Dua Kali Tumbangkan Oil King, Tokido Raih Gelar Canada Cup 2019

Bulan November telah tiba, dan itu artinya jumlah turnamen yang tersisa di sirkuit kompetisi Capcom Pro Tour hanya tinggal hitungan jari. Lebih tepatnya hanya tinggal tiga event lagi yang perlu kita lalui. Pertama yaitu Canada Cup 2019 di tanggal 1 – 3 November, North America Regional Finals 2019 pada tanggal 16 – 17 November, dan terakhir adalah turnamen puncak yaitu Capcom Cup 2019 di tanggal 13 – 15 Desember.

Turnamen pertama di bulan November ini adalah Canada Cup 2019 yang baru saja dilaksanakan akhir pekan lalu. Selain merupakan wadah turnamen CPT tingkat Premier, Canada Cup juga menjadi bagian dari kualifikasi untuk SNK World Championship yang mempertandingkan game Samurai Shodown dan The King of Fighters XIV. Tekken World Tour 2019 juga hadir di acara ini dalam wujud turnamen tingkat Dojo.

Tokido - Canada Cup 2019
Tokido memamerkan trofi Canada Cup 2019 | Sumber: Capcom Pro Tour

Mengingat Capcom Cup sudah semakin dekat, wajar bila kemudian Canada Cup dihadiri oleh banyak atlet hebat Street Fighter yang berusaha mengumpulkan CPT Point di saat-saat terakhir. Termasuk di antaranya adalah GamerBee, Justin Wong, Dogura, John Takeuchi, Nemo, Daigo, NuckleDu, dan lain-lain.

Menariknya lagi, ketika turnamen sudah mencapai babak Top 8, seluruh karakter tampil mengandalkan karakter yang berbeda. Salah satu pemain yaitu Mago bahkan memainkan Cammy di Top 8, sebuah pemandangan yang jarang terjadi di kancah Street Fighter V kompetitif. Sementara itu Justin Wong membuktikan bahwa Poison bukan karakter “low tier” seperti anggapan banyak orang.

Pada akhirnya, dua pemain yang bertemu di Grand Final adalah dua veteran yang sudah tak asing, yaitu Tokido dan Oil King. Mereka sebelumnya sudah berhadapan di babak Winners Final, namun di sana Oil King kalah dengan skor 2-3. Setelah mendaki Losers Bracket, Oil King datang kembali untuk membuat perhitungan, tapi ia masih belum bisa mengalahkan permainan Tokido. Oil King pun menyerah dengan skor 1-3 di Grand Final, tanpa sempat melakukan bracket reset.

Peringkat Top 8 Canada Cup 2019 Street Fighter V: Arcade Edition:

  • Juara 1: ROHTO Z! | Tokido (Akuma)
  • Juara 2: UYU | Oil King (Rashid)
  • Juara 3: RAZER | Xian (Ibuki)
  • Juara 4: Mago (Karin/Cammy)
  • Juara 5: CAG | Dogura (M. Bison)
  • Juara 5: Justin Wong (Poison)
  • Juara 7: FAV | Sako (Menat)
  • Juara 7: LIQUID | Nemo (Urien

Sementara itu di cabang Samurai Shodown dan The King of Fighters XIV, seorang pemain Jepang bernama Akihito “Score” Sawada dari tim Amaterasu berhasil meraih double winner. Artinya ia berhak berkompetisi di SNK World Championship, tanggal 28 – 29 Maret 2020 nanti, di dua game sekaligus. Ini bukan pertama kalinya Score meraih double winner di satu event. Di ajang REV Major 2019 kemarin pun, Score jadi juara di Samurai Shodown dan KOF XIV.

https://twitter.com/score33333/status/1191106594584399878

Kemenangan Tokido di Canada Cup memberikannya hadiah senilai US$7.000 (sekitar Rp98,1 juta), dan 700 CPT Global Point. Saat ini Tokido menduduki peringkat 3 di CPT Global Leaderboard dengan 3.125 poin, di bawah Bonchan (3.845 poin) dan Punk (4.655 poin). Tokido juga menjadi pemain Street Fighter pertama yang berhasil meraih gelar juara CPT Premier sebanyak 10 kali. Bisakah Tokido meraih prestasi serupa di Capcom Cup 2019 nanti?

Sumber: Capcom Pro Tour, EventHubs, Canada Cup

Tak Dapat Dana dari Blizzard, Dua Tim Overwatch World Cup Merapat ke Razer

Mendekati akhir tahun, bukan hanya PUBG atau Street Fighter saja yang mempersiapkan ajang esports pamungkas. Activision Blizzard dengan game andalan mereka, Overwatch, juga melakukan hal yang sama. Mereka menggelar kompetisi tingkat dunia, Overwatch World Cup 2019, pada tanggal 31 Oktober – 2 November. Ajang ini sekaligus merupakan bagian dari festival gaming yang digelar Blizzard tiap tahunnya, yaitu BlizzCon.

Sesuai namanya, Overwatch World Cup bukanlah pertandingan antar tim melainkan antar negara. Para pemain dari Overwatch League, Overwatch Path to Pro, dan Competitive Play akan melupakan sejenak perbedaan mereka untuk bersatu mengharumkan nama bangsa. Puluhan timnas ikut berpartisipasi dalam kompetisi ini, termasuk tim dari Korea Selatan, Tiongkok, Belanda, Rusia, Swedia, Perancis, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Overwatch World Cup 2019 - Team India
Tim India di Overwatch World Cup 2019 | Sumber: Global Esports

Untuk tampil di ajang Overwatch World Cup, timnas yang terdaftar tentu harus terbang ke Anaheim Convention Center, California. Akan tetapi tidak semua biaya transportasi ini ditanggung oleh Blizzard. Dilansir dari Esports Insider, Blizzard hanya memberi bantuan finansial kepada tim peraih 10 besar di ajang Overwatch World Cup tahun lalu. Sementara sisanya harus mencari pendanaan sendiri.

Gara-gara kebijakan tersebut, sebanyak 13 dari 46 tim akhirnya mengundurkan diri dari turnamen. Sebagian di antaranya memang memiliki masalah lain, misalnya kendala visa, akan tetapi kebanyakan ditengarai memang drop out karena masalah dana. Timnas Swiss, Brasil, Malaysia, dan Bulgaria termasuk dalam tim yang mundur tersebut.

Tim India sebetulnya juga terancam drop out, tapi untungnya Global Esports tidak tinggal diam. Startup asal India yang baru-baru ini mendapat pendanaan itu hadir untuk menanggung biaya tim negara mereka ke Overwatch World Cup. Tidak hanya itu, Global Esports juga menggandeng Razer untuk ikut berkolaborasi. Kini Razer menjadi official gaming equipment sponsor untuk tim India dan tim Singapura di Overwatch World Cup.

https://twitter.com/TeamSingaporeOW/status/1188840271812804616

“Kami selalu memiliki tujuan untuk mengembangkan esports di wilayah ini (Singapura dan India). Melalui kerja sama ini, kami berharap bisa memberikan dukungan yang dibutuhkan para gamer dan memastikan tim-tim tersebut dilengkapi dengan perlengkapan terbaik serta pengalaman kompetisi yang luar biasa,” ujar David Tse, Global Esports Director di Razer, dalam sebuah siaran pers.

Menurut laporan media game India, GuruGamer.com, biaya yang diperlukan untuk melakukan perjalanan serta bertanding di Overwatch World Cup 2019 berkisar antara US$12.000 sampai US$15.000, atau sekitar Rp168 juta sampai Rp210 juta. Untuk beberapa negara, dana sedemikian tergolong sangat besar. Lebih menyulitkan lagi karena tim-tim yang bertanding di Overwatch World Cup tidak membawa nama organisasi atau perusahaan. Jelas akan sulit mencari sponsor, kecuali bila mungkin semua pemainnya adalah atlet esports yang sudah sangat terkenal.

Karena itulah langkah Global Esports dan Razer ini bisa dipandang sebagai kontribusi yang mulia. Bila benar-benar ingin mengembangkan ekosistem esports di negara kecil atau negara berkembang, pemilik brand harus siap mengambil risiko seperti ini sesekali. Jika tidak ada yang mau memulai gerakan, perkembangan esports akan seperti dilema ayam dan telur, dan pada akhirnya jadi angan-angan belaka.

Sumber: Esports InsiderGuruGamer.com, The Overwatch League, The Esports Observer

Data Sensor Tower: Revenue Pokémon GO Sepanjang Masa Capai Rp42 Triliun

Pokémon GO di tahun 2019 ini telah menginjak usia tiga tahun, dan tampaknya Niantic masih belum berhenti meraup keuntungan besar darinya. Di awal tahun 2019 ini, perusahaan data aplikasi mobile Sensor Tower mengungkap bahwa Pokémon GO telah meraih keuntungan senilai kurang lebih US$795 juta, atau sekitar Rp11,2 triliun. Kini, Sensor Tower kembali melaporkan bahwa game tersebut berhasil mencapai sebuah milestone baru, yaitu revenue sebesar US$3 miliar (sekitar Rp42 triliun) sepanjang masa.

Angka tersebut didapat oleh Sensor Tower dari platform analisis download dan perkiraan revenue milik mereka, yang disebut Store Intelligence. Tentu saja karena ini adalah layanan pihak ketiga, dan bukan laporan resmi dari Niantic (developer Pokémon GO), angkanya hanya berupa perkiraan dan belum tentu akurat. Akan tetapi Sensor Tower memiliki reputasi sebagai salah satu penyedia layanan ASO (app store optimization) yang cukup terpercaya dan banyak digunakan oleh developer.

Pokémon GO pertama kali diluncurkan pada bulan Juli 2016. Hingga saat ini, game augmented reality berbasis lokasi tersebut diperkirakan telah diunduh sebanyak 541 juta kali, dengan revenue rata-rata senilai US$5,6 per unduhan. Sepanjang tahun 2019 hingga Oktober, nilai revenue yang mereka peroleh adalah US$774,3 juta. Masih ada sisa dua bulan lagi sebelum tahun ini berakhir, dan Sensor Tower memperkirakan bahwa revenue Pokémon GO di tahun 2019 akan bisa melampaui rekor tertinggi mereka di tahun 2016, yaitu senilai US$832,4 juta.

Dari seluruh revenue tersebut, 54,4% di antaranya berasal dari pemain di Android/Google Play. Sementara pemain di iOS/App Store menyumbang sebesar 45,6%. Menariknya, jumlah pengguna di Android jauh lebih tinggi dari iOS, yaitu 424,6 juta unduhan. Sementara di App Store aplikasi ini hanya diunduh 116 juta kali. Artinya meskipun jumlah pemainnya lebih sedikit, rata-rata pengguna iOS lebih banyak melakukan in-app purchase daripada pengguna Android.

Pokemon GO - Sinnoh Evolution
Beberapa monster baru Pokémon GO yang muncul di tahun 2019 | Sumber: Pokémon GO Live

Mengapa game ini bisa sedemikian populer? Sensor Tower memperkirakan alasan yang mendorong tingginya revenue itu adalah banyaknya update menarik yang diberikan oleh Niantic. Para pemain Pokémon GO tahun ini memang bisa dibilang cukup dimanja, dengan kemunculan konten Team GO Rocket di bulan Juli lalu, kemunculan monster unik Armored Mewtwo, evolusi dari region Sinnoh, hingga event kolaborasi dengan film Detective Pikachu.

Di awal tahun 2020 nanti Niantic juga berencana meluncurkan fitur yang sangat menarik terutama bagi penggemar PvP, yaitu GO Battle League. Fitur ini memungkinkan pemain untuk bertarung melawan pemain lain dari belahan dunia mana pun secara online. Ini merupakan pengembangan dari fitur Trainer Battle yang sudah dirilis di pertengahan 2019 ini. Bedanya, Trainer Battle hanya bisa digunakan untuk bertarung melawan pemain yang berdekatan atau berada di Friend List. Sementara GO Battle League akan menggunakan sistem matchmaking, menjadikannya lebih aksesibel bagi pemain yang ingin bertanding.

Pokémon GO juga memiliki komunitas grassroot yang setia dan gemar bermain secara kompetitif. Meski tanpa ada sirkuit kompetisi resmi, penggemar di seluruh dunia telah menjalankan berbagai turnamen sendiri, bahkan mendirikan liga esports tak resmi yang disebut Silph League Arena. Musim perdananya baru saja diluncurkan pada bulan Januari 2019 kemarin, dan liga ini juga sangat aktif di Indonesia. Anda dapat menyimak perjalanan mereka dalam artikel berikut.

Sumber: Sensor Tower

[Opini] Rasa Takut Adalah Candu, dan Game Horor Adalah Buktinya

Bulan Oktober selalu jadi momen seru dalam industri game setiap tahunnya. Sebagai bulan di mana perayaan hari Halloween jatuh di dalamnya, bulan ini adalah alasan tepat bagi developer untuk merilis game yang memiliki tema horor atau mistis. Sepanjang Oktober 2019 ini contohnya, kita bisa menemukan judul-judul seperti Luigi’s Mansion 3, MediEvil, hingga game lokal Ghost Parade. Sementara di game yang bersifat live service, Oktober jadi motivasi untuk merilis/menjual konten baru, entah berupa event atau item kosmetik. Apalagi para pengguna Steam, pasti sudah banyak yang bersiap menyambut kehadiran Halloween Sale untuk memborong sejumlah game horor incaran.

Sayangnya untuk orang yang tidak menyukai horor seperti saya, momen Oktober ini tidak begitu terasa relatable. Tentu saja saya tidak menolak kehadiran skin Wheatfield Nightmare untuk Franco di Mobile Legends, atau ekspansi The Devils Awaken yang memunculkan konten Devil May Cry 5 di Teppen. Namun rasanya tidak ada beda bila konten semacam ini hadir tidak pada momen Halloween. Steam Halloween Sale pun lebih sering saya lewatkan, karena game di Wishlist saya biasanya tidak ikut terkena diskon.

Rainbow Six Siege - Doktors Curse
Event Halloween di Rainbow Six: Siege | Sumber: Ubisoft

“Memangnya apa yang salah dengan game horor?” Sebetulnya tidak ada yang salah, hanya saja saya tidak merasa bisa menikmatinya. Bukan saya menolak main game horor karena terlalu takut, tapi bagi saya game (atau film) horor itu melelahkan. Bikin tegang dan bikin kaget, bertentangan dengan tujuan saya main game yang salah satunya adalah untuk istirahat.

Jelas banyak orang yang tidak setuju dengan pandangan di atas, karena hingga kini masih banyak game dan film horor yang laku di pasaran. Tapi terkadang saya juga bertanya-tanya, kenapa sih horor jadi salah satu genre hiburan yang terus populer? Bagaimana bisa rasa takut—yang harusnya mendorong kita untuk menjauh—malah jadi sumber kesenangan yang adiktif bagi sebagian orang?

Ketegangan membawa nikmat

Daya tarik horor adalah sesuatu yang sudah cukup banyak diteliti oleh para akademisi. Jamie Madigan dalam artikelnya yang berjudul The Psychology of Horror Games misalnya, mengatakan bahwa motivasi seseorang untuk memainkan game horor secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori.

Pertama adalah kelompok orang pencari sensasi. Kelompok ini adalah orang-orang yang memang pada dasarnya senang mencari rasa “mabuk” (high) secara emosional. Mereka suka mengalami situasi-situasi menegangkan yang biasanya tak terjadi dalam kehidupan normal. Contohnya merasakan ketakutan dari film horor, atau melakukan olahraga ekstrem seperti sky diving.

Dr. Andrew Weaver, seorang peneliti bidang horor yang berasal dari Indiana University, mengatakan dalam tulisan Madigan bahwa pengalaman merasakan sensasi tersebut bisa menjadi sarana berlatih untuk menghadapi situasi menyeramkan di dunia nyata. Terutama bagi anak-anak muda, pengalaman seperti ini mengajari mereka untuk mengendalikan emosi dengan cara yang aman. “Kita bisa mengalami kejadian tidak menyenangkan lewat fim dan kita tahu kejadian itu akan berakhir, kita akan melaluinya, dan akan lanjut menjalani kehidupan,” papar Weaver.

Anehnya, kenikmatan dari sensasi ini sepertinya hanya berlaku bila kita sudah jelas tahu bahwa apa yang kita lihat itu palsu (misalnya game atau film). Dalam sebuah riset, orang-orang yang menyukai film horor dan sudah terbiasa melihat adegan sadis, ketika ditunjukkan kejadian sadis sungguhan (video dokumenter) ternyata tidak bisa menikmatinya. Mereka menolak menonton video tersebut sampai habis, padahal film-film horor yang biasa mereka tonton mungkin punya adegan yang lebih sadis atau lebih menjijikkan.

Resident Evil Revelations 2
Resident Evil Revelations 2 | Sumber: Steam

Kelompok yang kedua punya kemiripan dengan kelompok pertama, yaitu sama-sama mencari sensasi. Bedanya, mereka bukan menikmati ketegangan emosional itu sendiri, tapi mereka menikmati rasa lega yang muncul setelah ketegangan berakhir.

Madigan mengutip ucapan Prof. Glen Sparks dari Purdue University tentang teori ini. “Orang-orang menjadi terangsang secara psikologis akibat rasa takut yang mereka alami selama kejadian di media, kemudian ketika kejadian di media itu berakhir, rangsangan itu teralihkan ke rasa lega dan memperkuatnya. Mereka bukan menikmati pengalaman merasa takut, tapi sebaliknya, mereka menikmati emosi positif kuat yang mungkin muncul setelahnya,” papar Sparks.

Fenomena ini dikenal sebagai “excitation transfer theory” (teori transfer ketegangan), dan dikemukakan oleh psikolog Amerika, Dolf Zillmann, pada tahun 1971. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang mendapat rangsangan psikologis, ada periode di mana rangsangan itu akan tertinggal tanpa ia sadari. Kemudian ketika ia memperoleh rangsangan lain setelahnya, orang tersebut bisa “mengalihkan” respons yang ia rasakan dari rangsangan pertama ke rangsangan kedua. Bahasa gampangnya, perasaan lega akan terasa lebih nikmat bila didahului oleh perasaan tegang sebelumnya.

Resident Evil 2
Resident Evil 2 | Sumber: Steam

Terakhir, seseorang bisa menjadi penikmat hiburan horor akibat dorongan sosial. Kemampuan mengatasi rasa takut dalam horor bisa menjadi sebuah pembuktian bahwa seseorang itu kuat atau pemberani di hadapan teman-teman dan keluarganya.

Mungkin terdengar agak seksis, tapi teori ini terbukti lebih banyak terjadi di pergaulan antar lawan jenis, terutama kalangan remaja/dewasa muda. Laki-laki ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjalankan peran sebagai “pelindung” bagi kaum perempuan yang takut. Sebaliknya, perempuan ingin merasa aman karena melihat bahwa laki-laki yang ada disekitarnya tidak penakut dan bisa diandalkan.

Teori yang dikenal dengan istilah “snuggle theory”  (atau “gender socialization theory”) ini muncul dalam sebuah studi di tahun 1996 oleh Dolf Zillmann. Ia menemukan bahwa laki-laki yang menonton film horor bersama perempuan cenderung lebih bisa menikmati filmnya bila si perempuan merasa takut. Sebaliknya, perempuan yang menonton cenderung lebih bisa menikmatinya bila si laki-laki terlihat tidak takut. Ini artinya konstruksi sosial punya peran besar dalam menentukan media hiburan seperti apa yang bisa kita nikmati.

Teori-teori di atas menunjukkan bahwa meski rasa takut secara inheren adalah emosi yang negatif, emosi ini bisa memberikan kenikmatan tersendiri bila disandingkan dengan faktor lain—seperti jaminan rasa aman, excitation transfer, dan konstruksi sosial. Sebetulnya masih ada teori-teori lain tentang daya tarik game horor. Riset oleh Michelle Park dari Long Island University menyebutkan bahwa ada delapan teori tentang motivasi ini, dan sumber teori itu sudah dikemukakan oleh tokoh-tokoh zaman dahulu seperti Sigmund Freud bahkan Aristoteles. Namun jelas tidak bisa kita bahas semua di sini.

Video game memberi sensasi lebih kuat

Untuk memancing rasa takut muncul di kalangan pemain, seorang kreator horor bisa memanfaatkan berbagai aspek tergantung dari medium apa yang ia gunakan. Apabila wujud medianya adalah novel, jelas ia akan terbatas pada penggunaan kata-kata saja serta mungkin sejumlah kecil ilustrasi. Akan tetapi video game adalah media yang kompleks dan canggih, sehingga “lahan bermain” sang kreator pun jadi lebih luas.

Aspek pertama yang paling jelas terlihat adalah tampilan visual. Manusia diyakini punya rasa takut terhadap kegelapan sebagai bagian dari proses evolusi. Setelah sekian lama berkembang, kini kita telah menjadi makhluk yang sangat tergantung pada informasi visual, sehingga absennya informasi tersebut dapat membuat kita merasa tidak aman.

Blair Witch
Blair Witch, salah satu game horor yang rilis tahun ini | Sumber: Steam

Psikoanalis terkenal Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa rasa takut adalah reaksi terhadap persepsi akan adanya bahaya eksternal yang terprediksi, dan bisa dianggap sebagai salah satu wujud insting bertahan hidup. Ia juga berkata bahwa rasa takut adalah hal yang relatif, sangat bergantung pada pengetahuan dan penguasaan kita terhadap obyek eksternal yang dimaksud. Contoh: manusia primitif mungkin merasa takut ketika melihat gerhana matahari, sementara manusia di era sains modern tidak takut karena tahu itu adalah fenomena alam biasa.

Game horor menggunakan trik-trik visual untuk merenggut pengetahuan tersebut dari tangan pemain. Ketika dikelilingi oleh lingkungan yang gelap, pemain akan tahu bahwa ada bahaya di sekitarnya, tapi ia tidak tahu apa wujudnya, kapan dan dari mana datangnya, serta apa yang harus ia siapkan untuk mengatasinya.

Semakin sedikit informasi yang ia akses, semakin tinggi rasa gelisah yang ia rasakan. Dan ketika nantinya bahaya itu muncul—misalnya dalam wujud musuh yang melompat keluar di layar—si pemain harus berpikir cepat untuk mencari solusi atas bahaya tersebut. Hasilnya adalah ketegangan emosional tinggi yang memicu adrenaline rush.

Video game termasuk media yang sangat spesial di dunia horor, sebab video game punya satu aspek yang tidak ada di media-media lainnya: kontrol. Di media lain misalnya film, kita hanya bisa pasrah atas kejadian yang disajikan di depan mata. Tapi dalam video game, kitalah yang mengambil keputusan, dan kitalah yang menjadi pemicu akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

The Evil Within
The Evil Within | Sumber: Steam

Sesuai teori Freud, seberapa besar kontrol kita terhadap lingkungan sekitar kita akan menentukan seberapa besar pula rasa takutnya. Jadi kualitas sebuah game horor sangat bergantung pada keseimbangan ini. Beri pemain terlalu sedikit kekuasaan, maka game akan jadi stressful dan tidak menyenangkan. Tapi beri pemain terlalu banyak kekuatan (kekebalan, senjata, dsb), maka game akan kehilangan unsur seramnya. Rasa kepemilikan dan kehilangan kontrol ini membuat video game bisa memberikan sensasi horor yang lebih dinamis. Ada rasa puas tersendiri dari video game yang tidak akan kita temukan ketika mengonsumsi noninteraktif, dan hal itu terutama sangat terasa di genre horor.

Kreator asli seri Resident Evil, Shinji Mikami, pernah menjabarkan hal ini dalam sebuah wawancara. Menurut Mikami, genre survival horror seharusnya adalah game yang menakutkan, namun memberi pemain kesempatan untuk mengatasi rasa takut itu dan mendapatkan sense of achievement. Pemain tahu bahwa ada kemungkinan ia akan mati (dalam game), namun ia juga tahu bahwa ada kemungkinan dirinya akan selamat. Keberanian untuk mengambil risiko, melawan ketidakpastian, dan pada akhirnya berhasil keluar dari bahaya, adalah kunci menuju momen katarsis yang jadi candu bagi para penikmat game horor.

Lucunya, kompleksitas dan kecanggihan video game ini terkadang justru menyusahkan untuk para kreator horor. Ambil contoh saja aspek audio. Dengan desain audio yang dibuat secara teliti, developer game bisa memanfaatkan efek suara, musik, hingga ambient noise untuk memunculkan rasa gelisah atau takut di alam bawah sadar. Tapi tidak ada yang menghalangi pemain di rumah untuk mengganti lagu itu sesuka hati, membuat suasana horor di dalam game jadi berkurang bahkan hilang sama sekali.

Ini masalah yang pernah dialami oleh John Williamson, desainer game Saw II: Flesh and Blood. “Kami diwajibkan oleh Microsoft dan Sony untuk memperbolehkan pemain mematikan track musik atau menggantinya dengan lagu Backstreet Boys atau lagu lain pilihan mereka,” papar Williamson. Main game horor diiringi lantunan lagu “I Want It That Way” jelas tidak akan seram, bukan?

Shinji Mikami
Shinji Mikami, legenda hidup dunia game horor | Sumber: Gameranx

Contoh kesulitan lain adalah aspek kamera dan kontrol dalam game yang kini sudah semakin modern. Sudah jadi standar umum bahwa di luar cutscene, pemain bebas menentukan akan ke mana karakter dalam game menghadap, ke mana dia melihat, seberapa cepat dia berjalan, dan sebagainya. Jadi developer harus menyiapkan adegan horor dengan mempertimbangkan semua itu, jangan sampai ada adegan penting terjadi tapi pemain malah melewatkannya hanya karena ia sedang menghadap ke tempat lain.

Dengan kualitas visual yang semakin realistis, kini transisi antara gameplay dengan cutscene pun harus dirancang sehalus mungkin agar suasana yang dirasakan pemain tidak terputus. Shinji Mikami mengaku harus mempertimbangkan seluruh aspek di atas ketika mengembangkan The Evil Within, beda dengan game era 90an yang lebih simpel dan biasanya menggunakan sudut kamera statis.

Butuh perhatian khusus

Menciptakan sebuah game adalah pekerjaan yang sulit, tapi rasanya tidak berlebihan bila kita bilang bahwa game horor punya kesulitan khusus yang tidak dimiliki genre lain. Karena genre ini erat kaitannya dengan perasaan dan psikologi manusia, segala aspek di dalamnya harus dirancang sedemikian rupa agar selaras dan menghasilkan pengalaman yang believable. Wajar bila kemudian kreator game horor yang bagus akan dipuja-puja bahkan hingga beberapa dekade setelah game itu dirilis.

Akan tetapi sebenarnya bila kita melihat pangsa pasar keseluruhan, horor masih merupakan genre yang niche di kalangan gamer. Bahkan setelah menghabiskan banyak biaya untuk menciptakan pengalaman terbaik pun, developer belum tentu bisa untung, apalagi bila dibandingkan dengan genre mainstream seperti first person shooter. Terus mengandalkan satu formula yang sama akan berujung pada para penggemar yang bosan, tapi di sisi lain eksperimen punya risiko membuat penggemar setia menjauh. Menciptakan game horor yang bagus tidak semudah pesta jump scare.

Resident Evil 7
Resident Evil 7 | Sumber: Sony

Contoh kasus yang paling terkenal mungkin seri Resident Evil. Shinji Mikami pergi meninggalkan Capcom pada tahun 2007, setelah menyelesaikan Resident Evil 4 dan game eksperimental berjudul God Hand. Sepeninggal Mikami, seri survival horor ini berubah menjadi lebih action-oriented. Lebih banyak ledakan, lebih banyak baku tembak, dan lebih sedikit rasa seram. Penggemar horor jelas kecewa, tapi secara finansial, Resident Evil 5 dan Resident Evil 6 adalah kesuksesan luar biasa, masing-masing terjual sebanyak 7,5 juta dan 7,3 juta unit di seluruh dunia.

Sementara itu, Resident Evil 7 yang kembali ke akarnya sebagai survival horror terjual lebih sedikit, yaitu 6,6 juta unit. Resident Evil 2 remake, yang mendapat penerimaan sangat positif dan meraih nilai 93 di Metacritic, juga terjual lebih sedikit yaitu sebanyak 4,5 juta unit. The Evil Within dan The Evil Within 2, meski disokong oleh nama besar Shinji Mikami, angka penjualannya lebih sedikit lagi.

Tentu saja tidak semua game harus mencapai angka penjualan 110 juta unit seperti Grand Theft Auto V untuk disebut sukses. Capcom pun berkata bahwa meski secara angka kalah dibanding Resident Evil 6, Resident Evil 7 tetap menguntungkan karena memiliki anggaran pengembangan yang lebih kecil. Mereka juga sadar bahwa di era sekarang sebuah game bisa terus terjual untuk waktu yang lama, tidak seperti dulu di mana hari pertama atau minggu pertama sangat penting untuk penjualan game. Capcom tidak menganggap Resident Evil 7 dan Resident Evil 2 sebagai produk gagal.

Tapi itu bukan berarti mereka tidak merasa was-was ketika mengembangkan dua game tersebut. Antoine Molant, EMEA Marketing Director di Capcom, dalam sebuah wawancara bercerita bahwa Resident Evil 7 dan 2 merupakan sebuah pertaruhan besar. Meski dari segi kualitas para developernya cukup percaya diri, mereka khawatir kalau-kalau apa yang mereka buat tidak sesuai keinginan penggemar. Bagaimana bila fans tidak suka Resident Evil 7 menggunakan sudut pandang orang pertama? Bagaimana bila fans ingin Resident Evil 2 remake tetap mempertahankan sistem kontrol ala tank, seperti era PS1 dulu?

Resident Evil 5
Resident Evil 5 sukses luar biasa, tapi melenceng dari genre aslinya | Sumber: Steam

“Ketika kami mengumumkan strategi kami beberapa tahun lalu, kami berkata kami akan fokus pada pilar-pilar utama kami: Street Fighter, Resident Evil, Monster Hunter, dan sebagainya,” ujar Molant. “Sebagian orang menilainya sebagai budaya menghindari risiko, tapi sebenarnya kami mengambil risiko. RE7 bisa saja gagal total. Dan dengan Monster Hunter World, kami berpotensi meninggalkan 4 juta pasar domestik (Jepang) demi mengejar pasar Barat.”

Sebagai perusahaan, Capcom jelas juga mengejar keuntungan finansial. Mereka punya karyawan untuk diberi makan, juga pemegang saham untuk disenangkan. Tapi secara internal, Capcom memiliki cara sendiri untuk menilai apakah sebuah game itu sukses atau tidak. Alih-alih mengejar angka penjualan setinggi-tingginya, mereka punya pertimbangan lain dari segi artistik dan penerimaan penggemar. “Kami lebih menyukai game yang mendapat skor 9 dan terjual lebih sedikit, daripada game yang mendapat 6 tapi terjual lebih banyak,” kata Molant.

Molant menyebut Capcom sebagai sebuah “penerbit butik”. Artinya, Capcom dari awal memang tidak merancang game mereka sebagai game yang akan dimainkan oleh semua orang. Capcom tahu bahwa mereka menciptakan sesuatu yang niche, dan mereka berusaha sebisa mungkin untuk mengoptimalkan niche tersebut. Caranya dengan benar-benar mencari tahu apa yang diinginkan penggemar, mencari momen yang tepat untuk merilis game, hingga menciptakan game dengan skala serta risiko yang lebih kecil.

“Kami tahu judul-judul dan para penggemar kami, dan kami tahu daya tarik yang kami miliki, dan kami juga tahu apa yang dilakukan dan dicoba oleh para kompetitor kami,” ujar Molant. “Kami tidak akan bisa bersaing melawan perusahaan-perusahaan yang menghabiskan puluhan juta dolar untuk marketing. Kami, bisa dibilang, adalah sebuah penerbut butik, dan jadwal rilis di bulan Januari itu cocok dengan kami.”

Resident Evil 4
Banyak orang berpendapat Resident Evil 4 masih yang terbaik | Sumber: Steam

Kata-kata Molant mungkin terdengar agak lucu karena rasanya lebih cocok diucapkan oleh developer indie, bukan developer AAA yang bisa menjual game hingga jutaan kopi. Tapi indie maupun AAA, keduanya sama-sama sebuah bisnis dan sama-sama butuh strategi yang tepat agar bisa terus bertahan hidup.

Dengan strategi pengoptimalan niche tersebut, Capcom berhasil membangkitkan kembali genre survival horror yang beberapa tahun lalu sempat dianggap telah mati. Mereka membuktikan bahwa Resident Evil sejati—bukan action shooter seperti Resident Evil 6—masih punya tempat di pasaran, sekaligus menunjukkan ke mata dunia bahwa mereka tidak takut menciptakan inovasi radikal. Yang lebih penting, Capcom mematahkan anggapan bahwa teknologi hanya membuat game semakin “cantik” namun mengikis kreativitas.

Di era di mana semakin banyak perusahaan yang “main aman” dan menciptakan game yang mirip-mirip, visi Capcom ini merupakan sebuah angin segar, dan saya berharap idealisme tersebut bisa terus dipertahankan. Meskipun kemungkinan besar saya tetap tidak akan main Resident Evil, sih.

Evolution Championship Series Siap Guncangkan Las Vegas Lagi di Tahun 2020

Rasanya baru kemarin kita menyaksikan para jawara fighting game dunia adu otot di EVO 2019, tapi kini panitia EVO sudah bersiap-siap untuk menggelar EVO 2020. Baru saja, mereka mengunggah trailer di YouTube yang mengonfirmasi digelarnya acara ini, beserta tanggal dan lokasi pastinya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, EVO 2020 akan kembali hadir di Mandalay Bay Resort and Casino, Las Vegas, tepatnya di tanggal 31 Juli – 2 Agustus 2020.

Bila Anda menonton trailer di bawah, Anda dapat menyaksikan sejumlah klip dari game populer yang muncul di EVO 2019, seperti Dragon Ball FighterZ, Tekken 7, dan BlazBlue: Cross Tag Battle. Tapi perlu diingat bahwa saat ini EVO belum mengumumkan secara resmi game apa saja yang akan tampil tahun 2020 nanti.

Masih ada waktu cukup lama sampai 31 Juli, dan dalam rentang waktu ini ada beberapa fighting game yang akan dirilis atau kemungkinan dirilis. Contohnya Granblue Fantasy Versus (Februari 2020), Guilty Gear baru (tentatif 2020), dan The King of Fighters XV (tentatif 2020). Bisa saja salah satu dari beberapa game ini nantinya muncul jadi menu di panggung utama, tergantung dari apakah para developernya merilis sebelum atau sesudah EVO.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat dalam EVO 2020, yaitu aturan baru tentang penggunaan controller. Selepas kontroversi seputar controller jenis hit box, beberapa waktu lalu panitia EVO mengumumkan revisi aturan yang akhirnya benar-benar melegalkan controller tersebut. Termasuk di antaranya Gafrobox yang digunakan oleh Daigo Umehara, hit box Cross|Up yang punya directional input campuran, serta Smash Box yang dirancang khusus untuk pemain Super Smash Bros.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, akankah masuk EVO? | Sumber: Dual Pixels

Jangan lupa juga bahwa sebelum EVO 2020 nanti masih ada event EVO Japan 2020 yang akan digelar pada tanggal 24 – 26 Januari. Pertengahan Oktober lalu, EVO Japan sudah mengumumkan lima game utama yang akan dipertandingkan nantinya, terdiri dari:

  • BlazBlue: Cross Tag Battle
  • Samurai Shodown
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Soulcalibur VI
  • Tekken 7
EVO Japan 2020 - Games
Sumber: EVO Japan

Ajang EVO Japan 2020 ini akan digelar di gedung Makuhari Messe, kota Chiba, yang memiliki kapasitas hingga 9.000 pengunjung. Dibandingkan EVO Japan 2019 yang digelar di Fukuoka Kokusai Center, gedung Makuhari Messe memang sedikit lebih kecil. Tapi lokasinya yang berada di pinggiran Tokyo bisa memberikan akses yang lebih mudah, ketimbang kota Fukuoka yang letaknya ada di ujung selatan Jepang. Anda bisa menyimak liputan EVO Japan 2019 dari komunitas Advance Guard dan ABUGET di tautan berikut.

EVO 2020 menandai tahun ke-15 hadirnya EVO di Las Vegas sejak pertama kali digelar di kota tersebut pada tahun 2005. EVO sendiri akan menginjak usia 24 tahun, bila kita menghitung sejak pertama kali dicetuskan dengan nama Battle by the Bay pada tahun 1996 lalu. Inovasi seperti apa yang akan mereka tunjukkan di tahun 2020 nanti?

Sumber: Shoryuken.com, EVO JapanJoey Cuellar, EventHubs

Liga Esports Call of Duty Dimulai Januari 2020, Larang Penggunaan Mouse & Keyboard

Activision Blizzard akhirnya mengumumkan tanggal pasti untuk musim perdana Call of Duty League. Dilansir dari Esports Insider, liga ini akan berlangsung mulai 24 Januari 2020, dengan lokasi di gedung Minneapolis Armory. Sebagai pembukaan, Activision Blizzard bersama Minnesota Rokkr mengadakan event selama 3 hari, di mana seluruh 12 tim yang merupakan partisipan liga ini akan bertanding.

Sesuai pemberitaan yang sudah-sudah, Call of Duty League adalah liga tertutup dengan sistem pembelian franchise dan mempertandingkan 12 tim dari 11 kota berbeda. Mayoritas berasal dari Amerika Serikat, namun ada juga beberapa tim yang mewakili kota dari negara lain. Ketika artikel ini ditulis, sudah ada 10 tim yang diungkap secara resmi, yaitu:

  • Atlanta FaZe (kolaborasi FaZe Clan dan Atlanta Esports Ventures)
  • Dallas Empire (di bawah Envy Gaming)
  • Florida Mutineers (di bawah Misfits Gaming)
  • London Royal Ravens (di bawah ReKTGlobal)
  • Los Angeles Guerrillas (di bawah KSE Esports)
  • Minnesota Rokkr (di bawah WISE Venture Esports)
  • New York Subliners (kolaborasi Sterling VC dan New York Mets)
  • OpTic Gaming Los Angeles (di bawah Immortals Gaming Club)
  • Seattle Surge (kolaborasi Aquilini Investment Group dan Enthusiast Gaming)
  • Toronto Ultra (di bawah OverActive Media)

Dapat dilihat bahwa slot Los Angeles diisi oleh dua tim. Sementara dua tim lagi yang mewakili kota Chicago dan Paris masih belum diumumkan.

COD League - Teams
12 tim yang bertanding di Call of Duty League | Sumber: Call of Duty League

Uniknya, hampir semua tim di atas juga dimiliki oleh perusahaan yang memiliki tim Overwatch League. Jumlah tim partisipan Call of Duty League perdana ini pun sama dengan Overwatch League saat pertama diluncurkan, yaitu 12 tim. Kedua liga memang sama-sama dimiliki oleh Activision Blizzard, dan komisioner Call of Duty League, Johanna Faries, pernah mengatakan bahwa mereka senang dengan adanya kemiripan ini.

Bobby Kotick, CEO Activision Blizzard, memaparkan dalam sebuah siaran pers, “Kami gembira sekali dengan pertumbuhan jejak esports Call of Duty yang berkelanjutan sebagai sebuah liga internasional berbasis kota, dengan 12 tim dari 4 negara, yang semuanya memberikan kompetisi sangat menghibur kepada jutaan penggemar di seluruh dunia.

Melanjutkan kesuksesan esports berbasis kota yang pertama kali didirikan oleh Overwatch League, kami ingin bisa menyatukan passion bersejarah dari franchise Call of Duty dengan fandom berbasis kota untuk menciptakan liga yang bisa menyaingi liga-liga terbaik olahraga tradisional dalam hal mengakui, merayakan, dan memberi imbalan para pemain kami.”

COD League - Date
Sumber: Call of Duty League

Di samping Call of Duty League, event tanggal 24 Januari nanti sekaligus jadi momen peluncuran liga amatir yang bernama Call of Duty Challengers. Mengusung hadiah senilai total US$1.000.000 (sekitar Rp14 miliar), Call of Duty Challengers menawarkan turnamen terbuka sepanjang musim baik online maupun offline. Turnamen ini bisa digelar berbarengan dengan event Call of Duty League, atau dioperasikan terpisah oleh salah satu tim Call of Duty League sebagai host.

Hal lain yang perlu diketahui tentang Call of Duty League, adalah bahwa liga ini akan menggunakan game Call of Duty: Modern Warfare yang baru saja dirilis, dengan format pertandingan 5v5. Platform yang digunakan adalah PS4, dan menurut peraturan di situs resminya, pemain dilarang menggunakan mouse dan keyboard di semua kompetisi. Apakah itu berarti liga ini tidak akan seseru esports first person shooter lain yang menggunakan platform PC? Kita lihat saja nanti bagaimana pertandingannya.

Sumber: Esports Insider, Call of Duty League

Juara Kompetisi World’s Fastest Gamer, Atlet Esports Ini Jadi Pembalap Sungguhan

World’s Fastest Gamer (WFG) adalah nama sebuah kompetisi yang bertujuan untuk menjembatani dunia esports balap mobil dengan dunia balap mobil sungguhan. Kompetisi yang digelar oleh Millenial Esports ini melibatkan beberapa mantan pembalap Formula 1 sebagai investor, seperti Rubens Barrichello dan Juan-Pablo Montoya.

Season perdana World’s Fastest Gamer dimenangkan oleh Rudy Van Buren, yang kini menjadi simulator driver untuk tim Formula 1 McLaren. Sementara WFG Season 2 diluncurkan pada bulan Juli 2019 kemarin, dan memiliki beberapa perbedaan dengan season sebelumnya.

Pertama, WFG Season 2 ini ingin memberi kesempatan bagi siapa saja untuk membuktikan diri sebagai “Gamer Tercepat di Dunia”, terlepas dari platform yang mereka mainkan. Oleh karena itu, babak kualifikasi WFG terbagi menjadi dua. Pertama adalah kualifikasi di platform mobile menggunakan game Gear.Club keluaran Eden Games. Kedua adalah kualifikasi menggunakan game balap rFactor 2, yang tersedia di PC dan dikenal sebagai game yang realistis.

WFG Season 2 - Finalists
Para finalis WFG Season 2 | Sumber: World’s Fastest Gamer

Babak kualifikasi WFG Season 2 menghasilkan 10 finalis, terbagi ke dalam dua tim yaitu tim oranye dan tim biru. Di sini, kemampuan mereka sebagai pembalap virtual dan pembalap nyata sama-sama diuji. Tak hanya bertanding lewat game, para finalis juga harus melakukan balapan mobil sungguhan di bawah penilaian Juan-Pablo Montoya sebagai head judge. Montoya ditemani oleh jajaran juri lainnya, termasuk Rudy Van Buren, Darren Cox (founder WFG), Jann Mardenborough (pembalap Japanese Super GT), serta Ruben Barrichello.

Akhir Oktober kemarin menjadi pertandingan puncak World’s Fastest Gamer Season 2. Hanya empat atlet tersisa, yang terdiri dari Maximillian Benecke (Jerman), Sebastian Job (Inggris), James Baldwin (Inggris), dan Mitchell de Jong (Amerika Serikat). Mereka harus membuktikan bahwa mereka layak bertransisi dari gamer menjadi racer, dengan cara melakukan balapan mobil di sirkuit Las Vegas Motor Speedway.

Penentuan juara sebetulnya tidak hanya dilakukan dari satu event ini saja, tapi lebih melihat dari performa sepanjang kompetisi. Akan tetapi performa James Baldwin di event final sendiri sangat menonjol dibanding tiga finalis lainnya. Ia start di posisi 2, namun berhasil finis pertama dengan selisih catatan waktu sangat jauh yaitu 10 detik.

WFG Season 2 - James Baldwin
James Baldwin menunjukkan performa gemilang di final WFG Season 2 | Sumber: James Baldwin

Baldwin sebelumnya juga telah memenangkan babak balap virtual di Los Angeles, menunjukkan catatan waktu yang baik sepanjang kompetisi, serta memiliki kemauan untuk bekerja keras dan bekerja sama dalam tim. Dewan juri pun memutuskan James Baldwin sebagai pemenang tanpa banyak perdebatan.

Dengan kemenangan ini, Baldwin berhak mendapatkan kontrak senilai US$1.000.000 untuk bertanding bersama tim balap asal Swedia, R-Motorsport. Ia akan mengikuti program persiapan intensif, kemudian menjadi pengemudi mobil Aston Martin Vantage GT3 dan mengikuti berbagai balapan di tahun 2020. Termasuk di antaranya balap 24 jam di Daytona dan Spa-Francorchamps, serta balapan di berbagai sirkuit terkenal dunia seperti Le Mans dan Nurburgring. Baldwin hanya punya waktu 2 bulan sebelum balapan pertamanya, yang jatuh di bulan Januari.

“12 hari terakhir memberikan tekanan luar biasa. Tapi memang itulah tujuannya, untuk melatih diri Anda menjadi pembalap. Ini pengalaman luar biasa bahkan di luar sirkuit karena saya bisa bertemu dengan banyak orang hebat, juga tentu saja para kompetitor lain, serta tim produksi dan semua orang yang terlibat di World’s Fastest Gamer, plus bertemu dengan pahlawan saya, Juan Pablo Montoya, semua ini adalah mimpi yang jadi nyata,” ujar Baldwin setelah dinobatkan jadi juara.

Sebelum mengikuti WFG, Baldwin sebetulnya memiliki pengalaman menjadi pembalap gokar dan Formula Ford. Tapi ia terpaksa berhenti karena tidak bisa memperoleh pendanaan untuk melanjutkan kariernya. Ia kemudian beralih menjadi pembalap esports alias sim racing, dan sempat menjadi juara turnamen eRace of Champions (eROC) bersama tim Veloce Esports pada bulan Januari lalu. Tampaknya, sekarang sudah waktunya Baldwin untuk kembali merasakan panasnya aspal.

Sumber: World’s Fastest Gamer, GT Planet

Event Halloween di Rainbow Six: Siege, Apakah Sudah Memuaskan Penggemar?

Halloween telah tiba, dan Ubisoft tidak ketinggalan momen ini untuk menghadirkan konten bertema horor di Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege. Tahun 2019 ini, event tersebut diluncurkan dengan judul Doktor’s Curse dan berjalan selama 2 minggu dari tanggal 23 Oktober – 6 November. Anda yang sudah main Rainbow Six: Siege dari lama mungkin ingat bahwa tahun lalu juga ada event Halloween berbeda, dengan judul Mad House.

Apa itu Doktor’s Curse? Pada dasarnya Doktor’s Curse adalah mode khusus yang menyerupai petak umpet. Para pemain terbagi menjadi dua kubu seperti biasa, yaitu Defender dan Attacker. Bedanya, karakter-karakter yang digunakan bukanlah karakter Operator biasa. Kedua tim juga tidak bisa menggunakan senjata api ataupun senjata melee, dan harus menggunakan perlengkapan khusus yang disediakan.

Doktors Curse - Skin
Tampilan kosmetik dari event Doktor’s Curse | Sumber: Ubisoft

Di sisi Defender, tersedia lima Operator yang telah berubah wujud menjadi menyerupai monster atau zombie. Mereka adalah Operator yang memiliki spesialisasi dalam meletakkan jebakan, yaitu:

  • Smoke
  • Kapkan
  • Frost
  • Lesion
  • Ela

Kelima Operator ini (ceritanya) berada di bawah kendali Doktor, sang ilmuwan gila yang melakukan eksperimen-eksperimen terhadap manusia di dalam kastelnya. Meski tak membawa senjata, mereka tetap memiliki akses ke gadget unik masing-masing, juga mendapatkan kemampuan khusus yang disebut Nightstride. Dengan kemampuan ini, Defender bisa menghilang dari pandangan untuk beberapa waktu serta meningkatkan kecepatan geraknya.

Doktors Curse - Weapon Skin
Weapon skin yang tersedia dalam event Doktor’s Curse | Sumber: Ubisoft

Sisi Attacker berperan sebagai sekelompok tim pembasmi monster yang disebut Exterminator. Setiap Exterminator ini dilengkapi dengan senjata khusus, yaitu palu milik Sledge yang bisa digunakan untuk menghantam monster-monster. Mereka juga dilengkapi dengan salah satu dari tiga gadget berikut:

  • Eyenox Model III (gadget milik Jackal)
  • EE-ONE-D (gadget milik Lion)
  • Cardiac Sensor (gadget milik Pulse)

Dengan memainkan Doktor’s Curse, pemain bisa memperoleh pack Doktor’s Curse Collection yang berisi berbagai item kosmetik bertema horor. Pack ini juga bisa langsung dibeli menggunakan R6 Credits atau Renown. Operator yang mendapat item kosmetik adalah Doc, Smoke, Lesion, Kapkan, Frost, Ela, dan Bandit. Sledge juga mendapat bundel kosmetik, namun khusus untuk Sledge kostumnya harus kita beli lewat Shop.

Berbicara dengan para anggota Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN), event Doktor’s Curse ini rupanya mendapat penerimaan yang cukup bervariasi. Sebagian ada yang puas, tapi ada juga yang mengaku bosan. “Kurang seru, Pak, walaupun hadiahnya lumayan bagus. Tapi lebih baik Outbreak,” kata member R6 IDN yang bernama Suka Blyat alias Abidzarr.

Outbreak yang dimaksud di sini adalah event lain dalam Rainbow Six: Siege yang muncul pada pertengahan 2018 lalu. Meskipun bukan bertepatan dengan Halloween, Outbreak juga punya nuansa horor karena memiliki tema infeksi zombie di New Mexico. Kabarnya, event Outbreak inilah yang jadi inspirasi Ubisoft untuk mengembangkan game baru, Tom Clancy’s Rainbow Six: Quarantine.

Member R6 IDN lain yang bernama Tachancat juga merasa Doktor’s Curse kurang memuaskan. Alasannya, mode ini bikin bosan bila dimainkan sendirian. Namun ada juga yang merasa sudah puas, seperti member Mamacita alias M. Raihan Akbar.

“Lumayan seru, karena dengan mode ‘hide n seek’ mengingatkanku pada masa kecil di kala belum mengenal game PC. Pack Doktor’s Curse juga sangat unik menampilkan beberapa karikatur yang terkesan thrill,” ujarnya. Sementara itu member Diri_Kau hanya berharap bahwa setelah event ini berakhir, akan ada Operator baru yang memiliki stat seperti Attacker di Doktor’s Curse.

Rainbow Six Cursed Selfie Contest
Rainbow Six Cursed Selfie Contest | Sumber: Ubisoft

Selain event Doktor’s Curse, Ubisoft juga membuka kontes foto yang disebut R6 Cursed Selfie Contest, di mana para pemain diminta untuk mengirimkan swafoto seseram mungkin lewat media sosial. 10 pemenang kontes foto ini berhak mendapatkan seluruh item dari event Doktor’s Curse secara gratis. Bagaimana dengan Anda, apakah Anda sudah mencicipi event Halloween di Rainbow Six: Siege kali ini?

Disclosure: Hybrid adalah media partner Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN).

 

Tim Esports Ajax Amsterdam Luncurkan Kerja Sama yang Fokus pada Mobile Gaming

Amsterdamsche Football Club Ajax atau biasa dikenal dengan nama Ajax Amsterdam merupakan salah satu klub sepak bola profesional yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia esports. Mereka telah memiliki tim esports sejak tahun 2016, dengan nama Ajax eSports, dan saat ini terdiri dari enam atlet yang bermain di cabang game FIFA. Mereka juga telah meluncurkan platform edukasi FIFA untuk para pemain di seluruh dunia, yang dikenal dengan sebutan Ajax Gaming Academy.

Beberapa hari lalu, Ajax Amsterdam baru saja mengembangkan kiprah esports mereka lewat kerja sama dengan perusahaan media dan teknologi Belanda, Azerion. Menurut pengumuman di situs resminya, kerja sama antara Ajax dengan Azerion akan berjalan selama sekurang-kurangnya tiga musim, dan akan fokus pada pengembangan strategi di platform mobile. Posisi Azerion di Ajax eSports adalah official mobile gaming partner.

Ajax eSports akan membantu Azerion dengan cara mendorong visibilitas produk mereka di target audiens yang diinginkan. Nama Azerion akan muncul di pertandingan-pertandingan Ajax, sebagai gantinya Azerion akan membantu Ajax dalam hal periklanan, juga memberi bantuan dalam pengembangan aplikasi Ajax Gaming Academy yang akan diluncurkan sebentar lagi.

Ajax eSports dan Azerion sama-sama menyadari bahwa mobile game punya peran besar dalam kehidupan para penggemar olahraga. Co-CEO Azerion, Atilla Aytekin, mengatakan, “Ajax eSports dan Azerion adalah partner alami karena kami memiliki value yang sama. Kami ingin menginspirasi para penggemar, pemain, dan staf dengan menunjukkan ambisi dan keberanian.”

Commercial Director di Ajax, Menno Geelen, memperkuat pernyataan tersebut, “Azerion dan Ajax eSports memiliki ambisi yang sama: menguasai dunia dengan rencana mereka. Ambisi bersama ini menciptakan kecocokan yang kuat di antara kedua brand. Wawasan mereka (Azerion) telah memberi bantuan besar pada kami. Kami berharap bisa melanjutkan petualangan ini bersama.”

Ajax eSports - Dani Hagebeuk
Dani Hagebeuk, pemain Ajax eSports yang baru saja juara turnamen internasional FIFA 20 | Sumber: Ajax Amsterdam

Dari pernyataan kedua pihak serta periode kontrak yang diumumkan, tampaknya kita bisa optimis bahwa Ajax dan Azerion akan jadi partner untuk waktu lama, bahkan lebih dari tiga musim yang direncanakan. Menurut laporan dari Esports Insider, Azerion bukan satu-satunya brand yang menjalin kolaborasi jangka panjang dengan Ajax dalam tahun 2019 ini. Ajax eSports juga telah menggandeng, brand minuman energi ICONIX di bulan Februari lalu. Di samping itu, Ajax telah memiliki kerja sama dengan Plantronics, Playseat, PayPal, Ziggo, Adidas, dan lain-lain.

Sumber: Ajax Amsterdam, Esports Insider

Sengit Lawan Filipina, BOOM Esports Runner-Up di ESL Clash of Nations Bangkok 2019

Bagi para penggemar esports Indonesia, akhir pekan lalu mungkin akan dikenang sebagai hari jatuhnya babak playoff untuk Mobile Legends: Bang Bang Professional League alias MPL ID Season 4. Tapi sebetulnya ada satu kompetisi yang tak kalah penting yang berlangsung pada hari yang sama, bahkan merupakan turnamen kelas internasional. Turnamen yang dimaksud adalah ESL Clash of Nations Bangkok 2019, yang berlangsung selama tiga hari pada tanggal 25 – 27 Oktober kemarin.

Sebagaimana halnya ESL Clash of Nations yang digelar di Jakarta bulan Maret lalu, ESL Clash of Nations Bangkok 2019 mempertemukan sejumlah tim dari berbagai negara/wilayah. Namun kali ini tidak hanya Asia Tenggara, melainkan juga mencakup beberapa negara lain di sekitarnya. Mereka terdiri dari:

  • BOOM Esports (Indonesia)
  • RRQ.Trust (Thailand)
  • 496 Gaming (Vietnam)
  • Reality Rift (Malaysia/Singapura)
  • Athletico Esports (Australia/Selandia Baru)
  • Team Oracle (Australia/Selandia Baru)
  • Team Adroit (Filipina)
  • Global Esports (India)

Game yang dipertandingkan adalah Dota 2, dan ESL menawarkan hadiah sebesar US$50.000 (sekitar Rp700 juta) dalam turnamen ini. Setiap tim yang maju ke ESL Clash of Nations Bangkok 2019 melalui proses kualifikasi masing-masing tergantung dari negaranya. BOOM Esports, yang mewakili Indonesia, mendapat tiket tanding setelah jadi juara di ajang ESL Indonesia Championship Season 2, bulan September lalu.

Ajang ini merupakan tantangan tersendiri bagi BOOM Esports, sebab di ajang Clash of Nations pertama Indonesia berhasil keluar sebagai juara. Saat itu, EVOS menunjukkan keahlian mereka sebagai tim Arena of Valor terkuat di Asia Tenggara. Tentu BOOM Esports ingin meraih prestasi yang sama, apalagi tim tersebut sudah menjadi juara ESL Indonesia Championship sebanyak dua musim berturut-turut.

ESL Clash of Nations Bangkok 2019 - BOOM Esports 2
Sumber: ESL Indonesia

Aksi inYourdreaM, Mikoto, Fbz, Dreamocel, seta Khezcute berhasil mengantarkan BOOM Esports hingga ke babak Grand Final. Di sana mereka berhadapan dengan wakil Filipina, Team Adroit yang maju ke babak utama lewat jalur play-in (main langsung di tempat). Sayangnya, meski BOOM Esports sempat menunjukkan perlawanan yang sengit, akhirnya mereka terpaksa menyerah kalah dengan skor 2-1.

Meski tidak berhasil menjadi juara pertama, prestasi sebagai runner-up di ajang ESL Clash of Nations Bangkok 2019 tetap merupakan sesuatu yang patut dibanggakan karena mereka melawan tim-tim kuat dari berbagai negara. BOOM Esports pulang membawa hadiah sebesar US$10.000 (sekitar Rp140 juta), dan tekad untuk bertanding lebih baik lagi di ajang kompetisi berikutnya. Anda dapat menonton pertandingan antara BOOM Esports melawan Team Adroit dalam video di bawah.

Selamat kepada BOOM Esports, semoga ke depannya bisa terus berprestasi lagi dan semakin mengharumkan nama Indonesia di kancah esports dunia!

Sumber: BOOM Esports, ESL Indonesia