stadia.

Arahan semacam ini jelas dimaksudkan supaya Stadia bisa jadi lebih menjual. Namun pada praktiknya mentalitas seperti ini sering kali malah menghambat realisasi ide-ide kreatif yang dimiliki developer, dan sepertinya itulah yang terjadi di Stadia Games and Entertainment.

Beberapa narasumber Wired bahkan mengatakan bahwa pada awalnya, kinerja mereka sempat dinilai berdasarkan kriteria yang semestinya ditujukan untuk posisi UX designer, bukan berdasarkan semenarik apa prototipe game-nya ketika dimainkan.

Pandemi COVID-19 tentu semakin memperburuk keadaan. Di saat tim Stadia Games and Entertainment belum sepenuhnya terbentuk, Google justru memutuskan untuk berhenti merekrut karyawan baru buat mereka akibat pandemi. Padahal, kabarnya tujuan awal Stadia Games and Entertainment adalah merekrut sekitar 2.000 orang dalam lima tahun pertamanya.

Seperti Amazon, Google pada dasarnya ingin menjalani bidang game development sesuai filosofi mereka sendiri. Cara ini jelas bertolak belakang dari yang dilakukan oleh, misalnya, Microsoft. Buat Microsoft, filosofi mereka mungkin bisa disederhanakan menjadi “akuisisi studio game, beri mereka modal besar, dan biarkan mereka berkarya.” Andai saja Google menerapkan prinsip yang serupa, ceritanya mungkin bisa berbeda sekarang.

Sumber: Wired.

Epic Games Umumkan MetaHuman Creator, Tool Praktis untuk Ciptakan Karakter 3D yang Amat Realistis

Menciptakan karakter manusia 3D yang realistis bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terkadang, prosesnya bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu hanya untuk satu karakter, dan itu pun sudah dikerjakan oleh seorang seniman 3D yang cukup senior.

Namun kalau menurut Epic Games, ke depannya tidak harus serumit itu. Mereka baru saja memperkenalkan sebuah platform kreasi konten baru bernama MetaHuman Creator. Premisnya cukup sederhana: dengan hanya bermodalkan sebuah browser di komputer, kita sudah bisa menciptakan karakter 3D yang sangat realistis dalam hitungan menit.

Tanpa harus terkejut, MetaHuman Creator menggunakan Unreal Engine sebagai fondasi utamanya, tidak ketinggalan juga teknologi-teknologi animasi wajah rancangan 3Lateral dan Cubic Motion, dua perusahaan ahli yang sudah menjadi bagian dari keluarga besar Epic Games.

Kalau Anda pernah memainkan game RPG yang menawarkan fitur kustomisasi karakter, Anda semestinya bakal bisa mengoperasikan tool MetaHuman Creator ini. Pasalnya, prosesnya benar-benar mirip dan intuitif. Anda tinggal memilih bentuk wajah yang diinginkan, gaya rambutnya, tekstur kulitnya, sampai proporsi tubuhnya, dan preview sang manusia digital pun akan ditampilkan secara real-time.

MetaHuman Creator

Setelah puas dengan hasilnya, kita dapat mengunduh aset-asetnya melalui software Quixel Bridge. Selanjutnya, aset 3D tersebut bisa langsung digarap animasinya, termasuk dengan menggunakan metode motion capture berbasis iPhone. Lebih istimewa lagi, animasi yang telah selesai dibuat rupanya juga dapat diterapkan ke karakter lain yang turut diciptakan menggunakan MetaHuman Creator.

Tentu saja ini merupakan kabar baik bagi para game developer yang memang menggunakan platform Unreal Engine. Buat mereka, kehadiran tool seperti MetaHuman Creator tidak hanya dapat membantu mempersingkat waktu saja, tapi juga mungkin menghemat pengeluaran. Guna menarik perhatian para developer, Epic pun telah merilis sampel karakter manusia 3D yang bebas mereka modifikasi lebih jauh menggunakan Unreal Engine.

Selain di industri game, MetaHuman Creator tentu juga punya potensi besar di industri film, atau bahkan untuk kebutuhan yang lebih spesifik lagi, seperti VTuber misalnya. Belum diketahui kapan pastinya MetaHuman Creator bakal tersedia untuk publik, namun Epic Games sudah menargetkan jadwal perilisan di tahun ini juga. Epic juga berencana untuk membuka program early access dalam beberapa bulan ke depan.

Sumber: Epic Games.

Belum Mau Menyerah, Amazon Masih Berkomitmen untuk Mengembangkan Game Sendiri

Game development itu bukanlah bidang yang mudah dijalani. Kalau tidak percaya, coba lihat Google. Pada tanggal 1 Februari 2021 kemarin, mereka memutuskan untuk menutup Stadia Games and Entertainment, studio yang didirikan di tahun 2019 untuk mengembangkan permainan-permainan eksklusif buat layanan Stadia.

Ditutupnya Stadia Games and Entertainment menunjukkan bahwa modal besar dan merekrut orang-orang yang berpengalaman saja bukan jaminan bahwa game yang digarap akan sukses. Kalau perlu bukti lain, silakan tengok Amazon Game Studios. Sejak didirikan di tahun 2012, divisi game milik peritel terbesar sejagat itu hingga kini masih belum mampu menciptakan game yang benar-benar sukses.

Karya terbarunya, sebuah hero shooter kompetitif berjudul Crucible, benar-benar gagal total dan ditarik dari peredaran hanya beberapa bulan setelah dirilis di tahun 2020 kemarin. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Apa yang salah dari perusahaan-perusahaan besar ini? Bukankah Amazon sebenarnya sudah terbukti sukses dengan Twitch?

Dalam kasus Amazon, alasannya ada banyak, dan semuanya dijabarkan secara cukup mendetail oleh Bloomberg belum lama ini. Namun salah satu yang menjadi sorotan adalah fakta bahwa salah satu pimpinannya, Mike Frazzini, sama sekali tidak punya pengalaman di dunia game development, yang pada akhirnya berujung pada sejumlah keputusan jelek, seperti misalnya memaksa tim developer untuk menggunakan engine bikinan sendiri ketimbang yang sudah sangat terbukti macam Unreal Engine atau Unity.

New World, MMORPG bikinan Amazon yang akan dirilis tahun ini / Amazon Game Studios
New World, MMORPG bikinan Amazon yang akan dirilis tahun ini / Amazon Game Studios

Menariknya, Amazon rupanya masih belum mau menyerah. Berbeda dari Google yang memutuskan untuk mundur, Amazon justru masih berkomitmen untuk mengembangkan game sendiri. Hal ini dibuktikan lewat pesan CEO baru Amazon, Andy Jassy, kepada karyawannya, yang dilansir oleh Bloomberg.

“Beberapa bisnis langsung berhasil di tahun pertama, dan lainnya membutuhkan waktu bertahun-tahun,” tulis Andy. “Meski kita belum bisa berhasil secara konsisten di AGS, saya yakin kita akan berhasil jika kita tetap bertahan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Mike Frazzini juga sempat mengirimkan pesan kepada timnya lebih dulu. “Kita sudah belajar dan berkembang pesat seiring waktu, termasuk saya sendiri, dan kita akan terus melanjutkannya,” tulis Mike di pesan tersebut. “Membuat game bagus itu sulit, dan kita tidak akan melakukan semuanya dengan benar,” tambahnya.

Agenda terdekat Amazon Game Studios adalah merilis New World, sebuah MMORPG ambisius yang dijadwalkan hadir tahun ini. Amazon pada awalnya hendak meluncurkan New World di bulan Mei 2020, tapi pandemi COVID-19 memaksa mereka untuk menundanya sampai bulan Agustus 2020. Kemudian, setelah menerima masukan dari para alpha tester, Amazon memutuskan untuk mengundur peluncuran New World lebih jauh lagi menjadi tahun 2021.

Amazon juga punya layanan cloud gaming bernama Luna, yang sejauh ini baru dirilis di Amerika Serikat dengan status early access. Katalog Luna sejauh ini baru berisi sekitar dua lusin game, tapi tidak ada satu pun yang berasal dari Amazon Game Studios. Amazon juga sama sekali belum berkomentar soal ketersediaan Luna di pasar internasional.

Sumber: Bloomberg.

Publisher Game Indie Annapurna Interactive Umumkan Studio Internal Pertamanya

Dibandingkan dengan nama-nama seperti EA, Take-Two, atau Activision, nama Annapurna Interactive mungkin masih terdengar asing di industri video game. Tidak mengherankan mengingat Annapurna baru berkiprah sejak Desember 2016, namun dalam kurun waktu yang singkat itu, Annapurna sudah berhasil menempatkan dirinya di jajaran publisher game terbaik.

Judul-judul permainan seperti “What Remains of Edith Finch”, “Ashen”, “Outer Wilds”, “Sayonara Wild Hearts”, dan “Kentucky Route Zero” adalah beberapa dari koleksi game terbitan Annapurna yang berhasil mendulang sukses, dan sekarang mereka juga ingin terjun ke bidang game development secara langsung dengan mengumumkan studio internal pertamanya.

Studio baru yang belum diketahui namanya ini mengambil Los Angeles sebagai markasnya, dan sejauh ini masih dalam tahap rekrutmen. Di situsnya, tercatat bahwa Annapurna sedang mencari seorang game director dan senior producer untuk menakhodai proyek perdananya. Tidak dijelaskan seperti apa kira-kira game-nya, tapi yang pasti bakal digarap menggunakan Unreal Engine.

Melansir Games Industry, pimpinan Annapurna Interactive, Nathan Gary, mengaku bahwa sebagian besar personel timnya memiliki riwayat bekerja di bidang game development, dan tampaknya inilah yang mendasari keputusan Annapurna untuk mendirikan studio sendiri. Sebelum menekuni industri game, Annapurna sendiri lebih dulu dikenal di industri film di bawah label Annapurna Pictures.

Kabar ini terdengar menarik mengingat Annapurna Interactive sempat dirumorkan bakal bangkrut tahun lalu akibat terlilit utang, meski akhirnya mereka sudah lepas dari perkara tersebut. Mungkin juga Annapurna akhirnya menyadari bahwa terkadang kondisinya lebih memungkinkan bagi mereka untuk mendanai proyek bikinannya sendiri, ketimbang mendanai tim developer luar dan mengambil sebagian dari keuntungannya.

Satu hal yang pasti, di titik ini Annapurna sudah terbukti sangat cekatan dalam melihat potensi video game karya tim-tim kecil. Pendekatan yang mereka terapkan tergolong cukup selektif, terbukti dari sedikitnya judul-judul permainan yang mereka rilis setiap tahunnya. Untuk 2021, saya pribadi tidak sabar menanti game berjudul Stray yang akan Annapurna rilis di PS5 dan PC.

Sumber: Games Industry.