India Mau Blokir PUBG Mobile?

Pertumbuhan ekosistem esports di India sangat pesat. Salah satu indikasinya adalah total hadiah turnamen esports yang bertambah lebih dari dua kali lipat. Mobile esports, seperti PUBG Mobile, menjadi pendorong utama pertumbuhan ekosistem esports di India. Faktanya, India merupakan salah satu negara dengan jumlah pemain PUBG Mobile terbanyak. Ini memunculkan kekhawatiran akan kecanduan game di India.

Pada Maret 2019, beberapa kota di Gujarat dan Tamil Nadu sempat melarang PUBG Mobile selama dua bulan karena dianggap mengganggu konsentrasi siswa dalam menghadapi ujian. Sebanyak lebih dari 20 pemain ditahan di kantor polisi karena melanggar larangan bermain tersebut. Setelah ujian berakhir, larangan bermain PUBG Mobile dihilangkan.

Sekarang, kembali muncul wacana untuk memblokir PUBG Mobile. Kali ini, game battle royale itu mungkin akan dilarang di seluruh India. Kantor pengacara asal Punjab, H.C. Arora membuat Public Interest Litigation (PIL) ke Haryana High Court untuk melarang masyarakat bermain PUBG Mobile karena ditakutkan, game tersebut menyebabkan kecanduan dan membuat pemainnya menjadi lebih agresif.

“Banyak anak-anak di umur sekolah tak lagi tertarik untuk belajar karena kecanduan bermain game,” tertulis dalam tuntutan tersebut, menurut laporan Dot Esports. “Orangtua dari anak-anak itu tak bisa melakukan apa-apa. Jika mereka memaksa anak-anak untuk berhenti bermain, mereka menjadi agresif atau menjadi depresi.” Memang, kecanduan game adalah salah satu pandangan negatif akan game yang telah ada sejak lama.

mencoba-mode-arcade-war-dan-penyesuaian-scope-8x-di-pubg-mobile-0-7-0-3
PUBG Mobile dianggap membuat perilaku pemainnya menjadi lebih agresif.

Pada Juni 2019, World Health Organization (WHO) menetapkan bahwa kecanduan game atau game disorder sebagai gangguan mental. Hanya saja, ada tiga syarat yang dipenuhi oleh seseorang sebelum dia dinyatakan mengidap game disorder. Pertama, dia tidak bisa mengendalikan kebiasaannya bermain game. Kedua, dia memprioritaskan game di atas kegiatan lain. Ketiga, dia tetap bermain game walau dia tahu ada konsekuensi buruk yang menantinya. Sementara dugaan bahwa game menyebabkan para pemainnya menjadi lebih agresif, itu tak pernah terbukti.

Diskusi tentang apakah game mobile memang menyebabkan kecanduan dan kekerasan kembali muncul di India karena pengadilan tinggi bisa menetapkan apakah PUBG Mobile memang harus dilarang di negara tersebut. Saat ini, Haryana High Court meminta saran dari Kementerian Elektronik dan Teknologi Informasi India, yang masih belum memberikan jawaban.

Di Nepal, pemerintah meminta operator telekomunikasi untuk memblokir game PUBG Mobile. Sementara di Tiongkok, Tencent akhirnya mengganti PUBG Mobile dengan game yang lebih ramah anak bernama Game for Peace. Selain itu, pemerintah Tiongkok juga mengeluarkan beberapa regulasi dalam rangka meminimalisir dampak buruk game, seperti kecanduan dan mata minus.

Batal Kerja Sama dengan Huya, ESL Kukuh untuk Masuk ke Pasar Tiongkok

Tiongkok adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak, menjadikannya sebagai pasar yang menggiurkan bagi pelaku dari industri apapun, tak terkecuali game dan esports. Menurut Statista, industri mobile game di Tiongkok pada tahun ini akan bernilai hampir US$20 miliar. Karena itu, tidak heran jika Modern Times Group (MTG), perusahaan induk dari ESL dan DreamHack, tertarik untuk masuk ke pasar Tiongkok. Pada September 2019, ESL mulai berdiskusi dengan Huya, platform streaming asal Tiongkok, untuk membuat perusahaan joint venture.

Tidak hanya itu, Huya juga berencana untuk menanamkan modal sebesar US$30 juta ke ESL, yang membuat mereka menjadi pemegang saham minoritas. Ketika itu, ESL juga berencana untuk menerbitkan saham baru dengan total nilai US$22 juta untuk melakukan ekspansi ke Tiongkok, termasuk mendanai perusahaan joint venture yang hendak mereka buat dengan Huya. Sayangnya, diskusi tersebut tidak berbuah manis. MTG dan Huya mengumumkan bahwa mereka tidak akan melanjutkan diskusi untuk bekerja sama.

Sumber: Esports Insider
MTG sempat mulai bernegoisasi dengan Huya pada September 2019. Sumber: Esports Insider

MTG mengatakan, alasan kedua belah pihak untuk berhenti melanjutkan diskusi adalah karena “perbedaan pandangan kedua perusahaan tentang alokasi risiko dan hal-hal komersial lainnya”. Setelah MTG mengumumkan batalnya kerja sama dengan Huya, nilai saham mereka turun 19,2 persen. Meskipun begitu, MTG menyebutkan, mereka tetap berencana untuk melakukan ekspansi ke pasar Tiongkok.

“Kami tetap percaya bahwa kerja sama ini akan memberikan untung baik untuk MTG, Huya, dan industri esports secara global. Meskipun begitu, kedua belah pihak percaya bahwa jalan terbaik saat ini adalah untuk menghentikan negoisasi kerja sama,” kata CEO dan President MTG, Jørgen Madsen Lindemann, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Namun, memasuki ke pasar Tiongkok tetap menjadi prioritas bagi MTG dan kami akan mengambil kesempatan yang ada dalam waktu dekat.”

MTG juga meyakinkan, batalnya kerja sama dengan Huya tidak akan memengaruhi rencana operasi ESL pada 2020. Minggu lalu, MTG mengumumkan tentang hasil peninjauan dari finansial mereka. Mereka memiliki simpanan senilai 90 juta krone (sekitar Rp128 miliar). Sebesar 40 juta krone (sekitar Rp57 miliar) akan mereka investasikan untuk ESL.

Tencent Mau Akuisisi Funcom, Developer Conan Exiles

Pada Oktober 2019, Tencent membeli 29 persen saham dari Funcom, developer asal Oslo, Norwegia yang membuat Conan Exiles dan Age of Conan. Sekarang, perusahaan asal Tiongkok itu menawarkan untuk membeli semua saham Funcom senilai US$148 juta. Mengingat Funcom sudah menjadi perusahaan terbuka, Tencent siap untuk membeli semua saham dari pemegang saham lainnya. Para pemegang saham bebas untuk menerima atau menolak tawaran ini, tapi dewan manajemen dan pengawas Funcom menyarankan agar mereka menerima tawaran Tencent.

Sementara itu, CEO Funcom, Rui Casais menyambut tawaran Tencent dengan antusias. Dia merasa, Tencent memiliki reputasi yang baik sebagai investor yang bertanggung jawab dalam jangka panjang. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki kemampuan yang baik untuk menangani game-game online. Memang, Tencent dikenal sebagai perusahaan game terbesar di dunia. Saat ini, mereka memiliki saham dari berbagai developer game besar, seperti Riot Games, Epic, Supercell, Ubisoft, Paradox, dan Frontier. Pada awal bulan ini, Tencent juga membeli saham dari Universal Music Group.

Conan Exiles. | Sumber: Steam
Conan Exiles. | Sumber: Steam

“Kami memiliki hubungan dekat dengan Tencent, yang merupakan pemegang saham mayoritas kami dan kami senang dengan penawaran ini,” kata Casais, dikutip dari VentureBeat. “Kami akan terus membuat game-game hebat yang akan dimainkan oleh semua orang di dunia, dan kami percaya, dukungan dari Tencent akan membuat Funcom naik ke level berikutnya. Tencent dapat membantu operasional Funcom dan memberikan insight dari pengalaman mereka sebagai perusahaan besar di industri game.”

Tencent menawarkan untuk membeli saham Funcom seharga 17 krone Norwegia per lembar, 27,3 persen lebih tinggi dari harga saham Funcom pada 21 Januari 2020. Mereka mengatakan, mereka tidak berencana untuk mengubah bisnis Funcom dan akan terus mendukung game online buatan Funcom, seperti Conan Exiles, Secret World Legends, Age of Conan, dan Anarchy Online.

Funcom didirikan pada 1993. Beberapa tahun belakangan adalah tahun paling sukses mereka setelah mereka meluncurkan game survival online, Conan Exiles. Saat ini, mereka memiliki beberapa proyek game. Salah satu yang paling ditunggu adalah game multiplayer survival yang didasarkan pada cerita science-fiction buatan Frank Herbert, Dune.

“Kami kagum dengan kekuatan Funcom sebagai developer dari game multiplayer, action, dan survival. Funcom memiliki rekam jejak dalam membuat game baru yang berumur panjang,” kata Senior Vice President of Tenent, Steven Ma. “Kami senang karena kami bisa mendekatkan diri dengan Funcom dan tidak sabar untuk berkolaborasi dengan Funcom untuk membuat game yang lebih menyenangkan untuk semua gamer di dunia.”

PlayVS Bakal Adakan Turnamen Fortnite Nasional Tingkat SMA dan Universitas di Amerika Serikat

PlayVS akan mengadakan liga Fortnite di tingkat SMA dan universitas di Amerika Serikat. Untuk itu, mereka bahkan bekerja sama dengan publisher Fortnite, Epic Games. Turnamen Fortnite di tingkat SMA akan dibagi menjadi 6 liga, berdasarkan zona waktu di Amerika Serikat. Sementara turnamen tingkat universitas digabung menjadi satu.

Baik liga tingkat SMA dan universitas akan berlangsung selama 8 minggu. Format yang digunakan adalah duos. Setiap sekolah dan universitas boleh mengirimkan tim sebanyak-banyaknya. Setiap minggu, para peserta akan bertanding dengan satu sama lain di private lobby selama dua jam atau maksimal tujuh game. Semakin tinggi ranking yang didapat sebuah tim, semakin besar poin yang mereka dapatkan. Inilah perhitungan poin yang ditetapkan oleh Epic:

Victory Royale: 10 poin
Ranking 2-3: 7 poin
Ranking 4-7: 5 poin
Ranking 8-12: 3 poin
Setiap mengeliminasi pemain lain: 1 poin

Empat tim terbaik dari setiap minggu akan berhak untuk maju ke babak playoff. Selain itu, 18 tim dengan peringkat teratas di leaderboard (dengan pengecualian tim yang memang sudah lolos ke babak playoff) juga berhak masuk ke babak playoff. Pada puncaknya, tim-tim terbaik akan berlaga di turnamen yang diadakan pada Mei.

Pendiri PlayVS.
CEO dan pendiri, PlayVS, Delane Parnell.

PlayVS adalah startup yang menyediakan platform untuk liga esports di tingkat SMA. Ini kali pertama mereka mengadakan turnamen esports di tingkat universitas. Platform PlayVS diluncurkan pada April 2018. Pada September 2019, mereka baru saja mendapatkan investasi sebesar US$50 juta.

Jika sebuah sekolah ingin ikut serta dalam liga esports yang diselenggarakan oleh PlayVS, mereka harus membayar US$64 per pemain. Biaya ini juga bisa ditanggung oleh pemain atau orangtua. Namun, dalam kasus Fortnite, tidak ada biaya yang harus ditanggung pemain/sekolah karena PlayVS telah bekerja sama dengan Epic Games.

Satu keuntungan lain dari kerja sama PlayVS dengan Epic Games adalah mereka tidak perlu khawatir Epic Games akan mempermasalahkan turnamen yang mereka adakan, mengingat Fortnite adalah properti intelektual milik Epic. PlayVS mengatakan, tujuan utama mereka mengadakan turnamen Fortnite di tingkat SMA dan universitas adalah untuk membuat ekosistem inklusif yang memungkinkan para peserta untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, terlepas dari kemampuan mereka.

Sementara itu, pada VentureBeat, Phillip Schultz, Esports Coach untuk East Coweta High School di Georgia, Amerika Serikat, berkata bahwa Fortnite akan menjadi insentif bagi sekolah untuk mengadakan program esports. Dia memperkirakan, akan banyak siswa yang tertarik untuk ikut bertanding dalam turnamen Fortnite ini. Menariknya, laporan dari Extreme Networks dan eCampus News menunjukkan bahwa keberadaan program esports di sekolah justru bisa mendorong para siswa menjadi lebih rajin ke sekolah. Namun, membangun ekosistem esports di tingkat sekolah memang bukanlah hal yang mudah.

Sumber: TechCrunch, Washington Post

100 Thieves Buat Markas di Los Angeles

Banyak organisasi esports yang menyediakan gaming house sebagai tempat tinggal bagi para pemainnya. Selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, para pemain akan hidup bersama. Namun, gaya hidup seperti ini dianggap kurang sehat karena bisa menyebabkan konflik antara kehidupan pribadi dan profesional. Karena itu, beberapa organisasi esports besar mulai memutuskan untuk membuat markas terpisah. 100 Thieves baru saja meresmikan markas mereka di Los Angeles, Amerika Serikat.

Tidak tanggung-tanggung, markas baru mereka memiliki luas 15 ribu kaki persegi. Alasannya, karena mereka ingin memastikan bahwa markas baru mereka dapat menampung semua divisi bisnis mereka. 100 Thieves memang dikenal dengan tim esports mereka. Namun, mereka juga memiliki bisnis merchandise dan pembuatan konten. John Robinson, President dan COO 100 Thieves berkata, seiring dengan tumbuhnya bisnis mereka, mereka juga ingin membuat markas yang besar.

“Pada awalnya, kami mencari tempat seluas 8.000 kaki persegi, lalu 10.000 kaki persegi. Setelah itu kami berpikir, ‘Oh, cari saja tempat seluas 15 ribu kaki persegi agar muat untuk menampung semua bisnis kita,'” kata Robinson pada Variety. Untuk membangun markas barunya, 100 Thieves bekerja sama dengan Cash App dalam perjanjian sponsorship yang komprehensif. Karena itulah, markas baru 100 Thieves dinamai Cash App Compound. Selain itu, kerja sama antara keduanya juga meliputi dukungan untuk tim esports, konten, dan jersey 100 Thieves.

Markas baru 100 Thieves. | Sumber: VentureBeat
Markas baru 100 Thieves.| Sumber: VentureBeat

Sama seperti markas organisasi esports lain, fungsi utama dari Compound adalah sebagai tempat latihan bagi tim esports 100 Thieves. Mereka kini memiliki tim League of Legends, Counter-Strike, dan Fortnite. Sejauh ini, 100 Thieves telah memenangkan dua turnamen major Call of Duty, masuk kualifikasi League of Legends World Championship, dan meraih medali di Fortnite World Cup dan Fortnite Championship Series.

“Para pemain kami adalah atlet kelas dunia dan kami ingin mendukung mereka dengan fasilitas kelas dunia,” kata Robinson, menurut laporan VentureBeat. “Kami membayar mereka layaknya atlet profesional. Saya rasa, mereka pantas untuk mendapatkan fasilitas kelas dunia.”

Divisi hiburan/konten 100 Thieves juga cukup sukses. Channel YouTube 100 Thieves merupakan channel esports dengan pertumbuhan paling cepat pada 2018 dan 2019. Mereka juga meluncurkan podcast di iTunes. Soal bisnis merchandise mereka, Robinson berkata bahwa dalam 2 tahun, mereka telah membuka penjualan merchandise belasan kali dan produk yang  mereka jual selalu terjual habis dalam waktu kurang dari 30 menit.

Studio di Compound. | Sumber: Variety
Studio di Compound. | Sumber: Variety

100 Thieves didirikan oleh Matthew “Nadeshot” Haag, yang menjadi pemain Call of Duty profesional sepanjang 2011 sampai 2014. Pada 2015, dia pindah ke Los Angeles dan mulai membuat konten esports. Dia mendirikan 100 Thieves pada 2017. Tahun lalu, 100 Thieves mendapatkan investasi sebesar US$35 juta untuk membangun markas baru mereka dan melakukan ekspansi dalam bisnis pembuatan konten serta fashion.

Meskipun sejatinya Compound akan digunakan sebagai tempat latihan, 100 Thieves juga menyediakan ruangan untuk bersantai. Di ruangan tersebut, terdapat sofa dan TV besar. Chris “Papa Smithy” Smith menjelaskan betapa pentingnya menyediakan tempat dan waktu bagi para pemain profesional untuk rehat.

Tempat istirahat di Compound. | Sumber: Variety
Tempat istirahat di Compound. | Sumber: Variety

“Ketika orang-orang membahas tentang esports, mereka tidak tahu bahwa para pemain profesional biasanya berlatih selama 6 hari dalam seminggu, rata-rata dalam sehari, mereka berlatih selama 10 jam,” ujar Smith. Sama seperti olahraga tradisional, para pemain profesional akan berlatih, meninjau permainan mereka, menganalisa musuh, dan meninjau performa mereka sendiri. “Jadi, mereka perlu ruangan untuk berisitirahat.”

Selain itu, 100 Thieves juga membuat studio produksi. Robinson mengatakan, mereka menghabiskan lebih dari US$500 ribu untuk membuat studio tersebut. Salah satu program yang mereka buat adalah “The CouRage and Nadeshot Show”, podcast dan seri YouTube dengan Nadeshot dan Jack “CouRage” Dunlop sebagai host.

“Ini adalah mimpi yang jadi nyata untuk ‘The CouRage and Nadeshot Show’ Season 2, begitu kami menyebutkan,” kata Dunlop. “Ini menunjukkan betapa besarnya investasi yang 100 Thieves tanamkan dalam pembuatan konten dan video.”

Sumber header: VentureBeat

Tahun 2020, T1 Targetkan Buat Program Komersial

Pada Oktober 2019, SK Telecom T1 melakukan rebranding dan mengubah nama menjadi T1. Alasannya, karena SK Telecom memutuskan untuk membuat perusahaan joint venture bersama perusahaan telekomunikasi lain, Comcast. Dengan begitu, organisasi esports yang tadinya ada di bawah SK Telecom sepenuhnya, sekarang menjadi tanggung jawab perusahaan joint venture tersebut. Inven Global mendapatkan kesempatan untuk mengobrol dengan CEO T1, Joe Marsh untuk membahas tentang perubahan yang terjadi setelah rebranding dan juga tujuan mereka ke depan.

“Perubahan nama dan logo adalah perubahan yang paling terlihat,” kata Marsh ketika ditanya tentang perubahan yang terjadi pada T1 setelah mereka melakukan rebranding. Dia mengatakan, jika mereka tetap menggunakan nama SK Telecom T1, mereka akan kesulitan untuk memperkenalkan diri mereka di luar Korea Selatan.

“Namun, tujuan kami bukanlah untuk mengubah organisasi, tapi melanjutkan dan memperbaiki apa yang sudah kami lakukan dan membuka kesempatan baru,” ungkap Marsh. Salah satu kesempatan baru yang dia maksud adalah program komersial untuk T1. “Sebelum SK Telecom dan Comcast membuat perusahaan joint venture, tim T1 hanyalah bagian dari divisi marketing SK Telecom, jadi mereka tidak perlu untuk mencari sponsor lain selain perusahaan telekomunikasi itu.”

SK Telecom T1. | Sumber: Riot via Dexerto
SK Telecom T1. | Sumber: Riot via Dexerto

Marsh memberikan contoh kolaborasi T1 dengan Nike pada minggu lalu. Kolaborasi tersebut tidak hanya memberikan modal ekstra untuk T1, tapi memungkinkan mereka untuk mendekatkan diri dengan perusahaan dan merek kelas dunia. “Membuat program komersial harus dilakukan jika sebuah organisasi ingin bisa mandiri. Dan ada banyak organisasi esports kelas dunia yang mulai melakukan hal itu,” ujarnya. “Kami telah memiliki pola pikir ini sejak kami memiliki Philadelphia Flyers di National Hockey League (NHL). Seiring dengan kenaikan gaji dan penanaman investasi di infrastruktur, seperti pembangunan markas baru kami, Anda akan memerlukan sumber pendanaan lain selain investor Anda.”

Selain itu, Marsh mengungkap, T1 juga akan mencari game esports lain yang tengah populer. “Mencari kesempatan yang sesuai, baik di Amerika Utara, Asia, dan Eropa, yang memungkinkan kami untuk membuat tim yang benar, itu yang kami lakukan,” ungkapnya. “Ekosistem mobile gaming, khususnya di Asia Tenggara, lebih besar dari konsol dan PC, jadi kami juga mencoba untuk mencari kesempatan di sini. Kami tidak ingin menjadi tim yang biasa saja. Kami ingin menang dan menjadi yang terbaik.”

Ketika ditanya tentang target T1 pada 2020, Marsch mengatakan bahwa mereka ingin terus memperbaiki diri mereka dan membuat para fans bangga. Dengan masuknya tim Comcast, termasuk Marsh, dia ingin ada perubahan dalam tubuh organisasi. Meskipun begitu, dia juga ingin memastikan bahwa tim esports tetap menjadi fokus utama mereka. Sementara untuk jangka panjang, salah satu tujuan T1 adalah membangun markas mereka sendiri. “Selain itu, meski T1 sangat populer di Korea Selatan dan Tiongkok, kami ingin melebarkan sayap kami dan memperkenalkan organisasi ini ke Amerika Utara, Eropa. Jadi, mencoba game esports lain adalah target kami yang lain,” dia berkata.

Joe Marsh, CEO T1. | Sumber: Inven Global
Joe Marsh, CEO T1. | Sumber: Inven Global

Selain itu, T1 juga berencana untuk bereksperimen di ranah lain selain gaming, terutama karena dua perusahaan induk mereka — SK Telecom dan Comcast — merupakan perusahaan media dan teknologi. “Kami tidak ingin menjadi organisasi yang mengikuti tren, tapi menjadi organisasi yang pertama melakukan sesuatu yang baru,” ujar Marsh. Dia mengaku tidak sabar untuk melihat kerja sama T1 dengan Riot Games, developer dan publisher dari game League of Legends.

Sebagai CEO T1, Marsh mengatakan bahwa fokus mereka tahun ini adalah untuk membuat pondasi dari rencana mereka di masa depan, mulai dari memindahkan tim-tim ke markas mereka yang baru dan menjalankan program latihan baru yang didesain oleh Nike.

“Kami akan membuat gym standar Nike di markas kami, sehingga para pemain profesional juga bisa melakukan olahraga fisik. Kami harap, ini tidak hanya akan membuat mereka menjadi lebih sehat, tapi membuat karir mereka menjadi lebih panjang,” aku Marsh. “Kami juga akan menyediakan chef untuk membuat makanan dengan nutrisi yang sesuai untuk para pemain. Kami harap kami bisa mengubah pandangan akan pemain profesional. Para pemain kami berkata, mereka biasanya tidur larut malam, jadi kami harap kami juga bisa membuat mereka memiliki gaya hidup yang lebih sehat.”

Sumber header: Twitter

HLTV Nobatkan Mathiew “ZywOo” Herbaut Pemain CS:GO Terbaik Tahun 2019

Mathiew “ZywOo” Herbaut dinobatkan sebagai pemain Counter-Strike: Global Offensive terbaik oleh HLTV, situs berita dan forum yang membahas tentang berita, turnamen, dan statistik esports. Di kalangan komunitas, topik tentang pemain yang pantas untuk mendapatkan gelar “pemain terbaik” adalah topik yang sering diperdebatkan. Namun, penghargaan dari HLTV dianggap bisa dipercaya karena mereka menggunakan statistik individual pemain.

“Saya masih muda dan ini adalah tahun pertama saya bermain di level teratas,” kata ZywOo pada HLTV. “Tahun 2019 adalah tahun yang sangat baik, tapi saya rasa, ada banyak hal yang masih harus saya pelajari. Saya merasa, saya masih bisa menjadi lebih baik lagi, mengingat dukungan besar yang Vitality berikan untuk tim dan saya sendiri.”

ZywOo masih berumur 19 tahun, menjadikannya sebagai pemain termuda yang pernah mendapatkan gelar pemain terbaik. Namun, namanya memang sudah dikenal sebelum dia menjadi pemain profesional. Salah satunya karena performanya yang sangat baik ketika dia diundang untuk ikut serta dalam FACEIT Pro League pada 2017. Dia baru menjadi pemain profesional pada Oktober 2018 saat dia diajak untuk bergabung dengan Team Vitality, menurut laporan Dot Esports.

“Saya dihubungi oleh beberapa tim internasional, seperti Misfits dan HellRaisers, tapi kesempatan terbesar bagi saya adalah Vitality. Saya langsung menerima tawaran mereka,” ujar ZywOo.

Sepanjang tahun 2019, ZywOo membantu Vitality untuk memenangkan tiga turnamen, salah satunya ECS (Esports Championship Series). Sepanjang tahun, dia juga mendapatkan lima penghargaan MVP dari HLTV, termasuk dalam turnamen ESL One Cologne dan DreamHack Masters Malmö, meskipun Vitality kalah di babak final dalam dua turnamen tersebut.

“Saya tidak punya target pribadi pada 2019. Saya menemukan banyak hal baru tahun lalu, mengikuti berbagai turnamen dan berpergian… Semua itu masih sangat baru untuk saya. Satu-satunya keinginan saya adalah memperkaya pengalaman, agar saya bisa bermain dengan sempurna, dan bisa terus menjadi lebih baik,” aku ZywOo.

Dalam daftar pemain terbaik HLTV, posisi kedua diisi oleh Aleksandr “s1mple” Kostyliev, yang merupakan pemain terbaik pada 2018, diikuti oleh Nicolai “device” Reedtz, yang selama tiga tahun terakhir, selalu masuk dalam daftar lima pemain terbaik. Selama ini, hanya ada dua pemain CS:GO yang berhasil mempertahankan gelar pemain terbaik dalam dua tahun berturut-turut, yaitu Christopher “GeT_RiGhT” Alesund yang menjadi MVP pada 2013 dan 2014 serta Marcelo “coldzera” David yang mendapatkan gelar pemain terbaik pada 2016 dan 2017.

Sumber header: Twitter

Serius di India, Fnatic Pekerjakan Mantan Senior Manager Riot Games

Ekosistem esports di India tumbuh dengan pesat, terutama esports mobile. Salah satu indikasinya adalah pesatnya pertumbuhan total hadiah turnamen esports di negara tersebut. Pada tahun 2019, total hadiah turnamen esports naik hingga 172 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018. Inilah yang membuat organisasi esports internasional, seperti Fnatic, tertarik untuk masuk ke pasar India. Pada Oktober 2019, Fnatic mengakuisisi tim PUBG Mobile asal India, Team XSpark. Tidak hanya itu, mereka juga berencana untuk membangun fasilitas gaming di negara tersebut.

Keseriusan Fnatic untuk melebar sayapnya ke India kembali terlihat dari keputusan mereka untuk mempekerjakan Nimish Raut untuk memimpin divisi mereka di negara itu. Sebelum ini, Raut bekerja untuk Riot Games sebagai Senior Manager for Esports untuk kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok. Salah satu tugasnya adalah untuk menentukan strategi Riot di kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok. Menurut akun LinkedIn Raut, dia mulai bekerja untuk Fnatic sejak Desember 2019.

Tim PUBG Mobile Fnatic di India. | Sumber: Esports Insider
Tim PUBG Mobile Fnatic di India. | Sumber: Esports Insider

“Saya sangat senang untuk menyambut Nimish ke keluarga Fnatic,” kata Patrik “Carn” Sättermon, Chief Gaming Officer dan Co-owner of Fnatic, seperti dikutip dari Esports Insider. “Saya pernah bertemu dengan Nimish beberapa tahun lalu, dan setelah berdiskusi beberapa kali, saya senang dia memutuskan untuk memimpin ekspansi kami di India. Di sana, kami ingin aktif dalam mengembangkan ekosistem esports bersama dengan pemegang kepentingan lainnya.”

Kepada AFK Gaming, Raut menjelaskan bahwa dia sudah pernah mendengar tentang Fnatic sejak dia masih bekerja di Riot, tentang fokus organisasi esports asal Inggris itu serta cara kerja mereka. “Terkait rencana jangka panjang kami, kami punya rencana besar dan kami ingin merealisasikan beberapa program yang kami lakukan di dunia, dimulai dari pembangunan fasilitas jangka panjang dan bukan sekadar bootcamp,” ujarnya.

Lebih lanjut dia berkata, “Tanggung jawab saya adalah untuk mencoba merealisasikan rencana tersebut dan juga membantu para pemain kami menjadi superstar kelas dunia. Kami juga ingin mendorong ekosistem esports untuk menjadi lebih profesional dan pada saat yang sama, bekerja sama dengan merek-merek untuk menemukan cara agar mereka mau berinvestasi di dunia esports.”

Siap Bereksperimen Jadi Kunci untuk Jadi Sponsor Esports

Esports kini tengah menjadi pembicaraan hangat. Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk mendukung industri ini. Tidak hanya itu, jumlah investor yang tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di dunia game dan esports juga semakin bertambah. Meskipun begitu, belum ada model bisnis esports yang menguntungkan, termasuk League of Legends dari Riot Games yang telah berumur 10 tahun dan memiliki 8 juta concurrent players setiap hari. Ini menunjukkan bahwa meskipun esports diperkirakan memiliki potensi besar, tapi merealisasikan potensi tersebut masih akan memakan waktu.

“Bagi kami, bukan masalah jika esports dari game kami belum menguntungkan,” kata Head of Global Partnerships Activision Blizzard Esports, Josh Cella dalam diskusi panel di CES 2020, dikutip dari VentureBeat. “Investasi esports memang masih sangat baru untuk Riot dan Activision Blizzard dan semua pihak yang ada di industri ini. Liga kami baru akan memasuki musim pertandingan ketiga,” ujarnya. Liga yang dia maksud adalah Overwatch League. Meskipun begitu, dia membanggakan, musim kedua Overwatch League telah memiliki rating sekitar 18-34 persen lebih tinggi dari olahraga tradisional. “Tidak ada yang perlu kami khawatirkan. Tentu saja, masalah untung sangat tergantung pada ketetapan masing-masing perusahaan, tapi kami siap untuk bermain untuk jangka panjang.”

Sementara itu, menurut Sarah Iooss, Head of Sales, Americas, Twitch,  memberikan waktu pada perusahaan untuk mempertimbangkan apakah mereka memang ingin menanamkan investasi di esports bukanlah hal yang buruk. Dia juga mengatakan, Twitch selalu berusaha untuk mengumpulkan data dari audiens. “Saat ini, data tersebut memang belum terkait langsung dengan pengiklan di dalam kategori esports. Tapi itu berarti, masih ruang dan kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan untuk masuk dalam esports,” ungkapnya. Dia menjelaskan, kerja sama antara pelaku esports dengan perusahaan non-endemik layaknya membangun rumah. “Dimulai dari hal kecil, lalu perlahan tapi pasti, membangun kerja sama dengan saling mendengarkan dan mencoba untuk menemukan metode yang sukses,” katanya.

Sarah Iooss. | Sumber: CTA via VentureBeat
Sarah Iooss. | Sumber: CTA via VentureBeat

Meskipun jumlah penonton esports memang banyak dan masih terus bertambah, bukan berarti industri olahraga tradisional, seperti basket, sudah mati. Menurut Bryan de Zayas, Global Director of Marketing, Dell, salah satu alasan mengapa industri olahraga tradisional lebih besar dari esports adalah karena umurnya yang telah lebih tua. Meskipun begitu, dia percaya bahwa esports akan bisa mengejar ketertinggalannya, terutama karena kita sekarang ada di era digital.

Sementara itu, Cella mengatakan, berbeda dengan pertandingan olahraga tradisional, sejak awal, ekspektasi untuk memonetisasi turnamen esports sudah tinggi. “Dulu, masyarakat tak memiliki ekspektasi yang sama akan ekspektasi mereka untuk turnamen esports sekarang. Turnamen olahraga pada awalnya diadakan sebagai cara untuk menyelenggarakan pertandingan olahraga sebelum tumbuh menjadi industri besar. Sekarang, kita ada di era dimana ekspektasi akan monetisasi turnamen esports sangat tinggi,” ujar Cella. Dia mengaku tidak keberatan dengan tingginya ekspektasi tersebut karena Activision Blizzard memang percaya, esports memiliki potensi besar. Menurutnya, salah satu keuntungan game adalah game sangat mudah untuk diakses. Jika sebuah developer merilis sebuah game, maka game itu akan bisa diakses oleh semua orang di dunia selama dia memiliki perangkat dan internet.

Grace Dolan. | Sumber: VentureBeat
Grace Dolan. | Sumber: VentureBeat

Grace Dolan, VP of Home Entertainment Integrated Marketing, Samsung Electronics America mengaku, dalam diskusi panel, Samsung adalah merek yang paling tidak ada kaitannya dengan game dan esports. Dia mengatakan, tidak semua perusahaan telah siap untuk menanamkan investasi di bidang esports. “Saya rasa, semua orang masih belum merasa nyaman untuk menanamkan investasi di esports. Alasannya karena belum ada satu orang pun yang tahu cara yang benar untuk menanamkan investasi, karena memang belum ada infrastruktur yang baik. Lain halnya dengan olahraga tardisional. Masing-masing olahraga memiliki segmen audiens tersendiri,” ujarnya. Dia mengungkap, sama seperti olahraga tradisional, masing-masing game esports menarik audiens yang berbeda. Misalnya, karakteristik fans game racing Forza berbeda dari penggemar Overwatch. Sayangnya, di dunia esports, segmentasi para penonton baru mulai dilakukan.

Bagi perusahaan yang tertarik untuk masuk ke esports, Dolan menyarankan untuk menentukan target audiens terlebih dulu. “Apakah target audiens untuk merek Anda memang ada di dunia esports, apakah di Overwatch League atau game lain?” ujarnya. Selain itu, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah return of investment. “Apa yang ingin Anda dapatkan dari investasi Anda?” Dia mengungkap, satu kelebihan game adalah karena ia berbentuk digital. “Mudah untuk melihat jangkauan Anda, jumlah impresi yang Anda dapatkan. Setelah itu, Anda tinggal bereksperimen.” Dia mengungkap, untuk bisnis monitor dan SSD Samsung, kerja sama mereka dengan Twitch berupa membuat PC di dunia nyata. “Kami tidak tahu apakah orang-orang akan suka dengan itu. Tapi ternyata, mereka menyukainya,” ujarnya. Dia menyarankan, perusahaan yang hendak masuk ke ranah esports untuk melakukan percobaan sebelum memutuskan untuk masuk lebih dalam.

Josh Cella. | Sumber: VentureBeat
Josh Cella. | Sumber: VentureBeat

Iooss menyetujui perkataan Dolan. Kunci sukses kolaborasi antara merek non-endemik dan pelaku esports memang kesediaan untuk saling mendengarkan, baik penonton dan tim internal Twitch, dan berubah. Dia juga mengatakan, tidak ada yang perlu ditakuti ketika sebuah perusahaan hendak memasuki ranah esports. “Kami sering berkata pada rekan kami untuk mencoba masuk ke platform kami. Anda akan dapat menjangkau orang-orang berumur 18 sampai 34 tahun. Coba lakukan sesuatu yang kreatif,” ujarnya.

Cella menambahkan, Activision Blizzard bekerja sama perusahaan riset dan intelijen untuk memastikan bahwa data tentang liga esports mereka yang mereka berikan pada calon rekan atau sponsor mereka memang valid. “Sejak awal, kami meminta Nielsen untuk menghitung AMA (Average Minute Audience), memungkinkan calon rekan atau sponsor untuk membandingkan rating liga Overwatch dengan olahraga tradisional untuk demografi tertentu. Kita juga bekerja sama dengan berbagai perusahaan intelijen lain, dan kami membayar mereka semua sendiri. Karena kami tahu, pada awalnya, perusahaan pasti akan merasa ragu. Sampai sekarang, keraguan itu masih ada. Kami mau melawan itu semua dengan menyediakan tool untuk menghitung investasi perusahaan dan memastikan semua investor merasa aman.”

Perusahaan Induk TikTok Mau Buat Divisi Gaming, Siap Saingi Tencent?

Total pendapatan industri mobile game di Tiongkok akan mencapai hampir US$20 miliar pada 2020, menurut laporan Statista. Sementara menurut App Annie, pada tahun lalu, mobile game berkontribusi 72 persen dari total belanja konsumen di perangkat mobile. Ini menunjukkan betapa menggiurkannya pasar mobile game. Tidak heran jika ByteDance, perusahaan induk TikTok, dilaporkan berencana untuk membuat divisi game agar bisa masuk ke pasar mobile game.

Selama ini, pasar mobile game di Tiongkok dikuasai oleh Tencent, yang memiliki tiga game mobile multiplayer paling populer di dunia yaitu PUBG Mobile, Call of Duty: Mobile, dan Arena of Valor, yang di Tiongkok dikenal dengan nama Honour of Kings. Ketiga game ini memiliki model bisnis yang sama: game bisa dimainkan dengan gratis, tapi pemain juga bisa melakukan pembelian dalam game, yang terbukti memberikan pendapatan yang tidak kecil. ByteDance ingin melakukan hal yang sama.

Beberapa tahun belakangan, ByteDance memang telah mengeluarkan game-game kasual yang dipopulerkan melalui TikTok. Biasanya, pendapatan dari game kasual tersebut berasal dari iklan. Sekarang, ByteDance ingin menyelam lebih dalam ke pasar mobile game. Mereka tak lagi menargetkan gamer kasual, tapi hardcore gamer yang rela menghabiskan uang demi mendapatkan senjata, karakter, atau item kosmetik dalam game.

Selama ini, Tencent mendominasi pasar mobile gaming di Tiongkok. Namun, ByteDance berpotensi menggoyahkan status quo tersebut. Selain TikTok — yang di Tiongkok memiliki nama Douyin — ByteDance juga memiliki aplikasi agregator berita, Toutiao. Aplikasi tersebut merupakan salah satu channel utama yang digunakan oleh game publisher Tiongkok untuk mendapatkan pemain baru. Sebanyak 63 persen game publisher memasang iklan di aplikasi aggregator berita tersebut, menurut perusahaan riset asal Guangzhou, App Growing.

Pertumbuhan durasi waktu penggunaan TikTok. | Sumber: App Annie via Bloomberg
Pertumbuhan durasi waktu penggunaan TikTok. | Sumber: App Annie via Bloomberg

Popularitas TikTok juga terus naik. Pada 2019, total durasi waktu yang dihabiskan di TikTok naik tiga kali lipat menjadi 8,8 miliar jam. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendorong pertumbuhan durasi menonton di TikTok. Pertumbuhan durasi penggunaan TikTok di Indonesia mencapai lebih dari 500 persen. Selain itu, selama ini, ByteDance sukses untuk bertahan, mandiri dari pengaruh dua konglomerasi Tiongkok, Tencent dan Alibaba Group.

“ByteDance telah mendominasi pasar aplikasi video pendek dengan total pengguna lebih dari satu miliar orang. Sekarang, ByteDance berencana membuat studio game dengan mengakusisi talenta dan developer game berpengalaman,” kata Daniel Ahmad, analis dari perusahaan riset gaming yang fokus di Asia, Niko Partners, menurut laporan Bloomberg. “ByteDance memiliki audiens yang banyak di dunia dan mereka juga telah berinvestasi di industri gaming, dua hal ini memungkinkan ByteDance untuk mendisrupsi pasar gaming pada tahun ini.”

ByteDance memang tidak memiliki pengalaman dalam industri game. Karena itu, mereka membajak staf veteran dari pesaing mereka, ungkap narasumber Bloomberg yang tak mau disebutkan namanya karena rencana ini bersifat rahasia. Salah satu tim dari divisi gaming ByteDance dipimpin oleh Wang Kuiwu, yang pernah bekerja di Perfect World, developer game besar dan juga penyelenggara turnamen esports di Tiongkok. Sementara divisi gaming ini akan dibawahi oleh Chief Strategy and Investment ByteDance, Yan Shou. Divisi tersebut terpisah dari divisi yang membuat game kasual.

TikTok bisa jadi alat bagi ByteDance untuk mempromosikan game mereka. | Sumber: Hindustan Times
TikTok bisa jadi alat bagi ByteDance untuk mempromosikan game mereka. | Sumber: Hindustan Times

Selain menarik staf veteran dari para pesaingnya, ByteDance juga membuka lowongan pekerjaan untuk staf marketing dan publishing di luar Tiongkok. Dalam salah satu lowongan pekerjaan yang dibuat oleh ByteDance, mereka menyebutkan bahwa mereka mencari orang-orang yang dapat bekerja dengan influencer dan menggunakan platform internal untuk mempromosikan game. Mereka juga membuka belasan lowongan pekerjaan terkait game, mulai dari manajer produk sampai desainer karakter 3D dengan lokasi di Beijing, Shanghai, dan Shenzhen.

Tak berhenti sampai di situ, ByteDance juga mengakuisisi game studio secara langsung. Dalam satu tahun belakangan, dua studio yang telah mereka beli adalah Mokun Digital Technology dan Levelup.ai. Mereka juga berhasil menarik tim utama dari Pangu Game, yang ada di bawah NetEase, perusahaan gaming terbesar kedua di Tiongkok. Mereka melakukan itu setelah NetEase membatalkan proyek-proyek yang tengah dikembangkan Pangu Game.

Rencananya, dua game pertama dari ByteDance akan dirilis pada musim semi ini. Mereka tidak hanya menargetkan para pemain di Tiongkok, tapi juga di seluruh dunia. Game pertama ByteDance akan menjadi game multiplayer dengan genre fantasi khas Tiongkok. Memang, Pangu memiliki pengalaman dalam membuat game seperti itu. Pada 2017, Pangu merilis game RPG untuk PC bernama Revelation Online. Dalam game itu, pemain bermain harus mengalahkan berbagai hewan mitologi Tiongkok.

Revelation Online dari Pangu Games. | Sumber: Duniaku
Revelation Online dari Pangu Games. | Sumber: Duniaku

 

Gaming adalah industri strategis bagi perusahaan teknologi di Tiongkok karena game bisa memberikan pendapatan besar berkat pemain yang banyak,” kata Ahmad. “Namun, walau ByteDance mungkin dapat membuat game-game populer untuk pasar Tiongkok, kami percaya, mereka akan tetap kesulitan untuk menantang Tencent.”

Tencent tidak hanya memiliki tiga game mobile populer, mereka juga memiliki lebih dari satu miliar pengguna pada aplikasi WeChat mereka. Dalam aplikasi itu, mereka juga menyediakan alat pembayaran. Tak hanya itu, Tencent juga memiliki hubungan dekat dengan regulator di Tiongkok, yang pada 2018 mulai membatasi jumlah dan jenis game yang dirilis di negara tersebut dalam rangka untuk mengatasi kecanduan game.

Hanya saja, melalui TikTok/Douyin, ByteDance telah memenangkan hati para remaja. Mereka bisa menggunakan platform video pendek mereka untuk mendorong penggunanya memainkan game buatan mereka. Strategi ini serupa dengan yang Tencent lakukan belasan tahun lalu. Ketika itu, Tencent memanfaatkan luasnya jangkauan platform media sosial mereka untuk masuk ke pasar gaming. Namun, ByteDance masih harus membuktikan bahwa mereka bisa mengeksekusi strategi ini dengan sukses.

Sumber header: ByteDance via TechInAsia