Berkat Ninja, Jumlah Streamer di Mixer Naik

Walau tak terlalu dikenal di Indonesia, Twitch merupakan platform streaming konten game dan esports terbesar di dunia. Itu tidak menghentikan Tyler “Ninja” Blevins untuk keluar dari Twitch dan menandatangani kontrak eksklusif dengan Mixer buatan Microsoft. Sebagai salah satu streamer paling populer, keberadaan Ninja diperkirakan akan mendongkrak popularitas Mixer, yang memang memiliki beberapa fitur unik.

Menurut laporan Streamlabs dan Newzoo, sejak Ninja bergabung dengan Mixer, total durasi konten yang disiarkan di Mixer memang mengalami kenaikan. Tidak tanggung-tanggung, pertumbuhan total durasi siaran Mixer pada kuartal tiga naik 188 persen jika dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain itu, jumlah channel di Mixer juga bertambah. Ini menunjukkan, semakin banyak streamer yang memutuskan untuk menyiarkan kontennya di platform buatan Microsoft tersebut. Kemungkinan, keberadaan Ninja menjadi salah satu alasan mnegapa semakin banyak streamer tertarik untuk membuat channel di Mixer. Sayangnya, bertambahnya jumlah streamer di Mixer tidak diiringi dengan naiknya jumlah penonton. Faktanya, durasi video ditonton di Mixer justru mengalami penurunan. Pada Q3 2019, total durasi video ditonton di Mixer hanya mencapai 90,2 juta jam, turun 10,6 persen dari tahun lalu. Meskipun begitu, pada Q3 2018, total durasi video ditonton di Mixer hanya mencapai 43,5 juta. Itu artinya, total durasi video ditonton di Mixer pada kuartal tiga tahun ini naik lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Sumber: Newzoo
Total durasi video ditonton di Mixer. | Sumber: Newzoo

Tentu saja, kepergian Ninja juga memengaruhi Twitch. Jumlah channel dan total durasi video disiarkan di platform itu menurun. Per kuartal ini, Twitch memiliki 3,77 juta channel, sementara total durasi video yang disiarkan di Twitch turun 2,3 juta jam dari kuartal lalu, menjadi 87,3 juta jam. Menariknya, total durasi video ditonton justru naik, meski tidak besar. Selain itu, jumlah penonton per channel juga naik menjadi 3,6 persen sementara jumlah concurrent viewer (CCV) naik 3,5 persen.

Sebenarnya, tidak aneh jika jumlah penonton atau total durasi video ditonton mengalami penurunan pada September. Pada bulan September, penonton di rentang umur 13-18 tahun telah kembali bersekolah, sehingga waktu mereka untuk menonton konten game dan esports di platform streaming berkurang. “Walau biasanya kami melihat adanya penurunan dalam total durasi video ditonton dari Agustus ke September, ada beberapa hal menarik yang terjadi di industri live streaming pada kuartal ini,” kata CEO StreamElements, Doron Nir, dikutip dari Dot Esports. “Misalnya, kepindahan Ninja ke Mixer ternyata tidak memiliki dampak yang sebesar yang diharapkan untuk merebut pangsa pasar Twitch.”

Sumber: StreamElements
Pangsa pasar platform streaming | Sumber: StreamElements

Pada Q3 2019, satu-satunya platform streaming yang berhasil menaikkan viewership mereka adalah Facebook Gaming. Hal ini terjadi berkat perombakan struktur media sosial mereka, yang mendorong para pengguna untuk mengakses Facebook Gaming. Pada kuartal tiga tahun ini, total durasi video ditonton di Facebook Gaming naik menjadi 53,4 juta jam dari 37 juta jam pada kuartal sebelumnya. Sekarang, Facebook Gaming menguasai 3,7 persen dari total pangsa pasar industri streaming. Sementara pangsa pasar YouTube turun menjadi 17,6 persen. Twitch masih mendominasi dengan pangsa pasar 75,6 persen.

Data ini menunjukkan bahwa satu streamer bintang seperti Ninja tidak cukup untuk membuat Mixer mengalahkan Twitch. “Satu hal yang menarik tentang keputusan Mixer untuk bekerja sama secara eksklusif dengan Ninja adalah meski Ninja tak memberikan pengaruh besar pada total durasi video ditonton, itu adalah cara yang bagus untuk mempromosikan merek Mixer, terutama karena Ninja juga bersedia melakukan wawancara panjang terkait keputusannya,” kata Nir, lapor Business Insider.

Sumber: The Esports Observer, Digital Trends

Tim dan Pemain Favorit Jadi Alasan Orang Indonesia Menonton Konten Esports

Menurut laporan Kepios yang diluncurkan pada Juli lalu, ada 26 persen pengguna internet Indonesia yang baru-baru ini menonton turnamen esports. Sementara jumlah pengguna internet yang menonton konten game mencapai 40 persen. Dengan asumsi ada 171 juta pengguna internetdi Indonesia, berarti ada 44,5 juta orang yang menonton turnamen esports secara langsung belum lama ini dan 68,4 juta orang menonton konten gaming.

Namun, game esports apa yang paling sering ditonton oleh masyarakat Indonesia? Menurut riset yang DSResearch lakukan bersama dengan JakPat Mobile Survey, kebanyakan orang Indonesia menonton Mobile Legends. Setidaknya saat riset dilakukan pada Juli lalu. Dari 1.445 responden, sebanyak 49,8 persen mengaku mereka senang menonton konten Mobile Legends. Selain Mobile Legends, game esports lain yang sering ditonton adalah Player Unknown’s Battleground (PUBG) Mobile dan Free Fire. Tiga game esports itu sama dengan tiga game esports yang responden sering mainkan ketika survei berlangsung.

Sumber: DSResearch
Sumber: DSResearch

Ketiga game itu adalah game mobile. Namun, itu bukan berarti tidak ada orang yang tertarik untuk menonton game esports untuk PC dan konsol. PUBG dan Dota 2 adalah game PC yang sering ditonton oleh responden baru-baru ini. Sebanyak 12,8 persen responden mengaku menonton PUBG dan 11,2 persen responden menonton Dota 2 belum lama ini. Sementara itu, FIFA menjadi game esports dari konsol yang sering ditonton. Sebanyak 12,5 persen responden mengaku menonton konten esports FIFA.

Alasan utama responden menonton konten esports adalah hiburan. Namun, cukup banyak responden yang mengaku menonton konten esports karena mereka ingin menonton tim favorit mereka (43,1 persen) atau menonton pemain favorit mereka (42,1 persen). Beberapa alasan lain seseorang menonton konten esports adalah karena gameplay yang seru dan game yang unik. Belakangan, pemerintah berusaha untuk memberikan infrastruktur internet yang lebih baik. Hal ini mendukung tren konsumsi video di Indonesia. Sementara itu, semakin banyak orang yang mengonsumsi konten video di platform seperti YouTube atau platform live streaming lainnya. Ini bisa menjadi cara bagi sponsor atau tim esports profesional untuk berinteraksi dengan para fans.

Sumber: DSResearch
Sumber: DSResearch

Lebih dari 40 persen responden mengatakan bahwa mereka menonton konten esports untuk melihat tim atau pemain favorit mereka. Ini merupakan kesempatan bagi tim profesional dan pelaku industri lainnya untuk mengembangkan ekosistem. Dengan membuat fans lebih aktif berinteraksi, tidak tertutup kemungkinan, ini akan menyediakan sumber pendapatan baru. Misalnya, pada Juli, EVOS Esports bekerja sama dengan brand streetwear agar mereka dikenal tidak hanya sebagai tim esports tapi juga merek lifestyle. Untuk menunjukkan bahwa mereka tidak main-main, mereka bahkan membuka flagship store pada bulan lalu.

Soal frekuensi menonton konten esports, 24,8 persen responden pria mengatakan bahwa mereka menonton konten esports setiap hari. Angka ini lebih rendah pada responden perempuan. Hanya 15,5 persen responden perempuan yang menonton konten esports setiap hari. Sementara tanpa membandingkan gender, 22,3 persen responden mengaku menonton esports setiap hari, 20,6 persen menonton dua sampai tiga kali dalam seminggu, dan 16,9 persen menonton konten esports empat sampai enam kali seminggu. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya senang untuk memainkan game esports, tapi juga menonton konten yang ada.

Dalam laporan Esports Market Tren 2019, DSResearch juga menjawab pertanyaan lain terkait tren di dunia esports, seperti game esports yang tengah ramai dimainkan atau platform yang digunakan untuk menonton konten game dan esports. Anda bisa mengunduh laporan itu di sini.

Sumber header: pxhere

Mobile Legends dan PUBG Mobile Jadi Game Esports Paling Populer di Indonesia

Sama seperti industri gaming, industri esports identik dengan kaum pria. Menurut riset dari DSResearch, hal itu masih berlaku di Indonesia. DSResearch bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey untuk mengadakan survei pada 1.445 responden. Survei yang diadakan pada Juli lalu itu ditujukan untuk orang-orang yang menggunakan smartphone atau PC untuk bermain game dan menonton konten esports. Dari survei tersebut, terlihat bahwa lebih dari 70 persen audiens esports di Indonesia merupakan laki-laki. Sementara dari segi umur, hampir 50 persen dari penonton esports ada di rentang umur 20-29 tahun. Menyoal kelas ekonomi, satu dari tiga penonton esports di Indonesia memiliki gaji pada rentang Rp3 juta-Rp5 juta.

Sumber: DSResearch
Pengelompokkan audiens esports. | Sumber: DSResearch

Sekarang, dengan semakin populernya esports, game yang diadu dalam sebuah turnamen juga semakin banyak. Game esports kini tidak hanya dimainkan pada PC, tapi juga konsol dan perangkat mobile. Genre game yang masuk dalam turnamen juga beragam, mulai dari game fighting seperti Tekken, First Person Shooter seperti CS:GO, Massive Online Battle Arena seperti Dota 2 di PC dan Mobile Legends untuk smartphone, sampai game kasual seperti Clash Royale.

Di Indonesia, game yang paling dikenal sebagai game esports adalah Mobile Legends. Sebanyak 78 persen responden tahu akan tentang game buatan Moonton tersebut. Game yang paling populer kedua adalah PUBG Mobile, diikuti dengan PUBG untuk PC, lalu Free Fire dan Dota 2. Tiga dari lima game esports yang paling dikenal di Indonesia merupakan game mobile. Ini bukanlah hal yang aneh. Indonesia adalah negara mobile-first. Kebanyakan masyarakat Indonesia mengenal internet pertama kali bukanlah melalui komputer, tapi melalui smartphone. Selain itu, tingkat penetrasi smartphone di Indonesia juga jauh lebih tinggi. Hal lain yang mendukung industri esports mobile di Indonesia adalah fakta bahwa smartphone dengan spesifikasi yang mumpuni kini memiliki harga yang semakin terjangkau.

Sumber: DSResearch
Delapan game esports paling populer di Indonesia. Sumber: DSResearch

Apa yang terjadi di Indonesia mirip dengan perkembangan industri esports di India. Di sana, game esports mobile, khususnya PUBG Mobile, juga sangat populer. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta yang ikut dalam turnamen PUBG Mobile yang diadakan. Dari segi prize pool, total hadiah untuk turnamen untuk PUBG Mobile juga semakin besar, menyaingi turnamen dari Dota 2 dan CS:GO, dua game yang sebelumnya mendominasi industri esports di India.

Satu hal yang menarik, game konsol dan game kasual juga cukup dikenal sebagai game esports di Indonesia. FIFA adalah salah satu seri game yang cukup populer di kalangan gamer Tanah Air. Sementara Clash Royale adalah salah satu game dengan genre kasual yang memiliki cukup digemari di Indonesia. Tahun lalu, Indonesia juga berhasil menyabet medali emas pada pertandingan eksibisi esports kategori Clash Royale di Asian Games. Ridel “BenZer Ridel” Yesaya Sumarandak, peraih medali emas itu, kini bergabung dengan tim Chaos Theory dan bertanding dalam Clash Royale League (CRL) 2019 Asia Season 2.

Dalam laporannya, DSResearch memberikan informasi lebih lengkap tentang industri esports di Indonesia, mulai dari frekuensi bermain game esports, frekuensi menonton, platform yang digunakan untuk menonton esports, sampai durasi penonton menonton konten esports. Untuk mendapatkan informasi lengkap itu, Anda bisa mengunduh laporan Esports Market Trends 2019.

Activision Blizzard Gandeng Nielsen untuk Pastikan Validitas Data Penonton Overwatch League

Perlahan tapi pasti, industri esports terus tumbuh, menjadikannya sebagai pembicaraan hangat. Nilai industri esports diperkirakan telah mencapai nilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Dalam waktu tiga tahun, angka tersebut diduga akan naik hingga hampir US$3 miliar. Jumlah penonton esports juga tak kalah besar. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, penonton esports tahun ini mencapai 194 juta dan akan naik menjadi 276 juta pada 2022. Karena itu, jangan heran jika semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor di industri esports.

Namun, masuknya merek-merek besar seperti Coca-Cola dan Audi berarti, para pelaku esports harus bisa menjamin validitas data mereka. Karena, perusahaan yang telah menjadi sponsor esports pasti ingin memastikan bahwa investasi yang telah mereka tanamkan tidak sia-sia. Data soal potensi pendapatan dan penonton esports memang terlihat mengagumkan. Sayangnya, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data biasanya berbeda-beda sehingga data dari satu sumber belum tentu bisa dibandingkan dengan data dari sumber lain. Terkadang, para pelaku industri esports sengaja menggunakan data yang membuat turnamen yang mereka selenggarakan atau game yang mereka buat terlihat sangat baik.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

“Di esports, ada banyak metrik yang sulit untuk dimengerti dan sulit untuk dibandingkan, seperti jumlah view, peak concurrents, dan total lama video ditonton. Karena semua orang berusaha untuk tampil sebagai yang terbaik dan menggunakan data dengan angka tertinggi, ini menciptakan masalah. Sulit bagi orang-orang untuk membandingkan data sehingga mereka justru membuat perbandingan yang salah. Meskipun ini bisa menjadi berita yang menarik, hal itu justru akan berdampak buruk pada industri dalam jangka panjang,” kata Kasra Jafroodi, Strategy and Analytics Lead, Activision Blizzard Esports, seperti disebutkan oleh The Esports Observer.

Menyadari hal ini, Activision Blizzard lalu bekerja sama dengan Nielsen. Kerja sama ini dimulai sejak April lalu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data Average Minute Audience (AMA) dari Overwatch League, liga dari salah satu game buatan Activision Blizzard. Data ini kemudian akan ditunjukkan pada sponsor atau calon sponsor turnamen tersebut. Laporan Nielsen kali ini akan membandingkan data streaming dari Overwatch League pada tahun ini dengan tahun lalu. Cara menghitung AMA sederhana, total durasi konten ditonton dalam menit dibagi dengan total lama siaran dalam menit.

Menurut Nielsen, AMA dari minggu pertama musim kedua Overwatch League adalah 440 ribu, naik 14 persen dari tahun lalu. Namun, setelah liga mulai berjalan, AMA Overwatwch League turun menjadi 313 ribu. Meskipun begitu, angka itu masih menunjukkan kenaikan sebesar 18 persen jika dibandingkan dengan rata-rata AMA pada musim pertama. Jafroodi mengatakan, data dari Nielsen terkait Overwatch League memang tak terdengar sefantastis data terkait esports lainnya. Meskipun begitu, dia percaya, data itu akan menguntungkan Activision Blizzard dalam jangka panjang karena para sponsor bisa mengerti dan percaya akan validitas data tersebut.

Overwatch League | Sumber: Wikimedia Commons
Overwatch League | Sumber: Wikimedia Commons

“Ketika Anda bicara soal merek atau perusahaan atau investor, penting bagi mereka untuk bisa membandingkan Overwatch League dengan olahraga tradisional, karena itu membantu mereka untuk mengerti bagaimana performa turnamen kami,” kata Jafroodi, menurut laporan AdWeek. ” Dan jika investasi mereka di Anda menunjukkan hasil positif, ini menjadi semakin berharga.” Menurutnya, salah satu pentingnya transparansi data di esports adalah untuk memupuk kepercayaan masyarakat dan investor.

Esports tidak akan mendadak menjadi olahraga terbesar di Amerika Serikat,” Jafroodi menjelaskan. “Namun, jika Anda bisa melihat pertumbuhan industri ini dan Anda memiliki data yang bisa dipercaya, mudah untuk melihat apa yang akan terjadi dalam 10 tahun mendatang. Anda justru akan mencurigai keadaan industri ketika Anda menggunakan data yang tak valid.” Activision Blizzard bukan satu-satunya publisher yang menggandeng Nielsen untuk mendapatkan data yang valid soal esports. Pada Juli lalu, Riot mengumumkan kerja samanya dengan Nielsen untuk mendapatkan data valuasi sponsorship di industri esports.

Sumber header: overwatchleague.com

Pemetaan Penonton dan Pemain Dota 2, LoL, CS:GO, Overwatch, dan Honor of Kings

Ada data menarik yang dikemukakan oleh salah satu penyedia data dan analisis Newzoo. Mereka menganalisa penonton di 12 negara di Amerika Utara dan Eropa. Ada lima game yang mereka perhatikan, yaitu Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Honor of Kings, League of Legends, dan Overwatch. Laporan ini memberikan gambaran lain tentang karakter penonton dan pemain esports.

Karakter penggemar esports berbeda-beda, tidak semua orang yang memainkan game esports menonton pertandingan dari game tersebut. Sebaliknya, tidak semua orang yang menonton esports memainkan game dari turnamen yang mereka tonton.

Menurut laporan tersebut, League of Legends adalah game dengan jumlah penonton dan pemain paling banyak dengan persentase 42 persen. Jumlah orang yang hanya memainkan game itu adalah 32 persen. Bersama dengan CS:GO, League of Legends juga menjadi game dengan jumlah penonton terbanyak. Jumlah orang yang hanya menonton League of Legends adalah 26 persen sementara total penonton CS:GO mencapai 23 persen. Honor of Kings dan Overwatch adalah game yang memiliki paling sedikit orang yang hanya menonton pada 14 persen.

Anda bisa melihat persentase jumlah penonton, pemain, dan penonton serta pemain dari masing-masing game pada tabel di bawah.

Penonton esports
Sumber: Newzoo

Dari laporan ini, Newzoo juga menemukan bahwa ada segmen penonton dan pemain pasif — yang mereka sebut “Popcorn Gamers” dan “Backseat Viewers” — yang lebih suka menonton orang lain bermain game daripada memainkan game itu sendiri. “Fakta bahwa konten esports yang biasanya dikonsumsi dengan pasif, ditambah dengan kesukaan fans pada tim dan pemain profesional, dua hal ini mendorong konsumen ke franchise game — bahkan setelah mereka berhenti bermain game, baik untuk sementara atau selamanya,” tulis Newzoo, dikutip dari Esports Observer.

Mereka juga menyebutkan, meski sebagian publisher berusaha mendorong penonton untuk ikut bermain, sebagian penonton akan lebih memilih untuk hanya menonton. Ini berarti, orang-orang itu hanya bisa dijangkau via turnamen esports. Dan semakin banyak jumlah penonton turnamen esports, penyelenggara akan bisa mendapatkan uang dari menjual hak siar ke media.

Sumber: Newzoo
Sumber: Newzoo

Dalam laporan Global Esports Economy Will Top $1 Billion for the First Time in 2019, Newzoo menyebutkan bahwa tahun ini, pemasukan esports mencapai US$1,1 miliar. Sponsorship memang masih menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi sebesar 41,5 persen dari total pendapatan dengan nilai US$456,7 juta, naik 34,3 persen dari tahun lalu. Namun, hak siar media merupakan sumber pendapatan yang dengan pertumbuhan terbesar dari tahun lalu. Tahun ini, hak siar media memberikan kontribusi sebesar 22,8 persen dengan nilai US$251,3 juta, naik 41,8 persen dari tahun lalu.

Audiens game MOBA di Tiongkok

Dalam laporan terbarunya, Newzoo juga mengamati perilaku audiens game Massive Online Battle Arena (MOBA) di Tiongkok. Tiga game pilihan Newzoo adalah League of Legends, Dota 2, dan Honor of Kings. Dari ketiga game itu, Honor of Kings (di Indonesia dikenal sebagai AOV – Arena of Valor), yang merupakan satu-satunya game mobile, memiliki penonton perempuan paling banyak dengan persentase 44 persen.

Esports di Tiongkok
Sumber: Newzoo

Lalu menurut Interpret, meski pemain game konsol atau PC perempuan tidak banyak — hanya 35 persen dari total jumlah pemain — kasual gamer yang lebih sering memainkan game di mobile justru lebih didominasi oleh perempuan dengan angka 66 persen.

Dari studinya, Newzoo juga menyebutkan bahwa para penggemar game di Tiongkok memiliki ketertarikan yang berbeda-beda. Misalnya, penonton League of Legends juga senang dengan mobil dan motor sementara penonton Dota 2 senang dengan card game atau board game. Dengan mengetahui ketertarikan lain dari para penggemar esports, perusahaan yang ingin menjadi sponsor bisa menargetkan audiens dengan lebih akurat dan memastikan bahwa target konsumen mereka memang sama dengan tim atau turnamen yang mereka dukung.

Sumber header: Nikkei Asian Review.

Tren Tontonan Esports Global di 2018 dan Implikasinya dengan Industri Esports Indonesia

Jika berbicara mengenai industri esports Indonesia, pasar kita mungkin memang unik dan berbeda dari tren yang terjadi di pasar global. Beberapa waktu yang lalu, ESC mengeluarkan hasil riset mereka untuk tren tontonan esports di 2018. Mari kita bahas hasil riset mereka dan mencoba menjawab implikasinya terhadap perkembangan industri esports Indonesia.

Tanpa basa-basi lagi, mari kita bahas bersama satu persatu hasil risetnya sebelum saya mencoba menjawab implikasinya.

Turnamen Esports paling Populer

Sumber: ESC
Total durasi sebuah turnamen ditonton (dalam jam). Sumber: ESC

Dari statistik di atas, yaitu turnamen yang paling lama ditonton (dalam satuan jam), League of Legends (LoL) masih menyita waktu terbanyak dengan World Championship 2018 mereka. Di posisi kedua, ada turnamen Dota 2 paling bergengsi di dunia, TI8. Di posisi ketiga dan keempat, ada turnamen CS:GO. Posisi kelima kembali diisi oleh LoL. Sedangkan sisanya ke belakang diikuti oleh berbagai turnamen Dota 2.

Biar lebih menarik dan dapat dipahami oleh orang awam soal esports, berikut ini adalah game yang dipertandingkan dari 10 turnamen yang paling lama ditonton tadi:

  1. League of Legends (LoL)
  2. Dota 2
  3. Counter Strike: Global Offensive (CS:GO)
  4. Counter Strike: Global Offensive (CS:GO)
  5. League of Legends (LoL)
  6. Dota 2
  7. Dota 2
  8. Dota 2
  9. Dota 2 & CS:GO
  10. Dota 2
Jumlah turnamen dengan penonton terbanyak. Sumber: ESC
Jumlah turnamen dengan penonton terbanyak. Sumber: ESC

Untuk statistik turnamen dengan jumlah penonton terbanyak, hasilnya sedikit berubah karena ada single game competition, PUBG dan Fortnite, yang masuk 10 besar dan ada Asian Games 2018 yang mempertandingkan 6 game. Meski demikian, catatan untuk Asian Games 2018, ESC memasukkan turnamen tersebut ke dalam kategori LoL. Jadi, saya tidak tahu apakah hanya penonton LoL saja yang dicatat atau keseluruhannya.

Berikut ini adalah game yang dipertandingkan dari statistik kedua:

  1. LoL
  2. CS:GO
  3. Dota 2
  4. CS:GO
  5. 6 game (LoL, Arena of Valor, Clash Royale, Hearthstone, Pro Evolution Soccer, StarCraft II)
  6. LoL
  7. Fortnite
  8. PUBG
  9. Fortnite
  10. Fortnite

Dari 2 statistik tentang turnamen esports paling populer di pasar global tadi, mungkin hanya Dota 2 yang punya irisan cukup besar dengan pasar Indonesia. League of Legends sudah dihilangkan liga profesionalnya di Indonesia (LGS) tahun 2018. CS:GO juga demikian. Jika saya tidak salah ingat, hanya ada 2 turnamen berskala besar di Indonesia yang mempertandingkan CS:GO sepanjang 2018 yaitu IESPL (Tokopedia Battle of Friday) dan IEG 2018. Fortnite? Apalagi… Belum ada turnamen tatap muka (offline) berskala besar untuk game ini di Indonesia, meski di Amerika sana Fortnite sudah jadi sebuah fenomena sosial. PUBG mungkin yang masih lumayan mendekati Dota 2 jika berbicara soal popularitas esports-nya (untuk platform PC) di Indonesia. Namun, popularitas PUBG sendiri di sini malah dikalahkan oleh versi mobile-nya.

Fakta menariknya, banyak orang di Indonesia justru salah kaprah menyebutnya PUBG PC dan PUBG Mobile. Padahal, tidak ada yang namanya benar-benar PUBG PC; karena yang benar adalah PUBG (yang ada di platform Xbox One, PS4, dan PC) dan PUBG Mobile.

Esports Game Mobile yang paling Lama Ditonton

Game mobile yang esports-nya paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC
Game mobile yang esports-nya paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC

Di platform mobile, pasar global juga sepertinya berbeda jauh dengan pasar Indonesia. Arena of Valor mendominasi pasar esports global. Padahal di Indonesia sendiri, Garena punya ‘anak emas’ baru yang bernama Free Fire yang bisa menyaingi dominasi Mobile Legends di sini. PUBG Mobile juga sepertinya kalah popularitasnya di luar sana. Padahal di sini, PUBG Mobile jelas masuk 3 besar esports mobile paling populer (bersama dengan Mobile Legends dan Free Fire).

Untuk 2 game besutan Supercell, Clash Royale dan Clash of Clans, yang masuk daftar di atas memang cukup populer di Indonesia beberapa tahun silam. Namun, saya sendiri belum pernah dengar ada turnamen Clash of Clans berskala besar di 2018 di tingkat nasional. Clash Royale juga terakhir saya dengar turnamennya hanya ada di Asian Games 2018.

Statistik Organizer Turnamen yang paling Lama Ditonton

Sumber: ESC
Sumber: ESC

Dari semua organizer yang ada di statistik di atas, hanya ESL dan Garena yang ada di Indonesia. Garena sendiri juga sebenarnya, menurut saya, tidak bisa dimasukkan sebagai organizer. Pasalnya, sepengetahuan saya, pendapatan terbesar mereka justru dari peran mereka sebagai publisher game, bukan organizer layaknya ESL.

Di Indonesia sendiri, organizer esports yang mungkin turnamennya paling banyak ditonton adalah yang besutan RevivalTV dan Mineski Event Team.

ESL sendiri di Indonesia memang baru mulai. Jadi, baru di 2019 ini nanti kita bisa melihat apakah mereka juga akan mendominasi pasar Indonesia dan mengalahkan RevivalTV dan MET. Selain melihat perkembangan ESL di sini, menarik juga untuk cari tahu apakah organizer esports yang biasa menggarap turnamen internasional di daftar di atas (seperti PGL, MLG, OGN, ELEAGUE, dkk.) akan tertarik untuk menggarap pasar Indonesia.

Implikasinya dengan Industri Esports Indonesia

Tim esports yang paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC
Tim esports yang paling lama ditonton (dalam jam). Sumber: ESC

Sebenarnya masih ada beberapa data lain yang dibuka oleh ESC di sana seperti tim esports yang paling banyak ditonton dan yang lainnya. Namun data-data yang saya sadur kali ini adalah yang ingin saya analisa untuk melihat implikasinya dengan industri esports Indonesia.

Mari kita bahas bersama.

1. Industri Esports Indonesia dalam ‘Bubble’

Berhubung kebanyakan EO (Event Organizer) besar dan sponsor esports di Indonesia hanya memilih untuk menggarap apa yang sedang ramai di pasar lokal, trennya akan terus seperti ini; tidak alligned / sejalan dengan pasar global.

Saya pribadi menilai hal ini tak sepenuhnya negatif juga sebenarnya. Positifnya, game-game yang kesulitan mencari popularitas di pasar global bisa menggarap pasar Indonesia yang punya volume besar. Bagaimanapun juga, Indonesia adalah negara keempat dengan populasi terbanyak (di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat).

Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Contoh yang paling mudah adalah Mobile Legends. Dari 2017, Moonton sudah cukup banyak mengalokasikan dana untuk menggarap esports Indonesia. Diakui atau tidak, faktanya, Moonton adalah salah satu faktor besar dari kebangkitan esports di tanah air. Free Fire juga dapat mengikuti jejaknya di tahun 2019 ini. Bagaimana dengan PUBG Mobile? PUBGM punya keunikan sendiri yang akan saya bahas di bagian berikutnya.

Sayangnya, menurut saya, tren yang tidak sejalan tadi juga punya dampak negatif. Dampak negatifnya adalah industri esports Indonesia akan jadi lebih sulit mendapatkan investasi / perputaran uang dari para sponsor yang mengincar pasar global. Maksud saya seperti ini, brand internasional biasanya punya anggaran pemasaran dan penjenamaan (marketing dan branding) untuk pasar global yang jumlahnya amit-amit besarnya. Namun, karena tren esports kita berbeda dari pasar global, anggaran besar tadi mungkin tidak akan masuk ke Indonesia.

Misalnya saja Intel. Intel adalah salah satu brand terbesar di industri teknologi. Mereka juga punya event esports berskala internasional yang bernama Intel Extreme Master (IEM). Namun, IEM sendiri biasanya lebih dikenal sebagai turnamen Major untuk CS:GO. Berhubung popularitas CS:GO di Indonesia semakin menurun, kecil sekali kemungkinannya IEM akan ada di Indonesia.

Selain itu, sejumlah brand internasional juga sebenarnya sudah menjadi sponsor esports di Indonesia (baik itu tim ataupun turnamen). Namun anggaran yang dipakai untuk itu adalah anggaran untuk pasar lokal, yang jumlahnya pasti jauh lebih kecil dibanding untuk pasar global.

IEM Katowice 2019. Sumber: ESL
IEM Katowice 2019. Sumber: ESL

Sebelum salah kaprah, saya tidak menihilkan adanya sejumlah faktor lain juga yang berpengaruh terhadap masuknya anggaran pasar global ke industri esports Indonesia. Namun, menurut saya, tren esports kita yang berbeda ini juga ikut berpengaruh.

Di sisi lain, tren yang berbeda ini tetap ada sisi positifnya jika masih berbicara soal sponsor. Merek-merek atau perusahaan lokal jadi punya peluang untuk mengeluarkan investasi di industri esports Indonesia. Kenapa?

Andaikan saja seperti ini, jika ada satu turnamen besar berskala internasional di Indonesia yang mampu menarik anggaran global tadi, saya kira tidak banyak perusahaan nasional yang bisa atau berani menandingi angka investasi itu.

Namun demikian, hal ini juga berarti industri esports Indonesia akan kesulitan untuk scaling ke angka yang masif layaknya industri esports Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, ataupun Tiongkok.

2. Masa Depan Pro Player Indonesia

Kevin Susanto saat bertanding di IEM Sydney. Sumber: ESL
Kevin Susanto saat bertanding di IEM Sydney. Sumber: ESL

Selain skala industri esports Indonesia yang sulit ke tingkat internasional, hal yang sama akan terjadi untuk para pemain kita – setidaknya untuk game-game tertentu.

Jika sebagian besar pelaku industri esports kita masih pada pendiriannya untuk menggarap apa yang ramai di Indonesia dan tidak berani mencoba hal yang berbeda, masa depan para pemain kita juga akan memiliki batasan yang rendah. Karena itulah, buat para pemain Indonesia yang ingin menggeluti game-game kurang laris di sini, jalan terbaik menuju panggung internasional adalah dengan cara meninggalkan Indonesia.

Contoh soal ini juga sudah terlihat jelas dengan melihat 3 pemain kita yang saat ini bermain untuk tim luar negeri. Adalah Kevin ‘xccurate’ Susanto dan Hansel ‘BnTeT’ Ferdinand yang saat ini bermain untuk tim CS:GO Tiongkok, TYLOO. Satu lagi pemain kita yang bermain untuk tim luar negeri adalah Kenny ‘Xepher’ Deo yang bermain untuk (TNC) Tigers. Ketiga pemain tersebut masa depannya jauh lebih cerah ketimbang para pemain lokal game-game tertentu yang mungkin masih bertahan bermain di Indonesia.

Solusi ini sebenarnya juga sudah dilakukan oleh para pemain di negara-negara yang game-nya tak laris di sana. Salah satu contoh pemain yang saya ingat di luar kepala adalah Damien ‘kpii’ Chok. Damien adalah pemain Dota 2 asal Australia yang mengadu nasib keluar dari negaranya karena scene Dota di sana memang tak berkembang maksimal.

Jadi, saya tahu saran ini mungkin terdengar pesimistis, namun jika Anda ingin bermain secara profesional di game-game tertentu, masa depan Anda akan lebih cerah jika Anda punya target dan keberanian untuk keluar dari Indonesia.

Buat tim yang sudah jadi pun, cara ini juga bisa jadi solusi yang masuk akal. Misalnya saja untuk tim Dota 2 dari BOOM ID ataupun EVOS Esports. Kedua tim ini bisa dipindah basecamp-nya ke luar negeri untuk mencoba peruntungan dan masa depan yang lebih cerah. Jika Eropa ataupun Amerika Serikat terlalu mahal biayanya, ada Tiongkok, Singapura, ataupun Filipina yang bisa jadi alternatif lokasi basecamp baru.

Kenapa hal ini masuk akal? Karena faktanya, jika kita berbicara soal ajang kompetitif, skill kita juga ditentukan oleh siapa saja lawan yang biasa kita hadapi. Selain itu, dengan memindahkan basecamp ke sana, tak hanya para pemain yang bisa mendapatkan pengalaman berharga, manajemen tim juga memiliki peluang untuk menggaet sponsor baru ataupun talenta-talenta baru yang mungkin tak tersedia di Indonesia.

Mungkin, satu-satunya halangan terbesar hanyalah soal biaya yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup di sana. Namun, jika menghitung peluang yang mungkin didapat, saya kira ongkosnya cukup sepadan untuk dibayarkan.

3. Tren Esports Internasional Baru yang Berawal dari Indonesia

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile

Terakhir, sebelum artikel ini jadi terlalu panjang. Saya kira ada peluang positif besar dengan tren esports Indonesia yang berbeda jauh dengan tren global. Peluang tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat tren baru untuk tingkat global.

Namun demikian, hal ini memang sangat sulit dilakukan karena hanya ada beberapa pelaku yang mungkin punya kapasitas dan modal untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat baru tren esports internasional. Point Blank sebenarnya dulu memiliki momentum ini ketika mereka jadi game terlaris di Indonesia. Namun, skala nasional dan internasional itu jelas berbeda tingkat kesulitannya (dan modalnya).

Di aspek inilah saya kira PUBG Mobile punya posisi unik. Menurut data dari ESC di atas tadi, PUBG Mobile memang masih belum mendominasi untuk esports di platform mobile di tingkat internasional. Namun di Indonesia, game ini bisa dibilang sebagai 1 dari 3 yang terlaris. Dari 3 esports mobile terlaris di Indonesia, mungkin memang hanya PUBG Mobile yang punya peluang terbesar untuk mendominasi tren esports global. Pasalnya, bukan bermaksud meremehkan Moonton (Mobile Legends) dan Garena (Free Fire), Tencent memang jelas sudah berbeda kelas dari kapasitasnya sebagai pelaku industri game raksasa di kelas internasional.

Meski demikian, punya kemampuan itu juga bukan berarti punya kemauan… Apakah menjadikan Indonesia sebagai pusat esports PUBG Mobile dunia ada di agenda mereka? Saya tidak tahu…

Kemauan dan agenda publisher tadi juga bukan satu-satunya faktor untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat tren esports baru di tingkat internasional. Satu lagi faktor besar dalam ekosistem yang dibutuhkan adalah EO yang mampu menggarap turnamen-turnamen kelas internasional dan menjangkau pasar global.

Menurut saya, setidaknya ada 3 hal yang wajib yang harus dilakukan untuk menjangkau pasar internasional. Hal pertama adalah adanya shoutcaster berbahasa Inggris di setiap event. Kedua, publikasi di media ataupun sosial media yang juga berbahasa Inggris tentang event tersebut. Ketiga, jaringan yang kuat dari EO ataupun publisher game tersebut dengan ekosistem esports internasional.

Di Indonesia sendiri, saya kira saat ini sudah ada 2 EO yang punya peluang untuk ke sana; yaitu Mineski Event Team dan ESL. Namun kembali lagi pertanyaannya, apakah mereka mau?

Penutup

Akhirnya, mungkin memang hanya saya sendiri yang tak puas melihat perkembangan industri esports Indonesia jika hanya sebatas pada kelas nasional. Namun, jika boleh jujur, saya sungguh percaya bahwa kita mampu turut berpengaruh dalam perkembangan esports dunia.

Saya percaya orang-orang kita, baik itu dari sisi pro player ataupun para profesional di industrinya, punya kapasitas untuk turut meramaikan pasar global. Hanya saja, saya kira masalahnya ada di mindset dan ambisinya. Apakah kita akan puas dan berbangga diri melihat pencapaian industri esports Indonesia yang hanya besar di tingkat lokal? Atau apakah kita mau berusaha dan berjuang lebih keras untuk menantang dunia?