Tergerus Konflik Antar Founder, Echo Fox Akhirnya Dikabarkan Bubar

Echo Fox adalah salah satu nama yang cukup besar di dunia esports, akan tetapi situasi organisasi ini di tahun 2019 cukup memprihatinkan. Keanggotaan mereka dalam League of Legends Championship Series (LCS) telah dihapus oleh Riot Games karena kasus rasisme, para founder berseteru, dan sejumlah masalah yang menerpa organisasi ini mencakup tuduhan penyelewangan dana hingga hutang jutaan dolar pada investor.

Ulrich Alexander Fox alias Rick Fox, sang pendiri Echo Fox, beberapa waktu lalu akhirnya memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut, meninggalkan co-founder lainnya seperti Amit Raizada dan Stratton Sclavos. Perselisihan antara para founder ini pada akhirnya berujung damai, namun kondisi Echo Fox sudah terlanjur kacau balau. Puncaknya, kini organisasi Echo Fox dikabarkan telah 100% bubar.

Rick Fox
Rick Fox, mantan CEO Echo Fox | Sumber: Dot Esports

Berita tersebut datang dari salah seorang juru bicara investor yang diwawancara oleh media WIN.gg. Secara resmi Echo Fox maupun Vision Esports (perusahaan shareholder Echo Fox) belum mengeluarkan pernyataan, tapi narasumber tersebut menyatakan bahwa organisasi ini benar-benar telah bubar. “Sudah tidak ada lagi Echo Fox. (Echo Fox) sudah hilang,” ujarnya. “Seluruh pemain telah dilepaskan. Para staf sudah diputus kontrak. Logo dan seragam (Echo Fox) sekarang jadi barang kolektor.”

Kondisi Echo Fox sebenarnya sudah cukup kritis semenjak tim tersebut kehilangan slot LCS. Saat itu Riot Games menjual slot milik Echo Fox kepada Evil Geniuses untuk harga yang terlampau rendah, yaitu US$30.000.000 (sekitar Rp421,4 miliar). Ditambah lagi saat itu Echo Fox hanya memiliki likuiditas (uang kas) sebesar US$5.000.000 saja. Padahal biaya operasional yang harus mereka keluarkan untuk membayar atlet dan staf setiap bulannya mencapai kurang lebih US$500.000.

EVO 2019 - SSBU Champion
MKLeo, juara EVO 2019 | Sumber: Echo Fox

Memang masih ada beberapa atlet Echo Fox yang menunjukkan performa gemilang di kancah esports, contohnya SonicFox (Dominique McLean) dan MKLeo (Leonardo Lopez Perez). Keduanya berhasil meraih juara di EVO 2019 kemarin, SonicFox di Mortal Kombat 11 dan MKLeo di Super Smash Bros. Ultimate. Namun Echo Fox sudah tidak punya uang untuk membayar gaji mereka.

Sang narasumber memaparkan bahwa selama ini Rick Fox memang berhasil dalam hal membangun tim yang dinamis, juga ahli dalam urusan humas. Tapi di bawah kepemimpinan Rick Fox sebagai CEO, organisasi ini gagal secara finansial. Rick Fox bahkan disebut sebagai “bencana berjalan” karena caranya mengatur keuangan.

Saat ini Rick Fox sudah tidak lagi ada di Echo Fox, tapi para investor/partner organisasi ini belum punya keinginan untuk terus melanjutkan brand Echo Fox. Mereka masih ingin terlibat dalam dunia esports, namun belum jelas seperti apa wujudnya. Membangun ulang Echo Fox bukan hal mustahil, akan tetapi butuh proses besar, sama saja seperti membangun organisasi baru. Jadi Echo Fox benar-benar telah tiada, setidaknya untuk sekarang.

Terlepas dari kasus-kasus kontroversinya, nama Echo Fox akan selalu punya tempat spesial di dunia esports terutama komunitas fighting game. Echo Fox adalah salah satu organisasi yang mendukung sejumlah pemain fighting game veteran sejak lama, dan telah berkontribusi mendorong perkembangan ekosistem esports genre ini. Beberapa pemain hebat yang pernah mengenakan jersey Echo Fox antara lain Tokido, Justin Wong, NuckleDu, Momochi, Punk, Chocoblanka, JDCR, dan masih banyak lagi.

Sumber: WIN.gg

Pengaruh Olimpiade Tokyo 2020 pada Roadmap Pengembangan Street Fighter V

Street Fighter V, di antara sekian banyak judul fighting game yang beredar di generasi console PS4, mungkin adalah yang paling banyak mengalami naik-turun dalam perjalanannya. Ketika pertama dirilis pada tahun 2016, banyak pihak yang kecewa dengan game ini karena berbagai hal, mulai dari roster yang kurang padat, netcode bermasalah, hingga minimnya konten dan fitur. Namun Capcom terus memberikan update dan konten baru dalam wujud DLC (gratis maupun berbayar), hingga kini Street Fighter V sudah jadi game “gemuk” yang layak bersanding dengan judul-judul populer lainnya.

Yoshinori Ono, Executive Produser seri Street Fighter, belum lama ini menceritakan beberapa hal menarik dari perjalanan seri tersebut di era Street Fighter IV dan Street Fighter V dalam wawancara bersama Eurogamer. Ia juga mengungkap kendala yang sedang dihadapi Capcom saat ini, rencana untuk Street Fighter V ke depannya, serta bagaimana ekosistem esports mempengaruhi roadmap pengembangan game tersebut. Terutama ajang Intel World Open yang merupakan acara pembuka Olimpiade Tokyo 2020. Berikut ini beberapa poin yang ia sampaikan.

Capcom sempat menolak pengembangan Street Fighter IV

Hal yang satu ini mungkin sudah jadi pengetahuan umum di kalangan penggemar berat Street Fighter. Yoshinori Ono adalah tokoh yang sudah lama sekali berkecimpung di Capcom, bahkan ia mendapat julukan “Mr. Street Fighter” di perusahaan itu. Ia sempat merasakan masa jaya fighting game di era 90an, tapi kemudian fighting game mengalami masa penurunan di era tahun 2000an.

(Anda bisa membaca pembahasan lengkap sejarah ini di artikel berikut: Fighting Game Esports – Sejarah, Tokoh, dan Perkembangannya)

Ketika dunia fighting game sedang “gersang” itu, Capcom sama sekali tidak berminat merilis Street Fighter IV. Karena itulah ada rentang waktu yang sangat panjang antara perilisan Street Fighter III: 3rd Strike ke Street Fighter IV, hampir 10 tahun. Ono bahkan berkata, “Sebagai sebuah perusahaan, Capcom secara umum sudah tidak membuat fighting game lagi. Sudah 99,9% diputuskan bahwa era fighting game telah tamat dan kami pun bergerak ke hal-hal lain.”

Ultra Street Fighter IV
Street Fighter IV, era kebangkitan fighting game modern | Sumber: The Fighters Generation

Tapi kemudian Ono melihat fenomena yang aneh. Ketika ia sedang mengerjakan game Onimusha, ia menemukan bahwa ke mana pun ia pergi, orang-orang selalu bertanya tentang Street Fighter baru. Ono pun berusaha meyakinkan petinggi-petinggi Capcom pada masa itu (termasuk salah satunya Keiji Inafune) untuk membuat Street Fighter lagi. Ono punya ide bagaimana cara menghadirkan Street Fighter dan membuatnya populer.

“Andai hasilnya tidak sebagus itu, mungkin saya sudah dipecat… Saya bersyukur Street Fighter IV bisa sedemikian laris,” ujar Ono.

NetherRealm Studios ingin karakter Street Fighter masuk Mortal Kombat

Ed Boon, Creative Director di NetherRealm Studios, ternyata sempat meminta izin kepada Capcom untuk memasukkan salah satu karakter Street Fighter ke Mortal Kombat. Ia juga pernah bertemu dengan Yoshinori Ono di Brasil dan membicarakan hal tersebut. Tapi sayang, akhirnya Capcom memutuskan untuk menolaknya. Menurut Ono, alasan utamanya adalah karena dunia Street Fighter kurang cocok untuk digabungkan ke dalam dunia Mortal Kombat.

Ono berkata bahwa keputusan itu bukan datang dari dirinya, namun dari Capcom secara keseluruhan. Tapi bukan berarti Capcom tertutup sama sekali pada kemungkinan kolaborasi. Lagipula mereka sudah sering melakukan kolaborasi dengan pihak lain, seperti di franchise Marvel vs. Capcom, atau Tatsunoko vs. Capcom. “(Usulan) itu tidak berhasil saat ini, tapi Capcom tertarik melakukan hal sejenis. Jika kami bisa mendapatkan sesuatu yang kami rasa bagus, kami bisa bergerak cukup cepat untuk mewujudkannya,” cerita Ono.

Tatsunoko vs. Capcom
Saya masih berharap suatu saat Tatsunoko vs. Capcom akan muncul di console selain Wii | Sumber: Polygon

Persiapan menyambut Intel World Open (IWO)

Street Fighter V jelas bukan pendatang baru di dunia esports, akan tetapi ajang Intel World Open tahun 2020 nanti punya peran yang lebih signifikan daripada turnamen esports biasanya. Ono mengaku bahwa saat ini mereka sedang sibuk mempersiapkan berbagai hal untuk menyambut ajang tersebut, dan belum mau berpikir tentang console next gen (PS5) yang kabarnya juga akan dirilis di tahun 2020.

Seperti apa persiapan yang dimaksud? Hal pertama yang diinginkan Ono adalah stabilitas Street Fighter V di versi yang sekarang. Ia ingin semuanya bisa berjalan dengan baik. Ono juga ingin bisa memfasilitasi Intel World Open yang babak kualifikasinya digelar secara online. Oleh karena itu Street Fighter V telah mendapat fitur baru yaitu mode turnamen online yang saat ini masih sedang berada dalam status beta.

“Sekarang kita sudah punya turnamen grup, kira-kira 8 orang bisa diundang masuk ke lobby. Mode baru ini nanti akan punya skala yang jauh lebih besar. Kami masih mengerjakan detailnya di fase beta, tapi yang jelas nantinya lusinan, bahkan ratusan orang akan bisa berpartisipasi di sebuah turnamen dalam waktu yang sama. Kami sedang melakukan penyetelan akhir dan mode ini akan siap dalam beberapa bulan ke depan,” papar Ono.

Selain mode baru di atas, Ono tidak memberikan detail lebih lanjut. Tapi rumor yang beredar, Capcom akan menghentikan perubahan balance dan perilisan karakter baru sampai Intel World Open berakhir. Update akhir 2019 akan menjadi update besar terakhir untuk sementara, dan setelahnya Street Fighter V akan berubah judul dari Street Fighter V: Arcade Edition menjadi Street Fighter V: Tournament Edition. Namun semua ini masih rumor, kita tunggu saja konfirmasinya setelah Capcom Cup 2019 nanti.

Harapan Yoshinori Ono untuk Intel

Hal unik lain dari Street Fighter V adalah kemauan Capcom untuk memupuk ekosistem esports di dalamnya hingga terus tumbuh subur. Meskipun ada judul-judul fighting game lain yang booming seperti Dragon Ball FighterZ atau Mortal Kombat 11, Yoshinori Ono tak ambil pusing. Ono sadar bahwa pemain fighting game biasanya tidak hanya memainkan satu judul, tapi mereka akan mencoba-coba hal baru termasuk di luar genre fighting juga.

Saat ini Street Fighter V masuk peringkat 13 dalam “Platinum Titles” (peringkat game terlaris) di Capcom, dengan total penjualan 3,9 juta unit. Angka tersebut berada di bawah Dragon Ball FighterZ dan Tekken 7 yang sama-sama sudah melebihi angka 4 juta unit, apalagi bila dibandingkan dengan Super Smash Bros. Ultimate (15,38 juta unit). Akan tetapi Ono sadar bahwa Street Fighter punya sejarah yang panjang, dan masih akan terus menciptakan sejarah di masa depan. Ia merasa tidak perlu mengekor judul-judul lain, dan lebih baik fokus pada visi Street Fighter itu sendiri.

Satu hal saja yang menurut Ono masih jadi kendala besar adalah soal penyimpanan data. Street Fighter V memiliki fitur untuk menyimpan berbagai data, termasuk replay setiap pertandingan yang dilakukan pemain. Replay ini bisa diakses secara online lewat jaringan yang disebut Capcom Fighters Network. Kemudian Capcom bisa menganalisis data tersebut untuk riset, lalu menentukan karakter mana yang butuh buff atau nerf.

Masalahnya, saat ini dalam sehari bisa ada lebih dari 500.000 pertandingan di Street Fighter V. Capcom menyimpan backup data tersebut di server Amazon Web Service dan Google, tapi penggunaan layanan-layanan ini butuh banyak biaya. Ono berkata, “Itu hal yang ingin saya coba perbaiki di masa depan. Jadi misal ajang IWO ini berhasil, saya bisa mendatangi Intel dan berkata, tolong beri kami server space untuk menyimpan backup.”

Sumber: Eurogamer

Benarkah Bisnis Esports di Asia Lebih Menguntungkan daripada Amerika Serikat?

Industri esports saat ini dipercaya sedang tumbuh di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Akan tetapi menurut Mark Cuban, sebetulnya esports masih belum bisa dibilang bisnis yang sehat. Lebih tepatnya, menjadi pemilik organisasi esports, kata pemilik klub NBA Dallas Mavericks itu, adalah sebuah kesalahan besar. Ia juga berkata bahwa uang industri esports adanya di Eropa dan Asia, terutama di Korea Selatan.

Sebagai seorang miliarder dan pemilik tim besar di dunia olahraga, Mark Cuban jelas merupakan orang yang pendapatnya patut didengar. Ini masih ditambah lagi dengan beberapa kasus yang menggambarkan beratnya ekosistem esports Amerika Serikat, seperti organisasi NRG Esports yang beberapa waktu lalu menjual tim Counter-Strike: Global Offensive mereka ke Evil Geniuses.

Akan tetapi tak semua orang setuju dengan pandangan tersebut. Christina Settimi, penulis topik bisnis olahraga di Forbes, menunjukkan beberapa bukti yang menampik pendapat Cuban. Ia mencatat 13 organisasi esports di Amerika yang memiliki nilai valuasi di atas US$100.000.000, beserta perkiraan revenue yang dimiliki masing-masing di tahun 2019 ini. Angka perkiraan revenue itu didapat dari hasil wawancara dengan para investor dan eksekutif organisasi, juga informasi dari para analis industri dan sponsor. Termasuk di dalamnya adalah uang sponsorship, revenue sharing dari liga, penjualan merchandise, dan lain-lain.

Berikut daftar organisasinya:

1. Team SoloMid

Valuasi: US$400.000.000

Perkiraan revenue: US$35.000.000

2. Cloud9

Valuasi: US$400.000.000

Perkiraan revenue: US$29.000.000

3. Team Liquid

Valuasi: US$320.000.000

Perkiraan revenue: US$24.000.000

4. FaZe Clan

Valuasi: US$240.000.000

Perkiraan revenue: US$35.000.000

5. Immortals Gaming Club

Valuasi: US$210.000.000

Perkiraan revenue: US$11.000.000

6. Gen.G

Valuasi: US$185.000.000

Perkiraan revenue: U$9.000.000

7. Fnatic

Valuasi: US$175.000.000

Perkiraan revenue: US$16.000.000

Team SoloMid
Team SoloMid, juara LCS 6 kali | Sumber: Rift Herald

8. Envy Gaming

Valuasi: US$170.000.000

Perkiraan revenue: US$8.000.000

9. G2 Esports

Valuasi: US$165.000.000

Perkiraan revenue: US$22.000.000

10. 100 Thieves

Valuasi: US$160.000.000

Perkiraan revenue: US$10.000.000

11. NRG Esports

Valuasi: US$150.000.000

Perkiraan revenue: US$20.000.000

12. Misfits Gaming

Valuasi: US$120.000.000

Perkiraan revenue: US$8.000.000

13. OverActive Media

Valuasi: US$120.000.000

Perkiraan revenue: US$5.000.000

Menariknya, Mark Cuban pernah menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa ia percaya tentang besarnya pertumbuhan industri esports. Cuban juga merupakan investor di perusahaan startup Unikrn, yang bergerak di bidang siaran dan judi esports. Dallas Mavericks pun memiliki tim esports yang bermain di NBA 2K League, bernama Mavs Gaming.

Salah satu organisasi esports Amerika yang saat ini tampaknya sedang sangat sehat adalah Gen.G. CEO Gen.G, Chris Park, bahkan berkata bahwa organisasi mereka sedang “over-subscribed”. Artinya terlalu banyak partner yang ingin mengajak Gen.G bekerja sama, sampai-sampai akhirnya mereka harus memilih-milih partner. Tentu saja itu bukan sebuah masalah, atau andai disebut masalah pun maka itu merupakan masalah yang baik.

Selain Forbes, pihak lain yang memberikan sanggahan terhadap pernyataan Cuban adalah Michael Cohen, seorang business strategist di bidang esports dari Belanda. Dalam artikel yang ditulisnya, Cohen mengatakan bahwa sebagian ucapan Cuban memang benar—menjadi pemilik tim adalah usaha yang penuh risiko. Terutama untuk organisasi baru yang tidak menjadi pemenang turnamen, pasti sulit menumbuhkan brand atau mendatangkan revenue.

Contoh kasusnya adalah 100 Thieves yang mengalihkan fokus dari dunia kompetitif ke arah penjualan merchandise dan kreator konten (streamer). Ini untuk menutup kelemahan sebab tim mereka kurang berprestasi di League of Legends Championship Series (LCS). Cohen juga mengiyakan pendapat Cuban bahwa perubahan meta dalam sebuah game memberi risiko yang sangat besar, apabila anggota tim tidak bisa beradaptasi dengan meta terbaru itu.

Namun di sisi lain, Cohen menunjukkan bahwa pasar Asia sebenarnya juga mengalami masalah, sama seperti Amerika Serikat. Bila “pemain” industri esports di Amerika ingin melakukan ekspansi ke Asia, para pelaku esports di Asia justru ingin memperluas brand ke level internasional. Ia mengibaratkan fenomena ini seperti peribahasa, “Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.”

Mengapa demikian? Alasannya adalah karena bisnis esports di Asia (terutama Korea Selatan dan Tiongkok) sudah “mentok”. Asia punya kultur game kompetitif yang lebih kuat dari Amerika, dan brand esports sudah lebih dahulu berkembang bahkan sejak sebelum era StarCraft II. Perkembangan ini termasuk dalam hal kualitas pemain, peran sponsor non-endemic, pembangunan markas tim, dan sebagainya.

Karena sudah berkembang hingga mentok di negara sendiri, mereka pun mencari cara untuk ekspansi ke negara barat. Contohnya yang dilakukan oleh OGN, T1 Entertainment & Sports, serta Gen.G. Harapannya, dengan menjangkau pasar internasional, nilai sponsorship yang bisa diraih pun akan lebih besar. Dan dengan menjadi organisasi pertama yang punya jangkauan global, mereka ingin bisa membangun posisi brand lebih kuat dibanding kompetitornya.

LGD International
LGD International, usaha LGD mengembangkan sayap yang akhirnya gagal | Sumber: Liquipedia

Sementara itu Tiongkok, kata Cohen, punya masalah di mana modal yang diperlukan untuk menggaji pemain serta mendirikan organisasi telah sampai di titik yang lebih tinggi daripada potensi revenue yang dihasilkan. Ini ditambah lagi dengan kendala-kendala lain, misalnya birokrasi. Karena itu para pelaku esports di Tiongkok pun ingin melebarkan sayap ke luar negeri, tapi mereka ingin melakukannya dengan risiko sesedikit mungkin. Kerja sama klub bola Paris Saint-Germain (PSG) dan LGD adalah contoh kasus yang sukses hingga sekarang, namun sebetulnya baik PSG maupun LGD sudah sempat gagal beberapa kali dalam usaha mereka melakukan penetrasi ke barat dan timur sebelum akhirnya berjodoh.

Pada akhirnya, Cohen menyimpulkan bahwa esports adalah bisnis yang berharga, namun memang berisiko dan setiap wilayah punya risiko sendiri-sendiri. Tidak ada wilayah/negara yang bisa dibilang paling bagus, tapi memang setiap wilayah itu punya karakteristik berbeda-beda. Kita juga tidak bisa memandang seluruh industri esports sebagai satu industri yang sama rata, karena situasi pasarnya bisa berbeda-beda tergantung dari game, tren, atau platform yang sedang ramai di suatu wilayah.

Mark Cuban kemudian mengekspresikan rasa setujunya terhadap tulisan Cohen, dan membagikan tulisan tersebut di akun Twitter miliknya. Ia juga mengakui bahwa Cohen punya analisis yang lebih baik terhadap pasar Asia. Bila Anda tertarik untuk membaca analisis tersebut lebih dalam, Anda bisa mengunjungi tulisan Michael Cohen di situs tortedelini.com.

Sumber: Michael Cohen, Forbes, Psyonix

Kolaborasi Unik Fnatic dengan Hello Kitty Hadirkan Merchandise Edisi Terbatas

Organisasi esports ternama Fnatic baru-baru ini mengumumkan sebuah kolaborasi yang cukup tak lazim, yaitu kolaborasi dengan Hello Kitty. Dalam sebuah cuitan di Twitter, Fnatic menunjukkan ilustrasi karakter imut ciptaan perusahaan Sanrio itu sedang bermain game PC sambil menggunakan perlengkapan berlogo Fnatic. Namun sayangnya mereka tak memberi info lebih detail lagi.

Bersama cuitan tersebut, Fnatic juga meluncurkan sebuah landing page baru di alamat situs hellokitty.fnatic.com. Bila Anda mengunjunginya, akan muncul keterangan yang mengatakan bahwa Fnatic x Hello Kitty akan meluncurkan “sebuah koleksi gaming baru”. Besertanya adalah sebuah timer hitungan mundur yang menunjukkan bahwa kolaborasi ini akan terbit di tanggal 15 November nanti.

Fnatic x Hello Kitty - Wallpaper Reward
Daftarkan email Anda untuk mendapat hadiah wallpaper | Sumber: Hello Kitty x Fnatic

Selagi menunggu hitungan mundur tersebut, para fans bisa mendaftarkan email mereka untuk memperoleh notifikasi dari Fnatic. Pendaftaran email ini juga akan memberikan imbalan berupa sebuah wallpaper gratis Hello Kitty yang dipilih secara acak.

Dari beberapa informasi di atas kita bisa menebak bahwa wujud kolaborasi ini adalah semacam merchandise edisi terbatas yang bertema Fnatic dan Hello Kitty, meski mereka sendiri belum memberi konfirmasi. Apalagi Fnatic juga mengajak para penggemar untuk men-tag teman mereka yang berminat untuk “mengumpulkan semuanya”.

https://twitter.com/FNATIC/status/1191777195523551232

Selain itu, bila kita mengintip source code HTML di landing page Fnatic x Hello Kitty di atas, kita akan melihat adanya deskripsi meta data yang berbunyi sebagai berikut:

“Hello Kitty hadir di esports bersama Fnatic! Temukan kolaborasi esports terbesar tahun ini, barang-barang unik edisi terbatas mulai dari pro wear hingga lifestyle hoodie, sebuah koleksi besar untuk merayakan kedatangan Hello Kitty ke dunia esports bersama tim Fnatic yang ikonik.”

LEAN BACK Hello Kitty Gaming Chair
Sebelumnya Hello Kitty pernah berkolaborasi dengan LEAN BACK dan Damwon Gaming | Sumber: Gmarket

Sebelum kolaborasi dengan Fnatic ini, sebelumnya Sanrio dan Hello Kitty juga sudah pernah meluncurkan kolaborasi lain yang berhubungan dengan esports dan gaming. Pertengahan 2019 lalu, mereka menggandeng produsen kursi gaming asal Korea Selatan, LEAN BACK, untuk meluncurkan kursi gaming imut dengan nuansa serba pink. Kursi tersebut dijual dengan harga yang cukup terjangkau, yaitu 158.000 Won (sekitar Rp1,9 juta) dan sempat dipromosikan oleh salah satu tim League of Legends profesional Korea Selatan yaitu Damwon Gaming.

Sumber: Fnatic, Gmarket

Clash Royale League 2019 World Finals Digelar Desember, Korsel-Jepang Wakili Asia

Setelah penampilannya di Asian Games 2018 lalu, Clash Royale seolah mendapat momentum untuk menjadi salah satu cabang esports yang terus tumbuh dalam popularitas. Buktinya, Supercell selaku penerbit Clash Royale telah meluncurkan liga resmi bertajuk Clash Royale League sejak tahun 2018 lalu. Tahun ini pun, Clash Royale League telah berjalan dan akan segera sampai di kompetisi tingkat dunia (World Finals).

Dilansir dari Dot Esports, Clash Royale League 2019 World Finals akan diadakan di Shrine Auditorium and Expo Hall, Los Angeles, Amerika Serikat, tepatnya pada tanggal 7 Desember. Turnamen ini menghadirkan enam tim Clash Royale untuk memperebutkan hadiah senilai US$400.000 (sekitar Rp5,6 miliar). Mereka diambil dari tim-tim yang peserta Clash Royale League di tiga wilayah, yaitu Asia, Tiongkok, dan Barat (West).

Berikut ini enam tim peserta Clash Royale League 2019 World Finals:

  • CRL Asia: OGN Entus, FAV Gaming
  • CRL China: Nova Esports, W. EDG Mobile
  • CRL West: SK Gaming, Team Liquid
OGN Entus
OGN Entus, juara CRL Asia 2019 Season 2 | Sumber: OGN Entus

Clash Royale League itu sendiri sebetulnya terbagi ke dalam dua musim tiap tahunnya, yaitu Spring Season dan Fall Season. Keenam tim di atas merupakan juara 1 dan 2 CRL 2019 Fall Season di wilayah masing-masing. Sementara itu para juara CRL 2019 Spring Season sebelumnya telah maju mewakili daerahnya dalam ajang World Cyber Games (WCG) 2019 pada bulan Juli kemarin.

Chaos Theory
Sumber: Chaos Theory

Bagi kita yang tinggal di Indonesia, CRL Asia cukup menarik karena di dalamnya ada tim yang beranggotakan seluruhnya pemain Indonesia. Tim itu adalah Chaos Theory, dengan roster terdiri atas Rifqi Azmi Azza (Carrollus), Mohammad Fabian (Trainer Dexterz), Fransiskus Ananda Wijaya (Jay TV), serta Ridel Yesaya Sumarandak (BenZer Ridel). Nama terakhir ini pasti sudah tak asing bagi Anda, karena ia merupakan juara Clash Royale di ajang Asian Games 2018 lalu.

CRL 2019 Asia Fall Season (disebut juga CRL Asia 2019 Season 2) diluncurkan pada bulan Agustus, dan baru saja selesai di tanggal 2 November kemarin. Sayangnya, target Chaos Theory untuk juara Asia dan lolos ke World Finals masih belum tercapai. Musim ini mereka harus puas duduk di peringkat 3-4, seri dengan KIX Team. Sementara gelar juara direbut oleh OGN Entus yang berasal dari Korea Selatan.

OGN Entus berhak membawa pulang hadiah senilai US$50.000 (sekitar Rp700.000.000). Mereka akan maju ke Los Angeles bersama FAV Gaming, tim asal Jepang yang meraih peringkat 2 di CRL 2019 Asia Season 2. Semoga saja Chaos Theory bisa lebih meningkatkan lagi prestasinya di Clash Royale League musim depan, dan mewakili Indonesia kembali di kejuaraan dunia.

Sumber: Dot Esports

Ditinggal MidOne, Ini Roster Baru Team Secret Menuju The International 2020

Selepas kejuaraan akbar The International 2019 (TI9), Valve langsung meluncurkan sirkuit kompetisi Dota 2 musim berikutnya, yaitu Dota Pro Circuit 2019 – 2020. Sirkuit ini dimulai pada musim gugur 2019, dan sejauh ini sudah ada empat turnamen yang diumumkan, terdiri dari 2 turnamen Minor dan 2 turnamen Major. Turnamen itu terdiri dari:

  • DOTA Summit 11 (Minor), 7 – 10 November 2019
  • MDL Chengdu Major (Major), 16 – 24 November 2019
  • WePlay! Bukovel Minor 2020 (Minor), 9 – 12 Januari 2019
  • DreamLeague Season 13 (Major), 18 – 16 Januari 2019

Bisa dilihat bahwa jadwal pertandingannya cukup padat, apalagi mengingat The International 2019 sendiri baru saja selesai di akhir bulan Agustus lalu. Tim-tim profesional Dota 2 hampir tidak punya waktu istirahat dan harus langsung menyiapkan diri menghadapi kualifikasi turnamen-turnamen di atas.

Bagi beberapa tim, jadwal yang terlalu padat ini dirasa bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental para pemainnya, sehingga mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum masuk kembali ke Dota Pro Circuit dengan kondisi yang lebih segar. Sistem Dota Pro Circuit memang tidak mewajibkan tim untuk mengikuti semua kompetisi. Asal mereka bisa mengumpulkan cukup DPC Point dalam satu musim, mereka sudah bisa tampil di The International dan berkesempatan jadi juara dunia.

Apa yang dilakukan Team Secret selama beristirahat dan absen dari MDL Chengdu Major? Dalam blog resminya, mereka menjelaskan bahwa pergantian musim kompetisi ini digunakan Team Secret untuk melakukan perombakan roster. Sekadar mengingatkan, roster Team Secret saat menghadapi TI9 kemarin terdiri dari:

  • Nisha
  • MidOne
  • zai
  • YapzOr
  • Puppey
  • SunBhie (Coach)

Pemain pertama yang meninggalkan Team Secret adalah MidOne. Anda mungkin tahu bahwa MidOne alias Yeik Nai Zheng ini merupakan pemain asal Malaysia, padahal Team Secret merupakan tim berbasis di Eropa. Artinya MidOne harus pergi meninggalkan kampung halamannya untuk waktu yang lama. Selain tinggal di Eropa untuk boot camp, ia juga harus berkeliling dunia untuk mengikuti berbagai turnamen.

Sejak bergabung di tahun 2017, MidOne telah mengantarkan Team Secret menjadi juara Major tiga kali, dan meraih Top 4 di The International 2019. Ini belum ditambah turnamen-turnamen besar lainnya, seperti ESL One Hamburg 2018 dan DreamLeague Season 9. Setelah pergi dari Team Secret, MidOne akan beristirahat dari dunia esports untuk beberapa saat.

Team Secret - Puppey
Puppey akan jadi pilar strategi Team Secret bersama Heen | Sumber: Team Secret

Pelatih Team Secret yaitu SunBhie (alias Lee Jeong-jae) juga akan pergi meninggalkan mereka. Sama seperti MidOne, SunBhie juga sudah bersama tim ini sejak tahun 2017, dan telah melewati sejumlah suka duka bersama. Keahlian SunBhie merancang strategi, melakukan drafting, serta menjadi penasihat telah berperan besar dalam mendukung prestasi Team Secret selama beberapa tahun terakhir. Team Secret tidak menjelaskan apa rencana SunBhie setelah kepergiannya.

Lalu siapakah yang menjadi pengganti mereka berdua? Ternyata, MidOne akan digantikan oleh pemain yang tak kalah disegani, yaitu MATUMBAMAN alias Lasse Aukusti Urpalainen. Pria Finlandia ini sebelumnya adalah pemain Mid/Carry di Team Liquid, dan sudah tak asing lagi di dunia esports Dota 2. Ia sudah pernah menyandang gelar juara dunia saat memenangkan The International 2017, juga kerap kali memenangkan turnamen Major.

MATUMBAMAN
MATUMBAMAN, penyandang gelar juara dunia | Sumber: Yle

Bertindak sebagai pelatih baru Team Secret, adalah Heen alias Lee Seung Gon. Dulunya merupakan salah satu pemain di tim MVP Phoenix, Heen menjadi pelatih Team Liquid sejak 2016 sebelum akhirnya pindah ke TNC Predator di pertengahan 2019 lalu. Roster Dota 2 Team Liquid sendiri sudah bubar sejak bulan September kemarin, sehingga wajar bila mantan pemainnya kini tersebar di tim-tim lain.

Masuknya MATUMBAMAN dan Heen ke dalam skuad Team Secret adalah tambahan kekuatan besar yang pastinya menarik bagi para penggemar tim ini. Namun itu juga bisa berarti Team Secret akan mengalami perubahan playstyle, serta harus beradaptasi lagi dengan cara bermain ataupun strategi dari pelatih barunya. Team Secret akan mulai berkompetisi lagi di kualifikasi DreamLeague Season 13 alias Leipzig Major. Kita lihat saja, apakah mereka bisa lebih sukses lagi dari musim sebelumnya.

Sumber: Team Secret

IEM Katowice 2020 Usung StarCraft II Lagi, Tawarkan Hadiah Rp5 Miliar Lebih

StarCraft II boleh jadi sudah dapat dikatakan jadul, akan tetapi game ini masih hidup sebagai salah satu niche di ekosistem esports. Baru-baru saja StarCraft jadi salah satu cabang kompetisi di ajang World Electronic Sports Games (WESG) SEA 2019. Game ini juga muncul di Asian Games 2018 bersama beberapa cabang esports lain seperti Arena of Valor dan Clash Royale. Jangankan StarCraft II, StarCraft orisinal saja hingga kini masih dimainkan banyak orang dan memiliki liga sendiri di Korea Selatan.

Menyambut ulang tahun StarCraft II yang ke-10, ESL akan kembali mempertandingkan game tersebut di panggung turnamen Intel Extreme Masters (IEM) Katowice. StarCraft II memang telah langganan jadi salah satu cabang kompetisi di turnamen IEM, dan kali ini ESL kembali mengundang pemain-pemain terbaik dunia untik bertanding di Polandia, tanggal 28 Februari – 2 Maret 2020 nanti.

Menurut informasi di situs resmi IEM Katowice 2020, turnamen StarCraft II ini menawarkan prize pool sebesar sekurang-kurangnya US$250.000. Namun angka tersebut tampaknya sudah bertambah, karena dalam siaran pers yang diberitakan oleh Esports Insider dan The Esports Observer, jumlah prize pool yang ditawarkan kini adalah sebesar US$400.000 (sekitar Rp5,6 miliar). IEM Katowice 2020 akan menjadi tahun ke-10 StarCraft II hadir di acara Intel Extreme Masters, dan menjadi turnamen StarCraft II ke-33 yang diorganisir oleh ESL.

“Selama sepuluh tahun, StarCraft II telah menghadirkan sebagian momen paling legendaris di panggung kami. Judul-judul Blizzard selalu jadi bagian dari DNA Intel Extreme Masters, dan warisan adalah sesuatu yang penting untuk kami jaga dan kembangkan. SC2 membantu kami menjaga benang hidup hingga ke tahun-tahun pertama Intel Extreme Masters,” ujar Michal Blicharz, VP of Pro Gaming di ESL.

IEM Katowice 2019 - Eo Yoon Soo
Eo Yoon Soo, juara StarCraft II IEM Katowice 2019 | Sumber: Intel Extreme Masters

Babak kualifikasi online IEM Katowice 2020 akan digelar di bulan Januari, dan dari sini ESL menyediakan 11 slot pemain untuk maju ke acara utama dengan seluruh biaya transportasi dan akomodasi ditanggung penuh. Acara IEM Katowice 2020 itu sendiri akan menampilkan 76 pemain StarCraft II terbaik untuk memperebutkan hadiah di Spodek Arena, Polandia. Selain 11 pemain hasil kualifikasi tadi, partisipan juga ditentukan dari peringkat mereka di StarCraft II World Championship Series (WCS).

Di samping StarCraft II, menu utama IEM Katowice 2020 adalah kompetisi Counter-Strike: Global Offensive (CS:GO) yang disebut sirkuit ESL Pro Tour. ESL menyiapkan hadiah senilai US$500.000 (sekitar Rp7 miliar) untik kompetisi ini, dan juaranya akan menjadi selangkah lebih dekat untuk dinobatkan sebagai peraih gelar Intel Grand Slam Season 3. Bila Anda penggemar StarCraft II atau CS:GO kompetitif, turnamen besar ini tidak bolah Anda lewatkan.

Sumber: Intel Extreme Masters, Esports Insider, The Esports Observer

Tampil Nyaris Tak Terkalahkan, Team USA Bawa Pulang Trofi Overwatch World Cup

BlizzCon 2019 baru saja digelar pada akhir pekan lalu, tepatnya tanggal 31 Oktober – 2 November. Bagi para penggemar Blizzard Entertainment, ajang ini selalu jadi momen munculnya pengumuman penting seputar judul-judul buatan perusahaan tersebut. Tahun 2019 ini misalnya, Blizzard mengungkap keberadaan sejumlah proyek baru seperti Overwatch 2 dan Diablo IV.

Akan tetapi BlizzCon punya peran lebih dari itu. Momen ini sekaligus juga jadi wadah untuk acara esports penting, yaitu kejuaaraan dunia yang disebut Overwatch World Cup. Meski sempat diterpa beberapa kontroversi, terutama masalah penyediaan dana yang menyebabkan belasan tim mengundurkan diri, Overwatch World Cup 2019 akhirnya selesai dilaksanakan, dengan timnas Amerika Serikat keluar sebagai juara.

Dilansir dari ESPN, Team USA memang dari awal sudah dianggap kandidat kuat juara. Tiga dari tujuh anggota timnas ini merupakan pemain profesional dari tim juara Overwatch League Season 2, yaitu San Francisco Shock. Sepanjang World Cup, Team USA tampil dominan bahkan nyaris tak terkalahkan. Mereka mencetak catatan rekor 18-1, hanya mengalami kehilangan angka satu kali yaitu ketika melawan Korea Selatan di semifinal.

Korea Selatan juga salah satu tim kuat yang merupakan juara Overwatch World Cup 2018. Tapi akhirnya mereka harus rela bertekuk lutut di hadapan Team USA. “Yah, kami sebenarnya berpikir bahwa kami akan menang 3-0 melawan semua orang. Tapi kami kehilangan satu map melawan Korea,” kata Jay “Sinatraa” Won, anggota Team USA yang jadi MVP Overwatch World Cup 2019.

https://twitter.com/Ultimate/status/1191093320497287168

Keberhasilan Team USA membawa pulang trofi Overwatch World Cup merupakan kebanggaan tersendiri. Pasalnya, Overwatch World Cup—atau disingkat OWWC—selalu dilaksanakan di Anaheim Convention Center, California, sejak tahun 2016 lalu. Artinya Team USA selalu menyandang gelar tim tuan rumah. Akan tetapi mereka belum pernah jadi juara, bahkan belum pernah masuk peringkat Top 4.

Di lain pihak, Korea Selatan sudah tiga kali jadi juara tak tergulingkan. Tapi tahun ini akhirnya mereka lengser juga. Tim yang berhadapan dengan Amerika Serikat di Grand Final adalah Tiongkok, sementara Korea Selatan terpaksa berkemas dengan membungkus gelar peringkat tiga.

Meski sudah meraih prestasi juara dunia, Team USA mengaku tidak ingin puas dengan satu gelar ini saja. Mereka ingin Amerika Serikat jadi langganan juara di Overwatch World Cup. Mereka sadar bahwa selama ini ada perbedaan kemampuan antara Amerika dan Korea, tapi perbedaan itu pelan-pelan semakin berkurang. Selepas World Cup ini, para pemain Team USA pun harus langsung bersiap-siap menghadap Overwatch League Season 3.

“Overwatch League Season 3 akan jadi sebuah tantangan baru bagi kami,” kata anggota Team USA, Grant “moth” Espe, “Tapi kami akan terus bekerja keras. Kami tidak akan pernah berpuas diri.”

Sumber: ESPN, Team USA Overwatch

When the Past was Around, Game Tentang Patah Hati dari Developer Lokal

Penerbit dan developer game asal Tangerang, Toge Productions, kembali mengumumkan sebuah game yang unik dan kental akan nuansa artistik. Berjudul When the Past was Around, game ini memiliki genre point-and-click puzzle, dan mengangkat tema seputar cinta terutama tentang patah hati.

Dikembangkan oleh Mojiken Studio yang juga berada di balik game She and the Light Bearer, When the Past was Around bercerita tentang seorang gadis dan kekasihnya dalam dunia surealis yang berisi ruang-ruang dari berbagai zaman dan kenangan. Sang gadis, yang bernama Edda, harus “melarikan diri” dari jebakan masa lalu dengan cara membuka pintu-pintu tersebut, menyelesaikan puzzle, kemudian pada akhirnya menemukan rahasia antara dirinya dan sang kekasih.

When the Past was Around - Screenshot 1
Sumber: Steam

When the Past was Around mengajak pemainnya menyelami perasaan cinta, kemudian melepaskan sesuatu yang dicintai itu, serta segala kesenangan maupun kesedihan yang menyertai keduanya. Mojiken Studio mengembangkan game ini terinspirasi dari puisi yang dibuat oleh Brigitta Rena, sang Director yang juga merupakan developer kunci She and the Light bearer dan A Raven Monologue.

Dari dulu Mojiken dikenal sebagai developer yang gemar mengeksplorasi seni serta gaya penceritaan surealis, dan rupanya game ini masih mempertahankan ciri yang sama. Menurut keterangan di halaman Steam, game ini pada awalnya adalah bagian dari program internal Mojiken Studio yang disebut #MojikenCamp. Program itu bertujuan untuk melakukan eksperimen tentang cara kita menyampaikan cerita, serta menciptakan sebuah pengalaman unik dalam kerangka media seni interaktif—video game.

When the Past was Around - Screenshot 2
Sumber: Steam

Bila Anda penasaran ingin mencoba When the Past was Around, Toge Productions telah menyediakan versi prolog yang bisa Anda unduh secara gratis di Steam atau situs itch.io. Sementara versi full nanti direncanakan rilis untuk PC pada musim semi tahun 2020 (sekitar Maret – Juni 2020). Tersedia juga downloadable content bernama Supporter Pack, yang bisa Anda beli sekarang juga untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mendukung para kreator game ini.

When the Past was Around - Screenshot 3
Sumber: Steam

When the Past was Around Supporter Pack berisi wallpaper resolusi tinggi untuk desktop dan mobile, artwork promosi, seluruh aset yang digunakan dalam game, sketsa, serta musik latar. Rencananya setelah game ini dirilis penuh Supporter Pack juga akan mendapat konten tambahan berupa bundel Art & Soundtrack. Apakah Anda berminat untuk mencoba game karya developer lokal yang satu ini?

PMCO 2019 Fall Split SEA Berakhir, Tencent Umumkan PUBG Mobile Pro League 2020

Akhir pekan lalu, tanggal 2 – 3 November 2019, adalah hari diselenggarakannya babak final PUBG Mobile Club Open (PMCO) 2019 Fall Split SEA. Setelah melalui babak liga yang terdiri dari 24 League Day, telah terpilih 16 tim terkuat di Asia Tenggara yang kemudian beradu skill di ajang final regional. Mereka terdiri dari:

  1. Bigetron RA (Indonesia)
  2. EVOS Esports (Indonesia)
  3. RYU (Indonesia)
  4. NFT Esports (Indonesia)
  5. Boom Esports (Indonesia)
  6. Illuminate the Murder (Thailand)
  7. Mega Conqueror (Thailand)
  8. Athena (Thailand)
  9. Purple Mood (Thailand)
  10. Snow Lynx (Thailand)
  11. Friends Forever Gaming (Vietnam)
  12. Box Gaming (Vietnam)
  13. ReaperKiller Esports (Vietnam)
  14. Yoodo Gank (Malaysia)
  15. Victorious in Play (Malaysia)
  16. Orange Esports.CG (Kamboja)
PMCO 2019 Fall Split SEA - Teams
Suasana PMCO 2019 Fall Split SEA | Sumber: PUBG Mobile

Kita patut bangga melihat bahwa lima tim Indonesia yang ikut serta dalam PMCO 2019 Fall Split ini semuanya lolos ke babak final Asia Tenggara. Apalagi salah satu tim yaitu Bigetron RA telah menunjukkan performa yang gemilang di tahap liga. Tapi apakah performa itu bisa tetap dipertahankan di final?

Sayangnya, ternyata tidak. Mereka mendapat tantangan besar dari tim asal Thailand, yaitu RRQ.Athena. Tapi kehebatan tim yang satu ini memang tidak mengejutkan. Mereka tahun lalu adalah juara dunia di ajang PUBG Mobile Star Challenge 2018, juga menjadi juara di final PMCO 2019 Spring Split SEA musim kemarin.

RRQ.Athena menjadi juara lagi setelah berhasil meraih Chicken Dinner sebanyak tiga kali, dan mereka berhak membawa pulang uang hadiah senilai US$35.000 (sekitar Rp490 juta). Selain itu, RRQ.Athena juga berhak maju ke turnamen berikutnya yaitu PMCO 2019 Fall Split Global Finals di Malaysia, bersama dengan tim Illuminate the Murder yang keluar sebagai juara 2.

Selain kedua tim tersebut, ada tiga tim lain yang juga berhak maju ke Global Finals lewat jalur prelims. Artinya mereka tidak langsung bertanding di babak utama, tapi nantinya harus melewati tahap eliminasi (preliminary tournament) lagi. Mereka terdiri dari Mega Conqueror (Thailand), Bigetron RA (Indonesia), dan Orange Esports.CG (Kamboja). Di samping itu tim Yoodo Gank asal Malaysia juga maju ke Global Finals sebagai tim undangan tuan rumah. Masih ada peluang bagi wakil Indonesia untuk berprestasi di tingkat Global Finals nanti, meskipun perjuangannya akan lebih berat.

PMCO 2019 Fall Split SEA - Supporters
Suasana PMCO 2019 Fall Split SEA | Sumber: PUBG Mobile

Bersamaan dengan berakhirnya PMCO 2019 Fall Split SEA, Tencent juga mengungkap format kompetisi baru yang akan digunakan mulai tahun 2020 nanti. Selepas Global Finals nanti, mereka akan meluncurkan liga bernama PUBG Mobile Pro League, alias PMPL. Liga ini akan jadi pengganti kompetisi PMCO yang sekarang. Mirip seperti PMCO, PMPL juga akan terbagi menjadi dua musim yaitu Spring Split dan Fall Split.

PMPL dimulai dari babak penyisihan level paling bawah, yaitu kejuaraan nasional di tiap negara. Kemudian dari sini, diambil sejumlah tim terpilih untuk berlaga di liga PMPL. Juara nasional PMPL kemudian akan maju ke babak Regional Finals, kemudian dari sana dipilih tim-tim tertentu untuk jadi wakil regional di turnamen dunia, PUBG Mobile World League.

PMCO 2019 Fall Split SEA - Cosplay
Suasana PMCO 2019 Fall Split SEA | Sumber: PUBG Mobile

Sekilas PMPL mungkin terdengar tak jauh berbeda dari PMCO, tapi Tencent meyakinkan bahwa turnamen ini akan memberi hiburan kelas dunia, juga akan membuka peluang bagi pemain amatir untuk bertanding di level profesional.

Detail lebih lanjut tentang PMPL akan diungkap bersamaan dengan acara PMCO 2019 Fall Split Global Finals, tanggal 29 November – 1 Desember nanti. Siapakah yang akan menjadi juara dunia PUBG Mobile kali ini?

Sumber: PUBG Mobile