Film Ready Player One yang Mengambil Tema VR Rupanya Juga Dibuat Menggunakan Teknologi VR

Tanpa harus mengangkat virtual reality sebagai tema utamanya pun Ready Player One sebenarnya sudah sangat menarik untuk ditonton berkat banyaknya cameo dan referensi pop culture yang muncul di sepanjang film. Nyatanya, film tersebut jadi penuh intrik karena berhasil menggambarkan peran VR di masa depan, meski sedikit menjurus ke arah ekstrem.

Adalah Steven Spielberg yang berhasil meramu formula tersebut menjadi keseruan selama dua jam lebih. Sutradara gaek itu berhasil memvisualisasikan OASIS secara brilian. OASIS, seperti diceritakan dalam novel asli Ready Player One karya Ernest Cline, adalah dunia virtual yang tak hanya berfungsi sebagai game MMORPG, tapi juga sebagai peradaban alternatif.

Lalu yang mungkin memicu pertanyaan, bagaimana cara Spielberg mengarahkan banyak sekali adegan film yang mengambil tempat di OASIS, mengingat OASIS sendiri murni merupakan hasil karya seniman-seniman digital yang tergabung dalam timnya? Jawabannya adalah VR. Ya, teknologi yang menjadi tema utama Ready Player One tersebut rupanya juga memegang peranan penting selama proses pembuatannya.

Steven Spielberg directing Ready Player One using VR headset

Seperti dijelaskan pada video behind-the-scene (BTS) di bawah, VR sudah dilibatkan sejak aset-aset visual (concept art) film selesai dibuat oleh tim Industrial Light & Magic. Berbekal aset-aset tersebut, tim Digital Domain diberi kepercayaan untuk membangun versi virtual-nya (3D), yang kemudian dapat dieksplorasi langsung oleh Spielberg.

Dari situ Spielberg bisa langsung mengenakan VR headset – HTC Vive dalam kasus ini – lalu mulai mengarahkan adegan demi adegan. Ia bahkan bisa langsung merekam adegan menggunakan controller Vive, yang dalam ranah virtual diterjemahkan menjadi sebuah kamera, sebelum akhirnya semuanya dipoles lebih lanjut oleh timnya.

Jadi kalau ada yang beranggapan bahwa fungsi VR tidak lebih dari sekadar medium baru video game, Anda bisa mentontonkannya video BTS Ready Player One ini. VR punya potensi besar dalam pembuatan film, dan ini sudah dibuktikan oleh sosok sekelas Steven Spielberg.

Sumber: CinemaBlend.

Aplikasi Streaming Oculus TV Resmi Diluncurkan untuk VR Headset Oculus Go

Dijual seharga $199 saja, Oculus Go pada dasarnya bisa dilihat sebagai perangkat home theater murah meriah. VR headset tipe standalone tersebut mengemas panel display sebesar 5,5 inci dengan resolusi 2560 x 1440 (538 ppi), dan ketika dikenakan, pengguna dapat merasakan sensasi menonton TV seukuran 180 inci.

Juga sangat mendukung adalah sifatnya yang portable, yang berarti ‘home theater‘ ini bisa kita bawa-bawa dan nikmati kapan saja dan di mana saja. Maka dari itu, tidak mengejutkan apabila tim Oculus bersedia meluangkan waktunya untuk mengembangkan aplikasi khusus bernama Oculus TV.

Oculus TV

Pada dasarnya hampir semua layanan streaming video, baik live maupun on-demand, dapat diakses melalui Oculus TV. Beberapa layanan memang membutuhkan subscription, dan ini tetap berlaku ketika pengguna mengaksesnya lewat Oculus TV.

Tampilan aplikasinya sengaja dibuat seminimal mungkin dengan merujuk pada suasana nyaman yang biasa didapat di suatu lounge. Salah satu sumber konten yang menjadi andalan adalah Facebook Watch, tidak heran mengingat Facebook memang merupakan induk perusahaan Oculus.

Oculus TV

Ke depannya Oculus TV bakal kedatangan lebih banyak layanan streaming. Untuk sekarang, pengguna Oculus Go sudah bisa mengunduhnya secara cuma-cuma, dan nantinya aplikasi ini juga bakal dijadikan aplikasi default pada headset tersebut.

Yang masih tanda tanya sejauh ini adalah apakah aplikasi ini juga bakal hadir buat Gear VR. Di halaman Oculus Store, Gear VR tertera sebagai “unsupported devices“, membuat kita berspekulasi bahwa aplikasi ini eksklusif buat Oculus Go saja.

Sumber: Oculus.

Google dan LG Pamerkan Prototipe Display VR Headset Beresolusi Sangat Tinggi

Setahun yang lalu, Google membeberkan rencananya untuk mengembangkan teknologi display beresolusi tinggi untuk VR headset. Untuk mewujudkannya, mereka menggandeng salah satu produsen panel OLED ternama. Dan sekarang kita tahu produsen yang dimaksud adalah LG, sebab Google sudah punya prototipenya, diumumkan melalui sebuah jurnal ilmiah.

Prototipe panel OLED berdimensi 4,3 inci ini mengemas resolusi sebesar 18 megapixel (3840 x 4800), sedikit di bawah yang mereka umumkan dulu, tapi setidaknya masih dengan angka kerapatan pixel setinggi 1.443 ppi. Lebih istimewa lagi, refresh rate-nya mencapai 120 Hz, dan sudut pandangnya cukup luas di angka 120 x 96 derajat.

Sebagai acuan, Google bilang bahwa penglihatan manusia bisa mencapai resolusi sebesar 9600 x 9000, dengan kerapatan pixel 2.183 ppi dan sudut pandang seluas 160 x 150 derajat. Prototipe buatan Google dan LG memang belum selevel itu, tapi setidaknya jauh di atas VR headset yang ada sekarang.

Prototipe panel OLED 4,3 inci beresolusi 18 megapixel yang dikembangkan Google dan LG / Wiley Online Library
Prototipe panel OLED 4,3 inci beresolusi 18 megapixel yang dikembangkan Google dan LG / Wiley Online Library

Contoh yang ada sekarang adalah HTC Vive Pro, yang masih gres dan menjanjikan kualitas display lebih superior ketimbang Vive orisinil. Display perangkat itu terdiri dari dua panel OLED 3,5 inci, masing-masing beresolusi 1440 x 1600 pixel (615 ppi). Refresh rate-nya pun cuma 90 Hz, dan sudut pandangnya tidak lebih dari 110 derajat.

Kendalanya, setidaknya untuk sekarang, adalah keterbatasan performa chipset perangkat mobile, di mana display yang terdiri dari dua panel 18 megapixel ini hanya bisa berjalan di refresh rate 75 Hz. Singkat cerita, display ini masih belum ideal untuk mobile VR headset, dan itulah mengapa Google dan LG masih enggan berbicara mengenai ketersediaannya.

Sumber: The Verge.

HTC Vive Pro Resmi Dipasarkan Seharga $799, Vive Orisinil Turun Harga

Sempat mencuri perhatian selama event CES 2018 berlangsung, HTC Vive Pro akhirnya mendapat tanggal rilis dan banderol harga resmi. Pre-order atas VR headset itu sudah dibuka sekarang juga dengan harga $799, akan tetapi konsumen yang memesan baru akan menerima barangnya mulai 5 April mendatang.

$799 tergolong sangat mahal, apalagi mengingat ini hanya untuk headset-nya saja, belum termasuk PC dan lainnya. Kendati demikian, Vive Pro memang menawarkan resolusi yang nyaris 80% lebih tinggi ketimbang pendahulunya (2880 x 1600 pixel dibanding 2160 x 1200 pixel), dan lagi ia juga datang bersama headphone terintegrasi.

HTC Vive Pro

Lebih lanjut, Vive Pro turut mengemas sepasang kamera depan yang tidak ada pada pendahulunya. Kamera ini berfungsi untuk menangkap informasi kedalaman (depth), yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk merealisasikan fitur-fitur seperti hand tracking tanpa bantuan controller.

Kabar baiknya, Vive Pro kompatibel dengan sistem SteamVR Tracking 1.0 maupun 2.0, yang berarti pengguna Vive orisinil hanya perlu membeli headset-nya saja kalau mau. Di samping itu, konsumen yang membeli Vive Pro sebelum 3 Juni juga akan mendapat bonus uji coba gratis layanan berlangganan Viveport selama enam bulan.

HTC Vive

Kalau itu semua masih terasa terlalu mahal, Anda masih punya alternatif lain, yaitu Vive orisinil, yang sekarang sudah turun harga dari $599 menjadi $499 untuk bundel lengkapnya. Konsumen juga akan dibonusi Fallout 4 VR beserta akses ke Viveport selama dua bulan.

Kehadiran Vive Pro sejatinya tidak langsung membuat Vive orisinil jadi obsolete. Pada kenyataannya, Vive orisinil juga kompatibel dengan aksesori Vive Wireless Adaptor yang diumumkan bersamaan dengan Vive Pro, yang mampu mengeliminasi jumlah kabel yang mengganggu selama sesi VR berlangsung.

Sumber: HTC Vive.

Motorola Dirumorkan Bakal Merilis Moto Mod Berupa VR Headset

Motorola belum merilis smartphone baru tahun ini. Yang ada justru adalah dua Moto Mod baru yang ditujukan untuk keperluan medis dan produktivitas. Sekarang, beredar rumor bahwa Motorola sedang bersiap merilis Moto Mod baru berupa VR headset.

Rumor ini datang bersama bocoran gambar dari salah seorang leaker kondang, Evan Blass. Dari gambarnya, tampak bahwa Moto Mod ini bakal dinamai Virtual Viewer, dan bentuknya pun tidak jauh berbeda dari Samsung Gear VR ataupun Google Daydream View, lengkap dengan pengikat kepalanya.

Sebagai Moto Mod, sudah bisa dipastikan sambungannya memanfaatkan pin khusus milik seri Moto Z, sedikit berbeda dari VR headset lain yang mengharuskan pengguna untuk menyelipkan ponsel ke dalamnya. Juga tergolong langka (di kategori VR headset mobile) adalah lubang untuk kamera ponsel.

Moto Mod Virtual Viewer

Kemungkinan besar, berkat adanya lubang ini, kombinasi headset dan ponsel jadi bisa menyuguhkan konten augmented reality, meskipun hanya secara mendasar dan tidak terlalu kompleks. Namun ini hanya sebatas spekulasi saja, sebab Motorola memang benar-benar masih bungkam terkait eksistensi aksesori ini.

Terlepas dari itu, sangat rasional bagi Motorola untuk ikut terjun ke ranah VR, apalagi mengingat mereka adalah satu-satunya yang bisa dibilang cukup berhasil menerapkan konsep semi-modular.

Sumber: Engadget.

Arcade Center Khusus VR Dibuka di Dubai, Andalkan Headset StarVR

Masih ingat dengan StarVR? Berbeda dari Oculus Rift ataupun HTC Vive, StarVR ditujukan buat kalangan enterprise, dan bersamanya datang spesifikasi yang cukup fenomenal: dua layar sekaligus, masing-masing beresolusi 2560 x 1440 pixel, dengan sudut pandang total seluas 210 derajat.

Perangkat tersebut bukan lagi sebatas prototipe, dan Anda sudah bisa menikmatinya sekarang juga. Sayangnya, Anda harus berangkat ke Dubai untuk itu, di mana baru saja dibuka semacam arcade center bernama VR Park di Dubai Mall.

Konsepnya kurang lebih mirip seperti VR Zone Shinjuku di Jepang, hanya saja yang menjadi bintang di sini adalah headset StarVR itu tadi – meski entah mengapa foto resmi yang saya dapat menunjukkan pengunjung yang memakai HTC Vive.

Headset StarVR itu harusnya seperti ini / Starbreeze
Headset StarVR itu harusnya seperti ini / Starbreeze

Total ada delapan VR experience yang ditawarkan VR Park berdasarkan hasil kolaborasinya dengan Starbreeze selaku pengembang StarVR. Ada yang bertema John Wick, The Mummy, dan The Walking Dead, lalu ada pula yang berwujud film dengan CGI (computer-generated imagery) yang amat mendetail.

Judul yang cukup populer seperti Payday: The VR Heist pun juga tersedia pada arcade center seluas 7.000 m² tersebut. Namun yang lebih menarik lagi adalah The Raft dan APE-X. Keduanya merupakan game VR multiplayer, dengan cara bermain kurang lebih seperti yang bisa Anda lihat pada gambar header artikel ini.

VR Park Dubai

Selain virtual reality, VR Park sebenarnya juga menawarkan sejumlah pengalaman augmented reality (AR), plus teknologi-teknologi eksperimental lain macam indoor rollercoaster. Terlepas dari itu, kehadiran suatu tempat bermain khusus VR seperti ini paling tidak bisa membantu teknologi tersebut jadi lebih mainstream dan merambah lebih banyak konsumen.

Sumber: UploadVR dan Starbreeze.

HTC Vive Pro Mampu Mendeteksi Tangan dan Objek Tanpa Bantuan Perangkat Ekstra

Peningkatan kualitas grafik dan audio merupakan gagasan utama di balik HTC Vive Pro, VR headset kelas atas yang diungkap belum lama ini di ajang CES. Namun kalau melihat penampilannya, tampak sepasang kamera di bagian depan yang absen pada pendahulunya. Saat mengumumkan, HTC tidak bicara banyak soal fungsi kedua kamera ini selain untuk merangsang kreativitas developer.

Beruntung ada Engadget yang meminta klarifikasi langsung dari HTC, sehingga kita bisa menjauhi spekulasi-spekulasi liar yang beredar. Berdasarkan penjelasan salah satu petinggi HTC Vive, Raymond Pao, kedua kamera di bagian depan Vive Pro itu berfungsi untuk mendeteksi tangan dan objek lainnya.

Pernyataan ini mematahkan spekulasi bahwa kedua kamera itu merupakan modul tracking luar-dalam seperti milik Vive Focus, tidak ketinggalan juga spekulasi lain yang mengatakan bahwa kamera ini bakal menghadirkan kapabilitas AR buat Vive Pro. Pada kenyataannya, fungsinya jauh lebih sederhana dari yang kita bayangkan.

HTC Vive Pro

Kedua kamera tersebut mengemas resolusi VGA, alias sangat rendah untuk standar sekarang. Fungsi utamanya adalah untuk menangkap informasi kedalaman (depth) dari jarak satu sampai dua meter, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk merealisasikan fitur di mana perangkat bisa mengingatkan pengguna agar tidak tersandung objek di sekitarnya selagi penglihatannya teralihkan ke realitas virtual.

Fungsi lainnya adalah untuk mendeteksi tangan pengguna beserta pergerakannya tanpa harus melibatkan controller maupun perangkat ekstra seperti Vive Tracker. HTC menambahkan bahwa fungsi hand tracking-nya ini masih tergolong level mendasar, jadi dengan kata lain, aksesori seperti Vive Tracker masih punya peran apabila dibutuhkan kinerja tracking yang lebih presisi.

Sumber: Engadget via UploadVR.

HTC Ungkap Vive Pro dengan Resolusi dan Tingkat Kenyamanan Lebih Tinggi

Persaingan di ranah virtual reality diprediksi bakal kembali menguat di tahun 2018 ini, utamanya berkat kategori headset baru bertipe standalone macam Oculus Go dan HTC Vive Focus. Namun bagi HTC, mereka rupanya belum lupa akan segmen VR high-end yang juga didudukinya. Bukti dari komitmen mereka tersaji melalui Vive Pro.

Vive Pro adalah suksesor sejati Vive orisinil. Tidak seperti Vive Focus yang mengutamakan aspek kepraktisan, Vive Pro benar-benar mengedepankan performa di atas segalanya. Ia masih harus tersambung ke PC berspesifikasi kelas atas, tapi resolusi display OLED-nya kini naik menjadi 2880 x 1600 pixel (615 pixel per inci), atau nyaris 80% lebih tinggi.

Peningkatan resolusi berarti semuanya akan tampak lebih tajam di Vive Pro, termasuk halnya judul game AAA macam Fallout 4 VR. Tidak hanya visual yang diprioritaskan, audio pun turut dijunjung tinggi lewat sepasang headphone yang kini terintegrasi dengan perangkat, seperti Oculus Rift.

HTC Vive Pro

Desain fisik Vive Pro juga sudah dirombak secara cukup signifikan, yang kini berbalut warna biru sehingga bakal tampak senada dengan Vive Focus. Strap kepalanya dipastikan bisa terasa lebih nyaman, dan pengguna sekarang bisa menyesuaikan distribusi bobot antara bagian belakang dan depan headset secara manual.

Juga baru adalah kehadiran sepasang mikrofon dengan teknologi noise cancelling aktif, serta sepasang kamera yang menghadap ke depan layaknya sepasang mata seperti di Vive Focus. HTC bilang bahwa penambahan ini dimaksudkan untuk merangsang kreativitas developer, menjadi indikasi akan gameplay yang lebih variatif pada koleksi konten Vive ke depannya.

Vive Wireless Adaptor

Bersamaan dengan Vive Pro, HTC juga mengumumkan Vive Wireless Adaptor. Sesuai namanya, aksesori ini dirancang untuk menyulap Vive maupun Vive Pro menjadi wireless, menggantikan peran kabel dalam meneruskan data dari PC ke headset.

Dibandingkan produk serupa yang sudah ada di pasaran, macam TPCAST, kinerja perangkat ini diyakini jauh lebih unggul berkat pengadopsian teknologi WiGig rancangan Intel. WiGig pada dasarnya memungkinkan perangkat untuk beroperasi di frekuensi 60 GHz yang minim gangguan, sehingga latency pun bisa ditekan secara cukup drastis.

Sayangnya sejauh ini HTC masih bungkam soal harga dan ketersediaan Vive Pro maupun Vive Wireless Adaptor. Dalam kesempatan yang sama di gelaran CES 2018, HTC turut mengumumkan versi baru platform Viveport VR yang telah didesain ulang menjadi lebih immersive, serta kemitraannya bersama Vimeo melalui Vive Video.

Sumber: HTC Vive.

VR Headset Pico Goblin Bisa Beroperasi Tanpa Bantuan Smartphone atau PC

2018 bakal menjadi babak baru bagi industri virtual reality dengan dimulainya tren standalone VR headset macam Oculus Go dan HTC Vive Focus. Namun sebelum keduanya menjajah pasaran, startup VR bernama Pico ingin lebih dulu mencuri start.

Perangkat besutannya, Pico Goblin, sudah tersedia saat ini juga seharga $269. Banderol tersebut bakal memberikan konsumen sebuah VR headset yang bisa beroperasi secara mandiri tanpa perlu diselipi smartphone atau disambungkan ke PC, plus sebuah controller mungil ala Google Daydream.

Pico Goblin

Performa Goblin ditunjang oleh chipset Qualcomm Snapdragon 820. Memang bukan yang terbaik mengingat Vive Focus datang dengan Snapdragon 835, tapi setidaknya masih termasuk kategori high-end meski dari generasi lawas. Melengkapi prosesornya adalah RAM DDR4 berkapasitas 3 GB dan penyimpanan internal sebesar 16 GB.

Yang lebih mengesankan justru adalah display berukuran 5,5 incinya yang mengemas resolusi sebesar 2560 x 1440 pixel, setara dengan Oculus Go. Dipadukan dengan controller-nya, Goblin menawarkan tracking 3DoF (three degrees of freedom), yang artinya perangkat bisa mendeteksi gerakan kepala secara bebas, tapi tidak untuk langkah kaki.

Pico Goblin

Untuk urusan konten, Pico rupanya cukup percaya diri dengan platform racikannya sendiri. Sejauh ini mereka bilang sudah ada lebih dari 70 game dan ratusan video 360 derajat yang bisa dinikmati oleh konsumen Goblin.

Terlepas dari itu, yang berpotensi menjegal kesuksesan Pico Goblin justru adalah banderol harganya, yang ternyata lebih mahal $70 jika dibandingkan Oculus Go. Situasinya akan semakin memburuk seandainya HTC juga menjajakan Vive Focus di kisaran $200.

Sumber: Pico.

Google Sedang Kembangkan VR Headset dengan Display OLED Beresolusi 20 Megapixel per Mata

Sebagai teknologi yang masih tergolong baru, wajar apabila virtual reality masih menemui sejumlah tantangan yang menghambat kematangannya. Salah satunya terkait mobilitas, akan tetapi kemunculan VR headset seperti Oculus Go dan Vive Focus setidaknya sudah bisa menjadi jawaban atas isu yang satu ini.

Problem yang lain adalah perihal resolusi. Kebanyakan VR headset yang ada sekarang hanya menawarkan resolusi 2K atau 4K saja. Ini bukan masalah di smartphone yang jaraknya agak jauh dari mata, tapi di VR headset, bahkan resolusi 4K pun masih bisa terlihat kurang tajam akibat posisi display yang begitu dekat dengan mata pengguna.

Singkat cerita, konsumen mendambakan VR headset yang beresolusi lebih tinggi. Itulah mengapa perangkat seperti Pimax eksis, yang menawarkan total resolusi 8K dan sudut pandang seluas 200 derajat. Namun bagi Google resolusi 4K per mata rupanya masih kurang, dan mereka punya target yang lebih tinggi lagi.

Dalam event SID Display Week yang dihelat bulan Juni lalu, Clay Bavor yang menjabat sebagai Vice President di divisi VR Google sempat mengumumkan suatu proyek rahasia di mana mereka sedang bekerja sama dengan salah satu produsen panel OLED ternama untuk menciptakan VR headset ber-display OLED yang punya resolusi 20 megapixel per mata.

Angka ini sekitar 10 kali lebih tinggi dibanding yang sudah ada sekarang, dan Clay lanjut menjelaskan bahwa kesan menggunakannya seperti mendapati sepasang TV 4K yang dipasangkan di depan mata, lalu diperbesar ukurannya 2,5 kali lipat. Tidak hanya beresolusi tinggi, performanya pun dijamin tidak kurang dari 90 fps.

Tantangan berikutnya adalah, display secanggih ini membutuhkan bandwith data yang luar biasa besar, kurang lebih 50 – 100 Gb/s kalau menurut Google. Andaikata ada GPU yang sanggup me-render data grafis sebesar itu, tetap saja mustahil untuk meneruskan semua datanya ke VR headset tanpa lag.

Solusinya menurut mereka bisa dicapai dengan memanfaatkan teknologi foveated rendering. Teknologi ini sejatinya memanfaatkan kamera pada headset yang aktif memonitor pergerakan mata, sehingga grafik hanya akan di-render dalam resolusi penuh pada bagian di mana mata melihat.

Sejauh ini belum ada yang berani memperkirakan kapan VR headset yang kedengarannya sangat fenomenal ini bakal mendarat sebagai produk final yang bisa dibeli konsumen, namun saya kira perjalanan Google masih cukup panjang.

Sumber: Road to VR.