Gabungkan LMS dan LST, Riot Bakal Adakan Pacific League Championship Series

Riot meluncurkan League of Legends hampir 10 tahun lalu. Sejak saat itu, telah ada banyak turnamen esports dari game tersebut, seperti League of Legends Pro League (LPL) di Tiongkok, League of Legends Championship Series (LCS) di Amerika Utara, dan League of Legends European Championship (LEC) untuk tim-tim Eropa. Riot juga mengadakan League Master Series (LMS) untuk tim-tim yang berasal dari Hong Kong, Taiwan, dan Macau serta League of Legends Southeast Asia Tour (LST) yang menjadi tempat berlaga tim-tim dari Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Mulai tahun depan, Riot berencana untuk meleburkan LMS dan LST menjadi satu dan mengubah nama turnamen tersebut menjadi Pacific League Championship Series (PCS).

Pada tahun ini, Riot masih mengadakan LMS dan LST. Untuk menyelenggarakan dua turnamen tersebut, Riot bekerja sama dengan Garena, platform gaming dan esports dari perusahaan internet Sea. Masing-masing LMS dan LST memiliki delapan tim peserta. Sementara PCS akan mengadu 10 tim, menurut laporan The Esports Observer. Sayangnya, Riot masih belum memberikan informasi lengkap tentang turnamen PCS itu sendiri, seperti sistem kualifikasi yang digunakan atau apakah turnamen tersebut akan memiliki sistem promosi-relegasi. Riot juga baru akan mengumumkan jadwal turnamen pada tahun depan. Tujuan Riot untuk menggabungkan LMS dan LST menjadi PCS adalah untuk memperketat persaingan antara tim yang bertanding.

LST adu tim-tim dari Asia Tenggara | Sumber: situs LST
LST adu tim-tim dari Asia Tenggara | Sumber: situs LST

“Selama beberapa bulan belakangan, Garena dan Riot Games telah mengevaluasi ekosistem esports League of Legends di Asia Tenggara dan kawasan LMS,” kata Riot Games, menurut laporan Dot Esports. “Tujuan kami mengadakan PCS adalah membuat persaingan menjadi semakin ketat dan menyajikan pertandingan yang menarik untuk para fans.” Memang, belakangan, LMS tak lagi sekompetitif dulu. Tim-tim yang berlaga di LMS juga kesulitan untuk bertanding di panggung internasional. Tampaknya, salah satu alasannya adalah kurangnya pemain League of Legends yang mumpuni di kawasan LMS. Dengan menggabungkan LMS dan LST, Riot ingin membuat tim yang ikut serta menjadi semakin kompetitif dan memudahkan tim untuk mencari pemain bertalenat.

“Kami percaya, pembuatan liga baru, yang akan mengadu tim dari Hong Kong, Taiwan, Macau, dan Asia Tenggara dalam satu turnamen, akan membantu para tim untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan meningkatkan persaingan di kawasan tersebut,” kata Riot, seperti dikutip dari Esports Insider. “Pada saat yang sama, ini juga akan meningkatkan jumlah pemain yang bertalenta. Memusatkan ekosistem esports juga akan meningkatkan kesempatan bisnis dan media untuk para tim profesional.”

Sumber header: Dexerto

Atlet Esports Pensiun di Usia Muda, Lalu Apa?

Batas usia pensiun BPJS Ketenagakerjaan adalah 57 tahun. Atlet olahraga, seperti pemain sepak bola, biasanya dapat pensiun pada umur yang jauh lebih mudah. Menurut Profesional Footballers’ Association (FPA), rata-rata, para pemain sepak bola pensium ketika mereka berumur 35 tahun. Umur pensiun para atlet esports biasanya lebih muda dari pemain sepak bola. Memulai karir ketika umur masih di bawah 20 tahun, pemain profesional bisa mengundurkan diri ketika mereka masih berumur 20-an tahun.

Ialah Michael “Shroud” Grzesiek, mantan pemain profesional Counter-Strike: Global Offensive, yang kini menjadi streamer. Dia memulai karirnya pada 2014 ketika dia masih berumur 19 tahun. Bersama dengan Cloud9, dia berhasil menjadi juara dua di ESL One Cologne 2017 dan menjadi juara pertama ESL Pro League Season 4 pada 2016. Meskipun karirnya terbilang sukses, dia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 2018, saat dia masih berumur 23 tahun. Kepada The Hollywood Reporter, Grzesiek mengatakan, dia sering harus berpergian ke berbagai kota dan negara ketika dia masih aktif sebagai atlet esports. Saat itu, dia merasa tidak keberatan. Namun, sekarang, dia mengaku tak lagi ingin melakukan itu.

Setelah mengundurkan diri sebagai pemain profesional, Grzesiek memutuskan untuk menjadi streamer. Sejak itu, dia sukses menjadi salah satu streamer paling terkenal dengan lebih dari 6,9 juta pengikut di Twitch. Tidak hanya itu, dia juga sukses mendapatkan kontrak sponsorship dengan Postmates dan Madrinas Coffee. Dia mengaku, dia tidak akan bisa sesukses sekarang sebagai streamer jika dia tak pernah bergabung dengan Cloud9. Namun, dia baru bisa sukses sebagai streamer setelah dia memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pemain profesional karena sukses menjadi streamer memang bukanlah hal yang mudah.

Sumber: Twitter
Setelah mengundurkan diri, Shroud memutuskan untuk jadi streamer. Sumber: Twitter

“Seseorang yang bekerja sebagai streamer full-time harus berinteraksi dengan fans mereka setiap hari,” kata Head of Esports, United Talent Agency, Damon Lau, seperti dikutip dari THR. “Setiap para pemain esports pasti tahu bahwa menjadi streamer adalah karir alternatif yang bisa mereka ambil. Namun, terkadang, langkah untuk menjadi streamer membingungkan.” Untuk bisa menjadikan streamer sebagai pekerjaan utama, seseorang harus dapat membangun audiens mereka. Bagi pemain profesional, mereka harus melakukan itu sebelum mereka berhenti menjadi atlet esports. Itu artinya, mereka harus dapat menyeimbangkan jadwal latihan wajib bersama dengan tim dan waktu untuk membuat konten.

Jadwal latihan untuk masing-masing tim memang berbeda-beda. Bagi tim esports besar seperti divisi League of Legends 100 Thieves, berlatih enam sampai delapan jam sehari selama lima hari dalam seminggu adalah hal yang wajar. Sementara pada akhir pekan, terkadang para pemain profesional harus berlaga dalam pertandingan. Ini membuat waktu luang para pemain profesional semakin terbatas. “Mereka harus bisa menyeimbangkan waktu, fokus pada kompetisi dan pada saat yang sama, membangun popularitas mereka sendiri,” kata Brice Paccento, Co-founder Bad Moon Talent, badan agensi esports yang baru didirikan. Pria berumur 22 tahun itu memutuskan untuk menjadi pelatih setelah berhenti sebagai pemain profesional.

Pemain 100 Thieves, Bae “Bang” Jun-sik and Zaqueri “Aphromoo” Black| Sumber: Riot Games via The Verge
Pemain 100 Thieves, Bae “Bang” Jun-sik and Zaqueri “Aphromoo” Black| Sumber: Riot Games via The Verge

Lalu, bagaimana dengan tim esports profesional? Apakah mereka mengizinkan para pemainnya menjadi kreator konten? Jacob Toft-Andersen, VP Esports, 100 Thieves mengatakan bahwa pihak manajemen tim tidak keberatan jika para pemain juga membuat konten sebagai streamer. “Kami tidak memaksakan pemain kami untuk melakukan streaming, tapi kami mendorong mereka untuk melakukan itu dan mencoba untuk mengedukasi mereka tentang cara untuk membangun personal brand dan menempatkan diri mereka untuk karir di masa depan,” ujarnya. Selain menjadi streamer, opsi karir lain bagi pemain esports adalah menjadi analis di ESPN atau channel khusus game dan esports seperti VENN, yang baru akan diluncurkan pada tahun depan.

Umur atlet esports memang tidak panjang. Hal ini juga diakui oleh CEO RRQ, Andrian Pauline. Menurutnya, karir pemain profesional biasanya tak lebih dari tiga sampai empat tahun. Karena itu, dia menyebutkan, penting bagi tim esports untuk membuat siklus regenerasi yang baik. Setelah selesai berkarir sebagai atlet esports, seorang pemain bisa masuk ke bagian manajemen, seperti menjadi pelatih atau manajer. Untuk RRQ, mengingat tim itu ada di bawah naungan MidPlaza Holding, mereka juga bisa menawarkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan mereka.

Gaji Rata-Rata Pemain League of Legends European Championship Capai Rp3,9 Miliar

Prize pool yang besar jadi salah satu alasan mengapa esports menjadi perhatiah banyak orang. Dengan total hadiah sebesar US$34,3 juta (sekitar Rp484 miliar), The International 2019 adalah turnamen esports dengan prize pool terbesar sepanjang masa. Setengah dari total hadiah itu dibawa pulang oleh tim OG, yang berhasil menjadi juara The International dua tahun berturut-turut. Sementara pada Fortnite World Cup, pemenang kategori Solo, Kyle “Bugha” Giersdorf berhasil membawa pulang US$3 juta (sekitar Rp42 miliar). Namun, hadiah yang didapatkan oleh tim atau pemain pemenang berbeda dengan gaji yang pemain terima setiap bulannya dari tim dimana mereka bernaung.

League of Legends adalah salah satu game esports yang telah ada sejak hampir 10 tahun lalu. Setiap tahunnya, Riot Games juga mengadakan League of Legends World Championship, turnamen yang menjadi ajang bagi tim dan pemain esports terbaik di dunia. Selain itu, juga ada liga League of Legends untuk masing-masing kawasan. Misalnya, di Tiongkok, ada League of Legends Pro League, yang salah satu sponsornya adalah Nike. Sementara di Amerika Utara, terdapat League of Legends Championship Series (LCS) dan di Eropa, ada League of Legends European Championship (LEC).

Menurut Richard Wells, pendiri H2K Gaming dalam sebuah video, rata-rata gaji pemain LEC adalah €250 ribu (sekitar Rp3,9 miliar) per tahun, lapor ESPN. Itu artinya, setiap bulan, para pemain mendapatkan €20,8 ribu (sekitar Rp323 juta). Namun, angka itu adalah gaji rata-rata yang didapatkan pemain. Wells menyebutkan, pemain yang bermain di tim yang besar kemungkinan akan mendapatkan gaji yang lebih tinggi, sementara tim yang lebih kecil mungkin akan membayar pemainnya dengan nilai yang lebih rendah. Bagi para pemain yang bermain di tim LEC Academy, mereka mendapatkan €60 ribu (sekitar Rp932 juta) per tahun atau sekitar €5 ribu (Rp77,7 juta) per bulan.

Dalam videonya, Wells juga membahas tentang gaji yang diterima oleh pelatih tim LEC. Dia menyebutkan, rata-rata, para pelatih mendapatkan €100 ribu (sekitar Rp1,6 miliar) per tahun. Namun, angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan gaji yang didapatkan oleh pelatih tim LCS, yang mencapai US$500 ribu (Rp7,1 miliar) per tahun. Gaji pemain profesional di LCS juga lebih tinggi dari pemain LEC. League of Legends Championship Series Commissioner Chris Greeley mengatakan, gaji rata-rata pemain tim yang berlaga di LCS mencapai US$300 ribu (sekitar Rp4,2 miliar).

“Kami berusaha keras untuk menjadikan pemain pro LCS sebagai aspirasi bagi para fans kami,” katanya, menurut laporan Win.gg. “Gaji rata-rata pemain pro LCS adalah US$300 ribu, belum menghitung bonus atau hadiah turnamen.” Satu hal yang menarik, pada 2017, gaji rata-rata pemain LCS hanyalah US$105 ribu (sekitar Rp1,5 miliar). Itu artinya, gaji rata-rata pemain naik hampir tiga kali lipat dalam waktu dua tahun.

Ada beberapa alasan mengapa gaji rata-rata pemain LCS melonjak naik. Salah satunya adalah pertumbuhan industri esports yang pesat. Ekosistem esports League of Legends juga berkembang dengan cepat. Tahun lalu, dikabarkan, sebuah tim harus membayar US$10 juta (sekitar Rp141,2 miliar) untuk bisa bertanding di LCS. Dan ini bisa membuat pemain mendapatkan kenaikan gaji. Kemungkinan lain mengapa gaji rata-rata pemain LCS sangat tinggi adalah karena gaji besar yang diterima pemain bintang membuat gaji rata-rata pemain menjadi terlihat sangat tinggi. Menurut Greeley, gaji minimal pemain LCS adalah US$75 ribu (sekitar Rp1 miliar). Pemain bintang atau pemain tim besar kemungkinan mendapatkan gaji lebih dari itu. Alasan lain tim esports profesional rela membayar para pemainnya dengan gaji besar adalah untuk memastikan bahwa para pemain tetap membela timnya dan tidak keluar untuk menjadi streamer.

Tim LoL Fnatic. | Sumber: Fnatic
Tim LoL Fnatic. | Sumber: Fnatic

Tampaknya, gaji rata-rata pemain League of Legends memang cukup tinggi, terlepas di kawasan mana mereka bertanding. Sebagai perbandingan, gaji pemain League of Legends Champions Korea (LCK) mencapai sekitar 170 juta Won per tahun (sekitar Rp2,1 miliar). Sementara ketika JD Gaming mencari pemain profesional untuk bertanding di LPL, mereka menawarkan gaji mulai dari 500 ribu sampai 10 juta Yuan. (sekitar Rp1,05 sampai Rp21 miliar). Di Indonesia, League of Legends tidak terlalu dikenal sebagai game esports. Menurut riset yang dilakukan oleh DSResearch pada Juli lalu, dari 1.445 responden, hanya 30 persen orang yang tahu akan League of Legends sebagai game esports. Sebagai negara mobile first, tidak aneh jika dua game esports yang paling dikenal justru game mobile, yaitu Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground Mobile.

Sumber header: Dexerto

Louis Vuitton Buat Travel Case untuk Trofi League of Legends World Championship

Riot Games baru saja mengumumkan kerja samanya dengan Louis Vuitton dalam League of Legends World Championship. Sekilas, ini mungkin membuat Anda heran, mengingat Louis Vuitton adalah merek fashion asal Prancis sementara Riot adalah developer game yang juga mengadakan turnamen untuk game buatannya, League of Legends. Namun, sebenarnya ini tidak aneh. Belakangan, memang semakin banyak merek non-endemik (merek yang tidak memiliki kaitan dengan dunia game atau esports secara langsung), yang tertarik untuk mendukung industri esports, mulai dari perusahaan pembuat mobil, makanan, sampai layanan keuangan.

Dengan kerja sama ini, Louis Vuitton akan membuat travel case untuk Summoner’s Cup, piala yang diserahkan untuk pemenang League of Legends World Championship. Sebelum ini, Louis Vuitton memang pernah membuat travel case untuk berbagai trofi kompetisi bergengsi, seperti Rugby World Cup dan FIFA World Cup. Namun, ini pertama kalinya mereka membuat travel case untuk kompetisi esports. League of Legends World Championship adalah turnamen tahunan yang Riot adakan. Riot menyebutkan, turnamen tingkat dunia itu diikuti oleh lebih dari 100 tim esports dan 800 pemain profesional serta ditonton oleh jutaan fans. Tahun ini, turnamen tersebut akan dimulai pada 2 Oktober di Berlin, Jerman. Sementara babak kuartal final dan semi final akan diadakan pada 26 Oktober di Madrid, Spanyol. Babak final akan diadakan di Paris, Prancis pada 10 November. Travel case buatan Louis Vuitton akan dipamerkan di Eiffel Tower selama dua hari sebelum babak final diadakan.

Sumber: VentureBeat
Summoner’s Cup. Sumber: VentureBeat

“Kedua pihak ingin memastikan bahwa kolaborasi ini menarik hati masing-masing target konsumen perusahaan,” kata Naz Aletaha, Head of Global Esports Partnerships and Business Development, Riot Games, menurut laporan The Washington Post. “Esports adalah tahap berikutnya bagi perusahaan yang selama ini terlibat dalam industri olahraga tradisional.” Memang, merek-merek yang selama ini diasosiasikan dengan dunia olahraga juga telah masuk ke esports. Misalnya, merek sportswear Nike yang menjadi sponsor dari League of Legends Pro League (LPL) serta membuat jersey untuk tim yang bertanding turnamen League of Legends di Tiongkok tersebut. Selain itu, Adidas juga mengumumkan kerja sama dengan streamer Fortnite ternama, Tyler “Ninja” Blevins.

Tidak berhenti sampai di situ, Louis Vuitton juga akan mendesain skin untuk karakter League of Legends. Desain skin tersebut akan ditangani langsung oleh Nicolas Ghesquière, Artistic Director of Women’s Collection dari Louis Vuitton. Dia juga akan membuat berbagai digital aset untuk League of Legends. Skin memungkinkan para pemain untuk membuat karakternya tampil beda. Epic Games, pembuat Fortnite, mendapatkan uang hingga jutaan dollar per bulan dengan menjual skin. Sayangnya, saat ini, belum diketahui seperti apa desain dari skin atau travel case untuk trofi League of Legends World Championship buatan Louis Vuitton.

Menurut Aletaha, konvergensi antara dunia game dan fashion bukanlah sesuatu yang aneh. Tahun ini, League of Legends akan berumur 10 tahun. Riot mengklaim, game buatannya itu merupakan “game PC terpopuler di dunia” dengan lebih dari delapan juta orang memainkan game itu setiap harinya. League of Legends juga memiliki turnamen esports di berbagai kawasan. Selain turnamen esports, League of Legends juga memiliki komik. Riot juga sukses menggabungkan game buatannya dengan musik. Tahun lalu, kompetisi dunia League of Legends menampilkan konser K-pop dengan augmented reality sebagai acara pembukaan. “Game memang mulai menjadi gaya hidup,” kata Aletaha. “Kami kini telah menjadi budaya. Tidak heran jika fashion jadi langkah berikutnya.”

Sumber: The Washington Post, VentureBeatThe Verge

StarLadder Gandeng Esports Charts untuk Analisa Data

Data is the new oil. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa berharganya data bagi perusahaan. Tentu saja, data hanya berguna jika perusahaan dapat mengolahnya. Menurut laporan Inc., ada tujuh keuntungan yang bisa didapatkan oleh perusahaan yang bisa mengolah data. Dengan menganalisa data, perusahaan dapat memberikan layanan yang lebih baik. Selain itu, perusahaan juga akan dapat mengidentifikasi pelanggan setia. Dengan analitik data, perusahaan juga dapat menekan biaya operasional. Data juga bisa digunakan untuk menampilkan iklan yang lebih baik dan melakukan manajemen produk dengan lebih baik. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan yang bergerak di bidang esports.

Perusahaan asal Ukraina yang dikenal sebagai penyelenggara turnamen esports, StarLadder baru saja mengumumkan kerja samanya dengan Esports Analytics, perusahaan penyedia layanan analitik. Melalui kerja sama ini, kedua perusahaan itu akan saling bertukar data. Data tersebut akan digunakan untuk membuat analisa dan perkiraan tren esports di masa depan yang lebih akurat. Dengan bantuan dari Esports Charts, StarLadder berharap mereka akan bisa berkembang menjadi lebih besar. Salah satu bentuk dukungan dari Esports Charts untuk StarLadder adalah memberikan laporan terkait turnamen-turnamen yang StarLadder adakan dan juga tren di industri esports.

Data StarLadder Major Berlin 2019 | Sumber: Esports Charts
Data StarLadder Major Berlin 2019 | Sumber: Esports Charts

“Bersama, kami akan membuat pasar esports tidak hanya menjadi lebih baik dan lebih transparan, tapi juga lebih menarik bagi perusahaan dan sponsor ternama — yang akan puas dengan hasil kampanye iklan mereka berkat analitik data kami, tak peduli besar kampanye itu, ,” kata pendiri Esports Charts, Ivan Danishevsky, seperti disebutkan oleh European Gaming. Esports Charts memang menawarkan layanan analitik untuk perusahaan esports dan streaming. Dengan data yang akurat, semuak pihak yang terlibat di industri esports — mulai dari penyelenggara, tim profesional, sponsor, sampai penonton — akan mengukur popularitas sebuah turnamen atau game. Pada awal September, Activision Blizzard juga menggandeng Nielsen untuk memastikan validitas data dari liga esports mereka.

“Sebagai perusahaan internasional asal Ukraina, kami sangat senang karena ada semakin banyak startup Ukraina yang masuk ke industri esports global,” kata Chief Product Officer, StarLadder, Gene Hladki, dikutip dari Esports Insider. “Sejak awal, Esports Charts menunjukkan keseriusan mereka dan kemampuan mereka. Semua perusahaan besar di industri esports menggunakan layanan analitik mereka. Dan tentu saja, kami juga kagum dengan profesionalisme mereka.” StarLadder telah mengadakan turnamen esports sejak 2001. Paling sering, mereka mengadakan turnamen untuk Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive. Belum lama ini, mereka telah mengadakan StarLadder Major Berlin 2019. Selain itu, mereka juga mengadakan turnamen untuk Player Unknown’s Battleground dan Hearthstone. Kerja sama dengan Esports Charts akan membantu mereka untuk mengetahui audiens mereka dengan lebih baik, yang akan membantu mereka untuk membuat strategi di masa depan.

PBIC dan Babak Final PBNC Season 2 Bakal Diadakan di Gelora Bung Karno

Zepetto akan mengadakan Grand Final dari Point Blank National (PBNC) Season 2 di Basket Hall Gelora Bung Karno (GBK) pada 11-13 Oktober mendatang. Pendaftaran untuk PBNC telah dibuka sejak 22 Juli lalu. Zepetto mengadakan babak kualifikasi terbuka dan tertutup di berbagai kota. Dalam babak final, akan ada 16 tim yang bertanding, salah satunya adalah RRQ TCN, yang mendapatkan undangan setelah menjadi juara pada PBNC Season 1. Beberapa tim yang juga akan bertanding antara lain Alter Ego, RRQ Endeavour, Recca Esports, dan The Prime W4NA873.

Tim yang memenangkan PBNC Season 2 akan mendapatkan hadiah sebesar Rp300 juta. Sementara tim yang menjadi runner up mendapatkan hadiah Rp50 juta, tim runner up kedua mendapatkan Rp20 juta, dan tim pada peringkat 4 sampai 8 masing-masing mendapatkan Rp5 juta. Juara pertama dan kedua dari PBNC Season 2 juga berhak untuk mewakili Indonesia dalam Point Blank International Championship (PBIC). Dalam PBIC, tim-tim yang akan bertanding berasal dari berbagai negara, yaitu  Rusia, Brasil, Thailand, Amerika Latin, Filipina, dan Turki. Sama seperti PBNC, PBIC juga akan diadakan di Basket Hall GBK pada 11-13 Oktober. Tahun lalu, PBIC diadakan di Seoul, Korea Selatan. Tahun ini, Zepetto memutuskan untuk mengadakan turnamen ini di Indonesia sebagai salah satu bentuk perayaan ulang tahun Point Blank Indonesia ke-10.

EVOS Galaxy Sades - PBIWC 2019 Winner
Tim EVOS Galaxy Sade pada PBWC | Sumber: Point Blank Indonesia

Selain babak final PBNC Season 2 dan PBIC, Zeppeto juga mengadakan turnamen khusus untuk pemain perempuan, Point Blank Ladies Championship (PBLC) 2019. Babak kualifikasi PBLC dimulai pada 8 September lalu. Pada babak kualifikasi fase pertama, terpilih tiga tim finalis yang akan bertanding dengan tiga tim undangan dalam babak kualifikasi fase kedua. Ketiga tim yang diundang antara lain EVOS Galaxy Sades MRN, The Prime Mod iNEA, dan TF2W eSports. Pada fase kedua, keenam tim akan bertanding menggunakan sistem Round Robin. Empat tim dengan nilai tertinggi akan terpilih untuk berlaga dalam babak final PBLC. Ketiga tim undangan berhasil masuk ke babak final. Satu tim lain yang masuk ke babak final adalah Power Danger Survival Revolt.

Zeppeto juga mengadakan turnamen untuk para Troopers (pemain Point Blank) di bawah umur 15 tahun, yaitu Point Blank Junior League (PBJL). Maksimal, para peserta PBJL dilahirkan pada September 2004. Zepetto pertama kali mengadakan turnamen untuk kompetitor muda pada tahun lalu. Ketika itu, turnamen tersebut dinamai PBNC Junior. Melihat betapa tingginya minat akan kejuaraan tersebut, Zepetto lalu mengubah turnamen tersebut menjadi sistem liga, yaitu PBJL. Publisher game Point Blank itu juga menyediakan hadiah yang cukup besar untuk PBJL. Total hadiah PBJL 2019 mencapai Rp500 juta.

Keputusan Zepetto untuk mengadakan empat turnamen Point Blank sekaligus menunjukkan keseriusannya untuk mengembangkan ekosistem Point Blank di Indonesia. Mereka bersedia untuk mengadakan turnamen Point Blank untuk semua kalangan, terlepas dari umur dan gender.

DreamHack Perpanjang Kerja Sama dengan Challengermode

DreamHack memperpanjang kontrak kerja samanya dengan Challengermode. Dengan begitu, kerja sama keduanya akan berlangsung sampai 2021. Dua perusahaan asal Swedia tersebut pertama kali bekerja sama pada April 2018. Ketika itu, DreamHack mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan platform Challengermode secara eksklusif untuk turnamen Counter-Strike: Global Offensive, League of Legends, dan Player Unknown’s Battleground. Sebelum itu, keduanya juga telah bekerja sama dalam berbagai kompetisi esports amatir di DreamHack festival. Dengan terpilihnya Challengermode sebagai platform eksklusif, mereka akan bertanggung jawab atas registrasi pemain dan menentukan bracket pertandingan.

DreamHack menyebutkan, dengan bekerja sama dengan Challengermode, mereka berharap mereka akan dapat mendorong fans menjadi lebih aktif dalam kegiatan online sehingga mereka dapat memonetisasi fanbase mereka. “DreamHack selalu ingin memberikan yang terbaik untuk komunitas kami. Menjadikan Challengermode sebagai rekan platform kami memungkinkan kami untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidka bisa kami lakukan,” kata Michael Van Driel, Chief Product Officer DreamHack, lapor Esports Insider. “Kami tidak sabar untuk mengekspansi DreamHack Weekly dan mendukung komunitas esports pada level akar rumput dengan mengadakan lebih banyak kompetisi di CS, PUBG, LoL, dan Dota — dan ke depan, kami akan menyediakan kompetisi untuk lebih banyak game.”

Tampilan siitus Challengermode | Sumber: Challengermode
Tampilan siitus Challengermode | Sumber: Challengermode

Dalam satu tahun belakangan, DreamHack mengadakan turnamen online dan babak kualifikasi menggunakan platform Challengermode. Salah satunya adalah DreamHack Weekly, yang mengadu game CS:GO dan PUBG, menurut The Esports Observer. Sebelum ini, DreamHack telah menggunakan platform Challengermode untuk mengadakan babak kualifikasi terbuka untuk Nordic Championship untuk League of Legends dan CS:GO. Dengan perpanjangan kontrak ini, DreamHack juga akan menggunakan platform Challengermode untuk mengadakan turnamen online Dota 2 mingguan dengan total hadiah sebesar €9 ribu (sekitar Rp139 juta).

“DreamHack adalah salah satu penyelenggara turnamen ternama di dunia. Mereka juga telah menjadi rekan yang baik dalam berbagai kerja sama antara dua perusahaan,” kata CEO Challengermode, Robel Efrem. “Rekam jejak DreamHack dan teknologi pada platform kami, bersama, kami ada di posisi strategis untuk memberikan pengalaman esports dan gaming yang revolusioner dalam beberapa bulan dan bahkan bertahun-tahun ke depan.”

Intel, ESL, dan NSE Buat Program FutureGen untuk Cari Talenta Esports di Kampus

Di industri esports, para pemain profesional mungkin menjadi pihak yang paling sering disorot oleh media. Namun, menjadi pemain profesional bukanlah satu-satunya karir yang bisa ditempuh. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa dijalani, seperti manager tim esports atau caster. Pada 2018, Intel dan ESL membuat program bernama FutureGen dengan utjuan untuk mencari komentator di kalangan mahasiswa di Inggris Raya. Ketika itu, TJ Phillips keluar sebagai juara. Dia mendapatkan kesempatan untuk melakukan berbagai wawancara dalam EGX 2018 dan menjadi komentator untuk turnamen esports di acara tersebut. Tahun ini, Intel dan ESL juga menggandeng National Student Esports (NSE) untuk mengadakan program FutureGen yang lebih besar.

Jika dalam program FutureGen tahun lalu hanya ada satu orang yang keluar sebagai pemenang, tahun ini, program FutureGen akan memilih 10 orang dari orang-orang yang mendaftarkan diri. Pendaftaran program FutureGen akan dibuka pada akhir September. Salah satu syarat untuk mendaftar dalam program ini adalah menjadi mahasiswa di universitas di Inggris Raya. Selain itu, orang yang hendak mendaftar juga harus mengirimkan surat lamaran dan membuat video pendek. Setelah itu, sekelompok juri akan memilih 10 orang dari daftar pendaftar. Pada semester kedua tahun akademik saat ini, Intel dan NSE akan mengadakan berbagai kegiatan untuk mengembangkan talenta 10 orang yang terpilih. Puncak kegiatan akan diadakan pada Mei 2020. Menurut laporan The Esports Observer, peserta program FutureGen akan bisa belajar dari “para pemimpin industri”. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan pelatihan terkait esports.

Behind the scene, caster pada ESL One Frankfurt 2014 | Sumber: Flickr
Behind the scene, caster pada ESL One Frankfurt 2014 | Sumber: Flickr / artubr

“Di Intel, kami berkomitmen untuk mengembangkan esports dan itu berarti mendukung industri dari bawah, membuat liga pada level grassroot, dan mengedukasi talenta baru,” kata UK Gaming and Esports Lead, Intel UK, Scott Gillingham, seperti dikutip dari Esports Insider. “Talenta esports tidak terbatas pada pemain. Itulah kenapa, setelah sukses melakukan program FutureGen pada 2018, Intel dengan bangga meluncurkan Intel FutureGen 2019 bersama NSE dan ESL. Kami ingin membuat program yang lebih besar dan lebih baik tahun ini, jadi kami bisa mendukung mahasiswa berbakat dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri untuk anak muda yang memiliki aspirasi di esports.”

Intel telah menjadi rekan NSE pada Juli. Ketika itu, perusahaan pembuat prosesor tersebut menjadi sponsor dari British University Esports Championship (BUEC) yang diadakan oleh NSE. Sementara Intel dan ESL telah menjadi rekan sejak lama. Selain bekerja sama dalam Intel Extreme Masters (IEM), Intel juga bekerja sama untuk mengadakan Intel World Open pada Olimpiade Tokyo 2020. Intel World Open akan menjadi acara “pre-event” dari Olimpiade. Dua game yang akan diadu adalah Street Fighter V: Arcade Edition dan Rocket League.

Populer Secara Global, Twitch tak Berkutik di Indonesia

Secara global, ada empat platform live-streaming yang ada di bawah perusahaan besar, yaitu Twitch di bawah Amazon, YouTube Gaming, Facebook Live, dan Mixer milik Microsoft. Dari empat platform tersebut, Twitch masih menjadi platform live-streaming populer, menurut laporan StreamElements, dikutip dari TechCrunch. Pada Q2 2019, total durasi video live-streaming ditonton mencapai 3,77 miliar jam. Sebanyak 2,72 miliar jam ditonton di Twitch, yang berarti platform tersebut berkontribusi 72,2 persen dari total durasi video ditonton. Setelah Twitch, YouTube Gaming jadi platform populer kedua, diikuti oleh Facebook Gaming dan Mixer dari Microsoft.

Sumber: TechCrunch
Jumlah total video ditonton. Sumber: TechCrunch

Namun, tren di Indonesia sama sekali berbeda. Platform pilihan masyarakat Indonesia untuk menonton konten esports adalah YouTube. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh DSResearch pada 1.445 responden, sebanyak 84,6 persen responden mengaku bahwa mereka menonton konten esports di YouTube. Platform favorit kedua adalah Facebook, diikuti oleh NimoTV. Namun, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, ada perbedaan yang signifikan antara jumlah responden yang menonton esports di YouTube dan di Facebook serta NimoTV. Twitch, yang populer secara global, justru menjadi platform yang paling jarang digunakan. Hanya 6,6 persen responden menonton konten esports di platform tersebut.

Sumber: DSResearch
Sumber: DSResearch

Berdasarkan laporan Esports Market Trend 2019, dua game esports paling populer di kalangan responden ketika survei diadakan pada Juli lalu adalah Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground (PUBG) Mobile. Keduanya adalah game mobile. Kedua game itu juga menjadi game esports yang paling banyak ditonton oleh responden. Menurut laporan DSResearch, konten game mobile seperti Mobile Legends dan PUBG Mobile memang sering ditayangkan di YouTube, baik secara live maupun rekaman. Karena itu, tidak heran jika YouTube jadi platform favorit masyarakat Indonesia untuk menonton konten gaming dan esports. Facebook sukses menjadi platform terpopuler kedua berkat usaha keras mereka untuk meningkatkan pengguna Facebook Gaming. Dari data ini, bisa disimpulkan, jika penyelenggara acara esports ingin melakukan live streaming atau mengunggah konten video, mereka dapat fokus pada dua platform tersebut.

Meskipun Twitch adalah platform konten game dan esports terpopuler di dunia, tak banyak penduduk Indonesia yang menggunakan platform tersebut. Alasannya sederhana, karena platform itu terasa tak familiar. Co-founder dan COO Twitch, Kevin Lin sempat hadir dalam acara IDBYTE pada 13 Desember lalu. Ketika ditanya tentang ini, dia mengaku tidak heran jika tak banyak warga Indonesia yang menggunakan Twitch, karena Indonesia memang bukan salah satu negara yang menjadi fokus mereka. “Indonesia jelas adalah pasar yang besar, dengan fokus pada mobile. Saat ini, kami belum mendukung streaming untuk game mobile. Kami tengah mengembangkan fitur itu. Setelah itu selesai, kami akan lebih fokus ke Indonesia,” jawab Kevin ketika ditanya apakah Twitch akan mencoba untuk masuk ke pasar Indonesia.

Sumber header: Dexerto

Persaingan Nike dan Li-Ning di Ranah Esports Tiongkok

Bagi fans, atlet olahraga adalah seorang pahlawan. Tidak jarang, para fans ingin menjadi seperti orang yang dia kagumi, misalnya dengan menggunakan produk yang sang atlet kenakan. Karena itulah, perusahaan biasanya rela untuk mengeluarkan uang jutaan hingga miliaran rupiah untuk bisa menjadi sponsor seorang atlet atau tim olahraga. Nike adalah salah satu merek yang sangat agresif dalam mensponsori tim olahraga.

Nike pertama kali masuk ke ranah esports di Tiongkok pada Oktober 2018. Ketika itu, mereka bekerja sama dengna LeBron James untuk mempromosikan film dokumentar Shut Up & Dribble. Dalam kampanye itu, mereka melibatkan Jian “Uzi” Zihao, pemain tim Royal Never Give-Up (RNG) yang berlaga dalam League of Legends Pro League (LPL). Pada Februari 2019, Nike menandatangani perjanjian untuk menjadi sponsor dari LPL, kompetisi League of Legends untuk kawasan Tiongkok. Perjanjian sponsorship yang berlaku selama empat tahun itu bernilai US$29 juta (sekitar Rp400 miliar). Ini adalah kali pertama Nike menjadi sponsor liga esports.

Dengan kontrak sponsorship itu, semua pemain, pelatih, wasit, dan manager tim LPL harus menggunakan pakaian dan sepatu Nike pada hari pertandingan. Mengingat kontrak ini bersifat eksklusif, tidak ada merek sportswear lain yang boleh menjadi sponsor dari LPL atau semua tim yang bermain di liga tersebut. Pada April, Nike memamerkan kaos yang mereka buat bersama dengan LPL, yang mereka namai “Gamer. Sementara pada awal September lalu, perusahaan sportswear itu menunjukkan seragam dari tim LPL, yang menampilkan logo Nike dan LPL, tapi tidak menunjukkan sponsor dari masing-masing tim. Tak berhenti sampai di situ, Nike juga meluncurkan berbagai jenis pakaian bersama LPL, seperti kaos, sepatu, dan jaket hoodie.

Jersey tim LPL dari Nike | Sumber: The Esports Obsrever
Jersey tim LPL dari Nike | Sumber: The Esports Obsrever

Nike telah menghabiskan uang yang tidak sedikit sebagai sponsor esports di Tiongkok. Menurut Lanxiong Sports, nilai sponsorship antara Nike dan LPL mencapai 50 juta yuan (sekitar Rp99,3 miliar) per tahun. Sponsorship itu berupa uang dan produk. Nike bukanlah satu-satunya merek sportswear yang rela menghabiskan uang dalam jumlah besar di industri esports Tiongkok. Ialah Li-Ning, merek sportswear Tiongkok yang populer di negara asalnya tersebut.

Menurut laporan The Esports Observer, Li-Ning juga tertarik untuk masuk ke esports Tiongkok. Namun, mereka tak memiliki rencana untuk mengikuti jejak Nike dan menjadi sponsor liga esports. Sekalipun mereka ingin melakukan itu, mereka tidak akan bisa karena perjanjian antara Nike dan LPL bersifat eksklusif. Li-Ning pernah menjadi sponsor dari tim League of Legends Edward Gaming (EDG) pada Oktober 2018. Hanya saja, ketika Nike menandatangnai perjanjian eksklusif dengan LPL, Li-Ning mau tak mau harus menghentikan kontrak dengan tim esports tersebut. Namun, itu bukan berarti Li-Ning tak lagi tertarik dengan esports. Beberapa bulan sejak penghentian kontrak dengan EDG, mereka telah menjadi sponsor dari berbagai tim esports seperti Newbee, QC Happy, Hero, YTG, tim Dota 2 RNG, dan juga Team Griffin dari Korea Selatan.

Secara tak langsung, Li-Ning juga memiliki tim LPL bernama LNG Esports. Pada Januari, Viva China Sports mengakuisisi tim Snake Esports. Kepada Chongqing Evening News, CEO Viva China Sports, Li Qilin mengatakan bahwa mereka menghabiskan “ratusan juta yuan” untuk membeli tim esports tersebut. Tim Snake Esports lalu mengganti namanya menjadi LNG Esports pada Mei. Viva China Sports adalah divisi olahraga di bawah Viva China Holdings, yang sebagian kepemilikannya dipegang oleh Li Ning. Selain itu, Qilin adalah keponakan dari Li Ning serta menjabat sebagai anggota dewan dalam Li-Ning Group. Uang yang Li-Ning keluarkan untuk mengembangkan industri esports Tiongkok juga tidak sedikit. Menurut LoL China White Paper dari Tencent/Riot Games, Li-Ning menghabiskan 30 juta yuan (sekitar Rp60 miliar) untuk membangun markas LNG Esports.

Sumber: The Esports Observer
Pakaian player profesional dari Li-Ning | Sumber: The Esports Observer

Karena kontrak eksklusif Nike dengan LPL, Li-Ning memang tak bisa menjadi sponsor dari tim LPL di Tiongkok. Namun, mereka masih bisa membuat perjanjian langsung dengan para pemainnya. Per Juli lalu, Li-Ning telah mendapatkan perjanjian endorsement dengan 10 pemain dari Edward Gaming (EDG). Strategi ini tidak aneh dan biasa diterapkan di olahraga tradisional, seperti basket. Misalnya, meski Nike adalah sponsor pakaian eksklusif untuk NBA, Adidas tetap dapat membuat perjanjian dengan pemain NBA, James Harden.

Meskipun Nike dan Li-Ning sama-sama merek sportswear yang menjadi sponsor di ranah esports, keduanya memiliki strategi yang berbeda. Jika Nike menargetkan para gamer dengan lini “Gamer”, Li-Ning fokus pada para atlet esports profesional dengan lini 中国选手 (yang berarti Pemain Profesional Tiongkok) yang Li-Ning rilis tak lama setelah Nike memperkenalkan lini Gamer. Di Indonesia, tim esports yang menjalin kerja sama dengan merek pakaian adalah EVOS Esports. Pada Juli, mereka mengumumkan kolaborasi dengan Thanksinsomnia dengan tujuan agar nama mereka tak hanya dikenal sebagai tim esports, tapi juga merek lifestyle. Mereka juga lalu membuka flagship store pada Agustus kemarin.