[Rekap] Tangan Kanan Faker Diasuransikan, Kasus Ban Twitch, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

 

Cyber Legacy Bocorkan Susunan Roster Terbarunya

Cyber ​​Legacy (CL) telah mengalami beberapa perubahan besar selama sebulan terakhir, tepatnya setelah seluruh roster meninggalkan tim. Sekarang, organisasi tersebut sedang membangun kembali lineup dengan menggaet mantan pemain Na’Vi Idan “MagicaL” Vardanian dan Semion “CemaTheSlayer” Krivulya.

Setelah meninggalkan scene kompetitif selama beberapa waktu, CL akhirnya memberikan bocoran mengenai roster barunya selama beberapa hari terakhir dengan perlahan-lahan mengungkapkan pemain anyar yang bakal memulai debutnya di OMEGA League.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

 

Kasus ban Twitch terbesar tahun 2020

2020 telah menjadi tahun yang penting bagi kancah gaming. Hal ini terutama berlaku untuk Twitch setelah platform tersebut mem-ban beberapa nama terkemuka. Kejadian tersebut mungkin akan dikenang sepanjang masa.

Ada berbagai alasan pada sanksi ban tersebut yang di antaranya terjadi karena tuduhan kriminal, sementara alasan lainnya masih tetap menjadi misteri. Melihat tren ban Twitch saat ini, pasti akan ada streamer lain yang terkena ban seiring berlalunya waktu. Namun sampai sekarang, ini adalah beberapa ban Twitch terbesar di tahun 2020.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

 

Tangan kanan Faker mendapat asurasi senilai Rp12 miliar

Organisasi esports asal Korea Selatan, T1, telah mengumumkan menjalin kemitraan baru dengan sebuah perusahaan keuangan Hana Bank. Kerja sama ini akan mencakup lebih dari sekadar konsultasi dan pembicaraan soal keuangan untuk tim League of Legends mereka.

Dalam kontrak dari kesepakatan kerja sama ini terselip klausul yang disebut “Asuransi Tangan Kanan Faker” sebagai salah satu perjanjiannya. Ya, sosok yang kita maksud di sini adalah mega bintang League of Legends T1 dan dunia, Lee “Faker” Sang-hyeok.

 

Kenapa Win-rate Spectre meningkat tajam musim ini?

Seperti yang yang kalian ketahui, jika Spectre mendapatkan early game yang baik, hampir bisa dipastikan ia akan menang. Namun sebaliknya, jika di early game ia tertinggal jauh, maka mengejar networth juga akan sulit karena Spectre bukan hero yang bisa farm dengan cepat.

Menurut DotaBuff, saat ini Spectre memiliki lebih dari 56 persen winrate, angka itu sangatlah fantastis. Mari kita tinjau mengapa Spectre sangat kuat di patch sekarang.

 

3 Hero Counter untuk Menghadapi Atlas MLBB

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Sejak Mobile Legends memasuki Season 17, perlahan tapi pasti Atlas menjadi salah satu hero Tank META yang banyak menjadi andalan tim-tim besar di scene kompetitif. Sang Ocean Gladiator ini bahkan menjadi hero yang banyak di pilih pemain di Mobile Legends Professional League (MPL) Season 5 lalu.

Beberapa pemain Support di setiap tim MPL Season 5 hampir selalu menjadikan Tank ini sebagai pilihan utama selain Khufra. Hal ini juga tetap berlanjut di ajang MPL Invitational 4 Nation League. Artinya di setiap negara, Atlas memang menjadi favorit para pemain profesional.

Meski demikian, tidak ada hero yang tak memiliki counter-nya di Mobile Legends. Ada beberapa pilihan bagi Anda ketika harus menghadapi Atlas dalam bermain. Siapa sajakah tiga pilihan hero yang dianggap terbaik versi ONE Esports?

 

Powered by ONE Esports 

esports-logo

General Manager ThePrime Esports Bicarakan Alasan Kembalinya Divisi Dota 2

ThePrime Esports kembali mengumumkan divisi Dota 2 pada tanggal 1 Agustus 2020 lalu. ThePrime Esports jadi organisasi esports yang kerap mengalami pasang surut pada divisi Dota 2 miliknya. Organisasi berjulukan #PasukanUler ini sempat melepas divisi Dota 2 pada April 2019. Mereka sempat kembali lagi pada Juli 2020, walau akhirnya harus kembali vakum beberapa waktu setelahnya.

Kini ThePrime Esports kembali lagi ke dalam skena Dota 2, dengan membawa line-up kombinasiantara pemain lama dengan talenta muda nan segar. Roster Dota 2 terbaru ThePrime Esports beranggotakan Rusman, Azura, Mydearest (dulu dikenal sebagai BARBIEUsagi), Juju, dan Varizh. Mengingat skena Dota 2 yang mulai ditinggal banyak organisasi esports lokal, pengumuman ini memunculkan pertanyaan, mengapa ThePrime Esports memutuskan untuk kembali ke skena Dota 2 lagi?

Sumber: ThePrime Esports
Sumber: ThePrime Esports

Anton Sarwono, General Manager ThePrime Esports menjawab beberapa faktor seputar hal ini. Anton menjawab, bahwa salah satunya adalah soal skena Dota 2 yang sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati.

Memang, turnamen Dota 2 di Indonesia sudah mulai sulit, tapi di SEA? Anda mungkin melihat sendiri bagaimana jadwal tanding BOOM Esports padat selama pandemi, karena ada banyak turnamen online hadir mengisi kekosongan. “Saya akui, skena Dota 2 sudah tidak jadi primadona lagi di Indonesia. Menariknya, skena Dota 2 justru tetap konsisten dan stabil di Asia Tenggara, berkat banyaknya sokongan dari pihak ketiga. Hal ini, jadi salah satu alasan kenapa kami kembali membentuk tim Dota 2.” Jawab Anton kepada Hybrid

Selain itu, soal potensi roster juga jadi alasan lain ThePrime Esports kembali membuat divisi Dota 2. “Menurut saya line-up kami sekarang berisikan pemain yang bisa bersaing di kompetisi tingkat Asia Tenggara. Jadi kami bukan sekadar sembarang ambil pemain agar dapat memiliki divisi Dota 2. Pemain-pemain ini sudah tidak diragukan lagi secara skill Individu. Tinggal membentuk chemistry tim, dan memperbaiki kekurangan-kekurangan lainnya.”

Sumber: ThePrime Esports
Anton Sarwono (tengah) bersama roster lama divisi Dota ThePrime, terselip di antaranya nama nama besar seperti R7 yang sekarang jadi roster tetap tim MLBB RRQ, Nafari dan Lionheart yang sempat melatih tim MLBB Geek Fam ID. Sumber: ThePrime Esports

Anton juga menceritakan, ada alasan sentimentil di balik kembalinya divisi Dota 2 ThePrime Esports. “Bagaimanapun, ThePrime lahir dan besar dari Dota 2. Jadi kembalinya divisi ini bisa dibilang sebagai usaha kami mencoba (lagi) membesarkan skena game yang telah melahirkan tim kami.”

Terkait pengumuman tersebut, Anton lalu menyatakan harapan atas kembalinya ThePrime Esports ke skena Dota 2. “Harapannya roster ini bisa jadi penantang keras baru di kompetitif Dota 2, terutama di Asia Tenggara. Kita akan ‘menemani’ tim Dota 2 Indonesia lain seperti BOOM Esports dan Army Geniuses. Target awal kami nggak muluk-muluk dulu, yang pasti mengejar untuk bisa mendapatkan posisi sebagai tim tier 1 Asia Tenggara dulu. Setelah itu, baru kami melanjutkan ke target berikutnya.”

Pertandingan ESL One Thailand 2020 SEA Open Qualifier akan menjadi debut perdana bagi Varizh dan kawan-kawan barunya di ThePrime Esports. Mari kita doakan agar ThePrime Esports bisa mendapatkan prestasi yang terbaik, dan membanggakan Indonesia di skena Dota 2 Asia Tenggara maupun internasional.

Apa Alasan Pembagian Slot Turnamen Esports Internasional?

Belakangan esports sedang berkembang dengan pesatnya. Secara internasional, Newzoo mengatakan bahwa pasar esports diperkirakan akan mencapai nilai 15,4 triliun rupiah pada tahun 2020. Asia Tenggara juga menjadi salah satu kawasan yang perkembangannya cukup pesat. Masih dari Newzoo, dilaporkan bahwa industri gaming dan esports di Asia Tenggara ternyata tetap menggeliat selama situasi pandemi. Pada 2019, nilai industrinya bahkan diperkirakan mencapai angka 4,6 miliar dollar AS.

Namun, karena perkembangan terlalu cepat ini, kadang kali ada masalah dalam prosesnya, yang membuat prosesnya esports jadi tidak adil. Di tengah banyaknya kompetisi bermunculan, soal standarisasi mungkin jadi satu hal, yang dapat menjadi masalah suatu saat nanti. Saya sempat membahas fenomena ini dari sudut pandang komunitas game fighting Indonesia, dengan turnamen satu dengan yang lain punya peraturan yang terlampau jauh berbeda.

Standarisasi peraturan turnamen baru satu bagian pembahasan saja. Pada bagian lain, yang menurut saya menarik untuk dibahas dan dipertanyakan adalah soal kesempatan menuju turnamen tingkat internasional.

Jika Anda adalah penggemar setia esports, Anda mungkin sadar akan hal ini. Dalam turnamen, terutama yang setingkat internasional, kadang ada ketidakseimbangan pembagian jumlah slot yang disediakan, untuk suatu negara atau kawasan. Kadang satu negara atau kawasan punya kesempatan lebih besar untuk lolos, sementara negara atau kawasan lain punya kesempatan yang lebih kecil

Kesempatan lebih besar bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti tahap kualifikasi yang cenderung lebih pendek, maupun jumlah slot untuk lolos ke suatu turnamen yang cenderung lebih banyak bagi suatu negara atau kawasan. Apakah ini adalah sesuatu yang normal? Apakah ini adil? Kita akan membahas ini melihat dari sisi esports dan olahraga tradisional, sembari mencari tahu apa alasan diberlakukannya sistem seperti ini.

 

Melihat Pembagian Slot Turnamen Esports

Dalam esports, ada satu kebiasaan untuk memberikan slot turnamen lebih banyak, untuk negara dengan jumlah pemain terbanyak dari suatu game. Saya sendiri sebenarnya kurang tahu dari mana kebiasaan ini mulai dilakukan. Untuk membahas ini, kita akan melihat ini dari dua turnamen terdekat, yang baru dan sedang berjalan, MPL Invitational 4 Nations Cup, dan PUBG Mobile World League 2020 Season Zero – East Region.

Bertajuk 4 Nations Cup, MPL Invitational mempertandingkan tim MLBB profesional dari empat negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Melihat nama turnamen tersebut, ekspektasi saya adalah perebutan tahta tim MLBB terbaik dari empat negara tersebut, lewat kompetisi yang seimbang dengan satu tim mewakili satu negara. Tetapi kenyataannya adalah, turnamen tersebut malah diberondong oleh tim asal Indonesia.

Menurut catatan saya, tim asal Indonesia mendapat 8 slot dengan komposisi 6 tim dari jalur kualifikasi dan 2 tim dari jalur undangan. Malaysia mendapat 4 slot dengan komposisi 3 dari jalur kualifikasi dan 1 jalur undangan. Singapura mendapat 4 slot dengan komposisi 3 dari jalur kualifikasi, 1 jalur undangan. Terakhir Myanmar hanya mendapat 1 slot yang berasal dari undangan.

Mungkin saya yang aneh karena berpikir seperti ini, tetapi jika melihat jumlah tim perwakilan negaranya, pembagian slot rasanya jadi tidak adil bukan? Turnamen seolah terasa seperti MPL 3 Nations Cup plus satu tim Myanmar… Hehe. Dengan jumlah perwakilan yang lebih banyak, tidak heran jika Indonesia punya kesempatan yang lebih besar menjadi juara atau kesempatan mendapat panggung All-Indonesia Final seperti pada M1 World Cup. Meski demikian, bukan berarti RRQ tidak berjuang untuk menjadi juara dalam gelaran tersebut.

Sumber: Moonton
Sumber: Moonton

Berlanjut ke kasus lain, PUBG Mobile World League 2020 Season Zero – East Region (PWML 2020). Turnamen tersebut diikuti oleh 20 tim yang berasal dari kompetisi lokal dan regional. Dari kompetisi lokal, ada satu tim yang berasal dari pemenang liga PMPL Indonesia, Thailand, Vietnam, MY/SG, Chinese Taipei, turnamen Street Challenge (Korea Selatan), Japan Championship, serta PMCO Pakistan, dan PMCO Wild Card (yang dimenangkan oleh tim asal Mongolia).

Jumlah slot yang disediakan dari liga dan turnamen lokal hanya satu slot saja, dengan tambahan 4 slot untuk negara Asia Tenggara yang berhasil menempati peringkat 6 besar. Namun ada sedikit anomali untuk satu region terakhir yang merupakan peserta dari turnamen ini, yaitu Asia Selatan. Total ada 7 slot disediakan, hanya untuk regional Asia Selatan dalam PMWL 2020 Season Zero – East Region.

Skena esports PUBG Mobile di Asia Selatan sendiri memang didominasi oleh perwakilan negara India. Jika mengutip data Sensor Tower, India tercatat sebagai negara pengunduh game PUBG Mobile terbanyak dengan total sekitar 175 juta install sampai awal Juli 2020 kemarin. Hasilnya adalah 7 slot yang disediakan diisi oleh perwakilan dari negara India saja.

Sumber: Tencent Games
Sumber: Tencent Games

Apabila kita menghitung dari jumlah perwakilan per kawasan, Asia Tenggara akan menjadi kawasan yang terlalu mendominasi dibanding yang lain dengan total ada 8 perwakilan. Tetapi jika dihitung perwakilan per negara, maka perwakilan India jadi sangat tidak adil jika dibandingkan dengan negara lain, dengan 7 tim beranggotakan 39 orang atau sekitar 37% dari total keseluruhan peserta PMWL 2020 Season Zero – East Region berasal dari India, mengutip data Liquidpedia.

Apakah ini adil? Atau dalam konteks kompetisi, keadilan adalah jika negara dengan pemain terbanyak memiliki kesempatan lebih besar untuk dapat lolos ke kompetisi yang lebih tinggi? Agar sudut pandang kita tidak terbatas pada dunia kompetisi esports saja, mari kita mengintip sistem pembagian spot kualifikasi dari ekosistem kompetisi olahraga.

 

Bagaimana Sistem Pembagian Slot Kualifikasi Olahraga?

Dalam esports kita melihat MPL Invitational dan PMWL 2020 Season Zero – East Region yang jadi dua contoh kompetisi dengan proporsi perwakilan negara yang tidak seimbang. Lalu bagaimana kasusnya di dalam ekosistem olahraga?

Untuk itu, saya melihat dari sistem kompetisi sepak bola dan pertandingan festival olahraga SEA Games. Pertandingan sepak bola sengaja saya pilih, untuk mewakili sistem kompetisi tim vs tim, layaknya pada esports MLBB. Sementara festival olahraga seperti SEA Games saya pilih karena bisa dibilang punya sistem paling mendekati dengan pertandingan esports battle royale, yang menggunakan sistem peringkat serta poin.

Pada sepak bola saya mengambil FIFA World Cup 2018 sebagai contoh, karena merupakan ajang terbesar sepak bola terdekat yang baru selesai, sehingga bisa jadi patokan pembagian spot kualifikasi dalam pertandingan sepak bola antar-negara sejauh ini.

FIFA World Cup 2018 diikuti oleh 208 negara anggota asosiasi, yang dibagi ke dalam 6 zona kualifikasi, yaitu Afrika, Asia, Eropa, Amerika Utara, Tengah dan Kepulauan Karibia, Oseania, dan Amerika Selatan. Total ada 32 slot di pertandingan utama FIFA World Cup 2018, dengan 31 spot berasal dari kualifikasi, dan 1 spot spesial khusus Rusia selaku tuan rumah kompetisi.

Masing-masing kawasan memiliki jumlah slot yang berbeda-beda. Asia (termasuk Australia) memiliki 4,5 slot ditambah 0,5 slot dari kawasan Oseania (New Zealand dan kepulauan lainnya). Afrika memiliki 5 Slot, Amerika Utara, Tengah, dan Kepulauan Karibia memiliki 3,5 slot ditambah 4,5 slot dari Amerika Selatan. Pemilik kesempatan terbesar untuk menuju ke FIFA World Cup 2018 adalah kawasan Eropa, dengan total 13 slot, paling banyak dibanding kawasan lainnya.

Ternyata dalam kompetisi olahraga, praktik pembagian slot yang tidak proporsional juga terjadi. Apakah berarti praktik seperti demikian memang wajar? Lebih lanjut, mari kita intip SEA Games 2019.

Festival olahraga terbesar di Asia Tenggara tersebut mempertandingkan 56 jenis olahraga dengan total 529 event bermedali, mengutip dari Sport Business. Dalam gelaran festival olahraga seperti SEA Games 2019, negara dapat memilih untuk mengikuti suatu cabang olahraga atau tidak.

Hal ini jadi alasan kenapa setiap negara, punya jumlah kontingen atlet yang berbeda-beda. Menurut catatan Jawa Pos, Indonesia mengirimkan 841 atlet, dengan total 1303 orang jika menyertakan pelatih dan official. Malaysia mengirimkan 795 atlet dan 398 official, sedangkan Filipina selaku tuan rumah mengirimkan 1115 atlet ditambah 753 pelatih dan official, menurut catatan beberapa media lokal.

SEA Games juga melibatkan esports sebagai salah satu cabang bermedali. Bukti bahwa SEA Games membebaskan negara peserta untuk mengikuti suatu cabang atau tidak, bisa terlihat pada cabang esports.

Sumber: eGG Network
Sumber: eGG Network

SEA Games 2019 mempertandingkan 11 negara anggota Southeast Asian Games Federation (SEAGF), yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Timur, dan Vietnam. Cabang esports mempertandingkan 6 game berbeda, yaitu MLBB, Arena of Valor, Dota 2, Hearthstone, StarCraft II, dan Tekken 7.

Dari cabang esports Anda bisa melihat bahwa beberapa game yang dipertandingkan hanya diikuti oleh beberapa negara saja. StarCraft II dan Hearthstone contohnya, yang hanya diikuti 6 negara saja yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. MLBB jadi cabang game esports dengan jumlah negara peserta terbanyak, yaitu 9 negara. Jadi, dari keseluruhan cabang esports di SEA Games 2019, hanya Timor Timur dan Brunei Darussalam saja yang tidak mengikuti cabang esports sama sekali.

Jika kita berasumsi Brunei Darussalam dan Timor Timur tidak bisa ikut cabang esports karena mereka tidak memiliki kontingen atlet, apakah SEA Games 2019 adil jika ada cabang pertandingan yang tidak bisa diikuti oleh suatu negara?

 

Apa Alasan Ketidakseimbangan Slot Kualifikasi Suatu Kompetisi?

Jika melihat kasus yang sudah ada, hampir tidak ada kompetisi yang menerapkan jumlah representasi yang seimbang. Tidak hanya terjadi di esports, FIFA World Cup ternyata menerapkan praktik serupa, karena memberi Eropa jumlah slot kualifikasi terbanyak yaitu sebanyak 13 slot. Sementara dalam SEA Games, kita melihat jumlah perwakilan atlet yang dikirimkan masing-masing negara berbeda-beda jumlahnya. Bahkan cabang esports pada SEA Games 2019 tidak diikuti oleh Brunei Darussalam dan Timor Timur, yang berarti memperkecil kemungkinan mereka untuk menjadi juara SEA Games 2019 secara keseluruhan.

Lalu apa sebenarnya alasan dari penerapan sistem seperti ini? Menurut opini saya, dasar argumennya mungkin seperti ini.

Orang terbaik dari 1000 kompetitor akan berbeda levelnya jika dibandingkan dengan yang terbaik dari 5 orang kompetitor. Sebagai contoh, saya menggunakan ujian sekolah sebagai analogi. Untuk menjadi yang terbaik dari Ujian Nasional 2019 yang diikuti oleh 8,3 juta peserta didik, Anda akan butuh nilai 90 atau mungkin 100. Tapi untuk menjadi yang terbaik dari satu kelas berisi 40 orang, Anda mungkin cuma butuh nilai 80-90 saja.

Tapi, level kompetisi tidak hanya ditentukan dengan melihat jumlah kompetitor saja. Kalau memang demikian, maka dalam pertandingan FIFA World Cup 2018, Asia yang punya 4 miliar penduduk seharusnya mendapat kesempatan lebih besar dibanding Eropa, yang cuma punya 700 juta penduduk.

Tapi nyatanya Eropa mendapat 13 slot, sementara Asia cuma mendapat 4,5 slot saja. Maka, satu faktor lain yang mungkin menjadi alasan adalah level kompetisi lokal di kawasan tersebut, dan prestasi-prestasi yang pernah didapat dari suatu kawasan.

Mobile Legends Profesional League
Dokumentasi: MPL Indonesia

Kembali membahas esports, mari coba kita urai ke dalam dua faktor tersebut, berdasarkan dua contoh turnamen esports yang saya sebut di atas. Kenapa Indonesia mendapat kesempatan lebih besar di dalam MPL Invitational 4 Regions Cup? Mengutip data dari Sensor Tower, Indonesia mencatatkan total 100,1 juta download, dan merupakan negara dengan jumlah pengunduh game MLBB terbanyak. Menyusul di belakangnya ada Filipina dengan 41,2 juta download, dan Vietnam dengan 21,3 juta download.

Selain dari itu, jika kita melihat secara level prestasi, Indonesia merupakan salah satu negara paling mencolok di skena MLBB. Walau gagal mendapat prestasi terbaik di MSC 2017, namun Indonesia mulai menunjukkan potensi di tahun-tahun berikutnya. MSC 2018, Indonesia berhasil mengamankan peringkat 3, walau gagal mendapat slot di babak Final. MSC 2019 adalah puncak prestasi Indonesia, ketika sorotan pertandingan jadi monopoli Indonesia berkat pertemuan ONIC Esports dengan Louvre Esports di babak Grand Final.

Level kompetisi MLBB di tingkat lokal Indonesia juga terbilang cukup keras keras. MPL Indonesia memiliki juara baru setiap musimnya, sampai akhirnya pola tersebut dihentikan oleh RRQ, yang berhasil mendapatkan gelar juara MPL keduanya pada MPL ID Season 5 kemarin. Semakin tinggi level kompetisinya, tim yang bertanding harus lebih baik lagi, dan harus sudah melalui kompetisi yang keras. Jadi, melihat faktor-faktor tersebut di atas, tidak heran jika negara kita mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk turnamen internasional.

Bagaimana dengan PUBG Mobile? Secara jumlah pemain, India memang merupakan negara dengan jumlah donwload PUBG Mobile terbanyak. India mencatatkan jumlah 175 juta download dengan proporsi sebesar 24% dari total keseluruhan download, mengutip dari data Sensor Tower awal Juli 2020 lalu. Jumlah download PUBG Mobile di India bahkan menyalip jumlah download Peacekeeper Elite (PUBG Mobile versi Tiongkok). Lebih lanjut Sensor Tower mengatakan bahwa Tiongkok berada di peringkat kedua dengan 16,7% dari keseluruhan download, dan AS di peringkat ketiga dengan 6,4% dari total keseluruhan download.

Jumlah pemain, mungkin jadi salah satu alasan kenapa India mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menuju gelaran PMWL 2020 Season Zero – East Region. Lalu jika kita melihat dari sisi prestasi, Bigetron RA padahal merupakan juara dunia PUBG Mobile lewat gelaran PMCO 2019 lalu, kenapa Indonesia tidak mendapatkan kesempatan lebih banyak di turnamen PMWL 2020 Season Zero – East Region?

Jawabannya mungkin karena level kompetisi lokal Indonesia yang belum sebanding dengan negara lainnya di Asia Tenggara. Kalau kita membandingkan perolehan skor yang dikumpulkan di akhir babak Regular Season PMPL dari masing-masing negara Asia Tenggara, Anda bisa melihat bagaimana level kompetisi di Indonesia masih sangatlah timpang.

Pada PMPL ID Season 1, selisih skor antara Bigetron RA sang juara liga, dengan AURA Esports yang berada di peringkat 2 sangatlah jauh yaitu sebesar 445 poin. Sementara pada PMPL MYSG, PMPL Thailand, dan PMPL Vietnam, beda skor pada posisi top 4 terbilang tipis-tipis, setidaknya tidak lebih dari 300 poin. Jika landasannya adalah selisih skor di PMPL, maka mungkin kawasan South Asia jadi turnamen dengan level kompetisi tertinggi, karena selisih poin cuma mencapai angka puluhan saja pada peringkat top 4.

Terlebih, saya merasa Tencent terbilang sudah cukup adil dalam membagi slot kualifikasi menuju PMWL 2020 Season Zero – East Region untuk negara-negara Asia Tenggara. Masing-masing negara mendapat satu slot menuju PMWL yang diberikan kepada pemenang liga lokal, dan satu slot lagi diperebutkan melalui PMPL SEA Finals 2020. Cuma saja, Thailand memang terbukti bermain lebih baik dibanding negara lainnya. Alhasil negara mereka punya 3 wakil (1 wakil lebih banyak dibanding Indonesia dan Malaysia) di PMWL 2020 Season Zero – East Region.

 

Di luar dari soal mana yang lebih adil, hal lain yang tidak bisa kita lepaskan dalam sebuah kompetisi tentunya adalah kepentingan penyelenggara. Penyelenggara turnamen tentu ingin acaranya menarik minat banyak orang. Cara menarik minat tersebut mungkin bisa diambil dari dua hal, memberikan kesempatan lebih besar kepada negara/kawasan dengan jumlah penggemar terbanyak, serta menyajikan kompetisi yang keras.

Dalam kasus MPL Invitational Anda bisa melihat sendiri bagaimana turnamen tersebut menarik minat banyak orang, gara-gara tim dari Indonesia. Buktinya pertandingan antar dua tim Indonesia, RRQ vs EVOS, adalah pertandingan dengan jumlah viewer terbanyak sepanjang gelaran MPL Invitational, dengan jumlah penonton mencapai 1 juta orang. Jumlah penonton Indonesia pun tidak kira-kira, mencapai angka 971 ribu pada pertandingan tanggal 3 Juli 2020, mengutip Esports Charts.

Namun, mungkin satu pembeda terbesar antara esports dengan olahraga tradisional adalah, penentuan slot dalam pertandingan esports tingkat internasional masih jadi wewenang mutlak sang penyelenggara. Semoga saja asosiasi seperti GEF atau IESF bisa menjadi pihak yang menengahi dalam hal ini, layaknya asosiasi seperti FIFA atau SEAGF dalam ekosistem olahraga.

Prediksi 3 Tim Teratas MPL ID S6 dari 4 Shoutcaster MLBB

Beberapa waktu yang lalu, Moonton sudah mengumumkan secara resmi bahwa MPL Indonesia Season 6 akan kembali bergulir dari tanggal 14 Agustus 2020. Tidak ada penambahan tim di musim keenam kali ini sejak MPL Indonesia berubah jadi sistem franchising di Season 4.

8 tim profesional MLBB akan memperebutkan total hadiah sebesar USD 300 ribu dalam turnamen liga yang terbagi jadi 2 fase, Regular Season (14 Agustus-4 Oktober 2020) dan Playoffs (16-18 Oktober 2020).

MPL Indonesia sendiri khususnya dan esports MLBB di Indonesia pada umumnya, sampai saat ini, mungkin memang masih berhak menyandang predikat sebagai ekosistem esports terpanjang yang paling dinamis di tanah air. Pasalnya, Selain hanya RRQ yang berhasil menjadi juara MPL ID lebih dari satu kali (S2 dan S5), tidak ada tim lain yang bisa melakukan hal serupa. RRQ sendiri juga sebenarnya sempat kehilangan momentum di Season 1 dan bahkan terseok-seok di Season 3.

Sumber: Moonton
Sumber: Moonton

Lalu bagaimana dengan musim keenam nanti? Siapakah 3 tim yang diprediksi bakal menempati posisi teratas, mengingat masing-masing tim sudah mengumumkan daftar pemainnya untuk MPL ID S6? Untuk menjawab pertanyaan tadi, saya sudah menghubungi 4 shoutcaster MLBB yang juga pernah memandu jalannya pertandingan di MPL ID.

Keempat shoutcaster yang akan menyumbangkan prediksinya kali ini adalah Arwanto “WaWa Mania” Tanumiharja, Veronica “Velajave” Fortuna, Fauzianska “RangerEmas” Ramadhan, dan Fahmi “Kornet” Maulana.

Mari kita mulai dari prediksi shoutcaster yang paling tua lebih dulu… Eh… Wkawkakwk…

 

WaWa Mania

WaWa menyebutkan nama RRQ sebagai yang pertama saat saya tanyakan 3 tim yang ia prediksi menempati posisi teratas di akhir musim MPL ID S6. “RRQ sudah jelas lah ya, solid team play dan terbaik di lane masing-masing.”

Untuk tim kedua, shoutcaster yang sebenarnya mengawali kariernya dari CS:GO ini, menyebutkan nama ONIC. “(Pilihan) ini dilema sih wawkakwkak… Tapi kalau disuruh milih, harusnya sih ONIC Esports. Sebelumnya pakai CW (Calvin Winata) dan Rasy (Rasya Arga Wisista) saja sudah dahsyat. Apalagi sekarang kedatangan Sanz (Gilang, yang sebelumnya bermain untuk Victim Esports). Musuh pun jadi harus berpikir matang untuk memutuskan siapa yang harus jadi target, Sanz atau Antimage (Maxhill Leonardo).


View this post on Instagram

A post shared by MPL Indonesia (@mpl.id.official) on

Sedangkan yang ketiga, WaWa menyebutkan nama EVOS Esports. “Mereka (EVOS) memang masih mencari jati diri setelah ditinggalkan beberapa pemain kunci (seperti Oura dan Donkey) tapi dengan dimainkannya Bajan (Raihan Delvino), EVOS terlihat sudah cukup bisa mendapatkan irama. Poin plus dari EVOS adalah pengalaman lebih dari beberapa pemainnya.

Sebelum menutup perbincangan, WaWa juga menambahkan satu tim yang juga harusnya layak diwaspadai di musim ini. “Geek Fam juga lagi jago tuh. Ga tau Doyok (Tantyo Aditya) makan apa tuh… Hahaha…”

 

Velajave

Satu-satunya shoutcaster perempuan yang saya mintai pendapatnya di artikel kali ini, Velajave memiliki prediksi yang sedikit berbeda dengan WaWa.

Tim yang pertama ia sebut adalah RRQ. “(RRQ) simply karena bonding yang sudah ada selama ini dan juga mekanik masing-masing pemainnya juga bagus.” Jawab shoutcaster yang sebenarnya lebih dikenal di skena Dota 2 Indonesia.

Sama seperti WaWa, Vela juga menyebutkan nama ONIC Esports. “Mereka (ONIC) punya line-up yang bagus. Musim kemarin juga demikian. Ditambah dengan kehadiran Sanz juga bakal jadi warna baru. Tapi aku yakin mereka bakal lebih baik (musim ini).”

Geek Fam menjadi nama tim ketiga yang Vela sebutkan. “Sejauh ini mereka menunjukkan performa yang sangat baik di Mytel International Championship karena roster terbaiknya dan juga coach yang baru. Kita tahu Nafari (Azam Aljabar, yang dulu dikenal sebagai pemain profesional Dota 2 untuk The Prime) punya jejak baik di dunia per-MOBA-an. Semoga dia bisa menunjukkan kemampuannya maksimal nanti.” Ujar salah satu shoutcaster yang punya analisis paling tajam di skena esports MOBA Indonesia ini.

“Bigetron juga punya line-up yang menarik, ditambah Renbo (Markos, yang sebelumnya juga bermain untuk Victim Esports) yang baru masuk juga akan memperkuat tim ini.” Tambah Velajave.

Lalu kenapa Vela tidak menyebutkan nama EVOS? Mengingat EVOS mungkin bisa dibilang sebagai salah satu tim MPL ID yang paling konsisten sejak Season 1. Tim ini sudah pernah juara di S4 dan 3x jadi Runner-Up (S1, S2, dan S5).

Tricky yah pertanyaannya (kenapa tidak menyebut nama EVOS). Jujur saja, aku masih belum melihat potensi karena aku ga tau permainan mereka gimana. Aku tahu Zeys (Bjorn Ong) itu jenius. Aku juga percaya dengan kemampuan Wann (Muhammad Ridwan) dan Rekt (Gustian) tapi aku belum tahu performa yang lainnya. Bukan underestimate ya, tapi aku mau lihat dulu gimana performa mereka nanti. Lagipula ini kan masih prediksi dari jajaran roster aja. Kemungkinan besar, aku juga bisa salah (prediksinya).” Tutup Vela.

 

Fahmoy/Kornet

Fahmi menyebutkan 3 nama tim saat saya hubungi melalui pesan Whatsapp. “RRQ, ONIC, dan Alter Ego.”

Lebih lanjut Fahmoy pun menjelaskan, “RRQ itu tim yang menguasai META. Ditambah lagi, mereka juga punya chemistry dan skill individu yang sangat kuat. Sedangkan ONIC sebelumnya sudah punya 3 pemain dengan fondasi yang kuat, yaitu Drian (Adrian Larsen), Antimage, dan Sasa (Lu Khai Ben). Apalagi sekarang ditambah Sanz.”

“Kalau Alter Ego, gameplay mereka jauh beda dari musim sebelumnya. Ditambah Udil (Udil Surbakti, yang pindah dari ONIC)permainan Alter Ego jadi jauh lebih rapih. Gua pengen jawab EVOS sih tapi berat euy kalau Rekt jadi Support…” Tutup shoutcaster yang dulu berkecimpung di radio sebelum hijrah ke esports ini.

 

RangerEmas

Shoutcaster terakhir yang memberikan pendapatnya kali ini adalah Oji, panggilan sayang dari Rangeremas. Sama seperti ketiga caster sebelumnya Oji juga langsung menyebutkan nama RRQ. “Yang pertama udah pastilah ya, RRQ. Kita tahu dengan roster-nya yang ga berubah, meski harus kehilangan legenda Marksman MLBB Indonesia (Diky “TUTURU”), formasinya masih sama dengan saat mereka juara di Season 5. Apalagi isinya di sana bukan orang ya, tapi alien semua. Chemistry-nya pun berarti masih sama seperti musim sebelumnya.”

“Kedua, menurut gua pribadi, ONIC Esports. Dengan mental yang cukup baik karena baru juara dan masuknya Sanz yang punya mekanik sangat bagus, gua belum tahu apakah chemistry-nya nanti sudah siap atau belum. Pemilihan formasi antara Sanz atau CW juga gua belum tahu. Tapi yang pasti ONIC bakal kuat banget.” Ujar Oji yang, sepengetahuan saya, jadi satu-satunya shoutcaster langganan MPL sejak Season 1 sampai Season 5 kemarin. Ryan “KB” Batistuta sebenarnya juga masih aktif di MPL namun posisinya bergeser jadi Analyst di beberapa musim terakhir.

Oji pun menambahkan jawaban untuk tim ketiga yang akan bertengger di puncak, di akhir musim MPL ID S6. “Untuk yang ketiga, gua punya 2 opsi ya — antara Genflix Aerowolf dan EVOS Esports. Menurut gua, Genflix bakal bisa nunjukkin taringnya banget walaupun agak kepleset waktu MPLI. Tapi untuk MPL ID S6 kali ini kayaknya mereka udah siapin semua dari mulai roster-nya, waktu latihan, ataupun coach-nyaYang penting mereka jangan melakukan blunder-blunder lagi seperti sebelum-sebelumnya sih.

Sedangkan untuk EVOS juga kuat banget karena ada Bajan, yang malah ternyata juga bisa buktiin kalau dia bukan hanya sekadar pemain Tanker tetapi juga Offlaner. Di posisi Offlaner, ia juga bisa bermain menggunakan Hero-Hero yang offensif seperti Masha. Tapi, gua belum tahu sih apakah chemistry antara lini baru para pemain EVOS ini nanti cukup buat tampil gemilang di Season 6.” Tutup Oji.

Sejarah Street Fighter, Fighting Game yang Telah Berumur Lebih dari 3 Dekade

Jika Anda mengklik artikel ini, kemungkinan, Anda merupakan fans dari Street Fighter atau setidaknya, fans dari fighting game. Kemungkinan besar, Anda pasti mengenal Street Fighter. Dengan begitu, saya berasumsi saya tak lagi perlu memberikan penjelasan tentang apa itu Street Fighter. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu saran. Artikel ini agak panjang, jadi, silahkan Anda cari posisi enak terlebih dulu. Anda juga bisa menyiapkan kudapan atau minuman jika mau.

Jika sudah, silahkan membaca…

 

Awal Mula Street Fighter: Dari Rasa Bosan

Neccessity is the mother of invention. Dalam kasus Street Fighter, bukan “kebutuhan” yang menjadi alasan di balik game ini diciptakan. Awal dari game Street Fighter adalah dari rasa bosan. Ialah Takashi Nishiyama, yang pernah menjabat sebagai Street Fighter Director di Capcom Jepang.

Dalam satu waktu, dia merasa pertemuan antara tim developer dan tim sales berjalan sangat lama, membuatnya bosan. Untuk mengatasi kebosanannya, dia mengkhayal. Saya yakin, Anda juga pernah mengalami hal serupa. Mungkin saat Anda masih duduk di sekolah atau universitas. Mungkin juga, hal serupa terjadi saat Anda sudah bekerja. Sebagai seorang developer game, khayalan Nishiyama tentu saja masih seputar game.

“Saya ingat saya tidak terlalu memerhatikan meeting yang berlangsung dan justru mencorat-coret ide di kertas,” kata Nishiyama. “Ketika ide Street Fighter muncul di kepala saya, saya menuangkannya di kertas selama meeting.” Kebetulan, dia duduk di sebelah Yoshiki Okamoto, yang merupakan seorang Producer di Capcom. Dia lalu menunjukkan corat-coretnya pada Okamoto, meminta pendapatnya. Okamoto menjawab bahwa ide Nishiyama menarik.

Nishiyama mengungkap, dia mendapatkan inspirasi untuk Street Fighter dari game Spartan X alias Kung-Fu Master, yang ketika itu memang sedang dia garap. “Saya sedang memikirkan boss fight di game Spartan X dan saya pikir, menarik kalau membuat game tentang pertarungan melawan bos tersebut,” ujarnya. “Bisa dibilang, Spartan X adalah dasar dari konsep Street Fighter.”

Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube
Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube

Nishiyama mengaku, corat-coret yang dia buat selama meeting tidak tersusun rapi. Namun, dia kemudian mengumpulkan semua catatannya dan menjadikannya sebagai dokumen yang koheren. Dia lalu menggunakan dokumen itu untuk meyakinkan para bos Capcom agar mereka mau membuat game Street Fighter.

“Saya lalu menunjukkan dokumen itu pada Matsumoto. Dialah yang merapikan ide saya setelah itu,” ujar Nishiyama. Matsumoto yang dia maksud adalah Hiroshi Matsumoto, Street Fighter Planner, Capcom Jepang. “Setelah itu, dia bertanggung jawab atas semuanya. Saya memang mengawasi proses pengembangan game itu, tapi, Street Fighter adalah game Matsumoto.”

Matsumoto bercerita, setelah Nishiyama menunjukkan idenya akan Street Fighter, dia mulai membayangkan karakter-karakter yang bisa dimasukkan dalam game tersebut. “Saya memikirkan karakter-karakter yang harus kami buat, gaya bertarung dan gerakan mereka,” ungkapnya. “Ketika itu, saya sangat tertarik dengan seni bela diri, walau hanya sebagai hobi. Saya banyak membaca tentang itu. Jadi, saya sangat bersemangat.”

Menurut Nishiyama, salah satu hal yang membuat Street Fighter unik jika dibandingkan dengan game-game lain pada eranya adalah keberagaman karakter yang ada. Selain itu, para karakter di Street Fighter juga memiliki gaya bertarung yang berbeda-beda. “Kita punya tinju, kickboxing, bojutsu, shorinji kempo, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation
Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation

“Jika Anda membuat fighting game dan Anda hanya mengadu dua petinju, game itu akan jadi sangat sederhana, tapi juga membosankan. Lain halnya, jika Anda mengadu petinju melawan kickboxer, misalnya, atau seseorang yang belajar shoroinji kempo, Anda akan melihat berbagai kombinasi unik,” kata Nishiyama. Setelah itu, dia bekerja sama dengan Mtasumoto untuk membuat cerita yang lebih kompleks dari para karakter.

 

Tantangan Dalam Fase Pengembangan

Street Fighter V: Arcade Edition memiliki 28 karakter yang bisa Anda mainkan. Setiap karakter memiliki jurus khusus yang bisa Anda gunakan. Game Street Fighter pertama tidak secakap itu. Selain dari segi grafik, karakter yang bisa Anda mainkan dalam game itu juga jauh lebih sedikit. Faktanya, dalam Street Fighter pertama, Anda hanya bisa memainkan dua karakter: Ryu dan Ken. Sementara karakter-karakter lainnya hanya muncul sebagai musuh. Memang, ketika itu, Ryu dan Ken sudah memiliki special moves. Hanya saja, gerakan para karakter masih sangat kaku.

“Menurut saya, salah satu masalah terbesar dalam membuat game Street Fighter disebabkan karena programmer utamanya bukanlah seorang game programmer,” kata Matsumoto. Dia bercerita, sang programmer utama Street Fighter dulunya adalah seorang teknisi sistem dan bukannya game programmer. Karena itu, dia tidak terlalu paham tentang cara membuat game, bahkan hal-hal dasar sekalipun.

Matsumoto bercerita, hal ini membuatnya kesulitan untuk menyampaikan ide yang dia miliki. Komunikasi begitu sulit sehingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk menulis sendiri sebagian kode dari game Street Fighter. “Daripada saya mencoba untuk mengajarkannya cara menulis kode yang saya inginkan, akan lebih cepat jika saya membuat kode itu sendiri,” akunya.

“Sekarang, kita bisa menggunakan berbagai tools untuk membuat animasi. Namun, saat itu, kita harus menggunakan tabel untuk melihat setiap frame animasi dari tiap karakter,” ujar Matsumoto. “Membuat animasi adalah pekerjaan yang membosankan karena Anda harus mengatur setiap frame secara manual. Jika Anda ingin membuat animasi yang bergerak dari satu titik ke titik lain, Anda harus memasukkan semua data secara manual. Dan jika ada revisi, hal itu berarti Anda harus mengulang pekerjaan Anda. Semua itu bukan tugas saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain. Jauh lebih cepat jika saya melakukan semuanya sendiri.”

Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku
Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku

Meskipun sukses membuat game Street Fighter, Nishiyama masih memiliki satu penyesalan. Dia kecewa karena idenya dan Matsumoto untuk membuat banyak karakter yang bisa dimainkan tak bisa direalisasikan. Karena keterbatasan dana dan waktu, Street Fighter hanya memiliki dua karakter yang bisa dimainkan, yaitu Ryu dan Ken. “Saya ingin menampilkan lebih banyak karakter yang bisa dimainkan,” ujar Nishiyama. “Sayangnya, kami hanya bisa membuat dua.”

Matsumoto memiliki cerita yang sama. Ada banyak karakter yang ingin dia masukkan dalam Street Fighter. Sayangnya, Okamoto lalu memutuskan untuk tidak memasukkan sejumlah ide Matsumoto karena keterbatasan waktu. “Okamoto tertarik dengan pengembangan Street Fighter, walau dia tidak terlibat langsung,” kata Matsumoto. “Dia begitu tertarik dengan proyek itu sehingga dia ikut turun tangan dalam diskusi tentang sensor tekanan yang kami ingin gunakan dalam mesin arcade untuk Street Fighter.”

 

Mesin Arcade Khusus untuk Street Fighter

Nishiyama bercerita, pada tahun 1980-an, Sega dan Namco mendapatkan untung besar dari bisnis mesin arcade. Ketika Capcom mengetahui hal ini, mereka juga ingin mencoba masuk ke bisnis tersebut. Memang, saat itu, Capcom sudah membuat game dan menjualnya pada operator arcade yang ingin mengganti game pada mesin arcade mereka. Hanya saja, Capcom juga mulai tertarik untuk menjual mesin arcade bersamaan dengan game buatan mereka. Street Fighter dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan para operator arcade bahwa Capcom dapat membuat mesin arcade dan game yang unik.

Masalahnya, Capcom tidak mengetahui rahasia Sega dan Namco dalam membuat mesin arcade berukuran besar, yang menjadi produk spesialisasi dari kedua perusahaan itu. Alhasil, Capcom memutuskan untuk membuat mesin arcade yang lebih sederhana dengan fitur unik: tombol yang sensitif pada tekanan. Sayangnya, membuat sensor tekanan tidak mudah. Jadi, Capcom lalu meminta bantuan Atari.

Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon
Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon

Pada Mei 1987, Capcom mengumpulkan distributor arcade di sebuah gym di Philadephia, Amerika Serikat. Di hadapan para distributor tersebut, Capcom memamerkan Street Fighter beserta mesin arcade dengan desain yang berbeda dari mesin arcade kebanyakan. Mereka sukses membuat para distributor arcade tertarik dengan Street Fighter beserta mesin arcade-nya.

Ketika Street Fighter diluncurkan di arcade, game tersebut hadir dengan mesin khusus. Mesin arcade untuk Street Fighter dilengkapi dengan sebuah joystick dan dua tombol lebar yang sensitif terhadap tekanan. Anda bisa menekan kedua tombol itu untuk melakukan tendangan atau pukulan.

“Idealnya, sensor pada tombol akan bisa mendeteksi seberapa kuat sang pemain menekan tombol tersebut,” kata Nishiyama. “Dan para pemain akan bisa mengeluarkan jurus yang berbeda tergantung pada seberapa kuat mereka menekan tombol itu.”

Masalah Pada Mesin Arcade Street Fighter

Capcom sukses membuat Street Fighter beserta mesin arcade khusus dari game itu. Sayangnya, hal itu bukan berarti Capcom tak menemui masalah baru. Kali ini, masalah Capcom adalah memainkan Street Fighter pada mesin arcade dengan tombol yang sensitif pada tekanan menghabiskan banyak tenaga.

“Tujuan Capcom untuk masuk ke bisnis arcade adalah untuk menjaring banyak konsumen, yang rela menghabiskan uang untuk memainkan game kami sehingga kami bisa mendapatkan untung,” ujar Nishiyama. “Dan kami tidak akan bisa mencapai tujuan itu jika memainkan game yang kami buat membuat para gamer lelah.”

Pada akhirnya, Capcom memutuskan untuk mengubah desain mesin arcade untuk Street Fighter. Mereka mengganti dua tombol yang sensitif pada tekanan dengan enam tombol. Dengan begitu, untuk mengeluarkan jurus yang berbeda, Anda cukup menekan kombinasi tombol yang sama sekali berbeda, tanpa harus mempertimbangkan seberapa kuat Anda menekan tombol tersebut. Keputusan Capcom untuk mengubah desain mesin arcade mereka juga sempat mengalami masalah, khususnya terkait peletakan tombol. Pasalnya, ketika Street Figter pertama kali dirilis, kebanyakan game hanya memerlukan joystick dan dua tombol.

“Kami ingin membuat mesin arcade dengan enam tombol. Kami mendapatkan banyak protes dari tim sales karena mereka khawatir orang-orang tidak akan tahu cara untuk memainkan game dengan enam tombol,” ujar Nishiyama. “Meskipun begitu, pada akhirnya kami tetap meluncurkan mesin arcade dengan enam tombol. Dan kami justru mendapatkan banyak komentar positif dari para konsumen.”

SNK “Membajak” Developer Capcom

Street Fighter pertama memang jadi awal mula dari franchise fighting game tersebut. Namun, ekosistem esports dari Street Fighter baru muncul saat Street Fighter 2 diluncurkan pada 1991. Hanya saja, lagi-lagi, jalan Capcom tak mulus. Tidak lama setelah Street Fighter dirilis, seorang headhunter berhasil meyakinkan Nishiyama untuk meninggalkan Capcom dan bergabung dengan SNK. Seolah itu tidak cukup buruk, Nishiyama juga mengajak Matsumoto dan sebagian besar timnya ke SNK. Hal ini membuat hubungan antara kedua perusahaan memburuk.

Dalam beberapa tahun ke depan, persaingan antara Capcom dan SNK memanas. Kedua perusahaan tidak hanya mengembangkan game yang mirip, mereka juga menyelipkan ledekan dalam game mereka. Menariknya, hubungan antara pekerja Capcom dan SNK justru tidak mengalami masalah. Ada banyak developer dari kedua perusahaan yang berasal dari sekolah yang sama atau bermain di arcade yang sama. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga masih sering hang out setelah kerja. Bahkan ada seorang developer SNK yang menikah dengan seseorang yang bekerja di Capcom.

“Saya pikir, memang ada persaingan antara SNK dan Capcom pada era 1980-an,” ungkap Nishiyama. “Tsujimoto dari Capcom dan Kawasaki dari SNK pada awalnya merupakan teman. Namun, hubungan mereka memburuk karena ada sesuatu yang terjadi.” Dua orang yang Nishiyama bicarakan adalah Kenzo Tsujimoto, CEO Capcom dan Eikichi Kawasaki, pendiri SNK.

Setelah Nishiyama bekerja di SNK, dia membuat fighting game baru, Fatal Fury. Dia berkata, jika dia bertahan di Capcom, kemungkinan, sekuel dari Street Fighter akan mirip dengan Fatal Fury. Timnya juga terus berusaha untuk mengeksplor cerita dari masing-masing karakter dalam game itu. Dia juga memperkenalkan konsep baru dalam fighting game, misalnya, kemampuan untuk melompat dari background ke foreground atau sebaliknya.

Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull
Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull

Sementara itu, Capcom membuat sekuel dari Street Fighter. Tim developer untuk Street Fighter 2 dipimpin oleh Yoshiki Okamoto. Dalam sekuel Street Fighter, dia berhasil memperbaiki hampir semua aspek dari game pertama, mulai dari tampilan game, gameplay, sampai jumlah karakter yang bisa dimainkan.

Bagaimana Street Fighter Jadi Game Esports?

Komunitas esports dari Street Fighter mulai muncul setelah Capcom merilis Street Fighter 2. Game itu diluncurkan untuk arcade pada 1991. Satu tahun kemudian, game tersebut bisa dimainkan di konsol. Turnamen grassroots mulai muncul di berbagai arcade lokal, khususnya di Jepang dan pesisir Barat dan Timur dari Amerika Serikat.

Pada 2004, muncul dua pemain bintang di scene esports Street Fighter, yaitu Justin “Marvellous” Wong dan Daigo “The Beast” Umehara. Pertarungan antara keduanya sempat menjadi viral, membuat turnamen Street Fighter menjadi semakin populer. Ketika itu, Daigo menggunakan Ken sementara Justin memainkan Chun-Li. Justin berhasil mendesak Daigo, yang health bar-nya sudah sangat tipis. Namun, Daigo berhasil membalikkan keadaan. Dia tidak hanya berhasil menangkis serangan Justin, dia juga dapat meng-KO lawannya.

Banyak orang percaya, pertarungan antara Daigo dan Justin tersebut membuat banyak orang kembali tertarik tidak hanya dengan turnamen Street Fighter, tapi juga scene esports dari fighting game.

Pada 2008, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk arcade  di Jepang. Saat itu, banyak fans Street Fighter yang mengira bahwa Capcom tak lagi tertarik dengan franchise tersebut. Tak heran, mengingat terakhir kali Capcom merilis game Street Fighter adalah pada 1999, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike. Namun, Producer Capcom, Yoshinori Ono berhasil meyakinkan perusahaan untuk menghidupkan kembali franchsie Street Fighter. Pada 2009, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk konsol. Keputusan Capcom tersebut berhasil menghidupkan kembali scene esports dari game tersebut.

“Alasan utama mengapa kami meluncurkan Street Fighter 4 adalah karena banyak media yang membahas game tersebut dan minat fans akan game Street Fighter yang tidak ada habisnya,” kata Ono. “Ketika itu, saya hanya ingin membuat game yang bisa ditonton oleh keluarga saat saya memainkannya. Scene esports Street Fighter sekarang mungkin terlahir dari konsep ini. Namun, ketika itu, saya tidak memiliki rencana sejauh itu.”

Sementara itu, Matt Dahlgren, Product Manager, Capcom mengatakan, melalui Street Fighter 4, Capcom mencoba untuk mengembalikan fitur-fitur dalam Street Fighter 2 yang membuat game itu sangat disukai oleh banyak orang, seperti sistem Focus Attack.

Sejak peluncuran Street Fighter 4, komunitas fighting game terus tumbuh. Evolution Championship Series alias Evo kini menjadi salah satu turnamen fighting game terbesar. Jumlah penonton Evo, baik yang menonton secara langsung langsung maupun secara online, terus naik. Seiring dengan semakin populernya Evo, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor dari turnamen itu.

Semakin populernya turnamen fighting game menarik perhatian sejumlah publisher game. Sebagian dari mereka memutuskan untuk memasukkan game mereka dalam kompetisi seperti Evo. Dan ketika Capcom mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan penerus dari Street Fighter 4, para pemain profesional dan penyelenggara turnamen sibuk untuk mengembangkan scene esports dari fighting game agar menjadi semakin profesional.

Pada 2013, Capcom mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan liga profesional premier sendiri, yaitu Capcom Pro Tour. Kompetisi tersebut akan melibatkan sejumlah turnamen internasional yang disponsori oleh Capcom. Saat Capcom merilis Street Fighter 5 pada 2016, Capcom memanfaatkan momentum untuk mengembangkan komunitas Street Fighter.

 

Penutup

Street Fighter sukses menjadi salah satu franchise game paling sukses. Sekarang, komunitas esports dari game ini juga terus berkembang. Berbagai turnamen Street Fighter ada di skala global, menarik banyak sponsor. Hal ini akan membuat ekosistem esports Street Fighter dapat bertahan. Dan esports bisa menjadi alat marketing yang baik bagi sebuah game untuk menarik gamer baru.

Sumber: Polygon, RedBullThe Esports Observer

Sumber header: PlayStation

[Rekap] Hero Dota 2 Terkuat, Keluarnya SumaiL, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

 

CEB KEMBALI, SUMAIL KELUAR

Pemain offlane berkepala dingin dan otak di balik kesuksesan OG yang dijuluki “The Dota Nerd” resmi kembali ke medan pertempuran. Setelah beberapa bulan tidak aktif, Sebastien “Ceb” Debs memberikan kejutan menyenangkan untuk penggemarnya dengan memutuskan kembali ke scene kompetitif Dota 2.

Pemain Dota 2 kelas dunia ini telah menjadi “pilar OG dan salah satu pemain offlane terbaik sepanjang sejarah”. Dia akan mengambil peran offlaner sekali lagi, yang berarti Sumail “SumaiL” Hassan harus keluar dari roster OG.

HERO DOTA 2 TERKUAT DI PATCH 7.27C

Update Dota 2 terbaru sudah dirilis sekitar seminggu yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut, mulai terlihat tren Hero di Pub game. Update kali ini membawa banyak perubahan pada para hero, yang tentunya berpengaruh pada win-rate mereka.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

 

23SAVAGE JADI PEMAIN DOTA2 KEDUA YANG SUKSES TEMBUS 11.000 MMR

Pemain carry andalan Fnatic, Nuengnara “23savage” Teeramahanon, baru saja menjadi pemain kedua yang sukses mencapai 11.000 matchmaking rating alias MMR di Dota2.

Dua bulan setelah menjadi pemain ke-20 dalam sejarah Dota 2 yang sukses menembus 10.000 MMR, 23savage mengungkapkan pencapaian besarnya ini melalui akun Twitter pribadinya dengan total 11.020 MMR.

 

KEREN, RRQ HOSHI PERKENALKAN ROSTER UNTUK MPL SEASON 6 MEMANFAATKAN UNIVERSE HARVEST MOON: BACK TO NATURE

Sebagai juara bertahan, Rex Regum Qeon (RRQ) Hoshi memperkenalkan roster mereka dengan cara yang unik dan tidak asal-asalan. Bahkan usaha tersebut mereka sampaikan dengan cara yang unik.

RRQ membuat video animasi dengan berlatarbelakang game simulasi farming yang populer di awal 2000-an, yaitu Harvest Moon: Back to Nature. Mereka memanfaatkan sebagian kecil dari apa yang ada di universe permainan tersebut dengan alur cerita sederhana, tetapi telah disesuaikan dengan karakteristik setiap karakter yang dihadirkan.

EKS PELATIH CW DAN RASY DI TIM AOV SES RESMI TANGANI TIM MOBILE LEGENDS ONIC ESPORTS

Kabar terbaru dari persiapan tim-tim yang bakal berkompetisi di turnamen Mobile Legends Professional League (MPL) Season 6 hadir dari kubu ONIC Esports. Kini secara resmi mereka telah memiliki pelatih baru yang akan menggantikan Jeremy “Tibold” Yulianto.

Sosok yang dimaksud adalah Chen “Somber” Po-Heng. Pelatih asal Taiwan ini resmi ditunjuk untuk menjadi pelatih kepala tim Mobile Legends ONIC Esports pada Minggu (26/7/2020).

 

Powered by ONE Esports 

esports-logo

Review Lenovo Legion 5: Rancangan Mantap Dengan Jeroan yang Tanggung

Selama situasi pandemi jumlah pemain game di PC memang dikabarkan meningkat lebih pesat dibanding dengan pemain game mobil. Apalagi protokol Physical Distancing dan himbauan untuk di rumah saja mungkin akan membuat Anda bosan setengah mati, jika Anda tidak memiliki sebuah perangkat untuk sarana hiburan atau produktivitas.

Dari sisi desktop, saya sudah sempat mengulas Acer Nitro N50-110, yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk dibeli jika Anda adalah tipe pengguna yang tak mau repot. Lalu bagaimana dari laptop? Mengingat beberapa waktu lalu Lenovo baru meluncurkan lini produk laptop gaming terbaru, mungkin Anda bisa menjadikan produk tersebut sebagai pertimbangan.

Kebetulan beberapa waktu lalu saya dipinjami Lenovo Legion 5 untuk di-review. Jika Anda penasaran apakah laptop ini bisa memenuhi kebutuhan gaming dan produktivitas Anda, simak ulasan berikut dari saya.

 

Tampilan, Desain, dan Lenovo Legion 5 Secara Keseluruhan

Saat membahas desktop saya sengaja menempatkan soal performa di bagian pertama, karena faktor itu yang lebih esensial. Namun berhubung kali ini barang yang saya review adalah laptop, saya merasa bagian soal tampilan dan desain jadi penting karena bisa dibilang sebagai nilai jual utama juga dari sebuah laptop. Jajaran produk laptop “gaming” dari Lenovo ini membawa jargon “Stylish Outside, Savage Inside”. Alhasil, Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 yang diluncurkan pada 25 Juni 2020 kemarin tersaji dengan penampilan yang minimalis, elegan, dan profesional.

Desainnya jadi alasan kenapa saya menggunakan tanda kutip saat menyebut laptop gaming. Karena tampilan luarnya membuat laptop ini sebenarnya jadi tidak terlihat seperti kebanyakan laptop gaming lainnya.

Oh iya, sebelum lebih lanjut membahas soal tampilan, saya jelaskan dulu varian Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 agar Anda tidak bingung. Lenovo Legion dan IdeaPad Gaming datang dengan dua varian. Lenovo Legion 5i menggunakan prosesor Intel, sementara Lenovo Legion 5 menggunakan prosesor AMD. IdeaPad Gaming juga sama, IdeaPad Gaming 3i menggunakan prosesor Intel, IdeaPad Gaming 3 menggunakan prosesor AMD. Unit yang saya review adalah Lenovo Legion 5, yang menggunakan prosesor AMD.

Secara penampilan, Lenovo Legion 5 tidak beda dari Lenovo Legion 5i, hanya jeroannya saja yang berbeda. Juga supaya Anda tidak bingung, berikut spesifikasi varian Lenovo Legion 5 yang saya review kali ini:

1- lenovo legion 5

Lanjut membahas tampilan, salah satu yang membuat saya merasa Lenovo Legion 5 tidak terlihat sebagai laptop gaming adalah warna hitam doff yang disebut sebagai “Phantom Black”. Seperti yang Anda tahu, laptop yang menggunakan embel-embel “gaming” biasanya tampil mencolok, entah dengan lampu RGB, warna-warna cerah, desain ala racing, atau gimmick tampilan lainnya.

Alih-alih menggunakan tampilan yang terkesan kekanak-kanakan, Lenovo Legion 5 malah tampil dewasa dan elegan. Warna tersebut dipermanis dengan logo Lenovo kecil yang nemplok di pojok kiri layaknya pembatas buku kecil, dan logo Legion di pojok kanan yang agak besar, namun tetap kalem dan minimalis. Dahulu logo ini menyala putih, kini diubah menjadi hanya bersifat iridescent, alias berubah warna saat terkena pantulan cahaya.

Oke, soal tampilan mungkin cukup segitu saja. Soal keyboard, mungkin jadi hal yang ingin saya bahas selanjutnya. Saat peluncuran, Lenovo gembar-gembor soal True Strike keyboard sebagai salah satu fitur unggulan. Hal ini membuat saya jadi penasaran dan bertanya “memangnya sebagus dan seenak apa sih True Strike keyboard?”

Ternyata setelah dicoba, saya bisa bilang bahwa keyboard Lenovo Legion 5 ini adalah yang paling enak dibanding dari kebanyakan keyboard laptop yang ada di pasaran. Saya sengaja bilang “enak” karena memang ini memang adalah pendapat subjektif. Seberapa enak? Ya cukup enak sampai membuat saya meninggalkan keyboard mekanik Anne Pro II yang menggunakan red switch, untuk pekerjaan menulis saya.

Bagaimana feel-nya? Solid, tactile, dan lembut. Setiap tombol yang ditekan terasa kokoh tapi luwes. Tombol yang ditekan akan langsung masuk menjadi input, tanpa ada perasaan goyang atau jiggly terhadap tombol yang ditekan. Setiap tombol dilapisi Anti-oil coating, yang juga memberi feel lembut ketika permukaan tuts keyboard disentuh.

Lalu apakah keyboard True Strike bagus? Untuk urusan produktivitas, keyboard ini bagus, karena punya layout full-size, dengan full-sized NumPad, tombol arrow, dan tombol F-row (F1-F12) yang cukup besar. Beberapa laptop gaming mungkin sudah menyediakan ini, tetapi menurut saya yang perlu diapresiasi adalah ukuran setiap tombolnya yang cukup besar sehingga sangat nyaman digunakan untuk urusan produktivitas kerja.

Untuk gaming juga bagus, karena keyboard ini sudah memiliki fitur N-Key Rollover (NKRO) dan anti-ghosting. Dengan dua fitur tersebut, artinya Anda bisa menekan sebanyak mungkin tuts keyboard dan semuanya akan masuk menjadi input. Untuk urusan gaming, NKRO dan anti-ghosting jadi penting, karena pemain kerap kali menekan keyboard dengan cepat, yang bisa menyebabkan apa yang keluar di game tidak sesuai dengan apa yang ditekan, jika keyboard tidak memiliki dua fitur tersebut.

Tapi apakah “enak” untuk gaming? Saya rasa cukup enak, tapi tingkat responnya masih kalah cepat jika dibandingkan dengan keyboard mekanik yang menggunakan red switch, terutama untuk urusan gaming kompetitif. Namun jika Anda main game secara casual saja, saya merasa keyboard laptop Legion Lenovo 5 ini sudah sangat cukup.

Kekurangan dari keyboard True Strike di Lenovo Legion 5 ini hanyalah tombol-tombol besar, seperti Enter dan Shift, yang cenderung terasa keras. Lagi-lagi, pendapat ini muncul, mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa dengan keyboard mekanik red switch, yang memang sangat ringan ketika ditekan. Oh iya, laptop ini juga hanya memiliki backlight warna putih. Untuk saya, ini sih bukan kekurangan tapi mungkin akan jadi dealbreaker jika Anda adalah seorang penggila RGB.

Tampilan sudah, keyboard sudah, sekarang kita beralih ke I/O ports dan monitor. Anda mungkin sudah sempat melihat ulasan dari beberapa YouTuber dan melihat rancangan I/O port Lenovo Legion. Laptop ini meletakkan hampir semua colokan di bagian belakang.

Walau membuat meja jadi kelihatan bersih, namun tetap ada plus-minus terhadap rancangan seperti ini. Minus-nya adalah, Anda mungkin akan sulit setup laptop jika ukuran meja Anda tidak begitu besar. Rancangan ini jadi sulit untuk anak kosan seperti saya, yang harus terima nasib menggunakan meja kecil fasilitas kosan, namun punya banyak gadget tambahan yang dicolok ke laptop… Hehe.

Soal monitor, saya menggunakan varian Lenovo Legion 5 yang memiliki tingkat kecerahan display sebesar 250nits dan Refresh-Rate 120Hz. Jujur, 250 nits sih terasa kurang, apalagi jika Anda adalah seorang gamers FPS kompetitif atau pekerja multimedia.

Anda bisa melihat sendiri pantulan matahari mengalahkan terangnya LCD jika digunakan di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Anda bisa melihat sendiri pantulan matahari mengalahkan terangnya LCD jika digunakan di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Dengan tingkat kecerahan 250nits, monitor laptop masih kalah dengan cerahnya matahari, terutama saat pagi hingga siang hari. Refresh-rate 120Hz terasa sangat enak. Bukan hanya untuk gaming, tetapi juga membuat berbagai animasi Windows 10 jadi terasa lebih halus.

Bagaimana untuk gaming? Berhubung saya adalah reviewer kere-hore, jadi saya belum pernah mencoba monitor dengan Refresh-Rate yang lebih tinggi lagi. So? 120Hz terasa baik-baik saja, sangat enak untuk bermain game FPS yang banyak gerakan seperti Apex Legends. Namun satu hal yang pasti, Refresh Rate tersebut ternyata tidak berhasil membuat saya jadi lebih jago saat main VALORANT, tetap saja saya mengisi posisi Bottom Frag… Haha.

 

Performa Tanggung Dengan Kemampuan Thermal yang Mantap

Unit Lenovo Legion 5 yang saya review ini menggunakan prosesor AMD Ryzen R5-4600H yang dilengkapi dengan GPU GeForce GTX1650Ti 4GB GDDR6. Dari sini, Anda yang geeky soal hardware mungkin sudah punya gambaran atas performa laptop ini. Namun, mari kita lihat hasil pengujian saya terhadap performa Lenovo Legion 5.

Untuk urusan gaming, saya cuma bisa bilang bahwa Lenovo Legion 5 ini “Esports Ready”. Tapi untuk gaming AAA? Sepertinya nanti dulu. Kenapa saya bilang Esports Ready? Karena display 120Hz dari laptop ini sangat menunjang kebutuhan gaming kompetitif. Juga, game multiplayer kompetitif cenderung tidak terlalu demanding dari segi hardware. Jadi saya rasa, AMD Ryzen R5-4600H dan GTX 1650Ti sudah lumayan cukup untuk mencapai 60++ FPS pada beberapa judul game kompetitif.

Seperti sebelumnya, saya menggunakan PUBG (Steam) dan Apex Legends sebagai alat untuk menguji kemampuan laptop dalam menjalankan game multiplayer kompetitif. Kenapa game tersebut yang saya pilih? Karena dua game tersebut bisa dibilang sebagai dua game multiplayer kompetitif paling berat untuk saat ini. Untuk metode, pada pengujian ini saya bermain dengan beberapa preset pengaturan grafis, demi menemukan pengaturan yang paling optimal dengan display Refresh Rate 120Hz.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark PUGB. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Mengingat spesifikasi minimum PUBG yang lebih tinggi daripada Apex Legends, maka tidak heran jika usaha untuk mendapat 100++ average FPS di PUBG jadi lebih sulit ketimbang di Apex Legends. Bahkan PUBG dengan preset Very Low saja, tidak bisa menembus angka 100 Average FPS. Kenapa begitu penting mencapai 100++ FPS? Karena game FPS kompetitif cenderung mengutamakan respon. Visual kerap kali dipinggirkan dalam game kompetitif seperti PUBG. Bahkan hampir kebanyakan pemain CS:GO professional menggunakan pengaturan rendah, demi mendapat FPS sebanyak mungkin.

Tapi jika Anda adalah tipe pemain PUBG yang main santai, dan ingin menikmati indahnya pancaran matahari di map Vikendi ataupun Erangel 2.0, Lenovo Legion 5 masih kuat menjalankan PUBG dengan pengaturan Ultra.

Namun cukup sulit untuk main kompetitif dengan preset grafis Ultra, karena Lenovo Legion 5 cuma bisa dapat 51,1 average FPS, dengan 28,4 min FPS, dan 63,4 max FPS. Dalam keadaan yang umum, seperti masuk ke rumah untuk looting, atau rotasi dengan kendaraan, FPS berada di kisaran 30an. Max FPS sendiri baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit.

Pengaturan Medium membuat PUBG lebih playable untuk kompetitif dengan 78 average FPS, 58,5 min FPS, dan 106,4 max FPS. Seperti pengaturan Ultra, pemandangan standar bisa akan mendapatkan angka yang tidak jauh dari min FPS. Sementara angka max FPS baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit, atau menatap pemandangan yang minim konten visual.

Pengaturan Very Low baru bisa membuat PUBG jadi lebih “Esports Ready” dengan 93,9 average FPS, 43,8 min FPS, dan 166,4 max FPS. Saya cukup bingung kenapa catatan minimum FPS-nya lebih rendah daripada Medium. Mungkin sempat terjadi stutter ketika saya baru masuk game, atau saat baru terjun payung. Namun angka tersebut terbilang tak perlu terlalu dikhawatirkan, karena sepengalaman saya PUBG bisa berjalan di rata-rata 90++ FPS jika menggunakan preset grafik Very Low.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark Apex Legends. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Apex Legends lebih mudah untuk dapat 100++ average FPS. Bahkan game ini masih bisa dimainkan secara kompetitif pada pengaturan Ultra. Menggunakan preset pengaturan Ultra, Apex Legends bisa mendapatkan 76,3 average FPS, 39,3 min FPS, dan 117,9 max FPS. Saya merasa Apex dengan preset Ultra masih berjalan cukup mulus dalam berbagai skenario baku tembak. Angka min FPS sendiri didapatkan ketika awal terjun, dan pada skenario baku tembak yang penuh kekacauan dengan serangan dari berbagai arah, dan ledakan di mana mana.

Tetapi jika Anda bermain Apex Legends secara lebih kompetitif, preset grafis Medium akan lebih baik. Dengan pengaturan Medium, Apex Legends mendapatkan 101,8 average FPS, 58,6 min FPS, dan 144,8 max FPS. Lagi-lagi, angka min FPS saya dapatkan ketika awal terjun. Mungkin karena kartu grafis harus memproses seluruh bagian map. Namun bisa dipastikan bahwa dalam rata-rata skenario permainan, Apex Legends bisa berjalan di 100++ FPS.

Lalu bagaimana dengan game AAA? Hasil benchmark yang saya dapatkan menjadi alasan kenapa saya bilang, untuk urusan gaming, laptop ini cuma sampai status “Esports Ready” saja. Spesifikasi hardware yang disajikan ternyata masih cukup keteteran untuk menjalankan game AAA dengan preset grafis Ultra.

Kebutuhan grafis game AAA biasanya berbanding terbalik dengan game esports. Para PC Master Race seperti Editor kami, Yabes Elia, biasanya punya keinginan untuk menggunakan preset grafik Ultra demi mendapat kenikmatan visual. Kebutuhan Frame Rate biasanya tidak terlalu tinggi pada game AAA. 60FPS sudah cukup, setidknya agar game berjalan lebih mulus, tidak seperti… Uhuk! PlayStation yang cuma bisa 30 FPS saja.

Untuk game AAA saya menguji laptop ini dengan menggunakan Metro Exodus (2019) dan Assassin Creed: Odyssey (2018). Pengujian untuk Metro Exodus dilakukan dengan menjalankan game menggunakan beberapa pengaturan grafik, dan melihat perolehan FPS yang didapat. Sementara untuk Assassin’s Creed: Odyssey, saya menggunakan in-game benchmark.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark Metro Exodus. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Metro Exodus tidak memiliki preset grafik, jadi untuk grafik Ultra saya ubah semua opsi jadi rata kanan, dan Medium di rata tengah. Dengan pengaturan grafik Ultra, Metro Exodus ternyata jadi tidak playable. Game besutan 4A Games berubah jadi gambar stop motion dengan 19,9 average FPS, 9,3 min FPS, dan 32,1 max FPS.

Cukup menyedihkan memang. Iya sih, pengaturan Ultra membuat game jadi nikmat secara visual. Tapi juga jadi menyebalkan kalau baru mulai game karakter kita sudah mati dimakan mutant, gara-gara Frame Rate rendah membuat kita kesulitan merespon serangan.

Game tersebut baru bisa dimainkan dengan pengaturan Medium, yang berhasil mendapatkan 52,1 average FPS, dengan 41,4 min FPS, dan 68,9 max FPS. Permainan berjalan dengan cukup lancar, dan kini saya berhasil berjalan lebih jauh dibanding saat menggunakan pengaturan Ultra.

Dalam pertarungan, Frame Rate berada di kisaran 45-50 FPS, cukup untuk merespon musuh berupa AI yang sudah diprogram. Sementara itu max FPS didapatkan ketika Anda menghadapi pemandangan yang minim konten visual, contohnya saat Artyom (karakter utama Metro Exodus) dibawa ke markas Metro.

Selanjutnya Assassin’s Creed Odyssey. Game besutan Ubisoft ini sendiri terbilang masih playable dengan menggunakan pengaturan Ultra. Assasin’s Creed Odyssey berhasil mendapatkan 29 average FPS, dengan 17 min FPS, dan 49 max FPS.

Jadi, walau Anda cuma bisa mendapat Frame Rate layaknya bermain di konsol, tapi setidaknya Anda bisa bermain dalam keadaan visual yang ciamik. Namun memang, Assassin’s Creed Odyssey terbilang lebih ringan jika dibanding Metro Exodus. Dengan pengaturan High, Anda masih bisa mendapat 55 average FPS, 28 min FPS, dan 108 max FPS. Sementara preset Medium memberikan Anda 66 average FPS, 28 min FPS, dan 130 max FPS.

Jadi, apakah konfigurasi jeroan Lenovo Legion 5 versi Ryzen 5-4600H ini memang hanya sekadar cukup saja? Untuk mengetahui performanya saya lalu menguji kemampuan laptop dengan menggunakan 3DMark dan PCMark. Jika berdasarkan dua software penguji tersebut, konfigurasi Lenovo Legion 5 dengan CPU Ryzen 5-4600H dan GPU GTX1650Ti ini terbilang cukup tanggung.

Skor 3DMark Time Spy dan Fire Strike laptop ini masing-masing adalah 4032 dan 9377. Kalau menurut kedua software tersebut, semua skor ini lumayan ketinggalan dibanding dengan “Gaming Laptop 2020”. Menurut 3DMark “Gaming Laptop 2020” adalah laptop dengan prosesor Intel Core i7-9750H dengan kartu grafis GeForce RTX 2060. Menurut catatan 3DMark, Gaming Laptop 2020 bisa mendapat skor sebesar 5730 pada Time Spy, dan 13771 pada Fire Strike. Perbedaan yang cukup jauh?

Sementara untuk produktivitas, skor PCMark Lenovo Legion 5 malah bisa menyalip si Gaming Laptop 2020 dengan cukup jauh. Gaming Laptop 2020 hanya mendapatkan skor sebesar 4515 saja, sementara Lenovo Legion 5 bisa mendapatkan skor sebesar 5687. Kontestan Lenovo Legion 5 dalam urusan produktivitas ini malah Gaming PC 2020. Walau saya tahu tidak adil membandingkan laptop dengan desktop, namun menurut PCMark, Gaming PC 2020 dengan CPU AMD Ryzen 7 3700X, GPU AMD Radeon RX 5700 XT mencatatkan skor sebesar 6739, masih beda cukup tipis dibanding Lenovo Legion 5.

Memang kalau melihat dari sisi GPU, GTX1650 Ti tentu akan ngos-ngosan jika dibandingkan dengan RTX 2060. Mungkin hal ini jadi alasan kenapa skor 3DMark unit Lenovo Legion 5 yang saya uji masih kalah saing. Tetapi kalau untuk urusan produktivitas, Ryzen 5 4600H masih bisa diadu dengan dan Intel Core i7-9750H, yang mana keduanya sama sama memiliki 6 core 12 thread.

Oke, gaming sudah, pengujian dengan software juga sudah. Berikutnya kita akan membahas soal suhu. Soal thermal atau suhu juga jadi hal lain yang dibanggakan dari produk Lenovo Legion 5 ini, lewat teknologi yang disebut sebagai ColdFront 2.0.

Tapi, apa benar teknologi ini bisa membuat Lenovo Legion 5 jadi adem? Melihat dari kulit luar, rancangan sirkulasi udara Lenovo Legion 5 memang membuat saya kagum.

Jika Anda melihat ke bawah, Anda bisa melihat hampir setengah bagian Laptop hanya berisikan lubang udara yang dibuat dengan menggunakan rancangan circular atau bulat-bulat. Lalu beralih ke bagian samping dan belakang, Anda bisa melihat empat buah ventilasi udara: satu di kiri, dua di belakang, dan satu di kanan. Ketika berjalan dalam performa tinggi, laptop akan menyedot udara dingin dari bawah, dan mengeluarkan udara panas ke kiri, kanan dan belakang.

Hasilnya? Rancangan ColdFront 2.0 memang cukup baik namun tidak berhasil menahan suhu tertinggi yang mengkhawatirkan saat digunakan untuk memainkan Metro Exodus.

Namun demikian, setidaknya suhu hangat terkumpul di bagian tengah laptop saja. Jadi tak perlu khawatir tangan terasa panas saat sesi gaming, atau bekerja dengan durasi panjang saat menggunakan laptop ini.

Oh saya hampir lupa, baterai! Ini juga jadi aspek yang tidak kalah penting dalam urusan laptop. Saya menguji performa baterai dengan memainkan video HD 1080p mulai dari baterai penuh 100%, dan membiarkannya berjalan berulang-ulang sampai laptop mati sendiri.

Dengan menggunakan metode tersebut Lenovo Legion 5 bisa bertahan selama 2 jam 40 menit (160 menit). Dengan kapasitas 60.000mWh, daya tahan baterai Lenovo Legion 5 terbilang sudah cukup. Walau memang, jika dibandingkan dengan daftar Best Gaming Laptop menurut PCMag angka ini terbilang cukup rendah.

Tapi baterai seharusnya bisa bertahan lebih lama untuk skenario penggunaan sehari-hari, seperti mengirim surel, mengerjakan dokumen, dan lain sebagainya. Tapi tentu akan beda cerita jika Anda menggunakannya untuk tugas yang berat seperti mengedit video atau gambar.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Lenovo Legion 5 juga memiliki fitur Rapid Charge Pro yang cukup signifikan meningkatkan kecepatan charging. Fitur ini sendiri harus dinyalakan terlebih dahulu lewat software Lenovo Vantage. Tanpa Rapid Charge, Lenovo Legion 5 butuh 2 jam 7 menit (127 menit) untuk charging dari 0-100%. Rapid Charge berhasil memangkas 30 menit waktu charging, membuat proses dari 0-100% jadi hanya 1 jam 33 menit saja (93 menit).

Torehan daya tahan baterai dan proses charging saya dapatkan dengan menggunakan Performance Mode. Ini artinya daya tahan baterai seharusnya bisa lebih lama, dan proses charging bisa lebih cepat lagi jika Anda mengaktifkan Quiet Mode dengan menggunakan Lenovo Q Control 3.0 yang akan menurunkan CPU Voltage dan fan speed.

 

Fitur-Fitur Pelengkap Lenovo Legion 5

Dari semua fitur-fitur tambahan, satu lagi yang menarik untuk dibahas mungkin adalah software Lenovo Vantage. Saya akui, pengalaman saya mengulas produk laptop memang belum banyak. Namun saya merasa software ini menjadi nilai tambah yang sangat membantu untuk keseharian. Seperti saya sebut tadi, Lenovo Vantage adalah semacam pusat kendali untuk fitur-fitur tambahan dari Lenovo Legion 5, fitur Rapid Charge salah satunya.

Tetapi selain itu, software ini juga akan membantu Anda untuk melakukan update terhadap driver laptop, mengatur Lenovo Q Control, dan mengaktifkan Hybrid Mode.

Terkait Hybrid Mode, saya ingin sedikit membahas soal dampaknya pada performa. Awalnya saya cukup bingung dengan fungsi Hybrid Mode, bagaimana dampaknya terhadap performa jika saya nyalakan? Lenovo sendiri menjelaskan bahwa dalam mode ini, sistem akan mendeteksi apakah GPU dibutuhkan atau tidak. Jika tidak maka sistem akan secara otomatis dimatikan dan menggunakan Integrated Graphics Processor.

Karena penasaran, saya lalu mencoba melakukan sedikit benchmark untuk mengetahui dampaknya pada performa. Menariknya, Hybrid Mode justru menurunkan skor benchmark jika laptop digunakan sambil dicolok ke listrik. Masih menggunakan 3DMark, skor benchmark menurun jadi 9203 dibanding sebelumnya, yaitu 9377 saat Hybrid Mode tidak digunakan.

Tapi di sisi lain, performa laptop jadi meningkat saat melakukan benchmark dengan menggunakan baterai. Skor 3DMark Hybrid Mode dengan menggunakan baterai adalah 6638, sementara skor benchmark tanpa Hybrid Mode dengan menggunakan baterai hanya 6307 saja.

Hal lain yang patut jadi catatan adalah, Refresh Rate monitor akan bertahan di frekuensi 120Hz meski sedang menggunakan baterai, jika Hybrid Mode dinyalakan. Sementara jika Hybrid Mode dimatikan, Refresh Rate monitor akan otomatis turun ke frekuensi 60Hz ketika menggunakan baterai. Jadi? Hybrid Mode atau tidak? Saya rasa Hybrid Mode akan cocok jika di sekitar Anda tidak ada colokan listrik, namun Anda sedang butuh performa untuk task berat seperti edit video.

Terakhir Lenovo juga memberikan nilai tambah lain berupa Accidental Damage Protection dan Onsite Warranty selama dua tahun. Garansi tersebut bisa digunakan untuk berbagai kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian pengguna. Tak hanya itu, paket penjualan Lenovo Legion 5 juga sudah menyertakan Windows 10, dan juga paket Microsoft Office Home & Student 2019.

 

Kesimpulan

Jadi apakah Lenovo Legion 5 layak beli? Secara price-to-performance, Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dan GPU GeForce GTX1650Ti ini terbilang tanggung. Apalagi mengingat masih ada laptop gaming lain yang punya spesifikasi hardware serupa, namun memiliki harga yang lebih terjangkau.

Tetapi, saya merasa nilai jual Lenovo Legion 5 ini sebenarnya datang dari desain produk laptop ini secara keseluruhan dan juga fitur-fitur tambahan yang disematkan.

Apakah keyboard yang diberikan bisa solid dan lembut seperti keyboard dengan teknologi True Strike atau tidak? Saya juga penasaran dan ingin bisa menjawab pertanyaan tersebut. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk melakukan review terhadap laptop dengan spesifikasi serupa, agar bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Selain itu, hal lain yang menurut saya jadi nilai jual dari Lenovo Legion 5 ini adalah rancangan tampak luar yang elegan, sleek, dan minimalis. Jadi jika Anda adalah datang dari kalangan profesional yang suka main game, laptop ini masih bisa digunakan untuk keseharian, karena tetap membuat Anda tampil smart, dan profesional saat digunakan di lingkungan kerja.

Menurut saya, pesaing Laptop Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dengan GeForce GTX1650Ti ini malah adalah versi Lenovo Legion 5 yang punya konfigurasi hardware lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga antar versi Lenovo Legion 5 yang beda-beda tipis.

Versi yang saya review dibanderol dengan harga Rp16.499.000. Sementara di sisi lain, Lenovo Legion 5 versi lain yang menggunakan konfigurasi hardware berupa AMD Ryzen R7-4800H dengan GeForce GTX1660Ti, ditambah dengan Refresh Rate monitor 144Hz, dibanderol dengan harga Rp18.499.000. Lalu jika kita mengintip versi Intel, harga Lenovo Legion 5i versi Core i7-10750H dengan NVIDIA GTX1660Ti juga cuma Rp21.999.000.

Apakah beda performanya signifikan? Saya sendiri belum sempat mencobanya. Tetapi untuk penggunaan jangka panjang, saya rasa tidak ada salahnya untuk lebih sabar, menabung 5,5 juta lagi, demi mendapat konfigurasi hardware tertinggi, agar laptop bisa menjadi investasi masa depan yang future-proof.

Tapi jika dana Anda terbatas, dan butuh segera membeli laptop, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen 5 4600H dengan GeForce GTX1650Ti.

[Opini] Bagaimana Masa Depan Industri Esports dan Game di Kala Pandemi?

Di kala pandemi COVID-19 sampai hari ini, industri esports dan game memang nampaknya terlihat masih bertahan dan malah menunjukkan sejumlah peningkatan.

MPL ID S5 yang berakhir bulan April 2020 lalu berhasil mencetak rekor penonton tertinggi dibanding musim-musim sebelumnya dengan 1,1 juta peak viewers menurut Esports Charts (meski babak Playoffs-nya digelar full online). MPL Invitational yang berakhir bulan Juli 2020 juga bahkan berhasil melampaui jumlah penonton LCK.

Dari game lainnya, PUBG Mobile, Indonesia juga bahkan menjadi konsumen tayangan PMWL terbesar kedua di dunia. Sepanjang 2020, PUBG Mobile juga sudah berhasil meraup pendapatan sebesar US$1,3 miliar.

Bigetron RA PMCO Global Finals 2019
Sumber: Official PUBG Mobile

Menurut laporan dari Niko Partners, waktu yang dihabiskan oleh gamer untuk bermain game selama pandemi meningkat 50-75%. Di Tiongkok, penonton mobile esports juga bertumbuh sebesar 75-100%. Menurut studi Esports Charts dan IDC, pandemi juga membuat viewership esports naik.

Tak hanya di platform mobile, penjualan hardware PC gaming juga meningkat pesat (10,3%) karena pandemi. Tren dari esports balap juga menunjukkan ke arah yang positif karena sebagian besar ajang balap mobil bergeser jadi ajang balap di arena virtual (sim racing) seperti Le Mans 2020, eNascar iRacing, ataupun F1.

Jika Anda pembaca setia Hybrid, Anda tentu juga sudah kerap menemukan berita-berita positif tentang pertumbuhan industri esports dan game di kala pandemi ini. Namun demikian, bagaimana jika masa pandemi ini masih terus bergulir sampai bertahun-tahun? WHO bahkan mengatakan jika pandemi ini bisa saja butuh waktu sampai 5 tahun sampai benar-benar bisa ditanggulangi. Bisakah industri game dan esports masih bertahan jika hal itu terjadi?

Sebelum saya menjabarkan opini saya tentang masa depan industri esports dan game di tengah pandemi, tak ada salahnya juga kita melihat penyebab peningkatannya terlebih dahulu. Oh iya, sebagai justifikasi dari opini kali ini, kebetulan saja saya sudah berkecimpung di industri ini sejak 2008 saat saya masih bekerja di sebuah media cetak yang membahas soal game, esports, dan teknologi yang berkaitan dengannya.

 

Kenapa Industri Esports dan Game Bertumbuh Pesat di Kala Pandemi?

Mobile Legends Pro League diadakan secara online karena pandemi virus corona. | Sumber: Moonton
Mobile Legends Pro League diadakan secara online karena pandemi virus corona. | Sumber: Moonton

Alasan pertama ini mungkin juga sudah bisa dijawab semua orang namun izinkan saya menjelaskannya di sini karena akan ada kaitannya dengan alasan kedua.

Di masa physical distancing, industri pariwisata dan hiburan mengalami musim kemarau hebat. Spa dan panti pijat saja, setidaknya di Jakarta, masih belum buka sampai artikel ini ditulis eh… kwkwkwkwkw

Ajang olahraga dari berbagai cabang juga baru dimulai kembali belakangan. NBA baru bergulir kembali di bulan Juli 2020. Liga Inggris (Premier League) juga baru digelar kembali setelah 100 hari ditangguhkan.

Dari sisi industri hiburan lainnya, industri perfilman juga terganggu jadwalnya karena kegiatan shooting yang terkendala dengan kebijakan physical distancing di berbagai negara.

Jika berbicara soal online viewership di esports, komoditas yang sebenarnya diperebutkan di sini adalah waktu para penontonnya. Dengan berkurangnya banyak sekali jumlah opsi hiburan di kala pandemi ini, otomatis, esports yang masih berjalan jadi kehilangan banyak saingan dalam berebut waktu luang.

Demikian juga dengan industri game yang masih cukup produktif meski banyak perusahaan memberlakukan kebijakan WFH (Work from Home).

Satu hal lagi yang tak kalah menarik untuk dibahas adalah soal peningkatan penjualan hardware PC. Dari pengamatan saya, ada sebagian porsi yang cukup besar dari pasar gamer PC yang datang dari pekerja kantoran. Kebijakan WFH dari berbagai kantor di seluruh dunia mendukung pertumbuhan penjualan hardware tadi dari dua sisi.

Via: TechSpot
Via: TechSpot

Pertama, kebanyakan pekerja kantoran akan menghabiskan lebih dari sepertiga waktunya dalam sehari di luar rumah — di kantor 8 jam ditambah dengan waktu yang dibutuhkan untuk berangkat dan pulang. Dengan begitu, mereka jadi tak punya banyak waktu luang untuk bermain game di rumah ataupun menaruh prioritas untuk memiliki desktop.

Namun dengan kebijakan WFH, kondisinya jadi berbalik. Para pekerja kantoran yang punya disposable income ini jadi punya lebih banyak waktu di kediamannya masing-masing.

Alokasi disposable income para pekerja kantoran ini juga jadi berubah. Selain mereka jadi punya alasan lebih untuk upgrade desktop (karena jadi bisa digunakan untuk bekerja selama WFH), seperti yang tadi saya katakan tadi, industri hiburan lain juga banyak yang belum buka. Anggaran yang tadinya bisa digunakan untuk nongkrong di kafe atau bar, menonton bioskop, atau pijat (plus-plus) jadi tak bisa digunakan.

Penyebab-penyebab di atas datang dari perubahan behavior user-nya yang kehilangan berbagai opsi hiburan lainnya di luar game dan esports. Meski begitu, perubahan user behavior ini tidak akan berarti apa-apa juga jika tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku industri game dan esports-nya.

Contoh yang saya lihat cukup kentara adalah soal persaingan antara popularitas esports PUBG Mobile dan Free Fire.

Sebelum pandemi, seperti saat di akhir tahun 2019, esports PUBG Mobile seperti kalah populer dengan esports Free Fire — setidaknya di skena dan penonton dari Indonesia. Namun, di kala pandemi ini, Tencent tetap aktif menggelar berbagai ajang kompetitif mereka seperti PMPL, PMWL, ataupun PINC. Mereka sepertinya tahu betul peluang esports di tengah pandemi dan tidak mengendurkan strategi untuk terus aktif. Bocorannya, PMPL Indonesia untuk Season 2 juga bahkan akan dimulai dalam waktu dekat…

Di sisi lain, esports Free Fire justru jadi kurang kedengaran beritanya selama masa pandemi ini.

asus-umumkan-smartphone-gaming-rog-phone-3-1
Via: DailySocial

Saya kira faktor dari para pelaku industri dalam membaca perubahan perilaku user ini juga penting. Dari industri jeroan PC misalnya, baik AMD, NVIDIA, ataupun Intel masih terus aktif dan produktif. Intel belakangan merilis lini produk prosesor baru. AMD juga demikian. Rumor tentang Big Navi dari AMD Radeon dan Ampere dari NVIDIA juga kian santer terdengar belakangan.

Dari industri smartphone dan gadget apalagi… Jadwal rilis produk baru mereka bahkan seolah tak terpengaruh dengan pandemi.

 

Bagaimana Masa Depan Industri Esports jika Pandemi Berkepanjangan?

Meski saat ini prospek industri game dan esports terlihat cerah dan terang benderang, menurut saya pribadi, tidak bijak juga untuk terus terlena dan meremehkannya jika pandemi masih berjalan sampai bertahun-tahun ke depan.

Mari kita lihat dari dari sisi industri game yang terkait dengan disposable income terlebih dahulu karena lebih sederhana untuk dijelaskan. Seperti yang saya jelaskan di bagian sebelumnya, pertumbuhan di industri game terjadi karena opsi industri hiburan yang semakin terbatas di kala pandemi — padahal disposable income dari user itu masih ada.

Via:
Cyberpunk 2077 yang rencananya dirilis di tahun 2020. Via: Imgur

Hal ini akan berubah juga ketika disposable income dari user kian menipis. Di Indonesia, Bappenas memperkirakan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka pada 2020 akan mencapai 8,1% – 9,2% dan angka pengangguran diperkirakan naik 4 hingga 5,5 juta orang. Di US juga tidak kalah parah karena ada 30 juta pekerja yang mengambil dana santunan (jobless benefits).

Angka pengangguran di seluruh dunia juga mengalami peningkatan karena pandemi, menurut data dari OECD. Jika angka pengangguran ini semakin meningkat di kalangan pasar industri game, tentunya disposable income mereka juga jadi nihil.

Buat mereka yang masih bekerja pun, saya kira tidak sedikit juga yang akan memilih untuk berhemat semakin lama pandemi ini berjalan. Saya pribadi yang, untungnya, masih bekerja juga sudah mulai berhemat sekarang meski kemarin sempat kalap saat Steam Summer Sale wkakawkkaw… 

Singkatnya, bagaimanapun juga game adalah kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Buat yang kehilangan pemasukan, tentunya, alokasi anggaran untuk kebutuhan tersebut jadi tidak ada. Sedangkan buat mereka yang masih bekerja sekalipun, ketidakpastian ekonomi di kala pandemi ini juga akan membuat mereka berpikir ulang tentang prioritas anggaran belanja.

Lalu bagaimana soal esports? Bukankah menonton esports (online) itu gratis dan tidak sesignifikan itu bergantung pada disposable income penggunanya?

Esports memang masih bisa terus berjalan di tengah pandemi. Namun begitu, pandemi memaksa esports jadi harus online — tanpa format offline alias tatap muka. Padahal, ada perbedaan besar antara ajang esports online dan offline baik dari sisi penonton ataupun sisi bisnis.

Dari sisi penonton, semua pertunjukan itu tentunya lebih asyik jika disaksikan langsung di lokasi — bukan lewat layar di rumah. Hal ini berlaku di semua bentuk pertunjukan, mulai dari konser musik, teater/film, olahraga, ataupun stript… eh… Nyahahaha

Atmosfir di venue pertunjukan tidak akan bisa dibawa utuh ke layar Anda di rumah. Itu faktanya. Saya sendiri yang biasa datang ke acara esports sudah merasakan kerinduan untuk bisa kembali menikmati hype yang biasa saya dapatkan di gelaran esports di venue.

Disadari atau tidak, atmosfir di venue ini juga berpengaruh terhadap pasar dan industri di esports. Makanya, event organizer seperti ESL ataupun Mineski selalu mencoba menawarkan yang terbaik di setiap event yang mereka garap.

Selain soal atmosfir event esports yang sangat penting untuk user atau fans, event esports offline juga lebih ideal dari sisi bisnis. Pasalnya, sirkulasi uang yang terjadi saat event offline itu jauh lebih besar ketimbang event online. Pertama, ketika event offline berarti ada aliran dana untuk menyewa tempat/venue. Penyelenggara acara juga biasanya membutuhkan segala perlengkapan seperti sound, panggung, lighting, dkk. untuk offline event yang berarti ada aliran dana ke penyedia jasa untuk kebutuhan tersebut.

Para penonton yang datang juga mengeluarkan dana transportasi untuk sampai ke lokasi. Saat di lokasi, kemungkinan besar, para penonton, pemain, ataupun penyelenggara acara juga jajan (makan dan minum).

Saya percaya dengan apa yang dikatakan Douglas Rushkoff bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi uang yang luas dan cepat. Event esports offline jelas lebih baik dalam memperluas perputaran uang industri ini ketimbang yang online.

Selain soal perputaran uang, mengingat industri esports (baik di Indonesia ataupun dunia) masih sangat bergantung pada sponsor, kegiatan bisnis/marketing yang mungkin terjadi saat event offline itu juga jauh lebih beragam ketimbang saat online. Saat online, kemungkinan besar yang bisa dijual ke sponsor hanyalah soal iklan display saat live streaming. Sebaliknya, saat offline, ada banyak sekali aktivitas bisnis yang bisa dilakukan seperti product experience, salesuser acquisition, data collection, ataupun yang lainnya selain menaruh iklan juga di venue.

Live streaming turnamen itu sudah pasti ada, meskipun digelar juga di venue (offline). Jadi, iklan yang ada saat live streaming juga sudah pasti ada. Namun, tanpa event offline seperti saat di pandemi ini, ada banyak aktivitas bisnis yang saya sebut tadi jadi lebih sulit atau malah mustahil dilakukan. Ketakutannya, hal tersebut nantinya akan berimbas pada minat para sponsor untuk menggelar event esports — belum lagi para sponsor itu juga bisa jadi turut mengencangkan ikat pinggang dalam menghadapi masa pandemi yang berlarut-larut.

Bagi saya pribadi, tak dapat disangkal, esports butuh event offline untuk bisa terus berkembang. Meski memang masih bisa digelar online, sepertinya pertumbuhan industri esports jadi sangat terbatas tanpa event offline karena alasan dari perspektif user (fans) dan bisnis yang saya jelaskan tadi.

 

Penutup

Jadi, kembali ke pertanyaan yang jadi judul artikel kali ini. Bagaimana masa depan industri esports dan game jika masa pandemi masih panjang?

Saya percaya industri game lebih mirip kasusnya dengan industri hiburan lainnya yang masih berjalan sampai hari ini. Karena, jika memang benar pengangguran akan jauh lebih banyak lagi, semua industri kebutuhan sekunder atau tersier akan terkena dampaknya juga — termasuk industri game. Meski memang pelaku industrinya juga akan berpengaruh apakah mereka masih bisa terus produktif di kala pandemi.

viewership esports corona
Credits: ESL

Industri esports yang lebih unik jika pandemi ini masih terus bertahan sampai lima tahun ke depan. Apakah ada caranya untuk membawa atmosfir event offline ke layar di rumah masing-masing? Bagaimana dengan aktivitas bisnis yang bisa dilakukan dengan event online? Aktivitas apa saja yang masih bisa dilakukan tanpa event offline, selain sekadar menampilkan iklan?

Jika pertanyaan-pertanyaan tadi bisa terjawab dan dieksekusi dengan baik, saya percaya industri esports bisa survive melewati pandemi… Jika tidak, entahlah…

Feat Image: Cyberpunk 2077 via Imgur

Mau Kerja di Dunia Esports, Mulai Dari Mana?

Dulu, menjadi pemain profesional berarti Anda hanya akan mendapatkan penghasilan dari hadiah turnamen yang Anda menangkan. Sekarang, hal itu tak lagi berlaku. Sama seperti budak korporat, gamer profesional juga mendapatkan gaji bulanan. Gaji para pemain Mobile Legends Professional League Indonesia bahkan melampaui Upah Minimum Regional Jakarta. Jika Anda tertarik untuk menjadi pemain profesional, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan agar dilirik oleh organisasi esports ternama.

Namun, esports telah menjadi industri bernilai triliunan rupiah. Pekerjaan di industri ini tak terbatas pada menjadi pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan jika Anda ingin memasuki dunia esports, seperti menjadi caster atau bergabung dengan penyelenggara turnamen esports atau media esports. Apa saja yang Anda perlukan sebelum melamar ke perusahaan esports?

Oh iya, sebelumnya, kami juga pernah menuliskan tentang usia ideal untuk terjun ke esports — baik sebagai pro player ataupun pekerja lainnya.

 

Perlukah Punya ijazah?

“Anda tidak perlu punya gelar di bidang esports,” kata Adam Baugh, Marketing & Community Specialist, Andbox dalam webinar yang diadakan oleh General Assembly pada Jumat, 10 Juli 2020. “Tapi, apakah Anda memerlukan gelar sarjana? Tergantung. Berdasarkan pengalaman saya, punya gelar sarjana memang berguna, tapi yang paling penting adalah Anda punya pengalaman di bidang esports.” Dia menjelaskan, Anda bisa unjuk gigi kemampuan yang Anda miliki dalam portofolio Anda.

Sementara itu, menurut Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivaLTV, perlu atau tidaknya ijazah tergantung pada posisi yang Anda lamar. “Untuk posisi di depan layar, seperti pro player, live streamer, influencer, host, dan lain sebagainya, tentunya nggak perlu ijazah. Yang dibutuhin adalah skill terkait bidangnya, kayak public speaking, acting, entertaining, dan lain-lain,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Namun, untuk posisi di belakang layar, khususnya manajemen, industri kita sudah semakin maju. Dua atau tiga tahun lalu, Anda mungkin bisa join di bidang manajemen dengan dasar membantu teman atau punya passion di esports dan mau belajar. Sekarang, requirement-nya semakin tinggi.”

Proses pembuatan siaran dari turnamen League of Legends Amerika Utara. | Sumber: YouTube
Proses pembuatan siaran dari turnamen League of Legends Amerika Utara. | Sumber: YouTube

Gisma “Melondoto” Priayudha memiliki pendapat yang sama. “Waktu aku pertama mulai sih nggak ada. Benar-benar dari passion kemudian jadi bisnis. Untuk sekarang sih, minimal S1 atau D3,” ujarnya. “Jurusan yang diambil bisa beragam, mulai dari desain, manajemen, komunikasi, sampai bisnis. Soalnya, untuk ke depan, jika ada penggiat esports yang punya pendidikan kayak gitu, hal itu juga bagus untuk esports sendiri.”

Sementara menurut Reza Ramadhan, Head of Broadcast and Content, Moonton Indonesia, ijazah tetaplah penting saat Anda hendak melamar pekerjaan ke perusahaan esports. “Karena masih banyak perusahaan yang menjadikan gelar sarjana sebagai salah satu syarat hiring,” akunya. “Tapi, ada juga beberapa perusahaan yang bisa dibilang, tidak terlalu peduli dengan ijazah. Cuma ya, balik lagi. Buat gue, ijazah itu penting. Apalagi kalau mau karirnya terus naik. Suatu saat, pasti ijazah pasti akan jadi requirement.”

 

Portfolio dan Media Sosial

Soal portfolio, Irli, Melon, dan Reza memiliki pendapat yang sama: portfolio itu penting. Mereka juga menjelaskan, tipe portfolio yang Anda perlukan sebelum melamar pekerjaan di dunia esports tergantung pada jenis pekerjaan yang Anda lamar.

“Portfolio itu macam-macam, bisa dari handle event esports atau bisa juga pernah menulis tentang esports,” ujar Reza. “Ya, balik lagi apa jurusan yang diminati, karena pekerjaan di esports itu juga banyak, ada media, event organizer atau publisher. Selama kalian do good di bidang yang kalian minati, bahkan tanpa pamrih pun, suatu saat akan ada yang notice dan value kalian akan naik.”

Senada dengan Reza, Irli menjelaskan, portfolio bisa menjadi bukti bahwa seseorang bisa mengejarkan sebuah tugas dengan baik. “Misalnya, seseorang yang melamar sebagai content creator, tapi media sosialnya nggak update dan tidak ada portfolio dalam membuat video atau membuat skenario, gimana kita bisa yakin kalau dia bisa handle pekerjaannya dengan baik?” ujar Irli.

“Ini sudah 2020, semua orang, terlepas apa pekerjaan yang dia lamar, pasti akan butuh portfolio,” kata Irli. Dia menjadikan streamer sebagai contoh. Kecakapan seorang streamer biasanya dilihat dari jumlah view serta komentar pada videonya. Tak hanya itu, perusahaan juga memerhatikan konten yang dia unggah atau cara sang streamer “menjual” merek yang menjadi klien mereka.

Di highlight video Instagram ini, aku coba untuk mengajarkan bagaimana cara untuk jualan,” kata Irli. “Sudah sempurna kah kontennya? Nope. Tapi, konten simpel kayak begitu bisa menunjukkan perangai seseorang. Cara bicaranya seperti apa. Apakah menggunakan font warna-warni? Apakah dia mengerti apa yang dia jelaskan? Bisakah dia memberikan penjelasan yang singkat, padat, dan jelas?”

Sama seperti seorang streamer, caster juga bisa menjadikan video sebagai portfolio. “Kalau portfolio caster sekarang nggak muluk: yang penting ada YouTube channel, sama pernah nge-cast di event apa saja. Kemudian, rekaman saat dia menjadi caster,” ujar Melon. “Beberapa hal yang dinilai adalah suara, pembawaan, serta hiburan yang ditawarkan.” Dia mengungkap, media sosial juga bisa menjadi portfolio bagi seorang caster. “Misalnya, penonton video ramai, tapi media sosial pasif, hal itu bisa berbahaya buat caster.”

Melon menjelaskan, membangun fanbase di media sosial dapat membantu seorang caster untuk mengembangkan karirnya. Misalnya, ketika seseorang diminta untuk menjadi caster, dia juga bisa menawarkan jasa media sosial untuk mendapatkan bayaran ekstra. Tak hanya itu, tak tertutup kemungkinan, sebuah perusahaan ingin agar brand mereka di-endorse melalui media sosial sang caster. Untuk membangun follower di media sosial, Melon mengungkap, seorang caster bisa memanfaatkan ramainya penonton di acara yang dia ikuti.

Sayangnya, media sosial tidak melulu memberikan dampak positif. Jika tidak hati-hati, Anda justru bisa membuat perusahaan menjadi ilfeel. Menurut Irli, ada lima hal yang perusahaan perhatikan dari media sosial pelamar, yaitu reaksi pelamar akan sebuah kejadian, gaya hidup, pandangan akan agama/politik/isu SARA, gaya interaksi dengan audiens, dan apakah gaya sang pelamar cocok dengan perusahaan.

Sumber: Reddit
Hati-hati dengan apa yang Anda unggah ke media sosial, internet tak pernah lupa. | Sumber: Reddit

“Pada akhirnya, kalau recruiter bisa melihat hal-hal tersebut di media sosial pelamar, semua orang juga bisa melihat itu, termasuk perusahaan, rekan, dan audiens,” ujar Irli. Mau tidak mau, bagaimana seseorang merepresentasikan dirinya di media sosial akan disangkutkan dengan perusahaan tempatnya bekerja. Jadi, jangan heran jika Anda melihat seseorang dipecat karena mereka mengunggah konten nyeleneh di media sosial. Misalnya, pada Juni 2020, seorang pemain profesional dilarang untuk ikut dalam Capcom Pro Tour seumur hidup karena membuat komentar rasis di Twitter.

 

Membangun Relasi

Sama seperti industri lainnya, menjalin relasi juga penting dalam dunia esports. Adam menyarankan untuk tidak takut dalam memulai pembicaraan dengan pelaku esports. “Anda juga harus mendukung scene esports lokal,” katanya. Dia percaya, berperan aktif dalam acara esports lokal akan memudahkan Anda untuk bertemu dan menjalin koneksi dengan orang-orang yang menggeluti bidang esports.

Perkataan Adam diamini oleh Sandra Chen, Digital Content Manager, Team Liquid. Dia menceritakan pengalaman pribadinya, bagaimana dia mulai membangun koneksi dengan menghadiri acara esports offline. “Setelah itu, saya bisa melakukan digital networking,” ujarnya. Dia memberikan contoh cara untuk membangun relasi secara online: jika Anda mengikut seminar atau webinar terkait esports, Anda bisa menghubungi sang narasumber via media sosial.

Sandra mendorong seseorang yang tertarik untuk bekerja di dunia esports untuk melakukan riset kecil-kecilan sebelum melamar di sebuah pekerjaan. “Anda juga bisa secara aktif menghubungi perusahaan yang Anda minati. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah mereka tidak menjawab,” ungkapnya.

 

Bagaimana Cara untuk Tampil Unik?

Pada Februari 2020, situs pekerjaan esports Hitmarker mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa lowongan pekerjaan di esports naik 87 persen sepanjang 2019 jika dibandingkan dengan pada 2018. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang yang tertarik untuk masuk esports. Lalu, bagaimana Anda bisa tampil menonjol?

Menurut Sandra, kreativitas adalah salah satu hal paling penting yang bisa dimiliki oleh seseorang yang sudah bekerja di bidang esports atau tertarik masuk ke esports. “Banyak orang di dunia esports yang memiliki ide yang sama, membuat mereka melakukan hal yang sama,” kata Sandra. Jadi, menurutnya, seseorang akan tampil menonjol jika dia bisa memberikan ide baru yang unik. Selain itu, mengingat industri esports masih terbilang muda, belum ada metode pasti yang dijamin akan sukses. Dengan begitu, orang-orang yang bisa memberikan ide baru yang unik akan tampil menonjol.

Ketika ditanya tentang karakteristik yang paling dicari dari pekerja dalam dunia esports, Reza menjawab, “Yang paling penting sih mau belajar dan mau berpikir. Esports bisa dibilang something new. Jadi, memang harus mau belajar terus karena indsutrinya juga terus tumbuh dan ada banyak hal-hal yang belum ada ‘benchmark‘-nya. So, inovasi di sini masih sangat banyak untuk digali.” Sementara untuk sukses di dunia esports, dia menyarankan, “Do good and good will come to you.”

Bagi Irli, salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh orang-orang di dunia esports adalah rasa penasaran. “Harus selalu lapar akan hal baru. Mau ngulik, mau belajar, berani bereksperimen. Berani ambil risiko dan tanggung jawab atas keputusan yang diambil,” ujarnya. Pekerja di dunia esports juga membutuhkan berbagai soft skills, seperti kepemimpinan, komunikasi, manajemen waktu, dan disiplin. “Disiplin itu sangat penting, karena banyak orang yang masih menganggap, bekerja di esports seperti dream job yang bisa santai-santai sambil main game,” katanya. Padahal, ada beberapa hal yang harus Anda ketahui jika Anda ingin membangun karir di esports.

Bagi seorang caster atau talent, salah satu karakteristik penting yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri. “Talent itu biasanya ngikutin pasar, yang lagi ramai apa, ya ikutin,” ujar Melon. “Terus, kolaborasi dengan talent atau YouTuber atau selebgram lain. Jadi, nggak cuma diam di tempat saja. Misalnya, jadi caster Dota 2 atau CS:GO terus.” Dia lalu memberikan contoh ketika beberapa caster dari game PC beralih ke mobile game, seperti Riantoro “Pasta” Yogi dan Florian “Wolfy” George di PUBG Mobile, Frans Volva Riyando di Mobile Legends, dan Rere “Bredel” Bintoro di Point Blank dan Mobile Legends.

 

Tantangan dan Stigma Dalam Dunia Esports

Jika Anda ingin bekerja di dunia esports, tentu saja Anda harus tahu tentang game esports. Namun, hal itu bukan berarti Anda bisa bermain game seharian. Esports juga menawarkan berbagai tantangan tersendiri. Menurut Reza, tantangan dalam bekerja di dunia esports adalah betapa cepatnya industri berkembang.

“Sebelum ke esports, gue kerja di dunia IT. Trait-nya sama, yaitu orang yang lambat bakal ketinggalan,” ujarnya. “Di esports, kita dituntut untuk cepat dan tepat di segala hal. Karena dunianya berkembang pesat dan kompetitif. Jadi, ya harus keep up to date sama yang sedang happening dan jangan pernah malas belajar.”

Walaupun industri esports masih terbilang muda, sudah muncul stigma akan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Salah satunya adalah bahwa pekerjaan dari orang-orang yang bekerja di dunia esports hanyalah main game. “Contoh stigma negatif adalah pandangan bahwa kerja di esports gampang banget. Tinggal buat konten dapet duit, nongkrong, main game, dapet duit. Padahal, kita kerja keras banget,” ujar Irli. Dia juga bercerita, ada orang-orang yang menggampangkan pekerjaan di dunia esports. “Ada yang bilang, ‘Gue punya passion, gue mau dong kerja di esports.’ It doesn’t work that way.”

Namun, Irli bercerita, juga ada stigma positif tentang orang-orang yang bekerja di dunia esports. Salah satu stigma positif itu adalah orang-orang yang sukses di dunia esports dianggap lebih “keren” dari orang-orang yang sukses di industri lain. “Kenapa? Karena industri esports ini masih sangat baru,” katanya. Hal itu berarti, orang-orang yang bekerja di dunia esports memang “memulai dari nol”.

 

Kesimpulan

Pekerjaan di dunia esports tidak terbatas pada pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda ambil, baik di depan layar, seperti caster atau streamer, maupun di belakang layar, seperti videografer atau menjadi bagian dari event organizer. Sayangnya, bekerja di dunia esports bukan berarti Anda hanya bermain game seharian. Sama seperti saat Anda bekerja di bidang lain, Anda harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan.

Jadi, masin berminat untuk bekerja di dunia esports?

Sumber header: Gamer One

[Rekap] Vlaicu Dota 2 ke MLBB, Geek Fam Juara ONE Esports Dota 2 SEA League, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

 

GEEK FAM Juarai ONE Esports Dota 2 SEA League

ONE Esports Dota 2 SEA League akhirnya mencapai titik puncak dengan tersisa dua tim, Fnatic dan Geek Fam, yang akan berduel dalam pertarungan pamungkas untuk menentukan siapa yang terkuat di Asia Tenggara (SEA).

Sejauh ini Fnatic menjalani perjalanan cukup mulus untuk menempuh grand final melalui Upper Bracket. Di sisi lain, Geek Fam sempat terseok-seok di fase grup sebelum akhirnya bisa bangkit.

 

5 Hal yang Perlu Diketahui dari Karier Topson

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Topias Miikka Taavitsainen atau yang lebih dikenal luas sebagai Topson merupakan salah satu bintang terbesar yang ada di scene Dota 2 dunia. Meski demikian, semua itu berhasil didapat oleh pemain asal Finlandia tersebut tidak dengan mudah, penuh aral melintang, serta sedikit keberuntungan.

Sempat dipandang sebelah mata oleh komunitas Dota 2 serta fan yang mempertanyakan keputusan OG merekrutnya, kini Topson sukses membalikkan semua pandangan miring tersebut hingga menjadi salah satu bintang besar.

 

Vlaicu Dota 2 Terjun ke MLBB


Indra “Vlaicu” Utama adalah salah satu nama senior di scene Dota 2 Indonesia. Ia bisa dibilang salah satu ikon dari tim Dota 2 EVOS Esports.

Vlaicu memperkuat EVOS sejak 2016 sampai akhirnya memutuskan cabut pada 2019 lalu. Sejak saat itu pemegang role support tersebut seperti hilang dari peredaran.

Kemudian tiba-tiba sebuah pengumuman mengejutkan datang dari Genflix Aerowolf. Ketika mengumumkan roster untuk Mobile Legends: Bang Bang Development League, Aerowolf Jr, nama Vlaicu muncul sebagai salah satu roster.

 

Pendapat Oddie tentang Tiga Pendatang Baru di Kasta Tertinggi Dota 2 SEA

Setelah dunia dilanda pandemi COVID-19, kompetisi Dota 2 terpaksa dilangsungkan dalam format online, itu berarti setiap region tidak bisa bertanding melawan region lain karena perbedaan wilayah akan mengakibatkan permasalahan ping. Oleh Karena itu, akhir-akhir ini turnamen Dota 2 selalu digelar secara regional, tidak terkeuali region Asia Tenggara (SEA).

Kini sedang berlangsung turnamen ONE Esports SEA League yang mempertemukan tim-tim papan atas SEA. Di antara sepuluh tim peserta, muncul tiga nama baru yaitu T1, Neon Esports, dan NEW Esports. Ketiga tim tersebut belum lama ikut bersaing di kasta tertinggi Dota 2 SEA.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Beberapa waktu lalu ONE Esports berkesempatan untuk berbincang tentang tiga pendatang baru tersebut bersama salah satu analis dan co-caster Dota 2 kondang, Vinzent “Oddiepedia” Indra. Pria yang akrab disapa Oddie itu sudah lama malang melintang di scene profesional Dota 2, ia juga pernah menjadi manajer tim Dota 2 kelas dunia, Fnatic. Kepada ONE Esports, Oddie mengungkapkan pendapatnya tentang tiga pendatang baru di SEA.

 

Tim Indonesia Siap Tempur di Piala Dunia FIFA 20

Tim Indonesia akan kembali mengikuti ajang esports internasional melalui game FIFA 20 Pro Clubs (11vs11). Kali ini, tim Indonesia ikut serta dalam turnamen WCVP World Cup 2020. Turnamen tersebut merupakan turnamen terbesar FIFA atau bisa dibilang sebagai ajang Piala Dunia-nya game FIFA. 32 negara dari berbagai belahan dunia dipastikan ambil bagian untuk bersaing dalam turnamen ini.

Tim Indonesia adalah salah satu perwakilan Asia bersama Jepang, Australia, Singapura, Hong Kong, dan Thailand. Negara-negara tersebut merupakan negara terbaik dari turnamen Asian Cup 2020 yang berlangsung Juni 2020 lalu. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan tiket menuju WCVP World Cup 2020.

 

Powered by ONE Esports 

esports-logo