Pengguna Oculus Rift dan Samsung Gear VR Kini Bisa Melakukan Refund Atas Game yang Dibeli

Sama seperti ketika TV 4K baru mulai tersedia di pasaran, salah satu kendala utama VR headset adalah ketersediaan konten. Selama satu tahun lebih sejak Oculus Rift dirilis, ekosistem kontennya sudah berkembang dengan pesat. Namun seperti yang kita semua tahu, kuantitas belum tentu menggambarkan kualitas.

Kuantitas besar berarti ada banyak game yang berkualitas, tapi banyak juga yang kurang bagus, sama kasusnya seperti di Google Play Store maupun Apple App Store. Satu game jelek yang dihargai cukup mahal saja sudah cukup untuk mengecilkan hati konsumen dan membuat mereka enggan membeli konten lain ke depannya.

Sebagai solusinya, Oculus pun menghadirkan fitur refund, baik untuk Rift maupun Samsung Gear VR. Fitur ini dapat diakses melalui halaman riwayat pembelian konten, namun hanya berlaku khusus untuk game saja – tidak termasuk film, bundle atau in-app purchase.

Oculus Home

Pastinya juga ada syarat yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan refund. Buat pengguna Rift, game yang hendak di-refund hanya boleh dimainkan kurang dari dua jam, dan tidak boleh lewat dua minggu sejak pembelian. Untuk Gear VR, syaratnya lebih ketat: durasi main tidak boleh melebihi 30 menit, dan batas waktu sejak pembelian adalah tiga hari.

Oculus bilang kalau proses refund membutuhkan waktu sekitar lima hari. Fitur refund ini tentu saja hanya berlaku untuk game yang dibeli dari Oculus Store saja. Hal ini penting untuk dicatat mengingat Rift sekarang sudah bisa mengakses game Steam lewat portal bawaannya.

Sumber: TechCrunch dan Oculus.

Intel Demonstrasikan Prototipe Google Daydream yang Dapat Menjalankan Game untuk HTC Vive

Bulan Juni lalu, Intel memodifikasi VR headset HTC Vive menjadi wireless. Namun Intel rupanya tidak puas dengan satu ide saja guna mewujudkan tren wireless VR. Baru-baru ini, giliran Google Daydream View yang mereka utak-atik hingga bisa menjalankan game dari platform SteamVR.

Daydream yang berbasis smartphone memang sudah masuk kategori wireless, akan tetapi ketergantungannya dengan smartphone membuatnya tidak mampu menjalankan konten yang lebih berat, macam yang dikembangkan untuk HTC Vive. Intel membuktikan kalau anggapan itu salah.

Mereka pun menunjukkan sebuah Google Daydream yang berpenampilan agak nyeleneh. Di dalamnya memang terpasang ponsel Google Pixel, tapi di bagian depannya ada sebuah Vive Tracker yang menancap. Melengkapi semua itu adalah sepasang controller milik HTC Vive.

Tim Wareable yang mencobanya langsung lalu menjalankan game VR eksperimental karya Valve sendiri yang berjudul The Lab. Game ini bukannya dijalankan oleh ponsel yang terpasang, melainkan di-stream dari sebuah PC di dekat area demonstrasinya via Wi-Fi.

Intel turns Daydream into Wireless VR

Kualitas grafiknya memang tidak sebagus yang kita bisa dapati pada Vive yang tersambung langsung ke PC, dan perwakilan Wareable juga menjumpai problem latency meski tidak sampai membuatnya merasa mual. Terlepas dari itu, tracking headset dan kedua controller-nya masih bisa berjalan dengan lancar.

Rahasianya terletak pada pembagian kerja antara smartphone dan PC. Hampir semua pemrosesan ditangani oleh PC, sedangkan smartphone yang terpasang bertugas untuk menerapkan teknik timewarp, memproyeksikan ulang grafik yang di-render berdasarkan pergerakan kepala guna mengurangi latency.

Intel memang tidak punya rencana pasti akan kelanjutan dari ide ini. Pun begitu, ke depannya bukan tidak mungkin konsep ini dapat diterapkan, sehingga pada akhirnya VR bisa lebih menyebar luas karena konsumen tidak harus membayar terlalu mahal untuk HTC Vive; mereka bisa sekadar membeli headset Daydream, base station dan controller untuk menikmati konten SteamVR.

Sumber: Wareable.

Kompatibel dengan SteamVR, Pimax Ibarat HTC Vive Versi 8K

Premis utama virtual reality adalah memberikan sensasi sedang berada di sebuah realita baru kepada penggunanya. Namun bagaimana sensasinya bisa maksimal apabila apa yang tampak di mata masih kelihatan pixelated dan sudut pandangnya sempit? Dua permasalahan umum VR inilah yang menjadi acuan utama pabrikan asal Tiongkok bernama Pimax dalam merancang VR headset-nya.

Tidak tanggung-tanggung, Pimax menanamkan sepasang layar 4K ke dalam headset-nya, memberikan total resolusi 8K yang pastinya akan terlihat sangat tajam. Tidak hanya itu, penggunaan dua layar sekaligus juga mampu menyajikan sudut pandang yang lebih luas dari mayoritas VR headset lain, tepatnya seluas 200 derajat, atau sangat mendekati sudut pandang mata manusia sebenarnya di angka 220 derajat.

Yang membuat Pimax lebih menarik adalah integrasi sistem tracking Lighthouse besutan Valve. Dengan begitu, Pimax sejatinya bisa disebut sebagai HTC Vive versi 8K, dan pengembangnya memang menjanjikan kompatibilitas dengan platform SteamVR.

Pimax 8K VR Headset

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, seheboh apa spesifikasi minimum PC yang dibutuhkan untuk bisa menenagai display 8K ini? Pimax bilang kalau GeForce GTX 1070 saja sebenarnya sudah cukup, sebab mereka turut menerapkan teknik khusus bernama Brainwarp.

Dengan Brainwarp, Pimax sebenarnya hanya akan me-render gambar 4K untuk salah satu display-nya saja setiap kali, tapi sebanyak 150/180 kali setiap detiknya. Berkat refresh rate 150/180 Hz dan frame rate yang tinggi, apa yang tersaji kepada pengguna bakal terlihat seperti dalam resolusi 8K.

Menurut pengembangnya, Pimax juga mengadopsi desain modular, sehingga pengguna dapat memasangkan berbagai aksesori untuk menambah fungsionalitasnya. Sejumlah fungsionalitas ekstra yang sudah direncanakan meliputi inside-out tracking, eye tracking maupun konektivitas wireless.

Pimax rencananya bakal dipasarkan melalui Kickstarter dalam waktu dekat, namun harganya masih belum dirincikan. Selain versi 8K, akan hadir pula versi lain yang mengemas sepasang panel OLED beresolusi 2560 x 1440 alias 5K.

Sumber: Road to VR.

Oculus Rift Kini Bisa Jalankan Game Steam Lewat Portal Aplikasi Bawaannya

Faktor pembeda utama Oculus Rift dan HTC Vive – selain desainnya tentu saja – adalah platform yang dijalankan masing-masing headset. Kendati demikian, hal ini bukan berarti Rift cuma bisa menjalankan game dari Oculus Store saja. Game VR yang dibeli dari Steam maupun GOG juga bisa selama memang kompatibel, tapi pengguna bakal sedikit direpotkan.

Repot karena setiap kali pengguna hendak memainkan game yang dibeli di luar Oculus Store tadi, mereka harus melepas headset terlebih dulu, lalu mengakses game yang bersangkutan lewat interface PC tradisional. Bukan masalah besar memang, tapi cukup membuat frustasi banyak pengguna Rift.

Beruntung Oculus telah meluncurkan software update yang menjadi solusi atas problem ini. Update versi 1.17 ini memungkinkan pengguna Rift untuk mengakses game yang dibeli di luar Oculus Store langsung melalui portal aplikasi bawaannya, tanpa harus melepas headset sama sekali.

Oculus Home

Pembaruan lain yang tak kalah menarik adalah kompatibilitas fitur Parties yang sebelumnya sudah hadir terlebih dulu untuk Gear VR. Dengan Parties, pengguna dapat tergabung dalam percakapan suara bersama tiga pengguna lain, dan percakapan ini akan terus berlanjut meski masing-masing tengah mengakses aplikasi yang berbeda.

Kehadiran Parties ini juga bisa menjadi pertanda kalau peluncuran fitur Rooms untuk Rift sudah semakin dekat, dan konsumen tak perlu khawatir fitur tersebut bakal digantikan oleh Facebook Spaces, yang secara fundamental memiliki tujuan yang berbeda.

Sumber: Gamasutra dan Oculus Forums.

Neurable Beri Anda Kemampuan Telekinesis dalam VR

Kecuali Anda titisan Darth Vader, mustahil Anda bisa mengendalikan benda dengan pikiran. Telekinesis hanya eksis di karya fiksi, dan Anda tidak mungkin bisa menerapkannya di dunia nyata. Pun begitu, tidak ada yang bilang Anda tak bisa melakukannya di dunia virtual, bukan?

Apa yang sedang dikerjakan oleh startup bernama Neurable ini bakal mengubah pandangan kita terhadap virtual reality. VR selama ini mengandalkan controller fisik sebagai input kendalinya – atau dalam waktu dekat, eye tracker – namun berkat inovasi Neurable, Anda bisa mengontrol objek dalam VR menggunakan pikiran.

Konsep ini sebenarnya bukanlah barang baru. Sebelumnya sudah ada beberapa startup yang mengembangkan teknologi serupa, seperti MindMaze dan EyeMynd. Neurable layak mendapat sorotan karena mereka sudah mempunyai development kit fungsional untuk didemonstrasikan.

Neurable

Development kit ini berupa headset HTC Vive yang telah dipasangi sejumlah sensor EEG (electroencephalography) di sekujur interior strap kepalanya. Struktur sensor yang mirip sisir memungkinkannya untuk bersentuhan langsung dengan kulit kepala dan membaca aktivitas otak penggunanya.

Dari situ, algoritma machine learning racikan Neurable akan menerjemahkannya menjadi input kendali secara real-time dalam VR. Untuk mengambil suatu benda misalnya, pengguna cukup memfokuskan pikirannya pada benda tersebut dan memikirkan kata “ambil”, dan seketika itu juga benda yang tepat akan datang menghampiri.

Dari video hands-on UploadVR di bawah, tampak reaksi sang jurnalis yang terkesima dengan kinerja teknologi rancangan Neurable. Namun selain sensor EEG, dev kit ini juga melibatkan sistem eye tracking rancangan perusahaan asal Jerman, SMI.

Neurable

Saat kedua sistem ini dipadukan, maka yang aktif adalah mode input hybrid dimana pengguna bisa menjadikan matanya sebagai semacam mouse, menggerakkan matanya ke dekat objek yang hendak dipilih. Dari situ sensor EEG akan membaca pikiran pengguna dan mengetahui objek mana yang diklik.

Neurable saat ini juga menawarkan SDK berbasis Unity sehingga developer yang tertarik bisa mengintegrasikan sistem rancangan Neurable ke dalam game buatannya masing-masing. Neurable sendiri sudah merilis preview game berjudul Awakening yang mengisahkan seorang bocah dengan kekuatan telekinesis – tema yang sangat pas untuk menggambarkan kapabilitas teknologinya.

Sumber: UploadVR dan Neurable.

Google Janjikan Ada 11 Ponsel yang Kompatibel dengan Daydream Sebelum 2018

Sejak diperkenalkan tahun lalu, VR headset Daydream View besutan Google baru kompatibel dengan segelintir perangkat saja. Hal ini boleh dibilang sedikit meresahkan, sebab kecil sekali kemungkinan konsumen mempertimbangkan kompatibilitas dengan Daydream saat hendak membeli smartphone baru.

Pastinya faktor lain seperti desain, display dan performa jauh lebih diprioritaskan oleh konsumen. Pun begitu, mereka yang semisal memutuskan untuk membeli LG G6 bakal sedikit kecewa mengetahui ponsel tersebut tidak kompatibel dengan platform Daydream dan hanya bisa menikmati pengalaman VR yang biasa-biasa saja dengan Cardboard.

Namun berdasarkan keterangan dari CEO Google, Sundar Pichai, saat mengumumkan laporan keuangannya baru-baru ini, dijelaskan bahwa akan ada total 11 ponsel dari pabrikan seperti Samsung, LG, Motorola dan Asus yang kompatibel dengan Daydream pada akhir tahun ini.

Saya kurang paham bagaimana cara Google menghitungnya; apakah deretan perangkat yang terdaftar di situs resmi Daydream ini dihitung enam atau malah sepuluh termasuk varian-variannya (Pixel XL, Moto Z Force, Porsche Design Mate 9, dll)? Saya pribadi lebih condong ke cara menghitung yang pertama, sebab kalau benar sudah ada 10, berarti hanya kurang satu lagi ponsel yang belum diungkap, dan itu bisa dipastikan adalah penerus Google Pixel.

Namun kalau diamati, Sundar juga menyebut LG sebagai salah satu pabrikan yang bakal menawarkan ponsel berlabel “Daydream-ready”. Kemungkinan besar ponsel yang dimaksud adalah suksesor LG V20. Belum lagi ditambah informasi dari juru bicara Motorola yang menjelaskan kalau Moto Z2 Force yang baru saja dirilis juga kompatibel dengan Daydream.

Lebih lanjut, saya kira memutuskan untuk membeli smartphone baru berdasarkan kompatibilitasnya dengan Daydream bakal semakin tidak relevan setelah standalone VR headset dari HTC dan Lenovo dirilis nanti. Harganya memang lebih mahal, tapi saya yakin ini bukan masalah besar untuk konsumen yang budget-nya berlebih dan memprioritaskan kenyamanan serta portabilitas.

Sumber: CNET.

HTC Luncurkan Vive Standalone di Tiongkok

Mei lalu, Google mengumumkan bahwa HTC dan Lenovo sedang sibuk mengembangkan standalone VR headset untuk platform Daydream mereka. HTC tampaknya sudah siap memasarkan headset tersebut, hanya saja baru di Tiongkok dan bukan yang berjalan di atas platform Daydream.

Dari segi desain, headset bernama Vive Standalone ini sangat mirip seperti sketsa yang dipamerkan di event Google I/O kemarin. Namun berhubung yang dituju adalah pasar Tiongkok secara khusus, headset ini datang bersama platform Viveport besutan HTC sendiri.

Di balik headset berpenampilan kece tersebut bernaung chipset Qualcomm Snapdragon 835. Dari sini sebenarnya bisa kita simpulkan kalau kualitas grafik yang disuguhkan tidak akan bisa menyamai Vive standar yang harus selalu tersambung ke PC. Kendati demikian, kata kunci yang menjadi prioritas di sini adalah portabilitas.

Melihat desainnya, saya cukup yakin bentuk dan spesifikasi standalone VR headset untuk platform Daydream yang HTC hendak luncurkan tahun ini bakal sama persis seperti ini. Dua hal yang membedakan headset tersebut tentu saja adalah platform serta teknologi tracking yang digunakan, yakni WorldSense garapan Google sendiri.

Soal harga, sejauh ini belum ada informasi mengenai Vive Standalone maupun versi Daydream yang masih dalam persiapan. Pastinya kedua headset ini bakal dibanderol lebih mahal ketimbang Daydream View, sebab Anda tak perlu lagi menyediakan smartphone untuk bisa menikmatinya.

Sumber: Engadget.

VRHero Adalah VR Headset dengan Display Beresolusi 5K

Virtual reality boleh dibilang masih memasuki tahap awal. Alasannya sederhana: masih banyak yang harus dibenahi dari VR headset yang ada di pasaran saat ini, salah satunya menyangkut resolusi display-nya. Yup, bahkan Oculus Rift maupun HTC Vive pun belum bisa dibilang beresolusi tinggi.

Dari situ sebuah startup asal Republik Ceko bernama VRgineers melihat adanya peluang. Mereka mengembangkan sebuah VR headset yang amat istimewa. Istimewa karena ia mengusung display beresolusi 5120 x 1440 pixel, atau kurang lebih dua kali lipat Rift dan Vive secara horizontal.

Headset bernama VRHero ini ditenagai oleh sepasang panel LCD, akan tetapi nantinya bakal diganti dengan panel OLED. Selain resolusi masif itu, display VRHero turut menawarkan refresh rate 60 – 90 Hz dan sudut pandang seluas 170 derajat. Namun headset ini bukanlah tanpa cacat, dimana framerate yang rendah adalah problem utamanya.

VRHero

Laggy, demikian deskripsi sederhananya, terutama ketika dipakai untuk bermain game berdasarkan pengalaman hands-on UploadVR. Itulah mengapa VRgineers memilih kalangan enterprise sebagai target pasarnya ketimbang para gamer dan konsumen lainnya.

Di sisi lain, resolusi super-tajam ini memang menjanjikan banyak manfaat di bidang industri. Salah satu konten demonya menempatkan pengguna dalam skenario menginspeksi suatu mobil. Di situ hampir semua komponen mobil tampak begitu mendetail, dan kelebihan seperti inilah yang pada akhirnya mampu menggoda pabrikan macam Audi dan BMW untuk menjadi klien VRgineers.

VRHero bukan lagi sekadar prototipe. VRgineers sudah mulai memproduksinya dan bakal segera memasarkannya, tapi seperti yang saya bilang hanya untuk kalangan enterprise saja. Mungkin nanti ketika kartu grafis PC jadi lebih bertenaga lagi dari sekarang barulah VRHero bisa menyapa konsumen secara umum.

Sumber: UploadVR.

GameFace Labs Kembangkan VR Headset yang Kompatibel dengan Platform Daydream, SteamVR dan Oculus

Mana yang Anda pilih: Oculus Rift, HTC Vive atau Google Daydream? Untuk bisa menjawabnya, Anda tak boleh sekadar menilai hardware-nya saja, tapi juga mempertimbangkan platform yang dijalankan beserta ekosistem kontennya. Namun kalau yang Anda pilih ternyata VR headset dari startup bernama GameFace Labs berikut, platform sama sekali tak perlu jadi bahan pertimbangan.

Ini dikarenakan headset yang masih berstatus prototipe ini dapat berjalan di atas tiga platform sekaligus: Oculus, SteamVR dan Daydream. Fleksibilitas semacam ini saya kira mustahil bisa Anda temukan pada headset besutan Oculus atau HTC, yang notabene bersaing secara langsung di ranah VR.

GameFace merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah mencoba mencegah terjadinya fragmentasi di segmen VR. Yang paling dirugikan sejatinya adalah developer indie, yang kerap memiliki keterbatasan dana sehingga tidak dapat mengembangkan konten untuk ketiga platform sekaligus.

GameFace Labs

Lain ceritanya dengan penawaran GameFace. Di sini developer hanya perlu membeli satu perangkat, dan itu saja sudah bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan konten untuk ketiga platform di atas. Hal yang sama juga dapat dinikmati konsumen; satu headset untuk mengonsumsi konten dari ketiga platform VR terbesar saat ini.

Lalu bagaimana sebenarnya cara kerja headset multi-platform ini? Secara default, ia merupakan sebuah standalone VR headset yang menjalankan sistem operasi Android, membuatnya kompatibel dengan konten untuk Cardboard maupun Daydream – meski tidak secara resmi.

Dirinya dibekali chipset Nvidia Tegra generasi terbaru dan sepasang layar beresolusi 2560 x 1440 pixel buatan Samsung, dengan sudut pandang seluas 120 derajat dan refresh rate 90 Hz. Fitur lainnya mencakup 3D tracking berkat integrasi kamera Intel RealSense dan sensor hand tracking rancangan Leap Motion.

GameFace Labs

Namun keistimewaannya akan langsung tampak ketika ia disambungkan dengan PC, dimana ia dapat menjalankan konten SteamVR seperti halnya HTC Vive. GameFace pun turut merancangnya supaya kompatibel dengan sistem tracking Lighthouse garapan Valve, terbukti dari berjejernya sensor di bagian depan headset macam yang terdapat pada Vive.

Kemudian untuk menjalankan konten dari platform Oculus, headset ini dapat mengandalkan bantuan software bernama ReVive. Kontrolnya sendiri bisa menggunakan controller milik Daydream atau Vive, akan tetapi GameFace berencana menyiapkan controller bawaan yang dilengkapi unit baterai, yang bakal menggantikan peran battery pack yang saat ini menyambung via kabel ke prototipe headset.

Kembali menyinggung soal fragmentasi tadi, GameFace memang menarget kalangan developer untuk headset-nya ini, terutama mereka yang berkantong cekak. Nantinya akan ada dua model yang ditawarkan: GF-DD seharga $500 dan GF-LD seharga $700. DD adalah versi Daydream standar, sedangkan LD adalah versi yang dibarengi Lighthouse base station yang kompatibel dengan SteamVR.

Sumber: Engadget.

Tahun Depan, Standalone VR Headset Besutan Oculus Meluncur ke Pasaran Seharga $200

Virtual reality terus menjadi topik perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir. Tahun depan situasinya kurang lebih masih sama, apalagi mengingat bakal ada kategori baru yang sangat menarik perhatian konsumen, yakni standalone VR headset.

Kategori ini akan berada tepat di tengah-tengah mobile VR headset ala Gear VR dan VR headset high-end macam Oculus Rift. Immersive, praktis, tapi masih cukup terjangkau banyak kalangan, kira-kira begitu premis di balik standalone VR headset.

Oculus adalah salah satu yang sedang getol mempersiapkan standalone VR headset. Berdasarkan laporan Bloomberg, headset itu rencananya bakal diluncurkan tahun depan, dengan banderol harga tidak lebih dari $200, atau separuh harga Oculus Rift.

Terkait fisiknya, headset yang secara internal mendapat julukan “Pacific” ini disebut bakal menyerupai Rift versi ringkas. Di titik ini baik desain maupun deretan fiturnya memang belum final, akan tetapi narasumber Bloomberg mengklaim bahwa bobot perangkat ini bakal lebih ringan ketimbang Samsung Gear VR, plus dapat dioperasikan menggunakan sebuah wireless remote.

Poin menarik lain dari rumor ini adalah, Pacific berbeda dari prototipe headset bernama Santa Cruz yang Oculus pamerkan di konferensi developer mereka tahun lalu, dan tidak dimaksudkan untuk menjadi pengganti Rift. Santa Cruz sendiri pada dasarnya merupakan Rift versi wireless dengan kapabilitas yang sama.

Anda boleh merasa skeptis dengan kabar ini, akan tetapi juru bicara Oculus, Alan Cooper, sempat mengonfirmasi kepada Bloomberg bahwa mereka memang sedang mengembangkan sesuatu yang signifikan di kategori standalone VR headset, meski untuk sekarang belum ada produk yang bisa mereka ungkap ke hadapan publik.

Sumber: Bloomberg.