PB ESI Ingin Buat Ekstrakurikuler Esports, Penonton The International 10 Capai 1,1 Juta Orang

Setelah ditunda selama satu tahun, The International 10 akhirnya resmi digelar. Walau tidak ada penonton langsung, TI10 tetap menarik perhatian banyak orang. Hal ini terlihat dari jumlah orang yang menonton siaran langsung dari The International 10. Sementara itu, di dalam negeri, PB ESI mengungkap rencana mereka untuk mengadakan akademi esports dan ekstrakurikuler esports. Di Eropa, ESL Gaming menjalin kontrak kerja sama dengan Freaks 4U Gaming.

PB ESI Ingin Jadikan Esports Sebagai Ekstrakurikuler dan Buat Akademi Esports

Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) baru saja mengungkap rencana mereka untuk menjadikan esports sebagai ekstrakurikuler. Tak hanya itu, mereka juga berencana untuk membuat akademi esports. Tujuannya adalah untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Ketua Harian PB ESI, Bambang Sunarwibowo berharap, keberadaan program akademi esports dan ekstrakurikuler esports tidak hanya akan memunculkan atlet esports muda, tapi juga menumbuhkan ketertarikan untuk menjadi kreator konten, streamer, caster, pelatih atau wasit, lapor Antara.

Jumlah Penonton The International 10 Tembus 1,1 Juta Orang

The International 10 telah dimulai. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tim-tim yang bertanding di TI10 dibagi ke dua grup. Sayangnya, siaran TI10 tidak berjalan mulus. Pasalnya, siaran langsung dari TI10 sempat ditunda selama hampir 1 jam. Meskipun begitu, hal ini tidak menurunkan minat para penonton. Buktinya, jumlah peak viewers dari babak pertama TI10 mencapai lebih dari satu juta orang, menurut data dari Esports Charts.

Sementara itu, total hours watched dari group stage TI10 mencapai 11,2 juta jam, dengan jumlah peak viewers mencapai 1,1 juta orang. Seperti yang disebutkan oleh Dot Esports, jumlah peak viewers pada group stage TI10 hampir menyamai jumlah peak viewers dari babak final TI8. Ketika itu, pertandingan antara OG dan PSG.LGD berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 1,2 juta orang.

Streamer Amouranth Terkena Ban di Twitch, Instagram, dan TikTok

Minggu lalu, streamer ASMR Kaitlyn “Amouranth” Siragusa terkena ban di Twitch. Tak hanya itu, melalui Twitter, Amouranth mengungkap bahwa dia juga terkena ban di Instagram dan TikTok. Menurut laporan Dot Esports, kali ini adalah kali kelima Amouranth terkena hukuman ban di Twitch. Saat ini, Amouranth mengaku tidak tahu alasan di balik hukuman ban ini. Namun, ada kemungkinan, akunnya diblokir karena dia membuat konten yang terlalu seksual. Sebelum ini, dia juga ikut serta dalam tren bathtub streaming.

Sejak tahun lalu, TikTok mulai memblokir kreator konten yang memasang tautan ke konten dewasa di bio mereka. Misalnya, kreator konten yang menampilkan tautan ke OnlyFans atau Linktree. Instagram juga punya peraturan serupa tentang konten seksual. Sementara di Twitch, streamers bisa terkena ban jika mereka mempromosikan OnlyFans.

BITKRAFT Ventures Siapkan US$75 Juta untuk Investasi di Blockchain Gaming

BITKRAFT Ventures, salah satu investor terbesar di bidang game dan esports, mengungkap bahwa mereka telah menyiapkan dana sebesar US$75 juta untuk diinvestasikan ke startup dan perusahaan yang bergerak di bidang blockchain gaming dan hiburan digital. Sebelum ini, mereka juga telah mempekerjakan Piers Kicks untuk membantu mereka dalam menjajaki ekosistem crypto.

BITKRAFT Ventures.

BITKRAFT tidak menentukan stage yang menjadi fokus mereka dalam mengucurkan dana investasi untuk blockchain gaming. Hal itu berarti, mereka akan menanamkan investasi ke startup atau perusahaan yang mereka anggap sesuai, tidak peduli apakah startup itu membutuhkan dana pre-seed atau perusahaan tersebut membutuhkan investasi di seri lanjutan, menurut laporan VentureBeat.

Freaks 4U Gaming Pegang Lisensi ESL di Prancis dan Jerman

Penyelenggara turnamen ESL Gaming mengumumkan kontrak kerja sama dengan Freaks 4U Gaming, perusahaan gaming dan esports marketing. Kontrak ini berlangsung selama lebih dari satu tahun. Melalui kontrak tersebut, Freaks 4U Gaming akan menjadi pemegang lisensi dan operator dari kompetisi nasional ESL dan festival DreamHack di Jerman dan Prancis. Selain itu, Freaks 4U Gaming juga akan membuat konten yang akan dimasukkan ke ESL dan DreamHack. Keduanya juga akan berkolaborasi demi mencari cara untuk memonetisasi esports events, menurut laporan Esports Insider.

Comparing the Olympics With Esports Tournaments: Which One Is More Profitable?

In recent years, the popularity of esports has skyrocketed. Even so, there is still a negative stigma attached to the competitive gaming industry. The participation of esports in major sporting events — such as the SEA Games or the Asian Games — can undoubtedly help remove this stigma. Furthermore, the emergence of esports in traditional sports competitions, such as the National Sports Week (PON) or the President’s Cup, can also increase public awareness of esports.

The Olympics is widely regarded as the most prestigious sporting event in the entire world. Previously, Hybrid.co.id had discussed if esports deserves a spot in the Olympics. This time, however, I will compare the process of organizing the Olympics with world-class esports events such as The International and League of Legends Worlds. Through our analysis, we can try to observe if there are any similarities that suggest that esports and the Olympics can be juxtaposed.

Preparation of the Olympics

Even though the Olympics only takes place for 16 days, preparing for the event can take years of effort. The preparation process begins by selecting a hosting country. For instance, the application to host the 2020 Olympics (which will be held in 2021 due to the COVID-19 pandemic) started in May 2011. At that time, the International Olympic Committee (IOC) informed each country’s National Olympic Committees (NOCs) that they could apply to host the 2020 Olympics

In June 2011, the Governor of Tokyo applied as the 2020 Olympic host. Besides Tokyo, several other cities also volunteered, such as Istanbul, Madrid, Baku, Doha, and Rome. However, Tokyo finally took the spot and signed the host contract in September 2013.

As you can see, preparing for the Olympics can take a very long time since the host selection can take 7-12 years before the event starts. In the 2022 Winter Olympics, Beijing was selected as the host in July 2015. Paris, the 2024 Olympics host, got the spot in September 2017. The Olympic Committee intentionally gave this much time due to the tremendous effort required to host the Olympic event successfully.

As a host, the city must not only build an athlete village to accommodate Olympic participants but also build or repair a stadium to run the sporting events. Moreover, the government must also improve the city’s infrastructure, ensuring a warm welcome to the audience, tourists and Olympic personnels that will visit the city.

This year, Tokyo prepared more than 41 thousand hotel rooms for the media, IOC executives, NOC representatives, and representatives of the International Sports Federations (ISF). They also need to take into account the hotels that will accommodate the tourists. Prior to the pandemic, the Tokyo government planned to set up cruise ships in Tokyo ports as temporary hotels. However, the plan was ultimately canceled due to the lack of spectators who watched this year’s Olympics in person.

As for the athletes, Tokyo needs to build an Olympic village, or often called an athletes village. Building this accommodation can be extremely challenging due to the due to the hefty list of conditions that must be met. For example, the location of the village must be close to the stadium or the location of the competition venue. The farthest distance from an athlete’s accommodation to the stadium is set at approximately 50 kilometers and is reachable in 1 hour by car. If there just so happens to be multiple competition venues that are far apart from each other, well the host city must also prepare multiple athlete villages. During the 2014 Winter Olympics, Russia created two separate athlete villages. The primary athlete village was located in Sochi. The second athlete village was in Roza Khutor, built for ski and snowboarding athletes.

Preparation of Esports Events

Now that we have already a basic understanding of the intricacies behind preparing for the Olympics, let’s see what tournament organizers (TO) have to deal with when formulating an esports competition. To be able to fully grasp the process of organizing esports competitions, Hybrid.co.id contacted Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia, and Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. These two individuals have years of profound experience in organizing esports events.

Besides Herry and Irli, Hybrid.co.id also contacted ESL, one of the most popular tournament organizing brands in esports. ESL frequently held large-scale international esports tournaments around the world. Nick Vanzetti, SVP and Managing Director of ESL Asia Pacific Japan, specifically represented ESL in the interview.

Herry said that to hold a national-level esports competition usually requires 3-6 months of preparation. International tournaments often take double the effort and time, around 6-12 months. According to Irli, preparing large-scale esports events such as The International or LOL Worlds would take around 8-12 months.

“On average, the preparation time is around 8-12 months. The planning and conceptualization phase consumes 3-4 months of work, detailing usually takes 2-3 months long, while promotions will start 2-3 months before the event runs,” said Irli via text message. “Of course, execution and post-event tasks come next.” He added, “World-class esports events often focus on capturing the best moments of the competition and providing an unforgettable experience for the audience. So what’s the job of the tournament organizer? Create as many of these moments as possible.”

“What are these so-called ‘moments’? For the casual audience, they might be interested in creative stage acts/design and entertaining content. On the other hand, the more hardcore fans might seek a suspenseful finals match with a popular or iconic caster. For those with EO experience, they might want to see a smoothly running and coordinated event,” said Irli.

When it comes to holding esports events, Irli explained that four stakeholders or groups must be considered. These are the players/talents, audiences, sponsors, and developers or IP owners. The crew that runs behind the curtains must also be taken into account. Depending on the scale of the competition, additional stakeholders, such as the government or competing companies, might also be involved.

“Tournament organizers must carefully analyze each of these potential stakeholders and how they might find the event memorable (in a positive sense). Different stakeholders, of course, have different needs and priorities. For the crew, they might want good food and hotel accommodation. Talents might require an organized script to simplify things on stage. The audience will undoubtedly want a high-quality production with proper visuals and sound mixing. Sponsors need to make sure that their KPI targets are met. So on and so forth.”

According to Herry, here are the most important elements to prepare and plan when organizing a tournament: 

  1. Venues and mandatories
  2. Hard production and soft production
  3. Property
  4. Production equipment
  5. Hospitality
  6. Talents
  7. Internet and communication
  8. Other miscellaneous items, such as stationaries or hard disks

Mandatories are essentially everything that will be required when using a venue,” said Herry. “For example, if we want to use Tennis Indoor Stadium in Senayan, we have to assemble a fire department and prepare an ambulance, according to their standard procedures. Furthermore, we also have to prepare a crowd permit.” He also added that there are two types of production equipment. Hard production involves stages, booths, gates, and everything physical or tangible. On the other hand, Soft production deals with tools required to create digital content, such as digital assets. Hospitality encompasses hotels, food, and transportation arrangements.

LAN Events. | Source: ESL Gaming

Esports competitions are frequently sponsored by endemic brands, such as smartphone companies for mobile esports competitions or hardware manufacturers for PC esports tournaments. Sponsors can opt to give away their products to resell, while sometimes they can also lend them. It all depends on the signed contract.

“Sponsors often supply their products or services instead of finances to support the event. We call them In-kind sponsors. Sometimes, the sponsors can allow us to resell the items they provide,” said Herry. “Other times, it is only a matter of a lease, and we would have to return the sponsor’s product after the event has concluded. It is incredibly important to understand the product’s presence to make sure that we do not get into any illegal circumstances.”

In line with Herry and Irli, Nick revealed that ESL takes about a year to organize a world-class esports event. He also added that workloads significantly increase when the D day of the event gets closer.

“There is a lot of preparation to be made to hold an international event,” said Vanzetti. “First, we have to find a venue that fits our criteria and needs regarding the size of the event.” He revealed that capacity, internet availability, location, and reachability are some of the factors that ESL considers when selecting a venue.

“We will also ensure that players, talents, ESL employees, and all parties that will be attending and running the tournament are set up with the appropriate accommodations and travel needs such as visas, flight tickets, hotels, and so on,” said Vanzetti. He emphasized that ESL highly prioritizes ensuring that all parties involved in organizing esports competitions have a satisfying experience, starting from when they depart, running the event, and until they return to their respective homes.

LOL Worlds 2020 will be held in Shanghai. | Source: LOL Esports

How does a tournament organizer determine the city that will host the international esports competition? According to Herry, TOs usually adjust to the client’s goals and expectations. If the client’s goal is to reach out to their fans, then Mineski will select a city with a highly enthusiastic community in the game. On the flipside, Mineski will recommend a new city that has little to no fanbase if the client wishes to expand their gaming market to new consumers.

Vanzetti also mentioned that the size of the market or community surrounding the city is one of ESL’s primary benchmarks when determining a host location. However, another factor that ESL often takes into consideration is the local government’s interest in esports.

“The hosting city can frequently provide support to the tournament or event through various methods. For instance, they can help us get visas for the players and staff. They can also assist the marketing department or aid the venue rental or accommodation costs,” said Vanzetti. “Through the bidding system, TOs will be able to select cities that offer strategic advantages and benefits so that they can successfully organize a world-class esports event.”

However, according to Irli, the only publisher that currently uses a bidding system in choosing a city to hold an esports competition is Valve. He explained that Valve gave event organizers the opportunity to submit proposals for holding a Major tournament. It is the organizers themselves who will propose the city to be the tournament host.

“From my experience, the factors that need to be considered when organizing national and international scale events are the facilities in the city, the number of players in and around the city, accessibility to the city, such as airports, hotels, distance to the venue,” said Iril. “Product support from sponsors in the city, political conditions, and enthusiasm from local communities are also quite important.”

Tournament organizers must also be able to manage manpower or human resources (HR). According to Herry, 40 to 60 personnel are usually required to hold an online competition. This figure can expand to 80-120 people if the tournament is held offline. Moreover, to hold an international offline competition, Herry estimates that only a minimum of 150-170 people will suffice. However, not all the organizer crew is composed of Mineski’s personnel. More often than not, some are part of the “familia”, freelancers who continue to work for Mineski.

On ESL, the manpower size is even larger, usually involving more than 200 staff and contract workers according to Vanzetti. “In addition to hiring ESL staff, we often collaborate with local suppliers and companies to help us organize events,” he said. In Irli’s estimation, an organizing team holding world-class esports events like The International or LOL Worlds can approximately accumulate 200-300 staff in all positions. The number of required staff is usually correlated with the venue size and location as well.

“The bigger the event and venue, the larger the staff size needed to run the whole show, up to 500-600 people,” he said. “Fortunately, the costs of labor can often be reduced through volunteers or freelancers who are paid hourly or per day.” He used the Djakarta Warehouse Project (DWP), arguably Indonesia’s largest music, as a comparison. He said that DWP’s organizing crew can consist of a total of 1000 personnel. However, the core team usually consists of only 50-100 people. The rest of the crew is filled with volunteers and freelancers who look to support the event.

Olympic Viewership Trends and Esports Competitions

Viewership can be a barometer of the success of a particular event. Unfortunately, when it comes to comparing the successes of the Olympics and esports tournaments, viewership can be a tricky metric to handle. The reason is simple: these two events are broadcasted in different media. 

Unlike TV, there is no such thing as ratings in streaming broadcasts. Instead, the average or peak number of viewers and watch hours are more relevant statistics when it comes to streaming. Therefore, in order to compare the Olympic viewership with TI and LOL Worlds, we need to consider the viewership statistics in each of the events and observe any general trends (upwards or downwards) that might be present.

In the United States, the Olympics are usually broadcast by NBC (National Broadcasting Company). According to data from Nielsen, 16.9 million people watch the Tokyo Olympics opening ceremony. If we compare this figure with the viewer numbers in previous years, 2021 holds the unwanted record of the smallest number of viewers. Furthermore, Tokyo Olympics viewership numbers were half of Rio de Janeiro’s Olympics spectator numbers in 2016. NBC, unfortunately, might regret their $7.65 billion USD Olympics broadcast rights contract extension that lasts until 2032 after facing this downward trend.

Here’s the Tokyo Olympics viewership numbers compared to the five-day Rio Olympics:

Tuesday, 27 July 2021, viewership dropped by 58%

Wednesday, July 28, 2021, viewership dropped by 53%

Thursday, July 29, 2021, viewership dropped by 43%

Saturday, July 31, 2021, viewership dropped by 57%

Sunday, August 1, 2021, viewership dropped by 51%

As you can see from the data above, the drop in viewers in the Tokyo Olympics is catastrophic. According to an AP News report, the peak viewership of the Tokyo Olympics broadcasted on NBC occurred on Thursday, July 29, 2021, which was 16.2 viewers. Even so, this figure is still 43% lower than that of the Rio Olympics 4 years ago.

NBC Universal CEO Jeff Shell hypothesized several factors that caused the plunge in this year’s Olympic broadcast. One of the most obvious factor is the pandemic, which ultimately postponed the Olympics by a whole year. The pandemic also prohibited live spectators who want to watch the event in person. Another factor is the adjustment of broadcast hours. The time difference between Tokyo and Washington DC is a whopping 13 hours. To combat this problem, NBC and other media companies offer broadcasts from more platforms and more schedules. However, according to Reuters, this actually confuses the viewers and hinders them from finding the content they want to watch.

Now, let’s move on to the viewership of The International and LOL Worlds. 

I will use the most common metrics or measure of viewership, namely hours watched, the average number of viewers, and the peak number of viewers. For my source of data, I referred to Esports Charts. As a side note, The International 2020 had to be postponed due to the COVID-19 pandemic. Therefore, the statistics for this year’s International will be intentionally left out as 0.

Watch hours, peak viewers, and average viewership numbers of TI and LOL Worlds. | Source: Esports Charts]

As you can see in the chart above, The International’s viewership continues to show an upward trend across all metrics in the past few years. The viewership number of LOL Worlds also seems to follow the same exact trend. During 2019 in particular, the average number of viewers even experienced rapid growth, almost 60% greater than the last year. However, in terms of peak viewers and hours watched, LOL Worlds’ figures occasionally stagnate or decline marginally.

You can also see the viewership for LOL Worlds 2020 and The International 2019 in the diagrams below.

Viewership statistics of LOL Worlds 2020. | Source: Esports Charts
Viewership statistics of The International 2019. | Source: Esports Charts

Of course, the Olympics’ viewership numbers are far more superior to any esports events in history. However, esports has one other advantage over the Olympics: a younger demographic of viewers. As of 2016, the average age of an Olympic spectator was 53 years old. On the other hand, the average age of an esports audience is 26 years old. If you want to understand what this data suggests, you can take a look at this article here.

Profitability

Besides viewership, another metric that can be used to measure the success of a particular event is its ability to yield financial gain, or profitability for short. So let’s take a deeper look at the detailed costs involved in running the Olympics and esports events as well as the advantages/disadvantages of the host city.

The financial resources prepared by different host cities to hold the Olympics vary. However, one thing is for sure, the funds allocated can reach billions or even tens of billions of dollars. For instance, the 2018 Winter Olympics in Pyeongchang is estimated to cost $12.9 billion USD, and the 2010 Winter Olympics in Vancouver cost $6.4 billion USD. Similarly, to host the 2012 Olympics and Paralympics, London allocated a budget of around $14.6 billion USD. To hold the 2008 Olympics, Beijing reportedly spent $42 billion USD.

Of course, these funds are not only spent on sports infrastructure, such as stadiums. As Investopedia noted, cities designated to host the Olympics will usually also work on developing other basic infrastructures by building new roads, or renovating airports, or building new hotels to accommodate the population surge during the Olympics.

During the 2016 Olympics, Rio reportedly built 15 thousand new hotel rooms to accommodate the potential tourists. Sochi spent $42.5 billion USD to build non-sporting infrastructure for the 2014 Olympics. Of the tens of billions of dollars Beijing spent on the 2008 Olympics, $22.5 billion USD was spent on renovating roads, airports, subways, and trains. They also spent $11.25 billion USD to clean up the city environment.

The improvement of infrastructure that the host government requires will, in turn, open up thousands of new job vacancies in the city. This is one of the advantages of taking up the opportunity in hosting the Olympics. Morever, the flock of sponsors, media, athletes, and spectators that visit the city will generate a lot of revenue for the local government.

Apart from tourists, the Olympics also have several other sources of income. One of them is the sale of licenses. Unfortunately, since the 2008 Olympics, Olympic license prices have continued to fall. You can see this in the graph below, obtained from Statista.

Olympic’s revenue from licensing. | Source: Statista

Marketing is another source of income for the Olympics. Unlike license prices, the Olympic income from marketing shows an upward trend for the past few years. Between 2013-2016, revenue from marketing did experience a minor decline from $8 billion USD in 2009-2012 to $7.8 billion USD in 2013-2016. But of course, this 3% drop is not very large by any standards.

 

Olympic’s revenue from marketing. | Source: Statista

Unfortunately, hosting the Olympics also poses its own problems. Despite the enormous costs incurred to organize the Olympics, host cities frequently find diminishing returns from the event. To hold the 2010 Winter Olympics, Vancouver spent a colossal $7.6 billion USD but only managed to rack up a profit of $2.8 billion USD. 

Sometimes, the Olympics don’t even provide that many new job opportunities in the city. For example, Salt Lake City (the host of the 2002 Olympics) reportedly only found 7 thousand new job openings, 10 times smaller than its initial estimations. Even worse, most of the job availability is usually aimed at individuals with existing jobs. Therefore, the argument that the Olympics can potentially solve the problems of unemployment is simply inaccurate.

More often than not, a large proportion of business opportunities that result from hosting the Olympics also benefit international companies instead of local enterprises. However, the biggest issue of hosting the Olympics is the abandonment of the infrastructure built for the event. When the Olympics come to a close, athletes villages and sports stadiums essentially serve no more purpose and are often left out to rot.

Athletes village in Turin. | Source: Olympics

Now that we have a clear picture of the requisites and budget of organizing the Olympics, let’s compare the required costs of holding esports events ranging from the national level to world-class tournaments such as TI or LOL Words

In terms of expenses, Vanzetti estimated that organizing world-class esports events would need a budget in the range of millions of dollars. Likewise, Herry estimates that the national-level esports tournament will cost around $500 thousand USD to US$1 million USD, while international-level tournaments would usually double that figure. He also predicts that holding The International or LOL Worlds would require a budget of $5-10 million USD. Irli also had a similar opinion with Herry, expecting that organizing TI or LOL Worlds will most likely have a minimum cost of $5 million USD.

“In terms of budget details, 50% is allocated to production, 20% to hospitality and manpower, 20% to promotions, and 10% for other miscellaneous works,” said Irli. “That’s usually the rough proportions, but it mostly depends on the client’s goals and needs. Some clients may want to focus more on increasing the production value, which means that more resources will be designated to production. Valve, for example, is always interested in creating stories and movie content based on the competition. I personally like to put more effort into producing lavish opening ceremonies, using state-of-the-art broadcasting technology, and so on.”

The content that Valve produces to support The International is True Sight. True Sight is a documentary series that showcases behind-the-scenes footage, stories, and experience of the Dota 2 pro players during TI or Majors. Unlike Valve, Riot Games prefers to present a grand opening ceremony. At LOL Worlds 2017, Riot flew a virtual dragon at the Beijing National Stadium. In 2018, Riot’s virtual K-Pop group, KDA, performed in front of the LOL World’s stage using augmented reality technology. Riot upped the performance yet again in 2019 by using cutting-edge holographic technology, which made the KDA members look highly realistic.

So, are esports tournaments profitable?

In 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events in Riot Games, revealed that Riot spends more than US$100 million per year on its esports program but is still miles away from making a return in capital. Fortunately, Riot’s effort in expanding its esports has allowed League of Legends’ esports ecosystem to thrive and attract millions of audience. Even though Riot might not have made a profit from esports for the moment, it successfully kept LOL relevant for more than 10 years. Consequently, Riot still can generate income through in-game content or sales to balance out their financial losses in esports. 

When compared to traditional sports competitions like the Olympics, esports also have a different model of monetization. 40% of traditional sporting events’ income usually come from sponsorships, 40% from broadcasting, and 20% from ticket and merchandise sales. As for esports, 80% of revenue comes from sponsorships, 15% from broadcasting, and 5% from ticket and merchandise sales, according to Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“We could go on only one platform and be exclusive,” Dechelotte told GamesIndustry, “We may have more revenue but we lose viewership which is important because at the end of the day, it’s a marketing tool for the game. So sponsorship becomes the number one priority for us, because compared to traditional sport, it’s double the weight in terms of revenue.”

In line with Asideu, Irli also estimated that sponsorships contribute to 80% of esports events’ income, and the rest of the 20% comes from ticket sales, merchandise, and so on. “These proportions are perhaps why most esports events today are held by the game developer/publisher themselves,” he said. “Esports sadly hasn’t been able to create revenue streams from ticket sales alone. It still primarily functions as a marketing tool for publishers with the sole purpose to create exposure for the game. Events such as The International and LOL Worlds can push revenue contributions of merchandise and ticket sales to around 30%-40%, but the rest still lies on the sponsors.”

BOOM Esports when they won the ESL Indonesia Championship Season 2. | Source: Twitter

Moreover, holding international esports tournaments can highly benefit local companies in the host city. Vanzetti mentioned that ESL does have its own private equipment and personnel to maintain the integrity of its events. However, ESL also frequently works with local suppliers for stage procurement, such as sounds, lights, and LEDs.

“For some parts of the event, we usually get help from local companies, such as for the procurement of furniture, security barriers, and cameras,” said Vanzetti. “Local companies can have the opportunity to earn big profits through hosting world-class esports competitions in their city or country.”

Conclusion

Preparation for holding the Olympics is much more complicated and takes much longer than holding esports events, even for prestigious tournaments like The International or LOL Worlds. Furthermore, in terms of cost, organizing the Olympics requires a much larger budget, up to billions of dollars, compared to the million-dollar range of esports tournaments. Even so, the Olympics never fails to attract millions of television viewers around the globe. Unfortunately, the number of Olympic spectators has experienced a continuous decline for the past few years, perhaps due to the changes in modern viewing habits. More people today, especially the younger generation, simply prefer watching online streams instead of TV.

In terms of income, both the Olympics and esports events can sometimes prove to be unprofitable. However, esports has always been used primarily as a marketing tool, not as an additional income stream. Game developers’ source of revenue still stems from selling games or in-game items. As for its purpose, esports has been incredibly effective in maintaining the longevity of many franchises such as League of Legends, Dota, or Counter-Strike: Global Offensive. Rainbow Six has also benefited from its esports ecosystem, as seen by its growing number of players for the past few years.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Riot Games Jalin Kerjasama dengan ESL, Siap Gelar Wild Rift SEA Championship 2021

Riot Games bekerja sama dengan salah satu event organizer terbesar dunia, ESL, untuk menyelenggarakan League of Legends: Wild Rift Southeast Asia (SEA) Championship 2021. Turnamen ini akan mempertemukan tim-tim Wild Rift terbaik di kawasan Asia Tenggara, Taiwan, Hongkong, dan Oseania.

Wild Rift SEA Championship 2021 nantinya akan digelar pada 14 September hingga 3 Oktober 2021 mendatang. Sebanyak 21 tim peserta akan mengikuti turnamen ini. 21 tim tersebut nantinya akan dibagi menjadi 2 bagian, dengan 9 tim akan lolos ke babak group stage langsung dan 12 tim lainnya akan berjuang terlebih dahulu dari babak play-in.

Image Credit: ESL

9 tim yang lolos ke babak group stage tersebut nantinya diambil dari juara 9 regional yang ada di Wild Rift SEA Championship 2021 yakni Vietnam, Thailand, Taiwan, Hongkong, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Oseania. Sementara 12 tim lainnya yang masuk ke babak play-in merupakan 8 runner-up dari turnamen regional ditambah slot tambahan untuk regional Vietnam, Thailand, dan Taiwan.

Ketiga region tersebut mendapatkan slot tambahan berkat penampilan apik tim mereka pada gelaran Wild Rift SEA Icon Series 2021: Summer Super Cup kemarin. EVOS Esports TH yang berhasil menjuarai Wild Rift SEA Icon Series 2021: Summer Super Cup juga akan mendapatkan slot otomatis setidaknya ke babak play-in.

Image Credit: EVOS Esports TH

Wild Rift SEA Icon Series 2021: Summer Super Cup kemarin sukses digelar sebagai turnamen Wild Rift tingkat Asia Tenggara pertama. Turnamen yang berlangsung bulan Juni 2021 kemarin diikuti oleh 16 tim Wild Rift dan memperebutkan total hadiah sebesar US$150.000 atau sekitar Rp2,1 miliar.

Saat ini, 9 kawasan yang ada di SEA Championship 2021 sedang menyelenggarakan turnamen Wild Rift SEA Icon Series 2021: Fall Season. Di Indonesia sendiri saat ini masih berlangsung babak group stage SEA Icon Series 2021: Fall – Indonesia. 8 tim yang bertanding yakni ION Esports, BOOM Esports, MBR Esports, Echo Esports, Eagle365 Esports, as a team, Joker Squad, dan Team Oke akan memperebutkan 2 slot wakil Indonesia.

Wild Rift SEA Championship 2021 akan memperebutkan total hadiah sebesar US$200.000 atau sekitar Rp2,8 miliar. Selain itu turnamen ini nantinya juga akan memperebutkan slot menuju turnamen Wild Rift World Championship 2021 yang akan digelar akhir tahun 2021 mendatang. Turnamen ini akan mempertemukan tim-tim Wild Rift terbaik dari seluruh dunia.

Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

ESL Hadirkan Permainan Monopoli Esports!

Organisasi esports terbesar di dunia saat ini, ESL Gaming, baru saja mengumumkan kehadiran Esport Monopoly, permainan papan klasik yang mengizinkan pemain untuk membeli turnamen besar alih-alih properti seperti yang kita biasa mainkan di permainan monopoli.

Esports Monopoly mengganti item permainan monopoli konvensional, seperti sepatu dan bidal, dengan item berbau gaming seperti game controllerkeyboard, headphones, logo ESL, piala, dan patung ‘Winner, Winner, Chicken Dinner.’

Image: Esports Insider

Intinya, pemain dapat membeli hak gelaran-gelaran besar seperti DreamHack maupun IEM Katowice, dan juga berinvestasi di liga, menjual tiket ataupun merchandise lainnya. Menariknya, Esport Monopoly akan mempertahankan penjara dan free parking, yang artinya pemain masih bisa tertangkap di penjara.

Permainan papan ini dicetak dalam dua bahasa: Bahasa Inggris dan Jerman.

Cara permainan Esport Monopoly ini pun tidak berubah. Sama seperti permainan monopoli berlisensi lainnya, pemain harus berusaha untuk mendapatkan lebih banyak uang daripada lawan mereka dengan membeli aset.

Faktanya di dunia gaming, ESL bukan yang pertama dalam bekerjasama dengan Monopoly. Fortnite dan Super Mario juga sudah terlebih dahulu mengeluarkan versi ‘Gaming Monopoly‘-nya.

Screengrab via: ESL Gaming

Esports Monopoly tersedia di website ESL Gaming dan dijuals eharga US$60,99 atau sekitar Rp884 ribu dan tersedia untuk dikirim ke seluruh belahan dunia. Menurut ESL, permainan ini dianjurkan untuk kelompok berjumlah antara dua hingga enam pemain, dan berusia delapan tahun ke atas. Permainan ini bisa dimainkan antara satu hingga dua jam, atau sampai seseorang menyerah.

Cover photo courtesy of TV Azteca

ESL One Summer 2021 Segera Dimulai

ESL telah mengumumkan empat tim terakhir yang diundang langsung untuk bertanding di ESL One Summer 2021. Keempat tim tersebut adalah T1, Team Liquid, Team Nigma dan Quincy Crew. Tim-tim tersebut merupakan peserta turnamen DPC AniMajor, yang telah berakhir pada 13 Juni lalu. Walaupun bukan merupakan turnamen DPC, para peserta yang mengikuti kompetisi ini tidak main-main. Banyak sekali tim-tim yang telah lolos menuju The International yang ikut serta di ESL One Summer 2021.

Turnamen ini pertama kali diumumkan pada 25 Mei 2021 dan akan berlangsung dari tanggal 16-20 Juni 2021. Kompetisi ini bersifat online dan memiliki total hadiah sebesar US$400 ribu atau sekitar Rp5 miliar. Tim-tim yang berpartisipasi berasal dari berbagai region. Awalnya ESL menyatakan bahwa akan ada 11 tim yang diundang langsung dan 1 tim yang berasal dari closed qualifier. Namun dengan mundurnya beberapa tim dengan alasan ingin fokus dengan qualifier The International 10, maka peringkat pertama sampai ketiga pada babak qualifier dimasukkan ke dalam turnamen ini.

Para peserta didominasi oleh tim yang berasal dari Eropa. Satu-satunya peserta yang mewakilkan Asia Tenggara hanyalah T1. Kabarnya tim-tim asal Tiongkok mengalami kendala visa dan berencana menetap di Eropa sampai The International berakhir.

Beberapa tim akan bermain dengan kekuatan penuh. Pasalnya pada AniMajor sebelumnya, Team Liquid dan AS Monaco Gambit terpaksa harus bertanding dengan pemain pengganti. AS Monaco Gambit terpaksa harus mencari 2 pemain pengganti, setelah ditinggal oleh No[o]ne dan SoNNeikO, seminggu sebelum AniMajor dimulai.

Hal serupa juga dialami Team Liquid yang harus bermain bersama Sumail di AniMajor lalu, karena salah satu pemainnya, Boxi, yang berhalangan hadir. Selain bermain bersama pemain pengganti, Team Liquid juga harus beradaptasi dengan line-up mereka, yang menjadi salah satu penyebab kegagalan mereka untuk lolos ke The International 10. Kali ini Team Liquid akan bertanding dengan roster yang lengkap.

Sebaliknya, OG harus cepat beradaptasi. Pasalnya, pada tanggal 14 Juni lalu, ana mengumumkan untuk pensiun dari kancah kompetitif Dota 2. Meski memang pengganti ana tidak kalah sakti, Syed Sumail “Sumail” Hassan, OG mungkin tetap harus membiasakan diri dengan formasi baru. Namun begitu, turnamen ini bisa menjadi pemanasan dan latihan sebelum OG bertanding di The International 10.

Tim manakah yang menjadi tim favorit Anda? Anda dapat lihat secara langsung melalui twitch.tv.

ESL Perpanjang Kontrak dengan DHL

ESL Gaming selaku penyelenggara esports terbesar di dunia baru saja mengumumkan perpanjangan kontraknya dengan DHL sebagai mitra logistik resminya (official logistics partner). DHL akan terus memenuhi kebutuhan ESL akan transportasi logistik dari peralatan, monitor, kursi gaming, dan logistik-logistik acara lainnya setidaknya hingga beberapa tahun ke depan.

Dengan perpanjangan kerja sama ini, DHL akan memperluas kolaborasi yang telah berjalan sejak tahun 2018 silam di ESL CS:GO Pro Tour dan seluruh acara ESL di titel Dota 2 dan mobile games seperti Brawl Stars, Clash Royale, Clash of Clans, dan Legends of Runterra.

Sejak pandemi COVID-19 menyerang, DHL hanya dapat mensponsori enam kompetisi ESL dan sekadar menyediakan kebutuhan digital seperti segmen interaktif, kuis, dan tanda tangan digital. Pembaharuan kerja sama ini akan mengikutsertakan merek mereka setidaknya di 20 turnamen ESL yang akan diadakan di sisa tahun ini.

“Kami sangat senang dapat memperpanjang kemitraan kami dengan DHL pada saat yang menyenangkan ini bagi perusahaan kami dan komunitas esports secara keseluruhan.” Sebut Ralf Reichert, CEO dari ESL Gaming,

“Dengan hadirnya ESL Mobile, kami dapat menawarkan lebih banyak hiburan kepada para penggemar esports di seluruh dunia. Kehadiran DHL untuk menjadi mitra logistik resmi ESL merupakan suatu kebanggaan bagi kami.”

Hingga saat ini, detail pasti tentang kerja sama DHL dalam acara ESL Mobile belum diungkapkan. ESL Gaming hanya menyatakan bahwa perusahaan logistik multi-nasional ini akan secara operasional ‘mendukung program ESL Mobile di Eropa’.

Nama DHL kerap kali muncul sebagai sponsor di berbagai gelaran bergengsi dunia, mulai dari industri olahraga, gaya hidup, dan budaya. Kemitraan ini meliputi Formula 1 dan Formula E, klub bola seperti Manchester United, dan beberapa acara fashion dan orkestra.

Kehadiran merek non-endemik di kancah turnamen esports belakangan memang sedang menjamur. Bukan hanya di skala internasional, gelanggang esports lokal juga telah diserbu merek-non endemik. Anda dapat melihat daftar brand non-endemik yang sempat masuk ke ranah esports di sini.

Induk ESL dan DreamHack Laporkan Kerugian 212 Miliar; Lebarkan Sayap dengan Investasi Agresif

Modern Times Group (MTG), induk dari dua perusahaan esports terbesar dunia, ESL dan DreamHack, baru saja mempublikasikan laporan keuangan kuartal pertama mereka. Dalam laporan lengkapnya, MTG berhasil mencatat penjualan bersih sebesar US$120 juta, naik 9,4% dari US$110 juta yang mereka peroleh di kuartal yang sama di tahun 2020. Mayoritas dari penjualan bersih tersebut datang dari divisi gaming mereka, yang menghasilkan US$91,1 Juta atau 75,9% dari total penjualan bersih keseluruhan MTG. Sedangkan dari divisi esports sendiri berkontribusi jumlah sisanya, yaitu US$29 juta dari total US$120 juta tersebut.

“Hasil kuartal pertama (kami) cukup bercampur aduk. Hal ini merefleksikan dampak pandemi terhadap dua divisi kami. Meskipun divisi gaming memiliki hasil yang memuaskan dengan naiknya user engagement berkat perluasan portofolio kami di berbagai title, dampak yang dialami divisi esports masih berlanjut karena tertundanya acara esports dengan kehadiran penonton.

Maria Redin menyatakan tidak akan ada live esports event yang digelar di sisa tahun ini Image Credit: MTG

Visibilitas jangka pendek kami tetap rendah berkaca pada perubahan jadwal yang telah kami lakukan. Dampaknya, mitra kami melakukan pengambilan keputusan yang lebih lama dari biasanya, dan berakhir pada tertundanya penandatanganan kontrak-kontrak besar di kuartal pertama ini. Hal tersebut tercermin dari penghasilan sebelum bunga dan pajak (EBITDA) kami. Walaupun begitu, kontrak-kontrak tersebut telah mencapai kata sepakat di kuartal kedua tahun ini.” Sebut Maria Redin selaku Presiden dan CEO dari Modern Times Group.

Apa yang disampaikan oleh Maria berkaitan dengan pembaruan kontrak ESL bersama Intel yang diperpanjang hingga tiga tahun ke depan. Dengan kesepakatan yang bernilai US$100 juta ini, industri esports secara tidak langsung mendapat napas tambahan untuk tetap berjalan seperti semestinya.

Di kuartal pertama tahun ini, ESL telah berhasil menjalankan tiga pagelaran besar tanpa penonton, mulai dari IEM Katowice 2021 di title CS:GO, serta dua gelaran di title Dota 2, yaitu ESL One CIS serta Dream League EU. Selain itu, ESL kembali mendapatkan perpanjangan kontrak dengan Blizzard Entertainment untuk mengoperasikan ekosistem esports Heartstone.

Induk ESL, MTG, belakangan ini juga rajin berinvestasi di beberapa perusahaan B2C, produk-produk esports berbasis mobile, dan di ranah mainstream. Salah satu pengumuman besar di kuartal pertama 2021 adalah DreamHack yang akan menjadi penyelenggara Olympic Virtual Series, inisiatif komite Olimpiade untuk memasukkan esports ke dalam Olimpiade.

Dalam laporannya, MTG juga melakukan investasi dalam rangka perluasan jangkauan mereka di beberapa negara yang tidak disebutkan secara spesifik. Selain di ranah esports, MTG melalui anak perusahaan venture capital-nya menggelontorkan uang sebesar US$1,9 juta untuk investasi ke pengembang game bernama Meta Games.

Jika ditotal, Modern Times Group melaporkan kerugian bersih sebesar US$14,7 juta di periode ini. Angka ini bertambah dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, dengan kerugian sebesar US$11,4 juta.

Indonesia Jadi Runner Up di FIFA eNations Online Qualifiers, Jepang Buka Esports Gym Pertama

Minggu lalu, muncul kabar baik untuk fans esports di Tanah Air. Perwakilan Indonesia yang berlaga di FIFA eNations Online Qualifiers berhasil meraih gelar runner up. Sementara di tingkat internasional, juga ada beberapa kabar menarik. Salah satunya, Intel dan ESL yang memutuskan untuk memperbarui kontrak kerja sama mereka pada tahun depan.

Jadi Runner Up di FIFA eNations Online Qualifiers, Indonesia Melaju ke FIFA eNations Cup 2021

Indonesia berhasil meraih gelar runner up dalam FIFA eNations Online Qualifiers 2021 Zona Asia dan Oceania. Dengan begitu, tim perwakilan Indonesia tetap mendapatkan tiket untuk berlaga di FIFA eNations Cup 2021 yang bakal diadakan pada 20-22 Agustus 2021 di Kopenhagen, Denmark.

Moehamad Zulisar dan Fahmi Husaeni sebagai perwakilan Indonesia. | Sumber: Antara

Dalam babak kualifikasi, Indonesia diwakili oleh Moehama Zulisar yang bertanding di PlayStation dan Fahmi Husaeni yang menggunakan Xbox. Keduanya berlaga di babak kualifikasi FIFA eNations Cup secara online di Hotel Ibis Slipi. Pada babak final, kedua perwakilan Indonesia harus bertanding melawan perwakilan Jepang. Moehamad Zulisar kalah dengan skor 1-2 sementara Fahmi Husaeni 1-3, menurut laporan Antara.

T1 Kerja Sama dengan Platform Data Gaming, OP.GG

Minggu lalu, organisasi esports asal Korea Selatan, T1 Entertainment & Sports, mengumumkan bahwa mereka telah menjalin kerja sama dengan platform data gaming, OP.GG. Sayangnya, mereka tidak mengungkap nilai dari kerja sama ini. Satu hal yang pasti, melalui kolaborasi ini, T1 dan OP.GG akan saling berbagi data dan informasi, memberikan dukungan teknis, serta membuat rencana karir yang optimal bagi para pemain setelah mereka pensiun, menurut laporan The Esports Observer. Selain data, OP.GG juga menyajikan berita pada gamers di Korea Selatan terkait League of Legends, Overwatch, dan PUBG. Mereka juga punya tim PUBG, yang bernama OP.GG Sports.

Jepang Buka Gym untuk Esports Pertama di Tokyo

Jepang membuka gym esports pertama di Tokyo. Gym yang dinamai “Esports Gym” itu akan dibuka pada 19 Mei 2021. Selain PC gaming, gym itu juga akan dilengkapi dengan lounge. Di gym tersebut, para pengunjung akan bisa memainkan beberapa game esports terpopuler di Jepang, termasuk Valorant dan League of Legends. Selain itu, para gamers bisa menyewa jasa pelatih profesional.

Esports Gym juga menawarkan jasa pelatih profesional. | Sumber: Nippon

Para gamers bisa membayar sekitar US$13 untuk menggunakan PC di Esports Gym selama 3 jam. Sama seperti gym lain, di gym esports ini, pemain juga bisa mendaftarkan diri sebagai anggota. Biaya bulanan untuk menjadi anggota di Esports Gym dihargai mulai dari US$50. Dengan menjadi anggota gym, para gamers berhak untuk menggunakan PC yang ada di sana setiap hari. Esports Gym juga menawarkan jasa pelatihan pada para gamers dengan harga US$25 per jam, lapor Insider.

ESL dan Intel Perbarui Kerja Sama, Bakal Investasikan US$100 Juta di Esports

ESL Gaming akan memperbarui kerja samanya dengan Intel pada 2022. Dengan ini, ESL dan Intel akan menyiapkan US$100 juta untuk diinvestasikan ke esports. Investasi tersebut diharapkan akan bisa menciptakan produk baru yang inovatif, baik untuk pemain maupun fans esports. Selain itu, semua turnamen Counter-Strike: Global Offensive yang tidak menjadi bagian dari ESL Pro Tour akan menggunakan nama Intel Extreme Master. Salah satunya adalah ESL One Cologne, yang namanya akan diubah menjadi Intel Extreme Masters Cologne, seperti yang disebutkan oleh Esports Insider.

Tumi Luncurkan Koleksi Tas dan Pakaian untuk Atlet Esports

Minggu lalu, Tumi meluncurkan koleksi tas dan aksesori untuk pemain esports profesional. Untuk membuat produk-produk tersebut, Tumi berkonsultasi dengan para developer game dan atlet esports. Harapannya, mereka dapat memberikan produk yang sesuai dengan kebutuhan para pemain profesional, lapor Asia Tatler.

Tumi meluncurkan koleksi tas dan aksesori untuk pemain esports. | Sumber; Tatler

Pada tahun lalu, Tumi juga telah menjajaki ranah esports dengan bekerja sama dengan One Esports, perusahaan data dan analitik esports. Tumi bukan merek fashion pertama yang tertarik untuk memasuki dunia competitive gaming. Sebelum ini, Louis Vuitton juga berkolaborasi dengan Riot Games. Mereka membuat travel case untuk trofi League of Legends World Championship dan meluncurkan koleksi pakaian bertema League of Legends.

ESL Mobile Open 2021 Akan Mempertandingkan 7 Game Mobile Seperti Wild Rift dan PUBG Mobile

ESL mengumumkan langkah konkret mereka mendukung esports mobile dengan menggelar turnamen berskala global yang bertajuk ESL Mobile Open 2021. Turnamen ini akan mempertandingkan 7 game mobile seperti Wild Rift, PUBG Mobile, ataupun Asphalt 9.

Ajang ini juga akan dibagi ke beberapa wilayah yaitu Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah dan Afrika Utara, dan Asia Pasifik. Setiap wilayah akan memiliki rangkaian turnamennya masing-masing namun semuanya akan berada di bawah bendera ESL.

Berikut adalah 7 game mobile yang akan dipertandingkan dalam ESL Mobile Open 2021.

  • League of Legends: Wild Rift
  • Legends of Runeterra
  • Asphalt 9: Legends
  • PUBG Mobile
  • Brawl Stars
  • Clash of Clans
  • Clash Royale

Sebelumnya, ESL juga sempat menggelar ESL Mobile Open di 2019 namun hanya untuk kawasan Amerika Utara dan Eropa. Kali ini, mereka membuka kesempatan untuk lebih banyak game dan lebih banyak wilayah. Menurut ESL, mereka akan menawarkan kesempatan untuk para pemain di lebih dari 80 negara di wilayah-wilayah yang saya sebutkan sebelumnya.

ESL Mobile Open 2021 merupakan salah satu bagian dari ekosistem esports mobile yang dibuat ESL di tahun 2021. Rangkaian turnamen ini juga akan terbagi menjadi 2 musim. ESL Mobile Spring 2021 akan dimulai pada bulan April. Di dalam ekosistem itu akan ada 2 tingkatan, yaitu ESL Mobile Open dan ESL Mobile Challenge.

ESL Mobile Open merupakan turnamen yang terbuka untuk siapapun yang ingin mengawali kariernya di dunia esports. Para pemain harus melewati berbagai tantangan dan tingkatan untuk memperebutkan kesempatan bertanding di ESL Mobile Challenge. Secara keseluruhan, ESL Mobile akan menyuguhkan total hadiah sebesar US$650 ribu (atau sekitar Rp9,3 miliar).

“ESL berhasil membangun namanya dengan membangun ekosistem kompetitif untuk berbagai jenis game dan genre di lanskap esports. Kami tidak sabar untuk terus membuka lahan dan menjalankan pendekatan inovatif di ranah mobile esports.” Kata Kevin Rosenblatt, Co-Managing Director of ESL North America dan General Manager of Mobile di ESL Gaming. “Mobile gaming sudah sampai di titik popularitas tertingginya di dunia dan ESL bersemangat untuk membawa para pemain dan penonton ke program kompetitif dan engaging yang satu ini.”

Satu hal yang menarik adalah tidak ada Mobile Legends di rangkaian kompetisi suguhan ESL tadi. Padahal MLBB adalah salah satu esports mobile terpopuler di Asia Tenggara. Namun demikian, MLBB sendiri mungkin juga tidak butuh pihak ketiga untuk bisa terus mendominasi pasar esports Indonesia. Apalagi, Moonton juga baru saja diakuisisi ByteDance (induk TikTok) yang punya jaringan kuat dan luas di berbagai penjuru dunia.

Feature Image via Gameloft