Peluang Bisnis Warnet di Tengah Geliat Industri Esports

Warnet atau iCafe merupakan salah satu komponen penting di ekosistem / industri esports. Muasalnya, warnet mampu memberikan akses ke para pemain amatir/calon pro player yang tak punya PC pribadi untuk berlatih. Selain itu, warnet sendiri bisa menjadi titik atau ruang berkumpul untuk para pemain ataupun penggiat esports.

Namun demikian, industri warnet di Indonesia telah berevolusi dari waktu ke waktu. Bisnis warnet juga sekarang sudah tak lagi termasuk bisnis ‘gampang’ seperti saat ia menjamur sekitar satu dasawarsa lalu.

Pergeseran Kebutuhan

Bisnis warnet di jaman dulu memang boleh dibilang mudah karena hanya perlu menyediakan ruangan, koneksi internet, dan PC seadanya. Koneksi internetnya pun lebih murah karena kala itu seiring dengan masa kejayaan game-game MMO Free-to-Play di PC yang servernya berada di Indonesia (jadi koneksi internetnya pun lebih difokuskan ke koneksi lokal).

Spek PC seadanya juga dulu masih memungkinkan karena kebutuhkan spesifikasi game-game MMO gratisan tadi juga bisa dijalankan di PC dengan grafis onboard.

Sekarang, industri warnet telah berubah mengikuti pergeseran industri game secara umum. Gamer kelas menengah bawah sekarang beralih ke game mobile. Sedangkan gamer kelas menengah ke atas sudah pasti tak nyaman dengan warnet yang jorok, berisik, dan di-manage seadanya.

Gamer kelas menengah juga memiliki selera game yang berbeda yang butuh spesifikasi lebih berat dan koneksi internet ke server luar, setidaknya ke Singapura.

Pergeseran industri warnet ini sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa tahun silam, sekitar 5-6 tahun yang lalu, saat konsep icafe mulai populer dan digunakan. Namun, bisnis warnet yang telah mengusung konsep icafe tadi juga tidak serta merta langgeng dan mampu bertahan sampai hari ini.

Misalnya saja di Jakarta, ada 3 warnet yang sebenarnya dulu cukup populer dan telah mengusung konsep icafe: Gamer Xtreme dan Ritter di Tanjung Duren, dan Level One di Kemanggisan. 3 warnet ini bahkan boleh dibilang punya lokasi yang strategis karena letaknya yang berada di tengah-tengah komunitas gamer (karena berada di dekat kampus Universitas Tarumanagara dan Bina Nusantara).

Perlu Saluran Pemasukan Baru

Saya pun berbincang-bincang dengan beberapa pihak untuk mencari tahu soal bisnis warnet di jaman sekarang ini, dengan penetrasi mobile gaming yang masih agresif dan esports yang kian kencang.

Salah seorang kawan saya, Turyana Ramlan, yang merupakan salah satu pemain di bisnis warnet cukup lama dan Admin Pusat KWI (Komunitas Warnet Indonesia) mengatakan bahwa bisnis warnet di jaman sekarang sudah tidak bisa lagi mengandalkan keuntungan dari billing (tagihan sewa koneksi dan PC) namun dari berbagai pemasukan lainnya, seperti sponsor alias iklan.

Aspek iklan ini memang menarik karena mungkin memang belum banyak yang mengadopsinya. “Bayangkan jika ada 1000 pengguna yang datang ke warnet kita setiap bulannya, masak brand ga mau pasang iklan?” Ujar Ramlan saat saya temui di acara Grand Launching Highgrounds Indonesia di Pantai Indah Kapuk.

Makanan dan minuman yang dijual di icafe juga bisa mendatangkan keuntungan yang lebih besar dari billing.

Lalu bagaimana dengan mobile gaming? Ramlan mengatakan, “industri mobile harusnya bukan dimusuhi tapi dirangkul.” “Sediakan saja Wi-Fi dan ruangan yang nyaman bagi para mobile gamer untuk bermain di warnet. Sediakan juga paket Wi-Fi nya.”

Misalnya, ia menambahkan, buat pelanggan yang ingin Wi-Fi gratisan kasih saja koneksi yang putus setiap satu jam. Sediakan juga voucher Wi-Fi yang harganya bisa disesuaikan, seperti billing PC.

Selain cara-cara tadi, masih banyak juga sebenarnya bentuk pemasukan yang bisa dicari lagi. Misalnya, bisa saja menjadikan warnet sebagai One-Stop gaming center yang tak hanya menyediakan PC. Console, misalnya, yang memang sudah disediakan di beberapa warnet. Ada juga mesin arcade yang bisa ditaruh di warnet untuk memberikan pengalaman gaming yang berbeda.

Ia juga berargumen bahwa masih banyak manajemen warnet yang tidak mengedepankan layanan. Industri warnet adalah soal layanan dan masih banyak pemilik warnet yang belum menyadari hal tersebut. Karena itu jugalah, ia berargumen bahwa OP warnet (sebutan untuk karyawan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan) juga harus dilatih dan dididik untuk bisa menyenangkan pelanggan.

OP warnet adalah ujung tombak dari bisnis warnet karena ia yang merepresentasikan (jadi image) warnet ke pelanggan.

Ramlan pun mengatakan, “ga bisa lagi bisnis warnet dengan modal pas-pasan dan manajemen sekenanya. Bisnis warnet yang ilegal, tak ada ijin, menggunakan game ataupun sistem operasi (Windows) bajakan juga akan mengubah image industri warnet jadi negatif.”

Sumber: Highgrounds Indonesia
Sumber: Highgrounds Indonesia

Bisa berkembang bersama esports

Diana Tjong, Owner dari Highgrounds Indonesia, yang saya temui di acara yang sama juga saya tanyakan pendapatnya tentang bisnis warnet sekarang ini. Menurutnya, bisnis warnet sekarang ini bisa berkembang karena industri esports yang sedang kencang pertumbuhannya.

Selain itu, Highgrounds sendiri juga diposisikan untuk kelas atas sehingga memberikan keunikan sendiri dibandingkan yang lain. Lokasinya pun di Pantai Indah Kapuk yang memang boleh dibilang kalangan menengah atas. Kenyamanan adalah keunggulan utama yang ditawarkan oleh Highgrounds.

Harga billing di sana pun juga disesuaikan dengan target pasar mereka. Di sana billing per jamnya bahkan mencapai Rp.20 ribu/jam. Hal ini tentunya dapat menyaring pelanggannya juga secara otomatis. Meski menawarkan harga yang relatif tinggi dibanding warnet lainnya, Highgrounds menyediakan spesifikasi yang mewah. Kartu grafis yang digunakan di PC mereka bahkan menggunakan NVIDIA GTX 1080Ti.

Sumber: Highgrounds Indonesia
Sumber: Highgrounds Indonesia

Segmentasi ini, bagi saya, juga bisa jadi solusi untuk bisa terus langgeng. Ijinkan saya berbagi cerita yang saya dengar dari Ramlan di sini sebagai satu argumentasi untuk menjelaskan poin saya.

Di salah satu warnet yang telah mengusung iCafe, para pelanggannya yang kebanyakan mahasiswa mengeluhkan terlalu banyak user bocah. Namun manajemen warnet justru menurunkan harga saat weekend yang justru berakibat lebih banyak bocah yang datang.

Saya sendiri juga sebenarnya salah satu orang yang tidak nyaman bermain di warnet yang terlalu berisik. Plus, segmentasi produk yang jelas juga sebenarnya sangat berguna demi kelanggengan bisnis.

Dari cerita Diana sendiri juga terbukti bahwa Highgrounds juga dikunjungi oleh para keluarga sebagai pelanggannya. “Orang tua tidak khawatir menitipkan anaknya di sini karena kami juga menawarkan kenyamanan dan keamanan.”

Opsi Franchise

Jika Anda masih bingung dengan banyak hal, bisnis warnet jaman sekarang juga ada opsi franchise seperti yang ditawarkan oleh TNC dan Mineski Infinity.

Sumber: Mineski Infinity Indonesia
Sumber: Mineski Infinity Indonesia

Saya pun menghubungi Nadya Sulastri, Country Manager dari Mineski Infinity Indonesia untuk berbincang. Mineski Infinity Sendiri merupakan unit bisnis dari Mineski yang menawarkan waralaba warnet/iCafe yang diklaim bertujuan memuaskan kepuasan pelanggan sekaligus menjamin skema investasi yang menguntungkan.

Menurut Nadya, perspektif peremajaan PC juga luput dari beberapa pelaku bisnis warnet yang tak mampu bertahan.

“Dalam sebuah bisnis yang bersifat brick & mortar, cukup wajar untuk melakukan peremajaan setiap 5 tahun sekali, seperti renovasi, peralatan elektronik, dll. Sama juga halnya seperti cybercafe, PC yang digunakan akan butuh peremajaan minimal 5 tahun sekali karena performa yang sudah tidak memadai.”

Sumber: Mineski Infinity Indonesia
Sumber: Mineski Infinity Indonesia

Lalu berapa besar modal yang dibutuhkan untuk membuat warnet Mineski Infinity?

“Paket franchise kita start from Rp.900 juta. All-in untuk 40 PC dan dari mulai site visit, renovasi, pengisian barang elektronik, berikut grand opening dan training staffnya.” Jelasnya.

Nadya juga mengutarakan hal yang sama dengan Ramlan dan Diana tentang manajemen warnet.

“Untuk membangun sebuah warnet cukup mudah, bisa dibilang toko komputer pun mungkin sudah bisa karena cukup menyediakan PC dan instalasi software serta networking. Tetapi untuk mengelola bisnis warnet, apalagi menjadi success story, hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar expertise di ekosistemnya; mulai dari teknologi, komunitas, loyalty program, marketing, serta yang tidak boleh ketinggalan terjun langsung ke dalam esports.

Tak ketinggalan, ide untuk merangkul gamer mobile juga disampaikan oleh Nadya. Karena Mineski Infinity juga menawarkan jaringan Wi-Fi yang sangat stabil untuk bermain game.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Penutup

Akhirnya, itu tadi berbagai ide dan insight yang mungkin Anda butuhkan jika tertarik untuk ikut terjun ataupun bertahan di bisnis warnet, mulai dari mencari ide-ide kreatif baru untuk menambah pendapatan seperti yang dilakukan Ramlan, memberikan kepuasan tertinggi kepada pelanggan seperti Highgrounds Indonesia, ataupun langsung bergabung dengan waralaba seperti Mineski Infinity.

1 hal yang pasti yang bisa Anda lakukan di bisnis warnet adalah, jika dulu bersinergi dengan game-game MMO gratisan, berkembang bersama dengan esports yang masih akan menggiurkan sampai bertahun-tahun ke depan.

Esports Fighting Indonesia: Yang Terkucilkan Namun Menolak untuk Tergeletak

Tahun 2018 mungkin boleh dibilang sebagai tahun kebangkitan gairah esports di ibu pertiwi. Namun esports sendiri sebenarnya mencakup banyak sekali cabang game dari mulai MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, dan yang lainnya.

Sayangnya, faktanya, kebangkitan gairah esports ini tidak merata di semua game. MOBA adalah yang paling laris berkat jumlah pemain yang masif dari Mobile Legends dan Dota 2. Game Fighting adalah salah satu genre esports yang boleh dibilang masih dimarginalkan.

Lain kali, kita akan berbincang untuk genre lainnya namun kali ini saya telah mengundang salah seorang dedengkot dari cabang game fighting untuk berbagi ceritanya. Ia bernama Bramanto Arman yang merupakan Co-Founder Advance Guard.

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Buat yang tidak terlalu familiar dengan dunia persilatan esports, ijinkan saya mengenalkannya terlebih dahulu. Advance Guard merupakan icon dari esports fighting di Indonesia. Di kala kebanyakan event organizer di Indonesia ramai-ramai menggarap MOBA, Bram bersama Advance Guard nya memang setia membesarkan genre tersebut sejak didirikan dari 2012.

Menurut cerita Bram, Advance Guard sendiri juga sebenarnya merupakan tempat berkumpulnya beberapa komunitas game fighting. Misalnya, untuk komunitas Tekken, mayoritas berasal dari IndoTekken. Sedangkan untuk Street Fighter, kebanyakan dari IndoSF.

Berkat ketekunan dan jerih payah mereka di sini, beberapa turnamen garapan Advance Guard bahkan mendapatkan sertifikasi resmi dari CAPCOM (untuk Street Fighter series) dan Bandai Namco (untuk seri Tekken) sebagai turnamen kualifikasi di tingkat internasional.

Jadi, perwakilan Indonesia yang ingin bertanding untuk CAPCOM Pro Tour dan Tekken World Tour harus melalui turnamen besutan Advance Guard.

Tentu saja, prestasi Advance Guard tersebut sudah tak dapat dipandang remeh lagi. Plus, kenyataannya, memang tidak ada lagi ‘otoritas’ yang lebih tinggi selain mereka di dunia persilatan esports fighting Indonesia.

Mari kita masuk ke obrolannya.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports fighting di Indonesia

Seperti yang saya tuliskan di atas tadi, exposure esports fighting di Indonesia memang masih kurang. Hal ini juga dirasakan oleh Bram.

“Minim sekali dibandingkan dengan game-game mainstream yang punya player base sangat besar di Indonesia.” Ungkapnya. Menurutnya, hal ini terjadi juga berkat ada faktor game-nya itu sendiri.

Bram pun menjelaskan bahwa game-game esports yang laris di Indonesia itu memang nyatanya game freemium yang adiktif sehingga bisa membuat banyak orang ‘khilaf’ dengan in-app purchase-nya. 

“Dari situ, akhirnya mereka melihat banyak pemain Indonesia yang memainkan game tersebut dan membuat event berskala besar. Itu untuk game Mobile Legends, AoV, dan PUBG Mobile.”

Sedangkan untuk PUBG (PC), Bram melihat ada wadah yang menaungi para gamer itu, seperti berbagai jenis iCafe. Karena itulah, banyak gamer bisa mencoba game tersebut tanpa membeli; cukup perlu membayar billing di warnet (bahasa kerennya iCafe). Hal ini dirasakan sama seperti yang terjadi di Dota 2.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports figthing di luar Indonesia

Jika popularitas esports fighting di dalam negeri memang masih minim, bagaimana dengan di luar sana?

Bram pun mengatakan bahwa popularitas esports fighting juga masih kalah dengan game-game mainstream di sana. Ia bahkan bercerita bahwa salah satu ajang esports fighting terbesar di dunia, EVO, juga berawal dari cerita yang sama dengan Bram.

Mereka juga awalnya membuat acara untuk komunitas dan penuh dengan passion. Namun seiring berkembangnya esports, EVO sekarang sudah bisa sebanding dengan ajang esports kebanyakan yang bertanding di stadium dengan production yang hingar bingar, dan dapat dukungan banyak sponsor.

Berkat perjuangan EVO itu tadi, EO-EO besar yang sebelumnya tidak menjamah fighting pun akhirnya ikut tergoda.

Bram pun menambahkan esports fighting sebenarnya juga seharusnya bisa populer karena lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang tidak memainkan game tersebut. Saya pribadi setuju sekali. Pasalnya, menonton pertandingan MOBA sebenarnya juga tidak menarik jika kita sendiri tidak memainkannya.

Meski masih kalah populer, di luar sana esports fighting sudah jauh lebih besar. Ia pun bercerita pengalamannya berkunjung ke REV Major, turnamen game fighting terbesar di Filipina. Di sana, ia melihat antusiasme yang begitu tinggi tidak hanya dari para pemainnya namun juga para penonton yang rela datang meski harus membayar tiket yang harganya tidak murah.

Sumber: VG247
Sumber: VG247

Di luar sana, esports fighting juga bahkan sudah didukung oleh beberapa selebriti seperti atlit wrestling Kenny Omega dan Saviour Woods. Ada juga rapper Amerika, Lupe Fiasco.

Perjuangan Advance Guard menggarap esports fighting Indonesia

Lalu, pertanyaannya, dengan popularitas yang masih minimal, kenapa Bram dan Advance Guard masih setia dengan esports fighting? Kenapa tidak bergeser ke game-game lain yang populer seperti kebanyakan Event Organizer (EO) lainnya?

“Karena approach kita memang berbeda.” Jawab Bram lugas.

Lanjutnya, “tak bisa dipungkiri, EO lain kan umumnya komersil jadi mereka melihat pasar yang sudah matang. Kalau saya kan dari komunitas. Jadi, saya berjuang agar komunitas ini bisa survive. Memang berat sih karena bisa dibilang minim support, jika dibanding dengan game mainstream pada umumnya.”

Ia pun memberikan pengandaian seperti ini, kebanyakan orang merasa menyirami tanaman tandus itu sia-sia; lebih baik memetik buah yang sudah ada. Sedangkan Bram memilih untuk terus menyirami tanah tandus, sampai akhirnya muncul satu helai daun. Hal ini ia lakukan karena kecintaannya terhadap game-game fighting.

Sumber: Polygon
Sumber: Polygon

Hasilnya pun sekarang Advance Guard punya jati diri dan ikonik di esports fighting. Mereka yang tadinya hanya mengerjakan skala kecil dari komunitas, sekarang mereka ‘kiblat’nya standar internasional.

Meski demikian, dari sisi bisnis, Bram mengaku perjalanan Advance Guard masih jauh jika berbicara soal profit (dibanding dengan  sejumlah EO yang menggarap game-game populer tadi).

Menurut ceritanya, untuk esports fighting di luar negeri, EO-EO besar biasanya kolaborasi dengan mereka yang sudah biasa di ranah itu. Hal ini terjadi di Malaysia, Filipina, dan Thailand.

“Jadi, idealnya, inginnya seperti itu ya. Tapi kadang-kadang di sini malah jadinya rebutan kue… Hahaha,” ujar Bram sembari berseloroh.

Apa saja yang dibutuhkan oleh esports fighting di Indonesia

Lalu apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh esports fighting Indonesia saat ini?

Pertama, dari sisi exposure, masih banyak media game dan esports yang minim sekali memberitakan dari ranah esports fighting. “Hanya media yang memang memiliki ketertarikan terhadap game fighting yang cenderung lebih banyak membahas. Media umumnya menuliskan berita esports fighting jika cukup besar skalanya. Sepengetahuan saya, IGX (Indonesia Game Xperience) termasuk yang banyak tulisannya dari media.”

IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard

Menurut Bram faktor pembaca game fighting sendiri juga masih segmented dibanding dengan game lain yang lebih populer. Padahal, di satu sisi, banyak hal yang sebenarnya bisa dibahas dari game fighting. Para pemain profesional nasional ataupun luar bisa jadi bahan artikel.

Apalagi, menurut Bram, para pemain game fighting dari Indonesia sebenarnya sudah bisa bertarung di tingkat Asia Tenggara. Bram pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu, di Filipina, perwakilan Indonesia sempat meraih juara 1 untuk kompetisi BlazBlue Cross Tag Battle dan BlazBlue Central Fiction.

Meski demikian, Bram pun menambahkan bahwa untuk mengejar prestasi di tingkat Asia atau dunia, para pemain Indonesia masih perlu banyak belajar. Prestasi ini perlu diacungi jempol mengingat esports fighting memang masih minim exposure dan dukungan.

Lalu bagaimana dengan dukungan organisasi esports dalam negeri? Apakah hal tersebut dapat membantu perkembangan esports fighting? Apalagi mengingat belum banyak organisasi esports Indonesia yang punya divisi game fighting.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

“Kalau menurut saya pribadi, bisa saja; selama ada potensi dan passion dari pemainnya. Sponsor bisa memberikan kesempatan bagi para pemain untuk bertanding di luar negeri untuk menambah pengalaman.” Jelas Bram.

Ditambah lagi, “mau tidak mau, mereka harus bertanding di luar negeri untuk menaikkan standar.”

Kebetulan, belakangan ini salah satu pemain game fighting diajak bergabung dengan Alter Ego. Jadi, hasilnya mungkin bisa dilihat dari hasil kerja sama tersebut.

Selain mendapatkan sponsor, bagaimana jika para pemain game fighting juga mendapatkan gaji bulanan layaknya para pemain Dota 2 ataupun Mobile Legends? Apakah hal tersebut bisa membantu prestasi? Saya pun bertanya.


Menurut cerita Bram, para pemain game fighting saat ini sudah mendapatkan semacam gaji namun dari streaming yang jumlahnya relatif kecil. “Tapi ini bisnis ya, saya rasa mungkin yang win-win saja buat kedua belah pihak.”

Bram pun menambahkan bahwa kondisi yang ada sekarang lebih cocok untuk mereka yang masih kuliah / fresh graduate dan sangat passion di sini. Sedangkan untuk yang sudah berumur, mereka harus berpikir matang apakah sebanding kerja keras dengan jenjang karir ke depannya jika dibandingkan dengan kerja kantoran pada umumnya.

Menurutnya, masalah terberat berkarir di esports itu dari kekhawatiran orang tua yang pasti dibandingkan dengan pekerjaan kantoran. Baru game-game MOBA yang hadiahnya ratusan juta yang bisa membuat sejumlah orang tua terbuka dengan industri esports.

Meski begitu, Bram pun mengatakan, akhirnya memang kembali lagi ke masing-masing pemainnya. Jika dia bisa sukses dan tak bergantung orang tua, mereka bisa menyakinkan keluarga untuk bisa berkarir di sini.

AMD Esports Fight! Sumber: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Sumber: AMD

Selain 2 hal tadi, dukungan sponsor ke esports fighting tentu juga sangat berharga; misalnya seperti AMD yang sempat menggelar kompetisi untuk game fighting (AMD eSports FIGHT! Championship 2018).

“Kalau semua turnamen game bisa menyamai prize pool yang ditawarkan oleh turnamen game MOBA, tentunya dari sisi bisnis dan kesenjangan antara para pelaku esports bisa terjaga. Jadi, ekosistem esports itu perlu stabil dulu.”

Terakhir, menurut Bram, yang dibutuhkan juga oleh esports fighting adalah pengenalan game fighting itu sendiri.

“Saya melihat Indonesia masih jauh dari itu jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Setidaknya, di sana, event esports selalu ada spot untuk game fighting.

Karena itu juga, saya ingin berterima kasih pada AMD yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk menjalankan event mereka.

Harapannya, ekosistem esports fighting terus pelan-pelan berkembang dari berbagai aspek. Toh, esports fighting itu adalah salah satu esports yang punya faktor entertainment yang paling menarik dan punya banyak pemain nasional yang berprestasi di luar sana.” Tutup Bram.

Itu tadi obrolan singkat kami bersama Bram tentang seluk beluk esports fighting. Semoga saja tanah tandus yang sepenuh hati digarap Bram dan kawan-kawannya dari Advance Guard dan komunitas game fighting bisa berubah jadi taman indah yang bisa dinikmati semua orang ya!

Oh iya, jangan lupa like Facebook Fanpage Advance Guard ya untuk info-info terbaru seputar esports fighting.

Mengupas Tuntas Gelaran Esports bersama Senior EO Esports Indonesia

Jika sebelumnya kita telah mengupas tentang organisasi esports bersama owner BOOM ID, kali ini, kita akan berbicara tentang serba-serbi event organizer untuk esports.

Saya telah menghubungi Tribekti Nasima yang merupakan salah satu dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Bekti adalah orang yang berada di balik megahnya gelaran LGS (League of Legends Garuda Series) dan Glorious Arena saat ia menjadi Garena Esports Manager untuk League of Legends (LoL) di Indonesia.

LGS sendiri merupakan liga LoL paling bergengsi di Indonesia yang digarap langsung oleh Garena. Pemenang dari LGS akan bertanding lagi ke level yang lebih tinggi di tingkat Asia Tenggara. Sayangnya, LGS ini sekarang sudah dihilangkan.

GPL Spring 2018. Sumber: Garena
GPL Spring 2018. Sumber: Garena

Buat yang belum terlalu familiar dengan esports Indonesia, faktanya, LGS merupakan pionir dari gelaran kompetitif yang epik di Indonesia. Meski memang bukan yang pertama di Indonesia, banyak EO esports lainnya menjadikan LGS pada era Bekti sebagai patokan proyek mereka.

Saat ini, ia sudah pindah ke Mineski Event Team (MET) sebagai Head of Operation.

Mari kita langsung masuk ke perbincangan saya bersama Bekti.

Yang paling penting dari sebuah event esports?

Saya pun langsung to-the-point untuk menanyakan pendapatnya tentang hal yang paling krusial dari sebuah gelaran. Menurutnya, “yang paling penting itu bisa diikutin. Jadi ada ceritanya. Jadi tahu siapa saja yang bertanding di sana.”

Maksudnya, event esports yang baik adalah yang punya cerita yang mudah diingat. Tanpa aspek naratif yang kuat, gelaran kompetitif tidak akan menarik sebagai sebuah hiburan/entertainment dan akan mudah terlupakan.

Bekti yang memang menjadikan LoL dan Riot Games (developer dan publisher-nya) sebagai ‘kiblat’nya menggarap event pun memberikan contoh soal aspek cerita tadi.

Gelaran kompetisi League of Legends di dunia itu memang lebih mudah untuk diikuti karena sistemnya. Seperti yang saya tuliskan tadi sebelumnya, pemenang dari liga Indonesia akan bertarung ke liga Asia Tenggara. Kemudian, pemenang dari tingkat Asia Tenggara tadi berhak melangkah lebih lanjut ke tingkat dunia a.k.a World Championship.

Sistem yang sama ini digunakan di banyak kawasan lainnya. Jadi, sistemnya memang mirip dengan yang digunakan FIFA di Piala Dunia. Tim-tim yang ingin beraksi di kancah internasional harus bisa menang di tingkat regional.

Oleh karena itu, tim-tim yang bertarung di World Championship telah memiliki latar belakang ceritanya masing-masing. Bagaimana perjuangan mereka, yang tak jarang dramatis, di tingkat regional, membuat tim-tim peserta memiliki karakteristik yang kuat.

Itu tadi elemen paling penting dari sebuah gelaran kompetitif menurut Bekti dan saya sangat setuju dengannya.

Aspek produksi di gelaran esports

Tribekti Nasima. Dokumentasi: Mutiara Donna Visca
Tribekti Nasima. Dokumentasi: Mutiara Donna Visca

Selain aspek naratif tadi, saya pun bertanya kepada Bekti tentang salah satu aspek penting juga yang tak boleh terlewatkan oleh para penyelenggara event esports; yaitu produksi.

Aspek produksi yang dimaksud di sini adalah soal panggung, pencahayaan, acara dan yang lain-lainnya yang dibutuhkan agar event dapat berlangsung.

Menurut Bekti sendiri aspek produksi sebenarnya sangat bergantung dari budget alias anggaran. “Kalau anggarannya kecil, memang susah untuk buat yang megah.”

“Namun,” lanjut Bekti “tantangan bagi para project manager adalah bagaimana membuat produksi maksimal dengan budget minimal.” Ia pun bercerita bahwa acara esports League of Legends, seperti World Championship, itu memang modalnya besar karena tujuan mereka buat event bukan untuk mencari margin (keutungan) dari event tersebut. Di Indonesia sendiri, menurutnya, kesulitannya memang ada di budget tadi karena marginnya saja memang sudah tipis.

Buat yang belum terlalu paham tentang gelaran esports dari League of Legends, ijinkan saya menjelaskan sedikit. Event esports dari League of Legends memang diselenggarakan dan diorganisir langsung oleh Riot Games, developer-nya, atau publisher game-nya seperti Garena di Indonesia (sebelum diganti sistemnya) ataupun Tencent di Tiongkok.

Sumber: es.me
Sumber: es.me

Jadi, karena memang bukan pihak ketiga yang menyelenggarakan, event tersebut tidak dibuat untuk mencari keuntungan materi. Tujuan mereka mengadakan event tersebut memang sebagai salah satu bentuk marketing dan branding untuk agar para pemain lamanya tetap setia ataupun menarik para pemain baru.

Selain itu, event esports yang dikontrol langsung oleh publisher-nya memang bisa lebih leluasa dalam menentukan kualitas seperti apa yang diinginkan. Namun demikian, sistem ini juga bisa dibilang memiliki kekurangan. Jika semua game membuat acaranya sendiri, para penyelenggara event esports pihak ketiga jadi tidak kebagian proyek.

Itulah perbedaan terbesar antara event esports League of Legends dengan kebanyakan game lainnya, baik di Indonesia ataupun di tingkat internasional. Riot, Tencent, Garena, ataupun para pemegang lisensi League of Legends lainnya memang punya divisi esports-nya masing-masing.

Sumber: LoL Esports
Sumber: LoL Esports

Meski demikian yang paling penting dari aspek produksi, bagi Bekti, adalah bagaimana caranya agar aspek produksi tersebut dapat membuat satu turnamen begitu berkesan.

Hal ini bisa tercapai berkat desain panggung yang megah, pertunjukkan di luar kompetisinya, ataupun yang lainnya. Memang, tak jarang event esports bisa sangat berkesan gara-gara pertandingannya seperti hasil pertandingan yang dramatis ataupun tim kuda hitam yang bisa menjadi juara di turnamen tersebut. Namun seorang project manager yang hebat tetap akan berusaha membuat turnamen tetap memorable tanpa menggantungkan nasib pada orang lain.

Aspek publikasi event esports

Berhubung memang saya cukup lama bermain di industri media dan sebelumnya pernah menangani publikasi untuk beberapa event esports di Indonesia, saya pun melihat masalah minimnya aspek publikasi di banyak event esports di Indonesia.

Bekti pun setuju dengan saya. Namun Bekti mengatakan bahwa memang semua EO (event organizer) di Indonesia masih belum sempurna di semua aspek. “Mereka (EO di Indonesia) punya kekuatan dan kelemahan masing-masing.”

Ia pun melanjutkan bahwa industri esports di Indonesia sendiri memang masih muda. Karena itu, mungkin para penyelenggara gelaran esports di Indonesia masih perlu belajar dari event yang pernah dibuat. “Dari 1-3 event kan jadi bisa dievaluasi. Setelah beberapa waktu, mungkin headcount-nya juga bisa dipenuhi (tambah personil).”

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Karena memang banyak EO yang masih ‘muda’ di Indonesia, Bekti melanjutkan, masuknya ESL ke Indonesia (berkongsi dengan Salim Group) akan berdampak positif buat industri esports tanah air karena para penyelenggara tadi dapat memiliki patokan (benchmark) baru yang dapat dikejar.

Bekti pun menambahkan kadang event esports bahkan tak perlu publikasi tapi bisa populer. Ditambah lagi, beberapa sponsor juga sudah mulai berpikir soal kualitas. Namun demikian, Bekti juga tidak begitu saja menihilkan aspek publikasi itu tadi.

LoL merupakan salah satu game yang punya aspek publikasi hebat karena cerita rangkaian turnamen mereka yang relatif lebih mudah diikuti (karena digarap langsung oleh publisher dan punya jenjang kompetisi yang rapih). Namun demikian, hal ini juga sebenarnya dapat dilakukan di game-game lainnya Bekti pun berargumen.

Ia pun mencontohkan kompetisi Dota 2 yang lebih banyak digarap oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, jurnalis atau medianya yang harus lebih pandai merajut cerita dari berbagai kompetisi tadi.

Masukan untuk para penyelenggara event esports

MPL Indonesia Season 1. Sumber: MLBB
MPL Indonesia Season 1. Sumber: MLBB

Saya pun menanyakan saran apa yang bisa diberikan oleh Bekti sebagai salah seorang yang senior di bidang ini. Menurutnya, ada 2 hal yang bisa dilakukan.

Pertama, menjaga dan memulainya dari komunitasnya masing-masing. Ia pun mencontohkan Advance Guard yang merupakan EO sekaligus komunitas yang spesialis menggarap game-game fighting di Indonesia. Meski memang masih kalah popularitasnya (karena genre game-nya), Advance Guard tidak bisa dibilang EO kecil karena turnamen mereka juga biasa ditunjuk oleh Capcom dan Bandai Namco menjadi turnamen kualifikasi Indonesia untuk Street Fighter ataupun Tekken ke jenjang turnamen yang lebih tinggi alias tingkat internasional.

Di PES (Pro Evolution Soccer) dan FIFA juga mirip seperti itu yang mengandalkan komunitas.

Dengan memperkuat jaringan komunitas, menurut Bekti, mereka-mereka yang ingin mengadakan turnamen untuk game-nya mau tidak mau harus melibatkan komunitas itu tadi.

Sumber: AMD
Sumber: AMD Indonesia

Hal kedua yang bisa dilakukan adalah terus mencari dan berpegang pada kekuatannya masing-masing. Misalnya, EO yang kuat di media bisa terus mengembangkan medianya. Komunitas tadi juga dapat dilihat sebagai kekuatan yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh EO lainnya.

Selain itu, contoh lainnya, jika memang belum pernah eksekusi event Dota 2, ya jangan diambil. Pasalnya, meski memang mudah dibayangkan, akan ada hal-hal kecil yang terlupakan jika tidak biasa.

Terakhir, saya pun menanyakan hal ini sebagai penutup.

Menurutnya, hal apa yang biasanya menyebabkan satu gelaran esports jadi kacau? “Antara kebanyakan kaki tangan atau kebanyakan kepala.” Jawabnya.

Maksudnya, kebanyakan kaki tangan di sini adalah soal terlalu banyak menggunakan sub-vendor yang biasanya dilakukan untuk menghemat anggaran. Hal tersebut biasanya akan mengakibatkan koodinasi yang sulit.

Sedangkan kebanyakan kepala artinya terlalu banyak stakeholder yang jadinya terlalu banyak kepentingan sehingga sulit untuk fokus pada 1 tujuan.

Itu tadi secuil perbincangan saya dengan Bekti. Semoga hal ini bermanfaat bagi Anda yang penasaran ikut menggarap esports di dalam negeri.

Untuk Bekti, sukses terus ya bersama Mineski Event Team ataupun di tempat-tempat lainnya! Thanks untuk waktu dan insight-nya!

Wawancara Bersama Owner BOOM ID Tentang Pahit Manis Organisasi Esports

Dengan menjamurnya dan ‘latah’ esports di Indonesia, banyak orang beramai-ramai terjun ke industri ini; dari yang mulai jadi event organizer, media, ataupun tim esports.

Meski begitu, nyatanya, memang tidak mudah meraba industri baru ini jika tak ada teladan yang bisa diikuti. Karena itu, kami mengajak mereka-mereka yang sudah lebih dulu terjun untuk berbagi pengalamannya.

Kali ini, kita akan berbicara soal tim esports dan saya telah menghubungi Gary Ongko Putera yang merupakan owner sekaligus founder dari BOOM ID untuk menceritakan insight-nya.

Sebelumnya, buat yang tidak familiar dengan BOOM ID, organisasi esports ini adalah salah satu yang terbesar di Indonesia yang didirikan tahun 2016.

Sumber: BOOM ID
Sumber: BOOM ID

Saat artikel ini ditulis, mereka juga masih menjadi organisasi dengan divisi/tim game terbanyak mulai dari Dota 2, CS:GO, Mobile Legends, Point Blank, PUBG, PUGB Mobile, Vainglory, Hearthstone, dan FIFA Online. Mereka bahkan punya 3 tim untuk game Mobile Legends, 2 di Indonesia dan 1 di Singapura.

Selain itu mereka juga bisa dibilang paling konsisten performanya, dari aspek prestasi, di dunia persilatan Dota 2 dan CS:GO Indonesia.

Inilah perbincangan saya dan Gary.

Sumber: Duniaku
Sumber: Duniaku.net

Sejarah BOOM ID

Saya pun menanyakan cerita bagaimana dulu BOOM ID terbentuk. Gary pun bercerita bahwa saat ia masih SD atau SMP setiap hari main ke warnet. Dari sana, ia bermimpi untuk memiliki organisasi seperti Fnatic.

“Emang dari dulu patokannya Fnatic. Menurut gua, mereka salah satu organisasi paling keren.” Ungkapnya.

Dari impian itu, satu saat ia mendapatkan kesempatan karena tim CS:GO Kanaya ingin melepaskan diri dari manajemen dan mencari tempat berlabuh baru. “Kebetulan cocok. Jadi, mulailah BOOM ID.”

Kala itu, ada 4 pemain yang berasal dari Kanaya yaitu hazard, mindfreak, asteriskk, dan MaverickZz ditambah 1 pemain dari Recca Esports, 6fingers. Saat itu Ari Kurniawan, yang sekarang jadi COO Capcorn, manajer dari Kanaya Gaming juga ikut hijrah jadi manajer BOOM ID.

Gary (kiri) dan Owljan (kanan). Sumber: Owljan
Gary (kiri) dan Owljan (kanan). Sumber: Owljan

Ari pun mengenalkan Owljan untuk jadi graphic designer BOOM ID. Dari Owljan, ia pun mengenalkan BOOM ID ke tim Dota 2 yang mantan pemain Supernova. Maka bergabunglah InYourDream, Dreamocel, SaintDeLucaz, Varizh, dan SnowbaLL yang jadi susunan pemain pertama divisi Dota 2 BOOM ID.

Dari 2 divisi itu pun BOOM ID pelan-pelan berkembang besar sampai jadi sekarang ini. Beberapa divisi mereka juga sebenarnya baru saja direkrut di 2018 ini, seperti Hearthstone, FIFA Online, dan Point Blank.

BOOM Jr yang merupakan salah satu tim Mobile Legends BOOM juga baru direkrut sesaat setelah tim tersebut lolos ke MLBB Professional League (MPL) Indonesia Season 2. Sebelumnya, tim tersebut bernama Chronos Agent.

Tantangan Organisasi Esports

Saya pun menanyakan tantangan-tantangan yang harus ia hadapi sebagai pemilik tim esports.

“Kesulitannya… hmmm banyak sih. Kita sekarang punya anggota 50+. Jadi, setiap hari pasti ada susahnya. Entah result (prestasi) yang kurang memuaskan, (masalah) internal, cari sponsor, cari talent, cari coach yang mau tinggal di Indonesia, masalah internet dan yang lain-lainnya.”

Ia pun menambahkan beberapa cerita yang spesifik tentang kesulitan yang pernah ia rasakan. “Dulu pernah juga pakai provider internet yang kurang bagus. Jadi setiap nyari Grab atau Gojek ke BC selalu di-cancel. Pernah kebanjiran juga jadi harus angkat PC ke atas meja supaya ga konslet. Pernah mati lampu saat bertanding. Pernah gagal ikut 2 kualifikasi regional Asia Tenggara karena jadwal yang saling bertabrakan.”

“Netizen itu kesulitan juga sih yang harus dihadapi hahaha…” Katanya tertawa.

Tentang modal awal

Lalu bagaimana soal modal awalnya untuk membuat tim ini? Apakah ada kesulitan sendiri soal ini?

Gary pun bercerita bahwa ia harus meninggalkan perusahaan orang tuanya untuk fokus ke BOOM.

“Hahaha… Lumayan tegang ngomongnya (waktu itu). Tapi karena sudah passion dan pas S2 di Amerika juga sudah dipikirkan masak-masak business plan nya, jadinya untung lumayan smooth dan didukung (orang tua).” Kenang Gary.

Sekarang, BOOM ID memang telah mendapatkan banyak sponsor namun ia juga mengatakan bahwa punya sponsor itu tidak selalu menyenangkan. “Beberapa brand kadang-kadang memberikan janji yang muluk-muluk namun setelah dibantu semuanya berubah.”

Dari pengalaman itu, Gary juga memberikan pesan untuk para owner baru untuk benar-benar cari tahu brand yang menawarkan diri jadi sponsor.

Tim Dota 2 BOOM ID. Sumber: BOOM ID
Tim Dota 2 BOOM ID. Sumber: BOOM ID

Jadi, dari cerita tadi, sebenarnya masalah yang dihadapi oleh organisasi esports tak jauh berbeda dengan masalah perusahaan kebanyakan.

Masalah prestasi yang tak sesuai harapan adalah masalah KPI di perusahaan profit. Masalah internal pemain juga bisa disebut masalah SDM. Masalah internet dan teknis lainnya juga tak jarang dihadapi oleh perusahaan lainnya. Sedangkan masalah sponsor juga bisa diartikan masalah kesepakatan bisnis.

Namun demikian, meski bisa dibilang masalah yang dihadapi senada, kemampuan manajemen yang baik juga perlu diimbangi dengan pengetahuan esports yang memadai untuk mengatur sebuah organisasi esports.

Dari obrolan saya dan Gary, saya juga baru mengetahui ternyata owner BOOM ID ini bahkan lulusan S1 dan S2 dari US. Gelar S1 nya pun ganda (double degree) antara Ekonomi dan Psikologi. Untuk S2 nya, Gary mengaku mengambil jurusan Ekonomi.

“Jenius gua despite kerusuhan gua…  wakakkakaa.” Seloroh Gary.

Mungkin juga, karena latar belakang akademis Gary tadilah, ia berhasil membawa BOOM ID jadi sebesar ini sekarang.

Jadi, buat Anda yang masih meremehkan gamer, yang katanya malas, bodoh, dan tidak berpendidikan, saya akan bawa Gary ketemu Anda… Hehe…

Tentang regenerasi pemain

Satu hal yang sebenarnya menjadi perbincangan di kalangan manajemen tim esports Indonesia adalah soal minimnya regenerasi pemain di tanah air, khususnya di Dota 2 dan CS:GO.

Sumber: BOOM ID
Sumber: BOOM ID

Bagaimana menurut pendapat Gary?

Menurutnya soal regenerasi itu tergantung dari minat organisasi tersebut apakah serius memberikan insentif ke pemain untuk naik ke tingkat pro.

Ia pun tidak melihat regenerasi jadi masalah di Indonesia. “Dengan makin banyaknya organisasi di Indonesia, harusnya regenerasi talent (pemain) aman.”

Gary pun memberikan contoh bahwa sekarang organisasi-organisasi esports besar juga ramai-ramai buat tim CS:GO. Ia pun menyebutkan yang spesifik tentang organisasi esports PG Barracx yang sekarang punya PG Godlike dan PG Orca yang merupakan divisi baru dengan pemain-pemain muda.

Menurutnya, pandangan kaum awam dan masyarat generasi tua yang menjadi kunci terakhir tentang regenerasi ini. “Karena banyak pemain yang tidak diijinkan untuk mengejar ambisi menjadi pemain profesional sama orang tuanya. Padahal, dari segi gaji, lumayan banget jadi pro player.”

Berbicara soal gaji, memang berapa sih sebenarnya gaji yang bisa didapatkan oleh pemain baru?

Menurutnya, kisaran gaji yang bisa didapatkan oleh pemain baru di Indonesia bisa berkisar antara Rp3-4 juta rata-ratanya. “Semua tergantung prestasi sih kalau di BOOM. Kurang tahu kalau untuk tim-tim lainnya.”

BOOM ID saat juara IGC 2018. Sumber: BOOM ID
Tim Dota 2 BOOM ID saat juara IGC 2018. Sumber: BOOM ID

Keuntungan memiliki tim Esports

Setelah kita berbicara cukup panjang soal tantangan, bagaimana soal keuntungannya?

Dari sisi emosional, Gary mengaku bangga ketika timnya menang meski merasa sedikit kesal juga saat kalah. Gary memang benar-benar peduli dengan performa tim-timnya di sana.

Selain soal kemenangan tadi, ia juga merasa ada kepuasan sendiri jika banyak pemain yang berkembang setelah mereka bergabung dengan BOOM ID.

Ia juga senang ketika bisa melihat para pemainnya kerja keras selama latihan. “Rewarding aja bisa melihat pemain yang sangat peduli dengan pekerjaannya sebagai pro gamer.”

Bagaimana soal keuntungan materiil?

Ia mengaku bisa mendapatkan keuntungan materiil dari sponsor, hadiah turnamen, penjualan merchandise, dan streaming incentives.

Saat ini, Gary pun mengaku sebenarnya BOOM ID sudah profit (mendapatkan laba) namun ia justru menggunakan keutungan tersebut untuk melebarkan sayapnya alias expand.

Dari semua jenis pemasukan tadi, Gary mengatakan bahwa pemasukan dari sponsor yang cukup besar. Sebaliknya, hadiah turnamen di Indonesia tidak dirasa cukup besar.

Merchandise BOOM ID. Sumber: BOOM ID
Merchandise BOOM ID. Sumber: BOOM ID

“Paling PO jersey yang lumayan. Tapi ga bisa sering-sering haha…”

Itu tadi perbincangan singkat saya dengan Gary Ongko, yang empunya BOOM ID. Semoga perbincangan kami dapat bermanfaat bagi Anda yang tertarik untuk membuat tim esports.

Thanks juga buat Gary yang sudah menyempatkan waktunya dan berbagi cerita. Semoga kawan-kawan kita di BOOM ID bisa terus berkembang dari waktu ke waktu ya!