Mengenal Lebih Dekat ALUDI, Asosiasi Pelaku Equity Crowdfunding

Bicara tentang equity crowdfunding (ECF) –formalnya dikenal urun dana melalui penawaran saham– adalah bicara tentang kepatuhan yang tinggi terhadap regulasi. Sebagai salah satu model bisnis dengan inovasi anyar, regulator di Indonesia cukup ketat mengawasi bisnis urun dana ini. Ini juga yang jadi salah satu alasan berdirinya Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).

ALUDI ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawasan Pasar Modal sebagai asosiasi resmi urun dana sejak pertengahan Desember 2020 melalui surat OJK No.S-153/PM.22/2020. Perusahaan rintisan yang terdaftar meliputi Santara, Bizhare, dan CrowdDana; tercatat sebagai pendiri asosiasi ini, sementara posisi ketua diduduki oleh CEO Santara Reza Avesena. Ketiga startup tadi merupakan penyelenggara bisnis urun dana melalui penawaran saham berizin pertama di Indonesia.

Reza bercerita, ALUDI berdiri untuk membesarkan potensi pasar urun dana di tanah air. Sebagai bisnis yang tergolong baru, Reza menilai kehadiran pemain baru yang kuat dibutuhkan untuk membesarkan pasar sekaligus memperkenalkan produk urun dana ke publik lebih luas.

“Dalam hal platform kita kompetisi, dalam hal komunitas kita kolaborasi dalam bentuk membesarkan market, saling beri benefit, dan dengan asosiasi ini ketika penyelenggara-penyelenggara lain masuk bisa kita jagain,” ucap Reza.

Menjaga kepatuhan

Yang dimaksud “menjaga” oleh Reza adalah memastikan kepatuhan pemain baru ECF terhadap regulasi yang berlaku. Reza bersama Santara merasakan betul pentingnya kepatuhan akan regulasi itu. Pada masa awal beroperasi, Santara kena semprit OJK karena regulasi yang mengatur ECF belum ada. Imbasnya Santara harus berhenti beroperasi sementara.

Reza tidak ingin pengalaman pahit dialami oleh para koleganya. Selain bisa berimbas buruk terhadap kelangsungan bisnis, melanggar regulasi juga dapat menodai kepercayaan publik yang tengah dipupuk industri ini.

Asosiasi juga direncanakan mengambil peran dalam menyaring pemain-pemain baru. Reza menilai kemungkinan suatu penyelenggara mengalami default tetap ada. Jika skenario terburuk itu terjadi tak hanya akan mencoreng reputasi industri saja, tapi juga mengganggu kelancaran UKM yang melantai di bursa.

“Dengan adanya ALUDI, semua penyelenggara yang dapat izin kita jaga banget jangan sampai ada penyelenggara-penyelenggara bodong yang justru bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat.”

Total sudah ada 22 anggota di ALUDI, 4 sudah berizin dan 17 lainnya masih berproses di OJK untuk menjadi penyelenggara ECF. LandX jadi nama paling akhir mengantongi izin OJK.

Perluasan izin

Belum lama asosiasi juga mendapat kabar baik menyusul terbitnya POJK Nomor 57 Tahun 2020 yang mengatur securities crowdfunding (SCF) — secara formal disebut penawaran efek melalui urun dana. SCF merupakan perluasan bisnis dari ECF. Bedanya dengan ECF, badan usaha yang bisa melakukan urun dana tidak hanya perseroan terbatas atau koperasi. Itu artinya badan usaha seperti CV, NV, firma, dan lainnya boleh ikut melakukan urun dana di pasar modal.

Pemerintah resmi meluncurkan SCF pada pembukaan perdagangan bursa pekan lalu. Hadirnya SCF menambah alternatif pembiayaan untuk UKM dan startup. Menyambut hal itu, penyelenggara ECF tengah berlomba memperluas izin mereka untuk bisa menawarkan produk SCF ke publik.

“Saat ini penyelenggara ECF yang sudah memiliki izin sedang melakukan perluasan izin untuk bisa comply dengan POJK 57/2020,” tutur Reza.

Potensi pasar ECF dan SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan UKM, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menjaga kepercayaan publik, dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan.

Mengenal DeFi, Tren Baru dari Komunitas Blockchain dan Industri Keuangan

Jika ada satu tren dari komunitas blockchain terbesar dalam beberapa waktu terakhir, decentralization finance atau biasa disebut DeFi adalah jawabannya. DeFi menjadi cukup populer karena memadukan nilai-nilai utama blockchain ke dalam bisnis keuangan yang sudah ada selama ini.

DeFi umumnya berjalan dengan smart contract di atas platform Ethereum (ETH), salah satu aset kripto terpopuler selain Bitcoin (BTC). Smart contract tersebut memungkinkan DeFi berjalan secara otomatis tanpa kehadiran middleman atau pihak ketiga. Smart contract sendiri adalah bahas pemrograman. Inilah pembeda utama DeFi dengan institusi keuangan tradisional seperti perbankan yakni disintermediasi.

Pandu Sastrowardoyo dari Blocksphere menjelaskan bahwa konsep yang diusung DeFi sejatinya tidak baru-baru amat. Pandu melanjutkan pada dasarnya DeFi mengusung sistem keuangan terbuka yang artinya tidak ada kendali atau otoritas tertinggi yang biasanya dipegang oleh bank dalam produk keuangan tradisional.

“Jadi kekuatan dari DeFi adalah tidak ada institusi yang mengelola dan enggak ada pegawai karena ini ditentukan oleh smart contract dengan coding. Ini transparan bisa dilihat semua orang. Kalau di perbankan kita percaya pada perusahaan, brand, atau orangnya, di DeFi kita percaya dengan smart contract,” jelas Pandu.

Produk DeFi yang ada saat ini rata-rata menyasar bisnis lending. Beberapa produk DeFi yang sudah cukup terkenal di dunia di antaranya adalah Compound, MakerDAO, dan Synthetic. Namun sesungguhnya potensi DeFi bisa menyapu semua jenis bisnis di industri keuangan. Tabungan, pinjaman, trading, hingga asuransi menurut Pandu dapat ditawarkan dengan protokol DeFi.

Meski potensi DeFi cukup luas, lending menjadi sektor yang paling digemari para penyelenggara protokol DeFi. Pada dasarnya cara kerja DeFi ditentukan dua hal penting, yakni smart contract dan token. Kedua hal ini yang menggantikan seluruh proses yang dijalankan oleh middleman/pihak ketiga di centralized finance (CeFi).

Di DeFi yang menghasilkan produk lending, borrower dapat memperoleh dananya dengan menjaminkan aset kripto yang ada. Bunga yang dipasang juga bersifat dinamis. Model yang digunakan dalam sistem DeFi memungkinkan borrower membayar lebih murah jika permintaan pinjaman yang ada lebih sedikit. Sebaliknya, jika permintaan sedang tinggi, lender atau investor bisa memperoleh bunga yang lebih tinggi.

Sebelum 2020, produk DeFi sebenarnya sudah bermunculan. Namun keberadaannya baru menjadi sensasi sejak tahun lalu. Ini bisa dilihat dari total nilai yang terkunci di dalam ETH pada 2020 mencapai $14,74 miliar atau sekitar Rp206 triliun, meningkat pesat dari total nilai 2018 dan 2019 yang hanya ratusan juta dolar saja.

Selain nilai bitcoin yang terus melejit dan diminati pasar, kenaikan drastis DeFi juga disebabkan penerimaan regulator. Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission), misalnya, membuat keputusan besar dengan menyetujui dana kelolaan berbasis ethereum pada Juli lalu. Di samping itu, pemain-pemain besar industri keuangan, seperti JP Morgan dan ANZ, mulai memakai blockchain untuk diintegrasikan ke sistem mereka.

Semarak DeFi pun sudah mulai berlangsung di Tanah Air. Meski produk-produk DeFi di sini masih bisa dihitung dengan jari, perbincangannya di komunitas kripto dan keuangan cukup ramai. VynDAO, UNYdex, dan Tadpole Finance merupakan contoh DeFi buatan dalam negeri. Pengecualian untuk Tadpole, DeFi rintisan Indodax tersebut justru sudah melantai di Bithumb Global, sebuah bursa di Korea Selatan yang memperdagangkan fiat dan kripto.

Terlepas dari segala keunggulannya, DeFi juga punya sejumlah tantangan. Pertama, blockchain tidak sepenuhnya bebas dari ancaman keamanan. Berikutnya nilai jaminan yang masih terlampau tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari nilai pinjamannya sendiri. Pandu juga menambahkan ada faktor ancaman penipuan yang memanfaatkan hype DeFi.

“Ini bisa terjadi karena bikin DeFi itu gampang banget. Bikin sekarang aja pun bisa,” ucap Pandu.

Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) Oham Dunggio mengatakan kemunculan DeFi yang cukup sensasional sejak tahun lalu menjadi berkah tersendiri. Meski secara konsep yang dibawa tidak baru-baru sekali, namun Oham menilai DeFi sanggup menggerakkan entitas-entitas bisnis berinovasi lebih jauh di atas jaringan blockchain. Oham meyakini perusahaan-perusahaan di Indonesia segera mengadopsi inovasi anyar tersebut meski hanya sekadar eksperimen saja.

Hype dari DeFi ini lebih banyak positifnya ketimbang hype yang dibawa ICO (initial coin offering) dulu. Sebab DeFi ini lebih fokus ke produk, tidak seperti ICO yang lebih fokus menghimpun uang,” pungkas Oham.

Gredu to Close Series A Funding, Mapping for Expansion This Year

Edtech becomes one of the few sectors that has been gaining positive impact during the pandemic. The new online habit of teaching and learning activities through digital channels has made Gredu’s distance learning system the best option for schools. Entering the new year, Gredu aims for expansion as the next focus.

Gredu’s Sales Lead, Theresia Andina said that the team is targeting to collaborate with at least 200 schools or convertible to 70 thousand new users for the first quarter of this year. The expansion will be focused on areas such as Pangandaran, Yogyakarta, Tangerang, Cirebon, and Southeast Sulawesi.

“From 2021 onwards, there is still a great potential in Indonesia to be explored, although each school has different facilities and infrastructure,” Andina said.

Market expansion certainly requires additional capital. Andina mentioned that Gredu has prepared to raise another funding round this year. “Series A funding in the middle of the year,” she added.

When Gredu introduced the school digitization app in January 2020, they announced the pre-series A funding led by Vertex Ventures. Meanwhile, in the seed funding round, they received fund from angel investors and Global Wakaf Corporation.

2021’s current plans

In addition to school collaboration for distance learning, Andini explained, Gredu had done several other things. Some of these include running mobile assistance campaigns for students in need of online training.

Starting from here, Gredu claims to have 350 thousand users across Jabodetabek, West Java, East Kalimantan, Aceh, West Sumatra, Bengkulu, Bangka Belitung and Ambon.

The number of school partners increased significantly, from under a hundred to 300 schools. Andini said this condition would not last forever because the pandemic would end and teaching and learning activities would return to normal.

However, Andini optimistic their learning management system (LMS) platform will not be left out by the school after the pandemic. The reason is, she thought, what has changed after the pandemic will be limited to teaching and learning activities, but not for other school management activities.

“Therefore, we will continue exploring ways to digitize all the processes. Therefore, all the necessary processes at school will be provided by Gredu,” Andini said.

Gredu alone has been around since 2016 with the founding team Mohammad Fachri (CTO), Rizky Anies (CEO), and Ricky Putra (COO). In January 2020, they introduce a school digitization platform which turned out to be aligned with the school’s needs affected by the pandemic.

With a B2B business model, Gredu offers SaaS services to digitize school processes from attendance, scheduling, teaching, and learning activities, to monitoring channels for parents of students.

According to data summarized by the Edtech Report 2020 released by DSResearch, the education management platform has indeed become one of the fastest-growing innovations in Indonesia and the regional market. Apart from Gredu, in Indonesia, there are also several startups that offer similar services, including Quintal, InfraDigital, and Codemi.

Edtech in SEA

In June 2020, InfraDigital has secured the series A Funding led by AppWorks after receiving seed funding in February 2019.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gredu Segera Rampungkan Pendanaan Seri A, Tahun Ini Gencarkan Ekspansi

Edtech adalah satu dari segelintir sektor yang mendapat dampak positif selama pandemi berlangsung. Kegiatan belajar mengajar yang berganti rupa melalui kanal digital menjadikan sistem pembelajaran jarak jauh milik Gredu terus dilirik sekolah-sekolah. Memasuki tahun baru, Gredu menatap ekspansi sebagai fokus berikutnya.

Sales Lead Gredu Theresia Andina mengatakan, pihaknya menargetkan menggandeng minimal 200 sekolah atau setara 70 ribu pengguna baru untuk kuartal pertama tahun ini. Ekspansi akan dipusatkan ke daerah-daerah seperti Pangandaran, Yogyakarta, Tangerang, Cirebon, dan Sulawesi Tenggara.

“Dari 2021 hingga seterusnya masih besar potensi yang bisa digarap di Indonesia walaupun sarana dan prasarana di tiap sekolah masih berbeda-beda,” ujar Andina.

Ekspansi pasar tentu membutuhkan modal tambahan. Andina menambahkan Gredu memang telah menyiapkan rencana untuk kembali menggelar babak pendanaan pada tahun ini. “Rencana seri A di pertengahan tahun,” imbuhnya.

Saat Gredu memperkenalkan aplikasi digitalisasi sekolah pada Januari 2020, mereka sekaligus mengumumkan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Vertex Ventures. Sementara pada babak pendanaan awal, mereka mendapat suntikan dari angel investor dan Global Wakaf Corporation.

Rencana lain untuk 2021

Selain menggandeng sekolah-sekolah untuk menggelar pembelajaran jarak jauh, Andini menjelaskan, Gredu sudah melakukan beberapa hal lainnya. Beberapa di antaranya adalah mengadakan kampanye bantuan gawai untuk siswa yang membutuhkan hingga menggelar pelatihan daring.

Berangkat dari upaya tersebut, Gredu mengklaim sudah memiliki 350 ribu pengguna yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Ambon.

Pertumbuhan jumlah sekolah yang digandeng Gredu pun meningkat pesat dari awalnya hanya puluhan, kini menjadi 300 sekolah. Andini mengatakan kondisi ini tidak akan berlangsung selamanya karena pandemi pun pasti bakal berakhir dan kegiatan belajar mengajar kembali seperti semula.

Namun Andini ragu setelah pandemi platform learning management system (LMS) mereka akan ditinggal sekolah. Pasalnya menurut dia yang berubah setelah pandemi akan sebatas kegiatan belajar mengajarnya saja, tapi tidak untuk kegiatan manajemen sekolah yang lain.

“Maka dari itu kita akan terus survei untuk mencari cara mendigitalisasi semua proses yang dibutuhkan. Jadi semua proses yang dibutuhkan satu sekolah akan di-provide oleh Gredu,” jelas Andini.

Gredu sendiri sudah ada sejak 2016 dengan pendiri Mohammad Fachri (CTO), Rizky Anies (CEO), dan Ricky Putra (COO). Baru pada Januari 2020 mereka memperkenalkan platform digitalisasi sekolah yang ternyata bertepatan dengan kebutuhan sekolah yang terkena dampak pandemi.

Dengan model bisnis B2B, Gredu menawarkan layanan SaaS untuk mendigitalisasi kebutuhan sekolah mulai dari presensi, penjadwalan, kegiatan belajar mengajarnya, hingga kanal pengawasan bagi orang tua siswa.

Menurut data yang dirangkum Edtech Report 2020 yang dirilis oleh DSResearch, platform manajemen pendidikan memang menjadi salah satu inovasi yang berkembang pesat di Indonesia dan pasar regional. Selain Gredu, di Indonesia juga ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa, di antaranya Quintal, InfraDigital, dan Codemi.

Edtech in SEA

InfraDigital sendiri pada Juni 2020 lalu baru saja membukukan pendanaan seri A yang dipimpin AppWorks setelah sebelumnya dapatkan pendanaan awal pada Februari 2019.

Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Penjualan Mobil Bekas Meningkat Selama Pandemi, Carro Bukukan Pertumbuhan Bisnis

Sebuah studi bertajuk Indonesian Autos dari HSBC Global Research menemukan 90% respondennya beralih ke kendaraan pribadi selama masa pandemi ini. Di saat yang sama penjualan mobil baru masih jauh dari pulih. Di sisi lain, penjualan mobil bekas kian melonjak.

Carro, salah satu pemain marketplace untuk mobil bekas, mendapati berkah tersebut. Perusahaan rintisan yang bermarkas di Singapura itu mengklaim mengalami kenaikan permintaan hingga 600%. Angka itu terbilang besar untuk industri otomotif yang terpukul cukup dalam akibat pandemi sepanjang tahun.

Co-Founder Carro Aditya Lesmana memaparkan, pencapaian itu ditengarai oleh daya beli masyarakat yang menurun dan lebih berhemat dalam membelanjakan uangnya selama wabah berlangsung. Namun karena wabah juga, pasar beralih dari transportasi publik ke kendaraan pribadi agar terhindar dari ancaman virus saat bepergian. Carro ikut mereguk keuntungan dari kondisi ini.

“Selama pandemi Covid-19, Carro sendiri telah mengalami lonjakan jual beli mobil bekas bersertifikat yang dapat diuji coba dari rumah dan dibeli secara online,” ujar Aditya.

Data dari Lokadata menunjukkan penjualan mobil bekas tumbuh 80% pada Agustus kemarin. Dalam periode yang sama, penjualan mobil baru yang perlahan mulai pulih, masih tumbuh di angka 45% saja. Dan semua itu terjadi dengan catatan penjualan mobil secara year on year turun 47,8% per Oktober 2020. Hal ini memperkuat minat pasar di Indonesia masih kuat terhadap mobil bekas.

Aditya Lesmana menjelaskan, kenaikan permintaan yang mereka alami juga didorong oleh perubahan-perubahan dalam merespons kebutuhan pasar. Beberapa di antaranya adalah fitur test drive yang bisa dilakukan di tempat calon pembeli sehingga meminimalisasi kontak. Pembelian pun juga bisa diantar difasilitasi untuk dikirim langsung ke rumah pembeli.

“Tidak ada perubahan yang signifikan. Kami tetap melaksanakan rencana yang telah kami buat sejak beberapa tahun lalu dalam mengedepankan teknologi untuk memfasilitasi masyarakat agar dapat melakukan pembelian mobil secara contactless,” imbuh Aditya.

Carro sendiri memiliki model bisnis C2B untuk membantu konsumen menjual mobilnya; dan B2C untuk menjual mobil bekas yang dibeli dari konsumen. Di lanskap ini, mereka bersaing langsung dengan beberapa pemain, di antaranya OLX Autos dan Carsome.

Optimis Kian Tumbuh

Presiden Direktur Dyandara Promosindo Hendra Noor Saleh menilai pergeseran minat masyarakat ke mobil bekas masuk akal karena kondisi pandemi mendorong mereka beralih ke kendaraan pribadi namun dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Hendra pun yakin mereka yang bermain dengan memanfaatkan platform digital seperti Carro dapat bertahan dari tekanan ekonomi akibat pandemi.

“Di tengah tekanan yang diakibatkan pandemi Covid-19, industri otomotif harus bergerak cepat dan bertransformasi secara digital. Melalui penerapan teknologi akan muncul kekuatan baru bagi industri otomotif terutama dalam hal meningkatkan kualitas pelayanan dan interaksi dengan konsumen,” ujar Hendra.

Berkaca dari pencapaian tadi, Carro bersiap mereguk untung dari tren yang sedang berlangsung. Aditya Lesmana menjelaskan mereka berencana meluncurkan aplikasi untuk memudahkan konsumen dalam memantau penggunaan mobil hingga memeriksa jadwal perawatan. Sejumlah fitur baru juga akan mereka perkenalkan untuk mendukung kenyamanan pengguna.

“Kami terus berfokus dalam meningkatkan layanan ke konsumen sebagai pengguna akhir maupun showroom mobil bekas dengan menambahkan opsi asuransi mobil dan juga pembiayaan,” imbuh Aditya.

Aditya enggan menjawab angka penjualan mobil bekas yang ditargetkan oleh Carro untuk tahun ini. Namun ia optimis pencapaian mereka akan lebih baik seiring perekonomian yang diperkirakan akan membaik pada 2021.

“Kita mungkin tidak menjual mobil termurah tapi kita memberikan garansi mobil terlengkap,” pungkas Aditya.

Application Information Will Show Up Here

Quo Vadis Implementasi Blockchain di Indonesia

Tidak berlebihan rasanya jika menyebut 2020 sebagai tahun kejayaan bagi bitcoin. Cryptocurrency terpopuler di dunia menembus US$20.000 atau hampir Rp280 juta untuk satu kepingnya. Nilai Bitcoin naik drastis dari awal tahun yang masih di angka US$9.545 saja atau tumbuh satu kali lipat.

Namun yang akan kita bahas di sini bukanlah bitcoin melainkan blockchain. Sebagai teknologi yang memungkinkan keberadaan cryptocurrency seperti bitcoin, bisa dikatakan blockchain tak begitu dikenal oleh telinga masyarakat umum. Namun seperti banyak disebut dalam komunitas teknologi, blockchain adalah inovasi enabler yang akan mengubah banyak hal seperti yang dilakukan internet sejak 1990-an hingga saat ini.

Apa kabar blockchain

Nama blockchain ikut terangkat ketika harga bitcoin mulai populer. Sejak saat itu berangsur-angsur sejumlah pihak, bisnis maupun pemerintah, melirik dan mengadopsi teknologi pencatatan digital tersebut untuk memecahkan masalah mereka.

Kami berbicara dengan Oham Dunggio dan Pandu Sastrowardoyo dari Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) untuk mengetahui perkembangan terbaru penerapan blockchain di Indonesia.

Oham yang saat ini menempat posisi Chairman ABI mengatakan sudah cukup banyak institusi yang memanfaatkan blockchain. Namun kebanyakan penerapannya masih sebatas eksperimen. Menurut Oham, industri keuangan, khususnya perbankan, jadi yang paling getol melakukan eksperimen dengan blockchain ini.

“Mereka secara under the hood sudah eksperimen blockchain untuk mempermudah proses onboarding nasabah,” ucap Oham.

Salah satu produk industri ini yang dekat dengan masyarakat dan sudah menggunakan blockchain adalah QR Code Indonesia Standar (QRIS). Oham bercerita pemerintah mengembangkan QRIS dengan blockchain dalam jangka panjang hingga 2025. “Makanya waktu awal digunakan bisa scan satu QR Code saja,” imbuhnya.

Selain keuangan, sektor logistik juga sudah cukup familiar dengan penerapan blockchain. Oham mengatakan saat ini sudah ada beberapa perusahaan logistik yang mengadopsi blockchain untuk meningkatkan kelancaran pengantaran barang.

Contoh bagus diperlihatkan Direktorat Jenderal Bea Cukai Indonesia. Ditjen Bea Cukai menggandeng IBM Indonesia dan AP Moller – Maersk dalam mengaplikasikan TradeLens, platform blockchain, ke dalam sistem kerja mereka. Sebagai negara dengan ongkos logistik yang terbilang masih tinggi dibanding negara-negara lain, Ditjen Bea Cukai menyadari besarnya efisiensi yang bisa dicapai dari penerapan blockchain yang pada akhirnya bisa memangkas ongkos logistik di dalam negeri.

“Di Indonesia ongkos logistiknya tinggi sehingga competitiveness-nya rendah. Dengan adanya ini juga pasti akan memangkas biaya logistik,” ujar Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Agus Sudarmadi seperti dilansir Antara pada Februari 2020.

Sudah jadi pengetahuan bersama bahwa biaya logistik di Tanah Air tergolong besar. Saat ini biaya logistik mencapai 23,5% PDB. Indonesia menargetkan menekan angka itu hingga 17% dalam beberapa tahun ke depan.

Potensi lain yang tak bisa diabaikan

Pandu, yang saat ini menempati posisi VP of Consulting di Blocksphere, menatap dua sektor yang jauh dari bisnis komersial sebagai masa depan blockchain di Indonesia: pemilu dan media sosial.

Nilai utama blockchain adalah desentralisasi, transparansi, dan kekal. Dalam pemilu, Pandu berpendapat hasil penghitungan suara bisa dicatat ke dalam node blockchain. Dengan demikian kecurangan hingga perselisihan data perolehan suara bisa dihindari.

“Tapi sebaiknya penggunaan blockchain hanya untuk tabulasi saja, voting digital itu justru yang lebih tidak aman,” terang Pandu sembari mencontohkan Estonia dan Jepang sebagai negara yang sudah mengaplikasikan blockchain ke dalam pemilu mereka.

Dari lingkup media sosial, Pandu melihat penggunaan blockchain sebagai alternatif dalam mengakali penyensoran dan bias politik tiap platform media sosial. Mastodon, Teem, Hive.org adalah sedikit contoh media sosial yang telah mengadopsi blockchain. Nilai utama yang mereka tawarkan adalah desentralisasi, bahwa tak ada satu pun pihak yang punya kuasa lebih tinggi mana yang boleh ditampilkan ke publik dan mana yang tidak.

Terlalu cepat muncul

Oham Dunggio menaksir penggunaan blockchain akan semakin mainstream pada 2025 nanti. Menurutnya penerapan blockchain saat ini masih di tahap pertama merujuk kepada jumlah produk berbasis blockchain masih terbatas dan proyek-proyek yang bersifat eksperimen.

Di antara itu semua ada beberapa proyek blockchain yang justru muncul lebih cepat dari waktu seharusnya. Oham menyebut produk blockchain dari Hara sebagai contohnya. Hara yang beroperasi sejak 2015 dinilai punya konsep dan implementasi yang baik. Hanya saja Oham merasa kemunculan Hara terlalu cepat untuk sektor pertanian dalam negeri yang masih berjarak dengan pemanfaatan teknologi digital.

“Contoh di lapangan yang ingin mereka pecahkan itu kan pendanaan petani yang transparan dan lebih tepat sasaran, tapi kenyataannya di lapangan petani masih lebih suka berurusan dengan tengkulak. Dan tengkulak ini punya dampak positif dan negatifnya,” jelas Oham.

Melewati siklus hype

Jika merujuk pada Gartner Hype Cycle for Emerging Technologies, blockchain termasuk inovasi yang sudah melewati puncak ekspektasinya sejak 2018. Pandu pun merasa siklus overhype sudah selesai di Indonesia.

Sebagai orang yang kesehariannya mengurus blockchain, Pandu mengaku masih kerap melihat segelintir solusi berbasis blockchain yang tak melihat business value. Di samping itu, ia merasa makin banyak solusi enterprise mengandalkan blockchain. Faktor enterprise ini juga yang menurutnya menyebabkan banyak orang tak banyak tahu perkembangan inovasi blockchain di Indonesia.

“Bahkan ada beberapa solusi yang di back-end sudah pakai blockchain, tapi front-end masih sama saja. Konsumen cuma akan merasakan layanannya sudah lebih cepat. The hype will finish once everybody punya solusi yang tepat,” pungkas Pandu meyakini blockchain segera menjadi teknologi mainstream di Tanah Air.

Sementara itu Oham Dunggio melihat regulasi yang tepat tinggal menjadi penentu kapan solusi blockchain dapat segera membanjiri Indonesia. Oham bercerita ABI saat ini sedang membantu Kementerian Komunikasi dan Informatika menggodok regulasi yang tepat untuk produk-produk berbasis blockchain.

Setidaknya ada dua hal yang membuat Oham yakin regulasi blockchain akan segera keluar di Indonesia. Pertama adalah implementasi digital currency oleh JPMorgan. Kedua adalah dibukanya bursa jual-beli cryptocurrency oleh DBS di Singapura.

“Saya bisa sebutkan ada empat perbankan besar yang sudah mulai eksperimen. Saya rasa tinggal menunggu regulasi saja. Kalau sudah ada tinggal mereka gas,” tutup Oham.

Segera Rampungkan Pendanaan Pra-Seri A, Rata Fokuskan Ekspansi Domestik

Sebagai satu dari sedikit pemain teledentistry di Indonesia, Rata kian serius untuk meraih pasar yang lebih luas. Keinginan tersebut semakin terlihat seiring putaran pendanaan pra-seri A yang tak lama lagi mereka kantongi sebagai bekal pengembangan bisnis.

Clear aligner adalah ujung tombak dari bisnis Rata. Teknologi Rata memungkinkan aligner mereka menggerakkan gigi hingga 0,25mm di setiap nomor. Sebelum mengirim aligner, tim Rata akan meminta pasien mengisi kuesioner untuk mengetahui kondisi gigi pasien. Setelah memperoleh data, Rata akan membuat simulasi pergerakan gigi menggunakan sistem AI, dan akhirnya mencetak clear aligner yang akan dikirim ke pasien.

Rata mengklaim, selain faktor biaya, penggunaan aligner untuk memperbaiki bentuk gigi dianggap lebih praktis dalam perawatan dan lebih nyaman secara penampilan dibanding behel.

Co-Founder & CMO Rata Deviana Maria menyebut, pangsa pasar untuk clear aligner di seluruh Asia Tenggara mencapai $47,78 juta (sekitar Rp676 miliar) pada 2018 dan diprediksi akan terus meningkat. Deviana menilai porsi Indonesia dalam pangsa pasar tersebut masih begitu kecil. Namun Deviana sadar keadaan tersebut sekaligus menandakan ada ruang kesempatan yang cukup besar untuk mereka eksplorasi.

Keinginan Rata dituangkan ke dalam ekspansi bisnis ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Deviana menyebut ekspansi pasar di dalam negeri ini menjadi fokus mereka dalam satu tahun ke depan. “Kita akan melakukan ekspansi secara digital serta offline, dan Rata akan fokus di nasional terlebih dahulu pada tahun 2021,” imbuh Deviana.

Segera amankan suntikan modal baru

Rata memperoleh pendanaan awal dengan nominal tak disebutkan pada Agustus 2019. Hanya berselang setahun lebih Deviana Maria (CMO), Edward Makmur (CEO), Danny Limanto (CSO), Jason Wahono (CFO) segera mengamankan kepercayaan investor untuk menyuntikkan modal melalui putaran pendanaan pra-seri A. Rata menolak menyebut nominal pendanaan dan informasi detail lainnya. Namun bisa dipastikan di antara partisipan terdapat sejumlah investor regional.

“Terkait investasi pra-Seri A, kita masih belum bisa umumkan nama-nama investornya. Akan tetapi Alpha JWC Ventures ikut di putaran ini dan bekerja sama dengan investor regional. Untuk detail akan kami infokan nantinya,” jelas Deviana.

Pendanaan tersebut memungkinkan Rata mengebut dan memperbesar cakupan bisnisnya ke level nasional. Di samping itu mereka juga akan memanfaatkan dana segar tadi untuk mengembangkan inovasi terbaru.

Salah satunya adalah aplikasi mobile. Rata yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui situs web, kini sudah bisa dijangkau dengan aplikasi. Namun Deviana menambahkan aplikasi Rata belum bisa diakses terbuka ke semua orang. “Sifatnya masih undangan untuk para konsumen kami.”

Deviana percaya pendanaan baru yang segera mereka kantongi akan mendorong pertumbuhan bisnis lebih cepat. Mengklaim sebagai yang pertama menciptakan clear aligner secara in-house, Deviana mengatakan inovasi-inovasi mereka berikutnya akan berkutat untuk meningkatkan pengalaman pelanggan.

Lebih dari itu, masa pandemi juga membawa berkah tersendiri bagi teledentistry ini. Sebagaimana diketahui luas, wabah Covid-19 memaksa orang-orang mencoba layanan digital untuk menghindari kemungkinan terpapar virus. Tak terkecuali bagi Rata. Deviana mengatakan layanan konsultasi teledentistry meningkat signifikan.

Lalu saat disinggung mengenai peta kompetisi di mana mulai bermunculan layanan teledentistry serupa, Deviana mengaku tak gentar. Menurutnya apa yang ditawarkan oleh pemain-pemain tersebut masih sebatas teledentistry secara umum saja.

“Rata fokus untuk aligner treatment. Diharapkan ke depannya Indonesia akan lebih melek terhadap kesehatan gigi dan mulut. Untuk persaingan, kami rasa model bisnis kami cukup berbeda,” pungkas Deviana.

Cove Ramaikan Persaingan Layanan Co-Living di Indonesia

Industri proptech khususnya yang mengusung konsep co-living di Indonesia tampaknya kian ramai. Cove, proptech asal Singapura memperluas kehadirannya di Indonesia dengan setelah membukukan pendanaan seri A yang baru mereka umumkan.

Cove telah hadir di Jakarta sejak April 2020. Proptech yang bermarkas di Singapura ini dipimpin oleh Guillaume Castagne, Sophie Jackson, Luca Bregoli. Bertindak sebagai country director di Indonesia adalah Rizky Kusumo. Layanan tersebut menargetkan profesional muda dan mahasiswa sebagai pasarnya. Mereka mengklaim sudah memiliki total 550 kamar di Singapura dan Jakarta.

Guillaume melihat masalah yang muncul dalam industri penyewaan kamar yang kerap ditemui adalah harga yang tidak terjangkau; desain yang tak sesuai dengan cita rasa muda-mudi saat ini; pemeliharaan properti yang kurang baik; hingga proses penyewaan yang tidak fleksibel, lamban, dan tidak transparan.

“Cove mampu meningkatkan efisiensi ruang dan menciptakan produk yang sesuai dengan minat pasar milenial dan generasi Z yang sedang berkembang sehingga dapat memaksimalkan keuntungan bagi para pemilik aset,” jelas Guillaume.

Guillaume mengklaim yang membedakan Cove dengan pemain lain adalah prosesnya yang lebih mulus dan transparan dalam proses penyewaan. Di samping itu Cove menawarkan kamar yang sudah lengkap dengan perabotan, housekeeping berkala, pemeliharaan rutin, koneksi wifi, dan kontrak bulanan fleksibel.

Adapun sistem kerja sama yang mereka buat dengan pemilik properti ada beberapa jenis termasuk sistem bagi hasil. Laporan dari e27 menyebut Cove juga menawarkan jaminan pemasukan untuk pemilik properti. Namun satu yang pasti mereka menjamin tidak ada biaya bagi untuk middlemen.

“Kini okupansi kami sudah di atas 90 persen,” imbuhnya.

Baru mengantongi pendanaan seri A

Dalam jumpa media hari ini (16/12), Cove juga mengumumkan pendanaan seri A senilai $4,6 juta atau setara Rp64,84 miliar. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Keppel Land diikuti oleh Idinvest Partners-Eurazeo Group, Smarty City Venture Fund, dan Idinvest HEC Venture Fund.

Sebagai tambahan informasi, Cove mengamankan pendanaan awal pada September 2019 yang diikuti oleh Venturra Capital, Yuj Ventures, Investigate, dan Picus Capital.

Dengan pendanaan tersebut Cove meneguhkan fokus bisnisnya di Indonesia. Fokus pertama Cove masih di Jakarta dan sekitarnya, namun mereka juga berniat ekspansi ke kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, Bali, dan Semarang. Target mereka hingga pertengahan 2021 adalah menggandakan akuisisi semua kamar mereka hingga 1.000 unit.

“Cuma untuk ekspansi ke kota-kota baru pertama-tama kita harus tumbuh dulu di pasar utama kita yakni di Jakarta,” tukas Rizky Kusumo.

Setelah cukup yakin dengan pencapaian di Indonesia, negara berikutnya yang akan Cove singgahi adalah Vietnam dan Filipina. “Pasar di Indonesia itu nomor satu dalam prioritas,” pungkas Guillaume.

Hadirnya Cove di Indonesia jelas kian meramaikan persaingan proptech yang mengusung konsep co-living. RoomMe, Rukita, dan Flokq adalah beberapa contohnya. Belum lagi pemain lain seperti RedDoorz dan Bobobox yang turut mengeluarkan produk co-living.

Pandemi Dorong Perubahan Adopsi Aplikasi Kencan

“Pandemi membawaku ke sini” atau “bagaimana dengan hari-hari karantinamu” mungkin adalah dua jenis pembuka paling sering ditemui di layar aplikasi kencan hampir satu tahun belakangan ini. Jauh dari hiruk-pikuk isu kesehatan, bisnis jodoh ternyata melambung pesat akibat pandemi.

Semua berubah ketika wabah menghantam berkepanjangan seperti sekarang ini. Mengisolasi diri tanpa teman dan hilangnya kesempatan meraih intimasi karena terpaksa membatasi diri berinteraksi dengan seseorang adalah dua hal yang sulit dikompromikan. Keberadaan aplikasi kencan tak pernah sepenting sekarang.

“Saat ini sulit untuk menyangkal bahwa ‘kehidupan nyata’ bersifat fisik dan digital. Social distancing membantu semua orang memahami apa yang sudah kami ketahui di Tinder bahwa koneksi yang terbentuk sepenuhnya melalui sarana digital juga sama bermakna seperti yang terbentuk secara fisik,” ucap juru bicara Tinder Asia Pasifik kepada DailySocial.

Melambung pesat

Bukti eksistensi aplikasi kencan kian kuat terbukti dari angka penggunaan selama pandemi. Apptopia mencatat jumlah pengguna aktif harian (DAU) Tinder melonjak menjadi 5 juta dan Bumble menjadi 4,2 juta pengguna. Hitungan mereka, pada November 2020, sekitar 20 aplikasi kencan di AS memperoleh rata-rata gabungan 17 juta pengguna harian atau 2 juta lebih banyak dari DAU November tahun sebelumnya.

Riset lebih dekat dengan pengguna aplikasi kencan di Indonesia dilakukan Lunch Actually. Lewat metode survei yang dilakukan ke 3500 lajang di Singapura, Bangkok, Kuala Lumpur, Manila, dan Jakarta, Lunch Actually mendapati 41% responden menjawab tidak ingin sendirian selamanya. Sebanyak 31% lainnya mengaku pandemi menyadarkan mereka pentingnya memiliki pasangan hidup.

Grafik penggunaan aplikasi kencan di Amerika Serikat oleh Apptopia.
Grafik penggunaan aplikasi kencan di Amerika Serikat oleh Apptopia.

Video dating mulai diterima

Jika ada satu perubahan perilaku pengguna paling signifikan dalam aplikasi kencan itu adalah percakapan video yang mulai populer. Banyak penyedia layanan kencan daring beralih fokus menyajikan fitur video selama pandemi.

Di masa normal, mengajak teman kencan untuk bertatap muka melalui panggilan video bukan sesuatu yang umum. Lagi-lagi efek wabah yang berkepanjangan mengubah itu semua. Pengguna makin mewajarkan berbincang dengan teman kencannya via video. Para penyedia pun menangkap perubahan perilaku itu dengan meluncurkan fitur video chat di dalam aplikasi mereka.

Tinder menguji coba fitur panggilan video mereka yang bernama Face to Face sejak Juni dan akhirnya resmi meluncur secara global pada Oktober kemarin. Lunch Actually yang belum lama merilis aplikasi kencannya juga menjadikan video chat sebagai fitur utama yang dapat menarik pengguna.

CEO dan Co-Founder Lunch Actually Violet Lim menyebut dalam survei mereka sekitar 56% lajang yang menjadi responden telah mencoba video dating dan bersedia berkencan dengan metode tersebut. Responden dalam survei itu juga menyatakan fitur video call itu membantu mereka dalam menyaring orang-orang yang pada akhirnya ingin mereka temui di kehidupan nyata.

“Alternatif ini mungkin tidak bisa menggantikan kencan tatap muka namun dengan berbagai keunggulan yang dimiliki mampu memperkuat posisi video dating sebagai sebuah babak baru dalam hubungan berpacaran sehingga memungkinkan lajang menghemat waktu dan mengenal satu sama lain secara lebih baik sebelum menghabiskan lebih banyak waktu untuk bertemu secara langsung tanpa memperhitungkan jarak,” ungkap Violet.

Tinder menyebut faktor keamanan juga jadi pertimbangan hadirnya fitur Face to Face. Juru bicara Tinder Asia Pasifik mengatakan fitur itu dapat membantu pengguna dalam melaporkan kejadian tak mengenakkan yang mereka alami.

“Setiap kali pengguna kami merasa tidak nyaman saat menggunakan Face to Face Video, mereka selalu dapat mematikan panggilan [dan] melaporkan akun tersebut. Kemudian tim trust & safety kami akan menyelidikinya.”

Mencari hubungan lebih serius

Rasa kesepian selama berbulan-bulan kala pandemi cukup untuk mengubah cara pandang seseorang dalam mencari pasangan hidup. Jika sebelumnya layanan biro jodoh daring mendapati mayoritas penggunanya mencari hubungan yang bersifat kasual, saat ini mereka yang mencari hubungan yang lebih serius justru meningkat.

Survei Lunch Actually memperoleh fakta tersebut dari para respodennya. Sekitar 74% pengguna mengakui pandemi membuat mereka menginginkan hubungan yang serius. Sebanyak 54% responden merasa lebih jujur dalam berinteraksi dengan lawan bicaranya selama pagebluk ini. Terakhir, 53% responden membaca profile match mereka dengan lebih hati-hati dan saksama.

“Hasil survei kami menunjukkan bahwa pandemi telah meningkatkan keinginan mereka dalam menemukan cinta karena kondisi ini membuat mereka menyadari pentingnya memiliki pasangan hidup,” jelas Violet.

Sejurus dengan temuan Lunch Actually, survei yang dibuat Match, layanan biro jodoh daring asal AS, menunjukkan hal serupa. Dari 5.000 orang yang mereka survei, 58% di antaranya mengaku lebih bertujuan dalam mencari teman kencan, 63% menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengenal lebih baik pasangan potensial mereka, dan hampir 70% merasa lebih jujur dalam interaksinya.

Mengutip, Mashable, CEO Match Hesam Hosseini mengatakan perubahan tersebut menggeser orientasi pengguna mereka, yang sebelumnya cenderung ke hubungan yang lebih singkat seperti cinta satu malam, menuju hubungan yang lebih bertujuan.

Di Tengah Pandemi, Pomelo Tetap Optimis Eksekusi Strategi O2O

Pomelo mengumumkan keberadaan gerai offline pertamanya di Indonesia yang berlokasi di mal Central Park, Jakarta Barat. Akibat pandemi Covid-19, rencana platform fesyen asal Thailand ini tertunda sekitar satu tahun untuk memiliki gerai fisik pertama di Jakarta.

Keputusan Pomelo membuka gerai fisik di Jakarta terbilang cukup berani ketika banyak usaha ramai-ramai mengurangi kehadirannya secara fisik atau bahkan hijrah seluruhnya ke platform daring. Chief Retail Officer Pomelo Fashion Anders Heikenfeldt mengakui, keputusan mereka untuk membuka gerai fisik pertamanya di Jakarta mungkin akan dianggap aneh sejumlah pihak.

Kendati demikian Anders meyakini situasi pandemi ini juga membawa kesempatan untuk perusahaannya untuk terus berkembang terutama di Indonesia yang bagi mereka adalah tiga besar pasar terbesar di Asia Tenggara bersama negara asal mereka, Thailand, dan Singapura.

“Soal timing memang ada jadi tantangan, tapi jelas ada kesempatan yang besar di sini. Kami juga tidak bisa mengundur waktunya lagi karena tidak tahu kapan pandemi ini akan selesai,” terang Anders.

Anders juga menambahkan keberadaan toko fisik sudah tak terpisahkan untuk Pomelo yang mengusung konsep ominchannel dan online-to-offline (O2O). Selain membawa kredibilitas lebih ke konsumen, gerai fisik ini dianggap akan membawa nilai lebih bagi mereka yang merasa lebih nyaman membeli pakaian dengan mencobanya lebih dahulu.

“Jadi kami memberikan opsi ke mereka dengan tap, try, and buy. Kami berusaha menjangkau masyarakat lebih luas lewat dua kanal berbeda sehingga mereka lebih nyaman,” imbuh Anders.

Fitur Tap.Try.Buy adalah salah satu hal baru yang turut Pomelo perkenalkan bersamaan dengan gerai fisik pertama mereka. Fitur ini memungkinkan pelanggan memilih ribuan baju secara daring, pergi ke toko untuk mencoba sekian pakaian sudah dipilih, dan membayar hanya untuk pakaian yang hendak dibawa pulang.

AVP General Manager Pomelo Fashion Indonesia Frankhie mengklaim, gerai dan fitur baru itu mengundang cukup pengunjung saat hari pembukaan 4 Desember 2020 lalu. “Kita belum bikin promosi besar-besaran tapi antrean di toko sudah lumayan luar biasa. Itu terjadi juga karena protokol kesehatan dan kapasitas pengunjung yang kita batasi,” tukas Frankhie

Yang menarik dari gerai fisik Pomelo adalah gerai hanya akan memajang produk fesyen selera konsumen yang berbelanja di sana. Bisa dibilang apa yang ditampilkan di sana akan menjadi cerminan selera fesyen pelanggan yang memilih berbelanja di sana.

Hal itu dapat terjadi berkat kecerdasan buatan/AI yang mereka gunakan untuk mengumpulkan dan mengolah data dari pelanggan Pomelo. Dari jenis pakaian, gaya, hingga warna dapat dipelajari. “Jadi yang ada di toko itu bisa dibilang mencerminkan selera pelanggan di Jakarta Barat,” imbuh Frankhie.

Untuk memperkenalkan lebih jauh fitur dan gerai baru tersebut, Pomelo memasang sejumlah potongan harga yang cukup besar. Mereka juga memakai jasa influencer di media sosial untuk menjangkau pasar lebih luas.

Pomelo enggan membeberkan target untuk gerai barunya di Jakarta. Namun mereka menegaskan tak lama lagi membuka gerai lainnya di sejumlah lokasi di Jakarta.

“Toko kedua kita akan ada di Jakarta Selatan pada Q1 2020 nanti,” pungkas Frankhie.

Langkah Pomelo membuka gerai pertama selaras dengan tujuan awal mereka sebagai platform yang mengusung konsep O2O. Indonesia menjadi negara ketiga yang telah memiliki gerai fisik Pomelo setelah Thailand dan Singapura. Kini aplikasi Pomelo sudah diunduh lebih dari sejuta kali dengan 80% transaksi terjadi di ponsel.

Namun Pomelo bukanlah satu-satunya fashion tech dengan konsep O2O. Beberapa nama lain juga mengusung konsep serupa di Tanah Air seperti Hijup, dan Berrybenka.

Application Information Will Show Up Here