Tantangan dan Peluang Genflix Aerowolf di MPL ID Season 7 Menurut Sang Pelatih

Sebagai salah satu liga esports terbesar di Indonesia, persaingan ketat dan pertandingan sengit adalah daya tarik Mobile Legends: Bang Bang Professional League Indonesia Season 7 (MPL ID Season 7). Pertandingan pekan lalu jadi bukti dan membuat Genflix Aerowolf jadi salah satu sorotan.

Keberhasilan mereka mengalahkan RRQ Hoshi setelah hasil kurang memuaskan di pekan sebelumnya adalah alasan kenapa sang serigala putih jadi sorotan menarik di pekan lalu. Karenanya kami pun mencoba berbincang dengan pelatih baru Genflix Aerowolf yaitu Dolly “SaintDeLucaz” Van Pelo, soal apa yang terjadi pada pertandingan kemarin, perubahan roster, dan harapan Genflix Aerowolf mencapai babak Playoff. Berikut hasil perbincangan kami.

 

Komposisi Pemain dan Draft Hero, Dua Masalah Rutin di Awal Musim

MPL Indonesia baru saja memulai pertandingan musim ke-7. Tercatat, pekan lalu baru menjadi pertandingan pekan ke-3 dari total 8 pekan pertandingan babak Regular Season dalam satu musim MPL Indonesia. Karena masih awal musim, peta kekuatan tim juga cenderung masih sulit ditebak, semuanya masih sama-sama mencoba mencari komposisi terbaiknya.

“Saya memang masih mencoba rotasi line-up pemain pada week 1 dan 2 kemarin. Salah satu alasan kenapa week 3 performanya bisa melonjak mungkin karena memang roster yang dipakai cocok untuk menghadapi AURA Fire dan RRQ Hoshi.” Tutur Dolly kepada saya. “Menurut saya, alasan lainnya juga termasuk karena draft hero yang kami mainkan benar-benar menjadi counter bagi gameplay mereka (AURA Fire dan RRQ Hoshi).” Tambah Dolly memperjelas.

Musim ini, Genflix Aerowolf membawa roster berisikan 7 orang. Beberapa orang di dalam roster adalah pemain yang bertahan dari musim lalu seperti Fredoqt, Rinazmi, Marz, Clay, dan Watt. Genflix Aerowolf juga menambah pemain baru berwajah lama seperti Kido yang sempat vakum beberapa musim ke belakang, Bravo yang bermain untuk Bigetron Alpha di musim sebelumnya, dan Bottle yang merupakan pemain inti dari divisi MDL (liga MLBB divisi 2) yaitu Aerowolf Jr.

Sumber Gambar - YouTube Aerowolf Pro Team.
Sumber Gambar – YouTube Aerowolf Pro Team.

SaintDeLucaz pun memberikan sedikit pendapatnya seputar line-up tersebut. “Memang mencari line-up terbaik dan komposisi draft yang tepat adalah salah satu challenge terbesar bagi kami. Lalu kalau soal Kido, menurut saya dia memang adalah sosok panutan bagi pemain-pemain lainnya. Kido kerap dianggap sebagai kakak pertama yang dihormati oleh semua pemain. Strategi Genflix Aerowolf secara garis besarnya juga bisa dibilang datang dari Kido.”

Sejauh pengamatan saya, Kido belum tampak sebagai starting line-up bagi Genflix Aerowolf di MPL Indonesia Season 7. Rotasi pemain yang dilakukan Genflix Aerowolf masih berkutat kepada 6 pemain lainnya yaitu Rinazmi, Marz, Clay, Bottle, Watt dan Fredo. Walaupun begitu, kita tidak tahu apa yang terjadi di belakang layar. Bisa jadi memang benar seperti apa yang dikatakan oleh SaintDeLucaz, bahwa kehadiran Kido di belakang layar secara tidak langsung juga menjadi mental boost bagi pemain yang menjadi starting line-up.

 

Pandangan Sang Pelatih Genflix Aerowolf Terhadap MPL Indonesia Season 7.

Walau baru berjalan 3 pekan, tetapi saya sendiri cukup penasaran bagaimana SaintDeLucaz memandang segala tantangan yang ada di depannya. Pertama dari segi eksternal. Walau semua tim masih terlihat sedang coba-coba line-up namun beberapa sudah mulai menunjukkan taringnya. Pertanyaannya, siapa tim yang paling berbahaya nantinya ketika dihadapi? Juga siapa yang bisa jadi peluang kemenangan bagi Genflix Aerowolf?

SaintDeLucaz pun menjawab tim yang jadi tantangan terberat adalah Alter Ego. “Kenapa Alter Ego, jawabannya adalah karena mereka punya permainan yang solid sebagai senjata utama.” Memang sejauh ini Alter Ego mungkin jadi satu-satunya tim yang tidak mengganti line-up mereka sama sekali. Karenanya jadi tidak heran apabila permainan mereka cenderung konsisten walau bisa jadi peluang mengalahkan mereka tetap terbuka, terutama apabila Alter Ego tidak mengubah pola permainan dan celah atas pola permainan tersebut ditemukan.

Lalu kalau bicara peluang, SaintDeLucaz menjawab bahwa tim tersebut adalah AURA Fire. “Mereka (AURA Fire) jadi peluang kemenangan terbesar bagi Genflix Aerowolf. Alasannya adalah karena dari sisi roster, mereka banyak mendatangkan pemain baru.” Berdasarkan roster, AURA Fire memang banyak menambah pemain baru di Season 7 ini. Maka dari itu masalah yang dihadapi oleh AURA Fire dengan Genflix Aerowolf bisa jadi sama, yaitu sama-sama kesulitan mencari dan meramu starting line-up yang tepat.

Terakhir, berusaha menatap ke depan, bagaimana dengan peluang untuk masuk Playoff bagi Genflix Aerowolf? “Kalau disuruh memberi nilai keoptimisan dari 1-10, saya merasa nilai optimis kami untuk lolos ke playoff ada di angka 9. Week 3 kemarin mungkin jadi titik balik bagi kami. Saya juga melihat mental dan tingkat kepercayaan diri tim sudah mulai naik, ditambah chemistry pemain yang perlahan mulai terlihat.” tutur SaintDeLucaz menutup perbincangan.

 

Akhir pekan ini (19-21 Maret 2021) MPL ID Season 7 sudah memasuki week 4 pertandingan. Genflix Aerowolf hanya memiliki satu pertandingan saja, yaitu menghadapi EVOS Legends sebagai pertandingan pembuka di matchday 3 (Minggu, 21 Maret 2021).

Pekan lalu, Genflix Aerowolf berhasil mengalahkan RRQ Hoshi dengan skor 2-1. Namun, RRQ Hoshi juga kalah 0-2 lawan EVOS Legends di minggu yang sama. Lalu pertanyaannya, siapa yang lebih baik antara Genflix Aerowolf dengan EVOS Legends? Selain itu, mampukah SaintdeLucaz memandu Genflix Aerowolf untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di MPL Indonesia Season 7?

Sumber Gambar Utama – YouTube Aerowolf Pro Team.

Benarkah RRQ Hoshi Adalah Tim Mobile Legends Terpopuler?

Kehadiran Mobile Legends: Bang-Bang dan liga MPL di Asia Tenggara memang menjadi pasokan energi tersendiri bagi ekosistem esports setempat. Bukti nyata hal tersebut bisa kita lihat dari banyaknya mantan pemain profesional MOBA lain yang pindah ke skena MLBB demi masuk ke MPL. Bulan lalu kita sudah sempat membahas turnamen esport terpopuler bulan Februari dengan MPL Indonesia sebagai pemuncak daftar tersebut. Pertanyaan berikutnya, siapakah tim esports MLBB yang paling populer sejauh ini?

Esports Charts baru saja menyajikan data yang mengatakan bahwa RRQ Hoshi adalah tim MLBB terpopuler. Tetapi apa benar? Berikut pemaparan datanya dengan analisis lebih dalam menggunakan fitur pro milik Esports Charts.

 

Indonesia Mendominasi Daftar Tim Esports MLBB Terpopuler

MLBB sering dicibir sebagai game yang hanya populer di Indonesia saja. Mungkin cibiran tersebut ada benarnya. Terlepas dari itu, cibiran tersebut juga berdampak positif karena catatan angka fans Indonesia memang cukup fantastis. Sejauh ini, liga yang konsisten berjalan dan menjadi tontonan para fans MLBB adalah MPL. Liga MPL ada di empat negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, Myanmar, dan Filipina.

Dari lima negara tersebut, tim-tim dari MPL Indonesia adalah tim dengan total hours watch terbanyak ketimbang tim dari negara lainnya. Seperti yang dapat Anda lihat pada grafik di bawah, hanya ada 3 tim Filipina saja yang masuk ke dalam daftar sedangkan sisanya berisikan tim dari Indonesia.

RRQ Hoshi berhasil menjadi tim yang paling populer dengan total 23,8 juta total watch hours dari 103 juta jam tayang di dalam pertandingan. Dari data tersebut, satu yang cukup mengejutkan mungkin adalah posisi EVOS Esports yang ternyata ada di posisi ketiga, di bawah Alter Ego yang ada di peringkat kedua. Karenanya data tersebut secara tidak langsung juga menjadi cermin tingkat kekuatan tim-tim di skena kompetitif MLBB baik lokal ataupun internasional belakangan ini.

Sumber Gambar - Esports Charts Blog.
Sumber Gambar – Esports Charts Blog.

Kalau Anda adalah penggemar berat esports MLBB Anda mungkin tahu bagaimana kondisi kekuatan tim-tim tersebut belakangan ini. RRQ Hoshi memang cukup konsisten, setidaknya sebelum MPL ID S7 dimulai. Mereka juga mendapatkan gelar MPL Indonesia sebanyak dua kali berturut-turut, di season 5 dan 6. Meski sayangnya RRQ Hoshi terbilang belum beruntung di panggung internasional.

Alter Ego adalah kontestan baru yang sedang panas semangat serta performanya. Walau belum berhasil mendapatkan gelar MPL Indonesia, namun mereka berhasil jadi juara MPL Invitational di tahun 2020 lalu walau terjegal Bren Esports pada M2 MLBB World Championship.

EVOS Legends terlihat masih berusaha keras mencari performa terbaiknya belakangan ini. Namun mereka sempat mengenyam masa jayanya di tahun 2019 lalu. Mereka menyabet dua gelar di tahun itu, gelar juara nasional lewat MPL ID Season 4 dan gelar juara dunia lewat M1 MLBB World Championship. Namun performa mereka mulai tidak konsisten pasca ditinggal oleh senior-seniornya seperti Donkey dan Aura.

 

Benarkah RRQ Hoshi Adalah Tim MLBB Terpopuler?

Sepanjang perjalanan MPL Indonesia sendiri, RRQ Hoshi ternyata memang menjadi tim yang paling ditunggu pertandingannya. Untuk mendapatkan informasi tersebut, saya menggunakan fitur pro milik Esports Charts dan melihat data 5 tayangan pertandingan bahasa Indonesia terpopuler dari MPL Indonesia Season 4, 5, 6, dan 7.

Dari pencarian tersebut saya menemukan bahwa RRQ Hoshi mengisi mayoritas daftar 5 tayangan pertandingan bahasa Indonesia terpopuler di MPL ID. Pada season 4, RRQ Hoshi mengisi 4 dari 5 pertandingan yang ada dalam daftar. Di Season 5 RRQ Hoshi mengisi 3 dari 5 pertandingan yang ada dalam daftar. Pada Season 6, RRQ Hoshi tampil di semua tayangan pertandingan bahasa Indonesia terpopuler. Terakhir pada season 7 (sampai artikel ini ditulis), RRQ Hoshi mengisi 4 dari 5 daftar tayangan bahasa Indonesia terpopuler.

MPL ID Season 4
MPL ID Season 4. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.
MPL ID Season 5
MPL ID Season 5. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.

Hal tersebut sedikit banyak membuktikan bahwa memang pertandingan RRQ Hoshi adalah pertandingan yang ditunggu oleh penonton esports MLBB. Namun perubahan tim rivalnya dari musim ke musim jadi menarik untuk dibahas.

Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, antusiasme tertinggi penonton MLBB Indonesia di season 4 dan 5 hanyalah pada el clasico (RRQ vs EVOS) saja dengan total 6 pertandingan muncul di dalam daftar. Tetapi memasuki season ke-6, pertandingan lain mulai muncul ke dalam daftar yang juga menjadi bukti meningkatnya level kompetisi di dalam liga.

Pada season ke-6, hanya ada satu pertandingan el clasico saja yang ada di dalam daftar. Empat sisanya justru terdiri dari dua pertandingan RRQ Hoshi vs ONIC Esports dan dua pertandingan RRQ Hoshi vs Alter Ego. Season ke-7 memang masih berjalan, tetapi catatan datanya juga menarik untuk dibahas.

MPL ID Season 6
MPL ID Season 6. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.
MPL ID Season 7
MPL ID Season 7. Sumber Data – Esports Charts Pro Features.

Musim ini el clasico jadi menarik lagi karena RRQ Hoshi terlihat sedang mencari-cari line-up terbaiknya. Tetapi selain itu, ada dua tim yang terlihat mulai menanjak kemampuannya sehingga menghasilkan match berkualitas yang ditonton banyak orang. Dua tim tersebut adalah Genflix Aerowolf dan Bigetron Alpha.

Genflix Aerowolf terakhir kali berhasil mengalahkan RRQ Hoshi di pertandingan Week 3 Day 3 kemarin dengan skor 2-1. Sementara itu Bigetron Alpha sebenarnya kalah 0-2 lawan RRQ Hoshi pada week 2 day 3. Namun demikian, Bigetron Alpha menunjukkan perlawanan yang sengit sehingga menarik perhatian banyak orang.

Geek Fam ID sebenarnya juga jadi tim lain yang sedang menunjukkan momentum positif di season 7 ini. Namun Geek Fam ID mengalami musim yang buruk belakangan, yang mungkin sedikit banyak menurunkan popularitasnya.

Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Inggris terpopuler. Sumber Gambar - Esports Charts Pro Features.
Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Inggris. Sumber Gambar – Esports Charts Pro Features.
Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Indonesia terpopuler. Sumber Gambar - Esports Charts Pro Features.
Tayangan M2 MLBB World Championship bahasa Indonesia. Sumber Gambar – Esports Charts Pro Features.

Dalam pertandingan internasional, RRQ Hoshi pun masih mempertahankan popularitasnya walau bukan yang nomor 1. Menggunakan M2 World Championship sebagai sampel, di sana terlihat bahwa RRQ Hoshi hanya ada diperingkat ke-3 dari sisi total hours watched. RRQ Hoshi juga terlihat hanya tampil satu kali saja dari daftar tayangan pertandingan berbahasa Inggris terpopuler. Namun memang, angka penonton bahasa Inggris kalah telak dibanding dengan angka penonton bahasa Indonesia.

Seperti yang bisa Anda lihat sendiri di atas, angka jumlah penonton tayangan bahasa Inggris vs bahasa Indonesia adalah ratusan ribu berbanding dengan jutaan. Karenanya posisi RRQ Hoshi sebagai tim terpopuler jika berdasarkan angka semata sebenarnya tidak salah. Tetapi jika kita juga memperhitungkan asal negara penonton, popularitas RRQ Hoshi bisa dibilang hanya untuk fans lokal saja.

 

Pertandingan Esports yang Menarik: Match Berkualitas atau Pamor Tim yang Bertanding?

RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports
RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports

Melihat dari data-data di atas membuat saya jadi bertanya soal faktor yang membuat sebuah pertandingan jadi banyak ditonton. Apakah karena match-nya yang berkualitas atau pamor tim yang bertanding? Saya sudah sempat membahas mendalam soal mendahulukan prestasi atau pamor tim dari sisi organisasi esports.

Namun apabila melihat dari sisi pertandingan berdasarkan dari data-data di atas, match berkualitas dan pamor tim pun menjadi dua faktor erat yang saling membantu. Seperti yang Anda lihat sendiri, awalnya hanya pertandingan el clasico saja yang populer di season 4 dan 5. Tetapi beberapa tim lain mulai muncul ke permukaan di musim-musim setelahnya, terutama ketika tim-tim tersebut memberi perlawanan yang menarik.

Pamor RRQ Hoshi sebagai tim kuat mungkin masih sulit dipatahkan. Namun ketika satu tim memberi perlawanan sengit (atau bahkan mengalahkan) RRQ Hoshi, maka pertandingan tersebut pun jadi magnet tersendiri bagi penonton. Ibarat Manchester United di masa jayanya, pertandingan mereka tidak hanya ditunggu oleh para penggemarnya, tetapi juga oleh para haters yang berharap The Red Devils dikalahkan pesaing kuatnya.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id

Why Can’t All Competitive Games Succeed as an Esports?

Why is LoL’s esports scene much more successful than Dota 2’s? Why can CS:GO become an esports phenomenon in EU and NA, but is becoming less popular in the SEA region? These have probably crossed your mind if you are a fan of these games.

What are the answers to the questions presented above? How can a game become the center of attention in the esports ecosystem? In this article, I will try to discuss and investigate the factors that can make a game successful as esports.

 

Taking a Look at the Sports Industry

If you have read any of my other articles, you may be aware that I have referred to the sports industry several times when explaining phenomenons in esports. I like using this comparison because esports has a lot in common with the sports industry in many aspects.

I was also inspired to discuss this topic by a YouTube video from Athletic Interests that talks about the sports industry. The video that inspired me was a video titled “Why basketball sells more than baseball.”

The Athletic Interest bases their video on Steffan Heuer‘s article written in German, which appeared in a sports business magazine called Brandeins. In his article, Steffan mentioned four factors that allow basketball to be more internationally popular than baseball.

Firstly, baseball is a much more complicated game than basketball. Secondly, the average duration of a baseball game is also very long. Thirdly, the league season is also much more lengthy. Fourth, there are much fewer baseball players that come from outside the US.

I will briefly discuss and explain each of the points made by Heuer. If you want to look at this topic in a much more detailed fashion, you can watch the video or read Steffan Heuer’s original article.

Regarding the first factor, Steffan Heuer compared the complexity of the two sports through the size of their respective rulebooks. The major baseball league, MLB, has a total of 188 pages in their rulebook, while the NBA has only 68 pages. A complicated set of rules will generally result in a much more complicated game, even though baseball only looks as simple throwing and hitting a ball with a bat.

The second factor proposes that game duration can explain the discrepancy in the popularity of basketball and baseball. The net duration of a basketball game is roughly 48 minutes (4 quarters of 12 minutes). If you take timeouts and half-time shows into account, the total duration of a basketball match broadcast will be approximately two hours. Meanwhile, two hours is the shortest possible duration of a baseball game. There was even a baseball game that lasted 8 and a half hours. There is also a game that lasted two days in 1981.

In the third factor, Steffan explained that there are 162 games in a baseball season that run for six months (about 27 games a month). In addition, the Baseball finals are also conducted in a best-of 7 format. Taking into account the duration of the matches, the finals may take one month to complete.

The last factor explains that players in the baseball league mostly come from the US only. How about basketball? If you follow the NBA, you probably know that many popular basketball players come from outside the United States. There are stars like Dirk Nowitzki, who came from Germany, or Yao Ming, who came from China.

Apart from these four core factors, other points are also briefly discussed in the video. For example, the video also discusses NBA’s investment in China by building basketball courts and even building offices. This investment was quite successful in making basketball known in China.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Several forms of NBA investments are made in China. Image Source – Athletic Interests Videos

Another factor also comes from the equipment needed to play the game. To play baseball, you will need a set of expensive equipment. You will also need an enormous baseball field. These prerequisites are not present in basketball. You only need a pair of shoes, a small court equipped with a basketball pole, and a ball to play the game.

All these factors describe how the popularity of basketball far exceeds baseball. According to Steffan Heuer’s explanation above, basketball’s simplicity and action-packed matches are suitable for capturing the interest of audiences locally and around the world.

We can classify these four factors into two groups: internal factors and external factors. Internal factors refer to the attractiveness and engaging aspect of the game. External factors pertain to the incentives taken by certain parties to advertise the game to more people.

The first two factors explained by Heuer can be classified as internal factors because they discuss why the sport can be engaging to the audience. The third and fourth factors can be classified as external factors because these two factors explain what the NBA is doing to promote and make the game much more enjoyable.

Now, let’s see how these factors can be applied to the esports sector.

 

How Can Some Games Be Popular as an Esports

In my opinion, these four factors that we have discussed can actually be applied to esports. The first and second factors, which talk about the attractiveness of the game, can be translated through the gameplay aspect. The third and fourth factors will measure the developer’s efforts in promoting the game and designing the esports game ecosystem to be enjoyable for fans internationally.

Based on what I have captured in Steffan’s explanation, internal factors remain a key aspect in explaining the popularity of a game because the development of today’s sports industry is very similar to esports.

How similar you might ask? The development process starts from the creation of the game first. Then, the game starts to be played and attract the interest of some people. When enough people got interested in the game, competitions began to be held and commercialized into the business model we have today. Perhaps in the past, the people who watched the basketball league were just people who played basketball. However, since the game is relatively easy to understand and is constantly promoted by the NBA, people who don’t play basketball also become interested in watching basketball games.

esports event

Esports does not originate from the game developer themselves. Instead, Esports is initiated by the community of players, which are then supported by the game devs. I discussed this exact topic in an article about the history of esports. You can find the article at this link. Therefore, a game must be interesting in the first place before it can grow into a successful esports.

For our case study, let us use League of legends’ journey in becoming a global esports game. League of Legends has actually been popular since the early years of its release. According to statista.com, there were 15 million monthly active users of League of Legends two years after the game was released in 2009.

How did League of Legends become more popular than its predecessor: Defense of the Ancients (the custom map for Warcraft III: The Frozen Throne)? Maybe you could say because League of Legends has fulfilled two factors from Steffan Hauer’s explanation above, namely that the game is simpler and the duration of the game tends to be shorter.

When compared to DotA, League of Legends is simpler. The division of roles in League of Legends is clearly stated. Items in League of Legends can rarely be activated, so it is unnecessary to remember many character-item combinations. In addition, League of Legends also makes the fog of war system simpler by removing high ground and low ground mechanics, day and night mechanics, and changing trees into bushes. Because it’s simpler, League of Legends is much more beginner-friendly than Dota 2.

Let’s discuss the second factor: the duration of the game and the level of action presented. League of Legends can also be said to be a pioneer that succeeded in defining the duration of a MOBA game. A Defense of the Ancient game usually lasts around 45 minutes, which might be longer in a close or tight match. On the other hand, the minimum duration of one League of Legends game is around 30 minutes.

The level of action in a League match and Dota 2 is quite comparable. However, one certain thing is that the snowballing economy system applied in the League of Legends game clearly defines the direction of the match. In a snowballing system, the team that loses at the start of the game will have a smaller chance of turning things around.

Meanwhile, Dota applies a rubber band mechanism in their gameplay. The system does make the tug of war much more interesting. However, this kind of system also makes it difficult to predict the outcome of the match. In the rubber band system, team advantages can be reversed and equalized easily. Therefore, the Defense of the Ancients and Dota 2 matches tend to last much longer.

To prove my opinion, I searched for the longest game recorded in both LoL and Dota 2. The results were as I initially expected. The longest-running professional League of Legends match was between SKT vs. Jin Air at LCK Spring 2018, which lasted 1 hour 34 minutes. On the other hand, the longest Dota 2 match was between Cloud9 vs. ScaryFaceZ in the qualifiers for Starladder Season 12 (2015), which lasted 3 hours 20 minutes. You read that right, THREE … Hours. The two of them may both present non-stop action in the competition. However, I don’t think I have the perseverance to watch a Dota 2 match for three straight hours.

In the third factor, Steffan Heuer highlighted the impact of the duration of the season. In the esports world, I interpret this factor as the competition format. So far, what Riot Games has done with the League of Legends esports league is truly extraordinary when compared to other games.

The esports scene of League of Legends is managed very seriously by Riot Games to the point where it is on par with mainstream sports leagues. Therefore, it is not surprising that League of Legends has succeeded in continuing its success. It has transformed from a typical MOBA game to an esports watched by people around the world and managing to record more than 139 million total watch hours in 2020.

The last factor is a matter of the diversity of star players in a sports league. At this point, I interpreted the intention of Stefan Heuer’s discussion as a form of related party investment in local schemes. In the context of basketball vs. baseball, the video explains how MLB’s investment as the first party in the US baseball sports industry tunnel-visioned in the US alone. While on the other hand, the NBA continues to develop its market outside the US, such as China.

Because of this, basketball can become more popular internationally than baseball. As more countries are exposed to the sport, there will be a larger audience and more diversity in the star players lineup. However, with baseball, Heuer explained most of their stars originate in the United States.

Sumber: Riot Official Release
Not only in Europe and America, League of Legends also has a professional league for the Asia Pacific region. Source: Riot Games

League of Legends may have employed a strategy similar to that of the NBA, although I am not sure if Riot is inspired by the NBA. We can see the similarity between the two leagues as Riot games also promote and invest their game around the world.

The current four largest League of Legends esports leagues are LEC in Europe, LCS in the United States, LCK in South Korea, and LPL in China. Riot Games also invests in smaller regions that have potential such as PCS in SEA, Taiwan, OPL in the Oceania region (Australia), LCL in the CIS region (Russia, Ukraine, and their neighbors), NLC in Northern Europe (the United Kingdom, Nordic countries, and beyond), and LLA in Latin America. Apart from these smaller regions, Riot Games also invests in countries such as LJL in Japan, VCS in Vietnam, TCL in Turkey, and CBLoL in Brazil.

Everything I mentioned may not include all of Riot Games’ investments. However, we can see Riot’s serious take on developing League of Legends into a worldwide esports. From this form of investment, it’s no wonder that League of Legends esports can grow to the global phenomenon it is today.

 

Why Some Games Are Less Successful in Becoming an Esports

After conducting a case study from League of Legends, which has had great success from gaming to world-class esports, we can look at why some games are not as successful as esports. The games that I took as examples are Pro Evolution Soccer and Fighting Games.

I chose these two specific subjects because I feel that these games have actually succeeded in fulfilling the two internal factors that we discussed earlier. However, its position as an esports is dominated by the MOBA and FPS genre.

Fighting games are relatively simple, even though the game mechanics can be difficult to master at the highest level. Aren’t most esports games built the same? Games are generally easy at first glance, but will get more complicated as we dive deeper into the game. Fighting games are considered simple for casual players. The matches’ duration is also relatively short and very action-packed.

What about PES? PES is essentially a virtual simulation of football. PES gameplay is a football game in its very nature. However, if there are 517 million people in the world who watch football matches, why can’t PES be successful as esports?

Bram Arman (left). Credits: Advance Guard
Bram Arman (left). Sumber: Advance Guard

To answer this question, I spoke with Valentinus Sanusi, the founder of Liga1PES, and Bram Arman, often seen as the “elder” in the fighting game community (FGC) in Indonesia. From our discussion, I concluded the two games were not successful as esports because of the developer’s lack of investment. Other external factors also include the fact that the two games were developed by a Japanese company, which is generally less keen on adopting a free-to-play game business model or the esports ecosystem business. Besides that, there are also several internal factors for the game itself, especially in terms of access.

In terms of fighting games, Bram Arman shared how a fighting game that is rooted in the community did not bloom as much compared to other esports games in general. “As far as I know, mainstream esports is able rapidly to grow through the influence of the developers or the 1st party. Therefore, the esports investment is considered as “direct”. The case for FGC is different. The 1st party investment is also only present in more developed countries. Therefore, in Indonesia itself, the development of FGC is classified as organic with minimal assistance from the developers. ”

If we look at the development of FGC, the Evolution Championship Series, a tournament with the most advanced development of fighting game esports, actually started as a community tournament rather than initiated by the developers. The Evolution Championship Series was also developed much earlier than the Capcom Pro Tour, which was initiated by Street Fighter developers starting in 2013.

Then what about Pro Evolution Soccer? Why can’t the esports sector football games be popular as the sports counterpart? Valen explained that “One of the reasons is because the esports community is vastly different from the soccer community. From what I have observed, the majority of the soccer community does not necessarily coincide with esports fans. In other words, football fans do not always classify themselves as esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Credits: Valentinus

Valen then explained that “Esports enthusiasts here are not the type of people who will look for esports matches when opening social media or YouTube. Therefore, it takes a lot of effort to spread the enthusiasm of football esports to the public, so that football viewers will also be interested in the esports .”

From Valen’s explanation, I got reminded of the Social Media Bubble concept, which proposes that users will be confined to their preferred. Therefore, it’s no wonder that football fans may not know soccer esports or maybe even don’t know anything about the soccer game itself.

I also asked their opinion regarding internal factors or the appeal of the game itself. I previously explained my view about this topic in the third paragraph of this section. However, what do Bram and Valen have to say about this?

I have also seen another video that explains why another football game esports, namely FIFA, is not as successful as other mainstream esports. The video proposes that FIFA’s gameplay involves too much RNG or luck. The luck factor present in FIFA revolves around the fact that the player can only control one character at a time. The 10 remaining players on the field are automatically controlled by AI hence the luck factor. Therefore, the video considers the outcome of the match will, to some extent, be determined by luck. What about PES?

However, Valen said, “I strongly disagree with this opinion. This year, FIFA has just released a new competition feature called FUT co-op. PES has even implemented this system three years before FIFA. Furthermore, though the luck factor may exist in the game, it is incredibly minor compared to the entire aspect of the gameplay. Besides, these external or uncontrollable factors can spice up the football match, just like in real life.

What about fighting games? Bram also shared his opinion about the problem of accessing fighting games in general. “In my opinion, one of the reasons why esports in fighting games are less developed is due to their conventional business model. Most fighting games require players to purchase the game, with real money, of course. Furthermore, these games are usually not cheap. Indeed, you can sometimes access fighting games for free, but only for a free trial.” Bram highlighted the access problem to fighting games which heavily affects the player number.

“Plus, I think the learning curve of fighting games tends to be steeper than other games. Although the game may seem simple to beginners, the skill ceiling can grow steeper as the level of play increases. These are aspects such as mastering combos with different characters per se.” Added Bram.

Indeed, fighting games can be much more difficult to master compared to other games. But how much more difficult exactly? We can take the example of how the button input affects motion output. Games like MOBA or shooter have simple inputs: mouse clicks and QWER keyboard buttons for MOBAs or WASD for shooter game movements. Fighting games do not have these kinds of straightforward inputs.

In Tekken, for example, pressing the box button alone has a different output compared to pressing the square button plus the forward button. Not to mention that the type of movement also differs from one character to another character. A character may have a box input + forward button, but another character may not. That’s why you will need a strong memory, careful decision-making skills, and nimble fingers to master the game at the highest level. For more details, I have previously discussed the unique appeal of fighting games.

Furthermore, our discussion then turned to the external factors that come into play. PES and Tekken have one thing in common: they were developed by a Japanese developer. Both Bram and Valen also agreed that this is one of the reasons why both of the games have less developed esports scenes.

“You can definitely say that was the case.” Bram opened the discussion. “Japan even had laws that prohibit prize money for esports tournaments, unless it is arranged by 1st party organizations. Third-party organizers are only allowed to give merchandise prizes only.”

Valen then added. “I also agree that Japanese developers are not updated in the world of esports, of course including Konami. Their moves or incentives towards esports are too slow and will never catch up to today’s standards. They often take too many considerations from the company side and are unwilling to invest in the esports scene. In fact, Pro Evolution Soccer on consoles and mobile doesn’t even have a spectator mode until recently, even though this feature is crucial to support an esports ecosystem.”

There is indeed a reason why Japan is too late to catch up with the current esports trends despite leading in the game industry. The reason is the polemic relations between the yakuza, the government, and the law which prohibits gambling in Japan.

An article by Imad Khan on ESPN outlines the origins of the Japanese government’s negative view on gambling. In his article, Imad tells that the root of the problem exists in Nintendo Koppai (the previous name of the Nintendo company in the past). The company created gambling machines using video technology around the 60s. As a result, Japanese authorities banned video game matches because they were considered another form of gambling. This view is still carried on until today and, thus, the esports structure is incredibly underdeveloped in the country.

Sumber Gambar - JeSU Official
Image Source: JeSU Official

Tournaments that charge registration fees to participants are prohibited by the government. Additionally, as Bram mentioned previously, some tournaments can only have merchandise prices instead of cash prices. The value of the merchandise that is awarded is also limited to around US$ 1000, based on an ESPN article.

The presence of the Japan eSports Union (JeSU) in 2018 is a glimmer of hope to break the impasse in esports development in Japan. As a means of legalization, JeSU creates an esports athlete license to determine who is entitled to receive cash prizes from an esports tournament. Even the presence of JeSU and the regulations regarding professional player licensing alone still had time to become a polemic, especially when Momochi (a Street Fighter V pro player) expressed his criticism of the implemented system.

Before closing the discussion, we tried to conceptualize a scenario where the Japanese government and developers were less restrictive towards the esports world. Would fighting game esports and Pro Evolution Soccer be able to compete with League of Legends, CS: GO, or other popular esports games?

“This is a very interesting ‘what if’ question. When it comes to the past, I think fighting games certainly have a lot of potential.” Bram said. “As a game genre that is fairly appealing to the general public, I am also quite optimistic that PES or other sports genre games can compete with popular esports games.” Valen also included his opinion.

 

Predicting the Next Esports Trends

After discussing and looking at case studies on how different games can have a different degree of success in their esports, the next obvious step is to predict which game will bloom as an esports in the future.

Using the concepts that we have learned, we can easily predict which games will have a successful esports scene. Of course, the next successful esports games are games that fulfill the four factors we discussed earlier. The game will have relatively simple gameplay, a short duration with intense action. In addition, the game must also have a competition format or feature to compliment spectators. The game will also be supported by the developer’s investment in local scenes.

However, determining which games will be appealing can be difficult. Video games are classified as a creative industry and we cannot easily determine a definite recipe for success. After all, it is not easy to predict people’s taste for intellectual work.

However, who would have thought that the MOBA and Battle Royale genres could become as popular as they are now? Even if we look back, there are several game genres that used to be popular but are left out today’s gamers. We can take the RTS genre from games like StarCraft or MMORPG from games like Ragnarok Online as an example.

Even people’s tastes in the realm of sports also don’t have a definite formula, as mentioned at the beginning of Athletic Interest’s video. Although half of the world’s population is passionate about football, some countries still have their own favorite sports, such as archery in Bhutan, skiing in Austria, wrestling in Mongolia, or badminton in Indonesia. Even strength competitions, as shown below, surprisingly managed to capture the interest of many audiences.

When it comes to the third and fourth factors, predicting the trend might be even more complicated. Riot Games’ newest games might become another new esports trend because they do not view esports as a means of marketing but as a form of business model.

But that notion alone cannot be used as a standard. Even though Riot Games is committed to earnestly developing Wild Rift’s or VALORANT’s esports, is it possible that these games are destined to be popular before they even exist? Many questions arise, but we’ve only covered one. For example, what if an unknown developer with a huge capital wanted to develop an esports? Will the game be able to beat the existing market today?

However, I hope that the discussion of the four factors mentioned by Heuer can at least be a reference or framework for those of you who might want to invest in esports, either from a business standpoint or a sponsor.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Rekap MPL ID Season 7 Week 3: Genflix Aerowolf Mengamuk

Liga utama Mobile Legends Bang-Bang Indonesia yaitu MPL sudah memasuki pekan ke-3. Panasnya Genflix Aerowolf pekan ini jadi sesuatu yang tidak terduga, bahkan sampai berhasil mengalahkan RRQ Hoshi. Selain itu ada juga berbagai matchup menarik, termasuk el clasico di pertandingan hari kedua. Berikut rekapnya.

Pertandingan Hari Pertama

Pertandingan hari pertama mempertemukan AURA Fire vs Alter Ego dan EVOS Legends vs ONIC Esports. Pertandingan pertama, game 1, Alter Ego tidak ragu menunjukkan permainan terbaiknya sedari awal. AURA Fire juga memberikan perlawanan dengan beberapa kali gank efektif yang dilakukan. Namun sayang, penetrasi agresif Alter Ego memang sulit dibendung. Ruang gerak God1va dan kawan-kawan semakin terbatas sehingga mereka semakin kalah farming. Tanpa teritori dan pundi-pundi gold yang dibutuhkan AURA Fire, Alter Ego jadi lebih mudah amankan Lord untuk membantu mereka membobol turret-turret. AURA FIre bertahan sebisa mungkin walau akhirnya tak mampu jua, Alter Ego memenangkan game 1.

Game 2, Alter Ego kembali mendapatkan momentumnya untuk melakukan penetrasi agresif ciri khas mereka. Pada sisi lain, AURA Fire juga tergolong coba-coba dengan memberikan hero Bruno kepada Variety yang ternyata berbuah kurang manis. Alter Ego terus menggempur AURA Fire. Gempuran tersebut tak terhentikan sampai Lord didapatkan dan pertandingan diselesaikan dengan kemenangan bagi  Alter Ego. Alter Ego memenangkan seri pertandingan dengan skor 2-0.

Pertandingan selanjutnya ada EVOS Legends melawan ONIC Esports. Matchup ini juga jadi menarik karena ada pertemuan EVOS.Antimage dengan mantan timnya. Antimage dengan menggunakan Uranus di game 1 tidak ragu-ragu memberi permainan terbaiknya kepada ONIC Esports. Hal tersebut membuat ONIC Esports cukup kelabakan sehingga game 1 cenderung mudah diamankan oleh EVOS Legends.

ONIC Esports terlihat mulai bangkit di game kedua. Permainan berjalan cukup imbang, bahkan sampai memaksa bertandingan berjalan hingga menit ke-15. Namun momentum berbalik ke arah EVOS Legends setelah REKT secara tidak sengaja menjadi tumbal yang ditukar dengan 3 pemain ONIC Legends. Momen itu dimanfaatkan EVOS Legends untuk mengambil Lord. ONIC Legends tentu berusaha bertahan dengan kemampuan terbaiknya. Walau sempat memukul mundur EVOS Legends, tapi ONIC Esports akhirnya harus mengakui kekalahannya setelah base mereka hancur di menit 24.

Pertandingan Hari Kedua

Pertandingan hari kedua dipenuhi oleh matchup-matchup menarik. Ada Genflix Aerowolf vs AURA Fire, Bigetron Alpha vs Alter Ego, dan el clasico antara RRQ Hoshi vs EVOS Legends.

Pertandingan pertama adalah pertarungan antar dua tim yang masih belum menemukan performa terbaiknya. Walaupun begitu, Genflix Aerowolf memulai game pertamanya dengan nada yang positif. Keunggulan dari early game yang terus bertahan dimanfaatkan Watt dan kawan-kawan untuk mengambil Lord jelang menit 12. AURA Fire sempat menunda kemenangan Genflix Aerowolf, walau akhirnya gempuran Genflix Aerowolf tak lagi tertahan di menit 15.

Game 2 giliran AURA Fire yang mendapat keunggulan di early game. Keunggulan tersebut bertahan, namun Genflix Aerowolf tak pernah gentar. Tarik ulur pertarungan terus terjadi sampai akhirnya Genflix Aerowolf mendapatkan celah untuk mengambil Lord di menit 14. Lord beserta 5 pemain AURA Fire berhasil diamankan sehingga Genflix Aerowolf tak ragu lagi untuk mengakhir pertandingan. Genflix Aerowolf pun memenangkan pertandingan dengan skor 2-0.

Pertandingan Bigetron Alpha melawan Alter Ego juga diharapkan menjadi pertandingan yang menarik. Benar saja, kedua tim menunjukkan pola permainan yang rapih sehingga pertandingan cenderung imbang di awal-awal game 1. Namun pergerakan Alter Ego tampak lebih agresif, terus melakukan penetrasi ke wilayah kekuasaan Bigetron Alpha. Tindakan agresif tersebut berbuah manis, turret demi turret runtuh, Lord pun berhasil diamankan jelang menit 14. Tanpa adanya turret, pertahanan Bigetron Alpha jadi sangat rapuh. Alter Ego pun mengamankan game 1.

Fase awal game kedua mirip seperti game pertama yaitu berupa pertunjukkan permainan yang rapih dari kedua belah tim. Namun Bigetron Alpha terlihat lebih perkasa dengan 3k lebih keunggulan net-worth di menit ke-5. Namun keunggulan tersebut sirna begitu saja setelah Dreams dan Renbo ditumpas jelang menit ke 9. Ditambah lagi, Ahmad juga mendapatkan Shut Down atas Yi Sun Shin dari Branz setelahnya. Kejadian tersebut membalik momentum dengan sangat cepat. Alter Ego memulai agresinya dan meruntuhkan turret demi turret. Ditambah gempuran Lord, Bigetron Alpha tak lagi mampu bertahan dari semua serangan. Alter Ego memenangkan seri pertandingan dengan skor 2-0.

Menutup hari, ada pertandingan El Clasico. Pertandingan ini juga diharapkan menarik. Selain karena sejarahnya, kedua tim juga sama-sama masih sedang mencari line-up terbaiknya di MPL ID Season 7. EVOS Legends memulai pertandingan dengan momentum yang baik. Walau imbang sampai pertengahan permainan, namun Luminaire dan kawan-kawan berhasil mengamankan Lord di menit 10. RRQ Hoshi sebenarnya sudah kehabisan semua turret, namun Albertt dan kawan-kawan masih memberikan perlawanan terbaiknya walau tetap terpukul rata pada akhirnya. EVOS Legends memenangkan game 1.

Game kedua, RRQ Hoshi terus mencoba memberikan gempuran terbaiknya. Kali ini mereka mencoba dengan Pacquito di tangan Psychoo dan Harley di tangan Albert. Walau sempat mendapat momentum positif di awal-awal, tapi EVOS Legends lagi-lagi menunjukkan permainan yang tangguh di game kedua ini. Lord diamankan EVOS Legends yang membantu mereka membobol pertahanan RRQ Hoshi. Kali ini Alberttt dan kawan-kawan agaknya sudah sedikit pasrah dengan keadaan setelah gempuran EVOS Legends tak lagi tertahankan. Turret diruntuhkan, hero demi hero ditumpas, base RRQ Hoshi akhirnya hancur. EVOS Legends memenangkan el clasico dengan skor 2-0.

Pertandingan Hari Ketiga

Matchup hari ketiga terlihat cukup bisa tertebak. Tapi siapa yang bisa menyangka, bahwa setiap pertandingan hari ini malah memberi kejutan menarik. Ada Geek Fam ID vs ONIC Esports dan RRQ Hoshi vs Genflix Aerowolf. Pada pertandingan pertama, Geek Fam ID sebenarnya tergolong kurang diunggulkan. Namun perlahan tapi pasti, Geek Fam ID berusaha membuktikan bahwa tim mereka pantas berlaga di MPL ID.

ONIC Esports cukup mendominasi game 1. CW dan kawan-kawan sudah unggul skor kill 7-2 di menit 10. Keunggulan tersebut dimanfaatkan dengan maksimal sehingga ONIC Esports sudah bisa menjebol sampai ke dalam pada menit 15. Geek Fam ID sempat menahan sekuat mungkin walau akhirnya game tetap dimenangkan ONIC Esports di menit 16:39.

Geek Fam ID menerima kekalahannya di game 1 sebagai pelajaran. Permainan RenV, Babywww, dan kawan-kawan berubah di game 2. Mereka bermain dengan lebih berhati-hati seraya tetap mengumpulkan berbagai objektif penting. Pola permainan tersebut memberi dampak positif, Geek Fam ID pun unggul skor kill serta net-worth di menit 10. Karena unggul, mereka segera mengambil Lord yang juga membantu Geek Fam ID menyelesaikan permainan di menit 11:33.

Sayangnya Geek Fam ID tidak berhasil mempertahankan momentum kemenangannya di game ketiga. Pertandingan berlangsung sengit, sampai-sampai memaksa kedua tim memperebutkan Lord sebanyak 3 kali. Geek Fam ID mengambil Lord yang pertama dan hampir membuat mereka memenangkan pertandingan. ONIC Esports bertahan kuat sampai berhasil mendapat Lord kedua dan ketiga. Geek Fam ID sebenarnya hampir bisa mendapatkan Lord ketiga, tetapi ADAM agak terlalu tergesa-gesa untuk terjun ke dalam pertempuran. Formasi yang terpecah belah segera dimanfaatkan oleh ONIC Esports untuk menyapu Geek Fam ID setelah mengamankan Lord ketiganya. Kondisi tersebut membuat Geek Fam ID tak lagi mampu bertahan sehingga ONIC Esports memenangkan seri pertandingan dengan skor 2-1.

Pertandingan berikutnya, RRQ Hoshi melawan Genflix Aerowolf. Pertandingan tersebut juga secara tidak diduga berjalan imbang nan sengit. Genflix Aerowolf memenangkan game 1 setelah 30 menit durasi game karena beberapa kali hampir kena comeback oleh RRQ. Game 2 giliran RRQ Hoshi yang mendapat kemenangan dengan posisi Genflix Aerowof yang juga beberapa kali berhasil mendapat momentum bagus.

Hal tersebut membuat game penentuan jadi lebih seru lagi. Genflix Aerowolf berhasil unggul net-worth pada 5 menit pertama. RRQ Hoshi pun bertahan sekuat mungkin walau semua Turret terluarnya sudah habis. Sampai akhirnya gempuran Genflix Aerowolf sudah tak tertahan lagi. CLAY dan kawan-kawan pun berhasil memenangkan game ke-3. Genflix Aerowolf memenangkan pertandingan 2-1.

Pasca pertandingan di pekan ketiga, RRQ Hoshi kini terancam tidak masuk playoff karena harus turun ke peringkat 7 klasemen sementara. Namun demikian pertandingan masih panjang. Masih tersisa 5 pekan pertandingan lagi di MPL Indonesia season 7. Pertanyaannya, kapan RRQ Hoshi bisa menemukan lineup terbaiknya? Akankah tim papan bawah musim sebelumnya seperti Genflix Aerowolf dan Geek Fam ID menjadi kejutan di musim ini?

Sumber Gambar Utama – MPL ID Official

Game Esports Gratis: Sebuah Kausalitas

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, dan Free Fire adalah beberapa contoh dari game yang sukses jadi esports. Selain sama-sama populer sebagai esports, gamegame tadi juga punya kesamaan lain. Kesamaannya adalah sama-sama free-to-play alias gratis. Kesamaan tersebut tentunya memunculkan pertanyaan lain. Kenapa game yang besar sebagai esports menggunakan model free-to-play?

Esports bisa menjadi cara baru untuk mendatangkan pemasukan jangka panjang, yang tidak dapat ditawarkan dengan metode Pay-to-Win. Selain soal model bisnis jangka panjang yang nanti akan kita bahas lebih dalam, ada sejumlah alasan lain kenapa esports memang bisa bertumbuh lebih di game-game freeto-play.

 

Ragam Jenis Model Bisnis Video Game

Sebelum membahas lebih dalam soal hubungan antara esports dengan model free-to-play, akan saya bahas singkat lebih dulu ragam jenis model bisnis game yang umum di industri game saat ini. Free-to-play hanyalah salah satu dari beberapa model bisnis yang digunakan oleh para game developer. Selain free-to-play, model lain yang lazim diadaptasi sekarang ini adalah model game berbayar dan subscription (berlangganan).

Dalam model berbayar, pemain diharuskan membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan satu game. Pemain biasanya hanya dikenakan satu kali pembayaran saja untuk memainkan satu game sebebas-bebasnya. Generasi muda atau gamer mobile yang sudah terbiasa dengan model free-to-play mungkin merasa asing dengan model ini. Walau demikian, model ini sebenarnya adalah model paling umum dan juga paling lama. Developer game AAA (seperti Cyberpunk 2077 atau GTA V contohnya) sampai developer indie (seperti Stardew Valley).

Sumber: Rockstar Games
Sumber: Rockstar Games

Model game berbayar memang biasanya tidak terlalu fokus pada esports. Tapi ada juga beberapa game berbayar yang punya skena esports. Contohanya adalah: ragam jenis game fighting (Street Fighter Series, Tekken Series, dan lain sebagainya) dan ragam jenis game olahraga (FIFA, PES, NBA 2K series, dan lain sebagainya). Counter Strike: Global Offensive sebenarnya juga sempat menggunakan model game berbayar pada saat awal rilis, namun akhirnya diubah menjadi free-to-play pada tahun 2018 lalu.

Soal kenapa game berbayar kurang sukses sebagai esports akan saya bahas di bagian akhir artikel ini. Untuk saat ini mari kita beralih ke model berikutnya yaitu sistem subscription.

Dalam model subscription, pemain harus membayar sejumlah uang setiap bulan supaya bisa memainkan game terkait. Model ini tergolong sangat tidak lazim di Indonesia (beberapa orang Indonesia bahkan kaget ketika tahu harus membayar untuk sebuah video game), namun model ini cukup umum dikenal oleh gamers-gamers negara barat. Model seperti ini biasanya digunakan pada game-game MMORPG. Dua game paling populer yang menggunakan sistem berlangganan adalah World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online.

Sumber: Blizzard Official Site
Biaya yang dibutuhkan untuk berlangganan World of Warcraft. Sumber: Blizzard Official Site

World of Warcraft malah mengadopsi beberapa sistem sekaligus. Sebagai pemain, Anda harus membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan ekspansi terbaru (Shadowlands contohnya), lalu membayar lagi setiap bulannya agar bisa terus main. Harga expansion biasanya lebih mahal (sekitar Rp500 ribu ++ mirip seperti harga game AAA), sementara harga langganan per bulannya dipatok lebih murah (sekitar Rp150 ribu++ per bulan).

Model subscription mungkin terasa mirip dengan model Battle Pass (seperti Royale Pass pada PUBG Mobile atau Starlight Member pada Mobile Legends) pada game free-to-play. Tetapi ada satu perbedaan penting yang membedakan antar keduanya yaitu Anda tidak diperkenankan (atau dibatasi) memainkan game tersebut apabila Anda tidak membayar biaya langganan bulan itu. Dalam World of Warcraft misalnya, Anda hanya bisa memainkan karakter sampai level 20 saja apabila tidak membayar. Setelah membayar biaya langganan Anda akan bisa memainkan karakter sampai level 50 apabila tidak memiliki ekspansi. Setelah membeli ekspansi, Anda bisa memainkan karakter sampai level 60 dan diwajibkan membayar biaya langganan setelahnya apabila ingin lanjut bermain.

Pada perkembangannya, pembayaran biaya langganan tidak lagi terbatas dengan menggunakan uang tunai saja. Pada World of Warcraft misalnya, Anda bisa membayar biaya langganan dengan menggunakan “gold” yang Anda dapatkan dari mekanik di dalam game (dengan cara crafting, hunting, atau trading misalnya). Tapi gold yang dibutuhkan untuk bisa membayar subscription juga tidak sedikit. Karenanya pemain tetap dipaksa “membayar” waktu (untuk rutin memainkan game-nya) ketika ingin membayar biaya langganan dengan gold.

Model yang paling terakhir adalah free-to-play. Model seperti ini adalah model bisnis game yang paling lazim dikenal gamer Indonesia. Seperti namanya, tidak butuh sepeserpun biaya untuk memainkan game free-to-play. Lalu kalau game-nya gratis, dari mana developer dan publishernya mendapat pemasukan? Game free-to-play biasanya memiliki ragam jenis micro-transaction.

Sumber: VALORANT In-Game Store
Skin senjata adalah salah satu contoh micro-transaction yang disedikan game free-to-play VALORANT. Sumber: VALORANT In-Game Store

Micro-transaction merupakan berbagai pernak-pernik kecil yang bisa dinikmati pemain game free-to-play yang bisa dibeli pakai uang tunai. Pada beberapa game, konten micro-transaction biasanya bersifat hanya pemanis saja dan tidak memberi keuntungan dari sisi gameplay. Contohnya seperti skin karakter pada game MOBA atau skin senjata pada game FPS. Tapi ada juga konten micro-transaction yang akan membuat Anda jadi lebih kuat atau membantu Anda mencapai tingkat yang lebih tinggi secara lebih cepat. Contohnya seperti akses double XP pada game RPG atau skin karakter dengan tambahan kekuatan yang tidak dimiliki karakter standar. Sistem yang menganakemaskan pemain berbayar di game-game gratisan, biasanya jadi disebut Pay-to-Win

Dalam prakteknya, sistem micro-transaction tidak hanya digunakan oleh game free-to-play saja. World of Warcraft atau Street Fighter V kini juga menjual micro-transaction yang berisi konten tambahan sebagai pemanis atau pelengkap permainan.

Selain metode micro-transaction, game free-to-play kini mulai menjajaki model bisnis baru sebagai salah satu sumber pemasukan mereka. Model bisnis baru tersebut adalah esports.

 

Kenapa Game Esports yang Sukses Gratis?

“Kalau Anda tidak membayar untuk suatu produk, maka produknya adalah Anda.”

Ungkapan tersebut sebenarnya sudah disuarakan ketika televisi baru booming di kalangan masyarakat namun dengan kalimat yang berbeda. Seiring waktu, ungkapan tersebut santer lagi terdengar terutama ketika media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan kawan-kawan semakin merajalela dan lekat dengan keseharian kehidupan kita. Lalu, apa hubungannya antara esports dengan ungkapan tersebut?

Mungkin Anda sudah bisa menduganya. Dalam esports, publisher dan developer game tersebut berusaha mengubah pemain game menjadi penonton esports. Penonton esports tersebut digunakan menjadi “produk” yang dijual kepada investor ataupun sponsor. Pernyataan tersebut mungkin terdengar sinis. Tetapi, model tersebut terbilang lebih baik ketimbang model bisnis game free-to-play lainnya yang cenderung eksploitatif.

Apabila Anda sempat membaca tulisan Ellavie yang membahas beda industri game Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, Anda mungkin ingat bahwa model free-to-play sebenarnya bukan model yang baru di dalam industri game. Nexon, publisher dan developer game asal Korea Selatan, adalah yang pertama merilis game free-to-play bernama QuizQuiz yang rilis pada tahun 1999.

Namun seiring perjalanannya, cara monetisasi game free-to-play tidak selalu menyenangkan bagi pemainnya. Sebelum esports booming sampai menjadi bisnis seperti sekarang, game free-to-play sebenarnya punya berbagai macam cara untuk memonetisasi pemainnya.

Kalau Anda adalah gamer sejak dari zaman warnet, Anda mungkin ingat RF Online. Kalau Anda main RF Online, apakah Anda ingat dengan Premium Service? Benar, layanan yang bisa Anda aktifkan dengan cara membeli voucher (dengan mata uang asli) yang selanjutnya ditukar dengan Premium Service. Layanan Premium Service akan memberikan Anda sebuah kenyamanan berupa XP yang lebih besar dan jumlah loot monster yang lebih banyak.

RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.
RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.

Metode tersebut adalah salah satu bentuk monetisasi dari game free-to-play. RF Online bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Tapi kalau tidak keluar uang, yaa…XP Anda seret, dapat equip dewa juga susah karena loot-nya sedikit. Padahal, daya tarik utama RF Online adalah perang antar tiga bangsa yang sifatnya PVP atau pemain lawan pemain. Karenanya, Anda sebagai pemain tentunya akan butuh level tertinggi dan equip terbaik agar dapat bersaing dengan pemain lain.

Apakah pemain bisa punya karakter super kuat tanpa Premium Service? Bisa saja sih, tapi waktunya tentu akan jauh lebih lama ketimbang pemain yang selalu menyalakan Premium Service. Karenanya, saya menggunakan kata eksploitatif sebelum menjelaskan model ini. Walaupun game tersebut bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, tetapi sistem game-nya menaruh prioritas lebih ke pemain berbayar dan mengesampingkan pemain gratisan.

Lalu apakah metode monetisasi tersebut adalah metode yang adil atau etis? Adil tidak adil, etis atau tidak etis, bukan saya yang menentukan. Pada akhirnya RF Online juga masih terus hidup sampai sekarang. Pemain yang masih setia tidak merasa ada masalah dan tetap membeli premium service. Dulu ketika saya masih SMP, saya juga main RF Online dan beli Premium Service kok.

Namun satu hal yang bisa kita sepakati, model tersebut membuat ladang pemasukan game terkait jadi terbatas. Apa kabarnya kalau tiba-tiba semua pemain tersadar, lalu sepakat untuk tidak lagi membeli Premium Service? Karena kalau semua orang tidak pakai Premium Service, maka permainan akan jadi lebih adil bukan? Atau mungkin yang lebih buruk, apa jadinya kalau tidak ada lagi orang yang mau main game tersebut karena merasa dieksploitasi dengan model Premium Service?

Selain RF Online, contoh lainnya mungkin adalah sistem energi atau sistem untuk mempercepat pembuatan pasukan pada Clash of Clans (CoC). Walaupun sistemnya agak sedikit beda, tapi model tersebut sebenarnya senada, mempercepat progresi (kekuatan karakter/pembuatan pasukan/peningkatan level) untuk pemain yang membayar.

Pada masanya, CoC sempat mengumpulkan pemasukan yang luar biasa dengan metode tersebut. Mengutip dari statista, Clash of Clans sempat mendapat pemasukan sebesar US$1,8 triliun pada tahun 2015. Tapi pemasukan tersebut terus menurun setiap tahunnya, sampai jadi hanya tinggal US$722 juta pada tahun 2019 lalu.

Data tersebut sedikit banyak menjadi gambaran — kalau tidak bisa menjadi bukti — bagaimana model monetisasi yang “memajaki” perkembangan pemain tidak bisa bertahan selamanya. Monetisasi tersebut sangat bergantung dengan keinginan pemain untuk membeli micro-transaction. Tentu saja, pengembang berusaha setengah mati untuk meningkatkan selera pemain agar terus membeli. Mungkin awalnya dengan cara yang halus dulu seperti penjelasan video dari Vox di bawah. Kalau cara halus tidak berhasil, developer biasanya sudah menyiapkan cara “frontal”, yaitu membuat progresi pemain gratisan jadi lebih lambat ketimbang yang membayar.

Tetapi balik lagi seperti penjelasan awal saya. Metode eksploitatif seperti itu ada batasnya. CoC sebenarnya mirip dengan RF Online, sama-sama punya konten PVP sebagai daya tarik utamanya dan sama-sama memajaki progress permainan kepada pemainnya. Karenanya, ketika game ini sedang ramai, developer pun cenderung lebih mudah untuk memonetisasi game terkait.

 

Tapi bagaimana ketika hype game-nya sudah mulai menurun? Apa yang terjadi saat Anda sudah level 50, tapi teman Anda berhenti bermain? Anda mungkin masih tetap bermain, tapi yaaa… Santai aja deh, toh enggak ada persaingan juga. Atau malah yang terburuk, ikut berhenti bermain. Kami juga sempat mengurai persoalan “pay-to-win” pada game free-to-play jika Anda ingin tahu lebih lanjut kenapa monetisasi dengan cara tersebut punya masalahnya tersendiri.

Karena itu, kehadiran esports secara tidak langsung telah membuka kesempatan bisnis baru bagi game developer. Bahkan bukan cuma membuka kesempatan bisnis baru, esports bahkan bisa memperpanjang usia dari sebuah game. Mengapa demikian? Pertama, game esports sebenarnya sudah punya keuntungan tersendiri dari aksesnya yang mudah dan ekonomis.

Seperti yang saya sebut sejak awal, game free-to-play bisa dimainkan secara gratis. Karena gratis, semua orang bisa memainkan game tersebut asal punya perangkat untuk memainkannya. Selain gratis, game free-to-play juga biasanya tidak butuh spesifikasi yang terlalu tinggi ketimbang game-game premium.

VALORANT sebagai contohnya. Rilis tahun 2020 lalu, VALORANT bahkan masih bisa berjalan dengan menggunakan GPU Intel HD yang merupakan bawaan dari prosesor. Tetapi pada sisi lain, FIFA 21 yang juga rilis tahun 2020 butuh GPU eksternal (sehingga butuh biaya tambahan) berupa GeForce GTX 660 dan Radeon HD 7850.

Dua game tersebut sama-sama jadi esports, tapi siapa yang lebih populer? Anda mungkin bisa menebak sendiri. Akses yang mudah (free-to-play dan kebutuhan spesifikasi hardware rendah) membuat sebuah game berpotensi menarik lebih banyak pemain ketimbang game dengan akses yang lebih sulit (berbayar dan kebutuhan spesifikasi hardware tinggi). Karenanya jumlah penonton game VALORANT terbanyak di Twitch sempat menyentuh angka 478 ribu sementara FIFA 21 hanya 82 ribu saja mengutip dari twitchtracker.com.

Akses yang mudah dan murah mengundang lebih banyak pemain. Pemain tersebut pelan-pelan diubah menjadi penonton, entah melalui streamer atau konten-konten video tips dan trik. Lalu dengan menghadirkan turnamen dan liga, penonton tersebut pun bisa dikomersialisasi dalam bentuk sponsorship, lisensi media, atau investasi-investasi lainnya dari pihak eksternal.

Dalam hal ini, lagi-lagi saya menggunakan Riot Games dan game League of Legends sebagai contoh. Kalau Anda mengikuti pemberitaan Hybrid, Anda bisa lihat sendiri sudah berapa banyak deal yang didapat Riot Games pada tahun 2020 kemarin hanya gara-gara esports saja. Mulai dari brand fashion seperti Louis Vuitton, AAPE, brand teknologi Cisco, sampai brand musik seperti Universal Studios dan Spotify. Semuanya hinggap ke Riot Games dan League of Legends gara-gara ada 44 juta orang yang menonton LoL World Championship di tahun 2019 lalu. Karenanya, jadi tidak heran kalau Riot Games memutuskan untuk membuat esports jadi salah satu pilar bisnis mereka ketimbang sekadar alat pemasaran saja.

Pencapaian Riot Games sedikit banyak menjadi bukti bahwa esports bisa menjadi salah satu model bisnis bagi publisher game free-to-play yang lebih berjangka panjang.

Model seperti League of Legends baru satu contoh. Dota 2 juga bisa menjadi contoh lain suksesnya game free-to-play berkat esports, walau dengan model yang sedikit berbeda. Valve menjual Battle Pass (berisi berbagai pernak pernik skin dan lain sebagainya) yang 25% dari penjualannya ditambahkan ke hadiah turnamen Dota 2 terakbar di dunia, The International (TI). Valve telah mengumpulkan US$40 juta dari The International Battle Pass tahun lalu cuma dengan 25% dari penjualan Battle Pass. Dengan 75% sisanya masuk ke kantong Valve, Anda bisa bayangkan sendiri berapa uang yang sudah dikumpulkan oleh sang publisher dari penjualan tersebut.

Menyediakan game secara gratis memang memberi keuntungan-keuntungan tersendiri saat publisher berusaha menjadikannya sebagai esports. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana esports memang merupakan sebuah ladang baru dengan potensi komersialisasi tinggi. Esports bisa digunakan untuk membangun minat pemain untuk membeli konten atau mengundang pihak eksternal untuk berinvestasi ke dalamnya.

 

Kenapa Model Lain Kurang Sukses Menjadi Esports yang Besar?

Pada kesempatan sebelumnya saya sudah membahas soal faktor-faktor yang membuat game kompetitif bisa sukses sebagai esports. Apabila Anda juga membaca artikel tersebut, Anda akan menemukan bahwa kemudahan akses menjadi salah satu faktornya.

Seperti yang saya sebut pada pembahasan di atas , game free-to-play memang cenderung lebih mudah mengumpulkan banyak orang. Selain game-nya gratis, developer game free-to-play juga berusaha membuat game-nya seringan mungkin agar bisa menarik perhatian orang sebanyak mungkin.

Pada sisi lain, model bisnis game berbayar atau subscription system mungkin punya fokus yang berbeda. Dari segi akses, kita juga sudah melihat perbandingan antara VALORANT dengan FIFA 21 pada penjelasan saya di bagian sebelumnya. Mau semudah apapun atau sesederhana apapun sebuah game, jumlah penggunanya akan tetap terbatas kepada seberapa tinggi entry barrier yang ditetapkan oleh sang developer ataupun publisher.

Semakin rendah harga dan kebutuhan spesifikasi perangkat yang dibutuhkan sebuah game, otomatis akan semakin besar dan luas potensi pasarnya. Semakin tinggi harga dan kebutuhan spesifikasi device yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan sempit potensi pasarnya. Dalam konteks VALORANT vs FIFA 21, kita bisa lihat bahwa VALORANT gratis sementara FIFA 21 harganya Rp849.000. VALORANT bisa jalan tanpa GPU eksternal sementara FIFA 21 butuh GPU eksternal.

BBC akan tampilkan konten turnamen FIFA 21 Eropa.
FIFA 21 juga memiliki turnamen esports, tetapi kesuksesannya tetap jadi terbatas karena harga gamenya yang kurang terjangkau dan kebutuhan spesifikasi PC yang lebih tinggi ketimbang game free-to-play.

Dalam hal beda haluan bisnis developer yang saya bicarakan tadi, salah satu contoh nyatanya bisa kita lihat dari posisi Nintendo terhadap esports Smash Bros. Komunitas Smash Bros sudah beberapa kali mengeluh ke Nintendo karena merasa sudah membesarkan game tersebut, namun tak jua mendapat sokongan dalam bentuk hadiah uang turnamen. Dalam satu kesempatan, Nintendo sempat mengatakan bahwa esports cuma salah satu dari berbagai macam event yang ingin dapat didukung oleh Nintendo. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan posisi Nintendo yang tidak punya keinginan untuk investasi lebih jauh di esports.

Kasus hubungan antara Nintendo dan komunitas esports Super Smash Bros menjadi contoh, bahwa walaupun esports sedang besar dan digembar-gemborkan, belum tentu juga semua developer ingin ke sana. Apalagi developer yang sedari awal sudah sukses dengan model game berbayar. Menurut opini saya, dalam konteks Nintendo, bisa saja mereka sudah nyaman dengan pendapatan yang didapat dari penjualan game Super Smash Bros. Lalu, kenapa harus pusing-pusing lagi memikirkan esports?

Sumber: Time
Shuntaro Furukawa, presiden Nintendo yang pernah menyatakan pendapatnya soal esports Super Smash Bros. Sumber: Time

Sementara pada sisi lain, developer yang menyajikan game secara gratis harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Menjual skin jadi salah satu sumber pemasukan pasti, tapi apakah dengan menjual skin saja bisa mencukupi biaya operasi sebuah game? Riot Games mungkin bisa saja menggunakan metode monetisasi yang eksploitatif pada League of Legends. Misal, Champion baru hanya terbuka apabila akun Anda mencapai level tertentu. Apabila Anda membayar, Anda bisa lebih cepat menaikkan level akun Anda. Tapi pertanyaanya, apakah model seperti itu adalah model yang sehat dan bisa bertahan untuk jangka panjang?

Memang, esports butuh investasi besar dan belum tentu juga menguntungkan pada akhirnya. Tetapi apabila diasuh dengan tepat, efeknya seperti apa yang kita lihat seperti ini. Karenanya CEO Riot Games Nicolo Laurent sempat berkata bahwa esports tidak lagi bisa dilihat sebagai alat marketing, melainkan sebagai sebuah bisnis. Setelahnya Nicolo juga menambahkan, “kami ingin memastikan semua orang memiliki impian untuk diraih.” Dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung kita juga bisa melihat bagaimana esports punya dampak ekonomi yang lebih luas ketimbang sekadar menjual micro-transactions saja.

 

Penutup

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana menjadi model free-to-play memang memberi keuntungan tersendiri bagi developer saat berniat menjadikan game tersebut menjadi esports. Di luar dari itu, esports juga memberikan ragam keuntungan menarik kepada developer game terkait. Mulai dari membangun minat pemain, memperpanjang usia sebuah game, sampai memberikan keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari komersialisasi liga esports.

Lalu kalau pertanyaannya dibalik, apakah game gratis harus selalu dijadikan esports? Jawabannya tentu tergantung fokus bagi sang publisher. Seperti yang saya jelaskan di atas, ada banyak metode-metode monetisasi bagi game free-to-play. Walaupun Clash of Clans sempat mengalami penurunan pendapatan, tapi toh game tersebut masih bertahan dengan metode yang sama sampai sekarang. Pada sisi lain, Riot Games yang sukses besar berkat esports juga masih menekankan tim mereka untuk membuat game yang bagus lebih dulu ketimbang terlalu “kebelet esports“.

Saya sendiri sebenarnya cukup setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun, inti dari esports adalah game-nya itu sendiri. Karenanya sebuah game harus bagus (aspek kreatif maupun teknis), balanced, dan diminati banyak orang terlebih dahulu sebelum jadi esports. Bukan dijadikan esports agar lebih diminati walau game-nya kurang bagus dari aspek kreatif maupun teknis ataupun kurang balanced.

Fl1pzjder dan NXL Ligagame Dalam Menghadapi VALORANT Championship Tour 2021: SEA Masters 1

Dua pekan lalu (26-28 Februari 2021) kita menyaksikan tim VALORANT NXL Ligagame menjadi juara di pertandingan VCT 2021: Indonesia Stage 1 Challengers 2. Mereka berhasil melibas BOOM Esports 3-1 di babak Grand Final sehingga mereka mendapat kesempatan untuk bertanding di tingkat yang lebih tinggi, VCT 2021: SEA Masters Stage 1.

NXL Ligagame sendiri sudah punya beberapa pengalaman bertanding di turnamen-turnamen tingkat Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Namun VCT 20221: SEA Masters Stage 1 jadi beda cerita dengan turnamen-turnamen sebelumnya, mengingat kompetisi tersebut tergolong sebagai turnamen official dengan dukungan langsung dari Riot Games. Bagaimana persiapan NXL Ligagame menghadapi turnamen tersebut? Untuk itu saya berbincang dengan Saibani Rahmad atau Bani atau “fl1pzjder” selaku kapten NXL Ligagame membincangkan soal persiapan mereka menghadapi turnamen tersebut.

 

Fl1pzjder, Sosok Duelist Tajam Dipadu Dengan Kemampuan Memimpin Tim

Sebelum membahas soal persiapan tim, kami juga sempat berbincang singkat soal perjalanan Bani di dunia game kompetitif. Bani bercerita bahwa pengalaman dirinya bermain game secara kompetitif sebenarnya sudah cukup panjang. “Dulu sempat main Point Blank juga, terus pindah ke CS:GO, sampai akhirnya sekarang main di VALORANT ini.” ucap Bani.

Salah satu keunikan dari sosok Bani sendiri adalah peran dalam tim yang ia jalani. Bani mengambil posisi sebagai Duelist merangkap Kapten atau in-game leader. Posisi tersebut jadi unik karena pemain Duelist punya peran sebagai garda terdepan bagi pasukan penyerang, dengan tugas membuka atau membongkar pertahanan musuh. Karena perannya, kebanyakan pemain Duelist cenderung akan fokus menembaki musuh dan kesulitan memberi komando. Karenanya posisi in-game leader pada beberapa tim biasanya adalah pemain yang cenderung bermain secara lebih taktis dan menggunakan Agent tipe Control atau Initiator di dalam VALORANT.

Sumber: ONE Up Official
Sosok Fl1pzjder yang juga sempat mendapat gelarn “Sang Pemusnah” karena mendapat akumulasi KDA terbanyak di gelaran VALORANT First Strike. Sumber: ONE Up Official

Namun Bani sendiri menceritakan bahwa tidak ada kesulitan tertentu saat menjalani peran tersebut. “Jadi tidak sulit mungkin karena memang sedari dulu posisi gue di dalam tim kompetitif FPS selalu seperti itu, membongkar pertahanan lawan sambil memberi komando. Gue memainkan posisi seperti itu bahkan sejak dari dulu ketika main kompetitif Point Blank di Palembang dan usia gue masih sekitar 15 tahun. Saat sedang giat di dunia kompetitif CS:GO sekitar 2017, posisi gue pun tetap sama, pembongkar pertahanan musuh merangkap in-game leader.”

“Justru gue sendiri merasa kombinasi peran seperti itu memberi keuntungan tertentu. Gue jadi bisa melihat lebih jelas ke mana arah rotasi musuh. Juga karena gue berposisi di depan, gue bisa lebih cepat ambil keputusan pada saat ada kesempatan untuk masuk terbuka.” Bani menjelaskan lebih lanjut soal perannya di dalam tim NXL Ligagame.

 

Persiapan NXL Ligagame Dalam Menghadapi VCT 2021: SEA Stage 01 Masters

Topik selanjutnya yang menjadi obrolan bagi kami berdua adalah internal tim mereka saat menghadapi VCT 2021: Indonesia Stage 1 Challengers 2. Dalam perbincangan tersebut, Bani mengakui bahwa dia sendiri sebenarnya tidak merasa sepenuhnya siap pada saat jelang kualifikasi Indonesia kedua tersebut. “Perasaan tersebut muncul karena memang kami sempat kalah pada saat Indonesia Challenggers 1 melawan BOOM Esports.” tutur Bani.

Walau merupakan salah satu yang terkuat, tapi NXL Ligagame sendiri bukanlah tim adikuasa di skena VALORANT Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Bani, dirinya dan kawan-kawan NXL Ligagame sempat mendapat hasil yang kurang memuaskan pada Indonesia Challengers 1. Mereka kalah 0-2 lawan BOOM Esports yang memaksa NXL Ligagame harus bertanding lewat kualifikasi terbuka agar bisa ikut Indonesia Challengers 2.

“Lalu setelahnya kami mencoba melakukan pergantian pemain dan melakukan persiapan lagi. Pergantian tersebut sebenarnya juga membuat gue jadi merasa tidak sepenuhnya siap untuk Indonesia Challengers 2. Walaupun begitu, para anggota tim berusaha untuk tetap optimis dan melakukan yang terbaik untuk semuanya. Karenanya kami cukup bersyukur dengan hasil yang kami dapatkan tersebut.” Bani menceritakan di balik layar dari kemenangan NXL Ligagame dalam Indonesia Challengers 2.

Mengutip dari Liquidpedia, NXL Ligagame memang sempat mengganti satu pemainnya pada satu kali kesempatan. Pemain tersebut adalah Natz yang digantikan oleh Sayoo pada 24 Februari 2021 kemarin. “Kalau soal pergantian tersebut, sejauh apa yang gue lihat memang Natz sudah beda visi dengan kami (divisi VALORANT NXL Ligagame).” Ucap Bani membahas singkat soal pergantian pemain yang terjadi.

Setelah membahas Indonesia Challengers 2, obrolan kami berlanjut ke soal persiapan menghadapi SEA Masters 1 dan peta kekuatan skena kompetisi VALORANT baik di SEA ataupun internasional. Membicarakan soal persiapan, Bani bercerita. “Sejauh ini kalau dari hasil latih tanding, gue sendiri merasa masih banyak kurangnya sih. Terasa kurang karena lawan yang dihadapi nanti adalah tingkat SEA nantinya dan gue merasa bahwa permainan kami dijadikan bahan belajar bagi tim lain. Makanya gue merasa tim masih perlu melakukan perbaikan di sana dan sini ataupun melatih strategi baru agar permainan kami jadi tidak terlalu tertebak.” Ujarnya. “Walaupun begitu, gue sih cukup pede segala kekurangan tersebut bisa kami kejar dalam satu minggu persiapan ini.” Tambah Bani.

Membicarakan soal peta kekuatan, Bani mengatakan bahwa ada satu tim asal Thailand yang cukup diwaspadai di skala pertandingan SEA. “Waktu itu tim tersebut memang sempat mengalahkan kami dalam satu sesi latih tanding, tapi tim itu sendiri belum lolos ke SEA Masters.” Tutur Bani.

Menutup obrolan, kami pun membincangkan soal peta kekuatan VALORANT secara internasional. “Kalau secara internasional, mungkin urutannya seperti ini: Eropa (EU), Amerika Utara (NA), Korea, SEA, baru Amerika Latin (LATAM) atau Asia (Jepang dan sekitarnya).” Bani mengurutkan.

Sumber: NXL Official Website
Sumber: NXL Official Website

Lebih lanjut, Bani lalu menjelaskan alasan opininya soal ranking kekuatan skena kompetitif VALORANT secara internasional. “Kalau EU sih karena memang kuat dari dulu sejak di CS:GO. Kuat kenapa? Karena EU itu aim-nya sakit, pemainnya juga kebanyakan pintar, punya game sense (pemahaman map dan skill agent) yang kuat. Korea itu masuk di peringkat 3 karena Vision Strikers sih, tapi kalau semisal tim tersebut enggak ada, tim lainnya itu tergolong biasa aja.” Ucapnya.

Lalu bagaimana dengan SEA ataupun Indonesia sendiri? Bani pun mengatakan, “Indonesia itu sebenarnya punya skill aim yang bisa bersaing menurut gue. Tapi sayangnya enggak semua pemain punya otak.” Pernyataan Bani mungkin terdengar agak kasar, tapi saya sendiri sebenarnya cukup paham dengan apa yang dimaksud.

Dalam esports memang ada ujaran “otot dan otak” ketika membicarakan skill pemain. Maksudnya otot adalah kemampuan mikro di dalam sebuah game. Kalau dalam VALORANT, kemampuan aim bisa digolongkan sebagai skill “otot”. Sementara otak adalah kemampuan makro. Kalau dalam VALORANT, “game sense” yang di dalamnya termasuk kemampuan pemain dalam memahami map atau memahami cara kerja/cara efektif/cara pintar menggunakan skill seorang Agents adalah seperangkat skill “otak”.

 

VCT 2021: SEA Masters 1 sendiri akan diselenggarakan tanggal 19-21 Maret 2021 mendatang. Mengutip dari Liquidpedia, pertandingan tersebut akan menyertakan tim dari negara Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Selain NXL Ligagame, masih tersisa satu slot lagi untuk tim Indonesia di dalam turnamen tersebut yang akan diperebutkan dalam Indonesia Challengers 3 pada tanggal 12-14 Maret 2021 mendatang.

BOOM Esports dan Alter Ego bisa dikatakan sebagai 2 kontestan terkuat dari Indonesia Challengers 3. Tetapi apakah mungkin akan muncul kejutan dari kontestan-kontestan lainnya?

Sumber Gambar Utama – NXL Ligagame Official Website

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan Februari 2021

Tahun 2021 baru dimulai, begitu juga dengan berbagai turnamen esports yang memulai musim kompetisi barunya. Sejak bulan Februari 2021 lalu, beberapa game esports sudah memulai musim kompetisi mereka. Hal tersebut pun memancing rasa penasaran tersendiri, siapa turnamen esports terpopuler di bulan Februari 2021 kemarin? Mengutip data dari Esports Charts, berikut daftarnya.

 

#5 – LCK Spring 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Daftar 5 tayangan LCK terpopuler. Seperti yang Anda lihat, tayangan bulan Januari masih jadi yang paling perkasa sementara tayangan bulan Februari hanya ada di peringkat 4 saja. Sumber Gambar – Esports Charts.

Pada bulan-bulan sebelumnya, Liga LoL Korea (LCK) kerap tampil perkasa dari segi catatan peak viewers bulanan. Sayangnya LCK harus puas hanya berada di peringkat 5 saja bulan Februari ini. Pertandingan dengan peak viewers terbanyak bulan Februari 2021 ini adalah pertandingan antara T1 melawan Nongshim RedForce dengan catatan 525 ribu peak viewers lebih. Secara historis, penampilan T1 memang menjadi yang paling ditunggu dari liga LoL Korea. Hal tersebut terlihat dari kehadiran T1 di lima 5 pertandingan LCK dengan catatan peak viewers tertinggi.

Pertandingan antara T1 melawan Damwon Gaming di pekan pertama LCK masih belum bisa disalip. Pertandingan yang terselenggara bulan Januari tersebut berhasil mencatatkan 800 ribu lebih peak viewers dan mengisi peringkat 3 di daftar turnamen esports terpopuler bulan Januari 2021. Perubahan branding dan format menjadi liga franchise sepertinya tidak secara instan mendongkrak performa viewership dari LCK. Terlepas dari semua itu kehadiran LCK di dalam daftar ini masih membuktikan posisi League of Legends sebagai salah satu game esports utama secara internasional. Apalagi LCK sendiri juga hampir tidak pernah keluar dari daftar turnamen esports terpopuler bulanan.

 

#4 – BLAST Premier Spring 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

Selain League of Legends, CS:GO juga merupakan game esports lain yang bisa digolongkan sebagai game esports utama. Pada bulan ini, salah satu turnamen CS:GO yang masuk ke dalam daftar adalah BLAST Premier Spring 2021. Pertandingan yang membuat turnamen ini masuk ke dalam daftar adalah pertemuan antara FaZe Clan melawan NAVI yang mencatatkan 543 ribu lebih peak viewers pada tanggal 13 Februari 2021 kemarin.

Masih seperti sebelum-sebelumnya, bahasa Russia dan Portugis menjadi dua tayangan berbahasa lokal dengan catatan peak viewers terbanyak selain bahasa Inggris. Tayangan bahasa Russia mencatatkan 155 peak viewers lebih, sementara bahasa portugis mencatatkan 138 peak viewers lebih. Catatan tersebut jadi cukup wajar mengingat tim NAVI yang memang punya fanbase kuat di kawasan Rusia dan sekitarnya. Pada sisi lain, FaZe Clan memiliki Coldzera asal Brazil sebagai roster utama yang berpotensi banyak penonton berbahasa Portugis.

 

#3 – LEC Spring 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

Liga LoL Eropa (LEC) kali ini masuk di dalam peringkat ke-3 dari daftar turnamen esports terpopuler bulan Februari 2021. Pertandingan yang membuat liga ini masuk ke dalam daftar masih merupakan pertemuan paling ikonik dari skena kompetitif League of Legends di Eropa, yaitu G2 melawan Fnatic. Pertandingan tersebut merupakan pertandingan pekan ketiga LEC yang diselenggraakan 6 Februari 2021 kemarin dengan catatan 582 ribu lebih peak viewers.

Apabila ditilik lebih jauh, tayangan berbahasa Inggris masih menjadi primadona dari liga LEC 2021. Menurut catatan Esports Charts ada 361 ribu peak viewers lebih yang menonton tayangan LEC berbahasa Inggris. Tayangan bahasa lokal masih terpaut cukup jauh ketimbang tayangan bahasa Inggris. Pada peringkat 2 ada tayangan bahasa Prancis dengan 72 ribu peak viewers lebih dan tayangan bahasa Spanyol dengan 71 ribu peak viewers lebih di peringkat ke 3.

 

#2 IEM Katowice 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

CS:GO kembali muncul lagi di dalam daftar ini. Kali ini ada salah satu turnamen esports CS:GO terakbar yaitu Intel Extreme Masters Katowice 2021. Pertemuan antara NAVI dengan Team Liquid adalah pertandingan yang membawa IEM Katowice ke dalam daftar ini. Pertandingan yang diselenggarakan 21 Februari 2021 kemarin mencatatkan 596 ribu peak viewers dan merupakan pertandingan babak grup.

Menariknya, pertandingan babak Grand Final dari IEM Katowice justru kalah dari segi catatan peak viewers. Pertandingan Grand Final yang mempertemukan Gambit Esports dengan VP hanya mencatatkan 417K peak viewers dan berada di peringkat 4 dari 5 pertandingan IEM Katowice 2021 terpopuler. Tapi memang, pertemuan NAVI dengan Liquid menyajikan pertandingan yang sengit bahkan sampai memaksa hadirnya babak overtime pada game 3. Sementara pada sisi lain, walaupun Virtus Pro sempat memberi perlawanan di game 1 tetapi Gambit Esports berhasil melibas 3 game sisanya dengan dominasi yang kuat pada pertandingan Grand Final.

 

#1 MPL Indonesia Season 7

Sumber Gambar - Esports Charts
RRQ vs Bigetron Alpha adalah pertandingan MPL ID paling populer. Namun pertandingan tersebut terselenggara di bulan Maret sehingga yangmasuk ke dalam daftar ini adalah RRQ vs Alter Ego yang terselenggara bulan Februari 2021. Sumber Gambar – Esports Charts.

Nama yang cukup tidak terduga kali ini ada di peringkat pertama dari daftar turnamen esports di bulan Februari 2021. Nama tersebut adalah Mobile Legends: Bang Bang Professional League: Indonesia Season 7 (MPL ID Season 7). Esports MLBB sebenarnya sudah beberapa kali masuk ke dalam daftar turnamen esports terpopuler bulanan. Tetapi bulan ini mungkin adalah bulan pertama bagi MPL Indonesia bisa menjadi pemuncak daftar turnamen esports terpopuler versi Esports Charts.

Pertandingan yang membuat MPL ID Season 7 berada di dalam daftar ini adalah pertandingan di pekan pertama antara RRQ dengan Alter Ego yang diselenggarakan 27 Februari 2021 kemarin. Pertandingan tersebut berhasil mencatatkan 613 ribu lebih peak viewers. Pertandingan itu sendiri sebenarnya merupakan pertandingan terpopuler ke-3 dari daftar 5 pertandingan MPL Indonesia terpopuler. Pada peringkat pertama ada pertandingan antara RRQ melawan Bigetron Alpha yang terselenggara pekan lalu, 7 Maret 2021. Melihat angka yang ditorehkan, MPL ID Season 7 sepertinya punya kemungkinan yang besar masuk lagi ke dalam daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021 nanti.

 

Mobile Legends: Bang Bang Telah Menjadi Bagian Dari Game Esports Utama?

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts

Mobile Legends: Bang-Bang berhasil mempertahankan namanya di dalam daftar turnamen esports terpopuler bulanan, bahkan MPL ID berhasil mengisi peringkat pertama di daftar bulan Februari 2021 ini. Pencapaian tersebut adalah sesuatu yang patut dibanggakan oleh ekosistem esports Indonesia. Hal tersebut mengingat banyaknya jumlah penonton tayangan MPL berbahasa Indonesia berhasil menyalip liga-liga esports game PC yang sudah jadi tontonan internasional, seperti League of Legends ataupun CS:GO.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Wild Rift Esports in the Indonesian Esports Ecosystem: Players’ Views, Challenges, and Expectations

League of Legends: Wild Rift, which launched its beta phase in September 2020, has been hyped up in the gaming community for quite a while now. Furthermore, to Indonesia’s local esports ecosystem, Riot Games’ reputation as an esports company instils the belief that the game will have a promising future. Players who have failed in going pro in other MOBAs immediately grind their way to the top to attract future pro teams. Many fans simply can’t wait to see the future of Wild Rift esports. A few esports organizations also took this early bird opportunity and began recruiting players and establishing their roster.

After the beta release and running Wild Rift SEA Pentaboom title, what will be the next step for Riot in Wild Rift? Players, fans, esports organizations, and even I will continuously be curious about Wild Rift’s esports plans.

Therefore, let us investigate the extent of the development of Wild Rift esports in the local ecosystem so far. What are actions that local esports organizations are executing and planning to do with Wild Rift? What are the appropriate steps that Riot Games should take for Wild Rift’s esports in the future? Let’s try to answer these questions one at a time.

 

Regional Beta and Wild Rift Pentaboom (Development from the aspect of the game)

From investigating Wild Rift’s three-month journey since its release, we can say that they have been rapidly developing. The number of Champions has been growing consistently. Patches are also continuously released to improve and balance the game.

Riot Games is also slowly releasing Wild Rift in various other countries after the first regional beta in 7 Southeast Asian countries (including Indonesia) last October 2020. However, during the three months of its development, the game had one missing feature desired by many players: Spectator Mode.

Without this feature, the stretch of Wild Rift esports in the first few months of its release has been slightly hindered. Even though players can create a custom room, the community cannot broadcast Wild Rift matches to the public because there is no Spectator Mode.

However, several organizers from the Wild Rift community are still determined to broadcast Wild Rift tournaments. One of them is a content creator called Assassin Dave. He still organizes Wild Rift Asia Brawl even though he has to accept the limitations of the absence of spectator mode. Of course, Assassin Dave went through a lot of technical challenges to make all the broadcasting possible without spectator mode.

Tournaments initiated by Riot Games also experienced similar difficulties. Wild Rift Pentaboom, for example, also uses a similar viewing method by requiring players to stream their smartphone screens. Despite being able to broadcast matches and inviting many well-known streamer figures in the MOBA scene, the tournament is not very enjoyable to watch due to its limitations that it experiences.

Fortunately, Riot Games recognized the problem and soon responded. Riot Games announced patch 2.1 on February 1, 2021 yesterday. The patch finally provided several desired features from the Wild Rift community, including Spectator Mode. In addition, the patch also contained several regular contents such as new champions, skins, and balancing.

 

The State of the Wild Rift’s Esports Ecosystem in Indonesia 

Let’s now discuss the interest of Wild Rift in the local esports ecosystem. This discussion was important because of the presence of several well-known teams and the increase of fans’ interest in watching esports matches.

In discussing Wild Rift in the local context, four major Indonesian esports teams need to be highlighted. The teams are EVOS Esports, Bigetron Esports, BOOM Esports, and Alter Ego. I will explain why I chose these particular teams later. In addition, I also interviewed a representative from Yamisok as one of the third-party tournament organizers who have held the Wild Rift tournament in the past 2 months.

The first to be discussed is EVOS Esports. We actually have not seen the blue tiger making any moves towards Wild Rift esports. They have not held an open recruitment, let alone a roster announcement. However, their fans really hope that EVOS Esports will join the Wild Rift community in the future, especially after the AOV roster (Wirraw, Pokka, Carraway, and friends) were seen playing Wild Rift several times.

Aldean Tegar Gemilang, as Head of Esports EVOS, was my source in answering the questions regarding the team’s interest in Wild Rift. In general, Aldean said that EVOS Esports is still “waiting and observing” the whole Wild Rift esports scene play out. This strategy is quite reasonable considering that the Wild Rift ecosystem is not yet fully developed, and the game is still in its beta phase.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar, Head of Esports of EVOS Esports. Credits: YouTube Channel Jonathan Liandi.

“Honestly, we haven’t had any plans to enter the Wild Rift. We tend to observe beforehand how Wild Rift will develop in the Indonesian esports scene. If the game will have a big impact on the scene and has a promising ecosystem, we will then start diving into the game.” Aldean says.

Out of curiosity, I also asked about the possibility of the AOV roster being the pioneer of Wild Rift EVOS Esports. If the speculation is correct, then Wild Rift esports will certainly be even more exciting due to the outstanding achievements that EVOS’s AOV roster has accumulated in the past. However, Aldean said, “We still have no comment regarding this matter. The answer could be yes or no.”

Next up is Bigetron Esports. The red and white robot is the leading esports organization in the Wild Rift scene thus far. They are the first team to have a Wild Rift division in Indonesia. Their roster is also quite promising as it features former professional League of Legends PC players, such as Rully “Nuts” Sutanto.

Thomas Vetra, as Head of Esports Bigetron, is my source in examining the team’s journey in the Wild Rift scene. “We had participated in an Asian level tournament called Wild Rift Asia Brawl. We admit that the results have been considered as less than optimal.” So far, Bigetron Infinity (the name of Bigetron Esports’ Wild Rift division) has successfully passed the Wild Rift Asia Brawl group phase and is competing in the Playoff round.

Thomas Vetra, Head of Esports Bigetron. Sumber Gambar - Bigetron Esports.
Thomas Vetra, Head of Esports from Bigetron Esports. Credits: Bigetron Esports.

Because Bigetron Esports was incredibly quick to announce their Wild Rift division, I became curious about the team’s activity and their management’s view regarding this decision.

“When it comes to activities, our players are currently obliged to practice at the gaming house because most players are retirees from the last generation of esports League of Legends. When it comes to tournaments, it is not easy to find competitors to match our Wild Rift team, from what I have noticed so far. I think that investing in a premature esports ecosystem is considered a big investment instead of a loss. Moreover, I personally also feel that Wild Rift has a big opportunity in the Asian market and other regions.” Thomas said.

Next is BOOM Esports. The team with the jargon #HungryBeast has just recently announced the Wild Rift roster. BOOM Esports also plans to present the documentation of their roster selection process. BOOM Esports screened more than 3000 registrants. With insights from Leonard “OMO”, a League of Legends coach in Asia, BOOM Esports selected 5 talented young players and announced their roster on February 1, 2021 yesterday.

To investigate BOOM Esports’ decision in jumping into the Wild Rift esports scene, I interviewed Gary Ongko, Founder and CEO of BOOM Esports.

Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar - YouTube Channel HybridIDN.
Gary Ongko Putera, Owner and CEO of BOOM Esports. Credits: HybridIDN

“We strongly feel that League of Legends is a franchise that has a good reputation in the esports ecosystem. We can also observe how mobile MOBAs are doing very well in Indonesia. With these two reasons, we feel that Wild Rift has high hopes of achieving similar or even greater success than its counterparts.” Said Gary Ongko to me.

Gary Ongko then also talked about the selection process carried out by BOOM Esports, which lasted for about two months.

“Talking about recruitment, we are very fortunate to be assisted by the coach OMO who has profound knowledge in League of Legends. Thanks to him, we are able to select very talented players. Our players are still relatively new, but I feel they have great potential. Their scrim results are also excellent, and they have a high motivation to improve and learn, which is crucial for becoming a successful pro player.” Gary discusses the selected players from more than 3000 contestants.

“When talking about challenges, one of the difficult problems that we face is finding qualified people from the LoL scene. The reason behind this problem is that the game is relatively undeveloped in the Indonesian esports ecosystem. Therefore, it was difficult to hire experts in the game until finally, we decided to recruit OMO (LoL trainer from Singapore). The current pandemic situation also poses another challenge. At first, we planned to do a boot camp during the selection phase. However, due to the pandemic, we were forced to perform our screening online. ” Gary continues his story discussing the challenges he faced when building the roster.

Finally, there is Alter Ego. This team is also equally important to be highlighted because they, and ONIC Esports, have just received a direct invitation to compete in the inaugural Riot Games official Wild Rift tournament: Wild Rift SEA Icon Series: Preseason. The invitation is quite surprising because Alter Ego doesn’t have a Wild Rift division until this moment.

In an interview I conducted a few days ago (04/02), Indra Hadiyanto, as COO and Co-Founder of Alter Ego, also spoke about the Wild Rift roster and the story of Alter Ego being invited to the Wild Rift Icon Series tournament.

“We speculated that we were invited because Riot noticed our achievements in the VALORANT pro scene, which is another one of Riot’s games. When asked why Alter Ego was invited, the developers actually have their own criteria, starting in terms of players, rank, and even interviewing the team’s management. When Riot invited us, they also explained to us (the team owners) about the roadmap of their games. ” Said Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO and Co-Founder of Alter Ego.

Regarding the roster, Indra also explained that “Even though Alter Ego hasn’t made any announcement, they have actually signed an official roster since December 2020. Alter Ego has not gone public with their roster due to the combination of the COVID-19 pandemic situation, the renovation of our gaming house, and the condition of their Wild Rift players domiciled outside Jakarta. The five players from the roster all come from Indonesia, some of which are former League of Legends (PC) players. Our Wild Rift Division has also dominated the local competitive scene that has existed so far. One of them is the community tournament called IEC, which we managed to win on several occasions. ”

Finally, to complete my investigation of the state of the Wild Rift Indonesia’s ecosystem, I also interviewed one of the representatives of third-party tournament organizers, Putri Fauziah, the Project Manager of Yamisok. Yamisok is a technology-based esports tournament platform and regularly held tournaments despite not being able to broadcast Wild Rift due to the absence of spectator mode.

“The missing Spectator Mode feature has profoundly affected the community because tournaments can’t be broadcasted and players cannot interact. In fact, according to my experience, new games are usually crowded with viewers when they are live-streamed, especially if coupled with some giveaway event.” Putri told her experience.

Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.
Putri Fauziah, Project Manager from Yamisok.

“Regarding the extent of enthusiasm in the community, I observed that the reception that the game received has been overall decent. Many players are interested in participating in the tournament. When we opened the tournament slots, players and teams immediately took their opportunity to register. If there are no tournaments within the span of a month, players will immediately start asking questions. Most of the players that participate in our tournaments are ex-LoL PC players who are currently playing Wild Rift. Perhaps this is because LoL PC tournaments are becoming rare these days. As far as my observation goes, Wild Rift does have a good impact on the ecosystem because it adds some enthusiasm and variety to the MOBA game spectrum. “Putri continued her story discussing the community’s enthusiasm.

 

All Hopes for the Wild Rift in 2021.

Closing the conversation, five of my sources also expressed their hopes for the future Wild Rift scene in 2021.

“I hope that Riot Games has a solid strategy so that the community can develop and hopefully can compete with other popular Mobile MOBAs in Indonesia. I am actually quite confident that Wild Rift will be promising in the SEA region.” Aldean Tegar from EVOS mentioned.

“I think Riot Games might be able to take advantage of League of Legends’ popularity and give big prize tournaments in the Asia region. Beyond that, I feel that Riot Games already has a solid foundation in the esports ecosystem,” said Thomas from Bigetron Esports.

“In the short term, I strongly feel that Riot Games should continue to promote Wild Rift. For the long-term future, I hope that Riot Games can provide support and constantly improve the Wild Rift esports ecosystem. From what I see from LoL and VALORANT, I’m very sure that Wild Rift will also have tremendous success. Lastly, I hope that Wild Rift will keep their high skill ceiling so we can differentiate or separate the pro players from casual players.” Said Gary Ongko.

Worlds 2019
The presence of Worlds in the League of Legends scene has become a phenomenon in itself. Credits: Riot Games

“I really hope Indonesia can dominate the international Wild Rift scene in the future. Moreover, I also notice that Riot Games provides an incredibly big opportunity for SEA players in Wild Rift.” Indra from Alter Ego added.

“Personally, I only hope that the Wild Rift ecosystem can develop well and can remain popular for a long time. I also hope Riot will keep the game light so that it is compatible for all ranges of devices.” Putri also added.

League of Legends: Wild Rift itself is still in beta status at the time of writing this article. When I spoke with the Wild Rift development team last October 2020, Brian Feeney, the Design Director of Riot Games, shared how making mobile games is an incredibly challenging process. He also mentioned that Riot Games tends to prioritize game development and takes care of the esports section in a later stage

However, since the game is still far from being finished, the conversations above suggest that the Wild Rift ecosystem will develop much faster than expected. Although, indeed, most of the esports initiatives were taken by third parties. For example, many local teams are very confident in forming rosters even though Riot Games has not clearly disclosed Wild Rift’s esports plan. Moreover, several third-party organizers are also determined to host tournaments for the community despite all the limitations they will face.

Sumber: YouTube Channel League of Legends: Wild Rift
Approximately 3 months after Wild Rift was release, it’s safe to say that the game’s development process is relatively fast. Credits: League of Legends: Wild Rift YouTube Channel

Approximately 3 months after Wild Rift was released, it’s safe to say that the game’s development process is relatively fast, especially for developers with minimal mobile game development experience such as Riot Games. Image Source – YouTube Channel League of Legends: Wild Rift

In the future, as an observer and a fan, I have the same expectations as Gary Ongko: hoping that Wild Rift will have an international-level tournament like LoL and that teams from Indonesia participate in those tournaments. But from the point of view of the ecosystem, I hope that Riot Games can learn from Tencent in managing PUBG Mobile.

Tencent’s approach in closely being inlined with the community that flows towards the pro scene could be the sole reason why PUBG Mobile has managed to take root in Indonesia. Throughout its development, we can observe how the PUBG Mobile ecosystem pays attention to its pro scene and other esports’ ecosystem.

We can take the example of tournaments such as PMCO (community level) and PMCC (University level) which are accompanied by activities such as Caster Hunt and Campus Ambassador. After all, the esports ecosystem is not just about the pros. Instead, the whole community also plays a critical role in keeping the esports ecosystem at the top-level relevant and successful.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Rekap MPL Indonesia Season 7 Week 2: Momentum Positif Bagi Geek Fam ID

Akhir pekan lalu adalah pertandingan week 2 dari MPL Indonesia Season 7. Ada beberapa momen menarik yang terjadi mulai dari momentum positif yang terbangun bagi Geek Fam ID, ONIC Esports dan Alter Ego yang berhasil mempertahankan performa puncaknya, dan lain sebagainya. Berikut rekap week MPL ID Season 7 week 2.

Matchday 1 (Jumat, 5 Maret 2021)

Hari pertandingan pertama MPL Indonesia Season 7 dibuka dengan pertemuan antara Alter Ego dengan Genflix Aerowolf. Prediksi pertandingan ini cenderung condong ke arah Alter Ego mengingat rentetan hasil baik yang didapatkan LeoMurphy dan kawan-kawan. Sementara pada sisi lain, Genflix Aerowolf juga sedang kurang beruntung pekan lalu.

Pada game satu, Genflix Aerowolf memberi perlawanan yang baik di awal-awal. Namun rotasi dan farming dari Alter Ego nampak efektif yang membuat Udil dan kawan-kawan unggul dari segi net-worth hingga mencapai 7k gold di menit 8. Memanfaatkan keunggulan tersebut dan hero Claude yang digunakan Ahmad, Alter Ego pun jadi semakin kuat jelang fase akhir pertandingan. Benar saja, di menit 12 Genflix Aerowolf terpukul rata sehingga Alter Ego bisa menyelesaikan pertandingan tanpa harus memanfaatkan Lord.

Masuk game 2, Genflix Aerowolf bermain lebih agresif. Skor kill mereka unggul 12-8 di menit 6. Keunggulan tersebut menjadi secercah harapan. Ditambah lagi Watt dari Genflix Aerowolf juga memainkan Roger yang cenderung kuat pada fase akhir permainan, sementara Alter Ego tidak terlihat memiliki hero hard-carry yang tangguh. Tetapi nasib ternyata berkata lain, Alter Ego kembali menunjukkan permainan solid, salah satunya terlihat lewat permainan Benedetta dari Celliboy dan Johnson dari Ahmad yang begitu apik. Alter Ego pun melibas habis hero-hero Genflix Aerowolf di menit 13 dan langsung menyelesaikan pertandingan. 2-0 untuk Alter Ego.

Pertandingan kedua adalah antara AURA Fire melawan ONIC Esports. Seperti pertandingan sebelumnya, prediksi penggemar juga cenderung berat ke arah ONIC Esports mengingat hasil yang didapatkan dari kedua tim tersebut pada pekan lalu.

Game pertama, kondisi sudah tidak mengenenakkan bagi AURA Fire sejak menit ke-7. AURA mengalami seperangkat kondisi yang tidak mengenakkan, kalah net-worth 6k gold, kalah skor kill 5 poin, dan sudah kehabisan Turret terluar di ketiga lane. ONIC Esports juga bermain solid, terutama SANZ yang memainkan Yi Sun Shin. Akhirnya, dengan memanfaatkan semua keunggulan tersebut, ONIC tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan permainan.  ONIC Esports pun berhasil memenangkan pertandingan di menit 10:54 dengan satu kali dorongan Lord.

Sumber Gambar Utama - MPL Indonesia Official YouTube Channel
Sumber Gambar Utama – MPL Indonesia Official YouTube Channel

Pada game kedua AURA Fire berhasil mendapatkan early lead yang mereka butuhkan. Tapi sayangnya keunggulan tersebut runtuh dengan cukup cepat setelah ONIC Esports secara tenang membalikkan keadaan di menit 7. Pertandingan berlangsung sengit di game kedua bahkan sampai ada dua Lord yang diambil. Lord kedua sebenarnya didapatkan oleh AURA Fire, tapi VaanStrong dan kawan-kawan kalah teamfight di momen tersebut. Alhasil ONIC Esports langsung memanfaatkan momentum itu untuk menyelesaikan pertandingan. 2-0 untuk ONIC Esports.

Matchday 2 (Sabtu, 6 Maret 2021)

Setelah menutup pertandingan hari pertama, AURA Fire langsung bertanding lagi esok harinya sebagai pertandingan pembuka melawan Bigetron Alpha. AURA Fire memberikan perlawanan yang kuat kali ini. Walaupun Bigetron Alpha memenangkan game pertama, tapi AURA Fire tidak gentar pada game kedua. God1va dan kawan-kawan mendesak habis Bigetron Alpha di game kedua. Bigetron Alpha akhirnya tidak mampu lagi menahan gempuran setelah AURA Fire mendapatkan Lord kedua.

Masuk game ketiga, Bigetron Alpha unggul poin kill sebanyak 6 poin yang membuat mereka memimpin kendali pertandingan. Memanfaatkan keunggulan tersebut, Bigetron Alpha terus menggempur hingga ke bagian terdalam markas AURA Fire. Pertandingan akhirnya ditutup manis oleh Bigetron Alpha dengan kemenangan dan juga torehan Savage perdana MPL Indonesia Sesaon 7 oleh Branz dengan Yi Sun Shin.

Pertandingan berikutnya adalah antara Geek Fam ID melawan EVOS Legends. Matchup ini amatlah menarik. Geek Fam ID sedang panas karena berhasil mencuri satu kemenangan lawan RRQ Hoshi pekan lalu, walau akhirnya kalah 1-2. Sementara pada sisi lain EVOS Legends masih berusaha mencari line-up terbaiknya di awal pekan ini.

Sumber Gambar Utama - MPL Indonesia Official YouTube Channel
Sumber Gambar Utama – MPL Indonesia Official YouTube Channel

EVOS Legends berhasil mendapat kemenangannya di game pertama berkat permainan apik dari Luminaire dengan Selena. Masuk game kedua, giliran Geek Fam ID yang mengamuk di dalam pertandingan. Geek Fam ID menunjukkan permainan yang sabar, objektif, dan efisien. Alhasil mereka pun unggul 7 poin kill di menit 8. EVOS Legends berusaha bertahan sekuat mungkin dengan menggunakan strategi split push yang dilakuan oleh AntiMage. Namun gempuran Geek Fam ID terlalu kuat, game kedua pun berhasil diamankan oleh RenV atau Ipin dan kawan-kawan Geek Fam ID.

Momentum kemenangan dari game kedua ternyata berhasil dipertahankan oleh Geek Fam ID. Babywww dan kawan-kawan Geek Fam ID kembali menunjukan permainan yang sabar dengan mengedepankan objektif sehingga mereka hanya unggul 4 poin kill saja di menit 7. Perlahan tapi pasti, Geek Fam ID terus membangun momentum kemenangannya menit demi menit. Puncaknya ada di menit ke 13 saat Babyww sedang berusaha mengambil buff tapi berujung kepada teamfight besar yang dilanjut dengan gempuran meunju base EVOS Legends. Geek Fam pun menang 2-1 di pertandingan tersebut.

Dalam sesi wawancara pasca pertandingan, Ipin atau RenV mengakui bahwa dirinya dan kawan-kawan Geek Fam ID memang kurang sabar di beberapa pertandingan. “Makanya kami coba main lebih sabar dan lebih banyak pertimbangan di game-game setelahnya.” Tambah RenV menjelaskan bagaimana mereka bisa menang di game setelahnya. Saat ditanyakan soal menembus Playoff bersama Geek Fam ID, RenV pun menjawab. “Optimis banget Geek Fam ID bisa lolos playoff musim ini.”

Pertandingan terakhir di hari kedua adalah ONIC Esports melawan RRQ Hoshi. Pertandingan tersebut didapuk sebagai The Royal Derby. Karenanya pertandingan tersebut banyak dinanti dan diharapkan menyajikan pertempuran berkelas. ONIC Esports memulai game pertama dengan meyakinkan, lewat rotasi-rotasi agresif nan efektif yang dilakukan. Keunggulan tersebut membangun momentum yang sangat besar bagi ONIC Esports dengan keunggulan net-worth hingga 12k gold jelang menit 9. Keunggulan tersebut akhirnya dimanfaatkan SANZ dan kawan-kawan ONIC Esports untuk mendapatkan Lord dan segera menyelesaikan game pertama dengan kemenangan.

Masuk game kedua, RRQ Hoshi mulai menunjukkan perlawanan yang kuat di awal pertandingan. Namun ONIC Esports sendiri bermain dengan tenang sehingga mereka berhasil bertahan. Ketenangan tersebut ternyata membawa momentum yang positif sehingga ONIC Esports sudah menembus pertahanan RRQ Hoshi hingga ke dalam pada menit 14. Momentum tersebut dimanfaatkan secara maksimal oleh CW dan kawan-kawan ONIC Esports, mereka pun berhasil memenangkan game kedua setelah melibas 4 hero dari RRQ Hoshi.

Matchday 3 (Minggu, 7 Maret 2021)

Kali ini giliran Bigetron Alpha membuka pertandingan hari ketiga melawan RRQ Hoshi. Matchup ini diprediksi akan dimenangkan oleh Bigetron Alpha, mengingat hasil yang ditorehkan kedua tim pada pertandingan kemarin. RRQ Hoshi ternyata bermain dengan cukup solid di game pertamanya. Apalagi Pacquito dari R7 tampil dengan sangat mengerikan, beberapa kali bertahan hidup bahkan mencuri kill ketika dia terkena gank. Momentum positif tersebut pun dimanfaatkan maksimal oleh RRQ Hoshi dengan kemenangan di menit ke 13.

Sumber Gambar Utama - MPL Indonesia Official YouTube Channel
Sumber Gambar Utama – MPL Indonesia Official YouTube Channel

Masuk game kedua, giliran Bigetron Alpha yang membangun momentum positif di awal pertandingan. Tapi sayangnya Bigetron Alpha tidak bisa mempertahankan momentum tersebut saat jelang memasuki fase akhir permainan. Dua kali blunder oleh Bigetron Alpha tercipta jelang akhir permainan, sehingga RRQ Hoshi pun memenangkan game kedua. “Menurut gue sih momen saat berhasil mencuri Lord kedua dan pertarungan di mid saat Bigetron Alpha terpancing mengejar saya adalah dua blunder yang membuat kami jadi bisa memenangkan pertandingan.” Tutur Skylar pada wawancara pasca pertandingan.

Pertandingan berikutnya adalah antara Geek Fam ID melawan Genflix Aerowolf. Geek Fam kembali menunjukkan permainan yang baik hari ini. Game pertama, Geek Fam ID membangun momentum positif dari awal sampai akhir hingga menjadi sebuah kemenangan. Kesuksesan Geek Fam tersebut berhasil diulang kembali di game kedua, apalagi ditambah dengan permainan Hayabusa yang apik dari Babywww. Geek Fam ID pun berhasil mendapatkan kemenangan 2-0.

Sumber Gambar Utama – MPL Indonesia Official YouTube Channel.

Berbagai Cara yang Bisa Dilakukan Brand untuk Penetrasi ke Pasar Esports

Fenomena pertandingan esports hampir menjadi fenomena mainstream di kalangan anak muda. Bukti atas hal tersebut mungkin salah satunya bisa kita lihat dari banyaknya jumlah penonton atas tayangan-tayangan esports. Besarnya penonton esports game PUBG Mobile dan Mobile Legends Bang Bang bisa jadi dua contoh yang menunjukkan besarnya minat gamers Indonesia terhadap pertandingan esports. Kondisi tersebut secara tidak langsung membuat ekosistem esports jadi medium branding yang cukup menjanjikan. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas seputar berbagai cara brand bisa masuk ke dalam ekosistem esports serta sedikit analisis soal apa yang jadi kelebihan serta kekurangan dari masing-masing metode. Pembahasan ini juga menyertakan narasumber terkait demi mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap peluang-peluang terkait. Berikut pembahasannya.

 

Melalui Liga atau Turnamen Official

Saya sudah sempat membahas singkat metode masuk ke ekosistem esports dalam artikel skema ekosistem esports. Dari sana kita juga sudah bisa melihat elemen mana saja yang punya kesempatan berkolaborasi dengan brand. Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas lebih dalam kesempatan bagi brand untuk berkolaborasi dengan elemen-elemen terkait.

Metode pertama yang akan saya bahas adalah melalui liga atau turnamen official. Opsi ini memang saya tempatkan paling pertama karena bisa dikatakan sebagai opsi dengan nilai tertinggi. Kalau disamakan dengan industri sepak bola, mensponsori liga utama ibarat seperti mensponsori English Premiere League atau mungkin La Liga di Spanyol.

Sepanjang perkembangan esports, liga utama menjadi kasta yang paling atas di ekosistem esports salah satunya karena hanya menyajikan pertandingan tim dan pemain. Hal tersebut menjadi daya tarik yang membuat kebanyakan penggemar game terkait cenderung lebih tertarik menyaksikan liga utama ketimbang kompetisi lainnya.

Dalam esports, liga dan turnamen kasta utama biasanya melibatkan perusahaan yang mengembangkan game terkait. Sebagai contohnya yaitu Moonton dalam liga MLBB Professional League, Tencent dalam liga PUBG Mobile Professional League, atau Garena Indonesia dalam liga Free Fire Master League. Lalu apa saja bentuk kesempatan kerja sama bagi brand yang terbuka dari liga official?

Azwin Nugraha PR Manager Esports dari Moonton. Sumber Gambar - Esports.id
Azwin Nugraha PR Manager Esports dari Moonton. Sumber Gambar – Esports.id

Untuk membahas hal tersebut, saya menggunakan MPL sebagai salah satu contoh. Azwin Nugraha selaku PR Manager Esports Moonton menjadi narasumber saya dalam membahas kesempatan-kesempatan kolaborasi yang terbuka dengan MPL Indonesia. “Liga MPL membuka beberapa kesempatan kerja sama. Ada sponsorship yang memiliki beberapa tingkatan. Ada kerja sama dalam bentuk partnership dengan value yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Ada kerja sama dalam bentuk barter yang punya ragam pilihan entah itu barter dalam bentuk barang fisik ataupun media promosi.” Tutur Azwin membuka pembahasan.

Dalam hal sponsorship dengan MPL Indonesia, Azwin lalu menjelaskan lebih lanjut. “Kami punya tiga tingkatan sponsorship di MPL Indonesia. Tingkat pertama dan merupakan yang tertinggi adalah Presenting Sponsor yang hanya tersedia untuk satu sponsor saja. Tingkat kedua adalah Official Sponsor yang tersedia untuk 4 sponsor. Tingkat ketiga adalah Partner in Esports yang hanya bisa diberikan kepada beberapa brand dengan kondisi tertentu.”

Sumber Gambar - MPL Indonesia Official YouTube Channel
Mandiri Lord Cam, contoh bentuk penyajian momen penting pertandingan oleh sponsor di MPL Indonesia. Sumber Gambar – MPL Indonesia Official YouTube Channel

“Masing-masing tingkatan tersebut punya tiga aspek perbedaan. Pertama adalah standar harga yang ditawarkan dengan harga tertinggi di level Presenting Sponsor, dilanjut Official Sponsor, dan Partner in Esports. Jumlah dan frekuensi benefit yang diberikan juga berbeda tergantung dari tingkatan tersebut. Perbedaan terakhir adalah value sponsorship yang didapatkan.” Azwin melanjutkan.

Berdasarkan dari apa yang terlihat, MPL Indonesia menampilkan sponsor-sponsornya di beberapa aset media milik liga. Beberapa spot yang bisa kita lihat jelas yaitu seperti postingan media sosial, website resmi, elemen-elemen di dalam venue pertandingan (panggung, player desk, caster desk, dsb), elemen-elemen di dalam game, momen penting pertandingan (Lord Cam, MVP highlight, player highlight, dan sebagainya), serta side-content dari pertandingan itu sendiri (MPL Quickie contohnya).

Semakin tinggi tingkat sponsorship, maka akan semakin sering brand tersebut tampil di dalam pertandingan. Sejauh pengamatan saya, Bank Mandiri dan Samsung Galaxy A Series adalah dua sponsor yang mendapat jatah tersebut. Selain tampil di laman resmi, Bank Mandiri juga mempersembahkan momen Lord Cam, serta Player Highlight di dalam konten media sosial. Sementara pada sisi lain Samsung  menjadi brand yang mempersembahkan sosok MVP di dalam tayangan pertandingan dan konten media sosial.

MVP by Samsung Galaxy
Samsung Galaxy A Series juga terlihat tampil menyajikan momen penting pertandingan, yaitu pada saat menyajikan sosok pemain yang menjadi MVP. Sumber Gambar – MPL Indonesia Official YouTube Channel.

Terakhir saya juga menanyakan kelebihan MPL sebagai salah satu media kolaborasi/kerja sama/sponsorship dan hal-hal yang menjadi tantangan. Azwin lalu menjelaskan kelebihannya, terutama dari sisi segmentasi. “Salah satu bentuk kelebihan MPL Indonesia adalah kami memiliki khalayak gamers yang beragam mulai dari usia, tingkat ekonomi, gender, maupun status sosial. Tapi pada dasarnya, target khalayak MPL sendiri adalah para Gen Z dan Millenial.”

Lalu selain itu seperti yang saya sebut di awal, bahwa liga utama cenderung menjadi pertandingan yang dinanti kebanyakan penggemar game terkait. Karenanya jumlah penonton dari liga utama cenderung lebih banyak ketimbang dari bentuk kompetisi lainnya. Dalam kasus MLBB, contoh keperkasaan liga MPL bisa kita lihat pada bulan Juli 2020 lalu ketika pertandingan MPL Invitational yang penontonnya didominasi tayangan berbahasa Indonesia bisa menyalip pertandingan liga LoL Korea yang penontonnya didominasi tayangan berbahasa Inggris.

“Kalau ditanya kelebihannya, menurut saya adalah dari sisi reach dan exposure pertandingan MPL itu sendiri. Sejauh ini penayangan MPL yang dilakukan melalui berbagai macam platform digital tergolong mendapatkan hasil yang sangat baik dan menunjukkan peningkatan di setiap musim pertandingannya.” Tutur Azwin menjelaskan kelebihan MPL Indonesia sebagai salah satu media kolaborasi bagi para brand.

Namun liga kasta utama baru salah satu opsi dan MPL juga salah satu spektrum dari ragam liga utama game lain yang ada di esports. Game yang berbeda tentunya memberikan kesempatan yang berbeda lagi bagi brand untuk bisa masuk ke dalamnya. Masih ada medium kolaborasi lain sebagai opsi bagi para brand untuk bisa masuk ke dalam khalayak gaming. Berikutnya adalah melalui turnamen pihak ketiga.

 

Membuat Turnamen Sendiri (3rd Party Tournament)

Selain melebur dengan liga utama, brand juga memiliki kesempatan berkolaborasi dengan turnamen pihak ketiga. Brand juga bisa terlibat dengan turnamen pihak ketiga dalam dua bentuk, melebur dengan turnamen pihak ketiga yang diadakan oleh organizer lain atau menyelenggarakan turnamen dengan branding sendiri.

Dalam artikel ini, saya menggunakan Telkomsel sebagai contoh. Telkomsel sebenarnya bukan cuma membuat turnamen sendiri saja, tapi juga tampil dalam berbagai macam bentuk di dalam ekosistem esports. Melalui branding Dunia Games (DG), Telkomsel bisa dibilang sudah hampir punya satu ekosistem penuh di dalam esports. Telkomsel memiliki beberapa elemen sekaligus, mulai dari tim esports sendiri yang bernama DG Esports, website duniagames.co.id yang menjadi pusat aktivitas terkait gaming (berita, platform turnamen esports digital, dan digital payment untuk gaming), sampai turnamen sendiri (Indonesia Games Championship, DG League, DG Waktu Indonesia Bermain).

DG League, turnamen esports buatan Telkomsel dengan menggunakan branding Dunia Games. Sumber Gambar - DG League Official.
DG League, turnamen esports buatan Telkomsel dengan menggunakan branding Dunia Games. Sumber Gambar – DG League Official.

Membahas bagaimana dan kenapa Telkomsel memilih untuk menggaungkan branding DG ketimbang jadi sponsor di medium esports lain, saya pun berbincang dengan Rezaly Surya Afhany selaku Esports Manager Telkomsel. Membuka pembahasan, Rezaly pun menjelaskan. “Sebenarnya Telkomsel dan Dunia Games juga melakukan activity sponsorship ke mitra kerja lain. Tetapi memang kami akui kegiatannya cenderung kurang terlihat ketimbang brand activity yang kami lakukan secara mandiri.”

Lebih lanjut, Rezaly lalu menjelaskan beberapa alasan yang membuat Telkomsel memilih investasi membangun ekosistem esports sendiri ketimbang sekadar menjadi sponsor saja. “Kalau menurut saya, fleksibilitas bisa dibilang menjadi alasan kunci kami membuat ekosistem esports sendiri di luar dari sponsorship. Walaupun memang pada akhirnya, Telkomsel juga berusaha untuk hadir di industri esports dalam berbagai bentuk mulai dari sponsor, ekhibitor, media, publishing, bahkan sebagai tim esports.”

Memang pada awal-awal kemunculannya, Telkomsel juga sempat menjadi sponsor bagi beberapa ekosistem di dalam esports. Telkomsel sempat mensponsori tim lewat Elite8 yang dahulu punya reputasi kuat di kancah game Vainglory. Mereka mensponsori liga kasta utama lewat Arena of Valor Star League Season 1. Namun setelahnya Telkomsel terlihat lebih gencar membangun dan mengembangkan ekosistem Dunia Games ketimbang sekadar menjadi sponsor saja.

Selain memiliki turnamen, Dunia Games juga punya tim esports sendiri dengan nama DG Esports. Sumber Gambar - Instagram resmi DG Esports.
Selain memiliki turnamen, Dunia Games juga punya tim esports sendiri dengan nama DG Esports. Sumber Gambar – Instagram resmi DG Esports.

Rezaly lalu menjelaskan alasan lain Telkomsel membangun ekosistem serta branding Dunia Games. “Postifnya dari membuat ekosistem sendiri adalah kami bisa mengamati ekosistem esports secara lebih nyata dan lebih dalam. Kami dapat mengamati bagian apa dari value chain di esports yang bisa tumbuh secara organik ataupun mengantisipasi tantangan dari dinamika industri esport maupun games.  Di luar dari itu kami juga mencoba untuk terus menghidupkan passion atas  games dan esports di internal perusahaan, group parent company, bahkan mitra kerja. Harapannya adalah apabila semua pihak berkecimpung turut excited dalam membangun ide-idenya di esports, maka ke depannya kita jadi lebih mudah memonetisasi dan membuat ekosistem esports terus bertumbuh.”

Sebagai perusahaan telekomunikasi, Telkomsel memang tergolong sebagai brand endemik ekosistem esports. Bagaimanapun, jaringan telekomunikasi adalah kebutuhan primer para gamers untuk bisa mengakses game esports yang mereka mainkan. Namun melihat gaming dan esports yang terus berkembang, sebenarnya jadi tidak heran apabila Telkomsel berinvestasi lebih dalam di ekosistem ini. Harapan akhirnya tentu saja adalah untuk melakukan diversifikasi produk, dari sekadar menyediakan jasa telekomunikasi menjadi penyedia berbagai hal yang dibutuhkan oleh ekosistem esports.

Rezaly lalu menjelaskan lebih lanjut soal ekosistem DuniaGames. “Sebagai prominent digital telecomunication company juga digital games payment channel in the region, kami berusaha hadir di setiap lini aktivitas gaming. Beberapa contohnya seperti menyediakan paket data khusus gamers, memberi akses konversi pulsa menjadi voucher game, mem-publish beberapa judul game, sampai menyajikan esports event dan media. Setiap aktivitas tersebut sebisa mungkin kami lakukan secara terintegrasi sambil berusaha memberikan pengalaman digital dan pengalaman berkomunikasi yang terbaik serta terjangkau bagi masyarakat.”

Rezaly Surya Afhany, Esports Manager di Telkomsel. Sumber: Official Dunia Games
Rezaly Surya Afhany, Esports Manager di Telkomsel. Sumber: Official Dunia Games

Mengakhiri perbincangan saya lalu menanyakan soal keuntungan serta hal yang menjadi tantangan dengan membangun ekosistem tersendiri. “Kalau soal kelebihan membangun ekosistem sendiri, apa yang saya lihat adalah kami jadi bisa membangun pertumbuhan bisnis yang lebih organik dan diharapkan bisa sustain dalam jangka panjang. Selain itu menurut pandangan saya, membangun ekosistem sendiri juga membuat kami jadi lebih tangguh dan lebih mudah adaptasi ketika saat tren game baru ataupun tren bisnis model baru muncul di esports.”

Seperti yang disebut oleh Rezaly tadi, salah satu keuntungan menciptakan branding esports sendiri seperti apa yang dilakukan oleh Telkomsel adalah fleksibilitas. Namun juga seperti yang saya jelaskan tadi, keuntungan tersebut sebenarnya juga diperkuat oleh posisi Telkomsel yang merupakan brand endemik di ekosistem esports.

Hal tersebut mungkin akan beda cerita apabila Anda adalah brand non-endemik yang lini bisnis utamanya tidak memiliki hubungan langsung dengan ekosistem esports (bisnis fashion, food and beverage, atau kosmetik misalnya). Membuat turnamen esports dengan nama sendiri dengan dibantu oleh esports organizer mungkin masih bisa jadi opsi yang baik. Tetapi meniru seperti apa yang dilakukan Telkomsel dengan Dunia Games sepertinya akan membutuhkan modal investasi (uang, waktu, dan tenaga) yang terlalu besar bagi brand non-endemik.

 

Berkolaborasi Dengan Tim Esports

Setelah membuat atau mensponsori sebuah turnamen, menjadi sponsor tim esports juga bisa menjadi salah satu pilihan bagi brand yang ingin melakukan penetrasi ke pasar esports. Mensponsori tim di esports sebenarnya bisa jadi proses yang membingungkan bagi sebuah brand. Salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya jumlah tim di ekosistem esports dan banyaknya pilihan game yang dipertandingkan. Ditambah lagi, sudah timnya banyak, tidak semua tim tersebut juga punya roster di semua lini game esports. Beberapa tim mungkin hanya bertanding di esports PUBG Mobile saja tapi tidak bertanding di Mobile Legends. Tapi ada juga contoh paling ideal seperti RRQ dan EVOS yang punya divisi hampir pada setiap lini game esports Indonesia.

Untuk pembahasan ini saya menggunakan Alter Ego sebagai contoh. Tim Alter Ego sendiri bisa dibilang sebagai salah satu tim esports besar di Indonesia. Sejauh pengamatan saya, Alter Ego saat ini sedang cukup kuat di 3 lini game esports yaitu Mobile Legends Bang Bang, PUBG Mobile, dan VALORANT. Untuk itu saya pun mewawancara Indra Hadiyanto selaku COO dari Alter Ego.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO

Membuka pembahasan, saya pun menanyakan kesempatan kolaborasi apa yang terbuka dengan tim esports seperti Alter Ego. “Kalau bicara peluang, jawabannya sebenarnya bisa banyak sekali. Bisa sekadar branding, bisa juga konten, bisa juga buat turnamen ataupun kerja sama lainnya yang tak kalah menarik, kolaborasi membuat produk misalnya.” Indra menjelaskan.

Selain bergerak sebagai tim esports, Alter Ego sendiri memang juga memiliki sister company yang bergerak di bidang esports organizer bernama Supreme Leauge. Karenanya jadi tidak heran bila Indra menjelaskan membuat turnamen juga bisa jadi alternatif kolaborasi lainnya. Tetapi tidak semua tim esports punya lini bisnis seperti Alter Ego. Ada juga tim esports yang fokus dan melakukan diversifikasi ke arah talent management. Penasaran dengan bentuk kolaborasi spesifik yang bisa dikerjakan bersama dengan tim esports, saya pun menanyakan apa saja ragam sponsorship yang tersedia di Alter Ego.

Indra pun menjelaskan. “Sponsorship di Alter Ego punya tiga tingkat. Dalam hal penempatan logo di jersey, tiga tingkat tersebut adalah logo dada sebagai yang paling tinggi, dilanjut dengan logo pundak, lalu logo punggung sebagai tingkat yang paling rendah.” Setelahnya Indra pun melanjutkan soal variasi nilai investasi dari masing-masing bentuk sponsorship tersebut.

“Walaupun ada tingkatan posisi logo, namun biayanya tetap tergantung kepada bentuk kolaborasi yang ingin dilakukan brand bersama Alter Ego selama satu tahun ke depan. Jadi semisal ada dua brand yang sama-sama berposisi sebagai logo dada, harga sponsorship-nya bisa jadi beda. Kenapa jadi beda? Karena misalnya ada permintaan lebih dari sponsor terkait, entah itu melakukan gathering community atau pemakaian talent pemain untuk campaign besar.” Tutur Indra menjelaskan lebih lanjut.

Terakhir saya juga menanyakan soal apa yang jadi kelebihan serta tantangan dari kolaborasi-kolaborasi seperti ini. “Tentunya untuk reach ke generasi muda.” Jawab Indra membuka pembahasan. “Menurut pandangan saya esports punya tren pasar sendiri dan punya market yang cukup loyal. Ditambah market esports itu kadang juga latah. Misalnya seorang JessNoLimit pakai keyboard merk tertentu, maka followersnya juga akan ikut beli produk tersebut. Pengaruhnya pun tidak terbatas hanya kepada gaming gadget saja, tapi juga termasuk pada aspek-aspek lain, dari segi fashion misal.” Tutur Indra.

Sumber Gambar - Alter Ego Official Instagram.
Kerja sama Alter Ego dengan BonCabe. Sumber Gambar – Alter Ego Official Instagram.

“Kalau soal tantangan, menurut pandangan saya dari sisi Alter Ego sih lebih ke arah mencari cara yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan client bisa tersampaikan secara tepat kepada fans kami. Selain itu challenge lainnya juga termasuk bagaimana caranya meningkatkan branding tim Alter Ego supaya bisa menarik lebih banyak fans dengan harapan bisa meningkatkan sales, gimana juga cara membuat konten untuk brand jadi lebih berkualitas dengan sponsorship terkait, dan lain sebagainya. Kurang lebihnya sih itu tantangannya. Memang paling banyak adalah dari sisi bagaimana cara agar brand jadi suka sehingga setuju untuk kontrak jangka panjang.” Indra menjelaskan soal tantangan kolaborasi dengan brand dari sisi Alter Ego.

Ibarat mensponsori tim sepak bola, salah satu kelebihan mensponsori tim esports menurut saya adalah bentuk identifikasi yang kuat kepada brand terkait. Misalnya ketika menjadi sponsor tim yang sering menjadi juara, maka kemungkinan brand produk Anda akan dianggap memiliki ciri-ciri sebagai produk terbaik, berkualitas bagus, dan hanya para juara yang mau menggunakannya.

Namun pada sisi lain, bekerja sama dengan tim esports juga memberikan tantangan lain bagi brand. Salah satu tantangannya mungkin adalah ketidakstabilan iklim kompetisi esports. Dalam sepak bola saja, tim yang sedang bagus-bagusnya bisa anjlok kapanpun tanpa diduga. Dalam esports bisa jadi lebih parah. Tidak hanya anjlok, bahkan bisa jadi bubar, dan roster pemain terkuatnya hilang begitu saja. Untungnya tiga game esports besar di Indonesia (Mobile Legends: Bang-Bang, PUBG Mobile, dan Free Fire) masing-masing sudah punya kompetisi dengan format liga yang membuat tim esports kini jadi bisa lebih stabil posisinya. Namun tetap tidak menutup kemungkinan bagi sebuah tim yang sedang di atas angin bisa tiba-tiba menurun performanya.

 

Kerja Sama Dengan Influencer Esports

Seperti kebanyakan industri entertainment, kerja sama dengan Key Opinion Leader (KOL) juga merupakan salah satu pilihan. Kalau disamakan dengan industri olahraga, kerja sama ini ibarat Nike mensponsori Christiano Ronaldo. Dalam ekosistem esports, pilihan KOL yang sangat beragam mungkin bisa dibilang jadi keuntungan (atau justru tantangan?) bagi brand. Selain dengan pemain, Anda juga bisa melakukan kerja sama dengan shoutcasters, game streamers, ataupun cosplayers yang masih memiliki kedekatan dengan ekosistem gaming/esports.

Dalam pembahasan ini saya mewawancarai Florian “Wolfy” George, sosok shoutcaster ternama di dalam skena esports PUBG Mobile Indonesia. Membuka pembahasan, saya menanyakan soal peluang, ragam jenis, serta tingkatan kerja sama yang bisa dilakukan dengan sosok Key Opinion Leader di esports.

Wofly pun menjelaskan. “Peluang utama tentunya adalah bisa engage dengan follower KOL terkait secara langsung ataupun tidak langsung. Engagement yang dibangun bahkan bisa menjadi ciri khas tersendiri apabila dibangun berbarengan dengan berkembangnya KOL terkait. Lalu kalau bicara tingkat kerja sama, tentunya ada beberapa tingkatan mulai dari yang paling rendah adalah sekadar posting, story, atau konten, hingga yang paling tinggi adalah proyek jangka panjang seperti campaign ataupun menjadi brand ambassador.” Tutur Wolfy.

Memang kalau bicara kerja sama dengan KOL, esports punya metode yang tergolong tidak jauh beda dengan bidang KOL lainnya. Mungkin satu-satunya yang membedakan adalah dari sisi segmentasinya yang fokus kepada anak muda, terutama anak muda yang memilih gaming dan esports sebagai salah satu aktivitas pengisi waktu luang favoritnya.

“Kalau menurut saya, memang kerja sama antara satu brand dengan suatu KOL itu selalu unik. Kenapa begitu? Karena saya merasa setiap brand dan KOL memiliki warnanya masing-masing. Karenanya kalau ditanya apakah bisa bekerja sama dalam bentuk lain selain dari posting, story, ataupun campaign, maka jawabannya iya. Karenanya menurut saya bentuk kerja sama yang efektif antara KOL dengan brand yang satu bisa beda dengan yang lain.” Ucap Wolfy.

Sumber Gambar - Instagram Florian "Wolfy"
Kerja sama antara Wolfy dengan brand audio JBL dalam mempromosikan lini headset gaming terbarunya. Sumber Gambar – Instagram Florian “Wolfy” George.

Menutup pembahasan, saya juga menanyakan pendapat Wolfy soal kelebihan dan kekurangan dari bekerja sama dengan KOL esports. “Kalau bicara kelebihan, gue merasa kehadiran brand mendukung seorang KOL bisa membantu mereka (KOL) untuk meningkatkan kualitas dari ide yang memang digaungkan sejak awal. Sementara itu kalau bicara kekurangan serta tantangannya, salah satunya mungkin adalah dari segi segmentasi pasar. KOL esports cenderung besar di satu game saja. Alhasil akan menjadi tantangan tersendiri bagi brand apabila tujuannya adalah ingin mentarget beberapa game sekaligus.”

Seperti yang saya sebut di awal salah satu kelebihan (yang mungkin juga jadi kekurangan) dari KOL esports adalah spesialisasinya. Karena fokus dan spesifik, KOL esports cenderung lebih dekat dengan komunitas yang dibangunnya ketimbang medium lainnya. Tetapi seperti yang disebut Wolfy, rata-rata KOL fokus atau cenderung besar di salah satu jenis game saja.

Karenanya medium KOL mungkin akan lebih baik dilakukan untuk kerja sama kecil yang fokus dan cocok dengan segmentasi dari KOL terkait. Kalau berdasarkan bayangan saya mungkin seperti ini: Produk audio akan cocok bekerja sama dengan KOL esports PUBG Mobile. Salah satu penyebabnya adalah karena bermain PUBG Mobile butuh kualitas audio yang baik, sehingga tercipta keselarasan dari kolaborasi yang dilakukannya. Alternatif lainnya, apabila ingin menjangkau khalayak gamers secara umum, maka mungkin akan lebih tepat sasaran apabila sebuah brand menggandeng beberapa KOL gaming dengan segmentasi yang berbeda-beda sekaligus agar pesan yang diinginkan bisa menjangkau lebih banyak orang.

 

Melalui In-Game Sponsorship

Medium terakhir yang saya sebut sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk kerja sama terbaru yang ada di dalam ranah gaming/esports. Bentuk kerja sama tersebut adalah melalui in-game sponsorship. In-game sponsorship yang saya maksud di sini sebenarnya bukan sekadar meletakkan logo brand di dalam elemen permainan pada pertandingan esports. In-game sponsorship yang saya maksud adalah menyertakan brand ke dalam game-nya itu sendiri.

Salah satu contoh yang paling dekat kehadirannya mungkin adalah beberapa kolaborasi yang dilakukan Garena pada game-game yang mereka terbitkan. Garena menjadi contoh karena publisher game tersebut yang memang begitu aktif melakukan berbagai kolaborasi konten untuk game yang mereka terbitkan. Bulan Agustus 2020 lalu saya sempat membuat daftar kolaborasi apa saja yang pernah dilakukan Garena.

Dari artikel tersebut Anda bisa melihat beberapa contohnya seperti kolaborasi game AOV dengan Fruit Tea, Wiro Sableng, ataupun dengan DC Comics. Namun tidak semua kolaborasi yang saya masukan dalam daftar bisa dikatakan berbentuk sponsorship. Walaupun Garena tidak menjelaskan lebih terperinci, namun saya mengamati bahwa kerja sama tersebut sebenarnya lebih cenderung ke arah partnership.

Tetapi bukan berarti Garena tidak pernah melakukan kerja sama in-game sponsorship dengan satu brand. Salah satu contoh yang terlihat jelas adalah penampilan maskot makanan cepat saji KFC yaitu Colonel Sanders sebagai skin di dalam Arena of Valor di Taiwan. Mengutip dari Fanbyte.com, dikatakan bahwa kerja sama tersebut merupakan salah satu bentuk kerja sama promosional antar keduanya. Dalam kerja sama tersebut, pemain yang membeli paket makanan spesial dengan harga sekitar US$5 akan mendapatkan sebuah gacha box yang salah satu isinya adalah skin Colonel Sanders untuk karakter Ormarr. Selain dari skin karakter, ada juga beberapa elemen game bertema KFC lainnya yang mungkin didapatkan pemain seperti Recall Effect, Kill Effect, atau Sprinting Trail Effect.

Kerja sama Garena dengan KFC hanya salah satu contoh saja. Seiring dengan perkembangan esports, kita juga bisa melihat beberapa bentuk sponsorship ini melalui kerja sama seperti Bathing Ape (produk fashion streetwear) dengan PUBG Mobile, Tesla dengan PUBG Mobile di Tiongkok, ataupun Louis Vuitton dengan League of Legends yang juga tampil lewat skin Prestige karakter Qiyana.

Sumber: League of Legends Official
Sumber: League of Legends Official

Kolaborasi kerja sama dalam bentuk ini mungkin bisa dibilang sebagai salah satu bentuk yang paling menarik bagi brand. Bagaimana tidak, kapan lagi produk Anda bisa mendapat kesempatan tampil secara langsung di dalam game. Karenanya bentuk kolaborasi ini mungkin akan lebih cocok dilakukan bagi brand-brand yang memang memiliki produk fisik untuk dijual seperti fashion, atau mungkin food and beverage.

Namun, dalam konteks Indonesia, salah satu kekurangan dan juga tantangan dalam melakukan kolaborasi seperti ini adalah minimnya jumlah developer/publisher game yang beroperasi langsung di Indonesia. Selain itu, menurut saya belum tentu juga semua developer game mau melakukan bentuk kolaborasi seperti ini. Bagaimanapun, sponsorship seperti ini bisa dibilang sebagai bentuk “hard-selling“. Karenanya beberapa developer bisa jadi tidak ingin melakukan bentuk kerja sama terkait karena khawatir sponsorship seperti ini akan mengganggu pengalaman bermain para pelanggan setianya.

 

Poin-poin yang saya sebut di atas tentunya hanya sebagian contoh saja, namun merupakan beberapa elemen pokok di dalam ekosistem esports. Elemen terkait yang saya ajak menjadi narasumber juga hanya menjadi sebagian contoh dari berbagai spektrum dari elemen terkait yang ada di esports. Semoga artikel ini dapat membantu Anda selaku brand untuk memahami gambaran kasar dalam melakukan penetrasi pasar ke esports.